Powered By Blogger

Minggu, 30 Januari 2011

OBAT KELEMAHAN HATI

4 300x225 gambar pohon indah



AGAR " PENSIUN" KITA LEBIH BERKAH


QORUN
adalah sosok konglomerat yang hidup pada zaman Nabi Musa as. Kekayaannya melimpah ruah. Kunci gudangnya diangkut oleh ratusan unta. Bisa dibayangkan betapa banyak harta yang tersimpan dalam gudang-gudang yang tak terhitung jumlahnya. Jika ada temuan harta yang tidak jelas asal-usulnya umumnya dikenal dengan harta karun, saking banyaknya. Tetapi kesuksesan material Qorun mengundang azab Allah. Karena ia sombong, ia lupa bahwa kekayaan yang dimilikinya adalah mata’ (kesenangan) dari Allah. Bahkan ia menganggap bahwa kekayaan itu hasil dari kerja keras dan kiat suksesnya dalam menerapkan prinsip-prinsip ekonomi.

Ada kisah lain, seorang wanita kaya raya, namanya Christine Onasis, anak milyuner Aristotek Onasis, suami Jackline Kennedy (juga mantan isteri Presiden Amerika Serikat John F. Kennedy). Sepeninggal ayahnya, seorang diri ia mewarisi seluruh kekayaan orang tuanya bersama ibu tirinya, Jackline Kennedy. Ia menerima warisan 1250 miliar US Dollar, berikut istana-istana peristirahatan, kapal-kapal armada laut, pesawat terbang, maskapai penerbangan, dan beberapa pulau. Menurut persepsi kebanyakan orang, tentu ia termasuk orang yang paling berbahagia di dunia ini. Tetapi terbukti tidak demikian.

Sejak ayahnya masih hidup dan akhirnya meninggal, Christine Onasis telah kawin sebanyak tiga kali. Pertama bersuami dengan pria Amerika, kedua dengan orang Yunani, dan ketiga dengan seorang Komunis Rusia. Semua perkawinannya berakhir dengan kepahitan. Setelah itu ia menetap di Prancis. Ketika salah seorang wartawan bertanya, apa yang dicari dengan pola kehidupan kawin-cerai? Ia menjawab: Aku ingin memburu kebahagiaan. Wartawan itu melanjutkan pertanyaannya: Apa benar Anda adalah wanita terkaya di dunia? Ia menjawab: ya, tapi aku juga wanita yang paling sengsara di dunia ini.

Di Prancis ia kawin lagi dengan industriawan Prancis dan dikarunia seorang putri. Tetapi perkawinan yang terakhir ini gagal pula. Akhirnya ia memilih hidup sebatang kara. Ia diliputi kegelisahan dan khayalan. Dan tak pernah berhenti mencari kebahagiaan. Dalam beberapa bulan, tiba-tiba ia ditemukan menjadi mayat di apartemennya di Argentina. Seorang wanita konglomerat mengakhiri hidupnya dengan mengenaskan, setelah bersusah payah mencari kebahagiaan hakiki yang tak pernah ditemukannya. Sesungguhnya kekayaannya tidak memberi manfaat kepadanya.

Alhasil, kekuasaan itu tidak menjamin kebahagiaan hidup manusia. Tidakkah kita mendengar nama penguasa mancanegara “Syah Iran dan Ferdinand Marcos”.

Raja Pahlevi adalah penguasa Iran yang sangat kuat di zamannya. Pada akhirnya terusir dari negerinya. Amerika Serikat yang konon merupakan negara yang memiliki kedekatan hubungan dengannya, tidak sanggup memberikan perlindungan kepadanya. Ia terusir dan terbuang di Mesir, setelah terlunta-lunta di negeri orang dan digerogoti penyakit kanker.

Ferdinand Marcos memiliki kisah yang lebih tragis lagi. Setelah terbuang dari negerinya dan meninggal di Honolulu, jenazahnya ditolak oleh rakyat untuk dikebumikan di negerinya sendiri. Baru setelah bertahun-tahun mayatnya di balsem di tempat pengusiran, dan upaya yang luar biasa dari isterinya, Imelda Marcos, jenazahnya diizinkan dibawa pulang ke Filipina. Hingga kini, seluruh anggota keluarganya menerima warisan perkara yang terus menerus digugat oleh rakyat Filipina.

Saya ingat sebuah sastra Arab yang pernah diajarkan di pesantren:

??? ???? ?????????????? * ????? ???? ????? ?????

???? ???? ???? ??? ???? * ????? ???? ????? ?????



(Bila suatu ketika engkau memikul keranda ke kubur, ingatlah bahwa sesudah itu engkau akan dipikul pula. Dan bila engkau diserahi sesuatu kekuasaan atas kaum, ketahuilah suatu saat engkau akan diberhentikan juga).

Kami tidak menakut-nakuti Anda untuk menjadi orang kaya, membenci, dan memandang hina harta benda. Bahkan bumi dan seisinya akan diwariskan oleh Allah kepada hamba-Nya yang saleh. Allah berfirman dalam surat Al Anbiya ayat : 105 : "Dan sungguh telah Kami tulis dalam Zabur sesudah (Kami tulis dalam Lauhul Mahfuzf), bahwasanya bumi ini dipusakai hamba-hamba-Ku yang saleh." Bahkan sebaik-baik harta adalah di tangan laki-laki yang saleh. Islam juga tidak mengharamkan kekuasaan. Karena kekuasaan akan diberikan oleh Allah kepada orang beriman. Salah satu doa yang dijamin dikabulkan oleh Allah adalah doa pemimpin yang adil. Sekali lagi Islam tidak melarang pemeluknya menjadi konglomerat dan penguasa. Tugas amar ma’ruf nahi munkar akan terlaksana dengan efektif jika ditopang oleh kekuasaan yang kuat dan berwibawa.

Yang paling penting adalah bagaimana mensyukuri kekayaan dan kekuasaan itu dengan dimanfaatkan secara maksimal untuk mengangkat, menolong, melindungi, mengayomi kepada yang membutuhkan. Kekuasaan bukan untuk kekuasaan, dan kekayaan bukan tujuan akhir hayat. Tetapi sejauh mana kita mampu melakukan tazkiyatus sulthan dan tazkiyatul mal (pembersihan kekuasaan dan kekayaan dari hawa nafsu) agar mengundang berkah dari Allah. Sehingga kedua karunia itu bahkan menyelamatkan kehidupan pemiliknya di dunia dan akhirat.

Ketika sedang berkuasa dan berharta seseorang dan keluarganya bisa menikmati hak-hak istimewa. Tetapi ketika terjadi penyalagunaan harta dan wewenang, betapa sakit kita jatuh tersungkur karena keduanya. Bahkan tetangganya yang selama ini tidak ikut menikmatinya akan terkena getahnya. Apakah ini yang disebut neraka dunia. Memang, tiada yang lebih sakit melebihi sakitnya diberhentikan dan dicabut sebelum waktunya.

“Hartaku sama sekali tidak memberi manfaat kepadaku. Telah sirna kekuasaan dariku.” (QS. Al Haqqah : 28-29).

Kita baru menyadari bahwa kekuasaan dan harta yang kita kejar dengan malang melintang, memeras keringat, membanting tulang, terbukti akan segera kita tinggalkan. Hanya keikhlasan dalam beramal saleh yang menyertai kita menghadap Allah Yang Maha Kaya dan Maha Kuasa.

Membanggakan Hak Guna

Kata orang bijak jika kita membaca sejarah, laksana kita sedang berdiri di depan cermin. Sejarah adalah rekaman peristiwa lakon kehidupan manusia. Timbul tenggelamnya seorang tokoh, bangsa yang ditulis dalam sejarah adalah peringatan sekaligus suri tauladan yang sangat berharga.

Di balik peristiwa sejarah menyimpan proses pembelajaran, muhasah (koreksi diri), dan kearifan. Di pentas sejarah kita bisa mengambil ibrah, bahwa kehidupan di dunia ini akan berakhir, fana.

Yang namanya fana, mana ada kehidupan yang abadi di dunia ini? Mana ada kekuasaan tanpa pensiun? Mana ada jabatan yang kekal? Mana ada manusia yang hidup secara terus-menerus? Dari sel sperma dan sel telur yang menyatu menjadi janin, dari janin menjadi bayi, anak-anak, pemuda, usia lanjut, dan beruban, kematian adalah suatu keniscayaan dalam peta realitas kehidupan.

“Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.”(QS. Ar Rahman : 26-27).

Ingatlah wahai manusia, kehidupan dan segala karakteristik yang melekat di dalammya selalu berubah. Tidak ada peristiwa kehidupan ini yang langgeng. Suka dan duka, tertawa dan menangis, sedih dan gembira, untung dan rugi, sukses dan gagal, jaya dan nestapa, naik dan turun, gelap dan terang, kuat dan lemah, di atas dan di bawah adalah deretan panjang kehidupan. Perubahan kondisi adalah ujian sekaligus romantika kehidupan. Semuanya tidak ada yang kekal. Yang abadi hanyalah perubahan itu sendiri.

Kekuasaan dan kekayaan tidak menjamin kebahagiaan hidup seseorang, keluarga dan bangsa. Tahta dan harta hanyalah wasilah (alat) untuk mengoptimalkan pengabdian hanya kepada Allah. Harta dan tahta bukan modal pertama dan utama dalam meraih kesuksesan hidup. Islam tidak mengharamkan harta dan tahta tetapi, mampukah kita mensucikan keduanya dari pencemaran berbagai kepentingan hawa nafsu? Jika kita tidak berhasil mensterilkan tahta dan harta dari kotoran dosa dan kontaminasi kepentingan pribadi, akan mencelakakan kita sendiri.

Mari kita renungi dalam-dalam nasehat seorang ahli sastra Arab:

Apabila engkau mengantar janazah di atas keranda ke kuburan, ingatlah suatu saat engkau akan digotong juga.Dan apabila engkau diserahi urusan kaum, sadarilah suatu saat engkau akan diturunkan.









PENGARUH PSIKOLOGIS NAFSU LAWWAMAH

DI antara nama dari asmaul husna (nama Allah SWT yang indah) adalah al ‘Adlu (Maha Adil). Allah SWT Maha Bijaksana dalam aturan-Nya. Adil dalam perintah dan larangan-Nya. Dia akan membalas secara setimpal terhadap orang yang taat dengan pahala dan akan menghukum orang yang mendurhakai-Nya dengan siksa. Hanya saja kasih sayang-Nya mengalahkan kemurkaan-Nya. Sedikitpun Allah SWT tidak berbuat aniaya terhadap makhluk-Nya.

“Barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, maka (dosanya) untuk dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu menganiaya hamba-hambaNya.” (QS. Fushshilat (41) : 46).

“Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri, dan apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan) yang kedua, (Kami datangkan orang-orang lain) untuk menyuramkan muka-muka kamu dan mereka masuk ke dalam masjid, sebagaimana musuh-musuhmu memasukinya pada kali pertama dan untuk membinasakan sehabis-habisnya apa saja yang mereka kuasai.” (QS. Al Isra (17) : 7).

“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.” (QS. Az Zalzalah (99) : 7-8).

Benar, pahala dan hukuman Allah SWT itu secara adil akan diterima kelak di hari pembalasan (yaumuddin). Realitasnya tidak ada keadilan sepenuhnya di dunia ini. Yang banyak hanya kantor pengadilan. Hanya saja, tidak berarti keadilan-Nya itu belum dirasakan di bumi ini. Bentuk penjabaran keadilan Yang Maha Adil di antaranya dalam bentuk perasaan bahagia bagi orang yang berbuat baik dan perasaan bersalah/berdosa bagi yang berbuat jahat.

Perasaan berdosa bagi orang yang berbuat jahat secara transparan maupun terselubung adalah bentuk hukuman baginya sebagai bentuk penjabaran keadilan-Nya. Ada kepuasan batin bagi yang suka berbuat baik dan ada perasaan mencekam (ketakutan yang tidak beralasan yang muncul dalam jiwa) bagi orang yang senang berbuat dosa. Dalam al-Quran disebut dengan “nafsu lawwamah” (gugatan batin). Ia menggugat atas dosa yang telah dilakukan seseorang. Boleh jadi ada saat-saatnya gugatan itu mereda, tetapi pada saat yang lain akan muncul dengan hebatnya, ia akan selalu ada selama kesalahan dan dosa itu belum diselesaikan.

Gugatan batin itulah yang dikenal dalam ilmu jiwa sebagai perasaan bersalah. Gugatan perasaan bersalah terhadap batin tidak kalah hebatnya dengan rongrongan amarah, ketakutan, dendam, iri hati, dan lain-lain. Efek yang ditimbulkan dari nafsu lawwamah ini berupa gangguan kesehatan jasmani tidak kurang pula hebatnya. Para profesional di bidang medis di zaman modern ini memahami betul akal gejala kejiwaan ini.

Kini, banyak pusat kesehatan membuka Bagian Psychosomatik. Para ahli pada bagian ini dapat bercerita banyak tentang berbagai penyakit jasmani yang timbul sebagai akibat dari perasaan berdosa ini. Pada umumnya penyakit yang tampak secara lahiriyah luka pada fisik tidak bisa disembuhkan secara total dengan semata-mata pengobatan medis saja, sebelum diterapi penyebab pokoknya. Yakni, diatasi perasaan bersalahnya terlebih dahulu.

Berbagai kasus penyakit jasmani yang disebabkan oleh perasaan bersalah itu tidak ada benang merah antara penyakit dan penyebab utamanya oleh mata orang awam, bahkan kaitan itu sama sekali tidak disadari oleh si penderita karena perasaan berdosa itu sudah masuk bawah sadarnya, dan baru kemudian disadarinya setelah seorang ahli berhasil menggali kembali dan menemukan faktor utama penyebabnya. Ada satu ungkapan ahli hikmah: Al ‘Aqlus Salim fil Jismis salim (akal/jiwa yang sehat berbanding lurus dengan badan yang sehat). Sebaliknya, pikiran yang buruk akan menurunkan luka di badan.

Kemungkinan kita pun merasakan perasaan serupa. Sekalipun kesalahan yang kita kerjakan termasuk dosa kecil, tetapi yang kecil itu menimbulkan perasaan penyesalan yang mendalam dan perasaan itu mengganggu serta merisaukan kita. Kita dibayangi perasaan cemas, ketakutan secara berlebih-lebihan.

Kita harus segera menghilangkan gangguan perasaan berdosa itu. Tetapi, cara mengatasinya tidak dengan teknik yang memberikan hasil yang semu. Bagaikan burung onta yang ingin menyelamatkan diri dari serangan pemburunya, dengan membenamkan kepala dalam pasir karena ia mengira bahwa dengan cara demikian tidak bisa melihat bahaya yang mengancam, artinya bahaya itu tidak akan datang. Dengan beriman kepada Allah SWT akan menghilangkan perasaan yang merisaukan itu sampai ke akar-akarnya. Di antara kiat untuk mengelola perasaan tersebut adalah sebagai berikut:

Pertama, bersyukur kepada Allah SWT karena kita memiliki kepekaan batin terhadap dosa yang kita lakukan. Ini merupakan indikator bahwa jiwa kita masih relatif bersih, sehingga sedikit khilaf sudah cukup menjadikan kita gelisah. Ada banyak orang di dunia ini yang hatinya telah kesat dan berwarna hitam akibat dosa yang dilakukan secara berkesinambungan, sehingga datangnya noda baru tidak menggoncangkannya. Hanya kemudian timbunan noda hitam itu membangkitkan gugatan batin yang tak terpikulkan di samping bentuk-bentuk keadilan Allah SWT yang lain. Dengan kesadaran mahal tersebut kita akan melangkah menuju kiat berikutnya.

Kedua,
Istighfar dan bertaubat kepada-Nya. Dalam beristighfar kita mohon kelemahan kita semakin hari ditutupi. Oleh sebab itu kita harus terbuka kepada Allah SWT. Kita curahkan segala perasaan penyesalan tanpa ditutup-tutupi. Tidak boleh ada yang tersisa. Dalam sebuah hadis, orang yang menyesali dosa-dosanya menunggu datangnya rahmat Allah SWT. Sekiranya kita didominasi oleh perasaan berdosa dengan cara menangis, maka puaskanlah tangisan kita di hadapan-Nya. Kita tidak perlu khawatir dengan Allah SWT. Sekalipun tidak kita ungkapkan, sungguh Allah Maha Mengetahui apa yang tersimpan di dalam hati kita.

Dengan berterus terang kepada-Nya semoga perasaan yang mengganjal dihilangkan. Setelah itu kita mohon maaf dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatan dosa kembali. Tidak ada dosa kecil yang dilakukan secara terus-menerus. Kita yakin, sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Penerima Taubat. Kita ucapkan doa berikut secara berulang-ulang dengan penuh penghayatan.

Wahai Tuhanku, ampunilah dosa-dosaku. Sesungguhnya tidak dapat mengampuni dosa-dosa selain Engkau. Dan kasihanilah aku. Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun dan Maha Penyayang (al Hadits).

Ketiga,
apabila kesalahan kita ada hubungannya dengan hak orang lain (haqqul adami), yakni kita pernah merugikan orang lain baik moril maupun material, maka sebelum Allah SWT mengampuni kita, kita dituntut menyelesaikan persoalan itu dengan yang bersangkutan. Mungkin kita banyak berkorban dalam hal ini. Sebenarnya kita tidak perlu merasa demikian, toh untuk kebaikan diri kita sendiri secara lahir dan batin.

Dan jika tidak berhasil menemukan jalan untuk mengurai persoalan dengan pihak yang kita rugikan, kita adukan saja hal ini kepada Allah SWT mohon petunjuk-Nya agar menemukan jalan keluar yang terbaik. Dengan cara melakukan shalat malam dan melantunkan doa berikut.

Dan katakanlah: "Ya Tuhan-ku, masukkanlah aku secara masuk yang benar dan keluarkanlah (pula) aku secara keluar yang benar dan berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong (QS. Al Isra (17) : 80).

Kita mendoakan kepada orang yang kita rugikan, berdoa kepada-Nya agar berkenan memberikan ampunan dan kebahagiaan kepadanya. Kita singkirkan dendam kesumat, kedengkian kepadanya, mungkin kita menemukan penyelesaian dengan cara gruis loos.

“Wahai Tuhanku, berilah ampunan untukku, untuk kedua orang tuaku, untuk orang yang ada haknya atasku dan untuk semua muslim dan muslimah dan semua orang mukmin dan mukminah baik yang masih hidup maupun yang telah meninggal.”
(al Hadits).

Keempat, memperbanyak amal saleh. Karena amal saleh itu akan mengangkat derajat kita, menghapus kesalahan kita dan sebagai wasilah untuk mengurai kerumitan kehidupan kita. Bersedekah, berbuat jasa, bermakna bagi orang yang memerlukan uluran tangan kita.

“Dan dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat.”
(QS. Hud (11) : 114).

“Dan susullah perbuatan dosa itu dengan kebajikan dan ia akan menghapuskannya.”
(HR. Ahmad, Tirmidzi, Hakim dan Baihaqi dari Abu Dzar).
Kita tidak perlu ragu dengan kasih sayang Allah SWT. Sekalipun kita jatuh pada lumpur dosa, sesungguhnya Dia selalu menerima kehadiran kita dalam keadaan bagaimanapun. Asalkan, kita ingin kembali kepada-Nya dengan sungguh-sungguh. Jika kita selalu berdoa, biasanya akan dikabulkan secara kontan ataupun kredit. Apabila doa kita dikabulkan secara kredit, karena Allah ingin menikmati suara kita. Atau agar suara kita dikenal di penduduk langit, sehingga ketika sewaktu-waktu meminta, mereka mudah menerima permohonan kita. Atau proposal kita disimpan terlebih dahulu, dan diberikan kepada kita pada saat memerlukannya secara mendadak, misalnya terhindar dari kecelakaan secara tiba-tiba.








CARA LAIN MEMANDANG PENYAKIT

SEBAGIAN besar penderitaan kehidupan kita akhir-akhir ini yang jauh dari arahan Al-Quran, bahkan kondisi fisik yang kronis, merupakan penyakit makna. Penyakit fisik diakibatkan oleh penyakit psikis. Akal yang sehat terdapat pada badan yang sehat (al-‘Aqlus Salim Fil Jismis Salim). Dan sebaliknya, badan yang tidak sehat merupakan turunan (derivat) dari pikiran yang buruk. Penyakit kanker, penyakit jantung, Alzheimer, dan berbagai gangguan lain yang kemungkinan besar didahului oleh depresi, rasa lelah, alkoholisme, dan kecanduan obat adalah bukti dari krisis kekosongan makna yang merasuk ke dalam sel-sel tubuh kita.

Pada akhirnya kematian pun dialami dengan rasa sakit dan kengerian, akibat miskin makna sebagai bekal mengelola kehidupan ini secara utuh, alamiah dan normal. Tidak ada jalan untuk mati secara damai, penuh rahmat dan berkah. Bahkan, baru-baru ini seorang kriminolog Eropa, setelah meneliti tingkat kriminalitas di Negeri Paman Sam yang sangat tidak masuk akal, dia menulis buku yang berisi cara mudah mengakhiri kehidupan (bunuh diri). Setelah membandingkan angka setahun kriminal bangsa Eropa, sama dengan 10 tahun bangsa Arab, dia sendiri menjatuhkan dirinya dari gedung pencakar langit. Diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dengan judul: Kaifa inha’ul hayati bisuhulah (bagaimana mengakhiri kehidupan dengan mudah).

Beberapa dokter spesialis dan kaum profesional di bidang kesehatan telah mulai memandang penyakit dari sudut pandang yang berbeda (nonmedis). Mereka mempersepsikan penyakit sebagai jeritan tubuh pemiliknya, agar mendapatkan perhatian khusus dalam kehidupan, yang apabila diabaikan dan ditinggalkan akan berefek pada kerusakan yang bersifat fatal dan permanen, ketidakseimbangan pertumbuhan fisik, emosi dan spiritual, bahkan mengakibatkan kematian yang mengenaskan. Mungkin sikap atau gaya hidup kitalah yang mengakibatkan timbulnya berbagai masalah dan kerumitan dalam nilai-nilai, hakikat atau makna kehidupan.

Inilah inti filsafat Victor Frankle, seorang psikiater besar dari Wina yang hidup pada zaman Freud, seabad yang silam. Ia disekap dalam kamp konsentrasi Nazi Jerman bersama seluruh keluarganya. Ia disiksa, dibiarkan kehausan dan kelaparan, disuruh kerja paksa, anak istrinya dibunuh. Tetapi, ia tetap hidup. Justru karena itulah ia menemukan makna kehidupan. Ia mengelola berbagai kesulitannya dengan optimisme. Ia pandai memaknai sesuatu di balik peristiwa.

Nazi Jerman boleh mengerangkeng dia, menyiksa habis (tanpa sisa) seluruh anggota tubuhnya, membunuh semua orang terdekatnya, tetapi mereka tidak bisa mencengkeram jiwa dan pikiran yang melayang bebas bersama Tuhan yang dijadikan tumpuhan akhir harapannya. Inilah makna kehidupan yang ditemukan orang asing Victor Frankle.

Makna hidup bisa bersifat umum dan universal, tapi bisa pula sangat sederhana dan mudah. Unik, spesifik dan sangat privat bagi kita masing-masing. Makna hidup adalah tanpa pura-pura dan pamrih. Makna hidup adalah untuk makna hidup itu sendiri. Dan makna hidup itu ditemukan bukan berbentuk barang (materi) yang diburu di mall, tempat-tempat wisata. Makna hidup diperoleh dari cahaya Allah SWT yang menerangi hati hamba yang dicintai-Nya.

Jika kita masuk dalam kategori barisan orang-orang yang dipandang sukses materi, hidup berkecukupan, pakaian serba wah, kendaraan mengkilat, ladang yang luas, tempat tinggal yang layak, bahkan berlebih, tetapi kebingungan mencari makna hidup, cobalah kita melakukan hal yang sederhana dan mudah. Buatlah program kehidupan Anda bermulti guna bagi orang lain. Sebaik-baik manusia adalah yang lebih banyak manfaatnya untuk orang lain (HR. Bukhari dan Muslim). Kehidupan kita berarti jika kita mengedepankan tradisi berkorban, memberi. Bukan berapa yang bisa saya ambil dari orang lain.

Carilah anak-anak yatim piatu, kaum dhu'afa (grass root) dan mustadh'afin (tertindas) untuk diasuh di rumah kita. Carikan orang yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja. Buatlah agar komunitas yang termarginalkan oleh pemodal dan penguasa itu tersenyum bahagia, berkat uluran tangan Anda. Berilah apa yang berlebih pada diri Anda dan jangan dihitung berapakah pemberian yang kita keluarkan. Pemberian kita harus di atas standar minimal. Sekalipun banyak orang tidak mau memberi, biarlah. Kita tetap memberi, karena semua pemberian itu akan kembali kepada kita (QS. Al Isra (17) : 7).

Allah SWT Yang Maha Pemberi, tidak pernah menghitung pemberian-Nya. Dengan suka memberi, kita tertantang untuk kreatif, produktif, dan inovatif. Yang tidak memiliki, tidak memiliki kemampuan untuk memberi (faqidusy syai’i laa yu’thihi). Setelah sukses satu pekerjaan, angkatlah pekerjaan baru yang lebih menantang (QS. Al Insyirah (94) : 7).

Makna hidup tidak harus orang lain tahu. Justru makna hidup yang sejati adalah sepi ing pamrih, rame ing gawe (beramal shalih tanpa hiruk pikuk). Hanya kita sendiri yang merasakan, memaknai, dan menikmatinya. Belajarlah makna hidup dari binatang penyu. Sekali bertelur berjumlah 500-3000 buah. Mencari tempat yang sepi dan gelap. Pemiliknya sendiri, tidak mengetahuinya. Binatang penyu boleh dikata, contoh kongkrit keikhlasan. Orang yang ikhlas, kata ibunda Amin Rais : Dicokot dadi otot, dijiwit dadi kulit, syetan ora doyan, dhemit ora ndulit. Orang ikhlas itu memiliki jiwa besar. Selalu bersikap positif dengan orang-orang yang menjahatinya. Justru dengan jiwa besar, setan dan makhluk halus lainnya tidak akan mampu menggodanya.

Barangsiapa yang awal kehidupannya tanpa makna, ending-nya akan sengsara. Sesungguhnya berbagai keluhan, protes, kejenuhan, gundah gulana, kecemasan, kekhawatiran, ketakutan terhadap sesuatu secara berlebih-lebihan, disebabkan oleh rusaknya cara pandang dalam melihat dan mencermati makna kehidupan (innama tatawalladud da’awaa min fasadil ibtida).

Hiduplah dalam keadaan mulia, kehidupan sekali yang berarti, dengan memberi manfaat kepada orang lain atau jangan sekedar hidup, dan matilah dengan kesan yang sulit dilupakan bagi yang kita tinggalkan (‘isy kariman au mut syahidan). Jika dalam kehidupan kita tidak seimbang antara kebutuhan aktualisasi diri dan potensialisasi diri, akan mengalami kesepian. Dan kesepian cenderung melakukan tindakan destruktif. Dengan cara hidup mulia dan mati syahid, kehadiran kita selalu dirindukan dan kematian kita selalu dikenang. Semoga kita bisa mengambil ‘ibrah dari pelajaran “krisis makna”.

Ahmad Syauqi, sastrawan terkenal dari Mesir mengatakan: “Jagalah dirimu sebelum kematianmu dengan sebutan baik, sesungguhnya sebutan baik bagi manusia merupakan umur kedua.”









KIAT JITU MENGELOLA KRISIS MAKNA KEHIDUPAN

Majalah “Kedaulatan Rakyat” Edisi Ahad Wage, 7 Maret 2010 (21 Maulid 1431 H) mengangkat kisah seorang pria bernama BST (45) berasal dari Yogyakarta, berkeluarga dengan 3 anak. Dia adalah pengusaha sukses bakpia dan makanan khas Yogyakarta dan lainnya di Kota Gudeg. Usaha bisnis yang telah dijalani selama 20 tahun terbilang cukup maju. Tiap hari, secara rutin (ajeg, Bhs Jawa), bus mini boks membawa bakpia dan makanan lain ke kota Klaten, Purworejo, Magelang, Salatiga, berjalan dengan lancar, tanpa hambatan yang berarti. Demikian pula penjualan di dalam kota Yogyakarta sendiri, cukup berhasil, terutama di hari-hari libur tiga hari.

Istrinya duduk di bagian kasir, mengatur sirkulasi keuangan dan mengelola serta mengendalikan para pegawai yang berjumlah tidak terlalu besar (20 orang). Dia juga mampu membuka cabang, dua tempat di pinggiran kota Daerah Istimewa Yogyakarta itu. Dua cabang terakhir juga mengalami kemajuan yang pesat. Adik-adiknya duduk sebagai kasir. Akhirnya pengusaha itu nyaris tidak ada peluang untuk aktualisasi diri. Tidak ada lagi job (bidang garap) yang dikerjakan. Perusahaannya sudah berjalan sesuai dengan sistem dan mekanisme yang berlaku.

“Saya sudah mempunyai apa yang saya cita-citakan waktu muda dulu, “katanya. Bisnis yang maju, karir yang memuncak, rumah dan mobil yang dimilikinya lebih dari satu. Pendapatan yang cukup mapan. Lebih dari kebutuhan. Keluarga yang harmonis. Karyawan yang mudah diatur dan giat bekerja. Tidak ada tantangan lagi untuk memacu produktifitasnya. Semua pekerjaan sudah terbagi habis dan berjalan lancar. Jadi, ia merasa semua obsesinya pada masa mudanya sudah terpenuhi, bahkan berlebih.

Tapi, ia mengalami kejenuhan dan kebosanan hidup. Ia tidak bisa menyeimbangkan antara kebutuhan potensialisasi diri dan aktualisasi diri. Lalu, ia seringkali berfikir apa arti hidup saya ini? Kemana arah kehidupan saya ini? Untuk apa saya memperoleh semua ini? Setelah berlebih, mau kemana?

Untuk mengantisipasi kejenuhan seperti ini ia lalu memilih untuk mengisi kekosongan jiwanya dengan main judi dengan teman-teman seprofesinya. Ternyata, main judi tidak selalu menghiburnya. Ia mencari jalan keluar yang bersifat artifisial dan sesaat. Kejenuhan hadir kembali, dirasakan setelah selesai bermain judi. Ada titik kejenuhan yang memenjara jiwa. Kemudian ia berkonsultasi dengan dokter jiwa (psikiater) tentang makna kehidupan.

Penyakit Krisis Makna Kehidupan

Salah satu penyakit kejiwaan yang menggejala di dunia modern saat ini adalah ‘penyakit makna’ atau ‘krisis makna’. Fenomena ini terjadi tanpa tebang pilih/pandang bulu. Bisa menimpa orang yang gagal dalam mewujudkan obsesi kehidupannya, maupun orang yang sangat sukses/bahkan berada di puncak sukses. Dia berhasil melewati kesulitan untuk mencapai keberhasilan, dan terbukti tidak mampu bertahan di puncak.

Merintis kesuksesan itu sulit, dan lebih rumit lagi mempertahankan keberhasilan yang sudah diperjuangkan dengan susah payah. Dan ternyata sukses baru bermakna jika secara lahir dan batin. Dalam menjalani kehidupan dengan segala dinamika dan fluktuasi yang menyertainya, disamping manusia memerlukan asupan gizi jasmani, pula menu ruhani.

Kehidupan jahiliyah modern yang individualistik (ananiyah), mempersepsikan orang lain bukan sebagai mitra tetapi rivalitas, sangat rasional dan terkesan rigid (kaku) serta monoton, kemajuan teknologi informasi yang mengalami percepatan (akseleratif), perbedaan pendapat yang dipandang secara negatif, perebutan pendapatan (income), pengaruh, kekuasaan, persaingan kerja yang tidak sehat, longgarnya nilai-nilai humanistik, lemahnya komitmen kebersamaan, pencarian kekayaan tiada akhir dan tanpa henti, ajaran agama yang dikomunikasikan secara dogmatis, hiruk pikuk politik yang gegap gempita, pada akhirnya melemparkan individu pada kekosongan hidup. Lalu menyisakan pertanyaan yang tidak mudah dijawab, untuk apakah semua ini ?. Apakah arti kehidupanku ini ?

Cara yang paling jitu dan umum/merata yang harus ditempuh oleh kita yang kehilangan makna kehidupan ini agar memperoleh kembali keutuhan jiwa adalah membangun sandaran spiritual dengan cara mendalami, menghayati dan mengamalkan nilai-nilai agama (tafaqquh fiddin) sebagaimana yang diperagakan Rasulullah SAW ketika menyembuhkan patologi sosial masyarakat Jahiliyah klasik. Sebagaimana muatan buku “Tujuh Langkah Menuju Muslim Ideal” ini.

Rasulullah SAW mengadakan revolusi moral secara total dan utuh terhadap bangsanya. Krisis global yang menimpa dunia hakikatnya adalah diawali dari krisis jiwa (kesempitan batin) sebelum krisis ekonomi, politik, sosial dll. Sungguh tiada negeri yang sempit, karena sesak dengan penduduknya. Melainkan moral merekalah yang membuatnya sempit, meminjam ungkapan ahli sastra Arab.

Kunci perubahan di dunia dan berakhir di akhirat, terletak pada kekuatan internal jiwa (moralitas).

“Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah[malaikat hafazhah]. Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan[sebab-sebab kemunduran] yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.”
(QS. Ar Ra’d (13) : 11).

“Sesungguhnya orang yang paling aku cintai dan paling dekat posisinya denganku pada hari kiamat adalah orang yang paling baik akhlaknya, yang senang membantu, yang mau menjalin persaudaraan dan mau dijalin.” (al Hadits).

Sudah tentu akhlak yang dimaksud oleh Islam mencakup bidang kehidupan yang lebih luas, seperti mengendalikan jiwa, berkata jujur, ihsan dalam berbuat, amanah dalam bermu’amalah, berani berpendapat sekalipun pahit, adil dalam menetapkan hukum, berpegang teguh dengan kebenaran, keinginan yang kuat (azam) untuk melakukan amal shalih, amar bil ma’ruf dan nahi ‘anil mungkar, menjaga kebersihan lahir dan batin, menghormati peraturan dan saling tolong menolong dalam kebaikan dan takwa. Dan pantang bersinergi dalam perbuatan dosa dan permusuhan.

Dalam sejarah perjuangan Rasulullah SAW, sejak fase Mekah sampai periode Madinah, beliau memperoleh kemenangan spektakuler (intishar kubra). Dalam waktu kurang ¼ abad, beliau mampu merekonstruksi kepribadian bangsa Arab yang nomaden, tidak terstruktur dan berjiwa kerdil (suka berperang karena dipicu persoalan sepele), menjadi sosok manusia yang memiliki kesiapan memimpin dunia (leader). Bukan pemimpin formal, yang dalam prakteknya sebagai calo, seperti dalam ‘negara para bedebah’.

Dalam haji wada’ dicatat, pengikut beliau berjumlah 125.000 orang, terdiri dari 110-111 ulama. Diantara para ulama itu ada tujuh ulama besar (I’lamul Muwaqqi’in, Ibnul Qayyim).

Tujuh Langkah

Saya menganjurkan para pembaca mencermati buku ‘Tujuh Langkah Menuju Muslim Ideal’. Di dalamnya mengupas secara tuntas pola pembinaan Rasulullah SAW dalam menata ulang pola pikir, orientasi, perilaku dan kepribadian masyarakat jahiliyah secara sistematis.

Pertama, ada proses spiritual terlebih dahulu, yakni dijinakkan hatinya dan dicelup dengan adab (prawahyu), agar puncak kerusakan kepercayaan (syirik) dan puncak kerusakan moral (tagha, sombong) terkikis sampai ke akar-akarnya, sehingga lahir tanggung jawab melaksanakan misi kehidupan dan merasa butuh kepada Allah SWT

Kedua, dirubah cara memandang totalitas wujud, alam sekitar dan dirinya sendiri, dengan mengembalikan kepada Al Khaliq, sebagai sumber cipta dan sumber ilmu (Al ‘Alaq 1-5).

Ketiga, setelah seseorang mengenal Rabb, maka sangat memerlukan panduan hidup yang otentik dan orisinil (al Quran). Dengan Al-Quran dijamin tidak akan gila harta, tahta dan wanita (al-Qalam 1-7).

Keempat, ternyata menghayati dan membumikan Al-Quran tidak semudah membalik telapak tangan.

Kelima,, maka Allah SWT memberi bekal spiritual agar bisa survive dalam menjalankan misi membumikan al Quran. Menatap realitas kehidupan dengan jiwa besar. Dengan cara melakukan shalat malam, membaca al Quran dengan menghadirkan hati, sabar, tawakkal, tabattul (mengambil jarak sebentar dari kesibukan untuk focus dalam taqarrub kepada Allah SWT secara all out) dan hijrah secara ma’nawi (meninggalkan dosa) dan makani (mencari lingkungan sosial yang kondusif) (al Muzzammil (1-10).

Keenam, kenikmatan ruhani yang diperoleh bukan untuk kepentingan individual, tetapi sebagai bekal untuk memetakan dan mengurai satu demi satu persoalan sosial, bukan memposisikan diri sebagai penonton (al Muddatsir 1-7).

Ketujuh, setelah massa yang dicerahkan itu memiliki jumlah yang signifikan (jumlah shalat jamaah, shalat jum’ah dan shalat hari raya sama), mereka dikelola dalam struktur dan kultur masyarakat Al Fatihah (draft Al Quran). Yang memiliki kesiapan memahami, menghayati dan mengamalkan Al-Fatihah, secara otomatis memiliki kesiapan untuk menyerap nilai-nilai al Quran secara keseluruhan.

Sebelumnya, bangsa Arab kehilangan ruh (spirit) kehidupan. Setelah dicerahkan dengan tahapan turunnya Al Quran, menemukan ruang untuk potensialisasi dan aktualisasi kepribadiannya secara proporsional. Sehingga kehidupan yang baru bisa dimaknai dan dinikmati.

“Dan Demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al Quran) dengan perintah Kami. sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al Kitab (Al Quran) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al Quran itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. dan Sesungguhnya kamu benar- benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (QS. Asy Syura (42) : 52)









KETUNDUKAN ALAM KEPADA KITA TIDAK GRATIS

SESUNGGUHNYA kehadiran manusia di muka bumi ini di samping sebagai abdullah, pula sebagai khalifatullah (mandataris Allah SWT). Tugas pertama menegakkan nilai-nilai agama (iqamatud din). Tugas ini jika berjalan dengan baik, berefek pada kehidupan yang berkualitas secara lahir dan batin, dalam skala kehidupan individu (hayatan thayyibah), keluarga (sakinah, mawaddah wa rahmah), masyarakat (qaryah mubarakah), negara (baladan amina), dan kumpulan beberapa negara (global state) (baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur).

Islam hadir menjaga enam kebutuhan primer manusia. Yaitu menjaga jiwa, akal, harta, agama, keturunan, dan kehormatan diri dari kontaminasi penyimpangan. Islam bersahut-sahutan dengan fitrah manusia. Fitrah manusia senang dengan sesuatu yang dikenali hati (ma’ruf), kejujuran, kesantunan, kesejukan, dan lain-lain. Dan mengingkari sesuatu yang diingkari hati (mungkar), kebohongan, kepalsuan, kekerasan, dan lain-lain.

Tugas yang kedua adalah sebagai wakil Allah SWT (khalifah), untuk mengelola dan memakmurkan alam semesta dan isinya (siyastud dunya) agar berjalan secara harmonis. Bersahabat, bahkan tunduk kepada manusia.

Jika kita merujuk Al-Quran dan Al-Hadits, ada beberapa istilah kepemimpinan, yang menunjukkan fungsi yang diembannya sekaligus.

Pertama, Imam. Dari kata imam berkembang menjadi umm (yang dirujuk, diteladani, induk). Kemudian lahir kata amam (yang selalu berada di depan). Istilah pertama mengajarkan sejatinya menjadi pemimpin itu dituntut mengedepankan keteladanan. Kemudian lahir pula kata ummat. Berarti pemimpin yang legitimed itu bukan sebatas konstitusional formal, juga berpihak kepada masyarakat bawah. Sehingga keberadaannya dirindukan dan dicintai.

Kedua, Khalifah. Dari istilah ini menggambarkan bahwa pemimpin yang ideal itu memiliki komitmen untuk menggulirkan proses regenerasi. Tidak mempertahankan status qua. Hal ini karena umur pemimpin itu hanya seputar 60-70 tahun. Jika terlambat dalam mewariskan nilai dan amal kepada generasi pelanjut, akan terjadi kemandekan, stagnan.

Ketiga, waliyyul amr. Wali artinya mencintai dan melindungi. Amr maknanya urusan penting bawahannya. Istilah ini melukiskan bahwa pemimpin itu mencintai yang dipimpinnya dan melayani (berkhidmah) serta memetakan dan mengurai kerumitan urusan yang mereka hadapi.

Keempat
, ra’in. Rain secara kebahasaan artinya menggembala. Artinya, kualitas kepemimpinan seseorang tidak semata-mata ditentukan oleh seringnya berdiplomasi dan berorasi (katsratur riwayah), tetapi diukur dari katsratur ri’ayah (mutu pelayannanya), dan katsratul istima’ (banyak mendengar keluhan yang dipimpinnya).

Taskhir

Keempat fungsi kepemimpinan di atas jika diimplementasikan dalam lingkungan sosial, akan melahirkan taskhir (ketundukan yang dipimpinnya). Ketundukan (sam’an wa tha’atan) lahir, berbanding lurus dengan keadilan dan kasih sayang pemimpin. Jadi, ketundukan itu tidak datang secara tiba-tiba (instan), tetapi melalui proses yang panjang (konstan). Taskhir (ketundukan alam semesta kepada manusia) sebagai khalifah, terdapat dalam al-Quran surat al-Hajj (22) : 65 juga bersyarat.

“Apakah kamu tiada melihat bahwasanya Allah menundukkan bagimu apa yang ada di bumi dan bahtera yang berlayar di lautan dengan perintah-Nya. Dan dia menahan (benda-benda) langit jatuh ke bumi, melainkan dengan izin-Nya? Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.”


Konsep taskhir pada ayat di atas perlu dijadikan pelajaran moral. Karena akhir-akhir ini kita kenyang dengan bencana yang bersumber dari udara, laut dan darat, bahkan di perut bumi (dengan kejadian tanah longsor). Akhirnya dalam hati kita menyisakan pertanyaan penting, di manakah letak ketundukan alam terhadap tuannya (manusia)? Mengapa akhir-akhir ini alam berubah menjadi tidak bersahabat?

Ternyata, taskhir dalam Islam tidak lahir secara instan (kebetulan), tanpa syarat. Ketundukan alam kepada manusia, tidak secara cuma-cuma (gratis). Alam semesta ini tunduk selama manusia menjalankan fungsi kekhalifahannya dengan cara yang benar. Manakala manusia tidak mengelola alam dengan baik, bahkan mengeksploitasinya secara berlebih-lebihan tanpa mengindahkan rambu-rambu, bahkan menumpahkan darah dan air mata, maka tidak ada jaminan alam mempertontonkan ketundukan.

“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar Rum (30) : 41).

Menurut Shofwatut Tafasir oleh Syaikh Ali Ash Shabuni, yang dimaksud dengan kalimat “bimaa kasabat aidinnas” adalah disebabkan oleh dosa-dosa yang dilakukan oleh manusia.

Jadi ketundukan kita kepada ketentuan Allah SWT yang tertulis (kalimatullah) akan berefek pada keharmonisan lingkungan sosial kita (khalqullah). Suka bersedekah bisa dicintai yang diberi dan menolak bencana. Banyak membaca Al-Quran bisa menghindarkan kepikunan di masa tua. Tua-tua berbudi, makin tua makin mengabdi. Yang senang silaturrahim memiliki umur kedua dan kekayaannya berlimpah. Suka main perempuan mempercepat ketuaan. Yang suka memberi akan mendapatkan ganti yang lebih baik. Yang menanam kebaikan akan memanen. Yang senang beramal shalih akan meninggikan derajat pemiliknya, menghapus dosanya, membantunya dalam mengurai kerumitan hidup.Yang suka minum-minuman keras, syaraf-syaraf otaknya mengalami disfungsi. Yang senang berjudi, melahirkan mental pemalas, dan lain-lain.

Manakala para pemimpin, pejabat, penggede negeri, dimana pun dan kapan saja, tidak lagi memihak kepada umat (akar rumput), tidak mengedepankan keadilan, kemaslahatan publik, mengabaikan akal sehat dan hati nurani, para pebisnis menghalalkan segala cara, para ulama dan umara sudah kehilangan obyektifitas, dan mempertontonkan subyektifitas untuk kepentingan pemodal dan yang memiliki akses khusus dengan kekuasaan, saat itu bencana akan mengintai manusia, baik pada pagi malam hari ketika istirahat, pada pagi hari ketika sedang bermain-main, pada siang hari ketika berusaha.

“Maka apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di malam hari di waktu mereka sedang tidur? Atau apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di waktu matahari sepenggalah naik ketika mereka sedang bermain?” (QS. Al Araf (7) : 97-98).

Bencana wabah kerapkali dipicu oleh berbagai penyimpangan, pelanggaran pola pikir dan perilaku manusia. Perilaku alam raya makrokosmos berbanding lurus dengan perilaku manusia mikrokosmos. Kehancuran bangsa-bangsa besar yang pernah jaya pada zaman dahulu disebabkan oleh pelanggaran yang mereka lakukan.

Ummat Nuh yang keras kepala ditimpa bencana banjir.


“Dan kaum Nuh sebelum itu. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang paling zalim dan paling durhaka.” (QS. An Najm (53) : 52).

“Hingga apabila perintah Kami datang dan dapur [*] telah memancarkan air, Kami berfirman: "Muatkanlah ke dalam bahtera itu dari masing-masing binatang sepasang (jantan dan betina), dan keluargamu kecuali orang yang telah terdahulu ketetapan terhadapnya dan (muatkan pula) orang-orang yang beriman." dan tidak beriman bersama dengan Nuh itu kecuali sedikit.”
(QS. Hud (11) : 40)

Yang dimaksud dengan dapur ialah permukaan bumi yang memancarkan air hingga menyebabkan timbulnya taufan.

Bangsa Saba’ yang semula makmur, tetapi tidak pandai mensyukurinya, diganti oleh Allah SWT dengan banjir besar. Pohon yang menghasilkan buah yang ranum diganti dengan pohon cemara dan bidara.

“Sesungguhnya bagi kaum Saba' ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka, yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (Kepada mereka dikatakan): "Makanlah olehmu dari rezki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan yang Maha Pengampun". Tetapi mereka berpaling, maka Kami datangkan kepada mereka banjir yang besar [meruntuhkan bendungan Ma’rib] dan Kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon Atsl dan sedikit dari pohon Sidr [Atsl sejenis pohon cemara, Sidr sejenis pohon bidara].”
(QS. Saba (34) : 15-16).

Umat Nabi Shalih yang hedonistik dan menerapkan pola hidup serba boleh, ditimpa virus yang ganas dan gempa bumi.

“Adakah kamu akan dibiarkan tinggal disini (di negeri kamu ini) dengan aman, Di dalam kebun-kebun serta mata air, Dan tanam-tanaman dan pohon-pohon korma yang mayangnya lembut. Dan kamu pahat sebagian dari gunung-gunung untuk dijadikan rumah-rumah dengan rajin.”
(QS.Asysyu’ara’ (26) : 146-149).

Ummat Luth yang hobi perilaku homoseksual ditimpa gempa yang dahsyat.

“Dan datanglah kepadanya kaumnya dengan bergegas-gegas. Dan sejak dahulu mereka selalu melakukan perbuatan-perbuatan yang keji [homoseksual]. Luth berkata: "Hai kaumku, inilah puteri-puteriku, mereka lebih Suci bagimu, maka bertakwalah kepada Allah dan janganlah kamu mencemarkan (nama)ku terhadap tamuku ini. tidak Adakah di antaramu seorang yang berakal?."
(QS. Hud (11) : 78).

Mereka menjawab: "Sesungguhnya kamu telah tahu bahwa Kami tidak mempunyai keinginan [syahwat terhadap wanita ] terhadap puteri-puterimu; dan sesungguhnya kamu tentu mengetahui apa yang sebenarnya Kami kehendaki."
(QS. Hud (11) : 79).

“Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah (Kami balikkan), dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi.”
(QS. Hud (11) : 82).

Demikian pula kaum ‘Ad, mereka terpuruk, ketika kejahatan yang mereka lakukan mencapai grafik yang tinggi, pemimpin mereka terdiri dari orang-orang yang zhalim dan berbuat kerusakan di negeri, tiada seorang pun yang merdeka melakukan kebaikan.

“Dan itulah kisah kaum ‘Ad yang mengingkari tanda-tanda kekuasaan Allah, Tuhan mereka, dan mereka mendurhakai para rasul-Nya dan mematuhi perintah para penguasa mereka yang berlaku sewenang-wenang lagi menentang kebenaran.”
(QS. Hud (11) : 59).

Bangsa Bani Israil yang suka membangkang, berbuat kriminal, memalsu kitab suci, ditimpa berbagai bencana, kehinaan di dunia ini dalam waktu yang lama. Ketika kesewenang-wenangan Fir’aun telah mencapai puncaknya, berlakulah kuasa Allah untuk menghancurkan kesulitan mereka dan mengangkat martabat bangsa ini (Israel) yang selama ini mereka hinakan. Kehendak Allah pun terwujudlah melalui kelahiran seorang anak laki-laki yang bernama Musa di kalangan Bani Israil. Dan kehendak dan pengaturan Allah pula manakala anak ini mesti dibesarkan oleh keluarga Fir’aun dan dididik di istananya.

Maka ketika ia diangkat menjadi Rasul, Allah menetapkan janji agar ia menyelamatkan kaumnya dari perbudakan yang dilakukan oleh bangsa Mesir itu. Musa pun lalu memberi advis kepada Fir’aun dengan lemah lembut, namun Fir’aun ternyata tidak sudi dinasehati. Selanjutnya datanglah peringatan Allah secara berulang-ulang kepada Fir’aun dan kaumnya yang diikuti dengan munculnya bahaya kelaparan, badai dan topan, banjir darah, merajalelanya belalang yang memangsa ladang-ladang mereka, serta munculnya wabah berupa kutu dan katak yang amat merepotkan mereka. Kendatipun demikian, semuanya itu ternyata tidak mengurangi pembangkangan dan kesombongan mereka sedikitpun.

“Maka Kami kirimkan kepada mereka taufan, belalang, kutu, katak dan darah sebagai bukti yang jelas, tetapi mereka tetap menyombongkan diri dan mereka adalah kaum yang berdosa.” (QS. Al Araf (7) : 133).

Ketika hujjah (argumentasi) yang disampaikan kepada mereka itu telah dianggap cukup, maka turunlah adzab Allah. Musa as berhasil keluar dari Mesir dengan izin Allah, sedangkan Fir’aun bersama kaumnya ditenggelamkan di lautan, dan sejak itu terbawa tenggelam pula keperkasaan bangsa Mesir yang telah berjalan berabad-abad itu tanpa mampu tegak kembali.

“Maka Kami hukumlah Fir`aun dan bala tentaranya, lalu Kami lemparkan mereka ke dalam laut. Maka lihatlah bagaimana akibat orang-orang yang zalim.”
(QS. Al Qashash (28) : 40).

Sesudah itu datanglah masa-masa kejayaan bagi Bani Israil. Sesudah mereka memperoleh kemenangan atas bangsa Mesir ini, kekuasaan atas dunia inipun kini berada di tangan mereka – suatu kekuasaan yang mereka peroleh setelah sekian lamanya mereka dihina dan dilecehkan.

“Dan Kami pusakakan kepada kaum yang telah ditindas itu, negeri-negeri bahagian timur bumi dan bahagian baratnya yang telah Kami beri berkah padanya. Dan telah sempurnalah perkataan Tuhanmu yang baik (sebagai janji) untuk Bani Israil disebabkan kesabaran mereka. Dan Kami hancurkan apa yang telah dibuat Fir`aun dan kaumnya dan apa yang telah dibangun mereka.”
(QS. Al Araf (7) : 137).

Allah pun telah melebihkan mereka atas umat-umat yang lain. Dan Kami lebihkan kamu sekalian atas seluruh penghuni alam semesta ini, tetapi pewarisan dan kelebihan yang diberikan kepada mereka itu disertai dengan persyaratan agar mereka tetap berbuat baik. Allah Swt berfirman melalui ucapan Musa as: Kamu sekalian akan diberi pusaka di bumi ini, tetapi Allah akan mencermati apa yang akan kalian lakukan. Ini merupakan persyaratan yang tidak saja berlaku atas Bani Israil, melainkan berlaku pula atas semua bangsa yang dipusakai kejayaan di muka bumi.

“Kemudian Kami jadikan pengganti-pengganti mereka di muka bumi sesudah mereka, untuk Kami lihat apa yang akan kalian lakukan.” (QS. Yunus (10) : 14).

Dan ketika mereka mengingkari perintah Tuhan mereka dengan melakukan manipulasi Kalam Allah, mengganti yang haq dengan kebatilan, mengikuti perilaku para pendusta, berkhianat, memakan barang haram, merusak janji, mendewasakan emas dan perak, rakus dan tamak, pengecut, senang berfoya-foya membunuh Nabi-nabi mereka tanpa hak, menentang orang-orang yang menyerukan kebenaran, dan lebih mentaati orang-orang yang mengajak kejahatan daripada para pemimpin yang menyeru kebajikan, Allah pun mencabut pertolongan-Nya kepada mereka dan mengambil kembali pusaka itu, sehingga mereka pun menjadi sasaran anak panah penguasa-penguasa Iraq, Yunani dan Romawi, serta terusir dari negeri mereka, untuk kemudian selamanya terlantar di belahan bumi yang manapun: putus asa dan menderita, dan bahkan tidak akan lagi bisa menetap dengan aman di bagian bumi yang manapun untuk selamanya. Satu di antara laknat Allah yang ditimpakan kepada mereka semenjak seribu tahun ini mereka belum pernah sekalipun menemukan tempat yang baik untuk mereka diami. Sehingga, sekarang ini mereka berusaha merampok bumi Palestina.

Alam Menjadi Ganas


Hujan yang tadinya sebagai sumber air bersih dan pembawa rahmat, tiba-tiba menyebabkan banjir yang melululantahkan areal kehidupan manusia. Rahmat, yang mendatangkan kebaikan berbalik menjadi laknat, menjauhkan dari maslahat.

Dan dialah yang menurunkan air hujan dari langit, lalu Kami tumbuhkan dengan air itu segala macam tumbuh-tumbuhan, maka Kami keluarkan dari tumbuh-tumbuhan itu tanaman yang menghijau. Kami keluarkan dari tanaman yang menghijau itu butir yang banyak; dan dari mayang korma mengurai tangkai-tangkai yang menjulai, dan kebun-kebun anggur, dan (Kami keluarkan pula) zaitun dan delima yang serupa dan yang tidak serupa. perhatikanlah buahnya di waktu pohonnya berbuah dan (perhatikan pulalah) kematangannya. Sesungguhnya pada yang demikian itu ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang beriman (QS. Al Anam (6) : 99).

“Lalu orang-orang yang zalim mengganti perintah dengan (mengerjakan) yang tidak diperintahkan kepada mereka. sebab itu Kami timpakan atas orang-orang yang zalim itu dari langit, karena mereka berbuat fasik.” (QS. Al Baqarah (2) : 59).

Angin yang semula berperan dalam proses penyerbukan dalam dunia tumbuh-tumbuhan dan mendistribusi awan, tiba-tiba tampil ganas membabat segala sesuatu yang dilewatinya.

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.” (QS. Al Baqarah (2) : 164).

“Maka Kami meniupkan angin yang amat gemuruh kepada mereka dalam beberapa hari yang sial, karena Kami hendak merasakan kepada mereka itu siksaan yang menghinakan dalam kehidupan dunia. dan Sesungguhnya siksa akhirat lebih menghinakan sedang mereka tidak diberi pertolongan.”
(QS. Fushshilat (41): 16).

Laut yang tadinya jinak (harmonis) melayani dan tunduk terhadap mobilitas manusia, tiba-tiba mengamuk dan menggulung apa saja yang dilewatinya.

“Apakah kamu tiada melihat bahwasanya Allah menundukkan bagimu apa yang ada di bumi dan bahtera yang berlayar di lautan dengan perintah-Nya. dan dia menahan (benda-benda) langit jatuh ke bumi, melainkan dengan izin-Nya? Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.” (QS. Al Hajj (22) : 65).

Dan apabila lautan dijadikan meluap (QS. At Takwir (81) : 6).

Disparitas flora dan fauna yang tadinya tumbuh berkembang mengikuti hukum-hukum ekosistem, tiba-tiba berkembang menyalahi pertumbuhan deret ukur kebutuhan manusia, sehingga kesulitan memenuhi koposisi kebutuhan karbohidrat dan proteinnya secara seimbang. Ini semua menjadi isyarat bahwa taskhir tidak sepatutnya membuat manusia congkak dan arogan. Taskhir hanyalah titipan dari Allah SWT.

“Mereka berkata: "Bagaimanapun kamu mendatangkan keterangan kepada Kami untuk menyihir Kami dengan keterangan itu, maka Kami sekali-kali tidak akan beriman kepadamu."
(QS. Al Araf (7): 132).

Ahli hikmah mengatakan : Apabila kamu menggotong mayat ke kuburan, ingatlah suatu saat kamu akan digotong. Dan apabila kamu diserahi urusan kamu, ingatlah suatu saat engkau akan dimakzulkan (dilengserkan). Dari perkataan bijak tersebut mengajarkan, ternyata kehidupan di dunia ini, jabatan yang melekat, termasuk jiwa manusia, hanya hak guna (tidak permanen), ada masa akhir.









BELAJAR BERHUSNUDHON KEPADA ALLAH

KISAH ini terjadi pada tahun 1950. Seorang pemimpin suatu fraksi di parlemen RI, semua keluarganya tinggal di Bandung. Untuk kelancaran tugas dan menempatkan pada lingkungan sosial yang kundusif bagi pendidikan anak-anaknya, ia memilih tinggal sendiri di rumah dinas Jakarta. Setiap Sabtu sore, ia pulang ke Bandung dan kembali lagi ke Jakarta pada hari Senin berikutnya.

Pada Sabtu sore –sebagaimana biasa– beliau bermaksud pulang ke Bandung dengan menumpang pesawat Dakota. Pesawat andalan anggota DPR Pusat pada era Orde Lama (Orla). Beliau telah membeli tiket pesawat, tetapi setibanya di Bandara Kemayoran, tiba-tiba ditegur oleh mahasiswi yang belum beliau kenal sebelumnya. Pemudi itu menjelaskan bahwa ia baru saja menyelesaikan ujian akhir di salah satu Perguruan Tinggi Negeri di Jakarta, dia ingin segera pulang ke Bandung karena pada Sabtu malam akan melaksanakan akad nikah, tetapi saat itu ia kehabisan tiket pesawat. Dengan sangat terpaksa ia memohon dengan hormat kepada anggota Legislatif –sebagai orang yang sama-sama berasal dari Bandung– agar berkenan membantunya dengan memberikan tiket beliau itu kepadanya dengan diganti uang – supaya bisa melangsungkan ijab qabul dan pesta pernikahannya sesuai rencana.

Anggota parlemen itu tertegun sejenak. Beliau sadar bahwa hari Sabtu adalah kesempatan sekali seminggu untuk menjenguk dan berbagi (sharing) dengan keluarganya di Bandung, sementara itu beliau bisa merasakan betapa kesulitan yang dihadapi oleh gadis seusia putrinya itu. Seandainya putrinya sendiri mengalami peristiwa serupa, ia juga mengharapkan pertolongan yang sama. Akhirnya, dengan terpaksa, beliau memutuskan untuk menunda kepulangannya ke Bandung dan menyerahkan tiket pesawat kepada gadis tersebut.

Betapa bahagianya si gadis tak dikenal itu. Ia sebentar lagi akan merasakan peristiwa yang paling berkesan dalam kehidupan. Bersanding dengan kekasih, si belahan hati tanpa hambatan berarti. Ia mengatakan kepada sang bapak pejabat tadi, “Terima kasih, semoga Allah Swt membalas budi baik Bapak dengan kebaikan yang banyak. Jazakumullahu Khairan katsiran,” ujarnya. Meski agak sedikit masgul dan kecewa beliau pulang kembali ke rumah dinas di Jakarta.

Beberapa saat kemudian beliau duduk termenung di ruang depan rumah dinas seorang diri. Dalam hati beliau muncul sedikit sesal karena membayangkan kecemasan yang dialami keluarganya di Bandung. Melepaskan perasaan rindu dengan semua anggota keluarganya terhambat. Di saat bayangan kekecewaan berkecamuk dalam perasaannya, beliau tersentak dengan adanya berita yang tidak sengaja didengar dari radio RRI Jakarta yang mengabarkan bahwa pesawat terbang yang akan ditumpanginya tadi mengalami kecelakaan. Semua awak dan penumpangnya tewas seketika. “Inna lillahi wa inna ilaihi raaji’un.” (Sesungguhnya kita milik Allah Swt dan sesungguhnya kepada-Nya kita kembali).

Entah, perasaan apa yang dirasakan dalam dadanya. Di satu sisi ia bersyukur karena batal pergi. Di sisi lain, ia sedih mengingat nasib gadis yang menggantikan tempat duduknya dalam pesawat naas tersebut. Ia baru percaya akan takdir Allah. Rupanya gadis yang bersikeras hati mengganti tiket beliau sekedar untuk menemukan suratan takdir dari Allah swt. “Astaghfirullah,” (aku mohon ampun kepada Allah), sahutnya berulang-ulang.

Ridho dengan yang Tidak Kita Suka

Jika direnungkan secara lebih cermat, berbagai peristiwa kehidupan ini, sesungguhnya terjadi di luar rencana kita. Kehidupan ini dengan berbagai dinamika dan fluktuasinya merupakan rahasia Tuhan. Karakteristik kehidupan ini terus berputar mentaati kekuatan fitri, laksana roda pedati dan timbul-tenggelam dan muncul-hilang. Ada peristiwa yang semula kita persepsikan sebagai kesedihan, kepahitan, kegetiran, tetapi didalamnya mengandung kebijaksanaan Tuhan (hikmah).

Pepatah bahasa Arab mengatakan: “Ad Dunya mazra’tul ilm” (dunia adalah ladang ilmu pengetahuan). Romantika kehidupan sesungguhnya menyimpan berbagai pelajaran (madrastul hayah).

Ahli sastra Mesir Ahmad Syauqi Bek mengatakan: “Engkau dilahirkan ibumu dalam keadaan menangis (membayangkan carut marutnya kehidupan), sedangkan orang-orang di sekelilingmu tertawa (karena kedatangan anggota keluarga baru yang diharapkan membantu (mewarisi) tugas-tugas kehidupan..”

Seringkali kita tidak menginginkan sesuatu, namun di baliknya membawa keberuntungan. Menyakitkan memang, sesuatu yang tidak dihendaki terjadi pada diri kita. Tetapi, di antara yang mengantarkan kita ke surga adalah menerima dengan ridho keadaan yang tidak kita sukai. Karena, tiada kebahagiaan sejati melebihi dari kenikmatan di balik musibah. Uang gaji yang kita terima secara rutin dengan jumlah yang sudah kita ketahui, berbeda rasanya dengan uang yang kita peroleh secara tiba-tiba, ndilalah kersane Allah (terjadi karena kekuasaan Allah), sebagai efek dari amal saleh yang kita lakukan dengan keikhlasan.

Dalam pengalaman kehidupan sehari-hari, betapa banyak karunia Tuhan yang dianugerahkan kepada kita dengan bungkus yang tidak menyenangkan, tetapi di cela-celanya mengandung kebijaksanaan, kasih sayang Allah Swt. Blessing in Disguis (kebaikan terselubung) pepatah Bahasa Inggris, ini menunjukkan keterbatasan kita dalam memandang dan merancang masa depan. Kita lemah dalam membaca dan mengungkap misteri atau rahasia kehidupan di dunia ini. Di atas kita ada tangan-tangan ghaib yang bekerja secara canggih dengan perencanaan yang matang.

Oleh karena itu agama membimbing kita dengan salah satu ajarannya, konsep husnudz dzon (positif thingking) terhadap Tuhan pada setiap peristiwa yang terjadi. Allah Swt memiliki segala sifat kesempurnaan, kemuliaan dan jauh dari segala sifat kekurangan. Allah Swt bisa saja menghendaki sesuatu dan tidak menginginkan sesuatu, sesuai dengan keluasan ilmu-Nya.

Yakinlah bahwa Allah Swt itu bersifat rahman dan rahim. Semua surat dalam Al-Quran dimulai dengan ‘bismillahirrahmanirrahim’, sebagai indikasi sifat yang paling menonjol dalam diri-Nya adalah kasih dan sayang. Dia tidak menurunkan bencana kepada individu, suatu umat, secara kebetulan, tanpa berjalan sesuai dengan hukum sebab akibat (kausalitas) dalam sunnatullah (hukum sosial).

Normal 0 false false false MicrosoftInternetExplorer4 /* Style Definitions */ table.MsoNormalTable {mso-style-name:"Table Normal"; mso-tstyle-rowband-size:0; mso-tstyle-colband-size:0; mso-style-noshow:yes; mso-style-parent:""; mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt; mso-para-margin:0in; mso-para-margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:10.0pt; font-family:"Times New Roman"; mso-ansi-language:#0400; mso-fareast-language:#0400; mso-bidi-language:#0400;}

????? ????? ??????? ?????????? ???????? ???????? ??????????? ???????????


“Tidaklah Tuhanmu menghancurkan negeri secara semena-mena sedangkan penduduknya adalah orang-orang yang berbuat baik.”
(QS. Hud (11) : 117).

Dengan berbaik sangka kepada Tuhan, kepahitan, bencana, penderitaan, tekanan dan tantangan kehidupan, tidak membuat kita rapuh, stagnasi, berputus asa, kehilangan pegangan. Kegagalan, ketidakmapanan, justru kita persepsikan sebagai modal yang harus kita bayar untuk meraih sukses. Pepatah bahasa arab mengatakan: “Likulli mushibati fawaaidu.” (setiap bencana mengandung banyak manfaat).

Prasangka Baik

Cobalah direnungkan sejenak. Seandainya peristiwa naas pesawat terbang – yang akan membawanya, tidak beliau ketahui lewat berita tadi – apakah beliau akan menyadari kasih sayang Tuhan yang telah menghindarkannya dari malapetaka dan musibah dengan diurungkannya keberangkatannya itu? Kemungkinan besar tidak. Mungkin beliau akan tetap menyesal karena tidak dapat memenuhi kewajiban beliau terhadap keluarga.

Tetapi, setelah mengetahui semua kejadian itu berjalan sesuai dengan rencana suratan takdir-Nya, yang melepaskannya dari kematian, barulah beliau menyadari betapa nikmat, rahmat, keadilan dan kasih sayang Tuhan, yang terkandung di balik musibah. Setelah kejadian itu, ia telah meningkat menjadi manusia yang pandai bersyukur dan selalu memohon ampun atas sikap negative thinking (su’udzan) kepada Allah Swt selama ini.

Ajaran positive thinking kepada Allah swt yang dipahami, dihayati dan diamalkan seseorang, akan memiliki kecerdasan emosional (wujdaniyyah), perasaan (syu’uriyyah), spiritual (ruhiyyah) dalam memandang naik turunnya kehidupan.

Setiap menemukan hambatan, segera ia cari hikmahnya. Ia pandai mengambil pelajaran, yang bisa menambah kekayaan jiwa, memperkuat sandaran vertikal, memperkokoh stamina ruhani, sebagai aset (bekal) untuk meneruskan berbagai usaha menuju kesuksesan yang lebih besar dan selalu melibatkan-Nya.

Ketika orang lain tidak melihat secercah harapan, bagi orang yang melihat kejadian kehidupan dengan kacamata bening selalu terngiang-ngiang di dalam telinga batinnya akan janji Allah Swt. “Ingatlah, pertolongan Allah itu dekat.” (QS. Al Baqarah (2) : 214). “Sesungguhnya beserta kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Al Insyirah : 6).

Ayat Allah di atas menjelaskan kesulitan dengan isim ma’rifat (definitif) “al ‘usr”, sedangkan kemudahan memakai isim nakirah (infinitif) “yusr”, ini menunjukkan sesungguhnya setelah kesulitan yang sedikit itu akan ditemukan berbagai kemudahan.

Pesan penting berbaik sangka kepada Allah Swt sejatinya membangkitkan kelemahan jiwa, menyalakan spirit batin, menggerakkan potensi lahir dan batin kemudian dikerahkannya menuju kebangkitan kejiwaan. Dengan berbagai musibah yang melilit bangsa kita (udara, laut dan daratan), selayaknya menyadarkan kita untuk selalu intropeksi diri, dan meyakinkan diri kita sesungguhnya badai itu akan berlalu. Bencana adalah tangga yang mesti dilewati untuk mensucikan (tazkiyah), mendidik (tarbiyah), memandu (ta’lim), dan mendongkrak (tarqiyah) kualitas sikap mental dalam skala kehidupan individu, keluarga, masyarakat dan bangsa.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar