Powered By Blogger

Minggu, 30 Januari 2011

OBAT KELEMAHAN HATI

5 300x267 gambar pohon indah



WAHAI PEMUDA , JANGAN LAYU SEBELUM BERBUAH


SEMUA
manusia di dunia ini secara fisik tunduk kepada fenomena penciptaan-Nya. Ia akan meniti fase shobi (bayi), thifl (balita), murahiq (pemuda), kuhulah (dewasa), dan syaikh (tua). Makhluk-makhluk-Nya itu selalu bertasbih kepada Allah Swt dengan bahasanya sendiri. Tetapi, usia paling menentukan arah kehidupan seseorang adalah fase murahaqa (puber) dan kuhulah (produktif) antara usia 15-35 tahun.

Ada sebuah ungkapan ahli hikmah: “Siapa yang tumbuh, berkembang pada masa mudanya di atas, akhlak, orientasi (ittijah), kepribadian (syakhshiyyah), karakter, bakat (syakilah) khusus, maka rambutnya akan memutih (al masyiibu) dalam keadaan ia memiliki tradisi (daabu), akhlak seperti itu.”

Ahli sastra Arab dahulu pernah menjelaskan impian orang tua yang ingin kembali pada masa muda. Tetapi, itu suatu kemustahilan.

????? ?????? ????????? ?????? ?????? . ????????? ????? ?????? ?????????

“Alangkah indahnya jika masa muda kembali lagi hari ini. Aku akan memberitahukan kepada khalayak (ramai) tentang apa yang dilakukan oleh orang yang sudah pikun dan beruban”.

Marilah kita hitung usia produktif dalam logika kehidupan manusia.

Umumnya umat Rasulullah Saw berusia antara 60-70 tahun (HR. Ahmad). Seumpama kita ditakdirkan berumur 63 tahun seperti uswah, qudwah (panutan) kita, 13 tahun pertama tentu tidak masuk perhitungan, berarti tidak bisa kita nilai. Kita belum baligh. Jadi, usia kita yang bisa dihitung 47 tahun.

Jika dalam sehari tidur belasan jam. Yang tersisa setiap hari 2/3. Tinggallah seputar 16 jam. Dalam aktivitas tidur tersebut tidak ada catatan amal. Untuk ukuran ini saja, dari 47 tahun, yang tertinggal 2/3-nya.

Lantas, sebagian besar ke mana? Orang itu produktif pada usia puber atau pada usia tua? Pertanyaan itu perlu kita jawab secara serius. Supaya aktivitas kita bisa dihisab oleh Allah Swt.

Semakin sering kita berhasil menghadapi godaan pada usia muda, seperti itulah ending kita pada masa tua (syaikhukhah). Sebaliknya, semakin sering kita kalah dalam mengantisipasi ujian, seperti itulah akhir kehidupan kita. Pertarungan yang paling berat dan keras adalah pada usia muda. Kalau diibaratkan seperti matahari, maka usia muda adalah ketika sinar matahari berada persis di tengah-tengah kita. Betapa teriknya pada siang bolong itu.

Itulah sebabnya Allah Swt memberikan penghargaan kepada pemuda yang tumbuh dalam keadaan beribadah kepada Allah Swt (syaabun nasya-a fi ‘ibadatillah). Bahkan Allah Swt memberikan perlindungan di padang Mahsyar, ketika tiada naungan kecuali naungan-Nya. Karena pada usia produktif tersebut dorongan kuat untuk beramal saleh berbanding lurus dengan dorongan melanggar. Maka, mengelola masa muda agar tunduk kepada karakter keagamaan merupakan perjuangan yang berliku, licin, dan mendaki. Hanya pemuda yang mendapat rahmat dari-Nya yang berhasil melewati godaan.

??????????? ??????? ?????? ???????? ???????? ?? ?????? ???????? ????????????? ?? ?????? ?????????? ?????? ????????? ??????


“Ya Allah, jadikanlah usiaku yang paling baik adalah pada penghujungnya, dan amalku yang terbaik adalah pungkasannya, dan hari-hariku yang terbaik adalah hari-hari saya bertemu dengan-MU.” [al Hadits].

Secara sunnatullah keberhasilan masa tua kita ditentukan oleh perjuangan yang tak kenal menyerah di masa muda. Keberhasilan mustahil diperoleh dengan gratis (majjanan), tanpa melewati proses ujian. Ibarat anak sekolah, untuk naik kelas harus mengikuti ujian. Jika kita kurang terampil mengelola masa muda dengan menggali potensi thalabul ‘ilmi (ijtihad), taqarrub ilallah (mujahadah), jihad fii sabilillah (jihad), secara maksimal kelak akan kita pertanggungjawabkan di Mahkamah Ilahi (‘an syabaabihi fiimaa ablaahu).

Ali bin Abi Thalib mengatakan:

???? ????? ???????? ??????? ????????

“Barangsiapa jelek akhlaknya (ketika pemuda), ia akan tersiksa ketika tua.”


Mengikuti Siklus Ibadah

Mengapa kita perlu shalat lima waktu sehari semalam. Kita ibarat membuat kolam renang di depan rumah, setiap kali azan berkumandang kita segera membersihkan lumpur yang menempel dalam diri kita. Sehingga tidak tersisa sisi gelap dalam pikiran dan hati kita, demikianlah sabda Rasulullah Saw.

demikian sabda Nabi.

Allah Swt membuat perencanaan ibadah, agar kita selalu terjaga. Ibadah yaumiyyah, harian (shalat lima waktu), usbuiyyah, mingguan (shalat Jum’at, puasa Senin Kamis, puasa tiga hari dalam sebulan), syahriyyah, bulanan (puasa Ramadan), sanawiyyah, tahunan (shalat idul fithr dan idul qurban), marrotan fil umr, sekali seumur hidup (ibadah haji ke Baitullah).

Maka, kita perlu membuat standarisasi dalam beribadah. Ada empat kegiatan ubudiyah yang perlu kita lakukan dengan istiqomah (konsisten) dan mudawamah wal istimror (secara berkesinambungan).

Pertama : Shalat fardhu secara berjamaah di masjid

Kedua : Shalat sunnah rawatib ba’diyah dan qabliyah

Ketiga : Membaca al Quran satu juz sehari

Keempat : Ditambah dengan ibadah bulanan

Muhasabah : Seminggu sekali

Ibadah harian yang perlu dipertahankan untuk menjaga stamina ritme spiritual. Ibadah wajib kita lakukan untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt (taqarrub). Ibadah sunnah kita lakukan, untuk membangun kecintaan secara timbal balik antara kita dengan Allah Swt. Jika kita sudah dicintai, aktifitas kita merupakan jelmaan dari kehendak-kehendak-Nya.

Supaya kita dekat dengan diri kita sendiri, kita perlu muhasabah usbuiyyah (intropeksi mingguan). Hati kita mengalami gerakan yang tidak berhenti. Dan itu harus selalu dikontrol. Jika kita sudah mencapai kenaikan grafik amal, dan kekurangan kita bisa kita hitung. Berarti kita dalam posisi ideal. Terjaga dari dosa, hanya Rasulullah Saw.

Bangkit Dari Keterpurukan

Jika kita terjatuh melakukan dosa, kita segera bangkit. Setiap langkah menuju dosa harus kita persempit ruangnya. Karena, dosa kecil yang kita remehkan, akan mengajak kepada dosa-dosa kecil berikutnya. Dosa itu beranak pinak, berkembang biak.

Langkah-langkah untuk bangkit, sebagai berikut:

Pertama: Istighfar (memohon ampun kepada Allah Swt). Bukan sekedar memperbanyak istighfar, sekalipun itu berpahala. Yang paling penting adalah dengan istighfar kita selalu menyadari seharusnya makin hari kekurangan, bau tidak sedap dalam diri kita semakin tertutupi (hilang).

Kedua, beramal. Setiap kali melakukan kejahatan, susullah dengan amal saleh. (ittaqillah haitsumaa kunta wa atbi’issayyiata al hasanata tamhuhaa). Kebaikan itu bisa menghapus dosa. Jika kita senang melakukan satu kebaikan, akan mengajak kepada kebaikan berikutnya. Misalnya, jika kita suka ke masjid, maka dengan sendirinya kita akan termotivasi untuk melakukan berbagai amal saleh di situ. Sholat fardhu, sholat sunnah, membaca Al-Quran, zikir dll.

Rasulullah Saw bersabda : “Jika engkau melihat seorang laki-laki terbiasa ke masjid, saksikanlah sesungguhnya ia seorang beriman.” [al Hadits].

Demikian pula jika kita senang melangkahkan kaki menuju ke tempat maksiat, maka akan mengerakkan untuk berbuat dosa berikutnya.

Jika kita sedang bersemangat dalam beribadah, lakukanlah sebanyak mungkin yang Anda mampu. Jika grafik ibadah menurun, minimal pertahankan yang wajib. Hati kita elastis, fluktuatif. Kita memiliki saat maju dan saat mundur. Dengan cara di atas kita bisa mengelola naik turunnya hati kita dengan baik.

Terakhir: Berdoa kepada Allah Saw, semoga kita tetap teguh dalam agama-Nya. Ya muqollibal qulub tsabbit qolbii ‘alaa diinik (Wahai Yang Membolak Balikkan hati, tetapkanlah hatiku diatas agama-MU).

Penutup, wahai para pemuda, ingatlah falsafah pohon pisang. “Janganlah mati sebelum berbuah.”






MERASAKAN KELEZATAN SPIRITUAL

Tokoh penting Singapura, Lee Kuan Yew, pernah mengingatkan generasi mudanya : “ Hidup bukan cuma untuk sepotong roti. Masih ada bianglala di langit Singapura. Keberhasilan pembangunan fisik bukan segala-galanya dalam hidup ini. ”Ungkapan arif demi melihat kembali keluhuran tujuan hidup bukan tanpa alasan. Sekarang kita melihat generasi muda bangsa di dunia rata-rata berfikir dan berorientasi jangka pendek (mata’).

Pertanyaan umum klasik rata-rata calon mahasiswa di Amerika dari dulu sampai sekarang berkisar tentang kebimbangan, ketidakpastian tujuan hidup. “Bagaimana saya harus memutuskan apa yang harus saya lakukan setelah saya dewasa ?”. Tapi sayang, perguruan tinggi tak bisa menjawab kegelisahan batin remaja dunia seperti itu. Bentuk baru kemiskinan idealisme generasi muda zaman ini ketika setiap fakultas hanya melaksanakan mandat mengajarkan kepada anak-anak bangsa untuk menjadi “mesin pembuat uang”. Di seberang lain, perguruan tinggi harus merespon permintaan pasar sehingga berurusan dengan tujuan karir-profesi dan penambahan income belaka.

Pada saat yang sama, para guru bangsa, mereka yang berada di koridor kekuasaan, kelas menengah bangsa, merasakan ketiadaan makna hidup semacam itu. Tidak sedikit yang bertanya sendiri dalam hati, hidup ini untuk apa, ketika sudah di puncak ? Ketika semuanya sudah diperoleh dan sangat berlebih ?. Tetapi mengapa seperti terus saja terasa ada yang belum tuntas dan belum terjawab dengan tuntas ? Seperti ada yang belum terselesaikan ?. Pesona gemerlapan material, prestise, terbukti membuat pemburunya kecewa ?.

Kata orang, itulah fenomena “sakit jiwa” dalam kehidupan modern. Bentuk kekosongan spiritual insan berdasi karena tidak tepat memilih dan memutuskan tujuan hidup. Kecenderungan hidup untuk memiliki, bukan untuk menjadi bermakna dengan memberi. Kebanyakan mereka mempersepsikan, aktifitas memberi dan berkorban untuk sesama itu kehilangan, bukan mendapatkan. Sungguh, dunia tenggelam dalam kubangan lumpur materialisme.

“Dan orang-orang yang kafir, perbuatan mereka seperti fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi apabila didatangi tidak ada apa pun.”
[QS. An-Nur (24) : 39].

Disadari, ternyata hanya pemuasan kebutuhan psikologis, yang tak kunjung terpuaskan. Akibatnya orang yang mempercayakan kebahagiaan hidupnya pada kebendaan berubah karakternya. Mereka cenderung agresif, kompetitif, dan antagonistis. Bangsa sipil yang bertabiat militer. Bangsa maju yang berkarakter primitif. Bangsa yang bugar secara phisik, tetapi terluka jiwanya. Indikasinya, ketakutan akan kehabisan alat pemuas sesaat yang dianggap dapat mengancam kehilangan makna hidup itu, sehingga orang tak henti menimbun dan menumpuk harta. Berebut pengaruh, posisi, nasi dan kursi. Sekalipun harus menghalalkan segala cara. Persetan dengan aturan halal dan haram.

Dari kecil, anak-anak bangsa di dunia, diajarkan kecanduan pada bendawi. Mainan, makanan, dan hal-hal kebendaan. Mereka menambah deretan panjang barisan kelas konsumen dunia, bukan di mata Tuhan. Mereka dibiasakan terbius oleh pemenuhan sesaat. Memperlakukan diri sendiri sebagai komunitas, tapi tak terjawabkan semua itu sejatinya untuk apa. Pertanyaan klasik yang tak kunjung terjawab dengan memuaskan. Hidup ini dari mana, untuk apa dan mau kemana ?.

Anak-anak di dunia diajarkan menjadi manusia yang hidup menurut standar sosial yang labil. Menghargai orang lain atas apa yang dimiliki, bukan pada apa yang orang sikapi dan lakukan untuk hidup. Selubung materialisme yang menjadikan mereka sering merasakan kekeringan, kegersangan dan kehampaan hidup.

Materialisme yang membuat nilai-nilai, ikatan dalam keluarga dan masyarakat makin longgar dan rapuh. Jarang berkumpul bersama dalam keluarga, serta bingung mengisi waktu senggang menjadi pola kejenuhan baru orang modern. Tak habis-habisnya mereka sibuk dan kekurangan waktu. Makin terasing ditengah keramaian dan kerumunan manusia, menambah kerumitan hidup manusia. Sebuah keprihatinan sosiologis di ujung abad globalisasi.

“Industri hati yang sepi”, menjadi bisnis baru dunia yang kini banyak diminati masyarakat modern. Mereka merasakan kesepian dan kekosongan jiwa, kian terpojok pada rasa nihilistik. Generasi muda Jepang sekarang membenci orang tua mereka sendiri yang pandangan hidupnya cuma untuk kerja dan kerja (karosi). Mereka mengucilkan orang tua yang telah membuat hidup keluarga mereka terlanjur tak bahagia. Orang sekarang mengisi kehidupannya di malll dan diskotik, tempat rekreasi, di ajang politik, free seks, dugem, narkoba, yang penging have fun, dan entah apa lagi. Tetapi sayang, mereka tidak menemukan yang dicarinya di sana. Karena kebahagiaan bukan berbentuk barang yang harus diburu di tempat tertentu. Apa yang diidamkan terwujud, hanya saja membuat pemiliknya justru kehilangan.

Contoh sederhana adalah kisah Stuart Donnelly, remaja kaya-raya yang justru mati muda. Ia ditemukan tewas pada usia 29 tahun di rumah mewah yang dibelinya, setelah memenangkan hadiah hampir 2 juta pound, saat ia masih berumur 17 tahun.

Stuart Donnelly mendadak kaya setelah memenangkan jackpot tahun 1997, berbagi total hadiah sebesar 25 juta pound dengan 12 pemenang lainnya. Dengan kekayaannya, dia mampu membeli rumah mewah di barat daya Skotlandia, tepatnya di bungalonya di Buittle Bridge dengan harga Rp10,2 miliar.

Tapi,menjadi orang kaya justru membuat Donnelly tidak bahagia. Kata teman-temannya, ia sepertinya tidak sanggup mengatasi tekanan hidup sebagai seorang jutawan. Rupanya, kekayaan hanya mampu membeli lampu penerang rumahnya yang mewah, namun tetap tak bisa menerangkan hatinya yang paling dalam.

“Atau (keadaan orang-orang kafir) seperti gelap gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh gelombang, diatasnya ada (lagi) awan gelap. Itulah gelap gulita yang berlapis-lapis. Apabila dia mengeluarkan tangannya hampir tidak dapat melihatnya. Barangsiapa tidak diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah, maka dia tidak mempunyai cahaya sedikitpun.” (QS. An-Nur (24) : 40).

Sekarang Amerika tercatat sudah menjadi mall terbesar di dunia. Lebih banyak mall dibangun di dunia dibanding dengan sekolah. Lebih banyak alat elektronik canggih diciptakan. Semua untuk pemuas kehidupan manusia. Hanya saja, tidak bisa menolong orang dengan krisis spiritual dalam kehidupan yang glamor. Kelaparan orang modern berbentuk miskin orientasi dan sikap hidup.

Alan Thein Durning melihat gaya hidup konsumerisme Barat tak membuat kebahagiaan orang meningkat. Peningkatan gizi, minim sekali sumbangannya bagi kebahagiaan orang seorang di Amerika Serikat, dari tahun 1957 sampai sekarang tetap saja sepertiganya. Padahal selama lebih dari tiga dasawarsa, pola hidup konsumerisme telah berlipat kali lebih besar.

Anak di dunia harus menggendong cita-cita, ambisi, dan falsafah hidup yang keliru yang bukan miliknya sendiri. Mereka hanya memikul ambisi orangtua, kemauan politik, dan kesalahan sistem pendidikan bangsanya. Mereka disetting agar siap sukses dan berprestasi di mata dunia. Mereka dipilihkan jalan hidup yang terbukti salah.

Kita terlanjur mengajarkan pada anak-anak untuk menjadi “nomor satu”, seperti dilazimkan dalam kredo bangsa Amerika. Tapi tak pernah mengajarkan sikap legawa (sportif) jika menjadi kalah. Ternyata itu pun tak membuat mereka menjadi kaya di mata Tuhan. Itulah agaknya tuntutan kodrati mesin kapitalis mondial. Semua anak digiring bercita-cita menjadi dokter, insinyur, atau apa saja bukan lantaran keterpanggilan, melainkan lebih karena profesi semacam itu dinilai orang potensial meraup uang. Tapi alpa mendidik mereka apa yang tidak mungkin diperoleh dengan uang dalam menempuh ziarah panjang kehidupannya.

“Pendidikan modern tidak mengajarkan air mata pada mata, dan kekhusuan di hati”, serta karakter, kata Mohammad Iqbal.

Kita memerlukan guru dan orangtua, senior bangsa, sesepuh pinisepuh, dan birokrat yang mengajarkan kepada anak-anak bagaimana membangun proyek kehidupan ini lebih sejuk, rekreatif dan edukatif serta beradab. Sebab, makin bertambah orang modern yang kini gunda gulana dan minta bantuan ahli jiwa, ahli agama, dan ahli filsafat, bagaimana cara yang tepat mengorganisasikan kehidupan pribadi mereka yang mulai retak-retak dan terbelah (split personality).

Hidup menghajatkan struktur, komunitas, dan makna. Kehidupan orang sekarang terancam kehilangan unsur penting itu. Kita dan anak-anak kita memerlukan logoterapi, bentuk terapi agar hidup yang pecah menjadi utuh dan bernilai. Sekarang kita membutuhkan kembali ilmu kehidupan itu bagi semua anak bangsa agar tahu bahwa menemukan cara hidupnya yang indah sama baiknya dengan cara matinya yang mempesona. Kematian yang berkesan dihati banyak orang (‘isy kariiman au mut syahiidan).

Maka tak ada pililah lain. Kembali kepada pemahaman, penghayatan dan pengamalan beragama secara benar (iqamatul haq, iqamatud din) adalah jawabannya. Agama bukan sebatas serimonial formallistik, tetapi miskin aplikasi. Agama menyeru kepada arti hidup, iman, kesucian, kejujuran, kebenaran, petunjuk, perjuangan dan segala yang berkaitan dengan kebahagiaan hidup kedisinian dan nanti.

Jika sekiranya kita bisa merasakan manisnya kelezatan iman dan spiritual itu sekarang, mengapa harus menunggu lama lagi






MEMBERI,HAKEKATNYA MENDAPATKAN

Kekayaan seorang mukmin yang paling mahal dalam kehidupan ini adalah manisnya iman kepada Allah Swt. Jika kita memilikinya, sekalipun kita miskin harta, pengaruh, jabatan, tinggal di gubuk reot, mendekam di balik jeruji, hakikatnya kita memiliki segala-galanya dalam kehidupan ini. Sebagaimana pengalaman Nabi Yusuf As.

Yusuf berkata: "Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. dan jika tidak Engkau hindarkan dari padaku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh." (QS. Yusuf (12) :

Sebaliknya, meskipun dunia dan seisinya berada di dalam genggaman kita, tetapi kita faqrul iman (miskin iman), maka sejatinya kita tidak memiliki apa-apa. Karena, kita tidak bisa memaknai dan menikmati kehidupan ini. Dunia yang luas tak bertepi ini terasa sempit. Dunia yang terang benderang ini terasa gelap gulita. Orang beriman sekalipun miskin harta, tetapi memiliki kekayaan jiwa (ghinan nafsi).

Oleh karena itu kita harus berjuang tanpa mengenal lelah, dengan tenaga, fikiran, potensi yang kita miliki untuk mencapai manisnya iman (halawatul iman). Betapapun tinggi gunung kita daki, lautan yang tidak bertepi kita arungi, semua untuk memperoleh kenikmatan spiritual (lazzatur ruhi), yang diserap dari iman itu. Karena, di tengah-tengah perjuangan itu Allah Swt akan menggantinya dengan dua surga. Surga di dunia dengan kehidupan yang bahagia (hayatun thayyibah) dan surga di akhirat, selamat dari siksa neraka.

Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan) di akhirat. Tidak ada perubahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar (QS. Yunus (10) : 62-64).

Namun, bagaimanakah iman yang sebenarnya, aqidah salimah (steril dari kontaminasi kemusyrikian) merujuk referensi Islam itu?

Iman yang benar adalah keyakinan yang terhunjam di kedalaman hati, diucapkan dengan lisan, dan dibuktikan dengan seluruh anggota tubuh. Keyakinan bulat, tiada keraguan sedikit pun (al-yaqinu kulluhu). Dan mampu mempengaruhi orientasi kehidupan (ittijahul hayah). Iman tidak sekedar amal perbuatan, bukan pula sebatas pengetahuan tentang rukun Iman.

Iman bukan pula sekedar ucapan lisan seseorang yang mengaku bahwa dirinya orang beriman. Sebab, orang-orang munafik pun dengan lisannya menyatakan hal yang serupa, tetapi hatinya mengingkari statemennya sendiri. (QS. Al-Baqarah (2) : 8-9).

Iman pula tidak sebatas amal perbuatan an sich yang secara lahiriah merupakan ciri khusus perbuatan orang beriman. Sebab, orang-orang munafik pun tidak sedikit yang secara permukaan mengerjakan ibadah dan berbuat baik (fi’lul khoir), sedangkan hatinya kontradiksi dengan penampakan lahiriahnya. Apa yang dikerjakan tidak didasari kemurnian niat untuk mencari ridha Allah Swt (QS. An-Nisa (4) : 142). Iman juga bukan sekedar pengetahuan akan makna dan hakikat iman, tidak sedikit orang yang mendalami hakikat dan makna iman, tetapi mereka tetap saja ingkar (QS. An-Naml (27) : 14), (QS. Al-Baqarah (2) : 146).

Dengan demikian, iman membutuhkan penerimaan oleh akal hingga mencapai keyakinan yang benar-benar kuat, tidak lentur dengan perasaan bimbang. (QS. Al-Hujurat (49) : 15). Iman di samping menuntut adanya pengetahuan, pemahaman dan keyakinan yang kokoh, dia juga mensyaratkan adanya kepatuhan hati, sami’na wa ‘atha’na (kami dengar dan kami patuh), kesediaan dan kerelaan menjalankan perintah (instruksi) Allah Swt dan Rasul-Nya, serta ulil amri yang dipilih-Nya (QS. An-Nisa (4) : 65), (QS. An-Nur (24) : 51), (QS. Al-Ahzab (33) : 36).

Di samping pengetahuan dan penerimaan, iman sepatutnya membangkitkan semangat untuk beramal, berjuang dengan harta dan jiwa, sesuai dengan yang dituntut oleh iman itu sendiri dan kewajiban orang beriman (QS. Al-Anfal (8) : 2-4).

Dalam menyajikan ilustrasi tentang iman, Al-Quran selalu mengambil bentuk sebagai perilaku terpuji dan amal yang mendatangkan manfaat, yang merupakan garis pembeda antara orang-orang yang beriman dengan orang-orang kafir dan munafik (QS. Al-Mukminun (23) : 1-5).

Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam sembahyangnya, orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, orang-orang yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang menjaga kemaluannya (QS. Al-Mukminun (23) : 1-5).

Iman dan Kekayaan

Orang beriman sadar bahwa apa yang dimilikinya hanya hak guna (pinjaman), bukan hak milik. Karena yang memilikinya adalah Allah Swt. Maka, dilandasi oleh keimanan ia ikhlas memberikan sesuatu, sekalipun pada saat akan mengeluarkan ada perasaan berat, tetapi keimanannnya itu mengantarkannya untuk rela memberi. Ia yakin dengan memberi, hakikatnya akan mendapatkan balasan yang lebih baik. Balasan itu tidak akan salah alamat, pasti akan mengenai dirinya dan orang-orang di sekitarnya. Justru infak yang paling tinggi nilainya adalah ketika akan dikeluarkan banyak sekali pertimbangannya, dan berat hati untuk memulainya.

Bahkan bersedia memberikan yang lebih banyak, melebihi dari yang diwajibkan, karena yakin bahwa apa yang diberikannya untuk menunaikan kewajiban kepada Allah Swt. Itulah yang kekal abadi. Sedangkan apa yang di genggaman tangannya akan hilang, lenyap tanpa bekas. Apa yang kita berikan untuk kebaikan, itulah milik kita sebenarnya.

Sebagai contoh kita nukilkan di sini pengalaman ruhani seorang sahabat Rasulullah Saw bernama Ubay bin Ka’ab:

“Aku pernah diutus oleh Rasulullah Saw mengumpulkan zakat. Dalam menjalankan tugas ini, aku berjumpa dengan seorang laki-laki yang akan dipungut zakat hartanya. Setelah dikumpulkan semua ternaknya, maka menurut pendapatku dia hanya berkewajiban membayar bintu makhadh (unta yang sangat mudah). Aku katakan kepadanya: Berikanlah seekor bintu makhadh, karena hanya itu zakat yang diwajibkan kepadamu. Dia menjawab: Unta seusia itu belum mempunyai susu dan belum dapat dikendarai. Inilah seekor onta muda, besar dan gemuk. Ambillah ia !. Aku menjawab: Aku tidak akan mengambil apa yang tidak diperintahkan kepadaku. Kini Rasulullah Saw tidak jauh dari kita. Engkau bisa menemui beliau, mengutarakan apa yang telah kau utarakan kepadaku ini. Kalau Rasulullah Saw menyetujui, tentu aku pun menerimanya. Sebaliknya, jika beliau tidak sepakat, maka aku pun menolaknya. Lelaki itu berkata: Boleh. Lalu kami pergi bersama dengan membawa onta tersebut. Kami menjumpai Rasulullah Saw, lalu laki-laki itu berkata: Ya Rasulullah! Utusanmu telah datang kepadaku. Demi Allah, sebelum ini, baik Rasulullah Saw sendiri maupun utusannya belum pernah mengambil zakat dari hartaku. Lalu aku kumpulkan ternakku, hingga utusanmu berkata: Kewajibanmu hanya membayar bintu makhadh. Unta seperti itu belum mempunyai susu dan belum bisa dikendarai. Aku kemukakan kepadanya supaya dia mengambil seekor onta yang muda dan besar, tetapi dia tidak mau menerimanya. Dan inilah onta itu, kubawa kepadamu, ya Rasulullah, ambillah ia. Rasulullah Saw menjawab: Kewajibanmu hanya itu (bintu makhadh). Tetapi kalau engkau berbuat kebaikan dengan suka rela, niscaya Allah Swt akan memberi pahala kepadamu karenanya, dan kami pun menerimanya. Lelaki itu berkata: Inilah onta itu, ya Rasulullah! Telah kubawa kepadamu. Karena itu terimalah ia. Lalu Rasulullah Saw memerintahkan kepada utusannya itu untuk menerimanya dan mendoakan keberkahan hartanya.” [HR. Abu Daud].

Al-Hamdulilllah, setelah bersedekah dan didoakan oleh manusia pilihan (al-Musthofa) itu, hartanya menjadi barakah, bertambah kebaikannya, semakin berlimpah, baik secara kuantitas dan kualitas. Keluarganya semakin harmonis, anak dan istrinya semakin patuh. Dia terhindarkan dari berbagai penyakit yang selama ini diidapnya. Karena sedekah itu bisa menolak bala’ (Ash-Shadaqatu tadfa’ul bala’). Dia sering mendapatkan jalan keluar dari berbagai kesulitan yang ditemuinya. Bahkan, orang-orang terdekatnya semakin cinta, simpati, dan selalu membelanya. Hashshinuu amwalaku biz zakat (bentengilah harta kekayaanmu dengan zakat), meminjam istilah Umar bin Khathab.

Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (syurga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah (QS. Al-Lail (92) : 5-7).

Apabila kita dalam kondisi papa, keluarkan harta yang paling kita senangi, niscaya Allah Swt akan menghilangkan kemiskinan kita itu. Apabila kita memiliki kecukupan, keluarkanlah infaq, niscaya Allah Swt akan menambah kekayaan kita. Apabila kita kaya, gemarlah berinfaq dengan tulus, supaya semakin kaya. Dan apabila kita sedang sakit, berinfaklah, Insya Allah sakit itu akan segera disembuhkan oleh-Nya. Sedekah adalah solusi yang jitu untuk mengatasi berbagai kerumitan kehidupan kita. Semoga kita bisa mengambil ‘ibrah (pelajaran), ‘ubur (jembatan menuju puncak sukses) dari kisah tadi.

Akrabilah Allah Swt di saat lapang, maka Ia akan mendatangimu ketika sempit (Hadits Qudsi). Wallahu a’lam bishshawab.





MENSIKAPI KARAKTERISTIK ZAMAN

Dirasatul Maidan (memahami karakteristik medan dakwah) merupakan salah satu unsur pokok yang menopang keberhasilan perjuangan dakwah. Termasuk di dalamnya adalah ma’rifatul qarn (memahami kondisi zaman) saat dakwah ini harus dikomunikasikan. Kata Imam Syafii: Kurikulum dakwah adalah satu fan (fiqh syariah) tersendiri, dan mensosialisakannya dalam realitas adalah fan yang lain (fiqhul waqi’).

Pemahaman secara cermat dan akurat terhadap realitas sosial (fiqhul waqi’) akan memberikan rujukan dalam merumuskan langkah perjuangan yang akan ditapaki. Maka, ma’rifatul qarn sejatinya akan menyingkap berbagai problem klasik dan kontemporer. Sehingga seorang dai bisa mengurai persoalan (hall) dan memutuskan (aqd). Seorang dai ibarat sebagai thabib, ketika melihat tubuh umat yang loyo, pucat, terserang berbagai virus (kurap = kurang rapi, kutil = kurang teliti, kudis = kurang disiplin, kuman = kurang iman), mustahil bisa diobati secara baik bila ia tidak sanggup mendiagnosa penyakit yang diidapnya.

Pada zaman dahulu ada sebagian tokoh sufi yang meratapi zaman. Lahirlah karya tulisnya yang berbentuk puisi yang panjang, berjudul: Syakwaz Zaman (Meratapi Zaman). Mengomentari kitab tersebut, BUYA Hamka mengatakan, “Sejak zaman Nabi Saw saja ada orang munafiq yang menyusup di shof kaum beriman, tetapi beliau tetap berjiwa besar dan terus berfikir positif menatap obyek dakwah, dengan mengedepankan sabar, ulet, istiqomah. Dan pada akhirnya barisan umat Islam angkatan pertama tidak terpengaruh oleh kontaminasi zaman jahiliyah. Dunia, memang darul imtihan, darul amal, darul jihad, sedangkan akhirat darul hashad (medan untuk memanen).”

Said Hawa mengatakan, “Inna ‘ashranaa haadza mamlu-un bisy syahawati wasyu syubuhati wal ghaflah.” (sesungguhnya zaman kita ini didominasi oleh lingkungan sosial yang membangkitkan syahwat, syubhat, dan kelalaian).

Sejalan dengan statemen ideolog Ikhwanul Muslimin tersebut, penulis muslim berkebangsaan Inggris, Ahmad Thomson menyebut, dunia kita sekarang sejak kurang lebih satu abad terakhir menggunakan sistem Dajjal (Dajjal values), bertolak belakang dengan sistem kenabian (prophetic values).

Muhammad Quthb dalam karya tulisnya “Rukyatun Islamiyyah Li Ahwalil ‘Alamil Mu’ashir” (Tafsir Islam Atas Realitas Kontemporer) mempersepsikan dunia sekarang sebagai jahiliyah abad 20 (jahiliyah fil qarnil ‘isyrin). Setidaknya ada empat ciri mayarakat jahiliyah kontemporer.

Pertama: Tidak adanya iman kepada Allah. Kalau masa jahiliyah klasik Islam, ditambah dengan berbagai ritual dari asing. Jahiliyah modern Islam yang sempurna ini dikurangi. Mereka menghendaki Islam tidak perlu dilibatkan dalam kehidupan bernegara. Islam tanpa jihad, Islam tanpa hukum had. Islam tanpa qishah. Islam itu moderat. Bahkan sekarang ini mereka membuat image Islam itu radikal, teroris, antikemapanan, dan lain-lain, sehingga akidah dipisahkan dari syariah.

Kedua: Tidak adanya hukum yang merujuk kepada ketentuan Allah Swt. Maka, hukum menuruti keinginan hawa nafsu. Efeknya, hukum bagaikan pisau. Tajam untuk kalangan grass root, tumpul untuk level the have. Hukum yang melukai rasa keadilan dan kemanusiaan (QS. 5 : 49-50)

Ketiga: Tampilnya berbagai thaghut (tirani) yang membujuk manusia supaya tidak beribadah dan tidak taat kepada hukum Allah serta menolak hukum syariat-Nya, kemudian mengalihkan peribadatannya kepada jibt dan thaghut dan hukum-hukum yang dibuat menurut selera hawa nafsunya (QS. 2 : 257).

Keempat: Fenomena sikap menjauh dari agama Allah (uculuddin, Bhs Jawa), sehingga mengarah kepada penyakit pikiran (syubhat) dan penyakit moral (syahwat) dan penyakit kepribadian (ghoflah).

Demikianlah karakteristik jahiliyah kekinian. Akar persoalannya, tidak tahu diri dan tidak tahu Tuhan. Buta kebenaran, bukan buta ilmu dan teknologi. Ilmunya tinggi (ma’rifat, sundhul langit, Bhs Jawa), tetapi tidak melahirkan khosyyah (ketakutan) kepada Allah. Fenomena jahiliyah modern persis dengan kejahiliyahaan klasik.

Dahulu orang Arab dikenal pakar dalam menulis teks pidato, puisi, prosa. Bahkan karya yang dinilai bermutu ditempel di atas dinding Ka’bah, tetapi kompetensi mereka tidak mengantarkannya kepada perbaikan budi pekerti, moralitas. Bahkan memahami teks “Allah” sudah terkontaminasi dengan paham paganisme.

??????????? ???????? ???????? ????????? ??????? ???? ?????? ??????????? ????? ??????? ???????????? ???????? ?????????? ??????? ??????? ???? ???? ?????? ??????? ???? ??????????????? ???????? ???????

Jadi, jahiliyah adalah kondisi umat yang terjadi sebelum kedatangan petunjuk Allah (hidayatullah) dan keadaan bangsa tertentu atau sebagian bangsa yang menghalangi disambutnya petunjuk Allah.

Ironi Nation State

Rasulullah Saw memprediksikan, dengan berjalannya waktu dan berlalunya masa dari sumber wahyu, umat Islam akan mengalami degradasi spiritual (istidraj) secara bertahap. Berbagai kemajuan material, hanya untuk menggali lubang kehancurannya. Berawal dari runtuhnya intitusi formal kenegaraan (al-khilafah al-Islamiyah) sampai dilalaikannya kewajiban paling prinsip seorang hamba kepada-Nya, yaitu shalat.

???? ?????? ????????? ???????????? ???? ???????? ???? ?????? ???? ???????? ????????? : ????????????? ?????

???? ??????? ???????? ???????? ????????? ????????? ??? ??????? ????????? ?????????????? ??????? ?????????

??????????? ??????????

“Sungguh akan terurai ikatan Islam simpul demi simpul. Setiap satu simpul terlepas maka manusia akan bergantung pada simpul berikutnya. Yang paling awal terurai adalah hukum, dan yang paling akhir adalah shalat.” (HR. Ahmad 45/134).

Sejak 1924 M, dunia menyaksikan titik paling nadir keruntuhan kepemimpinan formal dunia Islam. Musthafa Kamal, yang dijuluki ulama yang konsisten dengan Islam dengan sebutan “Kamal A’daut Turki” (Kamal musuh bangsa Turki), memimpin acara seremonial pembubaran global state (al khilafah al Islamiyah) yang jangkauan kekuasaannya membentang dari Maroko di Afrika Barat sampai Maluku di Indonesia Timur. Lalu dengan konyolnya memproklamasikan berdirinya negara Turki sekuler-modern yang sepenuhnya mengekor Eropa.

Dengan program unggulan Yahudi “farriq tasud” (cerai-beraikanlah kaum muslimin supaya kamu bisa merajai), mulailah negara-negara Islam mengumandangkan berdirinya nation state. Masing-masing menentukan ideologi dan falsafahnya yang menyimpang dari kitab suci Al Quran dan Al Hadits. Kemudian diikuti dengan sikap lebih membanggakan identitas material-geografis kebangsaannya melebihi dari identitas spiritual-ideologis keislamannya. Islam kemudian menjadi menyempit dan termarginalkan dari percaturan global.

Beralihnya kepemimpinan khilafah kepada kepemimpian mulkiyah (kerajaan), terlepas pula ikatan hukum, aqidah, akhlaq, ideologi, politik, ekonomi, sosial, pendidikan, seni budaya, militer dan pertahanan-keamanan dari celupan (shibghah) Islam. Ending-nya, dunia pun menyaksikan peristiwa memilukan, terlepasnya ikatan Islam terakhir, yaitu shalat. Betapa banyak umat Islam sekarang yang sudah mendapat dispensasi waktu shalat dari 50 waktu sehari semalam, menjadi lima waktu sehari semalam, dikurangi lagi menjadi sekali seminggu, kemudian setahun sekali, sekali seumur hidup, bahkan yang lebih ironis ditinggalkan sama sekali, sampai akhirnya dishalati.

Agen pencabut

Inilah zaman yang disinyalir Rasulullah Saw dalam salah satu haditsnya yang diriwayatkan Imam Ahmad, sebagai babak keempat perjalanan umat Islam, yaitu babak mulkan jabariyyah (penguasa-penguasa yang memaksakan kehendak). Sebelumnya pada babak pertama, umat masih memiliki sistem dan person yang prima secara kepemimpinan, yaitu Nabi Muhammad saw sendiri dalam babak An-Nabuwwah (kenabian). Selanjutnya di babak kedua umat masih memiliki person dan sistem yang tetap konsisten secara kepemimpinan, yaitu khulafa ar-rasyidin di babak khilafah ‘ala minhaj an-Nubuwwah (kekhilafahan yang mengikuti sistem Kenabian).

Di babak ketiga, umat memiliki sistem yang mengalami penurunan kualitas, tetapi masih memadai, yaitu mulkan ‘aadhdhan (penguasa-penguasa yang masih menggigit Al Quran dan As Sunnah), sekalipun pada akhirnya terlepas juga. Di babak keempat ini, umat bahkan tidak memiliki sistem syariat dan para penguasanya bermasalah secara person.

Inilah babak di mana umat Islam harus secara jujur menyadari sedang mengalami krisis multidimensional (‘azmah kubro). Tiada penguasa mana pun pada kurun ini yang tidak terhegemoni oleh sistem Dajjal. Ujian ini berat, tetapi cukup menantang. Jika kita berfikir positif, dan bisa kita lalui justru akan mengangkat derajat kita dan menghapus dosa-dosa kita.

Zaman ini menuntut kita berpola pikir dan berpenampilan seperti generasi awal umat ini, para sahabat Rasulullah Saw. Mereka berjuang pada fase Makiyah dengan penuh kesabaran, pengorbanan, dan istiqomah. Mereka membuat strategi, tidak berkompromi dengan sistem jahiliyah yang berlaku.

Sejak Allah Swt menurunkan sistematika turunnya Al-Quran, Dia memberikan arahan perjuangan kepada Nabi secara gradual (konstan). Al Alaq 1-5 mengajarkan tidak berkompromi dengan orang yang melampaui batas (ayat 6), orang yang merasa dirinya cukup (ayat 7), orang yang melarang penegakan syariat (ayat 9-10), pendusta dan berpaling (ayat 13). Pada Surat Al-Qalam (68), berlepas diri dengan para pendusta, hipokrit, banyak sumpah serapah dan hina, pembuat fitnah, penghalang perbuatan baik dan pendosa, membanggakan harta.

Pada Surat Al-Muzzammil (73), tidak berelaborasi dengan pendusta, bermewah-mewahan, perilaku hedonis dan amoral. Pada surat Al-Muddatstsir (74), tidak menjalin kerjasama dengan konsep materialisme, membanggakan asal-usul dan keturunan. Pada surat Al-Fatihah (ummul kitab), bertolak belakang dengan Yahudi dan Nasrani. Hingga Allah mengizinkan hijrah dan membangun komunitas muslim di Madinah.

Dengan ma’rifatul qarn kita bisa berta-assi (tapak tilas), berqudwah (meneladani) kesabaran, keuletan, pengorbanan, sikap konsisten, optimis, harapan, sebagaimana pada angkatan pertama umat. Dan masa babak belur, tidak mudah dan tidak sederhana ini, sesungguhnya tidak akan tahan lama, pasti akan mengikuti kekuatan fithri (QS. Ali Imran : 185), QS. Al A’raf : 34). Artinya setiap komunitas memiliki hak untuk maju, jika memiliki persyaratan untuk mendatangkan pertolongan-Nya. Dan setiap bangsa memiliki hak pula untuk jatuh, jika mengabaikan nilai-nilai idealisme, moralitas, immaterial.

????????? ????????? ?????? ????????? ?? ?????????? ?? ??????????? ???? ????????? ????? ??????

”Umur umatku antara 60-70 tahun, dan sedikit sekali yang melebihi dari itu.” (HR. Ahmad).

Tetapi, zaman kelima yang kita nantikan kehadirannya di samping sebuah wa’dun (janji kenabian) yang dijamin kebenarannya, pula berupa faridhah (menuntut ikhtiar yang optimal). Tercabutnya malikun jabbar (diktator global) berbanding lurus dengan kesiapan kita sebagai ‘anashirut taghyir (unsur pencabut). Bukan menyibukkan diri dengan persoalan yang bukan asasi, konflik internal umat.




1 komentar:

  1. Hari ini kaum Muslimin berada dalam situasi di mana aturan-aturan kafir sedang diterapkan. Maka realitas tanah-tanah Muslim saat ini adalah sebagaimana Rasulullah Saw. di Makkah sebelum Negara Islam didirikan di Madinah. Oleh karena itu, dalam rangka bekerja untuk pendirian Negara Islam, kita perlu mengikuti contoh yang terbangun di dalam Sirah. Dalam memeriksa periode Mekkah, hingga pendirian Negara Islam di Madinah, kita melihat bahwa RasulAllah Saw. melalui beberapa tahap spesifik dan jelas dan mengerjakan beberapa aksi spesifik dalam tahap-tahap itu

    BalasHapus