Khobbab bin Arutt radhiyallahu `anhu
Sahabat agung ini, dalam mempertahankan akidahnya mampu menahan beban di luar kekuatan manusia biasa. Membaca biografinya, bisa memberi gambaran jelas bagi seseorang akan prinsip hidup. Dia tidak akan menjual prinsip hidupnya walau dengan emas sepenuh bumi. Betapa banyak yang disiksa karena mema’lumatkan Islamnya, tapi Islam telah merubahnya menjadi insan lain. Insan yang memiliki sasaran dan tujuan hidup, dan bahkan menjadikan kehidupan itu sendiri sebagai sasaran dan tujuan, berdasarkan anggapanya bahwa kehidupan itu adalah tempat lewat kepada kehidupan yang tak kenal punah (akhirat, pent.).
HANZHALAH BIN ABI AMIR r.a
Malam telah menyelimuti kota Madinah Al Munawwarah, bintang -bintang yang bertaburan membawa kedamaian dan ketenangan serta mimpi indah, yang jelas malam itu sebenarnya malam biasa, tapi tidak sama sekali bagi Hanzhalah bin Abi Amir ra . Hari itu hari dimana mimpinya terwujud, hari yang lama datangnya hari yang lama ditunggunya hari itu Hanzhalah naik ke pelaminan.
Rajut Persaudaraan, Raih Kemenangan
Dua laki-laki itu baru saja dipersaudarakan. Sebelumnya, mereka tidak pernah kenal satu sama lain. Anehnya, sekalipun demikian, rasa cinta, persaudaraan yang mereka miliki, bak cinta sepasang kekasih yang telah lama tak bersua.
Demi kebahagiaan si-sahabat, salah satu dari mereka yang memang tergolong kolomerat, menawarkan separuh hartanya untuk diambil secara cuma-cuma. Tidak hanya itu, yang cukup mencengangkan, dia juga siap ’menghadiahkan’ salah satu istrinya untuk dijadikan pasangan hidup, sekiranya si-sahabat menghendaki. Bertepatan dia memang memiliki dua istri.
Dia berujar, ”Sesungguhnya aku adalah orang yang paling banyak hartanya di kalangan Anshor. Ambillah separoh hartaku itu menjadi dua. Aku juga mempunyai dua istri. Maka lihatlah mana yang engkau pilih, agar aku bisa menceraikannya. Jika masa iddahnya sudah habis, maka nikahilah ia.”
Pernyataan yang sangat luar biasa, yang tidak mungkin terucap, kecuali dari orang yang memiliki kecintaan tinggi terhadap sahabatnya. Lalu, siapakah gerangan dua sahabat yang saling mencintai satu sama lain itu?
Tidak lain mereka adalah Sa’ad bin Arabi’ (dari Anshor) dan Abdurrahman bin ‘Auf (dari Muhajirun), yang baru saja dipersaudarakan oleh Rosulullah Sholallahu ’Alaihi Wasallama (SAW), tidak lama setelah kaum muslimin Mekkah, menapakkan kaki di Madinah.
Memang, setibanya di kota yang awalnya bernama Yatsrib tersebut, ada dua hal yang sangat menumenal yang langsung dilakukan oleh Rosulullah. Yaitu; membangun masjid (Nabawi), dan mempersaudarakan antara kaum muslimin, dari kalangan Muhajirun (Mereka yang berhijrah dari Mekkah ke Madinah), dengan golongan Anshor (Kaum muslimin yang berdomisili di Madinah). Tujuannya, agar kaum muslimin saling membantu antara satu sama lain. Dan supaya kaum muslimin menyingkirkan belenggu jahiliyah dan fanatisme kekabilahan, yang notabene lebih memilih mementingkan kepentingan pribadi/kelompok, dari pada kemaslahatan ummat pada umumnya.
Hasilnya, potret persaudaraan yang dijalin oleh Sa’ad bin Arabi’ dan Abdurrahman bin ’Auf ini, adalah cerminan dari persaudaraan kaum Muslimin saat itu, yang berjumlah ± sembilan puluh orang. Di kemudian hari, jalinan persaudaraan yang kuat menghujam di sanubari ini pula lah, yang menjadi cikal-bakal bangkitnya kaum muslimin hingga menguasai Jazirah Arab dan sekitarnya.
Islam dan Persaudaraan
Dalam satu riwayat, Rosulullah pernah meanalogikan kaum Muslim dengan kaum Muslimin lainnya, bagai sebuah bangunan, yang mana antara satu komponen dengan komponen yang lain saling menguatkan.
Sabda beliau, ”Al-Mukminu lilmukminin kalbunyaan yasyuddu ba’duhum ba’dhan.” (Mukmin yang satu dengan mukmin yang lainnya bagai satu bangunan yang saling menguatkan antara satu dengan yang lainnya).
Layaknya satu bangunan, tidak akan pernah sempurna, bila saja antara material yang ada; batu, bata, pasir, daun pintu, jendela, genteng, dll, ’berjalan’ sendiri-sendiri, dan tidak pernah ’ridho’ untuk menyatukan diri, menempati posisinya masing-masing, guna menjadi sebuah bangunan yang kuat, kokoh, elok, lagi memberikan kenyamanan bagi setiap orang yang berteduh di dalamnya.
Beliau juga mengibaratkan kaum muslimin dengan kaum muslimin lainnya bagai satu badan. Tatkala ada salah satu unsur badan tersebut merasakan ketidaknyamanan –misal- sakit perut, maka seluruh anggota tubuh, akan ikut terkena getahnya. Demikianlah sejatinya, gambaran persaudaraan antar kaum Muslimin.
Dalam kontek membangun peradaban Islam, persaudaraan menempati posisi yang sangat sentral dalam menyukseskan misi tersebut. Sepanjang sejarah, telah terbentang catatan, betapa persaudaraan yang kokoh antara kaum muslimin, telah menghasilkan kemenangan-kemenangan gemilang dalam pertempuran. Begitu pula sebaliknya, kekalahan demi kekalahan acap kali hinggap di pihak kaum muslimin, manakala tali persaudaraan antar mereka mengalami ’kelonggaran’. Dampaknya, mereka mudah dicerai-beraikan, diadudomba, dan kemudian dihancurkan oleh musuh-musuh Islam.
Kekalahan kaum muslimin pra kepemimpinan Sholahuddin Al-Ayyubi, dan kemenangan ketika kepemimpimnan berada di pundaknya, dalam perang Salib, adalah satu bukti betapa persaudaraan dan perceraiberaian umat ini, telah menjadi ’urat nadi’, yang menentukan kemenangan atau kekalahan kaum muslimin dalam menghadapi bangsa-bangsa lain.
Bukan Nasab atau Materi
Yang perlu dicamkan, bahwa pondasi yang mendasari persaudaraan kaum Muslimin, yang mampu melahirkan energi yang maha dahsyat, yang menjadi penompang tegaknya peradaban Islam, itu bukanlah nasab, harta, atau kekuasaan.
Persaudaraan yang bahan ’material’ pondasinya terdiri dari tiga unsur ini, merupakan pondasi yang sangat rapuh. Tidak usah jauh-jauh mengambil contoh akan hal itu. Saat ini, betapa sering kita dapatkan berita dari media massa, karena harta, seorang anak tega menuntut orang tuanya di pengadilan. Bahkan, kalau perlu menghabisi nyawa salah satu dari mereka, atau keduanya sekaligus.
Karena kepentingan kekuasaan, para politikus saling menjatuhkan. Padahal, sebelumnya, mereka sangat akrab. Ini sebuah fakta yang tak terbantahkan, betapa nasab, harta, dan kekuasaan bukanlah pondasi yang tepat dalam membingkai persaudaraan hakiki itu. Kalau demikian, lalu apa?
Iman lah jawabannya. Ketika iman benar-benar menjadi unsur penyatu, maka, tidak ada satu pun yang mampu merobohkannya. Kenapa kaum Anshor, salah satunya Sa’ad bin ’Arabi dengan sukarela menawari kaum muhajirin bantuan yang begitu spektakuler, padahal mereka baru saja dipertemukan antar satu sama lain? Kekuatan apakah yang mampu menggerakkan hati mereka untuk melakukan demikian? Adakah unsur lain, selain iman?
Tentu tidak ada. Iman lah yang telah memotivasi kaum muslimin untuk berani berkorban dengan harta, bahkan jiwa mereka sendiri, demi kemuliaan saudaranya. Dan sejatinya, pondasi macam inilah yang ditawarkan Allah bagi kaum muslimin dalam membangun persaudaraan satu sama lain.
Allah berfirman dalam al-Quran: “Dan Berpeganglah kamu semua kepada tali (Agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadikan kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara......” (Al-Imron: 103)
Membinasakan Persaudaraan
Untuk menjaga tali persaudaraan, yang juga patut kita waspadai adalah penyakit yang bisa merapuhkan tali persaudaraan kaum Muslimin itu sendiri.
Saban hari, Rosulullah pernah menerangkan ke pada para sahabat, bahwa akan tiba suatu masa, di mana keadaan kaum Muslimin bak buih di lautan. Mereka mayoritas, tapi tidak memiliki otoritas. Jumlah mereka melimpah-ruah, tapi tidak memiliki wibawah. Penyebabnya, karena kebanyakan dari mereka, telah terjakit penyakit ’wahn’.
Ketika para sahabat meminta penjelasan prihal penyakit tersebut, beliaupun menjawab,”Hubbud Dunyaa Wa Karihatul Mauti.” (cinta dunia dan takut akan mati).
Tatkala kaum Muslimin, telah terjakit ’virus’ ini, maka yang timbul adalah karakter individualis mereka. Tidak ada lagi yang namanya persaudaraan yang murni. Semua syarat kepentingan, keuntungan diri sendiri, keluarga, atau kelompok masing-masing.
Sebab itu, jangan pernah alpa untuk senantiasa bermunajat kepada-Nya, agar kita terhindar dari penyakit yang akan membinasakan keeksistensian kaum muslimin ini. Dan berharap, semoga tali persaudaraan kaum muslimin –yang saat ini bisa dikatakan cukup renggang- kembali erat lagi, diikat dengan hablullah’ (tali –agama- Allah), bukan hablun yang lainnya, sehingga kejayaan Islam, kembali bisa direngguh, sebagaimana dahulu kala. Amin-amin, yaa rabbal ’aalamin.
Selalu Bersyukur, Obat Hilangkan Stres
HARGA terus melonjak naik, sementara lapangan pekerjaan makin susah. “Jangankan mencari yang halal, mencari yang haram saja susah, “ demikian rakyat kecil sering mengeluh.
Sementara di saat yang sama, sebagian orang menumpuk-numpuk harta dengan cara mengambil hak orang lain. Seperti banyak yang terjadi saat ini, sebagian orang mendapatkan harta dari hasil “memeras” orang lain. Mereka harus menipu atau melakukan korupsi dan berbagai cara-cara yang tidak halal.
Padahal semestinya uang tersebut diperuntukan bagi kemaslahatan orang banyak, namun karena banyak tangan-tangan jahil, harta yang seharusnya merata secara adil dinikmati oleh seluruh masyarakat, hanya dinikmati/dimiliki oleh sebagian kecil orang. Mereka mengira, selagi muda dan punya jabatan, kesempatan mengumpulkan harta agak menjadi modal baginya meraih ketenangan hidup dan kebahagiaan.
Hati yang redup
Antara harta dan ketenangan hati, sesungguhnya dua hal yang berbeda, yang tak ada hubungannya. Sebab, banyak orang berlimpah tapi dia tak mampu merasakan kebahagiaan dan ketenangan. Ia mampu menyewa hotel dan membeli tempat tidur yang mewah, namun tak bisa membeli rasa nyenyak.
Sementara di saat yang sama, banyak orang bisa bahagia dan tenang meskipun dengan harta yang minim. Di jalan, banyak kita saksikan tukang becak bisa mendengkur menikmati tidurnya, meski badannya tak cukup untuk duduk di kendaraan sederhana itu.
Sifat qana’ah inilah yang mampu menjadi salah satu potensi positif setiap manusia. Sikap qana'ah banyak didefinisikan sebagai sikap merasa cukup dan ridha atas karunia dan rezeki yang diberikan Allah SWT pada setiap manusia. Qana\'ah sering menjadi energi kehidupan dan membangkitkan semangat. Hal itu tidak lain dapat dijalani dengan cara menikmati hidup walaupun dengan segala kesederhanaan.
Orang yang selalu bersyukur tak akan dibuat pusing oleh kompleksnya warna-warni kenikmatan dunia di sekitar. Selalu menerima jatah pemberian Allah SAW. Sebab dia yakin bahwa, tiap manusia memiliki jatah rizki masing-masing yang dibagi secara adil oleh Allah SWT.
Sebagaimana dalam al-Quran, ”Dan tidak ada makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan dijamin oleh Allah rizkinya.” (QS. Hud: 8).
Sebaliknya, manusia yang tak pernah puas dengan materi yang diperoleh adalah manusia yang rentran terhadap stres, hatinya redup bahkan mati – walaupun hartanya melimpah. Hati yang mati dan gundah cenderung tidak mudah menerima kenyataan, sehingga apa yang didapat tidak pernah memuaskan.
Maka, jika kita ingin mengubah diri menjadi orang yang selalu bahagia, ceria dan tersenyum di berbagai kondisi, kini saatnya untuk mengubah cara pandang. Cara pandang positif, yaitu selalu bersyukur dengan karunianya dan hidup sederhana. Cara pandang lama, selalu tidak puas dengan rizki cepat-cepat dibuang saat inijuga.
Rasulullah SAW bersabda:“Jadilah kamu seorang yang wara’, nanti kamu akan menjadi sebaik-baik hamba Allah, jadilah kamu seorang qanaah, nanti kamu akan menjadi orang yang paling bersyukur kepada Allah, sedikitkanlah ketawa kerana banyak ketawa itu mematikan hati.” (HR. al-Baihaqi).
Orang yang qana’ah adalah orang yang tidak meletakkan kenikmatan dunianya di hati, ia senantiasa bersyukur apa yang sudah menjadi jatahnya.
Sedang, orang yang tidak bersyukur selalu dibuat pusing oleh kenikmatan yang diperoleh orang lain. Jika tetangganya bisa membeli satu mobil, dia terkungkung oleh ambisi untuk melebihinya, mampu membeli dua mobil. Jika belum bisa, ia dikejar perasaan tidak puas, makan pun tak enak, tidur juga tidak tenang. Sebabambisinya belum tercapai.
Itulah pentingnya kita simak sabda Rasulullah SAW berikut ini:“Lihatlah orang yang lebih bawah daripada kamu, jangan melihat orang yang tinggi daripada kamu, karena dengan demikian kamu tidak akan lupa segala nikmat Allah kepadamu.” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Di kesempatan lain Nabi bersabda: "Jika salah seorang di antara kalian melihat orang yang memiliki kelebihan harta dan bentuk (rupa), maka lihatlah kepada orang yang berada di bawahnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Bisa jadi apa yang kita miliki dengan segala keterbatasan, tidak dimiliki orang lain. Sehingga walaupun yang kita miliki terbatas, jelek dan tak bermakna akan menjadi lebih bernilai jika kita melihat orang lain yang masih ada di bawah kita. Di saat itulah, kita bisa bersyukur masih bisa memiliki sesuatu yang sedikit, sedangkan banyak orang lain yang tidak memilikinya. Makanya, dalam soal materi, janganlah melihat kepada orang yang di atas (yang memiliki banyak harta) akan tetapi lihatlah orang yang masih di bawah kita.
Oleh sebab itulah, qana'ah dan syukur adalah salah satu tanda berkualitasnya iman seseorang. Sedang hasud dan dengki adalah ciri nafsu yang terbelenggu syetan. “Hakikat syukur adalah mengakui nikmat yang diberikan Allah diikuti perasaan tunduk pada-Nya” kata Syeikh Abdul Qadir al-Jailani. Syukur tidak hanya diucap lisan. Syukur hakiki ada ada perasaan dalam hati, bahwa ia puas dengan apa yang telah diberi Allah.
Apabila hati tunduk, maka akan diikuti oleh organ-organ tubuh lainnya untuk tunduk pada-Nya. Inilah yang disebut ta’at. Seorang manuisa tidak disebut patuh kecuali ia buktikan dengan ta’at pada semua perintah-Nya. Berarti, aktifitas syukur itu biasanya adalah melibatkan hati dan organ tubuh.
Dalam Kitab al-Ghunyah Syeikh al-Jilani membagi syukur menjadi tiga; “Syukur dengan lisan, yaitu mengakui adanya nikmat Allah dan merasa tenang. Syukur dengan badan dan anggota badan, yaitu dengan cara melaksanakan dan pengabdian kepada-Nya. Serta Syukur dengan hati, yaitu ketenangan diri atas keputusan Allah dengan senaniasa menjaga hak Allah yang wajib dikerjakan.
Cara Bersyukur
Tentang bagaimana cara bersyukur, kitab al-Ghunyah memberi arahan; Pertama, syukur dengan lisan, yakni dengan cara mengakui bahwa nikmat itu berasal dari Allah dan tidak menyandarkannya kepada makhluk atau kepada diri kita sendiri, daya, kekuatan atau usaha kita. Tidak pula disandarkan kepada orang lain yang melakukan dengan tangan mereka karena kamu dan mereka hanyalah sebagai perantara, alat dan sarana terhadapnya, sedangan penentu, pelaksana, pengada dan penyebabnya hanyalah Allah. Allah lah yang menentukan dan menjalankan sehingga Dia lebih berhak untuk disykuri dari selain-Nya.
Kedua, syukur dengan hati. Yaitu keyakinan yang abadi, kuat, dan kokoh. bahwa semua nikmat, manfaat, dan kelezatan, baik lahir maupun batin, gerakan maupun dia kita, adalah berasal dari Allah bukan dari selain-Nya. Dan syukurnya isan merupakan ungkapan dari apa yang ada di dalam hati.
Ketiga, syukur dengan perbuatan. Bersyukur dengan anggota badan adalah dengan cara menggerakkan dan menggunakannya untuk ketaatan kepada Allah, bukan untuk selainnya. Tidak memenuhi seruan orang yang mengajak untuk menentang Allah. Hal ini juga mencakup jiwa, hawa nafsu, keinginan, cita-cita dan makhluk-makhluk lainnya. Menjadikan ketaatan kepada Allah sebagai dasar yang diikuti dan pemimpin, sedangkan selainnya dijadikan hamba, pengikut dan makmum. Allah SWT berfirman: ”Dan terhadap nikmat Tuhanmu, hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur).” (QS Al-Dhuha: 11).
Bersyukur sesungguhnya juga menjaminkan rizki. Semua jenis syukur tersebut tidak lain adalah taqwa kepada-Nya. Taqwa sebagaiman pernah difirmankan-Nya mendatangkan rizki. “Barangsiapa yang beramal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dan dia (dalam keadaan) beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik (di dunia). dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan (di akhirat kelak).” (Q.S al-Nahl:97).
Bila kita mau lakukan langkah-langkah itu, jiwa tak akan terbelenggu oleh ambisi duniawi, tidak terpenjara oleh nafsu dan hati pun lapang. Tidak stres dan gundah. Bahkan bisa merubah seseorang menjadi yang pemurah, walau tak berkantong tebal. Tidaklah kekayaan itu dengan banyak harta, tetapi sesungguhnya kekayaan itu ialah kekayaan jiwa.” (HR. Bukhari-Muslim).
Mari kita rayakan bahagia ini bukan karena materi, tapi dengan senantiasa bersyukur atas kenikmatan yang dikaruniakan-Nya pada kita semua
Lebih Cerdas dengan Berkata Jujur
Menurut seorang psikolog orang yang sering berkata tidak jujur (bohong), lambat laun menjadi kebiasaan yang sulit dihambat. Bila tidak berbohong terasa ada keberatan dalam jiwanya. Maka terbiasalah ia berdusta. Seolah jika tidak berdusta mulutnya terasa gatal.
Pertama kali seseorang berbuat dusta atau berbohong, biasanya ia akan merasa menyesal. Akan tetapi, ketika perbuatan bohong atau dusta itu sering dilakukan beberapa kali, ia akan merasa biasa saja, bahkan mulai pudar rasa penyesalannya.
Kebiasaaan ini akan merugikan pribadi dan agamanya. Misalnya, dalam pergaulan ia bisa dijauhi orang lain. Bagi agama, perbuatan itu berimplikasi pada kadar keimanan.
Seorang ulama bernama Syeikh Abu Sa’id al-Qarsyi pernah mengatakan, “Orang jujur itu adalah orang yang mempersiapkan diri untuk menghadapi kematian. Sehinga ia tidak pernah malu mengakui kelemahan dirinya.”
Sikap jujur akan mengisi energi ke dalam pikiran intelektualitas sekaligus spiritualtias. Sifat ini mampu memberi energi positif untuk pengembangan keilmuan dan intelektualitas. Lebih-lebih, bagi seorang ilmuan. Jujur, menjadi faktor kemajuan intelektualitasnya.
Peneliti sejati bukanlah yang selalu menjiplak karya orang atau mengutip secara tidak jujur. Kebiasaan buruk ini justru menurunkan derajat intelektualitasnya. Menjadi peneliti yang baik, mesti mengakui kelemahannya, jika tidak, dia tidak menghasilkan karya yang baik.
Pengakuan akan kelemahan inilah yang kadang kala tidak ringan dilakukan. Sebagaiman anasihat Syeikh al-Qarsyi, “seharusnya seorang ilmuan tidak malu jika kelemahannya diketahui.” Sebab, dengan terbukanya kelemahan, berarti akan ada kesempatan untuk memperbaikinya.
Sebaliknya jika dia tidak jujur mengakui kelemahan, namun tetap kukuh menutupi ke-jahilan-nya, maka pintu untuk mengembangkan diri menjadi pintar tertutup. Tak ada kesempatan untuk tingkatkan derajat keilmuannya karena merasa sudah intelek. Jadilah ia seperti katak dalam tempurung. Ketidak jujuran menghasilkan keangkuhan. Keangkuhan berakibat satisnya tingkat keilmuannya.
Jujur dan kematian
Implikasi sikap jujur memiliki dua dimensi. Pertama, Meningkatkan kinerja seseorang dalam pekerjaannya. Kejujuran itu merupakan inti emotional quotient (kecerdasan emosional). Para peneliti menemukan bahwa kecerdasan emosional adalah faktor paling utama menentukan kesuksesan bekerja. Ini adalah sikap cerdas pada dimensi dunia.
Kedua, cerdas pada dimensi akhirat. Di sini, sikap jujur adalah buah dari keimanan yang sempurna. Karena sempurna imannya, maka ia tidak menyia-nyiakan perilakunya. Ia memprioritaskan perilakuknya kepada yang hal yang bermanfaat. Ia sadar bahwa berbohong tidak menguntungkan dalam berkawan, lebih-lebih akan merugikan nasib di akhirat.
Makanya, ia tidak sembarangan menjalani setiap detik nafas hidupnya, tidak main-main dengan gerak-gerik perilaku dan ucapannya.
Dalam sebuah hadis dijelaskan, “Orang yang cerdas ialah orang yang mengendalikan dirinya dan bekerja untuk kehidupan setelah kematian.” (HR Tirmidzi). Inilah arti kecerdasan yang sesungguhnya.
Hal ini menguatkan pendapat Syeikh ‘Abdul Qadir al-Jilaniy, bahwa akhlak terpuji selalu tergantung dengan konsep keimannannya, sebagaimana ditegaskan oleh Imama al-Wasithy, bahwa jujur itu sebenarnya adalah kebersihan tauhid.
Sehingga dengan mengikuti nasihat Imam Abu Sa’id al-Qarsyi di atas, maka seorang muslim yang shiddiq (jujur) selalu ingat kematian, setiap aktifitasnya selalu dipertimbangkan, apakah membawa manfaat untuk bekal setelah nyawa ini dicabut atau tidak. Inilah yang disebut manusia cerdas.
Ketidakmampuan dan kelemahan diri juga mesti diakui. Pengakuan ini akan menjadi pemacu semangat berbenah diri.
Ketidakjujuran dalam mengakui kelemahan atau kekurangan sering terjadi pada banyak orang. Maka sering pula sebagian orang melontarkan kata-kata sombongnya, “Saya sudah baik, tabungan pahala lumayan, tak perlu dinasihati dan tak butuh nasehat Anda.”
Sebaliknya, seorang yang jujur mengakui kelemahan yang ada dalam dirinya, selalu merasa masih banyak dosa, memerlukan bimbingan, banyak belajar dan akan terus berpacu menyempurnakan segala kelemahannya.
Inilah yang bernama riyadlah. Berat memang. Kecuali bagi orang yang jujur dan tawadlu’. Sedangkan orang yang angkuh, berat untuk mengakui kelemahan diri, dan berusaha menutupinya agar disebut manusia sempurna. Orang jenis ini ini menipu dirinya. Ia Ingkar pada hati nurani.
Makanya, untuk mencapai kesempurnaan, hati perlu mengakui akan kesalahan. Pengakuan ini bisa kita mulai dengan mengkalkulasi dosa setiap harinya. Sediakan waktu sejenak untuk bermuhasabah. Berapa kali kita lakukan dosa hari ini? Kemudian bandingkan, seberapa banyak syukur kita pada Allah SAW?
Jika kita masih tetap saja kukuh membohongi diri, maka perlu dicatat, mulut tak akan bisa berbohong di alam kubur kelak. Segalanya akan berlaku sebagaimana adanya kondisi seseorang. Lebiha baik jujur di dunia dengan menerima hinaan manusia, daripada kita tutupi diri untuk mengesankan sebagai orang ‘hebat’ di dunia, akan tetapi di akhirat disiksa.
Walau sepintar apa kita di dunia, bila kita inkar pada-Nya, mulut kita yang dulu pintar tidak bisa berbuat apa-apa menghadapi pertanyaan malaikat Munkar Nakir, kecuali sebagaimana adanya. Kita tak mungkin bermanipulasi pada waktu itu. Semua jasad kita akan menjadi saksi kebohongan-kebohongan. Jadi berbohong menjadi energy negatif yang akan menghancurkan kehidupan kita. Na’udzu billah mindzaalik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar