Powered By Blogger

Kamis, 06 Januari 2011

RENUNGAN


Views: 59,421 Downloads: 15,517 Added: 10.05.06 1800x1200 (280.6 KB)

ANTARA DENGKI DAN PERSAINGAN

Sekecil apapun kadarnya, semua orang pernah merasakan kedengkian. Hanya saja sikap yang diambil ketika dengki mulai tumbuh, masing-masing orang berbeda. Ada yang segera memangkasnya, ada pula yang membiarkannya tumbuh menjadi pohon hasad yang berbuah kezhaliman.
Dengki dalam bahasa kita adalah perasaan tidak suka pada orang tertentu yang meraih atau mendapat suatu karunia. Dengki sering digunakan untuk memaknai hasad. Tapi hasad, sebenarnya, bukan hanya perasaan tidak suka tapi juga disertai keinginan agar nikmat tersebut berpindah tangan atau hilang darinya. Sehingga tak mengherankan jika hasad sering menjadi biang kerok dari berbagai tindak kezhaliman sebagai bentuk pelampiasannya. Sampai-sampai, ada ayat khusus yang memerintahkan manusia berlindung dari ulah pendengki (QS. Falaq; 5).
Ada banyak hal yang bisa menyebabkan dengki; persaingan, dendam, sifat takabur, dan kebencian. Atau, dengki yang memang sudah mengurat akar menjadi karakter hati seseorang. Dimana hatinya senantiasa gelisah terhadap apapun yang didapatkan orang disekelilingnya dan ingin merampasnya.
Jika kita klasifikasikan menurut levelnya, dengki akan terbagi menjadi tiga level;
Pertama, perasaan tidak suka pada orang lain, tetangga atau saingan, atas nikmat yang diperoleh, namun perasaan ini segera diredakan. Rasa semacam ini muncul begitu saja dalam hati. Biasanya, hal itu disebabkan karena orang yang mendapat nikmat tersebut berada pada strata yang lebih rendah daripada dirinya dalam hal tertentu. Sehingga ketika dia mampu meraih atau mendapat sesuatu yang lebih, dengki pun muncul di hati. Akan tetapi karena segera diredakan – mungkin dengan instrospeksi diri bahwa setiap manusia memiliki nasibnya sendiri-sendiri misalnya-, kedengkian itu meredup dan padam. Maka, selamatlah ia.
Kedua, kedengkian yang dipendam dan dibiarkan membara dalam hati. Tidak segera diobati tapi juga tidak dilampiaskan. Memang, Ibnu Taimiyah pernah berkata bahwa asalkan tidak dilampiaskan, kedengkian tidak akan membahayakan. Namun seringnya, tidak dilampiaskannya dengki tersebut bukan karena tidak mau, tapi lebih karena tidak mampu. Kedengkian semacam ini, meski tidak memunculkan perbuatan buruk berupa kezhaliman tapi akan menyebabkan hati menjadi kotor. Ia seperti bom waktu yang meledak jika ada kesempatan. Intinya, rasa ini juga harus dihilangkan.
Ketiga, kedengkian yang dilampiaskan. Level pelampiasan dengki paling rendah adalah dengan ucapan. Saat melihat yang didengki mendapat nikmat, kedengkian mengontrol lidahnya untuk merajut kata-kata keji; fitnah, ghibah, komentar miring dan berbagai ungkapan ketidaksukaan. Level selanjutnya adalah kezhaliman. Bermula dari rasa dengki, berlanjut menjadi perampasan, pencurangan hingga pembunuhan. Ada banyak contoh dalam hal ini, mulai dari Kisah Adam-Iblis, Habil Qabil, Yusuf dan saudaranya dan contoh lain di sekitar kita.

Antara dengki dan persaingan
Dalam semua literatur, dengki selalu dimasukkan dalam kategori al akhlaq al madzmumah, atau akhlak yang tercela. Ketercelaan ini bisa kita lihat dari mana asal dengki ini tumbuh. Seperti yang sudah disebutkan, motivasi tumbuhnya kedengkian rata-rata adalah motivasi yang buruk. Bisa juga dari sisi pelampiasannya berupa berbagai tindak kedzaliman.
Namun, jika kita cermati, rasa dengki sebenarnya hanyalah salah satu kategori dari sifat manusia yang selalu ingin bersaing (kompetisi). Bedanya, hasad atau dengki memilih jalan kiri untuk meraih keinginan; cara-cara kotor dengan tujuan merampas atau menghilangkan nikmat dari yang didengki dan berbagai tindakan tercela. Sedang persaingan (munafasah) secara umum, adalah semacam rasa iri dan ketidakrelaan untuk disamai atau disaingi, yang kemudian memicu semangat untuk melakukan/meraih hal yang sama atau lebih. Sehingga, motivasi berupa rasa iri ini tidak semuanya buruk. Statusnya mubah jika dalam urusan mubah. Misalnya persaingan dalam hal bisnis, prestasi akademik dan lainnya. Tentu saja jika cara yang digunakan bersih. Tak hanya mubah, bahkan jika persaingan tersebut dalam hal kebaikan, bisa menjadi persaingan yang berpahala atau at tasabuq bil khairat saling berlomba dalam kebaikan. Rasa iri dalam kebaikan disebut ghibtah.
Rasulullah bersabda,
“Tidak ada hasad atau iri –yang disukai– kecuali pada dua perkara; (yaitu) seorang yang diberikan pemahaman Al-Qur`an lalu mengamalkannya di waktu-waktu malam dan siang; dan seorang yang Allah beri harta lalu menginfakkannya di waktu-waktu malam dan siang.” (HR. Muslim).
Nabi menamakan rasa itu sebagai hasad sebagai bentuk majaz karena secara motivasi ada kesamaan yaitu ingin memiliki apa yang dimiliki orang lain. Penjelasan panjang ini disarikan dari keterangan Ibnul Hajar dalam kitab Fathul Bari; 1/119 ketika menjelaskan maksud hadits di atas.

Tinggal Pilih
Nah, dari dua kategori hasad ini, manakah yang sekarang tengah tumbuh dalam hati kita? Adakah kedengkian yang buruk yang hanya menyiksa dan memenjarakan hati dalam kegelisahan? Kita berlindung kepada Allah dari hasad ini. Ataukah hasad yang baik? Yang menjadi motivasi kuat bagi kita untuk berlomba dalam kebaikan?Atau jangan-jangan, kita tidak dengki pada siapapun, tapi juga tak pernah iri dan termotivasi dengan kebaikan dan prestasi orang lain? Semoga saja tidak, karena kondisi ini, bisa menjadi pertanda buruk bagi iman dan semangat keislaman kita. Wallahua’lam.







DERITA ABADI KARENA DENGKI

Gelang di tangan orang yang hendak dirampas tidak dapat, cincin di jari sendiri terlucut hilang. Begitulah peribahasa Melayu menggambarkan keadaan orang yang menyimpan rasa dengki. Harapan ingin mendapatkan milik orang tak didapatkan, namun sesuatu yang menjadi milik sendiri dikorbankan. Karena sejatinya pendengki selalu rugi, tak ada keuntungan sedikitpun bagi pendengki. Bahkan, gambaran peribahasa tersebut belum cukup menggambarkan total kerugian orang yang dialami orang yang terjangkiti penyakit dengki.

Derita Para Pendengki
Tak ada yang lebih patut dikasihani melebihi orang yang menderita penyakit dengki. Jika umumnya manusia berpikir dan berbuat untuk sesuatu yang menguntungkan dirinya, atau sekedar menyenangkan hatinya, tidak demikian halnya dengan pendengki. Tak ada keuntungan sedikitpun yang dihasilkan pendengki. Tak ada pula kesenangan hati yang dipanen oleh orang yang hasud.
Kerisauan hati yang tak putus-putus, dialami oleh pendengki saat melihat orang lain mendapat nikmat. Semakin banyak nikmat disandang orang lain, makin menguat gelisah hati pendengki. Ini tidak akan berakhir hingga nikmat tersebut hilang dari orang yang didengki, bahkan terkadang belum terobati juga rasa dengki itu sebelum orang yang didengki tertimpa banyak kerugian. Dari sini kita tahu, betapa jahat seorang pendengki, ia tidak rela melihat orang lain bahagia, sebaliknya ia bersuka cita melihat orang lain bergelimang lara. Allah Ta’ala menggambarkan sikap dengki ini dalam firmanNya, “Bila kamu memperoleh kebaikan, maka hal itu menyedihkan mereka, dan kalau kamu ditimpa kesusahan maka mereka girang karenanya.” (QS. Ali Imran: 120)
Berbeda dengan kesedihan atau musibah yang dialami oleh orang yang bersabar, kegalauan yang terus menerus dirasakan oleh pendengki adalah musibah berat yang sama sekali tidak mendatangkan pahala, bahkan berpotensi menggerogoti kebaikan, sebagaimana api melalap kayu bakar yang telah kering.
Nabi SAW bersabda,
“Hindarilah oleh kalian hasad, karena hasad bisa memakan kebaikan sebagaimana api melalap kayu bakar.” (HR Abu Dawud)
Maksud memakan kebaikan adalah menghilangkannya, membakarnya dan menghapus pengaruhnya, seperti yag disebutkan dalam Kitab Faidlul Qadiir. Ini juga menunjukkan bahwa kebaikan itu bisa sirna dalam sekejap jika terbakar oleh kedengkian. Makin besar api kedengkian, makin cepat melalap habis kebaikan. Al-Manawi di dalam at-Taisir bi Syarhi al-Jami’is Shaghir menjelaskan sebab dihilangkannya kebaikan pendengki adalah, “karena orang yang dengki itu berarti menganggap Allah Ta’ala jahil, tidak bisa memberikan sesuatu sesuai dengan proporsinya.” Ia menganggap Allah salah dalam mengalamatkan nikmat dan karunia. Seakan ia lebih tahu dari Allah tentang siapa yang lebih layak untuk mendapatkannya. Sehingga layaklah pendengki dihilangkan kebaikan-kebaikannya. Sungguh rugi para pendengki, selalu risau di dunia, terancam bangkrut di akhirat.

Membahayakan Diri dan Orang Lain
Efek kedengkian semakin parah ketika pendengki berambisi melampiaskan kedengkiannya. Makin kuat kedengkian dan ambisi melampiaskan, makin besar pula dosa dan bahaya yang ditimbulkan. Baik mengenai diri sendiri, maupun orang lain. Bahkan dosa pertama yang dilakukan oleh iblis disebabkan oleh dengki. Dia menganggap dirinya lebih layak mendapat penghormatan daripada Adam. Karenanya, Iblis berani menentang perintah Allah yang menyuruhnya bersujud. Jadilah iblis sebagai makhluk yang terkutuk, dan dipastikan bakal menempati neraka selamanya. Kedengkian berlanjut, Iblis berusaha dan akhirnya berhasil menggelincirkan Adam. Belum puas, Iblis bersumpah untuk menggoda dan menyesatkan semua keturunan Adam selagi mampu. Dari sini lahirlah segala bentuk kemaksiatan dan dosa yang merupakan syi’ar Iblis dan siasatnya untuk menjerumuskan anak Adam. Sekali lagi, ini bermula dari hasad. Maka hendaknya orang yang menaruh kedengkiannya kepada saudaranya segera menyudahi, sebelum melahirkan segala bentuk dosa yang belum terbayangkan sebelumnya.
Pembunuhan pertama yang terjadi di jagad raya yang dilakukan oleh Qabil terhadap Habil juga disebabkan oleh dengki. Qabil tak bisa menerima kenyataan atas nikmat yang dianugerahkan Allah kepada Habil, saudara kembarnya. Dari sebab yang sepele ini, ketika dipicu oleh dengki, akhirnya berujung kepada pembunuhan yang dilakukan Qabil terhadap saudaranya.
Dan memang, umumnya kedengkian tertuju kepada orang-orang terdekat, saudara, keluarga, teman sejawat, tetangga dan orang-orang yang memiliki ikatan tertentu dengannya. Sebab rasa dengki itu timbul karena saling ingin mendapatkan satu tujuan. Dan itu tak akan terjadi pada orang-orang yang saling berjauhan, karena pada keduanya tidak ada kepentingan yang mengikat satu sama lain.

Bila Hati Bersih dari Rasa Dengki
Kedengkian bermuara dari hubbud dunya, gandrung terhadap dunia. Baik berupa gila tahta sehingga ia dengki terhadap siapapun yang sedang memegang suatu posisi jabatan yang diinginkan. Atau karena ta’azzuz, gila hormat dan merasa diri lebih mulia. Ia keberatan bila ada orang lain lebih dihormati dari dirinya.
Bagi orang yang memiliki orientasi akhirat, juga ingin damai hatinya di dunia, tentu rasa dengki di hati segera dicampakkannya. Karena tak ada untungnya hati mendengki. Jika ternyata yang kita dengki akhirnya masuk jannah, maka bagaimana mungkin kita sakit hati dan dengki kepada orang yang ternyata menjadi penghuni jannah. Jika ternyata yang didengki masuk neraka, buat apa kita kita iri atas nikmat yang disandang oleh orang yang berakhir dengan pendertaan selamanya. Seperti yang diungkapkan oleh Muhammad bin Sirin, “Apa untungnya saya mendengki orang atas sesuatu dari nikmat dunia, jika ia ahli jannah, maka bagaimana saya akan mendengkinya padahal ia ahli jannah? dan jika ia ahli neraka maka untuk apa dengki terhadap orang yang bakal masuk neraka?”
Bersihnya hati dari rasa dengki juga menjadi andalan amal Saad bin Abi Waqas, sehingga dijanjikan Nabi masuk jannah.
Sahabat Anas bin Malik RDL bercerita, Ketika kami sedang bermajlis bersama Nabi SAW, tiba-tiba belia bersabda, “Sekarang, akan muncul di tengah-tengah kalian salah seorang penghuni jannah.” Tak lama kemudian, seorang Sahabat Anshar di hadapan para sahabat dengan kondisi jenggotnya mengalirkan air bekas wudhunya, kejadian itu terjadi sampai tiga hari. Pada hari ketiga, ia diikuti oleh Abdullah bin Umar ke rumahnya, dengan maksud untuk mengetahui kelebihan amal yang dilakukan orang itu. Akan tetapi Abdullah bin Umar tidak mendapatkan sesuatu yang istimewa pada amalan orang itu.Karena penasaran, beliau bertanya tentang amalan yang menjadi unggulannya. Sahabat Anshar itu menjawab, “Saya tidak memiliki kelebihan apa-apa selain yang kamu lihat. Hanya saja, tidak ada dalam hatiku rasa dendam terhadap sesama muslim dan tidak punya rasa iri (hasad) terhadap sesuatu yang Allah telah berikan kepadanya.”
Allah juga memuji kelebihan sahabat Anshar yang tidak mendengki atas kaum Muhajirin yang mendapatkan banyak keistimewaan,
“Dan mereka (Anshar) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan.” (QS. Al-Hasyr 9)
Para ulama ahli tafsir menjelaskan, yang dimaksud dengan,
Yakni, tidak terdapat dalam hati mereka rasa iri dan dengki atas nikmat Allah yang telah diberikan kepada kaum muhajirin, berupa kedudukan, tingkatan, dan penyebutan yang mendahulukan Muhajirin ketimbang penyebutan Anshar.
Ya Allah jagalah hati kami dari sifat iri dan dengki. Amien.





MERUTINKAN KEBAIKAN

Uswah dan Imamul muttaqin, Nabiyullah Muhammad SAW memiliki ciri khas yang luar biasa dalam menjalani aktivitas kebaikan. Amal dan ibadahnya disifati, “kaana diimatan” (amalnya rutin) yakni terus menerus tidak terputus-putus namun masih pada batas pertengahan, jauh dari sifat malas, namun tidak pula kelewat batas. Nabi SAW shalat di waktu malam dan juga tidur, beliau shaum dan juga berbuka, akan tetapi beliau kerjakan secara teratur. Sehingga enak dirasakan jiwa dan terbiasa bagi anggota badannya. Oleh karena itulah amal beliau SAW disifatkan dengan “kaana diimatan” (amalnya rutin), sedangkan makna “diimah” adalah hujan yang teratur, sedang dan tenang, tidak terlalu lebat, tak ada guruh dan tidak ada pula halilintar. Umumnya, hujan yang tidak teratur, atau dengan volume yang berlebih akan mendatangkan kerusakan, baik badai maupun banjir.

Begitu pula dengan karakter manusia. Semangat yang tidak terkendali, stamina yang tidak dijaga, ritme yang tidak teratur dalam menjalani suatu aktivitas, umumnya berdampak kepada keburukan. Meskipun pada asalnya, perbuatan itu berupa aktivitas yang positif. Semangat belajar yang mendadak dan menggebu, lalu belajar sehari semalam tanpa istirahat, hanya akan membuat kita loyo setelah itu. Begitupun dengan shalat malam. Terkadang seseorang tersulut motivasinya oleh suatu nasihat tentang fadhilah shalat malam, lalu dia menjalani malam tanpa tidur, semalaman ia berdiri untuk shalat. Seringkali ini juga menjadi sinyal, bahwa di hari-hari berikutnya ia akan kehilangan stamina, lalu akan meninggalkannya.

Alangkah indah bimbingan Nabi SAW yang mengajarkan kepada kita suatu kaedah,

??????? ???????????? ????? ??????? ???????? ??????????? ?????? ?????

“Amal yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling rutin, meskipun sedikit.” (HR Muslim)

Hati Tenang, Badan Terasa Nyaman

Aktifitas kebaikan yang dilakukan secara rutin akan membuat hati menjadi tenang, badanpun terasa nyaman. Baik dalam hal belajar, beribadah secara khusus, maupun aktivitas lain yang bermanfaat seperti olah raga.

Jika kita merasa emosi belum terkendali, suasana hati labil, itu lebih dikarenakan aktivitas anggota badan yang labil, ekstrim dalam menjalankan sesuatu, ekstrim pula ketika meninggalkannya. Sehingga terkadang hati menjadi lunak sesaat, kemudian tiba-tiba menjadi keras kembali, terkadang di hadapannya ada sinar yang menerangi, namun sekejap saja kegelapan segera kembali. Inilah yang membuat hati tidak hidup dengan sehat dan bercahaya.

Abu Sulaiman Ad-Darani seorang ahli ibadah yang zuhud, dengan tawadhu’ berkata, “Meninggalkan syahwat mendatangkan pahala, istiqamah dalam beramal mendatangkan pahala, namun aku dan kamu termasuk orang yang menghidupkan satu malam, namun tidur dua malam, shaum satu hari, berbuka selama berhari-hari, padahal hati tidak bercahaya dalam kondisi seperti ini…”

Kalimat beliau, “namun aku dan kamu”, sepertinya lebih cocok ditujukan kepada kita sekarang ini. Sebagian kita mungkin pernah bersemangat menghafal al-Qur’an, tapi akhirnya ‘menyerah’ juga. Pernah getol mempelajari bahasa Arab, akhirnya ‘lelah’ juga. Pernah bersemangat qiyamul lail, pun akhirnya terasa berat untuk menjalaninya. Ini semua lantaran porsi yang tidak diperhitungkan dengan kemampuan, juga rutinitas yang tidak dipertahankan. Jika berusaha rutin, semuanya menjadi mudah dan ringan untuk dikerjakan. Apabila rutinitas telah terjaga, tidak mengapa meningkatkan porsi amal setahap demi setahap, karena jiwa telah siap menyangganya.

Mudawamah, Rahasia Orang Sukses

Mudawamah, atau kontinuitas dalam beraktivitas adalah satu kunci sukses meraih ketinggian martabat dan cita-cita. Imam Bukhari yang begitu lekat hafalannya, juga mengandalkan ‘mudawamah’ dalam membaca buku. Ibrahim al-Harabi, seorang pakar bahasa Arab, selama lima puluh tahun tak pernah absen menghadiri majlis bahasa Arab dan Nahwu. Imam Syafi’i yang demikian cerdas dan jenius juga mengandalkan rutinitas dalam belajar. Sudah menjadi kebiasaan beliau, menggunakan sepertiga malam yang pertama untuk belajar, membaca dan menulis, sedangkan sepertiga yang kedua untuk tidur, dan sepertiga malam terakhir untuk shalat.

Mungkin kita pernah belajar sepertiga malam, atau bahkan semalam suntuk, tapi sayang, hanya berlangsung beberapa kali saja. Kita mungkin juga pernah salat malam dengan panjang, tapi itu bisa dihitung dengan jari tangan saja.

Dalam hal ibadah, kita juga mendapatkan teladan yang sangat bagus pada generasi salaf yang shalih. Seperti Sa’id bin Musayyib yang dijuluki ‘ash-shaffiyyu’, ahli shaf, karena selama lima puluh tahun tidak pernah melihat punggung tatkala shalat lima waktu. Yakni beliau selalu berada di shaf paling depan.

Ulama-ulama terpercaya sepanjang generasi juga membiasakan hal serupa. Seperti Ibnul Qayyim al-Jauziyah, yang membiasakan dzikir ba’da Shubuh, dan tidak keluar masjid hingga matahari telah terbit dan beranjak naik. Karena terbiasa, hingga seakan itu menjadi sarapan paginya, badan akan kehilangan gairah sepanjang hari jika pagi terlewatkan dari dzikir.

Ingin sukses meraih cita-cita? Atau ringan dalam menjalankan aktivitas ibadah? Bersungguh-sungguhlah untuk mempertahankan rutinitasnya. Mulai dari yang mudah, porsi yang terukur, lalu secara bertahap meningkatkan kuantitasnya. Selamat mencoba! Semoga Allah memberikan kemudahan kepada kita.

Views: 16,902 Downloads: 2,461 Added: 27.09.06 2000x1500 (631.4 KB)

TAK KENAL MAKA TAK BENCI

Rasa cinta atau benci, adalah faktor yang menggerakkan hati untuk menerima atau menolak, diam atau bergerak. Namun rasa itu sendiri akan muncul setelah seseorang mengenali obyek yang hendak dicinta atau dibenci. Tanpa mengenali, seseorang belum memiliki keberpihakan, sedangkan salah dalam mengenali, maka akibatnya lebih fatal lagi. Dia akan mencintai sesuatu yang mestinya dia benci, dan membenci apa-apa yang selayaknya dia cintai.

Tak Kenal Dosa, Maka tak Membencinya

Benci terhadap maksiat dan dosa adalah konsekuensi logis dari cinta terhadap ketaatan dan pahala. Kaum muslimin juga satu kata dalam memandang bahwa dosa itu cela. Memvonis bahwa maksiat adalah biang dari segala musibah dan duka lara. Tapi sayang, tak banyak yang peduli untuk mengerti lebih detil dan rinci, tentang larangan yang dihukumi haram secara syar’i. Sehingga nyaris pengetahuan globalnya tentang buruknya dosa itu tidak berfaedah, lantaran mereka tidak tahu apa itu maksiat, dan perbuatan apa yang dianggap dosa oleh syariat. Kebanyakan hanya tahu bahwa syirik itu dosa besar, tapi toh mereka juga tidak ingin tahu, keyakinan dan perbuatan apa saja yang bisa masuk dalam kategori syirik, dosa yang tak terampuni itu. Akhirnya, perbuatan dosapun menjadi hal yang biasa, atau tak jarang malah dipromosikan dan dibela.

Jika kita bacakan suatu dalil bahwa ini adalah haram, itu adalah dosa, maka serta merta mereka akan menggerutu, “sedikit-sedikit dosa…sedikit-sedikit dosa.” Yang lain lagi menyanggah, “Jangan mengada-ada, baru kali ini saya mendengar ada yang mengatakan ini dosa!” Ada lagi yang membantah, “Haji fulan saja berbuat begitu..!” dan komentar lain yang menunjukkan bahwa dalil-dalil keharaman itu masih asing di telinga. Terlebih dosa-dosa yang sudah jamak dilakukan di tengah masyarakat.

Kita ambil satu sampel, jika kita kita katakan bahwa apa yang dilakukan oleh biduanita yang menghibur dengan nyanyian genit, berjoged sembari mengenakan pakaian mini atau ketat itu dosa, maka banyak yang terheran-heran. Apalagi jika kita katakan bahwa itu termasuk dosa besar, tentu mereka makin tidak percaya, dan kita dianggap mengada-ada. Sementara telah jelas dalil dari Nabi saw yang mengabarkan peristiwa yang bakal terjadi di akhir zaman,

“Dua golongan penduduk neraka yang aku belum pernah melihatnya…(kemudian beliau menyebutkan salah satunya)

وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلاَتٌ مَائِلاَتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لاَ يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلاَ يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا

“Dan wanita yang berpakaian tapi telanjang, menyimpang, melenggak lenggok, kepala mereka seperti punuk onta yang miring, mereka tidak akan masuk jannah, bahkan tidak mencium baunya jannah, padahal bau jannah bisa dirasakan dari jarak sekian dan sekian (yakni sangat jauh).” (HR Muslim)

Perhatikanlah ciri wanita yang disebut oleh Nabi sejak lebih dari seribu tahun lalu itu. Apa yang kita saksikan di zaman ini bukan lagi mirip dengan apa yang disebutkan cirinya oleh Nabi, bahkan sudah melewati sekian langkah lebih parah. Perbuatan itu dikategorikan dosa besar karena disertai ancaman yang keras di akhirat, yakni tidak akan mencium baunya jannah, na’udzu billah.

Belum lagi dosa-dosa dalam urusan makanan, minuman, pakaian, perdagangan dan pencaharian. Rata-rata orang tak lagi peduli dengan cara yang dia lakukan. Keadaannya seperti yang digambarkan oleh Nabi SAW,

يَأْتِى عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ ، لاَ يُبَالِى الْمَرْءُ مَا أَخَذَ مِنْهُ أَمِنَ الْحَلاَلِ أَمْ مِنَ الْحَرَام

“Akan datang atas manusia, suatu zaman di mana seseorang tidak peduli atas apa yang diambilnya, apakah dari yang halal, ataukah dari yang haram.” (HR Bukhari)

Setidaknya, makna tidak peduli dalam hadits ini meliputi dua hal, yakni tidak merasa perlu untuk mengetahui status halal haramnya sesuatu, atau bisa jadi telah mengetahui hukumnya, namun ia tidak mengindahkannya, dan tidak menjadikannya sebagai pertimbangan dalam setiap tindakan.

Sebagian lagi malah sengaja menghindar dari belajar fikih halal haram alasannya takut dengan konsekuensinya. Takut jika sudah tahu hukum lalu tidak bisa mengikuti rambu-rambunya. Sekilas alasan ini masuk akal. Tapi sebenarnya sikap ini berakibat fatal. Perumpamaannya seperti orang yang takut melihat jalan berbahaya, lalu berjalan dengan memejamkan mata. Kecil sekali kemungkinan untuk bisa selamat. Karena itulah, ketika seseorang berkata kepada sahabat Abu Hurairah, “Saya tidak mau belajar karena takut menyia-nyiakan ilmu!” Maka beliau menjawab, “Cukuplah kamu dikatakan menyia-nyiakan ilmu jika kamu tidak mau belajar.” Kiranya sangat tepat jawaban beliau. Jika alasan orang itu diterima maka kebodohan terhadap hukum syar’i akan merata, maksiatpun akan merajalela. Dan lagi, mereka merasa tidak berdosa menjamah dosa dengan alasan belum mengerti ilmunya.

Mengenali Keburukan Seperti Mengenali Kebaikan

Mengetahui larangan sama pentingnya dengan pengetahuan tentang perintah. Sebagaimana mengenali suatu dosa itu sama urgennya dengan mengenali fadhilah dan pahala. Para ulama terdahulu mengatakan, bidhiddiha tu’raful asy-ya’, dengan mengetahui kebalikannya, maka akan diketahui hakikat sesuatu.

Karena itulah, para sahabat dan ulama terdahulu seirus untuk mengenali beragam keburukan sebagaimana kegigihan mereka dalam mempelajari beragam kebaikan. Hudzaifah bin Yaman pernah berkata,

كَانَ النَّاسُ يَسْأَلُونَ رَسُولَ اللهِ Nعَنِ الْخَيْرِ، وَكُنْتُ أَسْأَلُهُ عَنِ الشَّرِّ مَخَافَةَ أَنْ يُدْرِكَنِي.

“Dahulu orang-orang (para Sahabat) bertanya kepada Rasulullah ` tentang kebaikan. Sementara aku menanyakan kepada beliau tentang keburukan, karena khawatir terjerumus ke dalamnya.” (HR Bukhari dan Muslim)

Umar bin Khathab juga mengkhawatirkan generasi yang hanya mengetahui kebaikan, sementara mereka tidak memahami yang sebaliknya. Beliau mengatakan, “Sesungguhnya simpul Islam itu akan terurai satu per satu apabila seseorang itu tumbuh besar dalam Islam sedangkan ia tidak mengetahui jahiliyyah.” [Al-Fawaa`id, hal. 109 dan al-Jawāb al-Kaafi, hal. 152]

Memiliki pengetahuan tentang kebaikan adalah keharusan, karena memahaminya adalah pintu awal untuk mengerjakannya. Mengenali keburukan juga tak kalah pentingnya, karena dengannya seseorang bisa menghindar dari keburukan. Seperti yang dikatakan oleh Abu Faraas al-Hamdani,

عَرَفْتُ الشَّرَّ لاَ لِلشَّرِّ لَكِنْ لِتَوَقِّيْهِ

وَمَنْ لَمْ يَعْرِفِ الشَّرَّ مِنَ النَّاسِ يَقَعُ فِيْهِ

Aku mengetahui keburukan bukan untuk keburukan, namun untuk menjaga diri darinya.

Karena barangsiapa yang tidak mengetahui keburukan,niscaya ia akan terjatuh ke dalamnya.

Orang yang hanya memburu pahala tanpa mengenali dan mewaspadai dosa, seperti orang yang bergegas menuju tempat tujuan, tanpa melihat jalan yang berlubang dan menggelincirkan. Jelas, sulit baginya untuk selamat. Realita inilah yang banyak kita dapatkan. Orang-orang yang melakukan berbagai bentuk kebaikan, namun juga melakukan dosa-dosa yang bisa mengurangi pahala atau bahkan terkadang berakibat hapusnya seluruh amal kebaikan yang dilakukannya. Maka menjadi kewajiban kita untuk mempelajari kebaikan lalu berusaha mengikutinya, dan memahami keburukan-keburukan untuk kemudian dihindari.

Alangkah indah apa yang diungkapkan oleh sahabat Ali bin Abi Thalib yang menandai karakter pemburu jannah yang sesungguhnya. Beliau mengatakan, “Barangsiapa yang memiliki enam karakter, berarti dia betul-betul sedang memburu jannah dan lari dari neraka. Barangsiapa mengenal Allah lalu ia mentaati-Nya, mengenal setan lalu mendurhakainya, mengenal kebenaran lalu mengikutinya, mengenal kebathilan lalu ia menghindar darinya, mengenal dunia lalu zuhud terhadapnya dan mengenal akhirat lalu dia memburunya.”

Ya Allah, tunjukkanlah kepada kami yang benar itu tampak benar, dan anugerahilah kami untuk bisa mengerjakannya, dan tunjukkanlah yang salah itu tampak salah, dan berilah taufik kepada kami untuk menjauhinya. Amien.







AWALNYA PENASARAN ,AKHIRNYA KETAGIHAN

Banyak pintu menuju maksiat, bertebaran pula para penjaja dosa yang mengumbar janji-janji kenikmatan. Tak hanya membuat betah para durjana untuk mengulangi dosa, tapi juga mengundang hasrat orang yang baru ngedrop iman tergiur untuk mencicipinya.

Awalnya Penasaran Lalu Coba-coba Pada dasarnya, manusia lahir dalam keadaan fitrah. Fitrah untuk menjadi hamba bagi Penciptanya dan tunduk dengan aturan-aturan-Nya, naluri untuk menghindar dari maksiat dan dosa. Lantas kapan manusia mulai ‘menikmati’ dosa? Masing-masing tentu memiliki pengalaman yang berbeda, baik dari sisi waktu, faktor pemicu, maupun jenis dosa yang pada gilirannya menjadi kebiasaan dalam hidupnya.

Tak hanya oleh orang yang belum tahu, dosa tak jarang dilakukan oleh orang yang sudah mengerti hukum, juga paham tentang perkara yang dilarang oleh agama. Rasa penasaran lantaran belum pernah melakukan, sering menjadi awal dari dosa. Rasa penasaran itu bisa lahir dari bisikan nafsu yang terus ‘dikompori’ oleh setan, dan atau berpadu dengan banyaknya iming-iming dari luar. Penasaran seperti apa rasanya ‘ngefly’ oleh minuman khamr, lezatnya makan daging babi dan nikmatnya kemaksiatan lain seperti zina dan berjudi.

Sementara di luar, setan terus memberikan rangsangan. Menggambarkan kenikmatan dosa melalui gambar yang terpampang, film-film yang tertayang dan cerita-cerita yang tersebar. Hal ini semakin menguatkan nafsu orang untuk menjajalnya. Setanpun mulai memanfaatkan peluang. Dia berusaha menepis berbagai keraguan, menyingkirkan sensor-sensor keimanan yang masih tersisa di hati dan pikiran calon korbannya. Mungkin dengan memberi pengharapan masih adanya kesempatan untuk bertaubat, atau memberikan alibi yang terkesan masuk akal. Seperti ketika Adam penasaran terhadap pohon yang dilarang untuk didekati, maka Setan datang dengan membawa jawaban yang menyesatkan, meski sekilas tampak logis dan seakan ia berada pada pihak yang membela Adam,

“Dan Setan berkata, “Tuhan kamu tidak melarangmu mendekati pohon ini, melainkan supaya kamu berdua tidak menjadi Malaikat atau tidak menjadi orang-orang yang kekal (dalam Jannah)”. (QS. al-A’raaf 19)

Begitulah, setan akan mencarikan seribu alasan ‘logis’ agar manusia tak ragu untuk mencicipi dosa. “Mumpung masih muda, toh hanya sekali, masih ada waktu untuk taubat, tak ada orang yang tahu, yang penting niatnya baik, cukup diambil manfaatnya, jangan hanya melihat sisi buruknya…” dan seabrek polesan yang membuat akal tersihir dan hati menjadi terlena, hingga akhirnya manusia termakan oleh propaganda setan, nas’alullahal ‘aafiyah.

Terkadang setan memanfaatkan peluang kebosanan seseorang dalam menjalani aktivitas kehidupan. Sasarannya adalah mereka yang belum merasakan kenikmatan ibadah meski telah menjalankannya, atau orang yang tidak membenci dosa meskipun belum mencicipinya. Lalu setan datang untuk ‘menasihatinya’, “Kamu tidak merasakan nikmatnya ibadah karena jalan hidupmu datar-datar saja. Coba kalau kamu menjadi ahli maksiat terlebih dahulu, seperti si fulan atau fulanah, pasti setelah taubat kamu akan merasakan manisnya keimanan..!” Tampak logis, berpihak dan berlagak sebagai penasihat yang bijak. Padahal, itu tak lebih dari perangkap, yang seandainya seseorang masuk ke dalamnya, sulit baginya untuk keluar.

Tatkala dorongan nafsu semakin kuat, pengaruh akal melemah, sementara dalih juga telah disiapkan, mulailah seseorang untuk mencoba mencicipi dosa. Satu langkah setan telah diikuti, sulit bagi si korban untuk kembali kecuali yang dirahmati Allah,

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan. Barangsiapa yang mengikuti langkah-langkah syaitan, Maka Sesungguhnya syaitan itu menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan yang mungkar. Sekiranya tidaklah karena kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorangpun dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya.” (QS. an-Nuur 21)

Akhirnya Ketagihan Dosa

Sekali mencoba, pasti dia akan merasakan satu di antara dua rasa yang berbeda, meski follow up dari coba-coba ini akhirnya sama juga. Mungkin ia tidak merasakan nikmat sebagaimana yang dia bayangkan sebelumnya. Ini membuatnya makin penasaran, maka dia terdorong untuk mencoba kali kedua untuk meyakinkannya. Atau sekali coba dia langsung mendapatkan rasa yang diharapkannya, maka diapun tergila-gila dan ketagihan untuk mengulanginya.

Seperti awal mula orang yang hobi berjudi. Awalnya coba-coba, siapa tahu mendapat ‘keberuntungan’. Jika ternyata menang, maka akan dijadikan sumber penghasilan, jika kalah, maka semakin penasaran untuk mencoba berulang-ulang. Harta ludes pun belum tentu menjadi alasan untuk berhenti berjudi, dia akan terus mengejar angannya meski harus dengan berhutang atau bahkan mencuri.

Dusta juga begitu. Bohong yang pertama seakan menjadi bibit unggul bagi tumbuhnya kedustaan berikutnya. Karena untuk menutupi kedustaan pertama seseorang akan melakukan dusta yang kedua, ketiga, keempat dan begitu seterusnya.

Apalagi dosa zina. Tidak mudah orang berhenti dari perbuatan keji ini jika terlanjur mencobanya. Karena ketagihannya itulah, maka hukuman bagi pezina di akhirat sangat sesuai dengan karakter mereka di dunia. Ibnul Qayyim al-Jauziyah menuturkan,

“Ketahuilah bahwa balasan itu berbanding lurus dengan perbuatan. Hati yang telah terpaut dengan sesuatu yang haram, setiap kali dia berhasrat untuk meninggalkan dan keluar darinya, pada akhirnya kembali ke dosa semula.

Begitu pula dengan balasan baginya di barzakh maupun di akhirat. Pada sebagian riwayat hadits Samurah bin Jundub yang disebutkan dalam Shahih Al-Bukhari disebutkan bahwa Nabi SAW bersabda,

‘Suatu malam aku bermimpi ada dua orang yang mendatangiku, lalu keduanya mengajakku keluar, maka akupun beranjak bersama keduanya. Ternyata aku melihat ada sebuah rumah yang dibangun seperti tungku, bagian atas sempit dan bagian bawahnya luas, sedangkan di bawahnya ada nyala api. Di dalam bangunan tersebut ada kaum laki-laki dan perempuan yang telanjang. Ketika api dinyalakan merekapun berusaha naik ke atas hingga hampir-hampir mereka keluar. Jika api redup merekapun kembali ke tempat semula. Sayapun bertanya: “Siapakah mereka?” Dia menjawab: “Mereka adalah para pezina.”

Maka perhatikanlah kesesuaian hadits ini dengan kondisi hati para pezina di dunia. Setiap kali mereka berkeinginan untuk bertaubat dan berhenti darinya, serta keluar dari tungku syahwat menuju kesejukan taubat, ternyata kandas dan mereka kembali lagi padahal hampir saja mereka keluar darinya.”

Tak terkecuali dosa-dosa yang lain, pada dasarnya dosa adalah bibit bagi dosa berikutnya, baik dengan jenis yang sama atau bahkan melahirkan dosa-dosa baru yang berbeda jenisnya. Hingga ada kaidah yang populer di kalangan ulama,

إِنَّ مِنْ عَقُوْبَةِ السَّيِّئَةِ السَّيِّئَةُ بَعْدَهاَ
“Sesungguhnya, di antara hukuman bagi keburukan adalah lahirnya keburukan berikutnya.

Menjadi Pengikut Setan yang Setia

Seperti minum air laut, makin banyak minum akan terasa semakin haus. Begitulah gambaran orang yang kecanduan dosa setelah mencoba. tatkala kecenderungan terhadap dosa makin kuat mencengkeram, ketika itu ikatan ketaatan mulai longgar dan akhirnya pudar. Tak merasa bersalah saat menelantarkan kewajiban, merasa enjoy saat menjamah kemaksiatan. Intinya, dia telah menjadi pecinta dan pendukung kemaksiatan. Satu langkah setan lagi diikuti, makin sulit pula harapan dia untuk kembali ke jalan yang lurus.

Tinggal langkah terakhir, hampir-hampir dia sudah sejenis dengan setan, atau berbuat seperti yang diperbuat oleh setan. Ketika dia menghalalkan yang haram, mengharamkan yang halal, lalu menghasung manusia kepada kemaksiatan dan menghalangi manusia dari ketaatan, maka dia telah memiliki karakter yang sama dengan setan, kafir dan menyeru kepada kekafiran, na’udzu billah.

Itulah siklus dosa yang boleh jadi tidak disadari, dari sekedar kecenderungan dan penasaran yang diikuti dengan coba-coba, akhirnya menumbuhkan kesenangan dan cinta dosa. Akhirnya, iapun berbuat seperti yang diperbuat oleh setan,

“Dan (juga) agar hati kecil orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat cenderung kepada bisikan itu, mereka merasa senang kepadanya dan supaya mereka mengerjakan apa yang mereka (syaitan) kerjakan.” (QS al-An’am 113)

Maka, bersabar untuk tidak mencoba dosa, meskipun berat, itu lebih ringan daripada dia harus bersabar menghadapi beratnya dorongan nafsu setelah dosa pertama dijamahnya. Semoga Allah melindungi kita dari dosa. Amien

Tidak ada komentar:

Posting Komentar