
MERASA SUCI LALU BERDOSA LAGI
Adalah al-Manshur bin Ammar RHM ditanya oleh khalifah Abdul Malik bin Marwan, “Wahai Manshur, ada masalah yang mengganjal sejak setahun ini, siapakah sebenarnya orang yang paling pintar, siapa pula orang yang paling bodoh?”
Al-Manshur pun keluar menemui para ulama untuk mendapatkan jawabannya, lalu ia menghadap kepada Abdul Malik. Sang Khalifah bertanya, “Wahai Manshur, jawaban apa yang kamu bawa?”
Beliau berkata, “Wahai amirul mikminin, orang yang paling berakal adalah orang yang berbuat baik, namun dia tetap merasa takut kepada Allah, sedangkan orang yang paling bodoh adalah orang yang mengumbar dosa, namun merasa aman dari siksa Allah.”
Jawaban itu membuat Abdul Malik menangis, hingga air mata membasahi bajunya, “Demi Allah, ini jawaban yang bagus wahai Manshur.” Sahutnya.
Merasa Suci, Padahal Belum Pasti
Fragmen nyata yang terjadi di zaman salaf tersebut tampaknya relevan dengan situasi kita yang telah melewati hari demi hari selama Ramadhan. Banyak peluang kebaikan, bertabur pula harapan pahala dan pengampunan. Bervariasi jenis dan kadar amal shalih yang dilakukan masing-masing orang, dan beragam pula tingkat kepuasan para pelaku amal. Ada yang sedih karena merasa belum optimal, namun tak sedikit yang merasa diri telah berjuang total.
Ada baiknya kita mengevaluasi diri sendiri. Tapi evaluasi yang jujur, muhasabah yang menimbulkan efek positif di kemudian hari. Bukan perhitungan orang yang tertipu, merasa diri panen pahala, ternyata pailit kenyataannya.
Apa yang disampaikan oleh al-Manshur tentang orang yang paling pintar dan orang yang paling bodoh, bisa kita jadikan rujukan mengaca diri, sejauh mana tingkat keshalihan kita. Apakah dekat dengan ring paling tinggi yang telah berbuat baik namun tetap merasa takut, ataukah lebih dekat dengan ring paling bawah, yang tak beres usahanya, namun merasa aman dari siksa.
Dengan berakhirnya ramadhan, banyak yang terkecoh dengan ungkapan kembali suci. Mereka merasa bersih dari dosa, begitu melewati ramadhan dan memasuki ‘Iedul Fithri. Istilah ‘iedul fithri pun diartikan menjadi hari kembali suci. Makna ini perlu diteliti kembali. Karena Nabi SAW sendiri telah memberikan makna yang berbeda dari makna yang biasa dipahami khalayak. Beliau bersabda,
وَأَمَّا يَوْمُ الْفِطْرِ فَفِطْرُكُمْ مِنْ صِيَامِكُمْ
“Dan adapun, (maksud) hari Fithri adalah hari berbuka kamu dari shaum.” (HR Abu Dawud dan dalam riwayat Tirmidzi ada tambahan “dan hari raya bagi kaum muslimin.”)
Berharap Itu Harus, Tapi…
Memang janji Nabi SAW tidaklah dusta. Bahwa shalat malam di bulan Ramadhan menghapus dosa yang telah lalu, begitupun dengan shaum di siang harinya. Dan mungkin kitapun telah menjalani amalan itu dengan komplit. Kita harus berharap, agar semua ibadah kita diterima, dosa-dosa kitapun terampuni. Tapi kita juga perlu khawatir, sekiranya semua yang kita jalani belum memenuhi kriteria ‘maqbul’ sebagai amal shalih. Termasuk kebodohan, jika seseorang mengklaim sudah mengantongi banyak pahala, atau telah bersih dari dosa. Apalagi bila yang dilakukannya ternyata belum seberapa.
Klaim ini akan menimbulkan efek negatif di belakangnya. Bukan saja tidak ada upaya perbaikan dan peningkatan amal. Bahkan cenderung menganggap sepele dosa. Lantaran sudah bersih dari dosa, maka ia merasa masih berpeluang untuk berdosa.
Padahal, amal yang bisa menghapuskan dosa adalah amalan yang maqbul, diterima oleh Allah. Yakni amal yang benar dan juga ikhlas. Siapakah yang berani menjamin amalnya telah ikhlas dan tetap ikhlas? Karena keikhlasan itu harus dituntut adanya tak hanya sebelum dan ketika beramal saja. Bahkan setelah menjalani amal, dan batas akhirnya adalah ajalnya. Boleh jadi seseorang bisa ikhlas sesaat setelah beramal, namun di kemudian hari dia batalkan keikhlasannya dengan riya’, sum’ah maupun ujub. Maka amal yang telah lalu tidak diterima sebagai amal yang diterima dan tidak bisa berfaedah sebagai penghapus dosa. Maka sepantasnya kita tidak terpedaya dengan amal yang telah kita lakukan.
Mungkin inilah alasan sahabat Abdullah bin Umar yang meskipun telah beramal luar biasa, tetap saja mengatakan, “Andai saja aku tahu pasti, ada satu sujud (shalat) saya telah diterima, maka aku berangan-angan sekiranya aku mati sekarang juga.”
Lihat pula bagaimana jawaban Hatim al-Asham RHM, tatakala ditanya bagaimana cara beliau mendirikan shalat. Beliau menjawab, “Apabila datang waktu shalat aku segera berwudlu dengan sempurna, lalu datang ketempat shalatku, akupun duduk mengkonsentrasikan seluruh jiwa ragaku, kemudian aku berdiri dengan ketundukan dan rendah diri, kujadikan ka’bah seakan diantara kedua mataku, titian shirat dibawah kedua telapak kakiku, surga disebelah kananku, dan neraka disebelah kiriku, malaikat maut dibelakangku, dan kubayangkan bahwa ini adalah shalat terakhirku, selanjutnya aku tempatkan diriku diantara rasa takut dan penuh pengharapan. Kemudian aku bertakbir dengan penuh keyakinan akan kebesaran Allah, lalu aku membaca al-Fatihah dan surat dengan sedalam-dalamnya penghayatan. Kemudian aku ruku’ dengan tuma’ninah, selanjutnya akupun sujud dengan segala rasa rendah diri, lalu aku duduk diatas pangkal paha kiriku, dan kutegakkan telapak kaki kananku diatas ibu jarinya, semua itu aku usahakan di atas keikhlasan hati setulus-tulusnya. Dan selanjutnya…aku tak tahu pasti, apakah shalatku itu diterima oleh Allah ataukah tidak!
Memaknai Amal Pendulang Pahala dan Penghapus Dosa
Orang yang hatinya tulus dalam mengabdi kepada Allah, juga jujur dalam memaknai nash-nash hadits dan ayat-ayat suci, pastilah memahami. Bahwa disebutkannya keutamaan suatu amal shalih dengan janji-janji pahala adalah supaya kita terdorong untuk melakukannya. Dan sama sekali bukan untuk meremehkan amal yang selainnya. Misalnya tentang keutamaan tahmid,
وَالْحَمْدُ لِلَّهِ تَمْلأُ الْمِيزَانَ.
“Dan bacaan ‘alhamdulillah’ itu bisa memenuhi timbangan.” (HR Muslim)
Arahan hadits ini adalah untuk memperbanyak ucapan tahmid, sama sekali bukan untuk menafikan amalan lain. Atau karena merasa timbangan sudah penuh lantas menganggap kurang perlu amalan yang lain. Lebih parah lagi jika amal-amal yang wajib seperti shalat lima waktu juga ditinggalkan karenanya. Padahal, fadhilah tahmid tersebut, betapapun besar tidak bisa menutup kewajiban menjalankan shalat. Bahkan tanpa shalat, sama sekali fadhilah itu tidak berguna karena batas antara muslim dan kafir adalahmeninggalkan shalat.
Orang yang cerdik juga memahami, bahwa tujuan disebutkannya amal-amal yang berfaedah menghapus dosa adalah menghasung kita agar segera bertaubat dan membersihkan diri dari dosa. Bukan justru dijadikan alasan untuk menumpuk dosa baru dengan alasan dosa yang lalu telah terhapus.
Seperti hadits,
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِه
“Barangsiapa shalat di malam bulan Ramadhan dengan keimanan dan mengharap pahala Allah, maka diampuni dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari)
Jelas, bahwa inti pesan Nabi SAW tersebut supaya umatnya menjalankan shalat malam di bulan Ramadhan, bukan supaya melakukan maksiat setelah menjalankan shalat malam.
Lagi pula, menurut Imam an-Nawawi, juga ulama yang lain menyebutkan bahwa maksud dosa yang otomatis diampuni karena shalat tarawih tersebut adalah dosa-dosa kecil, bukan dosa-dosa besar. Shalat tarawih tidak bisa menghapus dosa syirik secara otomatis, atau dosa meninggalkan shalat lima waktu, apalagi menggantikannya. Hanya orang bingung yang mengandalkan shalat tarawih lalu meninggalkan shalat wajibnya.
Mohon Ampunan-Nya, Tapi Sengaja Memancing Murka
Selain terpedaya oleh amal penghapus dosa, ada juga yang salah dalam memahami makna istighfar. Begitu mudah seseorang melakukan dosa, karena merasa mudah pula untuk menebusnya. Cukup dengan bacaan istighfar, serta merta dosanya lenyap seketika.
Orang yang merasa telah bersih dari dosa, lalu menyengaja berbuat dosa, hakikatnya adalah seorang pembangkang dan durjana. Dia menyalahartikan pengampunan Allah dan menggunakannya sebagai pemicu untuk berbuat dosa. Dia sengaja memancing kemurkaan Allah dengan dosa, lalu menyandarkan alasannya pada kasih sayang Allah dan kemurahan ampunanNya. Alangkah tidak sopannya kepada Allah, dan amat jauhlah ia dari sifat pengagungan kepada Allah.
Bukankah anak dikatakan durhaka bila sengaja membuat jengkel ayahnya, atau memancing kemarahannya, lantaran dia tahu bahwa sang ayah sangat penyabar dan suka memaafkan kesalahannya? Lantas bagaimana jika perilaku seperti itu dilakukan terhadap Allah Azza wa Jalla?
Istighfar adalah realisasi taubat yang wajib disertai tekad untuk tidak mengulangi dosa kembali. Tanpanya, taubatnya hanya bohong belaka. Semoga Allah menjauhkan kita dari dosa yang kita sengaja, dan mengampuni dosa yang tidak kita sengaja atau tidak kita ketahui. AmienTIPU DAYA SETAN
“Dan demikianlah Kami jadikan untuk setiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). (QS al-An’am:11)
Prof. Hamka, dalam Tafsir al-Azhar, membuat uraian menyangkut ayat tersebut:
“Seorang Rasul diutus Allah untuk menyeru manusia menempuh Shirathal Mustaqim, jalan yang lurus. Maka segala syaitan-syaitan manusia dan jin itu menyusun pula kata-kata yang penuh tipu daya untuk membelokkan perhatian orang daripada jalan yang lurus itu. Mereka mencoba manggariskan jalan yang lain, memujikan, mempropagandakan supaya orang merasa bahwa yang mereka kemukakan itulah yang benar. Inilah tipudaya! Karena kalau sudah diselidiki kelak dengan seksama, akan ternyata bahwa rencana yang mereka kemukakan itu hanya semata-mata zukhrufal-qauli, yaitu kata-kata yang dihiasi. Zukhruf artinya perhiasan, lebih besar bungkusnya daripada isinya, reklame yang kosong penuh tipu.” (Hamka, Tafsir al-Azhar, Juzu’ VIII).
Kita ingat, bahwa setelah terusir dari surga, Iblis kemudian bertekad bulat untuk menyesatkan sebanyak-banyaknya manusia. Salah satu caranya, sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur`an adalah menghiasi (mengemas) kebathilan menjadi sesuatu yang indah, sehingga menarik perhatian manusia untuk mengikutinya.
“Iblis berkata: “Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya. Kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis diantara mereka.” (QS. al-Hjir: 39).
Tentu, peringatan Allah SWT dalam al-Qur`an ini wajib kita camkan. Hidup di era globalisasi dan kebebasan informasi mengharuskan kita bekerja keras untuk mampu menyaring dan menilai, mana informasi yang benar dan mana informasi bikinan para setan. Sebab, betapa banyaknya orang tertipu dengan kata-kata indah tetapi salah dan menyesatkan.
Lihatlah, banyak orang yang masih mengaku Islam tetapi meletakkan paham kebebasan di atas ajaran-ajaran Islam itu sendiri. Ada yang berteriak lantang agar agama dan negara tidak ikut campur tangan dalam urusan pakaian. Mereka menganggap tubuh mereka adalah milik mereka sendiri. Tidak ada yang berhak mengatur urusan pakaian, baik negara atau pun Tuhan sekali pun. Mereka merasa berdaulat penuh atas tubuh mereka. Mereka mau telanjang atau melacurkan dirinya, itu adalah urusan mereka, dan tidak ada urusan dengan Tuhan atau agama. Manusia-manusia seperti ini tampil begitu menawan di layar televisi, sambil menyombongkan diri, bahwa mereka adalah orang-orang yang berbuat kebaikan di muka bumi, karena telah menjaga dan memperjuangkan kebebasan dan hak asasi manusia.
Kata-katanya indah! Tapi, tujuannya untuk menipu. Terhadap orang-orang yang berkeinginan agar soal pakaian diatur, mereka dengan lantang menuduhnya sebagai orang yang kolot, sok moralis, anti-kebhinekaan, melanggar HAM, munafik dan sebagainya. Ada yang menyatakan, bahwa yang harus dipersoalkan bukan objeknya, tapi pikiran manusia itu yang kotor. “Jangan salahkan gambar-gambar yang telanjang. Tapi, salahkan pikirannya yang kotor!” ujarnya.
Kata-katanya semacam itu tampak indah! Tapi untuk menipu!
Ketika MUI mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa paham sekularisme, liberalisme, dan pluaralisme agama adalah bertentangan dengan Islam, maka ada yang langsung menuduh MUI tidak menghargai kemajemukan bangsa! Begitu juga saat MUI menegaskan bahwa Ahmadiyah sesat, langsung muncul tudingan MUI merasa benar sendiri, MUI melampaui kewenangan Tuhan, karena berani menyesatkan manusia. Padahal, katanya, yang berhak menyatakan sesat atau tidaknya seseorang adalah Tuhan dan bukan manusia.
Banyak sekali kata-kata indah dengan tujuan untuk menipu manusia!
Tahun 2008, Yayasan Wakaf Paramadina menerbitkan edisi kedua buku karya Farag Fouda berjudul Kebenaran yang Hilang: Sisi Kelam Praktik Politik dan Kekuasaan dalam Sejarah Kaum Muslimin. Judul aslinya adalah al-Haqidah al-Ghaibah. Simaklah, judul buku ini sangat indah: “Kebenaran Yang Hilang!” Jadi, seolah-olah, selama ini, umat Islam telah kehilangan satu kebenaran, yang kemudian diungkap oleh Farag Fouda, seorang tokoh liberal dari Mesir.
Tapi, jika ditelaah dengan cermat, yang dimaksud sebagai “kebenaran” oleh Farag Fouda adalah sederet fakta palsu tentang para sahabat Nabi Muhammad SAW. Salah satu sahabat Nabi yang digambarkan begitu buruk dalam buku ini adalah Usman bin Affan RDL. Sampai-sampai, dalam salah satu kolomnya di Majalah TEMPO yang dijadikan epilog buku ini, Goenawan Mohammad menulis:
“Mereka tak sekadar membunuh Usman. Menurut sejarawan al-Thabari, jenazahnya terpaksa “bertahan dua malam karena tidak dapat dikuburkan.” Ketika mayat itu disemayamkan, tak ada orang yang menyalatinya. Jasad orangtua berumur 83 tahun itu bahkan diludahi dan salah satu persendiannya dipatahkan. Karena tak dapat dikuburkan di pemakaman Islam, khalifah ke-3 itu dimakamkan di Hisy Kaukab, wilayah pekuburan Yahudi. Tak diketahui dengan pasti mengapa semua kekejian itu terjadi kepada seorang yang oleh Nabi sendiri telah dijamin akan masuk surga. Fouda mengutip kitab al-Tabaqat al-Kubra karya sejarah Ibnu Saád yang menyebutkan satu data menarik: khalifah itu agaknya bukan seorang bebas dari keserakahan. Tatkala Usman terbunuh, dalam brankasnya terdapat 30.500.000 dirham dan 100.000 dinar.”
Tulisan itu jelas-jelas fitnah besar terhadap Sayyidina Usman RDL. Pakar sejarah INSISTS, Asep Sobari, telah membongkar kecurangan Farag Fouda dalam mengutip bahan-bahan cerita dari sejumlah kitab klasik. (Lihat: CAP ke-246 Adian Husaini di www.hidayatullah.com). Fitnah keji terhadap sahabat Nabi itu dikemas dengan kata-kata indah, dengan tujuan untuk menipu manusia. Maka, bukan hanya orang awam yang bisa tertipu oleh buku Fouda, tetapi sejarawan terkenal seperti Prof. A. Syafii Maarif pun ikut-ikutan tertipu, sampai-sampai dia menulis di sampul belakang buku ini:
”Terlalu banyak alasan mengapa saya menganjurkan Anda membaca buku ini. Satu hal yang pasti: Fouda menawarkan ”kacamata” lain untuk melihat sejarah Islam. Mungkin Fouda akan mengguncang keyakinan Anda tentang sejarah Islam yang lazim dipahami. Namun kita tidak punya pilihan lain kecuali meminjam ”kacamata” Fouda untuk memahami sejarah Islam secara lebih autentik, obyektif dan komprehensif”.
Padahal, jika seorang Muslim mau berpikir jernih: tidaklah mungkin Nabi Muhammad SAW telah berbohong dengan memuji-muji Usman bin Affan, jika ternyata Usman bin Affan adalah manusia bejat seperti digambarkan Fouda dan Goenawan Mohammad. Karena itu, dalam berbagai ayat al-Quran, Allah SWT mengingatkan, bahwa setan itu adalah musuh manusia yang nyata. Dan setiap waktu kita berdoa: Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk!.
ILMU DAN KEBAHAGIAAN
Dalam bukunya, Tasawuf Modern, Prof. Hamka pernah menyalin sebuah artikel karya Al-Anisah Mai berjudul ”Kun Sa’idan”. Artikel itu diindonesiakan dengan judul: ”Senangkanlah hatimu!” Dalam kondisi apa pun, pesan artikel tersebut, maka ”senangkanlah hatimu!” Jangan pernah bersedih. Dalam kondisi apa pun.
”Kalau engkau kaya, senangkanlah hatimu! Karena di hadapanmu terbentang kesempatan untuk mengerjakan yang sulit-sulit….”
”Dan jika engkau fakir miskin, senangkan pulalah hatimu! Karena engkau telah terlepas dari suatu penyakit jiwa, penyakit kesombongan yang selalu menimpa orang kaya. Senangkanlah hatimu karena tak ada orang yang akan hasad dan dengki kepada engkau lagi, lantaran kemiskinanmu…”
”Kalau engkau dilupakan orang, kurang masyhur, senangkan pulalah hatimu!
Karena lidah tidak banyak yang mencelamu, mulut tak banyak mencacatmu…”
”Kalau tanah airmu dijajah atau dirimu diperbudak, senangkanlah hatimu! Sebab
penjajahan dan perbudakan membuka jalan bagi bangsa yang terjajah atau diri yang diperbudak kepada perjuangan melepaskan diri dari belenggu.”
Orang sakit menyangka, bahagia terletak pada kesehatan!
Orang miskin menyangka, bahagia terletak pada harta kekayaan!
Rakyat jelata menyangka kebahagiaan terletak pada kekuasaan!
Orang biasa menyangka bahagia terletak pada kepopuleran!
Dan sangkaan-sangkaan lain…
Tapi, sesungguhnya, kebahagiaan bukanlah terletak pada itu semua. Semua kenikmatan duniawi bisa menjadi tangga yang mengantar kepada kebahagiaan. Semuanya adalah sarana. Bukan bahagia itu sendiri. Lihatlah, betapa banyak pejabat yang hidupnya dibelit dengan penderitaan. Lihat pula, betapa banyak artis terkenal yang hidupnya jauh dari kebahagiaan dan berujung kepada narkoba dan obat penenang! Lalu, apakah itu ”bahagia” (sa’adah/happiness).
Selama ribuan tahun, para ahli pikir, telah sibuk membincang tentang kebahagiaan. Kamus The Oxford English Dictionary (1963) mendefinisikan ”happiness” sebagai: ”Good fortune or luck in life or in particular affair; success, prosperity.” Jadi, dalam pandangan ini, kebahagiaan adalah sesuatu yang ada di luar manusia, dan bersifat kondisional. Jika dia sedang berjaya, maka di situ ada kebahagiaan. Jika sedang jatuh, maka hilanglah kebahagiaan. Maka, menurut pandangan ini, tidak ada kebahagiaan yang abadi, yang tetap dalam jiwa manusia. Kebahagiaan itu sifatnya temporal dan kondisional. Prof. Naquib al-Attas menggambarkan kondisi kejiwaan masyarakat Barat sebagai: “Mereka senantiasa dalam keadaan mencari dan mengejar kebahagiaan, tanpa merasa puas dan menetap dalam suatu keadaan.” Tokoh panutan mereka adalah Sisyphus.
Berbeda dengan pandangan tersebut, Prof. Naquib Al-Attas mendefinisikan kebahagiaan (sa’adah/happiness) sebagai berikut:
”Kesejahteraan” dan ”kebahagiaan” itu bukan dianya merujuk kepada sifat badani dan jasmani insan, bukan kepada diri hayawani sifat basyari; dan bukan pula dia suatu keadaan akal-fikri insan yang hanya dapat dinikmati dalam alam fikiran dan nazar-akali belaka. Kesejahteraan dan kebahagiaan itu merujuk kepada keyakinan diri akan Hakikat Terakhir yang Mutlak yang dicari-cari itu – yakni: keadaan diri yang yakin akan Hak Ta’ala – dan penuaian amalan yang dikerjakan oleh diri itu berdasarkan keyakinan itu dan menuruti titah batinnya.” (SMN al-Attas, Ma’na Kebahagiaan dan Pengalamannya dalam Islam, (Kuala Lumpur: ISTAC:2002), pengantar Prof. Zainy Uthman, hal. xxxv).
Jadi, kebahagiaan adalah kondisi hati, yang dipenuhi dengan keyakinan (iman), dan berperilaku sesuai dengan keyakinannya itu. Bilal bin Rabah merasa bahagia dapat mempertahankan keimanannya, meskipun dalam kondisi disiksa. Imam Abu Hanifah merasa bahagia meskipun harus dijebloskan ke penjara dan dicambuk setiap hari, karena menolak diangkat menjadi hakim negara. Syaikhul Islam Ibn Taimiyah merasakan bahagia meskipun harus mati dalam penjara. Imam al-Ghazali, seperti dikutip Hamka dalam Tasawuf Modern, mengungkapkan, bahwa puncak kebahagiaan pada manusia adalah jika dia berhasil mencapai ”ma’rifatullah”, telah mengenal Allah SWT. Selanjutnya, al-Ghazali menyatakan:
”Ketahuilah bahagia tiap-tiap sesuatu ialah bila kita rasai nikmat kesenangan dan kelezatannya, dan kelezatan itu ialah menurut tabiat kejadian masing-masing. Maka kelezatan (mata) ialah melihat rupa yang indah, kenikmatan telinga mendengar suara yang merdu, demikian pula segala anggota yang lain dari tubuh manusia. Ada pun kelezatan hati ialah teguh ma’rifat kepada Allah, karena hati itu dijadikan ialah buat mengingat Tuhan…. Seorang hamba rakyat akan sangat gembira kalau dia dapat berkenalan dengan wazir; kegembiraan itu naik berlipat-ganda kalau dia dapat berkenalan pula dengan raja. Tentu saja berkenalan dengan Allah, adalah puncak dari segala macam kegembiraan, lebih dari apa yang dapat dikira-kirakan oleh manusia, sebab tidak ada yang maujud ini yang lebih dari kemuliaan Allah… Oleh sebab itu tidak ada ma’rifat yang lebih lezat daripada ma’rifatullah.”
Ma’rifatullah adalah buah dari ilmu. Ilmu yang mampu mengantarkan manusia kepada keyakinan, bahwa ”Tiada Tuhan selain Allah” (Laa ilaaha illallah). Maka, untuk dapat meraih kebahagiaan yang abadi, manusia harus meraih ilmu yang mampu mengantarkan kepada keyakinan; bukan ilmu yang justru membuat manusia ragu akan kebenaran Islam. Karena itu, satu kerugian besar jika manusia mencari ilmu yang justru tidak pernah mengantakan kepada keyakinan, karena selamanya dia tidak akan pernah menikmati kebahagiaan yang hakikiHUKUM ARISAN DALAM ISLAM
Akhir-akhir ini berkembang berbagai macam arisan di tengah masyarakat.Ada arisan motor, arisan haji, arisan sembako, arisan bahan bangunan dan lain-lain. Bagaimana sebenarnya hukum arisan dalam Islam, karena ada sebagian kalangan yang mengharamkannya. Apakah semua bentuk arisan dibolehkan atau di dalamnya ada perinciannya?
Pengertian Arisan
Di dalam beberapa kamus disebutkan bahwa Arisan adalah pengumpulan uangatau barang yang bernilai samaoleh beberapa orang, lalu diundi diantara mereka. Undian tersebut dilaksanakan secara berkala sampai semua anggota memperolehnya.(Kamus Umum Bahasa Indonesia, Wjs. Poerwadarminta, PN Balai Pustaka, 1976 hlm: 57).
Hukum Arisan Secara Umum.
Arisan secara umum termasuk muamalat yang belum pernah disinggung dalam Al Qur’an dan as Sunnah secara langsung, maka hukumnya dikembalikan kepada hukum asal muamalah, yaitu dibolehkan. Para ulama menyebutkan hal tersebut dengan mengemukakan kaedah fikih yang berbunyi:
اَلأَصْلُ فِي الْعُقُوْدِ وَالْمُعَامَلاَتِاَلْحِلُّ وَ الْجَوَازُ
“Pada dasarnya hukum transaksi dan muamalah itu adalah halal dan boleh “(Sa’dudin Muhammad al Kibyi, al Muamalah al Maliyah al Mua’shirah fi Dhaui al Islam, Beirut, 2002, hlm: 75 )
Berkata Ibnu Taimiyah di dalam Majmu’ al Fatawa (29/ 18): “Tidak boleh mengharamkan muamalah yang dibutuhkan manusia sekarang, kecuali kalau ada dalil dari al Qur’an dan Sunnah tentang pengharamannya “
Para ulama tersebut berdalil dengan al Qur’an dan Sunnah sebagai berikut:
Pertama: Firman Allah SWT:
“Dialah Zat yang menjadikan untuk kamu apa-apa yang ada di bumi ini semuanya. “(Qs. al-Baqarah: 29)
Kedua: Firman Allah SWT:
“Tidakkah kamu perhatikan, bahwa sesungguhnya Allah telah memudahkan untuk kamu apa-apa yang ada di langit dan apa-apa yang ada di bumi; dan Ia telah sempurnakan buat kamu nikmat-nikmatNya yang nampak maupun yang tidak nampak. “(Qs.Luqman: 20)
Ketiga: Hadist Abu Darda’ ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
مَا أَحَلَّ اللهُ فِيْ كِتاَبِهِ فَهُوَ حَلاَلَ وَماَ حَرَّمَ فَهُوَ حَرَامٌ وَمَا سَكَتَ عَنْهُ فَهُوَ عَفُوٌّ فَاقْبَلُوْا مِنَ اللهِ عَافِيَتَهُ فَإِنَّّ اللهَ لَـمْ يَكُنْ لِيَنْسَى شَيْئاً
“Apa yang dihalalkan Allah di dalam kitab-Nya, maka hukumnya halal, dan apa yang diharamkannya, maka hukumnya haram. Adapun sesuatu yang tidak dibicarakannya, maka dianggap sesuatu pemberian, maka terimalah pemberiannya, karena Allah tidaklah lupa terhadap sesuatu” (HR. al Hakim)
Keempat: Firman Allah SWT:
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. “(Qs Al Maidah: 2)
Kelima: Hadit Aisyah ra, ia berkata:
كَانَرَسُولُاللَّهِصَلَّىاللَّهُعَلَيْهِوَسَلَّمَإِذَاخَرَجَأَقْرَعَبَيْنَنِسَائِهِفَطَارَتْالْقُرْعَةُعَلَىعَائِشَةَوَحَفْصَةَفَخَرَجَتَامَعَهُجَمِيعًا
“Rasullulah SAW apabila pergi, beliau mengadakan undian di antara istri-istrinya, lalu jatuhlah undian itu pada Aisyah dan Hafsah, maka kami pun bersama beliau. “(HR Muslim, no: 4477)
Keenam: Pendapat para ulama tentang arisan, diantaranya adalah pendapat Syaikh Ibnu Utsaimin dan Syek Ibnu Jibrin serta mayoritas ulama-ulama senior Saudi Arabia. (Dr. Khalid bin Ali Al Musyaiqih, al Mua’amalah al Maliyah al Mu’ashirah (Fikh Muamalat Masa Kini), hlm: 69) Syekh Ibnu Utsaimin berkata: “Arisan hukumnya adalah boleh, tidak terlarang. Barangsiapa mengira bahwa arisan termasuk kategori memberikan pinjaman dengan mengambil manfaat maka anggapan tersebut adalah keliru, sebab semua anggota arisan akan mendapatkan bagiannya sesuai dengan gilirannya masing-masing “. (Syarh Riyadhus Sholihin, Ibnu Utsaimin: 1/838)
Meskipun hukum arisan boleh, tapi ada beberapa bentuk arisan yang diharamkan, karena mengandung riba, penipuan dan merugikan pihak lain.Karena keterbatasan tempat, penulis hanya akan menjelaskan dua macam arisan yang saja, yaitu:
Pertama: Arisan Motor Dengan Sistem Lelang
Maksud Arisan Sepeda Motor Dengan Sistem Lelang yaitu pemenang arisan adalah yang mengajukan harga tertinggi.Adapun kelebihan harga lelang dari harga asli sepeda motor disimpan oleh penyelenggara untuk diberikan lagi ke peserta arisan dengan cara dibelikan sepeda motor lagi.Sehingga arisan yang asalnya selesai 20 kali pembayaran, bisa selesai sebelum itu, dikarenakan adanya uang kelebihan.
Misalnya arisan motor yang diselenggaran oleh salah satu lembaga dengan standar harga yang mengacu kepada “New Shogun “yaitu Rp. 13.635.000,-. Peserta diwajibkan menyetor Rp.250.000,- setiap bulannya selama 48kali. Dengan setoran sebesar itu panitia arisan masih mengiming-imingi beberapa hadiah. Sehingga kalau ditotal setiap peserta akan menyetor Rp.250.000,- x 48= Rp. 12.000.000,-. Untuk mendapatkan motor tersebut, peserta diwajibkan lagi membayar lelang minimal Rp. 3.500.000,-sehingga jumlah total yang harus dibayar peserta adalah Rp. 15.500.000,-.Berarti selisisih harga lelang dengan harga asli adalah sebesar Rp. 1.865.000,-. Peserta yang ingin mendapatkan motor lebih cepat, maka harga lelangnya harus lebih tinggi.
Bentuk arisan di atas hukumnya haram, karena ada sebagian anggota yang membayar lebih banyak dari yang lain, padahal arisan itu identik dengan hutang, sehingga kelebihan pembayaran dikatagorikan riba yang diharamkan. Selain itu ada unsur mengambil harta orang lain tanpa hak, jika panitia mengambilkeuntungandari discount pembelian dari setiap motor yang dibelinya, padahal itu adalah haknya para peserta.
Kedua: Arisan Berantai
Yang dimaksud arisan berantai atau sering juga disebut dengan Program Investasi Bersama adalah setiap peserta harus mengirim uang dalam jumlah tertentu,umpamanya Rp.20.000,- kepada 4 anggota arisan lain yang sudah ditentukan.
Gambaran cara kerjanya sebagai berikut: 1. Peserta mengirim uang ke4 orang anggota , 2. mengubah isi surat dengan cara memasukkan nama dirinya pada urutan paling bawah dan menaikkan urutan peserta sebelumnya satu tingkat sehingga peserta pada urutan pertama yang dikirimi uang keluar dari daftar urutan calon penerima uang.3. mengirim surat yang telah dirubah isinya tersebut ke orang lain sebanyak-banyaknya.4. setelah peserta tersebut sampai pada urutan pertama, dia akan menerima uang kiriman dari peserta baru yang jumlahnya tergantung pada jumlah surat yang dikirimkannya dulu.
Perkiraannya jika dalam satu minggu masing-masing orang melakukan promosi terhadap 20 orang member baru, kemudian masing-masing orang tadi mensponsori 20 orang, dan seterusnya (terjadi duplikasi 4 kali), maka setiap peserta yang hanya menyetor Rp 80.000,- tersebut akan mendapatkan keuntunganRp. 400.000,-, sampai Rp. 3.200.000.000,- dalam rentang satu sampai empat bulan.
Hukum arisan berantai seperti di atas adalah haram, karena merupakan bentuk perjudian terselubung.Di sini seorang peserta menaruh uang dalam jumlah tertentu dan tidak mengetahui secara jelas berapa uang yang akan diterimanya. Begitu juga peserta yang tidak mendapatkan member baru, akan rugi karena tidak ada orang yang akan mengirim uang ke nomor rekeningnya. Dan itulah hakekat perjudian.
Arisan berantai dengan menggunakan istilah Investasi Bersama adalah bentuk penipuan, karena dalam investasi, harus ada barang yang dikembangkan atau diperjual-belikan, kemudian keuntungannya dibagi kepada peserta menurut besar dan kecilnya saham yang diberikan. Dalam arisan berantai ini tidak ada barangnya sehingga hanya berkutat di uang saja. Inilah hakekat perjudian. Wallahu A’lam.
DERAJAT PARA WALI
Wali berasal dari kata wala`, walayah atau wilayah. Wala` berarti dekat secara tempat, nisbat, prinsip, pertemanan, pertolongan, dan keyakinan. Wala` juga berarti cinta. Walayah berarti pertolongan, sedangkan wilayah berarti kekuasaan atau kepemimpinan. Walayah adalah antonim dari kata ‘adawah yang berarti permusuhan. Berdasarkan ini wali adalah orang yang dekat, mencintai, memberi pertolongan, memiliki kekuasaan, memimpin, dan tidak menebar permusuhan. Demikianlah para pakar bahasa Arab seperti Ibnu Faris, Khalil bin Ahmad, ar-Raghib al-Ashfahan, dan Ibnul Manzhur menulis tentang definisi wali dalam kamus masing-masing.
Wali dalam wahyu
Tidak sedikit ayat al-Qur`an yang berbicara tentang wali dan perwalian. Di antaranya:
“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.” (Yunus: 62-63)
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya di jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertoIongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itu satu sama saling berwali.” (Al-Anfal: 72)
“Allah adalah Wali orang-orang yang beriman. Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman).” (al-Baqarah: 257)
“Yang demikian itu karena sesungguhnya Allah adalah Wali orang-orang yang beriman dan karena sesungguhnya orang-orang kafir itu tidak mempunyai wali.” (Muhammad: 11)
“Sesungguhnya wali kalian hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang beriman yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya tunduk (kepada Allah). Barangsiapa menjadikan Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman sebagai walinya, sesungguhnya pengikut (agama) Allah Itulah yang pasti menang.” (al-Maidah: 55-56)
“Orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) wali bagi sebagian yang lain.” (At-Taubah: 71)
Nash ayat-ayat di atas menunjukkan bahwa ada perwalian antar orang-orang yang beriman dan bahwa Allah adalah wali dan pelindung mereka. Allah menjadi wali hamba-hamba-Nya yang beriman. Dia mencintai mereka, mereka pun mencintai-Nya. Dia ridha terhadap mereka, mereka pun ridha terhadap-Nya.
Perwalian Allah
Perwalian dari Allah yang maknanya adalah kecintaan, kedekatan, dan pertolongan dari-Nya ini adalah bagian dari rahmat dan kebaikan-Nya untuk hamba-hamba-Nya yang beriman. Allah mencintai, dekat, dan senantiasa memberikan pertolongan untuk mereka tidaklah seperti perwalian yang biasa terjadi antar sesama makhluk yang selalu dilandasi oleh kebutuhan pribadi. Sekuat dan sehebat apa pun seorang raja atau penguasa, saat dia mencintai, dekat, dan membantu salahseorang rakyatnya, pastilah itu untuk kebutuhannya. Sedangkan Allah, Dia berfirman,
“Katakanlah, ‘Segala puji bagi Allah yang tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai sekutu dalam kerajaan-Nya. Dia tidak hina yang memerlukan penolong dan agungkanlah Dia dengan pengagungan yang sebesar-besarnya!’.” (al-Isra`: 111)
Allah memberi perwalian bukan karena kehinaan/kelemahan-Nya. Segala kemuliaan adalah milik Allah.
Para wali Allah
Allah menegaskan bahwa para wali-Nya adalah orang-orang yang beriman dan bertakwa. Mereka tidak akan pernah khawatir mengenai kehidupan akhirat dan tidak pula bersedih mengenai kehidupan dunia. Takwa yang menjadi syarat menjadi wali Allah selain iman adalah menyesuaikan diri dengan segala yang dicintai dan dibenci oleh Allah. Mencintai yang dicintai-Nya dan membenci yang dibenci-Nya. Meskipun salah seorang dari kita rajin mengerjakan shalat, tak pernah meninggalkan shiyam, membayar zakat, dan menunaikan haji berkali-kali, jika ia tidak mencintai semua yang dicintai Allah dan membenci apa pun yang dibenci-Nya, ia tidak akan pernah menjadi wali Allah.
Dalam sebuah hadits qudsi dijelaskan,
يَقُولُ اللهُ تَعَالَى مَنْ عَادَى لِيْ وَلِيًّا فَقَدْ بَارَزَنِي بِالْمُحَارَبَة، وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِمِثْلِ أَدَاءِ مَا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ، وَلَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ، حَتَّى أُحِبَّهِ، فَإِذَا أَحْبَبْتُه كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِيْ يَسْمَعُ بِهِ، وَبَصَرَهُ الَّذِيْ يُبْصِرُ بِهِ، وَيَدَهُ الَّتِيْ يَبْطِشُ بِهَا، وَرِجْلَهُ الَّتِيْ يَمْشِي بِهَا، وَلَئِنْ سَأَلَنِي لَأُعْطِيَنَّه، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِي لَأُعِيذَنَّهُ
“Allah berfirman, ‘Barangsiapa yang memusuhi waliku, sungguh ia telah menantang-Ku perang. Tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang seperti (baca: lebih baik daripada) sesuatu yang Aku fardhukan atasnya. Hamba-Ku akan terus-menerus mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya maka ia hanya akan mendengar apa yang Aku ridhai, hanya akan memandang apa yang Aku ridhai, hanya akan memegang apa yang Aku ridhai, dan hanya akan berjalan pada apa yang aku ridhai. Jika ia meminta sesuatu kepada-Ku niscaya Aku mengabulkannya. Jika ia memohon perlindungan kepada-Ku niscaya Aku melindunginya.’.” (HR. al-Bukhari)
Selain menerangkan tentang karunia yang Allah berikan kepada para wali Allah, hadits qudsi ini juga menerangkan bahwa para wali Allah adalah orang-orang yang benar-benar menjaga pendengaran, pandangan, dan segala tingkah lakunya; menjaganya agar senantiasa selaras dengan apa yang dicintai dan diridhai oleh Allah.
Dua Wali Allah
Berdasarkan hadits di atas—dan dalil-dalil lain yang semakna—para ulama menyatakan bahwa yang berhak dan dapat disebut dengan wali Allah atau wali ar-Rahman hanya orang beriman yang menjaga diri dari berbagai dosa. Mereka yang menjaga diri dari dosa ini ada dua kelompok. Muqtashid dan muqarrab atau sabiq bil khayrat.
Muqtashid adalah orang-orang yang mendekatkan diri kepada Allah dengan amal-amal hati dan anggota badan yang wajib; sedangkan muqarrab atau sabiq bil khayrat adalah yang mendekatkan diri kepada Allah dengan amalan sunnah setelah yang wajib.
“Kemudian kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang zhalim linafsih (menganiaya diri sendiri) dan di antara mereka ada yang muqtashid (pertengahan) dan diantara mereka ada (pula) yang sabiq bil khayrat (bersegera dalam berbuat kebaikan) dengan izin Allah.” (Fathir: 32)
Wali bukan wali
Abu Jakfar ath-Thahawi menyatakan bahwa semua orang yang beriman adalah wali-wali Allah, kecuali orang beriman yang masih zhalim linafsih, ia tidak berhak disebut disebut sebagai wali Allah. Ia bukan wali tetapi “wali”.
Ini bukan berarti zhalim linafsih benar-benar tidak mendapatkan perwalian dari Allah sama sekali. Asalkan masih punya iman walau seberat biji sawi, Allah tetap menjadi wali mereka. Allah akan mengeluarkan mereka dari siksa api neraka setelah dirinya dibersihkan dari dosa-dosanya dengan api neraka atau langsung mendapatkan rahmat dan ampunan Allah.
Pada kenyataannya hampir semua orang beriman terkumpul padanya potensi untuk diberi walayah dan ‘adawah sekaligus, lantara pada dirinya ada sebagian cabang kekafiran dan keimanan, kemusyrikan dan tauhid, ketakwaan dan kedurhakaan, kemunafikan dan iman. Akk berfirman,
“Sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan juga mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain).” (Yusuf: 106)
“Orang-orang Arab Badui itu berkata, ‘Kami telah beriman.’ Katakanlah, ‘Kamu belum beriman, tapi katakanlah, ‘Kami telah tunduk,’ karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu. Jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’.” (Al-Hujurat: 14)
Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar