Powered By Blogger

Kamis, 06 Januari 2011

RENUNGAN

Views: 18,647 Downloads: 3,413 Added: 24.11.05 1600x1200 (777.8 KB)


FAKTOR KUAT LEMAH IMAN


Iman itu satu. Dalam hal pangkal iman, orang-orang yang beriman itu sama. Perbedaan (keutamaan iman) di antara mereka disebabkan oleh perbedaan rasa takut kepada Allah, ketakwaan, (ketahanan) menyelisihi hawa nafsu, dan (kekuatan) menetapi perkara yang utama.

Pernyataan Abu Jakfar ath-Thahawi, “Iman itu satu,” termasuk pernyataan yang—lagi-lagi—diperbincangkan para ulama. Pasalnya, pernyataan ini dapat berkonsekuensi membenarkan pengakuan seseorang bahwa imannya sama dengan iman para nabi atau bahkan iman para malaikat. Tentu saja maksud ath-Thahawi tidak berlebihan atau ghuluw seperti itu.

Ath-Thahawi seperti halnya Imam Abu Hanifah mendefinsikan iman secara bahasa. Sedangkan para ulama yang lain mendefinisikannya secara istilah syar’i, bahwa iman meliputi pembenaran dan keyakinan hati, ucapan lisan, serta amal anggota badan. Ath-Thahawi memaksudkan iman yang satu itu adalah tashdiq, pembenaran/kepercayaan hati. Inilah yang selanjutnya beliau sebut dengan ashlul iman, pangkal iman. Dasar yang dipakai adalah firman Allah,

“Kamu tidak akan percaya kepada kami, sekalipun kami adalah orang-orang yang jujur.” (QS. Yusuf: 17)

Perumpamaan pangkal iman seperti pangkal akal. Orang-orang yang berakal sama-sama memilikinya dalam arti tidak gila. Hanya saja akal sebagian orang lebih baik dan lebih sempurna daripada yang lain.

Ada juga yang mengumpamakan iman dengan penglihatan. Tidak diragukan bahwa penglihatan orang-orang yang dapat melihat itu tidak sama. Ada yang sempurna, ada yang rabun dekat, ada yang rabun jauh, dan ada pula yang hanya dapat melihat di siang hari. Yang pasti semua sama-sama dapat melihat. Oleh karena itulah Abu Jakfar mengatakan, “Dalam hal pangkal iman, orang-orang yang beriman itu sama.” Beliau mengisyaratkan, orang-orang yang beriman itu sama-sama memiliki pangkal iman. Kesamaan itu hanya pada pangkalnya, bukan pada segala aspeknya.

Tashdiq yang utuh

Tashdiq atau pembenaran dengan hati harus utuh, tak boleh dikurangi dan tak dapat dibagi-bagi. Jika ia berkurang, yang ada adalah keraguan. Keraguan bukanlah iman. Ruang lingkupnya adalah membenarkan semua yang dibawa oleh Rasulullah SAW dari Allah.

Barangsiapa membenarkan semua yang dibawa oleh Rasulullah SAW maka ia adalah mukmin dengan keimanan yang diketahui oleh Allah. Kemudian Allah mensyaratkan kepadanya agar mengikrarkan keimanannya itu dengan lisan. Agar dalam pandangan orang lain ia juga dipandang sebagai seorang mukmin di dunia. Jika ia tidak mau, meskipun di hatinya ia beriman, namun sebenarnya ia melakukan kekafiran. Yakni kekafiran juhud (penolakan) dan takdzib (pendustaan). Juhud dan takdzib adanya di dalam hati. Ini menunjukkan bahwa hati adalah tempat bersemayamnya (pangkal) iman, bukan pada lisan atau anggota badan.

Dari sini jelaslah bahwa iman—dalam pandangan ath-Thahawi—bukan hanya tashdiq atau pembenaran sebagaimana kekafiran bukan hanya takdzib atau pendustaan. Iman meliputi membenarkan, menyesuaikan, dan menaati; sebagaimana kekafiran juga meliputi mendustakan, membenci dan menyelisihi.

Bukti bahwa membenarkan juga terjadi dengan perbuatan adalah sabda Nabi SAW yang diriwayatkan oleh al-Bukhari, “Kedua mata berzina—zinanya adalah memandang, kedua telinga berzina—zinanya adalah mendengar, … sedangkan kemaluan membenarkannya atau mendustakannya.”

Pembenaran yang membuahkan amal hati dan amal anggota badan lebih sempurna daripada pembenaran yang tidak membuahkannya. Sebab sesuatu yang semestinya mendatangkan buah namun buahnya tidak datang, berarti sesuatu tadi lemah.

Barangsiapa yang diwajibkan menunaikan haji dan zakat misalnya, ia wajib mengimani dalam arti mengetahui apa yang diperintahkan dan meyakini bahwa Allah mewajibkan atasnya secara detail.

Tidak diragukan lagi bahwa orang yang di hatinya ada tashdiq jazim (pembenaran yang kokoh), tiada syahwat atau syubhat yang mampu menandinginya, niscaya tidak akan muncul kemaksiatan dalam dirinya. Sebab jika syahwat atau syubhat telah dikalahkan, tidak mungkin seseorang itu bermaksiat. Sebaliknya hatinya akan mendorongnya untuk mengisi waktu dengan perkara yang dapat menjauhkannya dari kemaksiataan.

Oleh karena itulah Rasulullah SAW bersabda, “Ketika seseorang berzina, ia bukanlah seorang mukmin.” Maknanya, pembenarannya yang sejati terhadap keharaman zina sedang hilang; meskipun pangkal kebenaran ada pada dirinya. Setelah ia bertaubat dan beristighfar, pembenarannya pun kembali.

Orang-orang yang beriman, sebagaimana dinyatakan oleh Allah, “apabila ditimpa was-was dari setan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya.” (QS. al-A’raf: 201)

Mujahid berkata, “Ini tentang seseorang yang berhasrat untuk berdosa, lalu ia ingat Allah sehingga ia meninggalkannya. Syahwat dan kemurkaan adalah pangkal keburukan. Jika seseorang memandangnya dengan bashirah (mata hati), ia akan kembali.”

Faktor pembeda

Perbedaan tingkat keimanan orang-orang yang beriman disebabkan oleh ketidaksamaan derajat cahaya tauhid—ath-Thahawi mengungkapkannya dengan: rasa takut kepada Allah, ketakwaan, ketahanan menyelisihi hawa nafsu dan kekuatan menetapi perkara yang utama—yang ada di dalam hati mereka yang hanya diketahui oleh Allah. Ada yang cahaya tauhidnya seperti matahari, ada yang seperti cahaya bintang kejora, ada yang seperti obor besar dan ada pula yang seperti cahaya lilin yang redup. Semakin besar cahaya ini semakin mampu pula ia membakar berbagai fitnah syubhat dan syahwat. Seorang yang cahaya tauhidnya besar, langit hatinya dijaga oleh pelontar api dari kejahatan pencuri. Kelak pada hari Kiamat cahaya itu akan berkilau di kanan dan di depan mereka sekadar dengan keberadaannya di dalam hati saat mereka masih di dunia, sekadar dengan ilmu dan amal mereka.

Kita pun tahu bahwa Allah mengaitkan keberuntungan dan kemenangan sejati pada ucapan syahadat yang disertai dengan keikhlasan dan mengamalkan berbagai konsekuensinya.

Rasulullah SAW bersabda,

إِنَّ اللهَ حَرَّمَ عَلَى النَّارِ مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ يَبْتَغِي بِذَلِكَ وَجْهَ اللهِ

Sesungguhnya Allah mengharamkan atas neraka orang yang mengucapkan, ‘Tidak ada ilah yang hak selain Allah,’ dengan hanya mengharapkan wajah Allah.” (Hadits shahih sebagaimana dinyatakan oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami’ ash-Shaghir no. 1793)

Sebagian ulama menyatakan bahwa hadits-hadits di atas mansukh. Ada pula yang menyatakan bahwa hadits-hadits itu berlaku ketika berbagai syariat belum ditetapkan, atau yang dimaksud dengan masuk surga adalah kelak orang yang mengucapkannya akan masuk surga juga, meskipun harus masuk neraka dulu. Padahal tidak demikian adanya. Rasulullah SAW tidak memaksudkan ucapan itu sebagai ucapan semata tanpa pembuktian. Ini adalah sesuatu yang jelas. Orang-orang munafik yang mengucapkannya dengan lisan mereka, tetapi mereka menjadi penghuni dasar neraka.

Rasulullah SAW juga bersabda,

الإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ شُعْبَة أعلاها قَوْلُ لاَ إِلَه إِلاَّ الله وَأَدْنَاهَا إِمَاطَة الأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ

“Iman itu terdiri dari tujuhpuluh sekian cabang. Yang paling tinggi adalah ucapan ‘Tidak ada ilah yang hak selain Allah’ dan yang paling rendah adalah menyingkirkan rintangan dari jalan.” (Hadits shahih riwayat Muslim dan Ibnu Majah)

أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا

“Orang beriman yang paling sempurna imannya adalah yang palilng baik akhlaknya.” (Hadits shahih riwayat Imam Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Hibban)

Lantaran iman meliputi pokok dan berbagai cabang, dan setiap cabang disebut iman, maka shalat juga disebut iman, demikian pula zakat, shiyam, haji, dan berbagai amal batin seperti malu, tawakal, takut kepada Allah. Di antara cabang-cabang itu ada yang membuat iman hilang jika ia hilang—seperti cabang dua kalimat syahadat, dan ada pula yang tidak—seperti cabang membuang rintangan dari jalan. Wallahu a’lam.



WAKTU WAKTU ISTIMEWA

Berkomunikasi, entah itu sharing, menyampaikan informasi, atau memberikan nasihat, tidak bisa dilepaskan dari situasi dan kondisi yang ada saat komunikasi itu terjadi. Artinya, bukan sekedar memindahkan pesan, berkomunikasi juga memindahkan sejumlah variabel yang mengikutinya, agar menimbulkan efek atau respon yang diinginkan. Sehingga selalu ada keadaan yang lebih tepat dan sesuai dibanding dengan yang lain. Seperti doa yang juga memiliki waktu-waktu mustajabnya.

Dan, beda situasi dan kondisi, beda pula hasil yang akan muncul. Sehingga dalam banyak hal, kita tidak bisa berprinsip ‘yang penting saya sudah menyampaikan’ tanpa melihat kemandulan pesan kita, sebab banyak pesan yang salah dimengerti karena salah cara dan salah memilih kondisi. Ada orang yang merasa tersinggung dan marah saat orang yang berbicara kepadanya merasa memberinya nasihat. Atau merasa dipermalukan padahal pihak lain merasa sedang mengingatkannya.

Pun demikian halnya dengan pendidikan anak-anak kita. Para calon penerus masa depan itu adalah manusia-manusia berpotensi besar dan hebat, insyaallah, kelak di kemudian hari. Yang karenanya mereka membutuhkan pendidikan yang benar dan terarah secara bertahap. Sebab alih-alih menjadi anak-anak yang shalih dan shalihah, mereka akan banyak memusingkan kepala dan menambah beban hidup jika kita gagal mendidik mereka dengan baik.

Arahan dan bimbingan yang kita berikan kepada mereka juga membutuhkan kondisi yang munasib, yang sesuai agar tepat sasaran, selain keteladanan yang tulus. Banyak lho, orangtua yang capek berbicara hingga berbusa-busa namun tidak didengarkan dengan baik karena tidak tepat memilih suasana. Banyak berbicara di hampir setiap suasana tentu saja bukan cara mendidik yang baik. Selain terkesan cerewet, lalu lintas informasi yang tidak hadir tepat waktu, tidak akan memberikan pengaruh kepada pendengarnya secara maksimal.Karena bagaimanapun, manusia juga memiliki hati yang mudah berubah-ubah dan terpengaruh suasana, bukan sekedar akal guna menangkap pesan yang didengar.

Kesempatan emas yang pertama guna menyampaikan bimbingan dan arahan adalah saat makan. Kondisi lapar atau rakus karena menginginkan yang lebih, banyak dan lebih besar dari yang lain, seringkali membuat keributan dan memunculkan perangai buruk. Selain tepat untuk mendampingi anak-anak dan menyelesaikan keributan yang mungkin ada, makan bersama merupakan saat yang tepat untuk mengajarkan sesuatu kepada mereka, juga memperbaiki kesalahan yang ada.

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam pernah menemani anak-anak makan, kemudian beliau meluruskan kekeliruan yang ada dengan sangat bijak. Seperti yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim dari Umar bin Abi Salamah yang pernah mengalami makan bersama Rasulullah. Ketika tangannya hendak menyentuh piring, Rasulullah bersabda kepadanya, “Nak, sebutlah nama Allah dulu, kemudian makanlah dengan tangan kananmu, dan ambillah makanan yang terdekat denganmu!” Kelak, nasihat ini sangat membekas di benak Umar bin Abi Salamah kecil.

Masalahnya adalah, berapa di antara kita yang memiliki kebiasaan makan bersama, hingga meski hanya sekali dalam seharinya?

Kesempatan emas yang kedua adalah ketika anak menderita sakit. Sebab bukan hanya kanak-kanak, orangtua yang keras hati dan berperangai kasar sekalipun, bisa menjadi lembut saat mereka merasakan sakit. Saat itulah mereka akan mudah menerima nasihat yang masuk. Dan pada anak-anak, mereka akan semakin mudah menerima arahan sebab jiwa kanak-kanak mereka yang lembut, bahkan saat sehat, memungkinkan semua itu.

Saat anak sakit adalah kesempatan yang sangat bagus untuk meluruskan kesalahan dan melakukan pembinaan pendidikan, bahkan hingga kepada masalah-masalah keyakinan atau akidah. Seperti Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam yang pernah mengunjungi seorang anak Yahudi yang sedang sakit. Dalam kesempatan yang sangat berharga itu, Rasulullah mengajak anak itu untuk memeluk islam, dan dia memenuhi ajakan beliau. Alhamdulillah!

Maka mari kita teladani Rasulullah dengan mendampingi anak-anak kita saat sakit, untuk kemudian memberikan arahan dan bimbingan yang mereka butuhkan secara bijaksana.

Sedang kesempatan emas yang lain adalah saat melakukan perjalanan atau berwisata. Ibnu Abbas mengisahkan tentang bimbingan yang didapatkannya dari Rasulullah saat dia membonceng beliau yang mengendarai bighal dalam sebuah safar. “Nak, peliharalah hak-hak Allah, niscaya Dia akan selalu menjagamu!” demikian Rasulullah bersabda kepadanya.

Selain pengetahuan tentang waktu istimewa untuk membimbing anak-anak, yang perlu kita perhatikan juga adalah sikap kita saat menyampaikan arahan itu, juga pilihan bahasa yang kita pakai. Rasulullah memanggil anak-anak shahabat itu dengan kasih sayang, ya bunayya atau ya ghulam yang menunjukkan kedekatan dan kelembutan. Beliau memangku Umar bin Abi Salamah, dan menggendong Abdullah bin Ja’far saat menyampaikan arahan.

Alangkah jelasnya semua arahan beliau shalallahu ‘alaihi wa salam yang suci ini. Semoga kita dimampukan Allah meneladani Rasulullah dalam semua aspek kehidupan kita. Wallahu a’lam bis shawwab!



ANTARA CITA2 DAN ANGAN ANGAN


Usai menyampaikan motivasi tentang dahsyatnya cita-cita, juga keharusan memiliki cita-cita yang tinggi, seorang peserta menghampiri saya, lantas memberikan apresiasi yang baik. Namun dia juga mengutarakan rasa bimbangnya. Ada rasa takut untuk bercita-cita, karena khawatir terjerumus kepada angan-angan yang dicela. Masih ada kesamaran, apa yang membedakan antara bercita-cita dengan panjang angan-angan.

Sekilas memang tampak mirip antara keduanya, sama-sama berharap bisa merengkuh suatu kesuksesan dan kemuliaan. Sementara, nash-nash menunjukkan adanya nilai yang berkebalikan antara keduanya. Allah dan Rasul-Nya memuji orang yang optimis dalam bercita-cita, menyukai cita-cita yang tinggi, juga menghasung kita untuk tinggi dalam bercita-cita. Seprti tersirat dalam doa untuk menjadi imam bagi orang-orang yang bertakwa, memohon jannah Firdaus yang merupakan jannah yang paling tinggi dan paling tengah, juga bertekad dengan tulus supaya sampai ke derajat orang yang syahid.

مَنْ سَأَلَ اللَّهَ الشَّهَادَةَ بِصِدْقٍ بَلَّغَهُ اللَّهُ مَنَازِلَ الشُّهَدَاءِ وَإِنْ مَاتَ عَلَى فِرَاشِهِ

Barangsiapa yang memohon syahid kepada Allah dengan tulus, maka Allah akan menyampaikan dirinya ke derajat syuhada’ meskipun dia mati di atas kasurnya.” (HR Muslim)

Berbeda dengan panjang angan-angan yang dipandang syariat sebagai cela. Layaknya penyakit yang perlu diterapi atau kelemahan yang mendatangkan kerugian dan kebinasaan. Firman Allah,

Biarkanlah mereka (di dunia ini) makan dan bersenang-senang dan dilalaikan oleh angan-angan (kosong), Maka kelak mereka akan mengetahui (akibat perbuatan mereka). (QS al-Hijr 3)

Muhammad bin Waasi’ rahimahullah, tokoh tabi’in berkata, “Ada empat pertanda kesengsaraan; panjang angan, keras hati, sempit pandangan dan bakhil.”

Maka jelas, nilai kedudukan keduanya berkebalikan, yang satu mulia dan yang satu hina. Lalu apa yang membedakan antara bercita-cita dan berangan-angan?

Beda Motivasi

Pertama, dari sisi sebab munculnya sudah beda. Angan-angan itu muncul karena dorongan hawa nafsu, seperti yang disebutkan oleh Imam as-Suyuuthi dalam Jami’ al-Hadits bahwa thuulul amal huwa raja’un ma tuhibbuhu an-nafsu, harapan (yang timbul) karena keinginan nafsu. Ingin kaya agar bisa menikmati setiap yang diinginkannya, ingin menjadi pejabat yang memiliki banyak bawahan dan terhormat di mata manusia, atau keinginan lain yang ujungnya adalah ingin mendapatkan kepuasan nafsu.

Berbeda halnya dengan cita-cita. Ia muncul dari pemikiran yang jitu, juga renungan yang mendalam tentang posisi atau target apa yang bisa mendatangkan maslahat untuk dirinya dan juga umat. Hal ini sesuai dengan pesan Nabi saw,

احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجِز

Bersungguh-sungguhlah mengupayakan apa-apa yang bermanfaat untukmu, memohonlah pertolongan kepada Allah dan janganlah kamu merasa lemah (pesimis).” (HR Muslim)

Beda Pula Efeknya

Di samping faktor pemicu antara angan dan cita-cita berbeda, efek yang ditimbulkan karena keduanya juga berbeda. Orang yang bercita-cita cenderung membulatkan tekadnya, mengatur langkahnya, mengerahkan potensinya dan serius untuk menggapai tujuannya. Berbeda dengan panjang angan-angan yang menyebabkan pemiliknya justru berleha-leha dan banyak melakukan taswif (menunda).

Dengan kata lain, jika ada seseorang memiliki target masa depan yang tinggi, tapi dia berleha-leha, maka yang dia miliki sebenarnya angan-angan, bukan cita-cita. Andai dia memiliki cita-cita, tentu dia akan menggunakan peluang dan potensinya untuk sesuatu yang bermanfaat dan mengantarkan cita-citanya. Dan untuk tujuan inilah Islam menghasung umatnya untuk bercita-cita mulia.

Nabi saw membedakan cita-cita mulia orang yang cerdas dengan kelemahan orang yang mengandalkan angan-angan,

الْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ وَالْعَاجِزُ مَنْ أَتْبَعَ نَفْسَهُ هَوَاهَا وَتَمَنَّى عَلَى اللَّه

Orang yang cerdas adalah orang yang sudi mengoreksi diri dan beramal untuk kehidupan setelah mati, sedangkan orang yang lemah adalah orang yang mengikuti hawa nafsunya, lalu berangan-angan kepada Allah.” (HR Tirmidzi, beliau mengatakan haditsnya hasan)

Si lemah berangan-angan, bahwa dengan bersenang-senang, mengikuti hawa nafsu, serta tanpa kesungguhan amal mereka menyangka akan mendapatkan kemuliaan oleh Allah. Tentang hadits ini, Al-Manawi dalam at-Taisir bi Syarhil Jaami’ ash-Shaghiir berkata, “Antara cita-cita dan angan-angan itu berbeda. Barangsiapa yang tidak mengolah tanah, tidak menaburinya dengan benih, namun dia menunggu datangnya panen, maka dia hanyalah pengandai yang terpedaya dan bukan orang yang bercita-cita. Karena orang yang bercita-cita itu adalah orang yang mengelola tanah, menaburinya dengan benih, mengairinya dengan air dan melakukan sebab-sebab yang logis untuk ikhtiar, lalu selebihnya dia berharap kepada Allah agar menghindarkan dari segala hama dan memberikan karunia panen raya.”

Cita-cita Hanya Milik Mukmin Saja

Satu hal lagi yang membedakan antara cita-cita dan panjang angan. Sesungguhnya, cita-cita hanyalah milik orang yang beriman saja. Setinggi apapun target yang hendak diraih oleh orang kafir, meski akhirnya mereka berhasil menggapainya, sebenarnya dari sejak semula, keinginan mereka hanyalah angan-angan semata. Karena obsesi terbesar mereka adalah dunia, puncak ilmu mereka adalah dunia dan mereka menyangka disitulah letak kebahagiaan dan kemuliaan, padahal itu hanyalah fatamorgana. Maka, sebenarnya mereka hanya memiliki angan-angan, bukan cita-cita.

Nantinya mereka akan sadar akan kekeliruannya dalam berangan-angan. Sadar telah salah mengambil jalan. Namun sayang, kesadaran itu muncul saat tak ada waktu lagi untuk merevisi angan-angan kosong menjadi cita-cita mulia,

Orang-orang yang kafir itu seringkali (nanti di akhirat) menginginkan, kiranya mereka dahulu (di dunia) menjadi orang-orang muslim.” (QS al-Hijr 2)

Ya Allah, sampaikanlah kami kepada cita-cita kami, untuk bersama orang-orang yang telah Engkau karuniakan nikmat kepada mereka, dari para Nabi, Shiddiqiin, Syuhada’ dan Shalihin. Amien

Tidak ada komentar:

Posting Komentar