Meraih Mimpi di Tengah Kesukaran
Perempuan paru baya itu terbujur kaku. Ia meninggal setelah beberapa minggu mengalami sakit parah. Sekujur tubuhnya ditutupi kain putih berukuran ± 1,5x1 M. Para pelayat, yang kebanyakan ibu-ibu, duduk mengelilinginya. Terlihat mulut mereka berkomat-kamit, melafalkan surat Yasin dan do’a-do’a keselamatan. Buliran-buliran bening pun mulai keluar dari pelupuk mata, mengalir membasahi pipi-pipi, mengiringi bacaan-bacaan mereka.
Isak tangis semakin mengelegar, manakala mereka menyaksikan bayi berjenis kelamin laki-laki, berumuran 3 bulan, menangis histeris, seakan-akan ikut merasakan kepiluan hati, ditinggal mati ibu yang telah melahirkannya.
Bayi tersebut, memang tidak lain adalah salah satu putra dari perempuan yang telah tak bernyawa itu. Tubuhnya yang mungil, terlihat sangat pucat. Nyaris tidak terdapat secuil dagingpun yang membalut tubuhnya. Yang nampak, hanyalah tulang dan kulit semata. Siapa pun yang menyaksikan, tentu akan merasa iba. Terlebih, kalau melihat kenyataan perekonomian keluarganya, yang memang berada dibawah garis kemiskinan. Rumah mereka tidak punya. Gubuk yang mereka tempati, merupakan tumpangan sementara dari salah satu sanak keluarga.
Tak ayal, melihat kondisi demikian, tidak sedikit dari para pelayat, memprediksi nasib buruk akan selalu membayangi masa depan si-bayi.
“Apa bisa hidup, yah, bayinya?”, celetuk salah satu pelayat, ’meraba-raba’ nasib si-bayi, yang tentu saja menambah luka hati keluarga yang memang tengah berduka. Tak ubahnya luka tersiram air cuka. Mungkin itulah gambarannya. Perih dan sangat menyakitkan.
Tak sedikit pula dari mereka --karena merasa kasihan-- mencoba mengajukan diri untuk mengadopsi anak tersebut.
”Kalau diizinkan, kami ngin mengasuh anak ini, pak. Kami tidak akan menyia-nyiakannya. Akan kami anggap dia sebagai anak kandung kami sendiri,” pinta di antara mereka kepada sang-bapak.
Walaupun demikian, pihak keluarga --terutama sang-ayah-- tidak mau ambil pusing. Dia yakin, bahwa di balik musibah yang tengah melanda keluarganya, terdapat banyak hikmah yang memang belum terkuak saat itu. Karenanya, dia menolak keras permintaan orang-orang yang hendak mengadopsi bayi malang itu, sekalipun keadaan ekonomi tengah carut-marut.
Mandiri Sejak Dini
Peristiwa mengharukan itu, terjadi 25 tahun silam. Dan bayi itu, kini telah tumbuh menjadi seorang pemuda yang kini mengabdikan dirinya di salah satu lembaga pendidikan Islam. Khoirul Huda, itulah namanya. Terlahir di tengah keluarga serba kekurangan, serta ditinggal mati ibu ketika masih dalam buaian, menjadikannya tumbuh menjadi pribadi yang mandiri. Dan pola pendidikan itu pula yang diterapkan ayah dan kakak-kakaknya.
Sejak kecil, Huda –begitu ia biasa disapa- sudah terbiasa bekerja keras. Sepulang dari sekolah, misalnya, ia harus membereskan seluruh pekerjaan rumah, mulai dari menyapu halaman, hingga menanak nasi. Wajar, karena semua anggota keluarganya pergi ke ladang, dan baru pulang, ketika matahari telah di ufuk barat.
Selain itu, ia juga tidak malu-malu untuk menjajakan barang jualannya, yang berupa mainan-mainan anak, semacam balon dan sejenisnya, dari kampung satu ke kampung yang lain. Kiloan meter jarak ia tempuh dengan jalan kaki. Pengatnya sinar matahari. Derasnya guyuran hujan, sama sekali tak meredupkan semangat bungsu dari tujuh bersaudara ini, untuk menapakkan kaki, selangkah demi selangkah, menelusuri gang-gang perkampungan.
Sekalipun melelahkan secara fisik, aktivitas-aktivitas tersebut, dia jalani dengan lapang dada. Status sosial yang dipegang sebagai anak miskin dan tak beribu, sama sekali tidak pernah mengucilkannya untuk terus berjuang, ”Sering sekali saya diejek. Terutama oleh teman sepermainan. Tapi jarang saya hiraukan”, kenangnya.
Mengejar Mimpi
Mimpi, adalah satu hal yang semua orang boleh memilikinya, tanpa harus membedakan status sosial, atau tetek-bengek lainnya. Begitu juga dengan putra dari Ardi dan Suyyah ini. sedari kecil, dia telah memiliki angan-angan untuk terus menuntut ilmu, terutama ilmu agama. Terlebih ketika melihat jejak ‘raport’ saudara-saudaranya yang ‘berguguran’ sekolah, lantaran terkendala biaya, gejolak itu semakin meninggi. Obsesinya, dia ingin mengangkat status sosial diri dan keluarganya menjadi lebih baik, ”Untuk menggapai itu semua, ilmu adalah satu-satu kuncinya” ulasnya panjang-lebar.
Syukurnya, sang-ayah mendukung penuh. Dengan menjual hasil panen, pada tahun 1998, selesai menamatkan Sekolah Dasar (SD) ia berangkat ke Jawa Timur, guna meneruskan studi di salah satu pondok pesantren di sana.
Pada awalnya, sebagai anak yang masih ingusan, sangat berat bagi Huda berpisah jauh dari sanak keluarga yang berada di kampung halaman, Lampung Timur. Apa lajur dikata, seperti kata pepatah, “layar sudah berkembang, pantang surut untuk ke belakang.”
Huda pun membulatkan tekad untuk tetap tinggal di daerah asing baginya. ”Mungkin pola pendidikkan keluarga yang tidak pernah meninabobokkanku, menjadi salah satu unsur yang mampu menguatkanku saat itu,” terangnya.
Sebagaimana jamak diketahui, bahwa sekolah di pondok pesantren, itu relatif lebih mahal biayanya, dibanding sekolah umum. Sebab, selain harus membayar uang sekolah, para santri pun harus membayar uang asrama dan makan sekaligus.
Di tengah perjalanan, hal inilah yang menjadi pelemik Huda. keluarganya tersiok-seok, sehingga nyaris saja ia ’terpelanting’, dan pulang kampung, karena tidak kuat pendanaan. Untungnya, salah satu familinya yang berprofesi sebagai karyawan bengkel, menolak mentah-mentah ide itu.
“Sudah jauh-jauh datang dari Lampung, kenapa harus pulang tanpa hasil. Teruskan belajarmu. Masalah dana, biar saya yang berusaha. Yang penting kamu serius, kejar impian-impianmu,” paparnya menirukan nasehat familinya tersebut.
Sejak peristiwa itu, ‘volume’ belajar Huda tambah tinggi. Pagi, sore, dan malam, ia gunakan untuk mengulang pelajaran yang telah didapat dari sekolah, atau membaca buku-buku yang lainnya. Alhamdulillah, usaha yang dilakukan membuahkan hasil. Meskipun tidak melulu juara satu, tapi, nilai-nilai yang dicapai, sudah cukup baginya untuk memperoleh bia siswa. Tentu saja hal ini, sangat meringankan bebannya dan keluarga.
Tidak cukup itu perjuangan yang dilakukan Huda. Tidak ingin hanya berpangku dua belah tangan dalam menghadapi masalah finansial, dengan skill barunya, mampu berbahasa asing, Arab dan Inggris, yang dia peroleh dari hasil studi, dia mulai mengeles murid-murid di perumahan-perumahan warga sekitar kampusnya. Bahkan tidak jarang juga, tanpa takut dilecehkan rekan-rekannya, dia rela bekerja sebagai buruh bangunan, yang harus mengecet gedung bertingkat, di sela-sela kesibukkannya sebagai pelajar.
Dari proses inilah, akhirnya Huda mampu menyelesaikan studinya, hingga di perguruan tinggi, sehingga berhak menyandang gelar Strata Satu (S 1), dengan hasil nilai komulatif yang cukup memuaskan. Karena –mungkin- dianggap mahasiswa yang berprestasi, selulusnya dari kuliah, dia langsung diamanahi untuk membantu mengajar di almamaternya tersebut.
”Mudah-mudahan aku terus ber-istiqomah, dan diberikan kemudahan-kemudahan oleh Allah, dalam menjalankan amanah-amanah yang saat ini kuemban,” do’anya sebelum mengakhiri wawancara
Agar al-Quran Mampu Menjadi Resep Mengelola Kerumitan Hidup
Al-Quran tidak cukup dibaca saja. Sekalipun membaca saja memperoleh pahala, dihitung setiap hurufnya. al-Quran akan menjadi penggugat kita di hadapan Allah SWT (hujjatu ‘alaina) manakala tidak diamalkan isinya. Membaca al-Quran harus dibarengi dengan memahami maknanya dan mengamalkannya dalam segala aspek kehidupan. Agar lahir kehidupan pribadi yang berkualitas secara lahir dan batin, keluarga sakinah mawaddah wa rahmah, masyarakat yang diberkahi, negara yang aman, beberapa negara yang makmur, penuh ampunan Tuhan.
Namun realitasnya kini, umat Islam tidak mensyukuri nikmat al-Quran. Kitab suci ini belum dijadikan resep untuk mengelola kerumitan kehidupan, tetapi sekedar dijadikan mantra, sehingga tidak berefek apa pun pada perubahan pola pikir, sudut pandang, orientasi dan perilaku kehidupan dalam skala individu, keluarga, bangsa dan negara.
Yang lebih ironis, sebagian umat Islam memandang al-Quran diturunkan untuk orang yang telah mati. Ketika hidup firman Allah SWT tersebut disimpan rapat-rapat di almari. Baru ketika meninggal, minta dibacakan orang lain. Sikap tersebut menggambarkan bahwa al-Quran hanya dijadikan mantra yang bernuansa mistik, tidak dijadikan resep dalam mengelola pasang surut (fluktuasi) kehidupan di dunia ini.
Perlakuan kita terhadap al-Quran ini, mungkin menyebabkan krisis multidimensional yang bersifat mikro (‘azamat shughra) dan krisis global (‘azamat kubra).
\"Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta\". Berkatalah ia: \"Ya Tuhanku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya adalah seorang yang melihat ?\" (QS. Thaha (20) : 124).
Maksud kehidupan yang sempit, adalah kehidupan yang didera/dibelit dengan berbagai persoalan dan tidak menemukan jalan keluarnya. Atau kehidupan yang serba cukup, dengan tersedianya makanan, pakaian dan tempat tinggal. Tetapi semua yang dimilikinya itu justru membuat lubang kehancurannya (istidraj). Sehingga dia tidak bisa memaknai dan menikmatinya. Adapula yang berpendapat, disempitkan liang lahatnya. Ketika meninggal, tempat peristirahatannya yang terakhir menolaknya, sekalipun sebelumnya lubang kuburnya telah diukur melebihi jasadnya.
Kiat Sukses Berinteraksi dengan Al-Quran
Untuk mengembalikan kita pada pola interaksi yang benar terhadap al-Quran, sehingga al-Quran kembali menjadi sumber kekuatan kita untuk membangun peradaban (iman dan islam), kiat-kiat berikut ini sangat perlu diwujudkan.
Pertama: Tilawah wa Tartil (selalu membaca dengan benar)
Beberapa hal yang perlu diperhatikan secara lebih serius antara lain
• Dengan membaca al-Quran secara berkesinambungan akan menambah iman kepada Allah SWT
\"Sesungguhnya orang-orang yang beriman [sempurna ] ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal.\" (QS. Al Anfal (8) : 2).
• Mendatangkan petunjuk, menjadi obat berbagai penyakit di dalam dada, serta rahmat dan nasihat
\"Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.\" (QS. Yunus (10) : 57).
• Suka membaca indikator mutu keimanan seseorang
\"Orang-orang yang telah Kami berikan Al Kitab kepadanya, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya[tidak merubah dan mentakwilkan sesuka hatinya], mereka itu beriman kepadanya. dan barangsiapa yang ingkar kepadanya, Maka mereka Itulah orang-orang yang rugi.\" (QS. Al Baqarah (2) : 121).
• Membaca secara tekun menambah kebaikan yang banyak, baik dalam keadaan miskin ataupun kaya
\"Dan Ini (Al-Quran) adalah Kitab yang telah kami turunkan yang diberkahi; membenarkan kitab-kitab yang (diturunkan) sebelumnya dan agar kamu memberi peringatan kepada (penduduk) ummul Qura (Mekah) dan orang-orang yang di luar lingkungannya. orang-orang yang beriman kepada adanya kehidupan akhirat tentu beriman kepadanya (Al-Quran) dan mereka selalu memelihara sembahyangnya.\" (QS. Al Anam (6) : 92)
• Membaca secara tartil akan mendatangkan perkataan yang berbobot, melepaskan manusia dari belenggu kesesatan, mencerahkan pikiran dan hati yang kalut serta merasakan kegembiraan dalam mengelola pasang surut (fluktuasi) kehidupan.
\"Sesungguhnya Kami akan menurunkan kapadamu perkataan yang berat.\" (QS. Al Muzzammil (73) : 5).
• Membaca secara berkelompok akan mendatangkan ketenangan dan rahmat serta syafaat pada hari kiamat (HR. Bukhari dan Muslim).
Kedua: Tadabbur (merenungkan isinya)
• Mentadabburi Al-Quran bisa membuka hati untuk menerima petunjuk Allah SWT dan memperoleh pelajaran yang sangat berharga
\"Ini adalah sebuah kitab yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayat-Nya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran.\" (QS.Shad (38) : 29).
• Yang membaca Al-Quran tanpa dibarengi dengan tadabbur (merenungkan kandungannya) akan mendatangkan bencana
Ketiga: Hifz (menghafalkan)
• Al-Quran mudah dihafalkan sekalipun yang melakukannya bukan orang Arab (‘ajam), karena kata-katanya, huruf-hurufnya, susunan kalimatnya, uslub (gaya bahasanya) sesuai dengan fithrah manusia.
\"Dan Sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Quran untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?.\" (QS. Al Qamar (54) : 17, 22, 23, 40).
• Biasanya, sulit menghafalkan Al-Quran karena banyak melakukan dosa
Imam Syafii mengadu kepada guruku Waki’, atas kejelekan hafalan al-Qurannya. \"Maka ia membimbingku agar meninggalkan masiat. Karena ilmu itu cahaya, cahaya Allah tiada akan diberikan kepada yang berdosa, \" ujar Imam Syafii.
• Penghafal Al-Quran terhindar dari kepikunan, setelah meninggal jasadnya diharamkan oleh Allah SWT untuk dilukai bumi
• Hafalan Al-Quran akan mengembangkan saraf otak (penelitian di Universitas Munich, Jerman).
Keempat: Ta’lim (mengajarkannya kepada orang lain)
• Generasi yang dekat dengan Allah SWT adalah yang tidak berhenti belajar dan mengajarkan Al-Quran (QS. Ali Imran 3) : 79 )
\"Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani[sempurna ilmu dan takwanya kepada Allah SWT], karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.\"
Kelima: Istima’ (selalu mendengarkannya secara berkesinambungan)
• Yang senang mendengarkan Al-Quran adalah manusia pilihan Allah Subhanahu wa Ta’ala
\"Dan apabila kamu tidak membawa suatu ayat Al-Quran kepada mereka, mereka berkata: \"Mengapa tidak kamu buat sendiri ayat itu?\" katakanlah: \"sesungguhnya aku Hanya mengikut apa yang diwahyukan dari Tuhanku kepadaku. Al-Quran ini adalah bukti-bukti yang nyata dari Tuhanmu, petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.\" (QS. Al Araf (7) : 203).
Allah SWT memberi satu mulut dan dua telinga adalah untuk mendidik manusia supaya sedikit bicara (hemat kata) dan banyak mendengar (perkataan ahli hikmah). Kualitas kepemimpinan seseorang diukur tidak dari banyaknya meriwayatkan (katsratur riwayah), tetapi banyak melayani yang dipimpin dan mendengarkan aspirasinya (katsratur ri’ayah wal istima’).
Orang yang tidak senang mendengarkan Al-Quran cenderung menutup diri, sehingga dijauhkan dari petunjuk, sebagaimana umat Nabi Nuh as. Mudah-mudahan,kita bukan dari bagian itu.
KETULUSAN MENCINTAI ROSULULLAH
Dalam al-Bidayah wa an-Nihayah, Ibnu Katsir menuturkan kisah seorang sahabat Nabi Saw; Zaid bin ad-Datsinah yang menjadi tawanan dan terancam dibunuh. Saat itu, sang pembesar kaum kafir Quraisy; Abu Sufyan bin Harb berkata; “Ya Zaid, maukah posisi kamu sekarang digantikan oleh Muhammad yang akan kami penggal lehernya, kemudian engkau dibebaskan kembali pada keluargamu?” Dengan yakin, Zaid menjawab; “Demi Allah, aku tidak akan rela jika saat ini Muhammad berada di rumahnya tertusuk sebuah duri, dalam keadaan aku berada di rumah bersama keluargaku”. Abu Sufyan pun berkata, “Tidak pernah aku mendapatkan seseorang yang mencintai orang lain seperti cintanya para sahabat Muhammad kepada Muhammad!”
Catatan sejarah itu hanyalah salah satu bukti kedudukan agung Muhammad Saw dan ketulusan cinta yang ditunjukkan oleh sahabat-sahabatnya. Kedekatan hubungan para sahabat dengan nabinya menempatkan cinta mereka kepada beliau jauh lebih besar dan lebih dalam dibandingkan kecintaan orang-orang yang datang sesudah mereka.
Keragaman Cara Mencintai Rasulullah
Sebagaimana hari ini, sebagian kaum muslim telah menunjukkan berbagai apresiasi cinta mereka terhadap sang junjungan rasul tercinta. Kecintaan kepada Rasulullah sesungguhnya bisa dilakukan di mana saja dan kapan saja. Salah satunya adalah membaca shalawat dan salam penghormatan kepada beliau yang sekaligus menjadi perintah kepada orang beriman, karena Allah dan para malaikat-Nya pun senantiasa bershalawat untuknya. (QS 33:56). Dalam riwayat Muhammad bin Abdurrahman, Rasulullah bersabda, ''Setiap kali umatku mengirim salam kepadaku, sesudah aku tiada, Jibril menyampaikannya kepadaku lalu ku jawab: Wa'alaihissalam; semoga keselamatan dan kesejahteraan Allah juga tetap kepadanya.
Kecintaan pada Rasul juga dilakukan dalam bentuk lain yang bersifat komunal (jama’i). Kedatangan bulan Rabiul Awwal dijadikan sebagai momentum utama untuk memperingati kelahiran manusia teragung sepanjang sejarah umat manusia tersebut. Berbagai simbol kecintaan pun digiatkan dengan menggelar berbagai acara dan kegiatan di sekolah, masjid dan instansi, bahkan sampai menjadi hari libur nasional. Tenaga, waktu, pikiran dan harta, mereka korbankan sebagai bentuk ‘ketulusan cinta’ mereka kepada Rasulullah.
Gemuruh cinta Rasulullah itu tampak menggema saat kita menyaksikan makin banyaknya perkumpulan spiritual dan majelis-majelis zikir yang melantunkan sanjungan kepada Rasulullah, dan mengingatkan umat Islam untuk tetap berpegang teguh pada ajaran dan sunnahnya yang mulia. Sebagian halaqah cinta Rasul itu dilakukan dalam bentuk zikir bersama sambil diiringi tabuhan hadrah, pembacaan kitab syair maulid, seperti al-Barzanji, Diba' Syaraful Anam, Al-Burdah, Al-Habsyi, Simthud Durar, dan lain-lain yang umumnya berisi deskripsi sosok Rasulullah Saw dalam gambaran yang lebih detil. Pemandangan ini terasa lebih menggugah hati, karena ternyata para penggerak majelis-majelis zikir itu adalah para pemuda Islam yang penuh semangat keagamaan tinggi dan diharapkan mampu mempertahankan kebesaran agama Islam ini.
Bid’ah dan Spiritualisme Modern
Di sisi lain, maraknya aktifitas keagamaan yang dilambangkan sebagai bentuk cinta Rasulullah, dipandang skeptis oleh sebagian umat Islam. Secara garis besar ada dua alasan utama yang melatari pandangan tersebut; Pertama, dari segi teologis, majelis zikir dan sejenisnya adalah amalan yang menyimpang dari Islam (bid’ah), karena telah keluar dari pengertian zikir itu sendiri. Majelis zikir, seperti diungkapkan Imam al-Qurthubi adalah majelis ilmu dan nasehat, yaitu majelis yang menguraikan firman-firman Allah, Sunnah Rasul-Nya dan keterangan para salafus shaleh serta imam-imam ahli zuhud yang terdahulu, jauh dari kepalsuan dan kebid'ahan yang penuh dengan tujuan-tujuan yang rendah dan ketamakan." (Fiqh Sunnah 2/87). Kedua, tumbuhnya majelis-majelis zikir, shalawatan, training spiritual dan sebagainya lebih banyak memperlihatkan faktor sosialnya daripada faktor spiritualnya. Di Jakarta, misalnya, menjamurnya majelis zikir sebagian besar pesertanya adalah rakyat kecil yang sebenarnya terjebak pada formalisme zikir, bukan pada pemaknaan spiritual. Agak sulit dimengerti—menurut pandangan ini—peserta zikir yang pergi beramai-ramai ternyata menjadi salah satu penyebab kemacetan jalan-jalan protokol di Jakarta disamping attitude tidak baik lainnya. Fenomena ini justru malah mengarahkan analisis pada frustrasi sosial masyarakat akibat lilitan kemiskinan dan ketidakpuasan pada penguasa. Training-training spiritual yang merebak juga masih sangat terkesan elit dan eksklusif yang lebih cenderung menonjolkan ‘kelas sosial’ para pesertanya. Ini sama sekali bukan potret kekeringan jiwa dan praktik spiritualisme masyarakat modern yang muncul sebagai efek dari kesejahteraan materi dan kepuasan duniawi yang berlebihan. Lebih tepat fenomena ini disebut sebagai “pelarian sesaat” dari himpitan kehidupan yang semakin sulit di negeri ini.
Gejala spiritualisme masyarakat modern memang muncul sebagai konsekuensi dari semakin menguatnya sekularisme yang menihilkan aspek spiritualitas. Di Barat, gejala ini kemudian berkembang menjadi fenomena New Age yang ditandai dengan menguatnya keinginan masyarakat Barat untuk memuaskan dahaga spiritual mereka. Lalu mereka mencari apa saja yang bisa memuaskan dahaga spiritual itu. Ada yang menemukan Budhisme, Konfusianisme, mistisisme Kristen, atau bahkan sekadar ajaran-ajaran meditasi yang tidak memiliki akar agama sama sekali.
Perdebatan Agama yang Tidak Produktif
Dalam konteks keindonesiaan, fenomena spiritualisme sebagai salah satu bukti kecintaan terhadap Rasulullah, seyogianya dilihat dengan pendekatan lain yang jauh lebih toleran dan akomodatif. Perayaan Maulid Nabi Saw, misalnya, pada mulanya diperingati untuk membangkitkan semangat umat Islam. Saat itu, umat Islam berjuang keras mempertahankan diri dari serangan tentara Salib Eropa, yakni Prancis, Jerman, dan Inggris. Adalah Salahuddin al-Ayyubi yang yang mengeluarkan instruksi bahwa mulai tahun 580 Hijriah (1184 M) tanggal 12 Rabiul-Awal dirayakan sebagai hari Maulid Nabi dengan berbagai kegiatan yang membangkitkan semangat umat Islam. Salahuddin ditentang oleh para ulama. Sebab sejak zaman Nabi, peringatan seperti itu tidak pernah ada. Akan tetapi Salahuddin kemudian menegaskan bahwa perayaan Maulid Nabi hanyalah kegiatan yang menyemarakkan syiar agama, bukan perayaan yang bersifat ritual, sehingga tidak dapat dikategorikan bid`ah yang terlarang. Salah satu kegiatan yang diadakan oleh Sultan Salahuddin pada peringatan Maulid Nabi yang pertama kali tahun 1184 (580 H) adalah menyelenggarakan sayembara penulisan riwayat Nabi beserta puji-pujian bagi Nabi dengan bahasa yang seindah mungkin. Seluruh ulama dan sastrawan diundang untuk mengikuti kompetisi tersebut. Pemenang yang menjadi juara pertama adalah Syaikh Ja`far Al-Barzanji. Karyanya yang dikenal sebagai Kitab Barzanji sampai sekarang sering dibaca masyarakat di kampung-kampung pada peringatan Maulid Nabi. Ternyata, peringatan Maulid Nabi yang diselenggarakan Salahuddin itu membuahkan hasil yang positif. Semangat umat Islam menghadapi Perang Salib bergelora kembali, sehingga pada tahun 1187 (583 H) Yerusalem direbut oleh Salahuddin dari tangan bangsa Eropa.
Semangat kebangkitan Islam dan pencerahan ummat inilah yang dapat dijadikan inspirasi para pegiat dakwah untuk membuat inovasi-inovasi baru dalam berdakwah. Karena itu, tidaklah arif menyalahkan majelis zikir dan tasawuf yang tengah digandrungi sebagian umat Islam. Para sahabat Nabi juga melakukan zikir bersama sesudah shalat subuh. Riwayat Ibnu Abbas atau Salman Al-Farisi menyebutkan bahwa para sahabat berhimpun bersama, duduk bersama. Bahkan, Rasulullah Saw memerintahkan kita untuk hadir di majelis zikir, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad. ''Bila kalian melewati tamu surga, hendaklah kalian mampir.'' Ketika sahabat bertanya, ''Apa itu tamu surga'', beliau menjawab, ''Halaqah zikir atau majelis-majelis zikir.''
Bagaimanapun, membiarkan perdebatan tentang keragaman spritualisme ummat adalah sesuatu yang tidak produktif dan lebih banyak melemahkan kekuatan ummat. Karena kita masih harus dihadapkan dengan persoalan pemahaman dan penghayatan keagamaan ummat yang bersemangat dalam aktifitas spiritual tetapi tidak mampu berbuat banyak dalam penyelesaian masalah-masalah ummat; kebodohan, kemiskinan dan pengangguran. Lebih dari itu, seringkali, spiritualisme itu rentan ‘ditunggangi’ oleh hawa nafsu. Dan, salah satu hawa nafsu yang sukar terdeteksi adalah, seperti apa yang disebut Erich Fromm, keterikatan manusia pada situasi sesaat yang berada di sekelilingnya. Dalam bahasa Nasruddin, sufi dari Khurasan, manusia sering terjebak pada 'pakaiannya', termasuk terjebak dengan pemahaman agama yang keliru dan tidak membumi. Pakaian adalah sesuatu yang binding (mengikat) dalam jiwa manusia. Jika manusia melakukan sikap yang binding dengan dunia sekelilingnya, jiwanya akan terkungkung dan kebebasannya terbelenggu. Binding dalam kaitan ini bisa saja merupakan cinta terhadap sesuatu yang sepantasnya tidak harus dicintai. Cinta kepada harta, benda-benda antik, jabatan, kelompok, dan etnis (‘ashabiyyah), juga pandangan keagamaan kita yang tidak sadar membelenggu jiwa, sehingga mudah menyalahkan pandangan lain yang berbeda. Dalam salah satu hadisnya, Rasulullah menyatakan, ''Siapa yang mencintai sesuatu, maka dia akan menjadi hambanya.'' Tetapi kita tidak perlu menjadi hamba untuk cinta yang tidak hakiki dan memilih ‘meninggalkan’ cinta Rasulullah. Padahal beliau telah berwasiat; “Demi Allah, salah seorang dari kalian tidak akan dianggap beriman hingga diriku lebih dia cintai dari pada orang tua, anaknya dan seluruh manusia.” Apa yang diperlukan ummat hari ini adalah patriotisme Zaid bin ad-Datsinah yang ditunjukkan dengan kerelaan kita untuk tulus mencintai Rasulullah Saw, tanpa harus melukai keharmonisan ukhuwwah sesama ummat Islam.
Abdullah ibn Al-Mubarak, Ulama Serba Bisa
Mustahil menurut kebanyakan orang, seorang budak akan melahirkan ulama besar yang Rabbani, yang menguasai seluruh cabang keilmuan. Bahkan, selain alim, juga ksatria di medan perang, saudagar yang sukses di pasar, dan mampu merangkum seluruh kebaikan.
Namun Allah yang Maha Adil memberikan keutamaan kepada siapa yang dikehendaki tanpa sedikit pun melihat sosial hamba-Nya.
Budak itu bernama Al-Mubarak. Pemuda ini berkebangsaan Turki, sangat taat dan wara’. Ia bekerja pada seorang saudagar Muslim yang kaya raya.
Pada suatu kesempatan, sang saudagar ingin bersantai sambil menikmati buah delima. Ia menyuruh pemuda itu agar memetikkan buah delima yang manis dari pekarangan rumahnya.
Pergilah sang budak menunaikan apa yang diminta majikan. Tak berapa lama kemudian, ia kembali dengan menenteng delima yang ranum di tangannya.
Sang majikan mencicipi delima tersebut, namun kurang puas karena rasanya asam. Ia memerintah pemuda itu lagi agar mencari delima lainnya.
Budak tersebut pergi ke bagian lain dari kebun tersebut dan memetik buahnya. Lagi-lagi, hasilnya belum memuaskan majikannya.
Al-Mubarak kembali ke kebun, sampai tiga kali berturut-turut. Namun hasilnya tetap sama. Marahlah sang majikan, “Apakah kamu tidak punya lidah atau kamu mati rasa sehingga kamu tak bisa membedakan mana yang manis dan mana yang masam?”
Dengan polos pemuda itu menjawab, “Tuanku, bukannya aku tak punya lidah. Bukan pula aku mati rasa. Tapi delima-delima itu tak halal bagiku. Bukankah aku hanya diperintahkan untuk memetiknya, bukan mencicipinya?”
Seketika redalah amarah sang saudagar. Ia menatap pemuda di hadapannya itu dari ujung rambut sampai ujung kaki. Sungguh tak percaya, budak itu mampu mengeluarkan kata-kata yang begitu mulia.
Beberapa saat kemudian, sang saudagar menemui istrinya. Ia berkata, “Pemuda macam inilah yang layak menjadi suami putri kita.”
Singkat cerita, sang pemuda yang itu pun menikah dengan putri majikannya. Dari perkawinan tersebut Allah Subhanahu wa Ta’ala memberkahi putra laki-laki yang diberi nama Abdullah. Anak ini di kemudian hari dikenal dengan Ibnu Al-Mubarak, seorang ulama hadits yang jadi rujukan ahli-ahli hadits di seluruh dunia.
Kesan Para Ulama
Muhammad ibn Abdul Wahhab Alfarra' pernah berkata, “Khurasan tidak pernah melahirkan lagi ulama sekaliber mereka bertiga, yaitu Ibnu Al-Mubarak, Nadlr ibn Syamil, dan Yahya Ibn Yahya.”
Sedangkan Syu'aib ibn Harb mengatakan, “Tidaklah Ibnu Al-Mubarak bertemu seseorang kecuali beliau lebilh afdhal dibanding orang tersebut.”
Abu Usamah juga mengatakan, “Di kalangan ulama hadits, Ibnu Al-Mubarak bagai Amirul-Mu’minin di tengah-tengah manusia.”
Sementara Al-Awza'i, suatu ketika berkata kepada Abdurrahman Ibn Zaid Al-Juhani, “Apakah Anda pernah bersua dengan Ibnu Al-Mubarak?” Jawab Abdurrahman, “Tidak.” Kata Al-Awza'i kemudian, “Seandainya Anda bertemu dengannya, tentulah ia akan membuat jiwamu tenang.”
Mu'adz ibn Khalid berkata, “Aku menanyakan tentang Ibnu Al-Mubarak kepada Isma'il ibn Iyyasy. Ia pun berkata, ‘Tidak ada di muka bumi ini orang seperti Ibnu Al-Mubarak, dan tidaklah Allah menciptakan suatu kebaikan kecuali kebaikan itu pasti ada pada beliau.’”
Lain lagi kata Ahmad Al-'Ajaliy, “Ibnu Al-Mubarak orang yang tsiqah (terpercaya) dalam ilmu hadits, seorang yang shalih, seorang penyair yang andal, dan orang yang merangkum di dalam dirinya seluruh cabang disiplin keilmuan.”
Al-Abbas ibn Mush’ab berkata, “Abdullah (Ibnu Al-Mubarak) mengusai ilmu hadits, fiqh, bahasa Arab, sejarah, sekaligus seorang yang pemberani, dermawan, dan saudagar yang sukses.”
Imam Ahmad ibn Hanbal berkisah panjang lebar tentang sosok yang satu ini, “Abdullah (Ibnu Al-Mubarak) dilahirkan pada tahun 118 Hijriah. Beliau lahir dari keluarga yang sangat wara' dan bertaqwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Bapaknya seorang berkebangsaan Turki, sedang ibunya putri seorang saudagar kaya dari Hamadzan, keturunan Bani Khanzhalah. Mereka telah memperbaiki makanan yang masuk ke dalam perut mereka, dan sedikit pun mereka tak membiarkan mulut mereka tersentuh sesuap makanan syubhat, apalagi haram. Maka Allah pun memperbaiki keturunan mereka. Tiada anugerah yang paling berharga bagi seorang Muslim kecuali seorang anak yang shalih, alim, mujahid, yang namanya tetap harum sampai abad ini.”
Pemberani
Dalam kitab Siyar Al-A’lam An-Nubala diceritakan bahwa pada sebuah peperangan antara kaum Muslimin melawan Romawi, enam mubariz (jago duel) Muslimin gugur di tangan seorang jawara bertubuh tinggi besar. Setelah itu tak ada lagi tentara Muslim yang berani menyambut tantangan sang jawara dari Romawi itu.
Tiba-tiba, di antara keheningan tersebut, majulah salah seorang penunggang kuda dengan gagah perkasa menyambut tantangan sang jawara. Duel pun dimulai. Pertarungan tersebut sangat menentukan mental tempur prajurit masing-masing pihak. Akhirnya, duel itu dimenangkan sang penunggang kuda.
Sang penunggang kuda tersebut tak lain adalah sang alim Ibnu Al-Mubarak. Hanya dalam beberapa detik, dengan kemenangan tersebut, bangkitlah semangat tempur kaum Muslimin. Dan, secara mengejutkan, kaum Muslimin bisa memenangi pertempuran.
Hafalan yang Kuat
Al-Hasan ibn ‘Iisya berkata bahwa Shakhr, salah seorang teman Ibnu Al-Mubarak, mengabarkan, “Ketika kami masih kecil, kami melewati seorang laki-laki yang sedang berkhutbah panjang lebar. Setelah laki-laki itu menyelesaikan khutbahnya, Ibnu Al-Mubarak berkata kepadaku, ‘Aku telah hafal apa yang ia ucapkan tadi.’ Salah seorang hadirin mendengar itu dan berkata kepada Ibnu Al-Mubarak, ‘Buktikan perkataanmu!’ Maka Ibnu Al-Mubarak pun mengulanginya, persis seperti apa yang disampaikan laki-laki tersebut tanpa mengurangi atau menambahinya.”
Nu’aim Ibn Hammad juga pernah mendengar Ibnu Al-Mubarak mengatakan, “Bapakku berkata kepadaku, ‘Kalau aku mendapati kamu menulis, aku akan membakar tulisanmu!’ Aku menjawab, ‘Untuk apa aku menulis sedangkan ilmuku ada dalam dadaku’.”
Dermawan
Pada suatu musim haji, Ibnu Al-Mubarak berangkat dari Mesir menuju Makkah untuk menunaikan haji bersama beberapa orang. Sebelum berangkat, Ibnu Al-Mubarak yang bertindak sebagai imam safar mengumpulkan ongkos haji mereka. Setelah semua terkumpul, ia memasukkan uang tersebut ke dalam sebuah kotak dan kemudian menguncinya.
Selama dalam perjalanan, Ibnu Al-Mubarak-lah yang melayani keperluan rombongan itu, memasak makanan, membeli seluruh keperluan jamaah, serta memberi mereka makan dengan sebaik-baik makanan. Sedangkan ia sendiri berpuasa sepanjang hari.
Begitulah yang ia lakukan sepanjang perjalanan. Setelah manasik haji selesai, ia kumpulkan jamaah tadi, kemudian ia belikan oleh-oleh sesuai permintaan keluarga masing-masing. Maka, pulanglah kafilah haji tersebut dengan hati gembira. Tak hanya itu, ongkos haji yang tadi dikumpulkan, dikembalikan kepada masing-masing pemiliknya tanpa sedikit pun ada yang berkurang.
Pada suatu ketika, Ibnu Al-Mubarak mengirimkan sepucuk surat kepada Fudhail ibn Iyyad. Di dalam surat tersebut ia menulis untaian syair berikut:
Wahai ‘abid Al-Haramain,
seandainya engkau memperhatikan kami,
engkau pasti tahu bahwa selama ini
engkau hanya main-main dalam beribadah.
Kalau pipi-pipi kalian basah dengan air mata
maka leher-leher kami basah bersimbah darah.
Kalau kuda-kuda kalian letih dalam hal yang sia-sia,
maka kuda-kuda kami letih di medan laga.
Semerbak wanginya parfum, itu untuk kalian,
sedangkan wewangian kami pasir dan debu-debu.
Telah datang Al-Qur`an kepada kita menjelaskan,
para syuhada tidak akan pernah mati, dan itu pasti.
Usai membaca surat itu, Fudhail meneteskan air matanya seraya berkata, “Engkau benar Ibnu Al-Mubarak, demi Allah, engkau benar.”
Ibnu Al-Mubarak wafat pada tahun 181 Hijriah (798 M) pada bulan mulia, Ramadhan. Wallahi, telah pergi hari ini seorang ulama besar yang serba bisa,” kata Khalifah Harun Al-Rasyid, ketika mendengar berita kematian tersebut.*
Rasulullah dan Intelijen yang Berakhlaq
Pernah menonton film Enemy of the state? film yang bercerita tentang kehebatan agen rahasia NSA (National Security Agency). Film yang bercerita seputar intrik-intrik spionase, serta kecanggihan peralatan penyadapan ini dimainkan Will smith (sebagai Robert Clayton).
Dalam cerita, pengacara kulit hitam Clayton diburu secara membabi-buta oleh intel NSA karena telah menyimpan informasi penting tentang pembunuhan.
Dengan alat-alat deteksi canggih, Clayton diburu selama 24 jam penuh oleh agen NSA. Tanpa disadari, sekujur tubuhnya sudah dipasangi alat penyadap canggih. Mulai pulpen, sepatu, jas, arloji dan kancing celana. Bahkan untuk kepentingan intelijen pula, aparat-aparat intel itu harus membunuh siapa saja yang ditemui jika dianggap perlu.
Intelijen merupakan salah satu unsur dari manajemen yang telah digunakan oleh manusia sejak zaman prasejarah. Ilmu intelijen bahkan berkembang menjadi salah satu unsur manajemen perang sejak 400 tahun sebelum masehi.
Salah satu tugas pokok dari intelijen adalah kemampuan menggambarkan perkiraan keadaan yang akan terjadi secara tepat, sehingga selain mendapatkan informasi penting juga diharapkan mampu memenangkan peperangan. Selain itu, fungsi intelijen juga memperkecil resiko yang timbul baik terhadap manusia (pasukan) maupun peralatan (logistik). Kirka secara sederhana mencakup empat hal penting, yakni terhadap pasukan sendiri (intern), terhadap pasukan lawan, terhadap medan atau lokasi di lapangan dan terhadap cuaca.
Dalam perkembangannya, kegiatan mata-mata seperti ini telah melahirkan teknologi dan peralatan informasi yang begitu canggih. Dalam Perang Dunia (PD) II, misalnya, bahkan pernah dikenal tehnik Radio Direct Finding (RDF), teknik yang dipakai untuk melacak sinyal pemancar-pemancar "clandestine".
Dinas rahasia Jerman dan Swiss pernah juga pernah menggunakan perangkat teknologi RDF, memaksa pemancar-pemancar lain untuk menghilang dari udara dengan jalan memancarkan sinyal super kuat. Taktik yang dipakai armada Jerman adalah menyebarkan kapal-kapal selam kecil yang dikenal dengan u-boat ratusan mil menyeberangi samudra untuk mencari konvoi kapal perang musuh. Bila sebuah konvoi berhasil dideteksi u-boat, maka pesawat radio u-boat mengabarkannya dan tentu saja juga kepada u-boat lain yang berdekatan. Intelejen Naval sekutu mampu melakukan RDF terhadap pancaran dari u-boat yang memberi probabilita 50% bahwa u-boat tersebut berada dalam radius diameter 100 mil laut. Perangkat RDF yang dipasang pada kapal-kapal konvoi memastikan lebih baik hasil-hasil DF bahkan intelejen Naval dapat menginformasikan saat-saat u-boat tersebut muncul ke permukaan laut dan di sana sebuah pesawat tempur yang dilengkapi radar telah siap menantika kehadiran ‘sang musuh’.
Inti dari pekerjaan intelijen adalah memenangkan informasi. Dalam doktrin militer, informasi merupakan bagia integral dari komando dan kendali yang merupakan kunci setiap operasi. Dulu, konsep intelijen hanya sebatas tentang penginderaan di batas-batas wilayah, kegiatan lalulintas manusia, kapal laut dan udara, sistem deteksi dan peringatan dini atau radar surveilance untuk di darat, laut dan udara. Termasuk remote sensing dan sistem navigasi udara.
Di era 90-an, dengan kemajuan teknologi komputer melahirkan konsep Komando, Kendali, Komunikasi, Komputer dan Intelijen (K4I). Tetapi, belakangan ini, konsep baru yang diterapkan adalah; Komando, Kendali, Komunikasi, Komputer, Intelijen, dan Manajemen Pertempuran (command, control, communications, computers, intelligence and battle management) atau sering disebut (K4I/MP). Ini menunjukan, teknologi baru dalam penerapan teknik berperang juga menggunakan prinsip manajemen. Yakni manajemen pertempuran. Karenanya, di era modern, infrastructure telecommunication and computer network begitu amat berharga.
Semenjak perkembangan teknologi informasi menjadi sangat pesat, maka barang siapa menguasai informasi, menguasai dunia. Inilah yang mendorong negara adi daya untuk berlomba-lomba memasuki medan peperangan yang baru yaitu perang informasi terutama dengan memanfaatkan media masa dan jaringan informasi global. Karena itulah, wajar bila mantan presiden AS, Ronald Reagan pernah mengeluarkan gagasan ‘Perang Bintang’.
Kemajuan teknologi informasi menyebabkan terjadinya pergeseran konsep memenangkan perang. Janganlah heran bila kemudian Amerika Serikat (AS) tiba-tiba memiliki data foto satelit tiga dimensi tentang kondisi Propinsi Aceh Darussalam (NAD). Foto satelit, adalah diantara teknologi informasi modern yang dipakai dalam dunia intelijen.
Intelligence tapi tak pintar
Intelijen adalah ilmu penting yang dibutuhkan masyarakat semenjak dahulu. Sebagai kebutuhan masyarakat atau atas nama negara, pelaku intelijen tak hanya diharapkan mampu berbahasa Inggris, Mandarin, Jepang, Tagalog, Thai, dan Vietnam sebagai layaknya materi wajib yang diajarkan di Institut Intelijen Negara. Atau sekedar teknik-teknik pengintaian, fotografi rahasia, keamanan teknologi informatika, penggunaan senjata-senjata kecil dalam ‘Sarana Latihan Khusus’ seperti yang dikelola BIN, yang ada di Pejaten dan Cipayung Jakarta atau International School of Intelligence yang ada di Batam. Intelijen yang sejati –tak sekedar teknik-teknik dan berbagai keahlian—tetapi berangkat dari akhlaq yang baik.
Intelijen sebenarnya diambil dari kata intelligence yang berarti kecerdasan. Tapi dalam prakteknya mereka benar-benar tak mencerminkan pengertian itu. Intelijen mengalami cidera dan stigma yang benar-benar negatif karena fungsinya tidak benar-benar diterapkan sesuai namanya.
Sudah lazim, jika dalam perkembangannya, intelijen diterapkan dan dikembangkan melalui tipu muslihat dan strategi politik. Cara-cara seperti; penggalangan, rekrutmen, pembinaan, penugasan dan pembinasaan terus diterapkan layaknya sebuah mesin kekejaman para penguasa. Cara-cara seperti itu pernah dipakai BAKIN untuk merekayasa terhadap kader-kader Masyumi dengan merekayasa adanya kebangkitan “Neo NII”.
Dengan kebijakan politik kooptasi, konspirasi dan kolaborasi rekayasa intelejen --galang, rekrut, bina, tugaskan dan binasakan—diterapkan pada gerakan NII sejak tahun 70-an bahkan berlanjut hingga kini.
Melalui cara kooptasi, Ali Murtopo kemudian merekrut Danu Moh. Hasan (mantan panglima divisi gerakan DI-TII). Danu kemudian dikaryakan di lembaga formal Bakin di Jalan Raden Saleh 24 Jakarta Pusat.
Para infiltran dan kader intelejen militer juga menyusup ke dalam gerakan ummat Islam Indonesia yang berlangsung sejak Orde Baru di bawah Soeharto. Melalui Ali Moertopo, intelijen melakukan gerakan pembusukan dalam tubuh gerakan-gerakan Islam. Maka muncullah kasus “Komando Jihad” (Komji) di Jawa Timur pada tahun 1977. Tahun 1981 BAKIN juga sukses menyusupkan salah satu anggota kehormatan intelnya (berbasis Yon Armed) bernama Najamuddin, ke dalam gerakan Jama'ah Imran yang kemudian lahir kasus “Imran”. Juga kasus-kasus rekayasa kejam intel seperti kasus “Woyla”.
Dalam konsep pertahanan keamanan (nasional maupun internasional), tugas badan intelijen secara umum adalah memberikan dukungan penuh kepada negara atau pemerintah untuk mengumpulkan informasi mengenai strategi musuh. Lembaga ini kemudian bertugas memberikan laporan mengenai keamanan nasional dan internasional, masalah sosial, politik, ekonomi, dan militer domestik maupun pihak asing. Baik dengan menggunakan berbagai teknik atau strategi informasi yang canggih dan kreatif.
Namun sayangnya, pekerjaan-pekerjaan intelijen sering paralel dengan nafsu penguasa hanya sekedar mempertahankan kekuasaannya. Karenanya, yang berkembang kemudian justru para petugas intelijen sibuk mengawasi musuh politik penguasa bahkan sibuk memata-matai rakyatnya sendiri. Meski mereka dibayar negara dari hasil pajak yang dikumpulkan dari rakyat. Untuk kekuasaan dan politik, mereka bisa menciduk, bahkan harus rela mengilangkan nyawa orang.
Di zaman Nazi Jerman, pencidukan dilakukan oleh Gestapo tidak tedeng aling-aling. Pintu digedor, manusianya diangkut ke tempat tahanan diinterograsi, digebuk, disetrom dan dipaksa mengaku meski tidak pernah melakukan. Di zaman Stalin, NKVD/KGB melakukan teror pada malam hari. Jika malam hari pintu rumah diketok orang, dan jika sang tamu sudah memperlihatkan kartu merah (tanda pengenal KBG) tanpa debat, orang tersebut diapit aparat menuju mobil hitam dan membawanya ke tempat tahanan. Biasanya, mereka yang dibawa KGB dan tidak akan pernah pulang kembali. Di Chili, perempuan yang diciduk tidak hanya disiksa tapi malah dalam keadaan tangan-tangan dan kaki-kaki diikat dibiarkan disetubuhi oleh anjing herder yang khusus terlatih.
Di kamp eksukusi Siberia, agen intelijen bisa menjadikan orang dan tahanan didomisilikan di rumah sakit gila, untuk dijadikan orang gila.
Kasus “Jama’ah Islamiyah” (JI) yang mampu menyeret nama Ustad Abubakar Ba’asyir menggoreskan nama penting anggota BAKIN, Abdul Haris, Lc, yang menyusup ke dalam anggota Mejelis Mujahidin Indonesia (MMI).
Meski belum jelas bersalah apa tidak, cara kerja intelijen telah menyudutkan dan merugikan banyak kelompok orang dan berbagai organisasi. Cara-cara memperlakukan 'tersangka' tak pernah dipikirkan akibatnya. Apakah kelak nasib anak dan keluarganya atau sahabat-sahabatnya. Bahkan terkadang, hanya karena kenal dekat, orang bisa diciduk, dipenjarakan beberapa minggu, kalau perlu digebuki. Jika kemudian tak terbukti, terangksa dikembalikan dengan alasan, "tersangka hanya dikenakan beberapa pertanyaan". Polisi tak pernah menjelaskan pada pers mereka tak bersalah. Sedangkan, anak dan keluarganya di rumah telah 'dihukum' masyarakat dengan cap buruk 'teroris' sepanjang hidupnya.
Intel-intel masa kini, tak pernah banyak mengerti agama. Memburu orang-orang yang dianggap merugikan banyak orang akibat tindakan 'terorisme' adalah perbuatan baik. Tetapi melukai perasaan orang dan keluarganya karena salah sasaran 'terorisme' justru dosa besar.
Rekayasa, adu domba, dan pembusukan, adalah kenangan buruk --khususnya terhadap umat Islam-- terhadap cara kerja intelijen masa kini. Bahkan umumnya, dunia intelejen di zaman modern, dianggap sangat kejam, sadis, dan tak bermoral. Lebih kejam dari pelaku teror itu sendiri.
Ingat kasus Abu Jihad, seseorang yang telah mengabdikan diri kepada kepentingan intelejen Indonesia (BIN dan BAIS) justru bernasib tragis. Ia dieliminasi akhir Februari tahun 2003 di Ambon melalui sebuah eksekusi –yang kabarnya-- oleh sebuah operasi intelejen, oleh lembaga yang telah merekrutnya. Kejam bukan?
Intelijen yang Berakhlaq
Islam telah mengenal fungsi intelijen 1400 tahun, setelah Muhammad menjadi Rasul. Meski secara teknologi kalah dibanding zaman modern, dasar-dasar intelijen yang telah dikenalkan oleh Rasulullah Muhammad SAW jauh lebih berakhlaq.
Bulan Jumadil Akhir 1424, seorang sahabat bernama Abdullah bin Jahsy Asady, beserta dua belas sahabat dari kalangan muhajirin diperintahkan Rasulullah berangkat untuk menjalankan sebuah operasi intelejen rahasia. Ikut dalam rombongan itu Sa'ad bin Abi Waqqash dan 'Utbah bin Ghazwan. Rasulullah SAW memberinya sebuah surat yang boleh dibaca jika perjalanan mereka sudah mencapai dua hari.
Setelah dua hari dalam perjalanan, sang komandan, Abdullah bin Jahsy kemudian membuka isi surat tersebut. Isinya, tak lain adalah sebuah perintah untuk memata-matai musuh: "Berangkatlah menuju Nikhlah, antara Mekkah dan Tha'if. Intailah keadaan orang orang Quraisy di sana dan laporkan kepada kami keadaan mereka." Selepas membaca surat itu, Abdullah bin Jahsy dan para rombongan kemudian berujar, "Kutaati perintah ini!"
Kemudian diceritakanlah isi surat Rasulullah tersebut kepada para sahabatnya yang lain seraya berkata, "Rasul Allah telah melarang aku memaksa seorang pun dari kalian. Siapa yang ingin mati sebagai pahlawan syahid, marilah berjalan terus bersama aku, dan siapa yang tidak menyukai hal tersebut hendaklah dia pulang...!"
Muhammad adalah panglima perang sejati. Saat melalukan pembebasan negeri Mekah dari suku Quraisy, Nabi Muhammad –ketika itu berencana—akan mengerahkan 10.000 pasukan tentara Muslim. Untuk mempertahankan ‘serangan mendadak’ ini, Rasulullah kemudian melepaskan petugas intelijennya menuju Mekah yang ditugaskan mengacaukan informasi pada musuh agar mereka tidak mengerti bila pasukan Islam yang berencana melakukan serangan mendadak itu jumlahnya banyak.
Untuk kepentingan intelijen dan kerahasiaan militer, Nabi Muhammad bahkan menyimpa rapat-rapat informasi jumlah pasukan ini bahkan kepada istri tercinta Siti Aisyah atau pada sahabat kepercayaannya sendiri, Abu Bakar Ash Shidiq.
Esoknya, dalam penyerangan mendadak itu kau kafir Quraisy benar-benar kelabakan dan kedodoran. Mereka tak menyangka di pagi hari buta itu, telah datang puluhan ribu orang dari pasukan Islam di kota Mekah. Tanpa persiapan, mereka kemudian menyerah. Muhammad paham, orang Quraisy tak akan melakukan perlawanan. Sebab, di tangannya, Rasulullah telah menguasai informasi kekuatan musuh, situasi yang bakal terjadi, hingga informasi logistik, menyangkut keadaan jalan-jalan yang akan dilalui pasukan Islam dan kondisi mata air. Detil, rapi dan rahasia. Itulah strategi Muhammad dalam menjalankan perang dan intelijen.
Bedanya, Nabi Muhammad tak pernah mengajarkan kerja-kerja intelijen yang keluar dalam akhlaq Islam sebagaimana halnya gaya intelejen modern sekarang ini. Muhammad tak pernah memerintahkan pasukan pengintainya untuk melakukan fitnah terhadap musuh, menculik atau menghilangkan nyawa orang tanpa alasan syar’I. Jauh berbeda dengan intelijen Indonesia atau CIA seperti ratusan kasus-kasus rekayasa jahatnya terhadap umat Islam selama ini.
Misi Rahasia
Rasulullah juga pernah melakukan operasi intelijen dan misi rahasia ke pasukan musuh. Seorang sahabat Abdullah bin Unis dikirim Rasulullah menyusup masuk ke dalam pusat kekuatan musuh. Sasaran utama misi itu adalah Bani Lihyaan dari Kabilah Huzail yang dipimpin oleh panglima mereka, Khalid bin Sofyan El Hazaly.
Misi ini dilakukan karena umat Islam mendapatkan kabar bahwa Khalid bin Sofyan El Hazaly tengah berupaya mengadakan pemusatan kekuatan pasukan gabungan kaum kafir yang cukup besar di daerah Uranah untuk menyerang Islam. Karena itu, Rasulullah mengirim Abdullah bin Unis untuk melakukan misi pengintaian sekaligus penyelidikan untuk membenarkan kabar berita tersebut.
Abdullah kemudian berangkat dan melakukan menyamaran. Tak terduga, di tengah jalan, Abdullah bertemu Khalid yang ditemani beberapa wanita dan pasukannya. Khalid kemudian menyapa Abdullah, “Hai laki-laki, siapa gerangan Engkau?”
Jawab Abdullah, “Saya adalah laki-laki Arab juga. Saya mendengar bahwa engkau telah memusatkan kekuatan pasukan untuk menyerang Muhammad. Apakah benar demikian?” tanya Abdullah. Dan tanpa curiga, Khalid membenarkan rencananya itu.
Abdullah meminta diperbolehkan bergabung dan meminta dizinkan menemani Khalid. Tanpa curiga, Khalid mengizinkannya. Suatu kali, Abdullah mendapatkan Khalid sendirian dan terpisah dari pasukan utamanya. Abdullah tak menyia-nyiakan kesempatan emas itu, secepat kilat, Abdullah kemudian menyergap Khalid dan membunuh pemimpin kaum kafir itu dengan pedangnya. Peristiwa itu membuat kaum kafir gempar. Pasukan musyrikin geger dan urung menyerang umat Islam karena diketahui pemimpinnya telah tiada. Abdullah kemudian pulang ke Madinah setelah melakukan misi rahasianya.
Propaganda dan Tipuan
Dalam misi intelijen Rasulullah juga pernah melakukan propaganda untuk memperlemah kekuatan musuhnya. Dalam kisah, pernah suatu ketika kekuatan musuh gabungan porak-poranda dan bercerai-berai akibat tidak adanya kekompakan diantara mereka akibat propaganda yang dilancarkan Nu’aim bin Mas’ud Al-Ghathafany, mantan musuh yang kemudian bergabung ke pasukan Islam.
Nu’aim melakukan psyco war (perang urat syarat) dan propaganda yang membuat kekuatan musuh goyah dan bercerai-berai.
Rasulullah juga pernah melakukan tipuan yang kratif untuk mengecoh lawan dalam peperangan. Suatu kali, ketika Rasulullah berencana akan berperang dengan kaum Quraisy. Di sebuah tempat, di Marru Dzahraan, tempat Rasulullah dan pasukannya bermarkas, beliau memerintahkan seluruh pasukannya menyalakan obor.
Nyala obor 10.000 orang pasukan Islam itu kemudian bercahaya ke seluruh penjuru kota hingga kaum Quraisy melihatnya dari kejauhan. Melihat cahaya api pasukan Islam, Abu Sofyan berkata, “Belum pernah saya melihat malam seperti terbakar ini dan belum pernah pula saya melihat ada pasukan seperti ini!” Cerita itu kemudian cepat tersebar dari mulut ke mulut hingga sampai ke para pemimpin kaum Quraisy dan pasukan kafir.
Akibat taktik itu, Rasulullah berhasil mengecoh lawan dengan mengesankan pasukan muslimin luar biasa banyaknya hingga membuat nyali pasukan musuh menjadi ciut. Sebagaian kaum kafir bahkan berlarian memeluk Islam agar aman, sebagian lainnya tetap melawan meski sudah tak lagi memiliki keberanian akibat sudah kalah secara psikologis. Dan Rasulullah akhirnya mampu menguasai Mekah tanpa ada perlawanan yang berarti.
Nabi tak pernah melibatkan orang-orang yang tidak berasalah untuk dilibatkan dalam perang. Apalagi orang tua, wanita atau anak-anak. Ini berbeda dengan gaya kerja intel kita yang meniru intel CIA atau BIN yang bisa menjerat keluarga atau istri korban dengan UU Anti-Terorisme. Bahkan karena bernafsu memburu korban, intel-intel kita bisa melibatkan apa saja yang pernah dekat dengan si korban. Termasuk melibatkan teman dekat, kenalan hanya karena nama-nama kerabatnya ada di nomor HP “si korban”.
Staf intelijen Rasulullah umumnya adalah perwira-perwira yang amanah dan berakhlaq tinggi. Mereka adalah orang yang memiliki integritas tinggi, kuat dalam ibadah, amanah memegang kejujuran, taat kepada perintah Rasul dan tidak keluar dari Al-Qur’an dan Sunnah. Intel gaya Rasulullah jauh antara langit dan bumi dibanding intel gaya CIA bahkan BIN sekalipun.
Ketika Abdullah bin Jahsy mendapat perintah pengintaian langsung dari Rasulullah di kota Nikhlah, dekat Mekah dan Tha'if, komandan intel ini bahkan tak melakukan pemaksaan kepada anggota intel yang lain. "Rasul Allah telah melarang aku memaksa seorang pun dari kalian. Siapa yang ingin mati sebagai pahlawan syahid, marilah berjalan terus bersama aku, dan siapa yang tidak menyukai hal tersebut hendaklah dia pulang...!"
Santun itulah akhlaq sfat intel Rasulullah. Dan akhlaq dalam strategi perang dan intelijen Rasulullah itu sudah diajarkan hampir 14 abad lalu.
Berbeda dengan intel-intel kita meski kejadiannya sudah dikatakan abad modern. Intel-intel modern justru berusaha memojokkan orang, kelompok atau organisasi tertentu. Intel Rasulullah juga tidak akan melakukan rekayasa-rekayasa licik yang merugikan masa depan orang lain atau kelompok tertentu. Kecuali melalukan strategi dan taktik di medan perang. Bedanya, intel kita bisa memata-matai rakyatnya sendiri dan melalukan rekayasa-rekayasa tak terpuji --bahkan perintahnya justru dari negara lain-- seperti negara semacam Amerika Serikat (AS).
Belajar dari Pemimpin Besar
Dalam Kitab As-Sulthan Muhammad Al-Fatih disebutkan bahwa sebelum wafatnya pemimpin agung Islam, Sultan Muhammad (886 H/1481 M), yang berjuluk Al-Fatih (pembuka, penakluk), ia berwasiat kepada penggantinya:
''Wahai penggantiku, tak lama lagi aku akan menghadap Allah. Namun aku sama sekali tidak khawatir, karena aku meninggalkan pengganti seperti kamu. Jadilah engkau seorang pemimpin yang adil, saleh, dan penebar kasih sayang. Rentangkan perlindunganmu terhadap seluruh rakyat, tanpa membeda-bedakan. Giatlah untuk menyebarkan Islam, mengingat menyebarkan Islam adalah kewajiban raja-raja di bumi. Kedepankan kepetingan agama atas kepentingan apa pun selainnya.
Jangan pernah lemah dan lalai dalam menegakkan agama. Jangan pernah mengangkat orang-orang yang tidak mempedulikan agama sebagai pembantu-pembantumu. Juga, jangan pula mengangkat orang-orang yang bergelimang dosa dan maksiat sebagai menteri-menterimu. Hindari bid'ah-bid'ah yang merusak.
Pertahankan negeri melalui jalan jihad. Jagalah harta di Baitul Mal, jangan dihambur-hamburkan. Jangan sekali-kali mengambil harta rakyatmu kecuali sesuai dengan aturan Islam. Himpunlah orang-orang yang lemah dan fakir. Berikan penghormatanmu kepada orang-orang yang berhak.''
Lalu, di ujung usianya, pahlawan legendaris itu berpesan:
''Pelajaran ini dariku. Aku datang ke negeri ini laksana semut kecil. Tapi Allah karuniakan nikmat kepadaku yang sedemikian besar. Berjalanlah seperti yang aku lakukan. Janganlah kamu berfoya-foya dan menghambur-hamburkan uang negara, atau kamu pergunakan lebih dari sewajarnya. Sebab semua itu merupakan penyebab utama kehancuran.''
Siapa yang tak kenal Muhammad bin Murad II, sultan yang memegang tahta kerajaan Utsmani pada usia 20 tahun dan menumbangkan negara superpower Byzantium pada usia 25 tahun. Bersama penguasa-penguasa legendaris lainnya seperti Umar bin Abdul Aziz dan Harun Al-Rasyid, Al-Fatih menorehkan teladan dalam kepemimpinan dunia yang bisa menjadi panduan bagi generasi sesudahnya. Termasuk bagi generasi pemerintahan kita sekarang ini.
Pelajaran untuk Pemimpin
Berpijak pada wasiat Sultan Muhammad Al-Fatih di atas, maka seorang pemimpin atau penguasa seharusnya berusaha menjalankan sejumlah hal mulia berikut ini:
1. Saleh secara ritual dan sosial
Sejak kecil Al-Fatih hidup dalam bimbingan Islam yang kental. Digambarkan dalam sejarah, betapa dalam suasana perang sekalipun nuansa kedalaman pemahaman syariat Al-Fatih sangat menonjol.
Dalam penaklukan Konstantin misalnya, ia mengkondisikan pasukannya untuk mengisi malam-malam mereka dengan tahajud dan membaca Al-Quran. Sampai-sampai digambarkan, suara tilawah seluruh pasukannya seperti gemuruh jutaan lebah yang menggetarkan musuh-musuh Allah.
Sekalipun berasal dari keluarga raja, Al-Fatih juga terkenal sangat sederhana dan merakyat. Begitu merakyatnya, ia wafat setelah diracun oleh orang biasa-biasa saja.
2. Menegakkan Keadilan
Keadilan adalah misi universal yang karenanya Allah Subhanahu wa Ta'ala mengutus para Rasul untuk menegakkannya. Keadilan adalah milik semua kalangan. Ia tak boleh terhijabi oleh perbedaan ras, agama, status sosial, perasaan, dan apapun yang bisa menghalangi keadilan tegak di muka bumi.
Keadilan Islam telah sejak lama ditulis tinta emas sejarah peradaban manusia, baik ketika perang maupun dalam kondisi damai. Abu Bakar Ash-Shiddiq sebelum mengirim pasukan untuk berperang melawan pasukan Romawi, pesan yang disampaikan kepada pasukannya adalah, ''Jangan berkhianat. Jangan berlebih-lebihan. Jangan ingkar janji. Jangan mencincang mayat. Jangan membunuh anak kecil, orang tua renta, wanita. Jangan membakar pohon, menebang atau menyembelih kambing kecuali untuk dimakan. Jangan mengusik orang-orang Kristen yang sedang beribadah. Berangkatlah dengan bismillah.''
3. Melindungi dan mengayomi seluruh rakyat tanpa membeda-bedakan
Ketika seseorang terpilih menjadi pemimpin mulai dari level terendah hingga tertinggi, dalam Islam, ia tak lagi menjadi pemimpin bagi sebagian kalangan yang mencalonkan atau memilihnya. Tapi ia menjadi pemimpin bagi seluruh konstituen. Oleh karena itu, atribut-atribut partisan seperti ketua partai, ketua ormas, atau apapun bentuknya, harus ditanggalkan.
Inilah yang dilakukan Sultan Muhammad Al-Fatih yang sangat penuh perhatian kepada rakyatnya, baik dari kalangan Muslim atau non-Muslim. Dikisahkan, penduduk pulau Khabus yang masuk dalam wilayah Khilafah Utsmaniyah memiliki hutang seribu Duqa kepada Fransisco de Rapeyur, seorang hartawan non-Muslim di negeri Galata.
Saat Fransisco tak mampu menagih hutangnya, ia melaporkannya kepada Sultan. Atas dasar laporan ini, Al-Fatih mengirimkan pasukannya. Tapi mereka menolak membayar hutang dan malah melawan prajurit Sultan. Ketika itu Sultan berkata kepada Fransisco, ''Akulah yang akan menanggung semua hutang mereka terhadapmu. Dan aku juga akan menuntut tebusan berlipat terhadap mereka atas darah tentaraku yang meninggal.''
4. Giat menebar nilai-nilai Islam ke dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara
Sebagai seorang pemimpin, kewajibannya adalah seperti yang difirmankan Allah:
''Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; mereka adalah orang-orang yang dapat memberikan kebahagiaan.'' (QS Ali Imran: 104)
Seyogyanya, nilai-nilai Islam tersebut tidak hanya sekadar slogan atau seremonial semata, tapi benar-benar dibuktikan dalam kehidupan sehari-hari sang pemimpin, keluarga, staf-stafnya, dan juga dalam kebijakan yang menyentuh hajat hidup orang banyak. Tentu penyebaran nilai-nilai Islam ini harus dilakukan secara bertahap dan tepat sasaran. Artinya, tidak terburu-buru dan juga tidak hanya menonjolkan kulit saja.
Mungkin di antara konsep paling mudah dan tepat adalah prinsip yang dipopulerkan KH. Abdullah Gymnastiar: mulai dari diri sendiri, mulai dari hal kecil, dan mulai dari sekarang secara dawam.
5. Mengedepankan kepentingan dan pertimbangan moralitas
Kebijakan pihak berwenang saat ini sangat amburadul. Apapun akan digusur bila kepentingan ekonomi-bisnis yang berbicara. Judi menjadi legal, hanya dengan dalih menambah devisa untuk pembangunan. Prostitusi dilindungi demi memenuhi tuntutan para pelaku maksiat. Minuman keras terus dibiarkan berproduksi untuk menambah pajak.
Belum lagi berbicara korupsi, kolusi, pencurian uang rakyat dengan berbagai dalih. Moralitas inilah yang harus dikedepankan pihak-pihak yang berwenang, jika ia ingin sukses memimpin negeri.
6. Tidak menunjuk pejabat dari kalangan orang-orang yang tak taat agama dan bergelimang dosa
Uji kepatutan dan kelayakan yang sering kita dengar saat menyeleksi pejabat baru, seyogyanya menyentuh pula aspek ketaatan terhadap keyakinan dan agama serta track record-nya dalam berbuat dosa dan maksiat.
Maraknya kasus korupsi di puluhan DPRD dan lembaga-lembaga terhormat lainnya, mencerminkan lemahnya aspek uji kepatutan dan kelayakan yang hanya menyangkut aspek otak saja. Belum lagi ratusan kasus para pejabat yang tertangkap basah tengah pesta narkoba. Ditambah lagi para pejabat yang gemar ''jajan'' dan berselingkuh, yang ditenggarai sudah menjadi salah satu tren hidup para petinggi negeri ini.
7. Mempertahankan negeri dengan gelora jihad
Semangat jihad sudah hilang dan goyah oleh pragmatisme sesaat. Penyakit ini bukan hanya mengiris mental masyarakat umum, tapi juga menyayat elemen pertahanan. KSAD berkali-kali mensinyalir, lebih dari 60 ribu intelejen asing bergentayangan di negeri ini. Tapi kita saksikan, mereka yang berseragam justru sibuk berbisnis mengeksploitasi sumber daya alam dan melupakan tugas pokoknya. Kapolri juga sampai memprihatinkan kinerja jajaran kepolisian yang dipimpinnya.
8. Membelanjakan uang negara secara proporsional dan tidak merampas hak rakyat
Perilaku boros, manja, foya-foya, dan kehidupan jet set yang dipertontonkan para pejabat, birokrat, dan para pemimpin negeri ini sudah menjadi pemandangan umum. Mereka gelontorkan uang pajak untuk keperluan konsumtif yang sejatinya tidak perlu dilakukan. Hal ini nampak jelas dari mobil mewah yang digunakan, rumah megah yang ditinggali, hingga berbagai fasilitas yang rakyat kebanyakan mustahil mencicipinya. Ironisnya, semua kebobrokan ini dilakukan saat rakyat kecil diperas dan diperintahkan untuk mengeratkan ikat pinggang.
9. Lebih berpihak kepada orang-orang lemah dan rakyat jelata
Keberpihakan ini sangat dirindukan oleh mayoritas anak bangsa. Lima kali sudah Indonesia berganti penguasa, tapi kehidupan rakyat tak kunjung beranjak baik. Malah, rakyat semakin diperbudak, dinistakan, harga diri mereka diinjak-injak, harta mereka digusur, hak-hak mereka dirampas, hingga tak ada kenikmatan yang dapat dirasakan. Semua akibat kebijakan penguasa yang tidak berpihak kepada rakyat kecil.
Kita merindukan pemimpin yang tidak acuh lagi saat ratusan ribu TKI diusir, ratusan orang dianiyaya. Kita tak ingin pemimpin menangkapi para aktivis Islam, tapi malah membiarkan begitu saja para pencoleng, perampok, dan koruptor ulung negeri ini kabur ke luar negeri.
Bila semua problem ini dapat diselesaikan dengan baik, niscaya sang pemimpin akan dikenang bukan hanya dalam sejarah tapi ditulis tinta emas dalam hati seluruh rakyat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar