MENEPIS DOSA ALA ORANG BERTAQWA
“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari syaitan, mereka ingat kepada Allah, Maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya.” (QS. al-A’raaf: 201)
Orang yang bertakwa bukanlah orang ma’shum yang terjaga dari segala kesalahan. Ada kalanya ia lengah, hingga terpancing oleh bujuk rayu setan. Kadang pula terbersit keinginan untuk bermaksiat, dan bahkan sesekali terjerumus ke dalamnya.
Tapi, alangkah beda karakter orang yang bertakwa dengan orang-orang fajir yang gemar berbuat dosa. Para pendosa tidak memiliki sensor dan lepas kontrol, tidak peka terhadap dosa, tidak berusaha mendeteksi status halal atau haram, tidak pula berpikir akan risiko perbuatan dosa yang dilakukannya.
Waspadai Dosa Sebelum Kedatangannya
Meski sesekali pernah berbuat dosa, dari awal orang yang bertakwa telah optimal melakukan penjagaan dari dosa. Dia berusaha ‘membangun’ pagar antara dia dengan dosa di wilayah yang aman dari dosa, bukan di wilayah ‘abu-abu’, atau persis di batas wilayah antara halal dan haram yang rawan dengan tindakan dosa. Karakter mereka seperti yng dijelaskan oleh Nabi SAW,
لاَ يَبْلُغُ الْعَبدُ أنْ يَكُونَ منَ المُتَّقِينَ حَتَّى يَدَعَ مَا لاَ بَأسَ بِهِ ، حَذَراً مِمَّا بِهِ بَأسٌ
“Seorang hamba belum mencapai derajat muttaqin sehingga dia meninggalkan apa-apa yang tidak berdosa karena takut terjerumus ke dalam dosa.” (HR Tirmidzi, beliau mengatakan, “hadits hasan”)
Dia tidak hanya meninggalkan yang haram, tapi juga yang syubhat agar lebih jauh dari dosa.
Orang yang bertakwa memiliki kepekaan yang tajam terhadap dosa. Terkadang sensor ketakwaannya mampu mendeteksi godaan setan sejak awalnya, juga dari pintu mana setan hendak masuk mencuri hatinya. Seketika itu iapun bersegera menepisnya. Dia mematuhi sabda Nabi SAW,
يَأْتِي الشَّيْطَانُ أَحَدَكُمْ فَيَقُولُ مَنْ خَلَقَ كَذَا مَنْ خَلَقَ كَذَا حَتَّى يَقُولَ مَنْ خَلَقَ رَبَّكَ فَإِذَا بَلَغَهُ فَلْيَسْتَعِذْ بِاللَّهِ وَلْيَنْتَهِ
“Setan mendatangi salah seorang dari kalian, lalu bertanya, “Siapakah yang menciptakan ini? Siapakah yang menciptakan itu?” Hingga dia bertanya,’Siapakah yang menciptakan Rabb-mu?’ Oleh karena itu, jika telah sampai kepadanya hal tersebut, maka hendaklah dia berlindung kepada Allah dan hendaklah dia menghentikan (waswas tersebut)”. (HR Bukhari)
Terkadang pula kepekaan itu muncul saat orang yang bertakwa itu benar-benar dekat sekali dengan kemaksiatan, lalu dia tersadar dan menjauh darinya. Ibnu Katsir di dalam tafsirnya menyebutkan riwayat dari Ibnu Asakir, bahwa ada seorang pemuda di zaman sahabat yang rajin beribadah ke masjid. Lalu, seorang wanita terus merayu dan menggodanya. Hingga suatu kali, hampir saja dia masuk ke dalam rumah bersama wanita itu, lalu dia teringat dan membaca firman-Nya,
“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari syaitan, mereka ingat kepada Allah, Maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya.” (QS al-A’raaf 201)
Tiba-tiba saja ia jatuh pingsan. Pemuda itu sempat sadar dan kembali mengulang bacaannya sebelum akhirnya wafat. Begitu besar rasa takutnya kepada Allah, hingga mencegahnya dari tindakan keji, meski jarak antara dia dengan dosa tinggal sedikit lagi.
Orang yang bertakwa juga mudah menerima peringatan, seketika tersadar saat dibacakan ayat-ayat Allah, sehingga mencegahnya untuk berbuat melampaui batas. Seperti ulama tabi’in, Ali bin Husain bin Ali yang dikenal dengan Zainul Abidin. Tatkala beliau hendak berwudhu, seorang budak beliau menuangkan air dengan kendinya, tiba-tiba kendi itu terjatuh dan pecah, hingga pecahannya melukai wajah beliau. Hampir saja beliau marah, tapi sang budak membacakan firman Allah dalam Surat Ali Imran 134, “wal kazhimiinal ghaizha..(yang menahan amarah)..” Beliau tersadar dan berkata, “Aku tahan amarahku!” Si budak melanjutkan, “wal ‘aafiina ‘anin naas (yang memaafkan manusia)..” Beliau menyahut, “Aku maafkan kamu!” Si budak melanjutkan, “wallahu yhibbul muhsiniin (dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik).” Lalu beliau berkata,
“Aku merdekakan dirimu!”
Peka Terhadap Dosa yang Telah Terjadi
Memang ada kemungkinan paling parah yang dialami orang yang bertakwa. Di mana ia benar-benar terjerumus ke dalam dosa. Tapi, kebeningan hatinya segera menyadarkan ia akan kesalahannya. Seketika itu ia akan menyesali perbuatannya, takut akan akibat, dan lantas bersegera kembali mengingat Allah. Berbeda dengan orang fajir yang tak merasa bersalah usai bermaksiat, tak ada penyesalan dan tetap merasa aman dan nyaman. Beda antara keduanya dijelaskan dalam sebuah hadits,
إِنَّ الْمُؤْمِنَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَأَنَّهُ قَاعِدٌ تَحْتَ جَبَلٍ يَخَافُ أَنْ يَقَعَ عَلَيْهِ ، وَإِنَّ الْفَاجِرَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَذُبَابٍ مَرَّ عَلَى أَنْفِهِ
“Sesungguhnya orang mukmin memandang dosanya seperti orang yang duduk di kaki gunung, ia takut tertimpa olehnya. Sedangkan orang fajir, memandang dosa-dosanya layaknya lalat yang melewati hidungnya (yang mudah dihalau).” (HR Bukhari)
Bukan sekedar menyadari kesalahan, orang yang bertakwa teringat akan dosanya, saat musibah menimpa mereka. Sufyan ats-Tsauri pernah mengatakan, “Aku terhalang shalat malam selama lima bulan karena dosa yang saya lakukan.”
Muhammad bin Sirin, seorang ulama tabiin juga pernah terlilit hutang. Lalu beliau mengevaluasi diri dengan caranya orang shalih, bukan dengan gaya pedagang. Lalu beliau mendapatkan kesimpulan, “Sungguh, musibah ini tidak menimpaku melainkan karena dosa yang pernah aku perbuat sejak 40 tahun yang silam. Di mana aku mengatakan kepada seseorang, “Hai, orang bangkrut!” Tatkala kisah ini disampaikan kepada Abu Sulaiman ad-Darani, beliau memberikan komentar, “Dosanya sedikit, sehingga dia bisa mendeteksi dosa mana yang menyebabkan musibah terjadi, tapi dosa kita banyak, sehingga tak tahu lagi, dosa mana yang menyebabkan datangnya tiap musibah.”
Allahumma aati anfusana taqwaaha, ya Allah, anugerahkan taqwa di hati kami. Amin.SAAT REKAMAN DOSA TAMPAK DIDEPAN MATA
“Pada hari ketika tiap-tiap diri mendapati segala kebajikan dihadapkan (dimukanya), begitu (juga) kejahatan yang telah dikerjakannya; ia ingin kalau kiranya antara ia dengan hari itu ada masa yang jauh; dan Allah memperingatkan kamu terhadap siksa-Nya. dan Allah sangat Penyayang kepada hamba-hamba-Nya.” (QS. Ali Imran 30)
Jiwa yang terpancari oleh cahaya iman akan tahu, apa yang harus dilakukan saat hati mengidap gejala sakit atau mebatu. Khalifah Abdul Malik bin Marwan, saat mendeteksi adanya bibit penyakit dalam hati berkata kepada Al-Manshur RHM, “Bacakanlah kepadaku suatu ayat dari Kitabullah, karena hal itu bisa menjadi obat bagi penyakit di dada, dan karena al-Qur’an adalah penyembuh dan cahaya.”
Dari sekian ribu ayat yang ada, al-Manshur memilih untuk membacakan firman-Nya,
“Pada hari ketika tiap-tiap diri mendapati segala kebajikan dihadapkan (dimukanya), begitu (juga) kejahatan yang telah dikerjakannya;” (QS. Ali Imran: 30)
Tampaknya, ayat yang dibacakan oleh al-Manshur tersebut begitu hebat menancap di ulu hati sang Khalifah, hingga menyebabkan beliau pingsan seketika. Di antara yang beliau ucapkan setelah siuman dari pingsannya adalah, “Sungguh, barangsiapa yang memikirkan ayat ini, lalu dia tetap nyaman dalam bermaksiat kepada Allah setelahnya, maka dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata.”
Rekaman Hidup di Dunia
Hari itu, masing-masing jiwa akan mendapati rekaman seluruh harinya di dunia. Tentang secuil ketaatan yang pernah dijalani, juga sederetan dosa yang pernah dilakoni. Tak ada sedikitpun yang tersembunyi atau terlewati. Itulah hari dibukanya topeng kemunafikan, ditelanjanginya segala bentuk kedustaan, disingkapnya segala makar kejahatan.
Satu perbuatan jahat yang telah dilupakan di dunia, atau sepenggal kata dusta yang telah tertimbun oleh memori berjuta giga, kelak akan terkuak pula. Tak ada sedikit jua yang tersisa. Dari yang kecil hingga yang besar, tampak begitu rincinya.
Pandangan manusiapun terbelalak. Seakan tak percaya sedetil itu semua lakon hidupnya akan terkuak. Sedikitpun ia tak mampu membela diri atau mengelak. Semua bukti yang ada terlalu valid untuk ditolak.
Apalagi, lembar kehidupan telah tercatat oleh malaikat. Bumi menjadi saksi atas segala ucapan, sikap dan gelagat. Allah menjadi saksi atas segala hal yang kita perbuat. Tangan, kaki dan semua jasad juga menjadi saksi kunci yang teramat kuat. Sementara lisan terkunci rapat, tak kuasa membantah meski hanya dengan satu kalimat.
Anas bin Malik RDL menceritakan, “Suatu kali kami bersama Nabi SAW, dan tiba-tiba beliau tertawa dan berkata, “Tahukah kalian, karena apa aku tertawa?” Kami menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.” Lalu beliau bersabda,
مِنْ مُخَاطَبَةِ الْعَبْدِ رَبَّهُ يَقُولُ يَا رَبِّ أَلَمْ تُجِرْنِى مِنَ الظُّلْمِ قَالَ يَقُولُ بَلَى. قَالَ فَيَقُولُ فَإِنِّى لاَ أُجِيزُ عَلَى نَفْسِى إِلاَّ شَاهِدًا مِنِّى قَالَ فَيَقُولُ كَفَى بِنَفْسِكَ الْيَوْمَ عَلَيْكَ شَهِيدًا وَبِالْكِرَامِ الْكَاتِبِينَ شُهُودًا – قَالَ – فَيُخْتَمُ عَلَى فِيهِ فَيُقَالُ لأَرْكَانِهِ انْطِقِى
“Karena perbincangan seorang hamba dengan Rabbnya. Hamba itu berkata, “Wahai Rabbi, bukankah Engkau bebaskan hamba dari kezhaliman?” Allah berfirman, “Ya.” Hamba itupun berkata, “Kalau begitu, hamba tidak mau menerima saksi lain kecuali saksi dari diriku sendiri.” Lalu Allah berfirman, “Cukuplah dirimu sendiri yang menjadi saksi pada hari ini, dan al-Kiraamul Kaatibun menjadi saksi!” lalu lisanpun dikunci, kemudian dikatakan kepada seluruh anggota badan, “Berbicaralah!.” (HR Muslim)
Allah SWT mengijinkan seluruh anggota badan untuk berbicara, tangan bisa bersuara, begitupun dengan kaki, mata dan telinga. Semuanya melapor tentang apa yang telah diperbuat di dunia. Ini sesuai dengan firman-Nya,
“Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan.” (QS. Yaasin: 65)
Jika demikian, masihkah hati tergiur oleh dosa? Adakah nafsu masih berselera dengan tindakan durjana? Sedangkan dosa yang telah lewat dan masih kita ingatpun sulit dihitung saking banyaknya. Dan lebih banyak lagi dosa yang kita telah lupa, namun Allah tidak pernah lupa.
Dosa-Dosa yang Tak Ditampakkan
Hari itu, tak terbayangkan betapa malunya para pendosa. Karena aib akan terbuka, dosa-dosa akan kasat mata. Kita tak sedang membicarakan orang lain yang kita lihat sering berbuat dosa. Tapi kita justru mengkhawatirkan nasib kita, akankah kita juga akan malu sedemikian rupa?
Rasa takut tetap harus ada, lalu antisipasi harus diambil segera. Jika tidak ingin malu lantaran salah dan dosa, jangan biarkan kita terseret ke dalamnya. Meski tak satupun manusia yang ma’shum dari dosa, tidak berarti boleh menjadi alasan kita untuk sengaja menjamahnya. Karena faktanya, banyak sekali dosa yang kita lakukan namun kita tak menyadarinya. Bukan karena lupa atau tak sadar melakukannya, tapi saking sering dan terlalu biasa. Hingga terhadap maksiat tak lagi peka. Maka jangan lagi kita menambah dosa, apalagi dengan sengaja.
Adapun maksiat yang telah terjadi di masa lalu, masih ada celah agar kelak di akhirat kita tak melihatnya. Yakni dengan taubat nashuha, berhenti, menyesal, bertekad untuk tidak mengulanginya, dan memohon ampunan Allah SWT.
Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahihnya dari Abu Dzar RDL, bahwa Nabi SAW bersabda,
“Sesungguhnya aku tahu orang terakhir yang masuk jannah, dan yang terakhir keluar dari neraka. Ada seseorang didatangkan pada hari Kiamat, lalu dikatakan, “Perlihatkan kepadanya dosa-dosa kecilnya!” Lalu dikatakan kepada orang itu, “Kamu telah melakukan ini, ini dan itu pada hari anu. Dan kamu juga berbuat ini, ini dan itu pada hari anu.” Orang itu berkata, “Benar,” ia tidak kuasa untuk mengelak, sedangkan dia masih mengkhawatirkan ditampakkannya dosa besar yang pernah dilakukannya. Lalu dikatakan kepadanya, “Bagimu, setiap keburukan (dihapus dan) diganti dengan kebaikan.” Lalu hamba itu berkata, “Wahai Rabbi, saya melakukan suatu dosa yang tidak saya lihat di sini?!” Sungguh aku (Abu Dzar) melihat Nabi tertawa hingga kelihatan gerahamnya.” (HR Muslim)
Allahu akbar! Begitulah kemurahan Allah, Dia menghapus dosa orang yang bertaubat, dan menggantinya dengan kebaikan. Sebagaimana firman-Nya,
“Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh; Maka itu kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. al-Furqan: 70)
Allahummastur ‘auraatana, wa aamin rau’atana, Ya Allah, tutuplah auarat kami dan amankanlah penjagaan kami. Amien.
HIDUP YANG BENAR BENAR BAIK
بِأَحْسَنِ مَاكَانُوا يَعْمَلُونَ
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS an-Nahl 97)
Hayaatan Thayyibah
Hidup yang Benar-benar Baik
Penghidupan yang baik, manusia mana yang tidak memimpikannya? Ia adalah puncak cita-cita setiap insan yang hidup di dunia. Untuk tujuan itu pula manusia berjuang sepanjang umur, mencurahkan sepenuh potensi dan tak jarang harus rela menyabung nyawa. Tapi kehidupan seperti apa yang dianggap baik oleh manusia?
Meski diungkapkan dengan kalimat yang sama, sesungguhnya persepsi manusia tentang makna penghidupan yang baik itu sangat beragam dan berbeda-beda. Perbedaan itu pula yang menyebabkan manusia berbeda cara untuk meraihnya, juga berlainan jalan yang ditempuhnya.
Yang paling umum, kehidupan yang baik diartikan sebagai hidup mapan secara ekonomi, anggota keluarga yang komplit, juga tempat timggal dan kendaraan yang nyaman, serta unsur lain yang bersifat materi. Memang, semua itu bisa saja melengkapi nilai sebuah kehidupan yang baik. Namun ada yang lebih inti, yang mesti ada untuk disebut sebagai hayaatan thayyibah, atau kehidupan yang baik.
Hidup Dengan Rizki yang Halal
Allah menjanjikan ganjaran bagi orang yang beriman dan beramal shalih, berupa kehidupan yang baik. Imam al-Qurthubi mengumpulkan pendapat para ulama tafsir tentang makna hayaatan thayyibah (kehidupan yang baik), ketika beliau menafsirkan firman Allah dalam Surat an-Nahl di atas.
Pertama, kehidupan yang baik bermakna rizqun halaalun, rizki yang halal. Beliau mengalamatkan pendapat ini kepada Ibnu Abbas, Sa’id bin Jubeir, Atha’ dan juga adh-Dhahak. Rizki yang halal akan mendatangkan ketenangan hati. Tenang saat mencari, nyaman pula tatkala membelanjakannya. Tak ada was-was, khawatir atau perasaan bersalah. Karena dia hanya mengambil yang dihalalkan oleh Allah, tidak pula merenggut apa yang menjadi hak orang lain.
Allah juga akan memberkahi rejeki yang didapat dengan cara yang halal. Sedangkan makna berkah adalah wujudnya pengaruh baik pada sesuatu. Yang sedikit bisa menjadi banyak, yang banyak juga mendatangkan maslahat. Dan berkah yang paling utama adalah menggunakan rejeki untuk taat kepada Allah.
Keberkahan itu terkadang berujud kemudahan urusan, anak istri yang berbakti, kedamaian di hati anggota keluarga dan hal-hal lain yang merupakan unsur-unsur kebahagiaan.
Berbeda dengan orang yang mendapat rejeki dari yang haram. Siksa hati di dunia telah mendera, sebelum merasakan siksa berta di akhirat. Kecuali jika dia bertaubat atau Allah berkehendak mengampuni kesalahannya.
Mereka yang mendapatkan rejeki dengan cara korupsi, mencuri, menipu timbangan, atau cara-rara haram yang lain, didera oleh was-was dan kekhawatiran yang berkepanjangan. Mereka takut saat mengambil, juga khawatir tatkala mengelola hasil. Keberkahan juga akan dicabut dari apa yang mereka dapatkan. Banyaknya harta tidak bermanfaat, tingginya jabatan tak membuatnya tenteram, dan harta yang dibelanjakannya hanya mendatangkan masalah dan problem yang sulit dipecahkan.
Qana’ah Atas Anugerah yang Allah Berikan
Makna kedua dari kehidupan yang baik adalah al-qana’ah. Ini adalah pendapat Hasan al-Bashri, Zaid bin Wahab, bin Munabih dan bahkan Ali bin Abi Thalib RDL. Sedangkan makna qana’ah adalah ridha bil qismi, ridha atas pembagian yang telah Allah anugerahkan. Tak diragukan, bahwa qana’ah akan membawa ketenteraman dan kebahagiaan hidup. Nabi SAW menyebut orang yang qana’ah sebagai orang yang beruntung, maka jelaslah bahwa hidup yang dijalani dengan qana’ah adalah kehidupan yang baik. Nabi SAW bersabda,
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًا وَقَنَّعَهُ اللَّهُ بِمَا آتَاهُ
“Sungguh beruntung, orang yang telah berislam, diberi rejeki yang cukup, lalu Allah menjadikannya qana’ah atas apa yang Dia karuniakan kepadanya.” (HR Muslim)
Tak setiap manusia yang dikarunia harta melimpah lantas puas dan ridha dengan apa yang didapatkan. Hati yang tidak qana’ah, akan terus panas terbakar oleh provokasi nafsu yang tak kenal puas. Bak minum air laut, yang tak hilang dahaga karenanya. Seandainya diberikan kepadanya satu ladang emas, niscaya dia akan mencari ladang yang kedua. Dan inilah hakikat kefakiran yang sebenarnya.
Taufik untuk Menjalankan Ketaatan
Makna ketiga adalah taufiiq ila ath-thaa’aat, anugerah taufik atau kekuatan untuk bisa menjalankan ketaatan kepada Allah. Ini juga menjadi salah satu pendapat adh-Dhahak. Beliau juga berkata, “Barangsiapa yang beramal shalih sedangkan dia beriman dalam kondisi susah dan mudah, maka kehidupannya adalah kehidupan yang baik. Dan barangsiapa yang berpaling dari berdzikir kepada-Nya dan tidak beriman kepada Rabbnya, tidak beramal shalih, maka kehidupannya adalah kehidupan yang sempit, tak ada kebaikan di dalamnya.”
Telah di-nash oleh Allah bahwa “innal abraara lafii na’iim, wa innal fujjaara lafii jahiim”, sungguh orang yang berbakti itu akan beroleh kenikmatan, dan sesungguhnya orang yang fajir itu akan beroleh jahim (kesengsaraan). Kenikmatan maupun kesengsaraan yang dimaksud bukan sebatas kenikmatan jannah atau penderitaan di neraka saja, tapi juga di dunia, di alam barzakh, dan di daarul qarar (jannah atau neraka), seperti yang dijelaskan oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam kitab al-Jawaabul Kaafi.
Maka barangsiapa yang mencari kenikmatan yang bukan dalam ketaatan kepada-Nya, niscaya akan dihukum dengan kesengsaraan hati di dunia, diombang-ambing oleh nafsu yang kebingungan mencari klimaks kenikmatan.
Makna Lain yang Melengkapi
Pendapat keempat, Mujahid, Qatadah dan Ibnu Zaid berkata, “Maksud kehidupan yang baik adalah jannah.” Inia adalah pendapat Hasan al-Bashri. Beliau berkata, “Tidak ada kehidupan yang lebih baik dari kehidupan di jannah. Memang begitulah adanya. Jannah adalah kehidupan yang baik. Terkumpul di dalamnya kenikmatan yang tak terkurangi sedikitpun takarannya. Juga disingkirkan atas mereka segala perkara yang menyusahkan atau sekedar mengurangi rasa nyaman. Terkumpul di dalamnya, antara keridhaan ar-Rahman dengan nafsu yang terpuaskan. Allah berfirman,
“Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta.” (QS. Fushilat: 31)
Masih ada lagi makna lain yang disebutkan oleh para ulama yang masing-masing tidak saling bertentangan, dan bahkan saling menguatkan satu sama lain. Orang yang beriman dan beramal shalih akan mendapatkan kehidupan yang baik dengan segala pengertian di atas. Karena itu, Ibnu Katsier RHM berkata setelah menyebutkan berbagai pendapat para ulama tentang makna kehidupan yang baik, “Yang benar, bahwa makna kehidupan yang baik mencakup semua pengertian di atas..”
Semoga Allah menganugerahkan kepada kita, kehidupan yang baik di dunia, di alam bazakh di di jannahnya yang abadi. Amein.TIADA KATA GAGAL SEBELUM DATANG AJAL
Setiap orang mungkin pernah merasakan pahitnya kegagalan. Target yang tidak tercapai, perjuangan yang tak membuahkan hasil sesuai keinginan, atau bahkan permohonan yang tak kunjung terkabulkan.
Manusiapun beragam dalam menyikapi kenyataan seperti ini. Ada yang sedih ketika tak lulus sekolah, ada yang depresi lantaran gagal menjadi pejabat, stress lantaran usahanya gulung tikar, dan bahkan ada yang bunuh diri karena gagal menikah dengan orang yang dicintainya. Intinya adalah putus asa dan berat menerima kenyataan yang tidak sesuai harapan.
Tak Ada Istilah Gagal, Kecuali dalam Satu Hal
Sebenarnya, tak ada istilah gagal dalam berusaha, selain kegagalan dalam menyikapi hasil. Inipun, masih ada peluang untuk perbaikan. Hanya ada satu kegagalan yang fatal, yang benar-benar dikatakan gagal, yakni gagal dalam mengisi hidup hingga datangnya ajal.
Kalaupun ada tujuan yang belum mampu didapatkan, secara hakikat bisa jadi bukan bermakna kegagalan. Bisa jadi, penangguhan keberhasilan itu merupakan anugerah. Agar kita mau bermuhasabah, lalu ada kesempatan untuk memperbaiki diri. Seandainya keberhasilan langsung wujud, mungkin tak ada waktu lagi untuk berbenah. Seyogyanya, seorang muslim langsung bermuhasabah begitu tujuan yang hendak diraih itu meleset.
Pertama, apakah tujuan tersebut benar-benar sesuatu yang disyariatkan, atau bahkan bertentangan dengan syariat. Jika ternyata bertentangan dengan syariat, maka bersyukurlah ketika gagal, karena berarti Allah masih sayang kepadanya. Dia hendak menghindarkannya dari sesuatu yang bertentangan dengan syariat. Maka ia bukan orang yang gagal, tapi sukses dalam menghindari suatu keburukan.
Namun jika ternyata yang belum berhasil diraihnya adalah suatu tujuan yang mulia, hendaknya ia kembali introspeksi terhadap cara yang dia tempuh. Apakah menggunakan cara yang haram, ataukah yang diijinkan oleh syariat. Jika caranya haram, maka cobalah kembali dengan cara yang sesuai syar’i, karena Allah tidak menghendaki sesuatu yang mulia diraih dengan cara yang hina.
Jika ternyata caranya juga sudah sesuai syar’i, namun belum juga berhasil, ada baiknya melihat makasib (usaha) secara kauni. Dengan bahasa kekinian, apakah usaha tersebut telah termenej dengan baik, baik dari sisi perencanaan, pengelolaan, maupun kontrolnya? Karena bisa jadi kegagalan (sementara) itu disebabkan kurangnya pengetahuan, kesungguhan atau kedisiplinan dalam berusaha. Dengan kegagalan tersebut, Allah memberi kesempatan kepada kita untuk memperluas pengetahuan dan meningkatkan kesungguhan kita dalam berusaha. Bukankah ini berarti keberhasilan dalam memperbaiki diri? Bahkan keberhasilan seperti yang diinginkan segera mengikuti insya Allah. Perhatikanlah seekor semut yang membawa beban berat menuju sarangnya di ketinggian pohon. Berapa kali ia terjatuh, sebanyak itu pula ia bangkit dan berusaha, hingga akhirnya ia berhasil mencapai tujuan yang diinginkan.HINA DIANGGAP MULIA
Meniru adalah tabiat manusia. Sangat sulit bagi kita untuk tidak meniru. Toh, tak selalunya meniru itu buruk. Tergantung siapa yang ditiru, dalam hal apa dan bagaimana kita meniru. Ada nasihat orang arif di zaman dahulu, “Tasyabbahu, in lam takuunu mitslahum, fa innat tasyabbaha bil kiraam falaah,” Tirulah (orang mulia), kalaupun kamu tidak bisa persis mereka, sesungguhnya meniru orang yang mulia itu adalah keberuntungan.
Persoalannya adalah, terpampang di hadapan manusia banyak sekali pilihan yang memungkinkan untuk ditiru. Dari yang sekaliber dunia, hingga yang tingkatan lokal. Dari yang paling baik, hingga yang paling buruk, dan dari zaman Adam hingga zaman kita sekarang, dari yang berujud sosok perorangan maupun kaum atau golongan.
Pedoman umumnya sama, bahwa semua orang pasti memilih meniru tokoh atau kaum yang dianggapnya mulia, lebih mulia dari posisinya sekarang ini. Hanya saja, penilaian tentang siapa yang mulia dan siapa yang hina berbeda-beda, tergantung dari sisi mana mereka memandang.
Bila Diukur dengan Kaca Mata Dunia
Ketika era generasi sekarang terjangkiti penyakit akut bernama al-wahn , dengan indikasi hubbud dunya wa karahiyatul maut (gandrung dunia dan takut mati), maka kaca mata duniawi menjadi sudut pandang paling utama. Ukuran mulia adalah kemewahan dan kebebasan dalam mengekspresikan apa yang diinginkan. Kaum dengan tipe seperti inilah yang hari ini dianggap mulia, untuk kemudian dijadikan sebagai panutan dan idola. Simpel kata, sekarang banyak yang menjatuhkan pilihannya kepada komunitas Barat untuk ditiru. Mereka merasa bisa ’nebeng’ mulia apabila bisa mengikuti jejak mereka, mirip dengan mereka atau bahkan sekedar ikut-ikutan dan ’mengcopy-paste’ tradisi mereka. Padahal, mereka adalah representasi dari kaum Yahudi dan Nasrani, atau bahkan orang kafir secara umum. Hal mana Nabi Shallalahu alaihi Wasallam sudah mengingatkan sejak lama dengan sabdanya,
لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَ ذِرَاعًا بِذِرَاعٍ , حَتَّى لَوْ سَلَكُوْا جُحْرَ ضَبٍّ لَسَلَكْتُمُوْهُ قُلْنَا : يَا رَسُوْلَ اللهِ, اَلْيَهُوْدَ وَ النَّصَارَى ؟ قَالَ فَمَنْ ؟
“Kalian sungguh-sungguh akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sampai seandainya mereka masuk ke lubang dhabb (semacam biawak), niscaya kalian akan masuk pula ke dalamnya. Kami (sahabat) bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah yang dimaksud itu adalah Yahudi dan Nashrani?” Beliau berkata, “Siapa lagi kalau bukan mereka?” (HR Bukhari dan Muslim)
Imam an-Nawawi dalam Syarah Muslim menjelaskan tentang hadits di atas, “Yang dimaksud dengan sejengkal, sehasta dan penyebutan lubang dhabb dalam hadits ini menggambarkan betapa semangatnya umat ini mencocoki umat terdahulu dalam penyelisihan dan maksiat, mencontoh mereka dalam segala sesuatu yang dilarang dan dicela oleh syariat.”
Karena gandrungnya terhadap Barat, apapun yang berasal dari Barat diadopsi sebagai pegangan dan tradisi. Meskipun berupa perilaku maksiat, maupun pola pikir yang bertentangan dengan syariat. Pergaulan bebas dengan lawan jenis, kebiasaan minum khamr, nyanyian-nyanyian yang mengobral kata-kata cabul, dandanan yang mengumbar aurat dan pola pikir liberal adalah sebagian produk Barat menu utama yang dikonsumsi umat. Apalagi, media yang entah memiliki kepentingan sama dengan Barat, atau karena alasan komersil menjadi sarana yang sangat efektif menyebar ’virus’ tasyabbuh (sikup meniru) terhadap budaya Barat.
Padahal Mereka Hina
Adalah naif, jika kaum muslimin terkesima dan terpesona oleh keglamouran Barat. Atau menganggap mereka mulia, sehingga dengan suka hati menjadi penerus budaya mereka. Tidak layak pula kaum muslimin minder, apalagi bersedih lantaran tidak bisa bebas seperti mereka. Karena kemuliaan kita terletak pada keimanan yang kita pegangi, dan kehinaan itu apabila kita tanggalkan ketaatan dan keimanan, lalu menggantinya dengan dosa dan kekafiran. Bagaimana mungkin kita menganggap orang kafir mulia, sementara Allah menganggap mereka makhluk paling hina,
”Sesungguhnya orang-orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke naar Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.” (QS al-Bayyinah 6)
Bila ditanya mengapa mereka dianggap hina, akan banyak alasan yang kita temukan dalam ayat-ayat maupun kalam rasul-Nya. Kehinaan suatu kaum bisa ditilik dari rendahnya tujuan dan cita-cita. Orang-orang kafir itu hina, karena puncak obsesi mereka adalah dunia yang hina, yang paling mereka buru adalah kenikmatan yang fana, tak sebanding dengan kenikmatan akhirat, baik dari sisi kadar maupun masanya. Allah telah menyingkap ‘goal setting’ yang diimpikan mereka,
“Maka berpalinglah (hai Muhammad) dari orang yang berpaling dari peringatan Kami, dan tidak mengingini kecuali kehidupan duniawi. Itulah sejauh-jauh pengetahuan mereka.” (QS. an-Najm 29-30).
Yakni, memburu kesenangan duniawi adalah obsesi terbesar mereka. Padahal, gambaran remehnya nilai dunia dibanding akhirat digambarkan Nabi saw seumpama tetesan air yang menempel di jari-jari, dibanding seluruh air di samudera, sungguh tak terukur jauhnya selisih antara keduanya. Karena murahnya dunia di sisi Allah, maka Allah memberikan kekayaan dunia kepada siapapun, tanpa membedakan yang mukmin dan yang kafir, yang dicinta maupun yang dibenci. Andai saja dunia itu berharga di sisi Allah, tentu Dia hanya akan menganugerahkan kepada orang-orang yang dicintainya saja. Rasulullah SAW bersabda,
لَوْ كَانَتِ الدُّنْيَا تَعْدِلُ عِنْدَ اللَّهِ جَنَاحَ بَعُوضَةٍ مَا سَقَى كَافِرًا مِنْهَا شَرْبَةَ مَاءٍ
“Seandainya dunia itu di sisi Allah senilai dengan sebelah sayap nyamuk, niscaya Allah tidak memberikan minum kepada orang kafir, meski hanya seteguk air.” (HR Tirmidzi, beliau mengatakan shahih)
Begitu remeh cita-cita orang yang tak beriman. Yang karenanya, sehebat apapun mereka, Allah menganggapnya sebagai kaum yang tidak berakal, tidak memahami dan tidak mengetahui?Bagaimana mereka jadikan dunia sebagai tujuan akhir hidupnya, sedangkan ujung dari kehidupannya adalah kematian? Boleh jadi ajal datang sebelum mereka sempat menikmati jerih payahnya, selain hanya sedikit saja. Pun, kenikmatan yang remeh temeh itu harus dibayar dengan penderitaan yang kekal di neraka. Maha Suci Allah yang berrfirman,
”Janganlah sekali-kali kamu terpedaya oleh kebebasan orang-orang kafir bergerak di dalam negeri. Itu hanyalah kesenangan sementara, kemudian tempat tinggal mereka ialah Jahannam; dan Jahannam itu adalah tempat yang seburuk-buruknya.” (QS. Ali Imran 196 – 197)
Mereka Juga Menderita
Mungkin umat yang meniru orang kafir hanya melihat yang enak-enak saja dari mereka. Seakan hidup tanpa beban, bersenang-senang dan menyalurkan keinginan sesuka hati. Padahal, realitanya tak seperti yang mereka duga. Tak ada satupun manusia hidup tanpa pernah menghadapi masalah. Selalu dan pasti ada dua warna dalam hidup, sedih dan gembira, sehat dan sakit, tangis dan tertawa serta kemudahan dan kesulitan. Justru orang yang beriman memiliki nilai sangat lebih dibanding orang-orang kafir,
“Janganlah kamu berhati lemah dalam mengejar mereka (musuhmu). Jika kamu menderita kesakitan, maka sesungguhnya merekapun menderita kesakitan (pula), sebagaimana kamu menderitanya, sedang kamu mengharap dari Allah apa yang tidak mereka harapkan.” (QS. An-Nisa’ 104)
Harapan inilah yang menjadi faktor peringan dari beban insan beriman. Harapan untuk mendapatkan ganti yang lebih baik di dunia, pahala yang lebih besar lagi di sisi Allah, dan juga harapan terhapusnya dosa dan kesalahan. Karena sekecil apapun musibah menimpa insan beriman, bisa menghapus dosa-dosanya. Nabi saw bersabda,
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُصِيبُهُ أَذًى شَوْكَةٌ فَمَا فَوْقَهَا ، إِلاَّ كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا سَيِّئَاتِهِ ، كَمَا تَحُطُّ الشَّجَرَةُ وَرَقَهَا
”Tiada seorang muslim pun yang ditimpa suatu gangguan, baik karena duri maupun yang lebih berat, kecuali Allah menghapus kesalahan-kesalahannya, sebagaimana pohon yang menggugurkan daun-daunnya.” (HR Bukhari)
Berbeda dengan mereka. Tak ada alasan yang meringankan, tak ada pula kompensasi di akhirat atas musibah yang dideritanya. Derita dunia bagi mereka hanyalah ’pendahuluan’ dari siksa yang akan menimpa mereka di akhirat. Maka layakkah kita meniru kaum yang memiliki masa depan begitu suram seperti mereka? Alangkah indah motto Khalifah Umar bin Khathab, Innaa qaumun a’azzanallahu bil Islam, falan nabtaghil ’izzah bighairihi. Kami adalah suatu kaum yang telah Allah muliakan dengan Islam, maka kami tidak mengharapkan lagi kemuliaan selain dengannya. Wallahu a’lam.JANJI SEBELUM SEGALA JANJI
” Mitsaq yang diambil oleh Allah Ta’ala dari Adam dan keturunannya adalah benar adanya.”
Mitsaq berarti janji. Makna matan ini, Allah Ta’ala telah mengambil janji dari seluruh manusia dan mempersaksikan kepada mereka, bahwa Dia adalah Rabb alam semesta. Landasan matan yang menerangkan tentang mitsaq ini adalah firman Allah,
“(Ingatlah) ketika Rabb-mu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari punggung (sulbi) mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), ‘Bukankah aku ini Rabb-mu?’ Mereka menjawab, ‘Benar, (Engkau adalah Rabb kami). Kami menjadi saksi.’ (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan, ‘Sesungguhnya kami (anak-cucu Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Allah); atau agar kamu tidak mengatakan, ‘Sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan Allah sejak dahulu, sedang kami ini adalah anak-anak keturunan yang (datang) sesudah mereka. Maka, apakah Engkau akan membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang sesat dahulu?’.” (QS. Al-A’raf: 172-173)
Imam Ahmad meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas RDL bahwa Rasulullah SAW pernah ditanya mengenai ayat ini. Beliau menjawab, “Sesungguhnya Allah mengambil janji dari punggung Adam as (saat dia berada) di Na’man—dekat Arafah. Dari sulbi-nya Allah mengeluarkan semua keturunannya dan menebarkan mereka di hadapan-Nya, kemudian Dia berbicara kepada mereka. Allah berfirman, ‘Bukankah aku ini Rabb-mu?’ Mereka menjawab, ‘Benar, (Engkau adalah Rabb kami). Kami menjadi saksi.’
Penciptaan Ruh
Berdasarkan ayat di atas, sebagian ulama menyatakan bahwa ruh diciptakan lebih dahulu daripada jasad. Allah telah menciptakan semua ruh anak-cucu Adam, yakni ruh yang Allah keluarkan dari punggungnya pada hari persaksian itu. Jika Allah berkehendak untuk menciptakan seseorang, Dia memerintahkan malaikat yang bertugas mengurus ruh, lalu ruh pun ditiupkan pada janin manusia yang berusia 120 hari di kandungan.
Menurut sebagian ulama yang lain, ayat tersebut tidak harus dipahami seperti itu. Bagi Allah yang Mahakuasa, mudah saja mengeluarkan mereka dari punggung Nabi Adam lalu mengembalikannya. Kemudian, ketika janin manusia berumur 120 hari dalam kandungan, Allah menciptakan ruhnya dan ditiupkanlah ruh itu kepadanya. Yang seperti itu bukan perkara yang sulit bagi Allah.
Apa pun, kita wajib mengimani bagian yang disepakati oleh para ulama—pada bagian yang diperselisihkan, kita diperbolehkan memilih salah satu pendapat yang menurut kita dalilnya lebih kuat—bahwa Allah telah mengambil janji kepada kita semua dan mempersaksikan bahwa Dia adalah Rabb kita. Bahwa kita telah mengucapkan, “Balaa syahidnaa.”
Dalil Fitrah
Berdasarkan ayat di atas pula—dan dalil-dalil yang lain—para ulama menyatakan bahwa semua manusia dilahirkan di atas fitrah, di atas pengakuan terhadap tauhid Rububiyah, bahwa Allah adalah Khaliq (Pencipta), Malik (Pemilik), dan Mudabbir (Pengatur) mereka. Rasulullah SAW bersabda,
“Tidak ada seorang pun yang dilahirkan, melainkan ia dilahirkan di atas fitrah. Kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (H.R. Muslim)
Karena itulah sejatinya tidak ada udzur dan hujjah bagi orang yang mengingkari Rububiyah Allah dan beribadah kepada selain-Nya di dunia, lalu pada hari Kiamat kelak dia mengatakan, “Kami telah lalai dari hal itu.” Atau mengatakan, “Sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan Allah sejak dahulu, sedangkan kami ini adalah anak-anak keturunan yang datang sesudah mereka, hanya mengikuti mereka.”
Sejatinya dalil fitrah itu cukup. Ada ulama mengatakan, jika ada bayi yang ditinggal di hutan belantara atau di dalam gua sebatang kara sehingga dia besar di tempat itu, niscaya dia akan meyakini Rububiyah Allah. Sebab tidak ada yang menyimpangkannya dari fitrahnya.
Meskipun demikian, Allah tidak mencukupkan dalil fitrah ini sebagai alasan untuk meminta manusia bertanggung jawab atas semua amal perbuatan dan ucapan mereka. Mereka baru dimintai pertanggungjawaban atas semua itu setelah sampainya hujjah/risalah kepada mereka. Allah berfirman,
“(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan supaya tidak ada alasan bagi manusia untuk membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu.” (QS. An-Nisa`: 165)
“Maka sesungguhnya Kami akan menanyai umat-umat yang telah diutus rasul-rasul kepada mereka dan sesungguhnya Kami akan menanyai (pula) rasul-rasul (Kami).” (al-A’raf: 6)
Alangkah luas kasih sayang Allah kepada kita!
Testimoni Muallaf
Ketika kita berdakwah atau menyeru seorang Yahudi, Nasrani, Majusi, atau yang lain untuk berislam, sesungguhnya kita sedang menyeru mereka kepada sesuatu yang sudah terpahat dalam jiwanya. Kita menyerunya untuk kembali kepada fitrahnya.
Banyak di antara para muallaf itu yang memberikan kesaksian bahwa agama yang selama ini mereka anut, mereka rasakan sebagai agama yang batil dan dipenuhi keragu-raguan. Setelah berislam, barulah mereka merasakan ketentraman batin.
Ada juga di antara tokoh agamawan non-muslim yang sebelum memeluk Islam sudah yakin bahwa agama yang selama ini mereka anut bukanlah agama Allah. Begitu dia mengenal dan mempelajari Islam, dia pun yakin bahwa Islam adalah agama yang benar dan al-Qur`an itu datang dari Pencipta langit, bumi, dan segala yang ada di antara keduanya.
Demikianlah, tidak ada perubahan dalam fitrah Allah. Dan itu adalah dien Allah yang lurus. Hanyasaja kebanyakan manusia tidak mengetahui.
Salah Paham Ahli Kalam
Orang-orang yang mendalami filsafat dan ilmu kalam seringkali membuat kesimpulan yang berbeda dengan kesimpulan yang dihasilkan oleh para ulama ahlussunnah wal jamaah. Salah satu perbedaan itu menyangkut masalah fitrah.
Para ulama Ahlussunnah meyakini bahwa semua manusia dilahirkan di atas fitrah, sehingga apabila seorang anak muslim hidup di tengah-tengah keluarga muslim yang bersungguh-sungguh dalam menjaga fitrahnya, maka statusnya tetap muslim—telah muslim—ketika dia mencapai akil balig. Sedangkan menurut ulama kalam, masalah agama itu adalah masalah taklid. Maknanya, seorang anak yang dibesarkan dalam lingkungan islami, saat dia mencapai akil balig, dia tidak serta mesta menjadi seorang muslim. Dia harus mengikrarkan dua kalimat syahadat, sehingga dengan itu dia mendapatkan statusnya sebagai seorang muslim.
Sesungguhnya ini adalah kesimpulan yang keliru. Apatah lagi, sudah jamak diketahui bahwa sebelum balig sekalipun, jika seorang anak berbuat baik -mengerjakan shalat, berbakti kepada kedua orang tua, atau berkata jujur, misalnya-maka kebaikannya akan dicatat sebagai amal shalihnya; namun jika dia berbuat dosa -meninggalkan shalat, durhaka kepada kedua orang tua, atau berkata bohong, misalnya – maka pena pencatat amal buruk masih belum berlaku baginya. Sekali lagi, alangkah luas kasih sayang Allah kepada kita!
HIDAYAH LAMBAT KARENA ADAT
Allah tidak pernah terlambat memberikan hidayah. Allah Mahatahu, kapan waktu yang paling tepat untuk menurunkannya. Sebagaimana Allah juga Mahatahu, siapa yang layak didahulukan atau diakhirkan hidayahnya, atau bahkan yang tidak layak memperolah secercahpun hidayah dari-Nya.
Jikalau ada yang diperlambat datangnya hidayah, bukan karena Dia kikir atau pelit, sungguh Dia Maha Penyayang lagi Maha Pemurah. Keterlambatan, atau bahkan terhalangya seseorang dari hidayah itu disebabkan oleh ulah dan sikap manusia dalam menerima dan menyambutnya. Atau dominasi hawa nafsu yang menguasai diri, sehingga menampik datangnya hidayah. Baik hidayah Islam secara global, ataupun hidayah tafshil (yang rinci), berupa menjalankan berbagai perintah, dan menjauhi segala hal yang dilarang oleh Allah.
Adat, Hambatan Paling Berat
Saat cahaya Islam pertama kali menyapa kaum Arab Quraisy, tak serta merta disambut dengan gegap gempita. Bahkan lebih banyak penentang katimbang pendukungnya. Alasan paling populer dari para penentang adalah, karena Islam tak sejalan dengan adat dan agama nenek moyang mereka.
Taklid kepada leluhur lebih mereka utamakan dari ajakan Allah dan Rasul-Nya, meskipun hati kecil mereka meyakininya. Tak ada penghalang yang lebih berat bagi Abu Abu Thalib, paman Nabi SAW, selain beban untuk berpegang kepada agama leluhurnya. Adalah Abu Jahal yang memprovokasi Abu Thalib di ujung hayatnya. Dia membujuk, “Apakah engkau hendak meninggalkan agama Abdul Muthallib?” Hingga akhirnya Abu Thalib mati dalam keadaan musyrik. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi, sebelum meninggal, dia mengulang-ulang sya’irnya,
Aku tahu bahwa agama Muhammad terbaik bagi manusia
Kalau saja bukan karena agama nenak moyang yang dicela
Niscaya engkau dapatkan aku menerima dengan sukarela
Sikap ini mewakili sekian banyak orang yang menampik hidayah, juga enggan untuk tunduk terhadap titah Allah dan Rasul-Nya. Karakter para penentang ini dikisahkan dalam firman-Nya,
“Apabila dikatakan kepada mereka:”Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul”. Mereka menjawab:”Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya”. (QS. Al Maidah:104)
Ketika mereka diajak menjalankan agama Allah dan syariatnya, menjalankan kewajiban dan apa yang diharamkannya, mereka menjawab, ”cukup bagi kami mengikuti cara dan jalan yang telah ditempuh oleh bapak dan kakek kami.” Demikian dijelaskan tafsirnya oleh Ibnu Katsier rahimahullah.
Seakan al-Qur’an masih hangat turun ke bumi. Betapa alasan ini sangat populer kita dapati. Tatkala didatangkan dalil dari al-Qur’an maupun as-Sunnah, baik tentang larangan yang tak boleh dijamah, atau perintah yang mesti dilakukan, seringkali kandas ketika dalil itu tak sejalan dengan kebiasaan yang telah berjalan. ”Jangan merubah adat…! Ini sudah tradisi para leluhur…! Biasanya memang begini…!” dan ungkapan lain yang mengindikasikan ketidakrelaan mereka jika adat diganti dengan syariat. Ungkapan seperti ini tak jarang muncul dari lisan orang yang telah menyatakan dirinya Islam, yang telah mengikrarkan bahwa ia rela Allah sebagai Rabbnya, Muhammad sebagai Nabi dan Rasul, dan Islam sebagai agamanya. Tapi begitu syariat tidak sejalan dengan adat, adat lebih mereka utamakan.
Sejenak kita akan tahu bahwa, masih banyak warisan adat leluhur yang ternyata bertentangan dengan syariat, bahkan jika dirunut, tak hanya warisan nenek moyang masyarakat Indonesia, tapi warisan penyembah berhala di era jahiliyah Arab.
Kesesatan yang Dilestarikan
Atas nama melanggengkan nilai-nilai luhur tradisi nenek moyang, budaya sesaji masih tetap lestari. Dari yang hanya sekedar mempersembahkan menu ’wajib’ berupa hewan sembelihan, maupun yang berupai kemenyan, buah-buahan dan ’tetek bengek’ lain sebagai menu tambahan. Semua itu ditujukan kepada sesuatu yang diagungkan, apakah jin penunggu, arwah leluhur atau dewa yang diyakini keberadaannya.
Tradisi ini mengiringi momen-momen penting dalam kehidupan manusia, seperti peringatan kelahiran, kematian, upacara pernikahan, peresmian gedung atau jembatan, peringatan hari besar, juga untuk tujuan insidental seperti mencegah terjadinya marabahaya. Tak ketinggalan pula masyarakat kita yang mengaku dirinya muslim. Mereka turut membudayakannya dengan sedikit modivikasi dan dikemas dengan simbol-simbol Islam.
Sulit untuk mendapatkan jawaban yang memuaskan, sejak kapan tradisi sesaji bermula di negeri ini. Paling-paling kita harus puas dengan jawaban, ”itu sudah menjadi adat nenek moyang sejak dahulu.”
Jika ditelisik, sesaji tak hanya menjadi tradisi Hindu atau penganut animisme maupun dinamisme di Indonesia saja. Tapi juga merupakan adat jahiliyah Arab, yang kemudian disapu bersih dengan hadirnya Islam. Ini terlihat dari banyaknya ayat dan hadits yang melarang sembelihan untuk selain Allah, juga ancaman bagi yang melakukannya.
Dahulu, orang biasa Arab biasa menyembelih hewan di sisi kuburan, lalu Islam melarangnya. Sebagaimana hadits Nabi SAW,
لاَ عَقْرَ فِي الإِسْلاَمِ قَالَ عَبْدُ الرَّزَّاقِ: كَانُوا يَعْقِرُونَ عِنْدَ الْقَبْرِ بَقَرَةً أَوْ شَاةً
“Tidak boleh ada ‘aqr (menyembelih di kuburan) dalam Islam.” (HR. Abu Dawud)
Abdurrazzaq yang meriwayatkan hadits tersebut berkata; dahulu mereka menyembelih sapi atau kambing di kuburan.
Dengan alasan mengikuti adat, tradisi itupun masih dilestarikan dengan istilah bedah bumi (‘meminta ijin’ untuk menggali liang kuburan), atau sebagai penghormatan kepada orang yang telah mati.
Padahal secara tegas Nabi SAW bersabda,
وَلَعَنَ اللَّهُ مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللَّه
“Dan Allah melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah.” (HR. Muslim)
Jimat untuk kesaktian dan penangkal bahaya, juga menjadi warisan orang musyrik terdahulu. Suatu kali, sahabat Hudzaifah bin Yaman menengok orang sakit. Beliau melihat di lengan si sakit ada gelang (untuk jimat). Maka beliau langsung melepasnya sembari membaca firman Allah,
“Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah ( dengan sembahan-sembahan lain ).”(QS. Yusuf:106)
Bukankah praktik ini sering kita jumpai dalam bentuk rajah di pintu rumah, di warung, kendaraan, atau jimat lain berupa gelang, kalung atau cincin yang dianggap memiliki khasiat bisa mendatangkan manfaat dan mencegah madharat. Inilah keyakinan syirik warisan jahiliyah, di mana Islam datang untuk membersihkan dan menghilangkannya.
Belum lagi berbagai keyakinan khurafat yang masih subur dan diwariskan turun temurun.
Meninggalkan Adat Demi Syariat
Ajaran tauhid mengharuskan penganutnya bersih dari syirik, meski itu berupa adat yang mendarah daging dan mengakar kuat. Wajar, jika dakwah Nabi SAW oleh orang Arab diidentikkan dengan dakwah untuk meninggalkan adat nenek moyang.
Heraklius, Kaisar Romawi yang beragama Nasrani pernah bertanya kepada Abu Sufyan saat masih musyrik, ”Apa yang Muhammad (SAW) serukan atas kalian?” Abu Sufyan menjawab,
يَقُولُ اعْبُدُوا اللَّهَ وَحْدَهُ ، وَلاَ تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ، وَاتْرُكُوا مَا يَقُولُ آبَاؤُكُمْ ، وَيَأْمُرُنَا بِالصَّلاَةِ وَالصِّدْقِ وَالْعَفَافِ وَالصِّلَة
“Dia (Muhammad SAW) mengatakan, “Hendaklah kalian hanya beribadah kepada Allah saja, tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatu, dan hendaknya kalian meninggalkan pendapat nenek moyang kalian, dia juga menyuruh kami shalat, berlaku jujur, menjaga kehormatan dan menjalin persaudaraan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Menyelisihi kebiasaann nenek moyang bukanlah cela. Melanggar adat tak juga membuat kita kualat. Bahkan orang yang kualat dan mendapat ganjaran berupa siksa yang berat adalah mereka yang mempelopori adat yang sesat, juga para pengikutnya di dunia.
Di dalam hadits Bukhari, Nabi juga bersabda, ”Aku mengetahui, siapakah orang pertama yang merubah ajaran (tauhid) Ibrahim alaihis salam.” Para sahabat bertanya, ”Siapakah dia wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, ”Dia adalah Amru bin Luhay, saudara Bani Ka’ab. Aku melihatnya dia menyeret usus-ususnya di neraka, hingga penduduk neraka yang lain terganggu oleh bau busuknya.” (HR. Bukhari)
Begitulah ganjaran bagi orang yang membawa berhala ke negeri Arab, yang tadinya telah dibersihkan oleh kapak dan dakwah tauhid Ibrahim alaihis salam. Apakah kita tetap akan membanggakan para leluhur meski memiliki kemiripan dengan Amru bin Luhay?
Teladanilah sikap yang diambil oleh seorang tabi’in, Syuraih al-Qadhi ketika beliau ditanya, ”Dari kaum manakah Anda?” Beliau menjawab, ”Dari kaum yang Allah telah karuniakan Islam atasnya. Sedangkan orangtuaku dari Kindah.” Beliau lebih suka menisbahkan dirinya kepada Islam, katimbang membanggakan sukunya.
Karena beliau tahu, suku atau keturunan siapa tak akan membuatnya mulia atau hina, tidak pula menolongnya kelak di akhirat. Nenek moyang tak mampu menyediakan surga baginya, bahkan, jika mereka sesat, mereka sendiri dalam keadaan hina. Simaklah kabar Nabi SAW tentang mereka,
لَيَدَعَنَّ رِجَالٌ فَخْرَهُمْ بِأَقْوَامٍ إِنَّمَا هُمْ فَحْمٌ مِنْ فَحْمِ جَهَنَّمَ أَوْ لَيَكُونُنَّ أَهْوَنَ عَلَى اللَّهِ مِنْ الْجِعْلاَنِ الَّتِي تَدْفَعُ بِأَنْفِهَا النَّتِنَ
Maka, hendaklah orang-orang meninggalkan kebanggaan mereka terhadap kaumnya; sebab mereka hanya (akan) menjadi arang jahannam, atau di sisi Allah mereka akan menjadi lebih hina dari ji’lan (kumbang kotoran) yang mendorong kotoran dengan hidungnya.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)
Memang, tak semua adat itu sesat, sehingga wajib kita mengukurnya dengan barometer syariat. Jika memang bertentangan, jangan ragu meningalkannya, demi merealisasikan ajaran Islam yang hanif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar