Powered By Blogger

Rabu, 26 Januari 2011

obat hati

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh24qFsl3k6dUfm0sAuPhfenrxHnGQDMXomGZXuwgG5R98NZCcNz_1zFkleJMiySxd0Mtt2EQttV9Q09GlyqjdrBshKSjqsS38BCVu96x9VIgZ1tVBFksHsNw_aBXLNKPPVSRZoaEQLCNh8/s1600/snaefellsnes-peninsula-iceland_30724_990x742.jpg

jangan tergesa gesa dalam beribadah




Suatu hari, saat Rasulullah SAW shalat, beliau mendengar suara gaduh di belakang. Seusai shalat Rasulullah SAW bertanya kepada para sahabat, apa gerangan yang telah terjadi, sehingga terdengar suara gaduh pada saat shalat? Para sahabat menjawab: “Kami tergesa-gesa mendatangi shalat”. Rasulullah SAW kemudian bersabda: ” Jika kalian mendatangi shalat hendaklah kalian (berjalan dengan) tenang. Ikutilah raka’at yang dapat kalian ikuti dan sempurnakanlah raka’at yang tertinggal.” (HR Bukhari Muslim).

Tergesa-gesa adalah kondisi psikogis seseorang yang secara emosional ingin cepat-cepat melakukan sesuatu, kosong dari pertimbangan fikiran. Karena tanpa pertimbangan terlebih dahulu, maka aktivitas yang dilakukannya juga tidak produktif.

Apa yang terjadi dengan beberapa sahabat Rasulullah SAW seperti dalam kisah di atas juga menggambarkan, bahwa bila shalat dilakukan dengan tidak tenang dan terburu-buru akan merefleksikan shalat yang tidak khusyu’. Shalat tidak khusyu’ tentunya bukanlah shalat yang produktif, karena tidak menghasilkan pahala, kecuali hanya capek semata.

Yang dimaksud tergesa-gesa dalam hadis tersebut di atas adalah tergesa-gesa mendatangi shalat, bukan bersegera mendirikan shalat. Bersegera mendatangi shalat justru dianjurkan karena shalat yang utama adalah “al-shalat ‘alaa waqtiha” (shalat pada (awal) waktunya). Yang dimaksud bersegera mendirikan shalat adalah, ketika mendengar adzan, segala aktivitas ditinggalkan dan tanpa menunda-nunda segera mendatangi masjid. Berbeda dengan tergesa-gesa seperti tersebut dalam hadis tersebut di atas, tergesa-gesa di sini maksudnya, ketika mendatangi tempat shalat, ia berjalan terburu-buru dengan kondisi emosionalnya bergolak. Maka yang shahih adalah, ketika mendengar adzan segeralah tinggalkan aktivitas, ambil air wudlu berjalanlah ke tempat shalat dengan tenang jangan berlari-lari, menata hati karena akan bertemu dangan Allah.

Larangan tergesa-gesa ini merupakan aturan Islam yang mengandung nilai-nilai luar biasa. Orang tergesa-gesa biasanya tidak bisa mengontrol emosi dan pikirannya. Bahkan terkadang pikiran itu kosong dan emosinya dibiarkan mengeplong. Jika pikiran dan hati kosong, maka itu akan menjadi tempat kesukaan syaitan. Sehingga benarlah sabda Rasulullah SAW:

Terburu-buru untuk Lima Hal

الأناة من الله والعجلة من الشيطان

“Ketenangan itu dari Allah dan tergesa-gesa itu dari syaitan” (HR. Turmudzi dalam Sunan Turmudzi Bab Maa Jaa fii al-Ta’anni wa al-’Ajalah hadis no. 1935 juga terdapat dalam al-Muntaqa syarh Muwattha’ Malik).

Imam al-Manawiy dalam Syarh al-Jami’ al-Shaghir menjelaskan, bahwa tergesa-gesa dilarang karena hal itu akan mendatangkan was-was. Ketergesa-gesahan menghalangi keteguhan dan pemikiran matang. Al-Manawiy menambahkan bahwa tergesa-gesa itu sebenarnya adalah trik syaitan untuk menggoda manusia agar menjadi orang yang ragu dan kosong pikirannya. Imam Hasan al-Bashri mengatakan: ”Setiap shalat yang hatinya tidak hudlur maka shalat itu lebih cepat mengundang siksa”. Ketergesa-gesahan inilah yang menyebabkan hati tidak bisa hudlur. Amru bin ‘Ash mengatakan tergesa-gesa yang dilarang adalah terburu-beru pada sesuatu selain keta’atan tanpa ada rasa khouf pada Allah.

Agar shalat bisa khusyuk dan khudlu’, al-Sayyid Abu Bakar al-Makki memberi tips, jika Anda hendak shalat, maka jangan lupa bahwa Allah melihat kepada hatimau, mengamati kamu dan sesungguhnya Dia hadir untuk menyaksikan kamu.

Imam Abdullah al-Haddad menambahkan, jika engkau tidak bisa khusyu’ maka buatlah suasana dirimu dalam shalat, seolah-olah engkau shalat pada saat itu untuk terakhir kalinya, di belakangmu sudah menuggu malaikat maut yang akan menjemputmu menuju kehadirat-Nya.

Suasana diri dan hati inilah yang barangkali dimiliki para sahabat, sehingga mereka ketika shalat begitu tenangnya berdiri sehingga kepalanya dihinggapi burung, dianggapnya sebuah tiang karena begitu tenangnya.

Sayyidina Ali r.a lebih luar biasa, pernah suatu kali, kaki beliau terkena panah ketika perang. Ali menyuruh para sahabat mencabut panahnya saat dia shalat, agar kata, Sayyidina Ali, tidak merasa sakit. Begitu nikmatnya para salaf shalih kita berdekatan dan berkomunikasi dengan Allah sehingga anak panah yang dicabut dari tubuhnya pun tak terasa. Inilah hikmah jika kita tidak terburu-buru melakukan ibadah.

Di antara hikmahnya juga adalah membentuk karakter mukmin yang bijaksana. Hadis-hadis dan petuah para salah shalih kita di atas secara lebih luas dapat dipahami sebagai pendidikan karakter untuk menjadi insan yang bijaksana (wisdom). Orang yang tidak bijaksana biasanya gagal mempertimbangkan hal-hal terselubung ini dan abai mempertimbangkan pro-kontra sebelum membuat keputusan atau mewujudkan suatu gagasan. Keteledoran sering mendatangkan akibat yang tidak diharapkan dan tak terduga.

Dengan memegangi prinsip Amru bin ‘Ash seperti di atas, kita bisa menyimpulkan berarti ada ketergesa yang positif. Tentunya tergesa-gesa yang positif ini bukan berarti tanpa pikiran matang dan terkesan emosional. Jika ada embel-embel positif berarti makna itu sebenarnya sama dengan bersegera.

Sebagaimana sabda Rasulullah SAW tergesa-gesa itu sifat tercela kecuali pada lima tempat. “Tergesa-gesa itu berasal dari syaitan, kecuali pada lima tempat, karena sesungguhnya tergesa-gesa dalam hal itu termasuk sunnah Rasulullah SAW. yaitu: Memberi makan kepada tamu, jika menginap. Mengurus jenazah orang yang sudah meninggal. Mengawinkan anak perempuan jika sudah baligh. Membayar hutang jika telah jatuh tempo pembayarannya. Dan bertaubat dari dosa jika terlanjur mengerjakannya.” Ketergesa-gesahan dalam lima perkara ini sebenarnya bukanlah ketergesa-gesahan, akan tetapi pensegerahan untuk cepat dilakukan dengan pemikiran yang jernih dan matang terlebih dahulu.

Kesimpulan yang bisa diambil adalah, bahwa dalam melakukan sesuatu aktifitas apaun kegitan itu, seorang muslim harus memiliki pertimbangan matang agar tidak menyesal di belakang. Sifat sabar, dalam hal ini berperang penting mengontrol emosi yang tergesa-gesa.

Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya dalam dirimu terdapat dua sifat yang dicintai oleh Allah, yaitu sabar dan tidak tergesa-gesa.” (HR. Bukhari). Orang sabar dicintai Allah, orang yang tenang akan disayang Allah! Hiasilah jiwa denang sabar, tutupi jasadmu dengan takwa. Insya Allah kamu akan dekat dengan Nabi Muhammad sehingga dengan mudah menggapai cinta dan Ridla Allah Ta’ala. Wallahu a’lam bisshowab.






terapi menyembuhkan sikap takabbur

Gerak-gerik hati, perlu dikelola dengan baik dengan menggunakan ilmu. Sebab ilmulah yang bisa mengidentifikasi mana yang baik dan buruk dalam hati.

Seseorang yang kehilangan ilmu, bisa dipastikan terjebak dalam ‘penyakit’ yang berujung kepada kesesatan. Sebab, setan akan mudah memasuki hati yang tak terisi ilmu. Salah satu ‘penyakit’ mengantar pada kesesatan itu adalah penyakit bagga diri (ujub) dan sombong (kibr).

Biasanya, seseorang yang terjangkiti sifat takabur (sombong), sulit menerima kebenaran. Dikiranya, hati sudah aman dari berbagai godaan. Padahal setan tidak berpuas, jika seseorang melaksanakan ibadah. Setan berusaha, bagaimana caranya ibadah itu menjadi sia-sia bahkan menjadi ‘bumerang’ bagi pelakunya.

Ujub dan kibr, adalah dua sifat iblis yang saling berkorelasi. Seseorang yang sombong, pada mulanya berawal dari bangga diri. Yaitu merasa dirinya suci, dan bersih dari segala kekurangan, dan memandang orang lain dengan pandangan rendah.

Sombong dan bangga diri disebut sifat iblis, karena iblislah makhluk Allah yang pertama kali melakukan sifat tercela ini. Iblis awalnya makhluk Allah yang taat menghamba pada-Nya dalam waktu yang cukup lama. Namun, Allah akhirnya melaknat dan mengusir dari syurga dan menyumpahinya menjadi penghuni neraka akibat kesombongannya. Ia sombong, merasa lebih mulya dari Adam as.

Demikian pula dengan mutakabbir (0rang yang sombong). Kebanyakan orang yang dengan ilmu tidak akan mengalami kemajuan berarti, karena sudah merasa mencapai puncak paling tinggi (top of the top). Ilmu yang hakikatnya masih pada level dasar, tapi dirasa sudah mencapai tingkat doktor. Akibatnya, nasihat orang disekitarnya tak dihiraukan. Ia pun jatuh pada kesesatan yang nyata. “Mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (QS.Al-Kahfi: 104).

Rasulullah mendifinisikan kibr dengan bathorul haq wa ghomtu an-Nas (menolak kebenaran dan meremehkan orang lain) (HR. Muslim).

Kebenaran --apapun bentuknya dan siapapun yang menyampaikan-- wajib diterima dengan lapang hati. Kelapangan hati ini perlu ditanamkan dalam-dalam pada diri pemimpin, da'i atau thalibul 'ilm. Sebab, ujub dan takabur ini biasanya menghinggapi mereka, walau sekecil apapun.

Seseorang yang baru saja mempelajari ilmu, perlu memahami isi hati kecilnya. Suatu saat kadang terbesit dalam hati bahwa ia sudah 'alim, pandai berdalil dan sedikit-sedikit menantang debat. Ibarat orang yang baru mempelajari beberapa jurus bela diri, biasanya ia menantang siapa saja untuk beradu fisik.

Belajar ilmu agama juga demikian, pada fase-fase awal, sering kali kita terjatuh pada kekeliruan. Hal ini adalah wajar. Akan tetapi, ia akan tetap pada kesalahan jika nasehat orang saat ia melakukan kesalahan tidak didengar.

Setan, tidak akan diam melihat seseorang yang sedang belajar agama. Ia tida rela ilmu dan imannya setiap waktu meningkat. Salah satu caranya, membisikkan bahwa si pelajar itu telah menjadi 'alim, tidak perlu belajar banyak lagi, dan tidak butuh nasehat orang lain.

Setan memang selalu menggiring manusia kepada hal-hal yang berbau instan, membisikkan mimpi-mimpi indah. Menjadi orang 'alim dalam waktu yang singkat, meraih gelar ustadz atau kyai dengan mudah dan cepat. Tidak perlu belajar dari ayunan sampai liang lahat (uthlubul 'ilma minal mahdi ila al-lahdi), sebagaimana pesan Rasulullah. Tapi seolah-olah hanya mengikuti traning singkat atau ikut audisi dai lalu dengat cepat orang memanggilnya ustadz. Jadilah ia ulama karbitan.

Akibat dari cara-cara yang instan ini, ia tidak sempat mempelajari ilmu dan bakal menjadikannya penyakit hati.

Sebenarnya tidak akan ada masalah bila, sang da'i tadi terus belajar di tengah kesibukannya berdakwah. Yang menjadi problem adalah, bila sudah merasa menjadi juru dakwah ia enggan menyempurnakan ilmu, dan merasa sudah top.

Imam al-Ghazali menyatakan, “orang bodoh adalah orang yang merasa dirinya paling pintar.”

Bagaimana bila ada orang yang ilmunya bertambah, tapi takaburnya menjadi-jadi? Salah satu sebanya menurut Imam al-Ghazali karena ia mendalami ilmu agama dalam keadaan hatinya kotor. Rajin mengaji tapi maksiat jalan terus.

Atau, niat awalnya sudah salah. Menuntut ilmu dengan niat mencari pengaruh, jabatan dan harta atau menjadi ustadz biar kaya. Dan fenomena ini agaknya sudah menjadi tren saat ini.

Membasmi Ujub

Lantas bagaimana menyembuhkan penyakit ujub dan takabur ini? Kesombongan dan ujub, biasanya disebabkan oleh faktor nasab, ketampanan, kekayaan dan ilmu.

Untuk soal nasab (keturunan), seorang Muslim harus sadar bahwa semulya apapun nasab ayah atau kakek, semuanya berasal dari cairan yang hina dan dari tempat yang rendah yaitu tanah.

Sombong karena ilmu merupakan satu bentuk kesombongan yang paling dahsyat daya rusaknya – yang rumit untuk menyembuhkannya. Banyak kasus seorang 'alim jatuh pada kesesatan karena faktor ini. Model kesombongan seperti ini butuh usaha dan niat yang sungguh-sungguh. Maka orang yang berilmu mesti harus mengetahui dua hal; pertama, kesadaran bahwa tanggung jawab 'alim di hadapan Allah lebih berat.

Seorang 'alim yang durhaka dengan ilmunya lebih buruk daripada orang bodoh yang maksiat. Seorang kiai dan orang bodoh yang sama-sama berzina, siksanya lebih pedih seorang kiai.

Kedua, bahwa sifat sombong itu hanya milik Allah. Makhluk lainnya tidak berhak bertakabur. Bila seseorang itu bertakabur, maka sesungghuhnya ia telah merampas hak Allah. Bagaimana Allah tidak murka dengan orang seperti ini?

Secara umum, Imam al-Ghazali memberi beberapa petunjuk sebagai berikut; Yaitu, adanya sinergi atau kombinasi antara ilmu dan amal.

Seorang muslim hendaknya menyadari hakikat diri dan hakikat Allah (ma'rifatullah). Hakikat manusia adalah makhluk hina. Ia dilahirkan dari sesuatu yang hina (QS. Al-Insan: 1-2). Saat lahir, ia sama sekali tidak memiliki apa-apa dan lemah. Semua kepandaian, kecerdasan dan keluasan ilmu semuanya dari Allah.

Sedangkan Allah SWT adalah dzat yang serba sempurna. Dialah yang berhak sombong.

Adapun penyembuhan dengan amal dapat dilakukan dengan melatih diri menjadi orang tawadhu', setinggi apapun ilmunya.

Rasulullah SAW telah memberi teladan yang luar biasa dalam hal ini. Beliau adalah manusia yang paling mulia. Tapi, Rasulullah SAW adalah tipe pemimpin yang merakyat. Ia tak segan bergumul dengan orang-orang miskin.

Dalam satu riwayat beliau sampai-sampai pernah makan di atas tanah tanpa alas bersama sahabat. Seorang ulama' salaf pernah melatih diri dengan makan dan ngobrol bersama para penjual di emperan pasar. Padahal ia sangat terpandang di mata umat. Hal ini dilakukannya semata-mata demi menyingkirkan sifat kibr yang hinggap di hatinya.Melatih hidup sederhana inilah yang kadang sulit dilakukan pemimpin.

Membiasakan diri dengan sesuatu yang dipandang rendah ini akan melunturkan sifat sombong dan bangga diri dalam hatinya.

Semuanya tergantung pada kesedian diri, adakah kerelaan dari para pemimpin, dan juru dakwah untuk bersahaja, terbuka menerima kebenaran, merakyat, dan dekat dengan umat. Sebaliknya orang yang menutup diri, tidak jujur dan egois biasanya mudah diombang-ambingkan oleh kesesatan, dan mudah tergoda oleh harta, jabatan dan prestasi




Agar kita lebih ridlo menerima ujian

BANYAK di antara kita yang merasakan sebuah kehidupan yang tak nyaman. Ada yang merasa mirip hidup di sebuah rimba. Sebab, banyak kalangan yang lebih fasih jika berbicara dengan bahasa kekerasan. Banyak pihak yang lebih terampil berbahasa ‘kompetisi tanpa nurani’ di bidang ekonomi. Banyak pula yang lebih lihai ‘menghalalkan segala cara’ ketika berpolitik. Sementara, di level dunia, banyak negara yang lebih suka menggunakan moncong senjata sebagai ‘alat komunikasi’. Pendek kata, kita kerap merasa terasing justru di tengah keramaian, sehingga banyak yang lalu stres.

Islam memberi solusi. Sejarah hidup Ibrahim AS dan Muhammad SAW membuktikan, bahwa syariat Allah sempurna mengatasi masalah. Ibrahim tegar meniti hidup. Dia ‘berseberangan’ agama dengan sang ayah. Dia berlawanan dengan Namrudz, sang raja yang zalim. Sementara, di keluarganya sendiri, tak kalah rumit problemanya. Ismail –sang putra yang lama ditunggu kehadirannya-, harus dia kurbankan. Kita lihat, Ibrahim tidak stres.

Perhatikanlah, sejarah hidup Muhammad SAW. Dia mampu membawa kaum yang musyrik, yang berekonomi ribawi, dan bergelimang kekerasan itu, keluar dari zaman gelap menuju peradaban yang mulia.

Adakah petunjuk, agar kita dapat meng-Ibrahim? Adakah pedoman, supaya kita bisa me-Muhammad? Maka, marilah kita buka Al-Qur’an. Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa (QS Al-Baqarah [2]: 2).

Sunnatullah, dan Terukur!

Siapa pun, akan diuji oleh Allah. Tujuannya, agar tersaring secara ‘alami’, siapa yang beriman sejati dan siapa yang ‘seolah-olah beriman’. “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar, dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta” (QS Al-Ankabut [29]: 2-3).

Dalam konteks ujian, maka janganlah sekali-kali berburuk sangka kepada Allah. Pasti, Allah tak akan pernah menzalimi hamba-Nya. Dan, sekaitan dengan itu, pahamilah kemungkinan perbedaan perspektif kita dengan Allah dalam memandang satu persoalan. Boleh jadi, kita menganggap sesuatu itu baik untuk kita, padahal sebenarnya tak baik di depan Allah. Atau, sebaliknya. “Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui” (QS Al-Baqarah [2]: 216).

Sekali lagi, selalulah berbaik-sangka terhadap Allah. Terlebih lagi, ketika Allah menguji kita, bobot ujian itu telah dikalkulasi Allah secara cermat, bahwa dosis ujian itu tak akan melampaui kemampuan yang dimiliki tiap-tiap orang. Bobot ujian itu sudah terukur, disesuaikan kemampuan seseorang. “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya” (QS Al-Baqarah [2]: 286).
Oleh karena itu, jika kita ridha dengan (semua bentuk) ujian Allah, maka dalam posisi apapun kita akan tetap ‘hidup secara proporsional’. Dalam ber-Islam, kita menjadi pribadi yang berimbang. Jika sedang mendapat ujian berupa kenikmatan, kita bersyukur. Dan, jika sedang diuji dengan musibah (sesuatu yang tidak kita inginkan), kita bersabar. Janganlah kita tergolong sebagai orang yang disindir Allah, berikut ini: “Dan apabila Kami berikan kesenangan kepada manusia niscaya berpalinglah dia dan membelakang dengan sikap yang sombong; dan apabila dia ditimpa kesusahan niscaya dia berputus-asa” (QS Al-Israa’ [17]: 83).
Jika hidup kita sudah proporsional, berimbang antara bersyukur dan bersabar, maka tak patut kita berpenampilan sebagaimana orang yang tak punya pengharapan. “Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman” (QS Ali-‘Imran [3]: 139).

Jika atas izin Allah, kita bisa hidup berimbang dalam hal ‘memainkan’ bandul syukur-sabar itu, maka tetap pertahankanlah sikap terpuji itu. Pertama, jangan sampai kita menjadi manusia yang tak pandai berterima-kasih ketika mendapat nikmat. Kedua, janganlah menjadi manusia yang mudah putus asa jika sedang mendapat musibah.

Kembali Kepada Allah

Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolong kita dalam menghadapi serbaneka persoalan hidup sehari-hari. “Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu, serta tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung “(QS Ali-‘Imran [3]: 200).

Dengan menjadikan sabar dan shalat sebagai katalisator pemecah problema hidup, maka –pada saat yang sama- itu sesungguhnya sebuah dekalarasi terbuka kepada semua penduduk bumi, bahwa kita bersaksi: “Hasbunallah wa ni’mal wakil” (Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung) (QS Ali ‘Imran [3]: 173). "Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakkal dan Dia adalah Tuhan yang memiliki 'Arsy yang agung" (QS At-Taubah [9]: 129). Dia adalah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong (QS Al-Anfaal [8]: 40).

Intinya, jika kita sedang menghadapi ujian (sebenarnya, ujian itu berlangsung sepanjang usia masing-masing orang), kembalikanlah semua urusan kepada Allah. “Dan, sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun" (sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nya-lah kami kembali)” (QS Al-Baqarah [2]: 155-156).






Agar lebih peka,munculkan "keresahan"

Rasulullah Muhammad, sebelum bi’tsah (diangkat menjadi Nabi) hatinya selalu resah ketika melihat tingkah laku umatnya. Pasalnya, penduduk di jazirah Arab, daerah Muhammad dilahirkan, ketika itu berperadaban jahiliyah. Baik dalam segi keimanan (tauhid) maupun moral. Tuhan mereka adalah berhala. Mereka menyembah latta, uzza dan manat. Patung yang mereka bikin dengan tangan mereka sendiri.

Perangai mereka juga sangat buruk. Perjudian, pelacuran, perampokan, perkelahian, minum-minuman dan pembunuhan menjadi bagian dari hidup mereka. Ibarat hukum rimba: siapa yang kuat, dia yang menang. Antar kabilah pun sering berperang. Betul-betul tidak manusiawi. Itulah kenapa masa itu disebut jahiyah.

Fenomena itulah yang membuat Muhammad resah. Hatinya gundah gulana, risau, tidak tenang, tidur tak nyenyak makan pun tak enak. Bagaimana mungkin patung yang dibuat sendiri dijadikan tuhan? Bagaimana mungkin, manusia yang memiliki fitrah ilahiyah berprilaku laksana hewan, bahkan lebih rendah dari itu? Sederet pertanyaan itulah yang muncul dan selalu mengisi ruang pikiranya. Umat, umat dan umat.

Lantas, Muhammad pun berikhtila (menyendiri) di Gua Hira. Di tempat yang jauh dari hiruk-pikuk kejahiliyahan masyarakat kafir Quraisy itu, Muhammad merenung dan bertafakur; Apa solusi dari ini semua? Setidaknya itu substansi yang Muhammad pikirkan. Perenungan itu berbuah fitrah ilahiyah yang semakin mengkristal dalam dadanya. Muhammad yakin, di balik semua ini, ada kuasa Tuhan, penguasa yang mengatur alam jagad raya.

Apa yang dipikirkan Muhammad didengar Allah. Muhammad yang memang telah ditetapkan akan jadi Nabi terakhir akhir jaman, ketika itu didaulat menjadi nabi dengan ditandai turunya surat al-‘Alaq. Surat pertama yang diberikan Allah melalui malaikat Jibril.

“Iqra’ Ya Muhammad,” (bacalah ya Muhammad), perintah Jibril sambil mendekap tubuhnya. Muhammad pun ketika itu hanya bisa menjawab “Ma ana biqaari” (saya tak bisa membaca) sambil badanya gemetaran.

Kembali ke jaman sekarang. Di akhir jaman ini, apa yang terjadi pada masa jahilyah, setidaknya sedikit demi sedikit terulang kembali. Fenomena “kejahiliyahan” abad modern sangat jelas terlihat di ruang publik dan di berbagai sudut belahan dunia. Dari kejahiliyahan tingkat yang paling rendah hingga ke tingkat yang paling tinggi.

Hal ini akan terus bergulir hingga kiamat menjelang. Masalahnya, Nabi setelah Nabi Muhammad tak akan ada lagi. Karena itu, yang seharusnya melakukan perubahan adalah umat Islam sendiri. Sebab, jika tidak, kepada siapa berharap?

Karena itu, kajahiliyahan abad modern ini seharusnya menjadi “keresahan” yang mendalam bagi seluruh manusia yang menyatakan dirinya sebagai Muslim dan Mukmin. Keresahan yang sama seperti Nabi Muhammad ketika melihat kejahiliyahan pada saat kafir Quraisy.

Tolok ukur keresahan telah jelas dalam nilai yang terkandung dalam dua kitab pusaka umat Islam, al-Qur’an dan sunnah. Dua kitab warisan Nabi Muhammad ini dijamin menyelamatkan manusia dari berbagai masalah dan menunjukkan jalan yang lurus dan benar. Dan, keresahan itu seharusnya muncul pada diri setiap mukmin jika melihat realitas kehidupan yang telah menyimpang dari nilai di dalam dua kitab tersebut. Ibaratnya, realitas yang tidak sesuai dengan idealitas Islam.

Dalam konteks globalisasi seperti saat ini, realitas tersebut sangatlah banyak dan kompleks. Baik dari aspek sisi sosial, ekonomi, politik, budaya hingga pendidikan. Banyak praktek di berbagai aspek tersebut yang sudah keluar dari kerangka Islam. Kebodohan akidah; paganisme modern, sinkretisme, dinamisme, kerusakan moral; korupsi, perzinahan, pembunahan, homoseksual, sistem ekonomi; kapitalisme, sosialisme, dan kehidupan sosial; materialisme dan hedonisme, kemiskinan dan lain sebagainya.

Bagaimana tidak resah, hal-hal yang dilarang agama di jaman ini malah didukung media massa. Kebanci-bancian diumbar di TV, bintang maksiat porno malah didatangkan produser film. Tak tanggung-tanggung, mereka berani melawan ulama dan mengimpor langsung dari luar negeri.

Seks bebas remaja, kelainan seksual seperti homo, lesbi dianggap biasa, bahkan difilmkan. Seolah umat yang umumnya sehat ruhani ini butuh itu semua.

Sudah bukan certa baru, anak membunuh ibu, ayah memperkosa anak, kakek menyetubuhi cucu seolah cerita harian yang tak pernah habis. TV kita dijejali acara berbau hedonisme, pacaran, kemaksiatan, kebencian, pamer kekayaan atau balas-dendam. Itu dan itu selalu.

Sayangnya, banyak umat Islam yang hanya jadi penonton. Realitas tersebut dibiarkan menjadi etalase yang dipajang di mana-mana, tanpa melakukan perubahan. Hatinya tak tersayat. Imanya tak ternodai. Padahal, seharusnya umat Islam harus peka dan bertanggung jawab terhadap lingkungannya. Karena umat Islam tidak boleh individual. Selama ini, yang ada, umat Islam cenderung suka dalam kondisi aman (comfort zone), tidak mau keluar dan melakukan pembelaan dan perubahan lebih massif.

Seharusnya, sebagai orang beriman, melihat realitas seperti itu, hatinya akan selalu resah, gundah gulana, makan tak enak dan tidurnya pun tak nyenyak. Bukan justru mencari aman dan asik dalam individualitas. Sebab, dikatakan muslim jika bisa menyelamatkan saudaranya, membagi kebahagiaan dan menunjukkan jalan yang benar. Betapa banyak umat Islam dan orang lain yang sedang membutuhkan.

“Ber-gua Hira”

Tidak malukah kita kepada kaum Anshar? Mereka begitu gembira dan suka cita menyambut kaum muhajirin yang berhijrah ke Yastrib (Madinah). Kepada saudaranya yang baru datang jauh-jauh dari Mekkah, mereka membagikan apa yang mereka miliki; rumah, ladang, makanan bahkan istri. Mereka menganggap sesama muslim adalah satu tubuh. Jika ada yang butuh, yang sakit, saling melengkapi.

Sekarang, banyak umat Islam yang punya rumah mewah lebih dari satu dan harta berlimpah tapi tidak peka kepada saudaranya. Ia bergelimang kemewahan dan harta benda, sementara saudara-saudaranya sendiri harus mengais sisa sampah untuk bisa makan sehari. Mereka bisa bersenang-senang padahal Kristenisasi merajalela di mana-mana. Mereka punya rumah besar dan mewah, tapi mungkin, hati mereka tertutup bagi saudaranya. Tertutup oleh kejahiliyahan modern. Karena itu, tak heran jika berbagai persoalan keummatan tak merasa menjadi bagian tanggungjawab.

Ada baiknya, untuk mengasah kepekaan kita terhadap realitas yang ada perlu mencontoh Nabi Muhammad. Sesekali, marilah beruzlah, menafakuri hakikat hidup ini. Munculkanlah keresahan dalam diri Anda agar bisa menimbulkan semangat untuk berubah umat jeuh lebih luas






Carilah informasi sehat,jauhi informasi sesat

Ada pepatah lama mengatakan, “Bumi Tak Selebar Daun Kelor,” Tapi itu masa lalu. Hidup di jaman ini, duni ibarat “dilipat”. Semua pergulatan dunia dan seisinya, bisa kita pantai dari kamar, bahkan tanpa sepengetahuan orang. Inilah, yang namanya era informasi.

Hanya saja masalah, dengan kehidupan serbah wah, berbagai macam informasi ibarat racun. Di lihat nampak baik, padahal jika dirasakan bisa membunuh hati sanubari kita secara pelan-pelan.

Lihat saja tayangan TV. Siang goyang music, sore berita adu jotos, malam debat, esok hari berita gosip. Tiap hari yang disuguhkan pada kita adalah berita kriminal, lempar kursi, bakar-bakar ban di jalan, atau berita korupsi, korupsi atau korupsi. Itu itu saja. Sedikit tayangan yang mampu memotivasi hidup kita.

Padahal, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kaum Muslimin untuk meneliti lebih cermat berita yang dibawa orang fasik demi kewaspadaan terhadapnya, sehingga kelak tidak salah langkah dalam mengambil suatu keputusan. Membenarkan berita yang disebarluaskan oleh orang fasik, apalagi menetapkan suatu keputusan berdasarkan perkataannya, berarti telah mengikuti si fasik. Padahal Allah melarang mengikuti jalan orang-orang yang berbuat kerusakan. Berangkat dari sini pula, para ulama melarang menerima periwayatan (sumber-sumber) dari orang yang tidak diketahui sejarahnya, karena bisa jadi mungkin orang tersebut fasik.

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (Al-Hujuraat: 6)

Ayat di atas kerap dijadikan hujjah (argumentasi) oleh para juru dakwah sekaligus menjadi sarana peringatan bagi kaum Muslimin agar berhati-hati dalam menerima sebuah informasi. Sebab, informasi tak ubahnya dengan makanan, tidak semua informasi itu menyehatkan.

Informasi Menyehatkan

Informasi yang menyehatkan adalah informasi yang mengantar manusia kepada jalan ketaatan kepada-Nya. Dan tidaklah hal itu terwujud melainkan bila alat komunikasi massanya (media cetak atau elektronik) dibangun di atas landasan manhaj al-Qur`an dan Al-Hadits. Di luar itu hanya fatamorgana dan angan-angan.

Terkait dengan hal di atas, Allah berfirman tentang pentingnya para penulis dan wartawan Muslim berpegangan kepada titah wahyu antara lain sebagai berikut:

“Sesungguhnya Allah mamasukkan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih ke dalam surga-surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai. Di surga itu mereka diberi perhiasan dengan gelang-gelang dari emas dan mutiara, serta pakaian mereka adalah sutra. Dan mereka diberi petunjuk kepada ucapan-ucapan yang baik dan ditunjuki (pula) kepada jalan (Allah) yang terpuji.” (Al-Hajj: 23-24)

“Dan apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu yang diciptakan Allah, dan kemungkinan telah dekatnya kebinasaan mereka? Maka kepada berita manakah lagi mereka akan beriman sesudah Al-Qur`an itu?” (Al-A’raaf: 185)

“Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.” (Al-Hadiid: 25)

Dan seterusnya.

Berangkat dari kutipan firman-firman Allah di atas, dengan jelas kita dapat menangkap bahwa visi dan missi media yang sehat adalah mengajak dan mengantar umat manusia pada jalan kebenaran dan keselamatan di bawah petunjuk hukum Tuhan. Mengapa? Karena informasi yang berdasarkan konsep Islam yang benar berorientasi kepada kepentingan alam dan kehidupan, bukan semata kepentingan uang dan hawa nafsu.

Dalam konteks di atas, manusia mempunyai perhatian yang sangat besar terhadap berita, fakta, dan peristiwa. Di lain pihak, mereka memberikan komentar dari sudut pandang Islam dengan tujuan untuk membentuk opini umum yang islami, sesuai dengan syariat. Semuanya itu tentu dikemas dengan kalimat yang tertata rapi, santun, sistematis, tegas, cerdas, serta jauh dari ungkapan-ungkapan buruk dan kotor.

Dalam tesisnya yang berjudul “Darul-I’lam Al-Islami fil-I’dad Lil-Quwwah” seorang pemerhati komunikasi Islam, DR Abdul Majid Al-Abdu menyatakan:

“Dari segi peranan, karakter informasi dalam Islam berbeda dengan yang lainnya, karena tidak hanya berorientasi kepada individu tetapi juga berusaha meluruskan tatanan dan aturan sosial dan menuntunnya ke jalan yang lurus. Buah yang dapat dipetik adalah adanya ikatan antara individu dan masyarakat bertambah erat dan dapat memanifestasikan kepuasan dan kekuatan iman.”

Sarana informasi dalam Islam, masih menurut Abdul Majid, tidak sekadar untuk kepentingan intelektual, seni, bisnis, iklan, atau memberi rangsangan pertumbuhan ekonomi. Tetapi lebih dari itu sebagai jalan membentuk masyarakat yang masih membutuhkan penjelasan makna-makna kebenaran yang kurang jelas, sehingga tidak takut terhadap celaan serta memberikan obat bagi hati yang masih senang berhura-hura yang hanya mementingkan aspek jasadiah, tanpa mempedulikan hekikat hidup sesungguhnya.

Informasi Menyesatkan

Jauh-jauh hari, Allah telah menginformasikan kepada kita secara gamblang bahwa sebelum lahirnya alat-alat komunikasi massa, baik cetak maupun elektronik, akan ada yang dinamakan (lahirnya) kekuatan informasi yang menyesatkan.

“Apakah kamu tidak melihat orang-orang yang telah diberi bagian dari Al-Kitab (Taurat)? Mereka membeli (memilih) kesesatan (dengan petunjuk) dan mereka bermaksud supaya kamu tersesat (menyimpang) dari jalan (yang benar).” (An-Nisaa’: 44)

“Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah penentang yang paling keras. Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di muka bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanaman, dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan. Dan apabila dikatakan kepadanya, ‘Bertakwalah kepada Allah!” bangkitlah kesombongannya yang menyebabkannya berbuat dosa. Maka cukuplah (baginya) neraka jahanam. Dan sungguh neraka jahanam itu tempat tinggal yang seburuk-buruknya.” (Al-Hajj: 204-206)

Oleh karena itu, Allah memperingatkan untuk senantiasa mawas diri alias waspada, tidak serta merta percaya terhadap semua informasi yang diterima. Itulah sikap yang bijak.

Tidak sedikit manusia yang salah jalan dan tersesat, akibat mendapatkan informasi yang keliru. Sebab, jalan-jalan (media) yang menyesatkan berbentang begitu banyak dan menarik perhatian.

Khatimah

Karena informasi berdampak pada aspek psikis maupun fisik, semestinya hanya informasi yang tsiqqah (layak dipercaya) saja yang kita terima. Bukalah mata dan telinga, nikmati informasi apapun sesuka Anda, tetapi ketika yang datang sampah dan racun, Anda tahu sendiri jawabannya. Mulailah mencari sumber berita dan media yang membawa hati Anda menuju keimanan dan jaukanlah media dan informasi yang hanya membawa keburukan dan merusak ketenangan hidup Anda





Orang beriman sayangi hewan

Saat itu, seorang laki-laki dari kalangan Bani Israil tengah berjalan di bawah terik matahari dengan rasa rasa haus yang amat sangat. Ketika ia melihat ada sebuah sumur, maka ia segera menghampiri dan mengambil airnya untuk diminum. Namun, saat laki-laki itu hendak meninggalkan tempat itu, ia melihat seekor anjing yang sedang kehausan, menjilat-jilat pasir. Dalam hatinya, laki-laki ini mengatakan,”Anjing ini menderita kehausan sebagaimana aku baru saja merasakannya.” Akhirnya, ia kembali turun ke sumur dan memenuhi khuf (sepatu kulit) milikinya dengan air, untuk diberikan kepada hewan malang itu.
Rasulullah Shallallahu Alahi Wasallam setalah membawakan kisah ini bersabda,”Maka Allah memberi pujian untuknya dan mengampuninya.”

Setelah mendengar kisah tersebut, para sahabat bertanya,”Wahai Rasulullah, apakah benar-benar kami memperoleh pahala karena binatang?” Rasulullah pun menjawab,”Di setiap hati yang lembab ada shadaqah.”

Shadaqah untuk Hewan

Hati lembab, adalah perumpamaan terhadap makhluk hidup, karena mereka yang mati, hati dan badannya mengering. Sebab itulah, Imam An Nawawi menyimpulkan dari kisah di atas bahwa berbuat baik kepada hewan hidup, baik memberi minum atau lainnya merupakan bentuk shadaqah. (Syarah Shahih Muslim, 7/503)

Jelas, dari keterangan di atas, Islam amat memuliakan hewan, hingga dihitung sebuah shadaqah sebagai mana juga memberi kepada manusia yang masih hidup, karena kedua-duanya berhati lembab.

Hal yang sama disebutkan Rasulullah, “Seorang Muslim tidak menanam tanaman, hingga memakan dari tanaman itu manusia, binatang atau burung, kecuali merupakan shadaqah baginya, hingga datang hari kiamat. (Riwayat Muslim)

Sayang Hewan Termasuk Ajaran Islam

Islam adalah ajaran penuh kasih sayang dan rahmat. Tidak hanya membatasi kasih sayang hanya kepada sesama manusia saja, namun makhluk lain mendapatkan “imbas” kasih sayang dari ajaran Islam ini. Hal ini disebabkan karena Allah telah menciptakan kehidupan binatang bersinggungan dengan kehidupan manusia, bahkan mempermudah kehidupan manusia.

Allah telah berfirman, yang artinya,”Dan hewan ternak telah diciptkan-Nya untuk kalian, padanya ada (bulu) yang menghangatkan dan berbagai manfaat, serta sebagiannya kalian makan. Dan kalian memperoleh keindahan padanya, ketika kalian membawanya kembali ke kandang dan ketika kalian melepaskannya. Dan ia mengangkut beban-beban kalian ke suatu negeri yang kalian tidak sanggup mencapainya, kecuali dengan susah payah. Sungguh, Rabb kalian benar-benar Maha Pengasih dan Penyayang. Dan (Dia telah menciptakan) kuda, baghal dan keledai untuk kalian tunggangi dan sebagai perhiasan. Allah menciptakan apa yang tidak kalian ketahui. \" (An Nahl [16]: 5-8)

Dalam sejarah peradaban Islam sendiri, hubungan harmonis antara manusia dengan binatang terjalin dengan baik, sebagaimana eratnya hubungan antara Ashabul Kahfi dengan anjing mereka. Demikan pula Rasulullah, beliau juga berhijrah dengan onta setia beliau yang nama Al Qashwa`, disamping beliau juga memiliki beberapa onta lain yang bernama Al Adhba` dan Al Jadm. Bahkan ada seorang sahabat yang bernama Abdurrahman bin Shahr yang gemar membawa kucing kecil di sakunya, hingga Rasulullah memanggilnya Abu Hurairah, alias ayah kucing.

Islam sebagai ajaran yang menekanan kepada pemeluknya untuk menyayangi binatang sebenarnya sudah tercermin dalam pembahasan dasar masalah fiqih, yakni masalah thaharah (bersuci), dimana kita sebagai Muslim, dilarang buang air besar atau air kecil ke dalam liang, merujuk kepada hadits yang diriwayatkan Abu Dawud. Ada ulama yang menyebutkan bahwa di dalam liang biasanya ada hewan-hewan kecil. Dengan buang air di tempat itu, maka hal itu bisa mendhalimi hewan-hewan tersebut. (lihat, Mughni Al Muhtaj, 1/61)

Masih belum lari dari masalah thaharah, dimana kita sebagai Muslim tidak hanya dibolehkan, tapi diwajibkan meninggalkan wudhu dengan melakukan tayamum sebagai gantinya, jika ada hewan muhtaram yang kehausan, sementara persediaan air sangat terbatas. hewan muhtaram adalah hewan yang tidak diperintahkan untuk dibunuh. (lihat, Mughni Al Muhtaj, 1/130)

Adab kepada Hewan Tunggangan


Disamping secara umum menganjurkan berbuat baik kepada hewan, secara spesifik, Islam menjelaskan bagaimana seharusnya para pemilik binatang tunggangan memperhatikan beberapa hal, hingga tidak ada pihak yang terdhalimi.

Islam melarang seseorang memaksa hewan untuk mengangkut beban berat diluar kemampuan, sebagaimana diriwayatkan oleh At Thabarani, “Jika kalian melihat tiga orang naik hewan tunggangan, maka lemparlah mereka, hingga salah satu dari mereka turun.”

Sebagaimana Rasulullah berpesan kepada para pemilik kendaraan agar memperhatikan makanan hewan tunggangan mereka, “Jika kalian melakukan perjalanan di daerah subur, maka berilah makanan ontamu dari daerah itu dan jika kalian melakukan perjalanan di daerah paceklik, maka percepatlah, hingga tidak membahayakannya.” (Riwayat Muslim)

Tentu, jika mereka masih berada di wilayah gersang, dan tidak ada makanan untuk onta mereka, maka keadaan demikian mengancam kehidupan binatang tersebut.

Ketika Binatang Mengeluh

Kenapa Islam menjauhkan pemeluknya dari pebuatan dhalim terhadap binatang? Karena binatang itu seperti manusia, ia juga merasakan lapar, haus, lelah atau sakit jika terdhalimi. Rasulullah pernah memperoleh pengaduan dari beberapa hewan yang memperoleh perlakukan tidak baik dari pemiliknya. Sebagaimana termaktub dalam Shahih Muslim, Rasulullah pernah berkisah, bahwa beliau menemui seorang laki-laki yang menarik sapi untuk mengangkut. Sapi itu menoleh kepada beliau dan mengatakan, “Demi Allah, aku tidak diciptakan untuk hal ini, namun untuk membajak.”

Dalam hadits lainnya yang diriwayatkan Abu Dawud disebutkan bahwa suatu saat Rasulullah memasuki sebuah kebun milik sahabat Anshar. Di kebun itu terdapat seekor onta, yang tiba-tiba matanya mengeluarkan air mata, ketika melihat Rasulullah. Akhirnya beliau bertanya,”Siapa pemilik onta ini?” Saat itu seorang pemuda datang dengan mengatakan,”Saya wahai Rasulullah.” Beliau pun menyampaikan,”Apakah engkau tidak takut kepada Allah mengenai hewan ini! Sesunggunya ia mengadu kepadaku, bahwa engkau membiarkannya lapar dan terus-menerus mamaksanya bekerja.”

Tidak Menghina Binatang

Yang terlarang dalam Islam bukan hanya mendhalimi hewan secara fisik, namun merendahkan dan mencelanya juga dilarang, karena hewan pun termasuk ciptaan Allah Ta’ala. Pernah suatu saat Rasulullah menjumpai wanita yang melaknat onta yang ia tunggangi, hingga akhirya beliau meghukum wanita tersebut, sebagaimana disebutkan Imam Muslim.

Adalah Imam Al Ghazali, beliau juga melarang merendahkan ciptaan Allah termasuk hewan, tetkala beliau membahas mengenai hal penjagaan terhadap mulut. (lihat, Al Maraqi Al Ubudiyah, hal.69)

Sikap Para Ulama terhadap Binatang

Suatu saat, Al Hafidz Taqiyuddin As Subki pernah menegur putranya, Tajuddin As Subki, disebabkan ia pernah mengatakan,”Paling buruk adalah anjing anaknya anjing,” ketika melihat ada seekor anjing lewat di depan rumah. “Bukankah memang benar, anjing anaknya anjing?” Tajuddin menjawab teguran ayahnya. “Memang benar, namun jika perkataan itu dimaksudkan untuk merendahkan, maka hal itu tidak boleh.” Jelas Al Hafidz Taqiyuddin. (Syarh Al Ihya`, 7/066)

Adalah Imam Abu Ishaq As Sirazi. Suatu saat, tokoh besar dalam madzhab As Syafi’i ini berjalan bersama beberapa sahabatnya. Tiba-tiba ada seekor anjing berjalan di depan rombongan itu. Menyaksikan hal itu, salah seorang anggota romongan menghardik anjing tersebut. Mengetahui hal itu Abu Ishaq melarangnya dan menasehati,”Apakah engkau tidak tahu, bahwa anjing itu dan kita sama-sama berhak menggunakan jalan ini?” (Al Majmu`, 1/45




Tidak ada komentar:

Posting Komentar