SANG PENCERAH:WAHAI ANAKKU, JANGAN FANATIK!!
Punya prinsip boleh, tapi jangan menjadi orang fanatik, karena fanatik adalah ciri orang bodoh. Kita buktikan orang Islam bisa bekerja sama dengan siapa saja. Asal Lakum Dinukum Waliyadin. Untukmu agamamu dan untukku agamaku.” - KH Ahmad Dahlan, Sang Pencerah, 2010
Kalimat inilah rupanya yang paling terkenal dalam film Sang Pencerah (SP), sebuah film sejarah yang luar biasa, bahkan mampu membuat penontonnya ingin nonton lagi (termasuk saya).
Sebelum film SP ini, mungkin kita (terutama saya) sudah samar ingatannya tentang KH Ahmad Dahlan. Ya, maklum saja dapat pelajaran sejarah tentang beliau kapan? SD atau SMP? Dan terus terang saya bukan termasuk penggemar novel/cerita/film bertemakan sejarah. Entah, mungkin karena masih trauma jaman sekolah dulu kalau sejarah identik ngafalin tanggal dan tahun, bukan esensi kejadiannya.
Tapi ketika SP beredar saat lebaran 1431 H, seorang teman saya sehari sebelum lebaran sudah nonton film itu dan mengutarakan kekagumannya via BBM, “Gw ma anak gw nangis pas adegan langgar dirubuhin,” katanya. Lalu “Gw jadi pengen pake kerudung deh, penjelasan Ahmad Dahlan enak,” katanya lagi.
Whuaaa pengen nonton, tapi apa daya sejak H-2 saya terkapar kena typussss. Praktis sejak lebaran saya bedrest saja kerjanya demi masa pemulihan diri. Namun twitan orang-orang di twitter yang berkisah soal SP, membikin saya senewen dan pengen nonton.
Maka, Kamis lalu ketika saya merasa sembuh total, langsung saya ajak ponakan yang kelas 1 SMP untuk ngacir ke Detos buat nonton film ini. Kami tiba pas lima menit sebelum jadwal tayang, beli tiket dan langsung masuk studio 1.
Satu kelebihan film ketimbang sinetron (ya iyaaaalah) semua penggambaran setting tampak nyata. Sawo matangnya orang Jawa, tiker yang bluwek, lingkungan yang becek, rumah bedeng, semua tampak real dengan memperhatikan detail. Kemudian diperlihatkanlah scene Ahmad Dahlan remaja (diperankan pemenang AFI Ihsan Taroreh) yang resah dengan praktik kemusyrikan di sekitarnya. Tergambar bagaimana Darwis (nama asli Ahmad Dahlan) mengerjai sepasang suami istri yang memberi sajen pada penunggu pohon besar. Darwis sembunyi di atas pohon dan begitu pasangan itu berlalu, ia menyembunyikan sajennya.
Kemudian Darwis ingin belajar ilmu agama lebih dalam di Mekkah. Meski sempat mendapat cibiran dari saudaranya,”Di Kauman sana banyak kyai-kyai yang belajar di Mekkah, tapi tetap goblok! Apa bedanya nanti kamu sama mereka?”
Namun tekadnya kuat, beruntung orangtuanya mendukung. Dan pada usia 15 tahun Darwis berangkat naik haji pertama kalinya, sekaligus belajar agama di Mekkah. Selama 5 tahun ia di sana dan kembali dengan sosok gagah Lukman Sardi yang berjanggut dan telah mendapatkan nama baru di ijazahnya: Ahmad Dahlan.
Ia lalu menikah dengan gadis yang setia menantinya sejak remaja dan memulai petualangan dakwahnya meluruskan yang benar di kampungnya.
Sungguh sebuah perjuangan yang tidak mudah. Pemikiran Ahmad Dahlan pada masanya terbilang cukup maju. Tampak bagaimana ketika beberapa murid pengajiannya datang dengan ragu-ragu karena mendengar gesekan biola (yang dianggap permainan orang kafir) sehingga menggugurkan niat beberapa remaja yang hendak mengaji bersama Ahmad Dahlan, menyisakan 3 orang remaja penasaran.
“Kita mengaji apa kyai?” Tanya mereka.
“Kalian maunya mengaji apa?”
Ketiga muridnya saling pandang,”Biasanya kalau pengajian, gurunya yang menentukan,”
Ahmad Dahlan tersenyum,”Nanti yang semakin pinter gurunya dong. Pengajian ini berbeda, kalian yang menentukan mau mengaji apa, dimulai dari bertanya. Wis mau tanya apa?”
“Apakah agama itu?” Tanya seorang muridnya.
Ahmad Dahlan tercenung sejanak dan mulai menggesek biolanya dengan lembut, membuat ketiga muridnya terbengong-bengong. Ahmad Dahlan terus memainkan sebuah lagu hingga habis dengan penghayatan yang nyata, bahkan ketiga muridnya pun terpana dengan alunan biola itu.
“Apa yang kalian rasakan tadi?” Pancing Ahmad Dahlan.
“Hmm… Enak…”
“Kayak semua masalah hilang, kyai, tenang.”
Ahmad Dahlan mengangguk senang, “Itulah agama. Membuat orang tenang, tentram, damai.”
Kemudian ia mempersilahkan seorang muridnya menggesek biola, tentu saja keluar nada-nada sumbang yang memancing tawa. “Nah, apa yang kalian rasakan?”
“Kacaw kyai,” mereka tertawa.
“Itulah agama, akan kacau kalau kita tidak mau mempelajarinya.”
Begitulah cara Ahmad Dahlan mengajar, pintar memanfaatkan situasi yang terjadi. Begitupun ketika ia diberi kesempatan sehari mengajar Islam di sekolah Belanda, ketika seorang murid Belandanya kentut, Ahmad Dahlan tidak merasa diremehkan, ia justru mendapatkan AHA moment.
“Ayo, siapa yang mau kentut lagi? Silahkan? Kamu? Kamu?” Tawarnya pada murid-murid yang lain, membuat satu kelas ternganga.
“Bersyukurlah kita bisa kentut, karena kalau nggak bisa kentut nanti perut kita buncit kayak Meneer Belanda yang di belakang itu!” Ia menunjuk seorang guru Belanda yang mengawasi di belakang kelas, membuat seisi kelas tertawa.
“Allah menciptakan sebuah lubang untuk keluarnya kentut dan kotoran, maka kita harus mengucapkan terima kasih padaNya dengan mengucapkan: Alhamdulillah,” Loloslah ia menjadi pengajar tetap di sekolah Belanda itu.
Kebenaran pastilah mendapatkan tantangan. Ketika Ahmad Dahlan hendak mengubah kiblat yang melenceng, tidak semudah membalikkan telapak tangan kendati ia sudah presentasi dengan ilmu falak, “Apa buktinya ia benar? Peta yang digunakannya saja buatan orang kafir!” Sahut jemaah tua yang kolot.
Lebih sadis lagi ketika diperlihatkan betapa umat Islam masih mempermasalahkan perbedaan di antara mereka, di mana kyai tua pun tak mau kharismanya berpindah ke sosok muda penuh pencerahan macam Ahmad Dahlan, sehingga langgar Ahmad Dahlan sampai dirubuhkan!
Saya menangis melihat adegan itu. Tapi film ini seperti yang Hanung Bramantyo bilang melalui twitternya, adalah multi tafsir. Ketika melihat langgar itu dirobohkan, saya justru berpikir,”Ya Allah, apa jihadku buat agamaku?”
Melihat sepak terjang Ahmad Dahlan yang bahkan dikatai kafir karena mengajar di sekolah Belanda dan berpakaian layaknya orang kafir. Saat ia berjalan di kampung, banyak pemuda mengatainya kafir. Saya lantas teringat beratnya perjuangan Rasulullah Saw dulu dalam menyebarkan Islam. Kalau Ahmad Dahlan saja sudah mendapatkan rintangan seperti itu dan ia berusaha sabar, pastilah ia teringat perjuangan Kangjeng Rasulullah Saw yang sampai dilempari kotoran manusia, Subhanallah.
Dalam film ini kita jadi mengetahui sejarah dengan gamblang dan enjoy. Lebih asyik ketimbang baca buku sejarah. Dalam perjuangannya, berbarengan dengan terbentuknya organisasi Boedi Oetomo yang terkenal itu, yang dulu saya baca di buku sejarah dan mungkin tak menghiraukannya. Namun dalam film itu semua perjuangan begitu merasuk dalam hati saya.
Begitupun ketika Ahmad Dahlan hendak mendirikan Muhammadyah dan mendapat tentangan dari Kyai penghulu (Slamet Rahardjo) hanya karena sang kyai salah baca kalimat De President menjadi Resident, di mana ia menyangka Ahmad Dahlan ingin mengambil peran dan kharismanya.
Padahal Ahmad Dahlan menuliskan ia adalah De President, alias direkturnya Muhammadyah, bukan ingin menjadi Resident. Membuat kyai penghulu beristighfar atas kesalahannya, lalu mendatangi Ahmad Dahlan di langgarnya untuk menyetujui terbentuknya Muhammadyah.
Selama ini Muhammadyah hanyalah sebuah organisasi Islam yang punya banyak sekolah di Indonesia bagi saya. Begitulah saya mengenal Muhammadyah. Kendati ‘aliran’ Islam di mana saya selalu bernaung rata-rata mengikuti pakem Muhammadyah, tapi semua berjalan apa adanya, dengan ritual yang menjadi kewajiban tanpa saya memiliki kewajiban untuk menggali lebih dalam soal Muhammadyah.
Namun begitu melihat perjuangan Ahmad Dahlan yang berpikiran terbuka dan menyambut semua perbedaan dalam mendirikan Muhammadyah, esensinya mulai terasa. Betapa Muhammadyah sebetulnya adalah wadah untuk berdakwah, menampung aspirasi umat, dan mewujudkan perjuangan. “Hidupilah Muhammadyah, jangan hidup dari Muhammadyah,” begitu Ahmad Dahlan menanggapi adegan kocak ketika seorang muridnya bertanya apakah kalau jadi pengurus organisasi akan dapat upah.
Kata “Kafir” begitu banyak didengungkan dalam film ini. Pandangan orang jaman itu, apa-apa yang dibuat dan dilakukan oleh orang di luar Islam, yang dianggap kafir, maka tak boleh ditiru. Itulah yang membuat murid-murid Ahmad Dahlan sempat khawatir ketika bergabung di Muhammadyah, yang otomatis harus menjadi anggota Boedi Oetomo, organisasi kalangan terpelajar dan banyak bersentuhan dengan kaum Belanda.
“Apa kita nggak disangka kafir, kyai?”
Itulah mengapa Ahmad Dahlan menjawab dengan kalimat yang saya letakkan sebagai pembuka tulisan ini di atas.
“Kita buktikan orang Islam bisa bekerja sama dengan siapa saja, asal Lakum Dinukum Waliyadin,”
Semangat dakwah Ahmad Dahlan untuk kemajuan umat Islam tak main-main. Ia mendirikan Madrasah Ibtidaiyah dengan bantuan murid-muridnya, membuat meja dan bangku dari kayu bekas peti kemasan dan mencari murid dari kalangan tidak mampu, bahkan kaum pengemis. Ketika seorang kyainya dari Magelang datang menengok dan kaget melihat peralatan madrasah Ahmad Dahlan meniru peralatan orang kafir,”Lah ini, meja, bangku, bukunya, semua kan buatan orang kafir, kok dipakai?”
Ahmad Dahlan lalu mengerjai gurunya itu,”Dari Magelang naik apa kyai?”
“Ya naik kereta lah, emang saya orang bodoh dari Magelang jalan kaki ke Jogya?”
Ahmad Dahlan tersenyum lembut,”Kalau gitu hanya orang bodohlah yang naik kereta karena kereta kan buatan orang kafir,” murid-muridnya tertawa tertahan, membuat kyai itu ngacir pulang ke Magelang.
Saya lantas teringat aksi pemboycottan produk-produk yang diatasnamakan Yahudi, betapa kita kadang masih suka mengharamkan yang dihalalkan, yah itu memang sesuai prinsip dan keyakinan masing-masing. Namun apakah layak boycott resto siap saji sementara banyak saudara kita bekerja di sana? Kalau mau boycott bukannya lebih baik siapkan dulu pekerjaan lain buat mereka.? Atau kalau mau boycott jangan tanggung-tanggung, komputer dan programnya bukankah buatan Yahudi atau membantu Yahudi juga? Tapi tentu kita harus menghargai prinsip masing-masing, jangan saling menghujat atau menyalahkan. Jalankan saja yang menjadi keyakinan masing-masing.
Kepiawaian Hanung dalam mengolah film ini patut diacungi jempol. Terlebih kehadiran Giring ‘Nidji’ yang berperan sebagai salah satu murid setia Ahmad Dahlan, cukup memberikan warna pada film ini. Kita dapat melihat sosok Giring yang lain, memakai blangkon, berkumis, dan garang dalam membela gurunya itu.
Harapan saya sih, para kru dan pemain yang terlibat dalam film SP semakin dalam mendapatkan hidayah, sehingga teraplikasi dalam kehidupan sehari-hari, dan menjadi peluang untuk terus berdakwah pada umat melalui bidang hiburan. Dan para penonton bisa menafsirkan film ini sesuai persepsinya masing-masing dan mendapatkan pencerahan, sesuai judul film ini: Sang Pencerah.
Kabarnya Hanung mau buat Sang Pendahulu, tentang KH Hasyim Ashari, pendiri NU. Betulkah? Hmm.. Jadi penasaran…. Saya pasti nonton. Semoga saja semakin banyak tokoh-tokoh pencerahan macam mereka difilmkan dengan menarik, untuk menambah semangat nasionalisme negeri yang lagi tertatih-tatih ini. Aamiin…
KEKUATAN IMPIAN DAN DOA SEORANG ANAK!
Saat masih SD, saya masih ingat kalau dulu sering dongkol bahkan menangis saat diajak bepergian oleh keluarga saya. Penyebabnya hanya satu; motor ayah saya sering banget mogok ditengah perjalanan. Bahkan, perjalanan refreshing pada hari Minggu sering habis dijalan karena harus mendorong motor yang mogok atau menunggui ayah yang harus memperbaiki sepeda motor bututnya
Saat saya dongkol dan bersedih, ayah dan ibu saya selalu menasehati dengan lembut. Bahwa kita harus bersabar dan bersukur atas pemberian dari Tuhan. Ujung-ujungnya pasti saya disuruh berdoa dengan sungguh-sungguh agar ayah diberi rumah bagus, motor bagus, dan mobil seperti salah satu teman ayah yang saya kenal.
Saya juga masih ingat, saat SD saya sangat senang diajak berkunjung ke rumah teman-teman ayah saya yang kaya. Saat itu saya sering membayangkan ayahlah yang mempunyai rumah seperti teman-temannya yang kaya tersebut. Bahkan bayangan, rasa, dan keindahan yang saya rasakan bisa bertahan selama beberapa hari lho.
Saya juga masih ingat ayah dan ibu sering bilang kalau mereka tidak mungkin bisa memiliki rumah besar dan mobil seperti teman-teman mereka yang kaya. Alasan orang tua saya karena mereka hanyalah pegawai negeri dengan gaji pas-pasan. Bahkan rumah kami saat itu saja masih kontrak.
Tapi saat itu saya tidak peduli, saya terus membayangkan betapa bahagianya jika ayah punya rumah besar dan mobil tersebut. Setiap selesai sholat di tempat ngaji, saya selalu memohon pada Allah kalau saya ingin ayah bisa punya rumah sendiri dan mobil. Agar saya tidak selalu bersedih karena motor ayah yang selalu mogok.
Tahukah anda? Ternyata dalam 3 tahun bayangan saya ini menjadi kenyataan! Ayah saya akhirnya bisa punya rumah yang luas, motor baru, dan sebuah mobil. PERSIS SEPERTI YANG SAYA BAYANGKAN DAN SAYA MINTA PADA ALLAH SELAMA 3 TAHUN MULAI KELAS 2 SD!
Kisah yang Terjadi Pada Teman Saya
Kisah saya di atas juga terjadi pada teman saya. Walaupun penghasilan dia pas-pasan, dia bisa menyekolahkan anaknya di sekolah TK favorit dengan biaya yang sangat mahal. Semua itu bisa terjadi karena si anak selalu membayangkan bahwa dia kelak akan sekolah di tempat itu.
Si anak tidak peduli walau diberitahu kalau orang tuanya tidak mampu membayar biaya pendaftaran. Bahkan dia sampai menabungkan uang jajannya agar bisa sekolah di tempat impiannya. Setiap pagi si anak selalu minta diajak sekedar melihat sekolah yang kelak akan menjadi sekolahnya saat umurnya sampai.
Tahukah anda? Akhirnya si anak bisa bersekolah di tempat itu walau secara logika tidak mungkin orang tuanya mampu membayar biaya pendaftaran. Ternyata Allah mengiyakan impian sang anak dan memberi rejeki yang cukup pada teman saya agar impian anaknya bisa terwujud…Subhanallah.
Pelajaran dari Kisah-kisah Ini
Kalau anda orang tua, janganlah anda sepelekan impian anak anda. Dan kalau anda seorang anak, doakan yang terbaik yang anda inginkan untuk anda dan keluarga anda. Karena impian seorang anak adalah impian yang masih suci dan polos. Impian seperti inilah yang seringkali dikabulkan oleh Allah. Ini berdasarkan pada pengalaman saya dan pengalaman beberapa teman.
Bagi orang tua, rerilah anak anda impian positif setiap hari. Menjelang tidur, ajaklah dia membayangkan betapa nikmatnya punya kehidupan yang baik. Kalau anda seorang anak, selalulah berfikir positif untuk orang tua dan orang-orang yang anda sayang. Terakhir, memintalah pada Allah bersama-sama. Tanamkan keyakinan hanya Allah akan mampu mengabulkan impiannya.
Sekali lagi; impian anak kecil adalah doa. Doa anak kecil akan mudah dikabulkan karena kepolosan jiwanya. Manfaatkan itu…..
KALAU MAU BERI,YABERI SAJA'
Alkisah, ada seorang saudagar yang terkenal baik hati dan sering memberi bantuan kepada sanak saudara atau teman yang datang meminta tolong kepadanya. Suatu hari, si saudagar sedang mengalami kesulitan, seakan menghadapi jalan buntu dan merasa perlu bantuan orang lain.
Maka dia pun mendatangi teman dan saudara yang dulu pernah dibantunya. Tetapi ternyata, tidak ada satupun dari mereka yang tergerak untuk membantu. Bahkan saat dia bercerita mengenai masalah yang sedang dihadapinya, mereka cenderung cuek, tidak peduli, dan menganggap itu bukanlah urusan mereka.
Sesampai di rumah, si saudagar merasa terpukul, kecewa, dan marah. Dia tidak habis berpikir, bagaimana mereka yang dulu merengek mohon bantuan, dan telah dibantunya, sungguh tidak tahu bersyukur dan berterimakasih. Saat dia dalam kesulitan dan membutuhkan bantuan, mereka memperlakukannyaseperti itu. Dan semakin dipikir, dia semakin kecewa dan marah. Keadaan ini sangat mengganggunya, dia menjadi sulit tidur, gampang marah, dan tidak bisa berpikir secara jernih.
Setelah berhari-hari si saudagar menjalani hidup yang tidak bahagia itu, dia memutuskan untuk pergi ke orang bijak. Setelah mendengar keluhan si saudagar, si orang bijak berkata, "Anak muda, paman tahu kalau kamu orang yang baik, suka membantu orang lain, tetapi saat ini kebaikan hatimu malah berakibat buruk. Kamu merasa tidak bahagia, kecewa, dan marah. Kenapa bisa begitu?
Menurut paman, pertama, kamu telah salah menilai orang lain. Harapan kamu adalah orang yang telah kamu bantu akan membalas budi, dan kenyataan tidak begitu, maka yang salah adalah kamu sendiri. Kedua, jika kamu ingin mendapat imbalan atas bantuanmu, saat membantu, kamu harusnya memberi pelajaran kepada mereka bagaimana caranya berterima kasih.Ketiga, jika kamu tidak ingin dikecewakan orang lain, maka berilah bantuan tanpa harapan atas imbalan apapun. Karena perbuatan baik yang telah kamu lakukan janganlah kehilangan makna dan dikotori dengan keinginan untuk dibalas yang bila tidak kesampaian, akan menimbulkan kecewa, marah, dan kemudian benci di hatimu.
Netter yang luar biasa!
Saat orang lain memohon bantuan kita dan kita menolong mereka, sebaliknya saat kita sedang mengalami kesulitan, kita mengharap balasan atas bantuan yang pernah kita berikan adalah hal yang wajar terjadi di kehidupan ini.
Namun umumnya orang yang berjiwa besar berpikir: membantu adalah membantu, tidak perlu ada embel-embel di belakangnya. Jika kita salah menilai orang yang kita bantu, introspeksi dan benahi diri sendiri. Masalah yang sedang kita hadapi adalah tanggung jawab kita sendiri. Sehingga kita tidak perlu marah, kecewa dan menyalahkan orang lain yang tidak mau membantu kita.
SENTILAN:MAU JADI ORANG KECIL APA ORANG BESAR
Suatu hari yang tak cerah
Di dalam rumah yang gerah
Seorang anak yang lugu
Sedang diwejang ayah-ibunya yang lugu
Ayahnya berkata:
Anakku,
Kau sudah pernah menjadi anak kecil
Janganlah kau nanti menjadi orang kecil!
“Orang kecil kecil perannya
kecil perolehannya,” tambah si ibu
“Ya,” lanjut ayahnya
“Orang kecil sangat kecil bagiannya
anak kecil masih mendingan.
Rengek Ayah dan Ibu berganti-ganti menasehati:
“Ingat, jangan sampai jadi orang kecil
Orang kecil bila ikhlas diperas
Jika diam ditikam
Jika protes dikentes
Jika usil dibedil,”
“Orang kecil jika hidup dipersoalkan
Jika mati tak dipersoalkan, hanya didengarkan
Suaranya diperhitungkan
Orang kecil tak boleh memperdengarkan rengekan
Suaranya tak suara,”
Sang Ibu wanti-wanti:
“Betul jangan sekali-kali jadi orang kecil
Orang kecil bila jujur ditipu
Jika menipu dijur
Jika bekerja digangguin
Jika mengganggu dikerjain,”
“Lebih baik jadi orang besar
Bagiannya selalu besar.”
“Orang besar jujur-tak jujur makmur
Benar-tak benar dibenarkan
Lalim-tak lalim dibiarkan.”
“Orang besar boleh bicara semaunya
Orang kecil paling jauh dibicarakan saja.”
“Orang kecil jujur dibilang tolol
Orang besar tolol dibilang jujur
Orang kecil berani dikata kurangajar
Orang besar kurang ajar dibilang berani.”
“Orang kecil mempertahankan hak disebut pembikin onar
Orang besar merampas hak disebut pendekar.”
Si anak terus diam tak berkata-kata
Namun dalam dirinya bertanya-tanya:
“Anak kecil bisa menjadi besar
Tapi mungkinkah orang kecil
Menjadi orang besar?”
Besok entah sampai kapan
si anak terus mencoret-coret
dinding kalbunya sendiri:
“O r a n g k e c i l ? ? ?
O ra n g b e s a r ! ! ! ”


KISAH 2 MANUSIA SUPER DI
IBUKOTA
Tanpa disadari terkadang sikap apatis menyertai saat langkah kaki mengarungi untuk mencoba menaklukan ibukota negeri ini. Semoga kita selalu diingatkan, sekedar berbagi cerita di forum orang – orang super dalam keindahan hari ini. Siang itu 13 Pebruari 2008, tanpa sengaja saya bertemu dua manusia super.
Mereka makhluk – makhluk kecil, kurus, kumal berbasuh keringat. Tepatnya di atas jembatan penyeberagan Harmoni, dua sosok kecil berumur kira – kira delapan dan sepuluh tahun menjajakan tissue dengan wadah kantong plastik hitam. Saat menyeberang untuk makan siang mereka menawari saya tissue di ujung jembatan, dengan keangkuhan khas penduduk Jakarta saya hanya mengangkat tangan lebar – lebar tanpa tersenyum yang dibalas dengan sopannya oleh mereka dengan ucapan “Terima kasih Om…!” Dan saya masih tak menyadari kemuliaan mereka dan cuma mulai membuka sedikit senyum seraya mengangguk ke arah mereka. Kaki – kaki kecil mereka menjelajah lajur lain diatas jembatan, menyapa seorang laki – laik lain itupun menolak dgn gaya yang sama dgn saya, lagi – lagi sayup – sayup saya mendengar ucapan terima kasih dari mulut kecil mereka, kantong hitam tempat stock tissue daganggan mereka tetap teronggok di sudut jembatan tertabrak derai angin Jakarta.
Saya melewatinya dengan lirikan ke arah dalam kantong itu, dua pertiganya terisi tissue putih berbalut plastik transparan. Setengah jam kemudian saya melewati tempat yang sama dan mendapati mereka tengah mendapatkan pembeli seorang wanita, senyum di wajah mereka terlihat berkembang seolah memecah mendung yang sedang menggayut di langit Jakarta. “Terima kasih ya Mbak, semuanya dua ribu lima ratus rupiah!” tukas mereka, tak lama si wanita meronggoh tasnya dan mengeluarkan uang sejumlah sepuluh ribu rupiah. “Maaf, nggak ada kembaliaanya. .. ada uang pas nggak Mbak?” mereka menyodorkan kembali uang tersebut, si Mbak menggeleng, lalu dengan sigapnya anak yang bertubuh lebih besar menghampiri saya yang tengah mengamati mereka bertiga pada jarak empat meter. “Om boleh tukar uang nggak, receh sepuluh ribuan…? suaranya mengingatkan kepada anak lelaki saya yang seusia mereka. Sedikit terhenyak saya merongoh saku celana dan hanya menemukan uang sisa kembalian Food Court sebesar empat ribu rupiah. “Nggak punya, tungkas saya…!” lalu tak lama si wanita berkata “Ambil saja kembaliannya, dik…!” sambil berbalik badan dan meneruskan langkahnya kearah ujung sebelah timur.
Anak ini terkesiap, ia menyambar uang empat ribuan saya dan menukarnya dengan uang sepuluh ribuan tersebut dan meletakannya kegenggaman saya yang masih tetap berhenti, lalu ia mengejar wanita tersebut untuk memberikan uang empat ribu rupiah tadi. Si wanita kaget setengah berteriak ia bilang “Sudah buat kamu saja, gak apa – apa ambil saja…!” namum mereka berkeras mengembalikan uang tersebut. “Maaf Mbak, cuma ada empat ribu, nanti kalau lewat sini lagi saya kembalikan.. !” Akhirnya uang itu diterima si wanita tersebut karena si kecil pergi meninggalkannya. Tinggallah episode saya dan mereka, uang sepuluh ribu di genggam saya tentu bukan sepenuhnya milik saya.
Mereka menghampiri saya dan berujar “Om.. tunggu ya, saya kebawah dulu untuk tukar uang ke tukang ojek..!”. “Eeeeh.. nggak usah… nggak usah… biar aja…, nih…!” saya kasih uang itu ke si kecil, ia menerimanya tapi terus berlari ke bawah jembatan menuruni tangga yang cukup curam menuju ke kumpulan tukang ojek. Saya hendak meneruskan langkah tapi dihentikan oleh anak satunya, “Nanti dulu om, biar ditukar dulu… sebentar”. “Nggak apa – apa…, itu buat kalian” lanjut saya. “Jangan… jangan om, itu uang om sama Mbak yang tadi juga” anak Itu bersikeras. “Sudah nggak apa – apa…. saya ikhlas, Mbak tadi juga pasti ikhlas!” saya berusaha menghalangi, namum ia menghalangi saya sejenak dan berlari ke ujung jembatan berteriak memanggil temannya untuk segera cepat, secepat kilat juga ia meraih kantong plastik hitamnya dan berlari ke arah saya. “Ini deh Om …. kalau kelamaan, maaf ya…” ia memberikan saya 8 pack tissue. “Lho buat apa…?” saya terbenggong. . “Habis teman saya lama sich Om.. maaf tukar pakai tissue aja dulu” Walau dikembalikan ia tetap menolak. Saya tatap wajahnya, perasaan bersalah muncul pada rona mukanya.
Saya kalah set, ia tetap kukuh menutup rapat tas plastik hitam tissuenya. Beberapa saat saya mematung di sana, sampai si kecil telah kembali dengan genggaman uang receh sepuluh ribu dan mengambil tissue dari tangan saya serta memberikan uang empat ribuan. “Terima kasih Om…!” mereka kembali ke ujung jembatan sambil sayup – sayup terdengar percakapan.. ..”Duit Mbak tadi bagaimana ya..?” suara kecil yang lain menyahut “Lu hafal kan orangnya, kali aja kita ketemu lagi ntar kita berikan uangnya” Percakapan itu sayup – sayup menhilang, saya terhenyak dan kembali ke kantor dengan seribuperasaan.
Tuhan …. hari ini saya belajar dari dua manusia super, kekuatan kepribadian mereka menaklukan Jakarta membuat saya trenyuh dan terharu, mereka berbalut baju lusuh tapi hati dan kemuliaannya sehalus sutra. Mereka tahu hak mereka dan hak orang lain, mereka berusaha tak meminta minta tap dengan berdagang tissue. Dua anak kecil yang bahkan belum akil balik, memiliki kemuliaan di umur mereka yang begitu sangat belia. Saya membandingkan keserakahan kita, yang tak pernah ingin sedikitpun berkurang rejeki kita meski dalam rejeki itu sebetulnya ada hak atau milik orang lain…. “Usia memang tidak menjamin kita menjadi bijaksana tapi kitalah yang memilih untuk menjadi bijaksana atau tidak” `YOU ARE ONLY AS HONORABLE AS WHAT YOU DO“ENGKAU HANYA SEMULIA YANG ENGKAU KERJAKAN`
ANDA MAU JADI SERIGALA ATAU HARIMAU?
Di sebuah hutan, tinggallah seekor serigala pincang. Hewan itu hidup bersama seekor harimau yang besar berbadan coklat keemasan. Luka yang di derita serigala, terjadi ketika ia berusaha menolong harimau yang di kejar pemburu. Sang serigala berusaha menyelamatkan kawannya. Namun sayang, sebuah panah yang telah di bidik malah mengenai kaki belakangnya. Kini, hewan bermata liar itu tak bisa berburu lagi bersama harimau, dan tinggal di sebuah gua, jauh dari perkampungan penduduk.
Sang harimau pun tahu bagaimana membalas budi. Setiap selesai berburu, di mulutnya selalu tersisa sepotong daging untuk dibawa pulang. Walaupun sedikit, sang serigala selalu mendapat bagian daging hewan buruan. Sang harimau paham, bahwa tanpa bantuan sang kawan, ia pasti sudah mati terpanah si pemburu. Sebagai balasannya, sang serigala selalu berusaha menjaga keluarga sang harimau dari gangguan hewan-hewan lainnya. Lolongan serigala selalu tampak mengerikan bagi siapapun yang mendengar. Walaupun sebenarnya ia tak bisa berjalan dan hanya duduk teronggok di pojok gua.
Rupanya, peristiwa itu telah sampai pula ke telinga seorang pertapa. Sang pertapa, tergerak hatinya untuk datang, bersama beberapa orang muridnya. Ia ingin memberikan pelajaran tentang berbagi dan persahabatan, kepada anak didiknya. Ia juga ingin menguji keberanian mereka, sebelum mereka dapat lulus dari semua pelajaran yang diberikan olehnya. Pada awalnya banyak yang takut, namun setelah di tantang, mereka semua mau untuk ikut.
Di pagi hari, berangkatlah mereka semua. Semuanya tampak beriringan, dipandu sang pertapa yang berjalan di depan rombongan. Setelah seharian berjalan, sampailah mereka di mulut gua, tempat sang harimau dan serigala itu menetap. Kebetulan, sang harimau baru saja pulang dari berburu, dan sedang memberikan sebongkah daging kepada serigala. Melihat kejadian itu, sang pertapa bertanya bertanya kepada murid-muridnya, “Pelajaran apa yang dapat kalian lihat dari sana..?”.
Seorang murid tampak angkat bicara, “Guru, aku melihat kekuasaan dan kebaikan Tuhan. Tuhan pasti akan memenuhi kebutuhan setiap hamba-Nya. Karena itu, lebih baik aku berdiam saja, karena toh Tuhan akan selalu memberikan rezekinya kepada ku lewat berbagai cara.” Sang pertapa tampak tersenyum. Sang murid melanjutkan ucapannya, “Lihatlah serigala itu. Tanpa bersusah payah, dia bisa tetap hidup, dan mendapat makanan.” Selesai bicara, murid itu kini memandang sang guru. Ia menanti jawaban darinya. “Ya, kamu tidak salah. Kamu memang memperhatikan, tapi sesungguhnya kamu buta. Walaupun mata lahirmu bisa melihat, tapi mata batinmu lumpuh. Berhentilah berharap menjadi serigala, dan mulailah berlaku seperti harimau.”
**
Adalah benar bahwa Tuhan ciptakan ikan kepada umat manusia. Adalah benar pula, Tuhan menghamparkan gandum di tanah-tanah petani. Tapi apakah Tuhan ciptakan ikan-ikan itu dalam kaleng-kaleng sardin? Atau, adakah Dia berikan kepada kita gandum-gandum itu hadir dalam bentuk seplastik roti manis? Saya percaya, ikan-ikan itu dihadirkan kepada kita lewat peluh dan kerja keras dari nelayan. Saya juga pun percaya, bahwa gandum-gandum terhidang di meja makan kita, lewat usaha dari para petani, dan kepandaian mereka mengolah alat panggang roti.
Begitulah, acapkali memang dalam kehidupan kita, ada fragmen tentang serigala yang lumpuh dan harimau yang ingin membalas budi. Memang tak salah jika disana kita akan dapat menyaksikan kebesaran dan kasih sayang dari Tuhan. Dari sana pula kita akan mendapatkan pelajaran tentang persahabatan dan kerjasama. Namun, ada satu hal kecil yang patut diingat disana, bahwa: berbagi, menolong, membantu sudah selayaknya menjadi prioritas dalam kehidupan kita. Bukan karena hal itu adalah suatu keterpaksaan, bukan pula karena di dorong rasa kasihan dan ingin membalas budi.
Berbagi dan menolong, memang sepatutnya mengalir dalam darah kita. Disana akan ditemukan nilai-nilai dan percikan cahaya Tuhan. Sebab disana, akan terpantul bahwa kebesaran Tuhan hadir dalam tindak dan perilaku yang kita lakukan. Di dalam berbagi akan bersemayan keluhuran budi, keindahan hati dan keagungan kalbu. Teman, jika kita bisa memilih, berhentilah berharap menjadi serigala lumpuh, dan mulailah meniru teladan harimau.
GUY LALIBERTE BADUT PERTAMA KE LUAR ANGKASA
Awalnya adalah kesederhanaan. Namun dengan kesabaran, keuletan, dan ketegaran, seniman jalanan ini pun bisa meraih kemakmuran. Tak ada seniman lain yang bisa berdiri di panggung setinggi langit (benar-benar setinggi langit secara fisik) kecuali seorang Guy Laliberte. Bagaimana anak seorang perawat yang sekolahnya saja cuma sampai SMA bisa manggung di ruang angkasa?
Panggung itu berlangsung pada 9 Oktober 2009. Dunia menyaksikan Guy Laliberte berbicara dari stasiun ruang angkasa atau International Space Station (ISS) dalam satu program siaran langsung televisi ke bumi. ISS yang berjarak 300-an km dari muka bumi itu pun berubah jadi panggungnya.Laliberte tampil dengan mengenakan hidung badut. Selain membadut di luar angkasa, Guy juga membawa misi sosial untuk menyadarkan orang akan pentingnya air, dengan nama: "Water for All, All for Water".
Personel grup band U2, Bono, yang menjadi salah satu pendukung program itu melakukan dialog dengannya. Menurut Bono, Laliberte adalah "Badut pertama yang bisa menjelajah hingga ke ruang angkasa."
Laliberte bisa pergi ke ruang angkasa dengan membayarUS$ 35 juta (sekitar Rp319 miliar), agar biasa menggunakan pesawat ulang-alik milik Rusia, Soyuz. Statusnya adalah "turis ruang angkasa." Namun itu tak masalah karena Laliberte sanggup membayarnya. Di situlah kelebihan lelaki kelahiran 2 September 1959 ini. Ia berhasil mengubah dirinya yang kekurangan uang di jalanan pada masa mudanya menjadi lelaki yang kelebihan uang untuk jalan-jalan.
**
Ke luar angkasa juga membawa misi "Water for All, All for Water".
Laliberte terlahir sebagai seorang anak biasa. Orang tuanya masuk dalam kelompok kelas menengah di Quebec, Kanada. Ibunya seorang perawat dan ayahnya seorang excecutive public relation sebuah perusahaan di Quebec. Ia terbiasa dengan kegembiraan dan alunan musik di rumah. Dengan kegembiraan yang selalu mengelilinginya itu Laliberte mengaku tumbuh sebagai pemimpi. Ia terobsesi menjelajahi dunia dan bertemu dengan aneka budaya.
Jiwa petualangannya diwujudkan sejak SMA. Saat itu ia bergabung dengan grup musik "La Queula du loup". Dari grup musik inilah ia diperkenalkan pada musik jalanan. Ia membuat pertunjukan di jalanan dengan skill dan kepercayaan diri tinggi. Dengan bekal keterampilan itu (mulai dari main harmonika hingga main sulap) ia bisa menjelajahi berbagai kota. Ia lalu meminta izin orangtuanya untuk pergi ke Eropa agar bisa mempertunjukkan keahliannya di berbagai jalanan Eropa.
Tiba di London, Laliberte tak punya cukup uang sehingga tak punya tempat untuk menginap. Ia menghabiskan malam pertamanya di ibu kota Inggris dengan tidur di bangku taman Hyde Park. Setelah itu mulailah ia menjelajahi Eropa dengan biaya hidup dari hasil pertunjukan-pertunjukan jalanannya. Tak hanya mempertontonkan keahliannya, ia juga mencoba belajar banyak hal dari para street performers di seluruh kawasan Eropa.
Logo misi: "Water for All, All for Water".
Setahun merantau, Laliberte pulang ke Quebec. Ia mengawali hidup di tanah kelahirannya sebagai manusia normal. Ia bekerja di perusahaan pembangkit listrik. Namun, ia cuma bekerja tiga hari. Ada ada pemogokan massal yang membuatnya keluar. Alih-alih mencari pekerjaan baru, Laliberte malah bergabung dengan seniman jalanan Gilles Ste-Croix. Bersama Gilles, ia menggagas festival seni jalanan hingga pesta karnaval.
Awalnya, gagasan festival dan karnavalnya ditolak warga. Namun Laliberte tak patah semangat. Ia mencoba dan mencoba lagi dengan mencari kota lain yang bisa menerimanya.Sampai akhirnya gagasannya diterima dan berhasil diwujudkannya. Bahkan tak hanya itu. Ketika ia mengajukan proposal untuk menyelenggarakan festival seni besar-besaran memperingati 450 tahun penemuan Kanada, proposal itu diterima pemerintah Kanada. Dari sanalah namanya mulai melejit.
Sukses di Kanada ia mencoba menjajal Hollywood. Seorang seniman jika ingin menguasai dunia harus bisa diterima di Hollywood, katanya. Karena itu ia mempertaruhkan segalanya ketika ikut Los Angeles Arts Festival. "Hidup atau mati di LA," katanya bertekad. Ini karena uang yang dipertaruhkannya pas-pasan. Jika pertunjukkannya gagal di LA, ia dan timnya tak akan bisa makan dan pulang karena tak punya uang. "Kita akan berhenti berkembang jika kita takut mengambil risiko," ujarnya tentang kenapa ia senekat itu.
Namun untuk memperkecil peluang buruk, sebelum berangkat ia mempersiapkan segalanya sesempurna mungkin. Persiapan mati-matian itu membuahkan hasil. Ia dan tim sirkusnya mendapat standing ovation dari bintang-bintang Holywood. Sejak itu namanya akrab dengan Hollywood dan dunia entertainment serta kemudian mengangkat harkat derajatnya ke posisi tinggi.
Menurut sebuah taksiran seperti dilansir Wikipedia, harta Laliberte saat ini mencapai US$ 2,5 miliar atau lebih dari Rp 22,5 triliun. Dengan melihat harta keseluruhannya ini, harga tiket Soyuz itu jadi tak ada artinya. Itu setimpal dengan perjuangannya. Apalagi tiket itu untuk menyempurnakan kegilaan traveling-nya. Jika seluruh dunia sudah dijelajahi, mana lagi yang harus ditempuh? Satu yang tersisa yaitu ruang angkasa itu.
Orang akan terkagum-kagum jika membaca perjuangan hidupnya. Bagaimana mungkin seorang seniman jalanan yang adalah anak seorang perawat bisa bertamasya ke ruang angkasa? Laliberte membuktikannya.
CACAT MATA ,TETAPI JADI PELUKIS
Sering kali hal-hal yang kurang menguntungkan datang beruntun. Sebelum kejadian pertama berlalu, kejadian berikutnya menimpa tak terhindarkan. Peristiwa bertubi-tubi itu bisa saja hanya sekadar kejadian kecil. Tetapi tak jarang berupa kejadian besar yang membekas seperti yang dialami oleh Ketra Oberlander, 47 tahun.
Ketra mengalami kerusakan mata yang dikategorikan "buta" saat usianya menginjak 40 tahun. Padahal saat itu ia baru mengalami kemalangan lain setelah kariernya sebagai penulis berantakan. Profesinya berakhir karena industri dot com yang menjadi tulang punggung hidupnya di Silicon Valley, Amerika Serikat, hancur akibat goncangan krisis ekonomi yang melanda dunia.
"Seperti perusahaan yang divonis bangkrut, profesi saya juga mengalami hal yang sama," ia memberi perumpamaan. Malangnya lagi, profesi itu tak mungkin ditata ulang karena kondisi mata yang jadi buta sehingga Ketra benar-benar harus mengubur profesi yang dicintainya.
Beberapa lukisan Ketra...
Bagaimana pun ini pengalaman yang berat. Butuh ketegaran untuk menerimanya. Tetapi Ketra bukan orang yang mudah menyerah. Meski ia bisa dimafhumi jika harus hidup dengan hanya bergantung sepenuhnya pada suami, ia memilih cara lain. Cacat mata (ia hanya bisa melihat jika mata didekatkan pada objek sejarak sekitar sejengkal) yang baru diterimanya baginya bukan akhir dari segalanya. Masih ada potensi lain dalam dirinya yang bisa digali dan dikembangkan menjadi sesuatu yang mungkin malah bisa menjadi profesi baru yang luar biasa.
Suatu kali Ketra meminta suaminya, Simeon Leifer (seorang pembuat software), memotret close-up bunga di pekarangan rumahnya. Lalu hasilnya dimasukkan ke dalam komputer. Dengan menampilkan gambar bunga di layar secara penuh dan tingkat kekontrasan yang tinggi, mulailah Ketra melukis dengan meniru bunga itu. Ia mendekatkan matanya pada layar sampai sekitar 10 sentimeter jaraknya, begitu dekat. Lalu mengambil kuas, mencelupkannya pada cat, dan menyapukannya ke kanvas dengan wajah yang juga amat dekat pada objek yang dilihatnya.
Akhirnya lukisannya jadi. Meski semula tak berharap lukisannya dinilai bagus, ternyata respon rekan-rekannya di luar dugaan. Lukisan bunganya disukai banyak orang. Untuk mengetahui respon lebih luas ia menitipkan lukisannya itu pada suatu pameran. Ternyata lukisannya mendapat penghargaan! "Saat itu saya langsung berseru, 'Sekarang saya sudah menemukan profesi baru'," ujarnya.
Ini lagi...
Sejak itu ia jadi pelukis dan kemudian mendapat banyak penghargaan. Bahkan kini ia jadi pengusaha dan konsultan seni! Luar biasa!!
Semoga kisah Ketra dapat menjadi inspirasi bagi para kita semua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar