
BAYI TABUNG(TEST TUBE BABY) DALAM HUKUM ISLAM
Dalam kehidupan modern dewasa ini ada kemungkinan seorang istri yang sulit untuk mendapatkan keturunan bisa menghamilkan suatu benih bukan melalui jalur biasa yaitu hubungan kelamin, melainkan melalui cara suntikan atau operasi, sehingga benih tersebut di masukkan kedalam rahim istri ( wanita) itu sampai mengandung, karena benih tersebut di ambil dari zakar laki-laki da disimpan lebih dulu dalam suatu tabung. Maka kehamilan seperti inilah yang disebut dengan kehamilan bayi tabung. Dan pada paper ini penulis akan membahas pengertian, teknik pembuatan serta pendapat beberapa ulama tentang bayi tabung.
Inseminasi buatan adalah terjemahan dari bahasa Inggris, yaitu Artificial Insemination. Dalam bahasa Arab disebut dengan Al- Talqih Al- Shina’iy. Dalam bahasa Indonesia orang menyebutnya dengan inseminasi buatan, pembuahan buatan, atau penghamilan buatan. Bayi tabung istilah ilmiahnya adalah usaha manusia untuk mengadakan pembuahan dengan sebuah tabung gelas. Proses pembuahan seperti ini disebut dengan in vivo, sedangkan proses pembuahan secara alamiah disebut dengan in vitro.banyak batasan yang dikemukakan oleh para ahli dengan redaksi yang berbeda- beda. Dalam buku ini akan mengangkat dua batasan saja. Pertama, Dra. Djamalin Djanah memeberikan pengertian, bayi tabung inseminasi buatan adalah “ suatu pekerjaan memasukkan mani kedalam rahim (kandungan) dengan menggunakan alat khusus dengan maksud terjadinya pembuahan”. Dr. H. Ali Akbar mendefinisikan” memasukkan sperma kedalam alat kelamin perempuan tanpa persetubuhan untuk membuahi telur atau ovum wanita.
Dari beberapa definisi diatas dapat diambil pengertian bahwa inseminasi buatan adalah suatu cara atau teknik untuk memperoleh kehamilan tanpa melalui persetubuhan ( coitus). Adapun proses kerja inseminasi buatan untuk menghasilkan anak yang dilakukan tanpa persetubuhan, maka teknik yang digunakan adalah:
- Fertilisasi In Vitro ( FIV), caranya dengan mengambil sperma suami dan ovum istri, kemudian diproses di vitro ( tabung) dan setelah terjadi pembuahan, lalu ditranfer ke wanita. Teknik ini dikenal dengan bayi tabung atau pembuahan di luar tubuh.
 - Gamet Intra Felopian Tuba (GIFT), dengan cara mengambil sperma suami dan ovum istri, setelah dicampur, terjadi pembuahan, maka sagera ditanam dan di salurkan telur ( tuba falupi), atau dengan kata lain, mempertemukan sel benih ( gamet) yaitu sperma dan ovum dengan cara menyemprotkan campuran sel benih itu memekai kanul tuba kedalam ampulla, namun teknik ini bukan merupakan bayi tabung. Teknik kedua ini lebih alamiah dibanding teknik pertama, sebab sperma hanya bisa membuahi ovum di tuba falupi si ibu sendiri setelah terjadi ejakulasi melalui hubungan seksual.
 
Bayi tabung ( test tube baby) yang kita kenal dengan bayi tabung yang didapatkan melalui proses pembuahan yang dilakukan diluar rahim sehingga terjadi embrio tidak secara alamiah, melainkan dengan bantuan ilmu kedokteran.
Sejarah
Borner berkomentar terhadap penemuan Abbe Lazaric Spallanzani pada tahun 1784 yang berhasil untuk pertama kali mengawinkan serangga, binatang ampibi dan kemudian anjing yang melahirkan tiga ekor anak anjing. Atas keberhasilan ini, Borner berkomentar,” akan datang waktunya penemuan amat penting ini terjadi pada masyarakat manusia”. Di Rusia karena Stalin sangat mencemaskan akibat perang atom, maka ia setuju untuk mendirikan bank ayah atau bank sperma. Tahun 1968, Kruschov dengan adanya bank sperma ingin mengumpulkan sperma orang- orang jenius dalam ilmu pengetahuan, peperangan, sastra, dan lain- lain yang ingin dikembangbiakkan dalam rahim gadis- gadis cantik yang sehat yang memiliki IQ tinggi agar nantinya lahir generasi jenius.
Praktek inseminasi pada manusia juga terkandung dalam cerita “midrash”, diman Ben Sirah dikandungsecar tidak sengaja karena ibunya memakai air bak yang sudah tercampur sedikit air mani. Di Indonesia, keberhasilan inseminasi buatan ditandai dengan lahirnya Akmal dari pasangan Linda- Soekotjo pada tanggal 25 Agustus 1987 dan Dimas Aldila Akmal Sudiar, lahir pada 2 Oktober 1988 dari pasangan Wiwik Juwari- Sudirman. Keduanya lahir atas kerja sama team Makmal Terpadu Imuno Endilrinologi Fakultas Kedokteran UI. Atas keberhasilan ini dekan Fakultas Kedokteran UI ketika itu Asri Rasyad, mengatakan :” Teknologi ini semata- mata untuk membantu pasangan suami istri yang sulit mendapatkan keturunan”.
Adapun alasannya ialah:
- untuk mengembangbiakkan manusia secara cepat.
 - untuk menciptakan manusia jenius, ideal dan sesuai dengan keinginan.
 - alternatif bagi wanita yang ingin punya anak dan tidak mau menikah.
 - untuk percobaan ilmiah.
 - solusi bagi pasangan yang mandul.
 - mengembangkan teknologi kedokteran.
 - menolong pasangan suami- istri yang sulit mendapatkan anak.
 
Adapun alasan lain yaitu sesuai dengan hadis Abu Hurairah yang berbunyi:
Dari Abu Hurairah bahwa Rasululloh Saw telah bersabda: apabila seseorang telah mati, maka putuslah dari sagala amalnya, kecuali dari tiga hal yaitu shadaqoh jariah, ilmu yang bermanfaat, atau anak sholeh yang mendoakannya.
Teknik pembuatan dan pendapat ulama
Pembuatan inseminasi buatan ini membutuhkan proses dari mulai pengambilan bibit, dalam pengambilan bibit ini terdapat analisa hukum islam dan sumber pengambilan bibit itu, cara mengeluarkan sperma dan dokter yang menanganinya. Setelah pengambilan bibit, lalu bagaimana juga menganalisa hukum islam tentang penanaman bibit. Dalam tahap ini yang menjadi permasalahan adalah rahim wanita yang akan mengandungnya.
Pengambilan bibit sel telur
Pengambilan bibit ini meliputi pengambilan sel telur ( ovum pik up) dan pengambilan/ pengeluaran sperma. Untuk pengambilan bibit sel telur wanita dapat ditempuh dengan dua cara. Pertama dengan laparosopi dan USG ( ultrasonografi), cara pertama : indung telur di pegang dengan penjepit dan dilakukan pengisapan. Cairan folikel yang berisi sel telur di periksa di mikroskop untuk ditemukan sel telur. Sedangkan cara kedua ( USG) folikel yang tampak di layar ditusuk dengan jarum melalui vagina kemudian dilakukan pengisapan folikel yang berisi sel telur seperti pengisapan laparoskopi.
Analisa hukum islam, lalu bagaimana hukum melihat aurat besar wanita, meraba, dan memasukkan sesuatu pada vagina wanita. Semua aktifitas ini dibutuhkan dalam pengambilan sel telur dari wanita. Para ulama dari kalangan mahab sepakat bahwa vagina adalah bagian dari aurat wanita yang paling vital atau disebut aurat besar yang wajib dijaga dan tidak boleh dilihat. Akan tetapi, ketika darurat tidak ada jalan lain kecuali harus membuka dan memegangnya, seperti untuk kepentingan medis ( berobat), maka semata untuk keadaan darurat para ulama sepakat aurat wanita boleh dibuka.
Dalam pengambilan sel telur dari wanita, seorang dokter tidak bisa melakukannya kecuali harus melihat, meraba, dan memasukkan alat kedalam aurat besar wanita dalam ruangan yang tidak ada orang lain.
Pendapat ulama:
Yusuf Qardawi mengatakan dalam keadaan darurat atau hajat melihat atau memegang aurat diperbolehkan dengan syarat keamanan dan nafsu dapat dijaga. Hal ini sejalan dengan kaidah ushul fiqih:
“Kebutuhan yang sangat penting itu diperlakukan seperti keadaan terpaksa darurat). Dan keadaan darurat itu membolehkan hal-hal yang dilarang”.
Menurut hemat penulis adalah keadaan seperti ini di sebut dengan keadaan darurat, dimana orang lain boleh melihat dan memegang aurat besar wanita. Karena belum ditemukan cara lain dan kesempatan unutuk melihat dan memegang aurat wanita itu ditujukan semata- mata hanya untuk kepentingan medis yang tidak menimbulkan rangsangan.
Pengeluaran sperma
Dibanding pengambilan sel telur, pengambilan sperma lebih mudah. Untuk mendapatkan sperma laki- laki dapat ditempuh dengan cara:
- Istimna’ (onani)
 - Azl (senggama terputus)
 - Dihisap dari pelir ( testis)
 - Jima’ dengan memakai kondom
 - Sperma yang ditumpahkan kedalam vagina yang disedot tepat dengan spuit
 - Sperma mimpi malam
 
Diantara kelima cara diatas, cara yang dipandang baik adalah dengan cara onani ( mastrubasi) yang dilakukan di rumah sakit sebagaiman yang di sponsori oleh Universitas Indonesia.
Lalu bagaimana hukum onani untuk kepentingan inseminasi buatan? Karena sebagaimana kita ketahui bahwa islam islam memandang onani adalah perbuatan yang tidak etis, namun dalam penetapannya terjadi perbedaan pendapat.
Pendapat ulama:
- Ulama Malikiyah, Syafi’iyah, Zaidiyah, mengharamkan secara multak berdasarkan Al-Qur’an surat Al- Mu’minun ayat 5-7, dimana Allah telah memerintahkan manusia untuk menjaga kehormatan kelamin dalam setiap keadaan, kecuali terhadap istri dan budak.
 - Ulama Hanabilah mengharamkan onani, kecuali khawatir berbuat zina atau terganggu kesehatannya, sedang ia tidak punya istri atau tidak mampu kawin. Yusuf Qardawi juga sependapat dengan ulama Hanabilah.
 - Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa istimna’ pada prinsipnya diharamkan, namun istimna’ diperbolehkan dalam keadaan tertentubahkan wajib, jika dikhawatirkan jatuh kepada perbuatan zina. Hal ini didasari oleh kaidah ushul adalah: “Wajib menempuh bahaya yang lebih ringan diantara dua bahaya”
 - Pendapat penulis adalah onani dapat dibolehkan apabila dalam keadaan terpaksa, sebagaimana tersirat pada pendapat sebelumnya. Jika dikaitkan dengan keperluan inseminasi buatan, maka dapat digolongkan dalam keadaan terpaksa. Dimana istimna’ dibolehkan, baik dengan tangannya sendiri atau tangan istrinya. Sesuai dengan firman Allah: “Barang siapa dalam keadaan terpaksa ( memakannya), sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Seseungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
 
Asal dan tempat penanaman bibit
- Bibit dari suami istri yang sah ( inseminasi homolog)
 
Islam membolehkan senggama antara laki- laki dan perempuan, jika keduanya sudah diikat oleh tali pernikahan. Motif senggama yang di lakukan oleh pasangan yang sah adalah untuk mendapatkan keturunan. Adapun senggama diluar pernikahan adalah untuk memuaskan nafsu belaka. Jika dikaitkan dengan inseminasi buatan yang bibitnya berasal dari suami istri yang sah, baik dengan cara pembuahan diluar rahim kemudian disuntikkan kedalah rahim istri atau dengan cara mengambil sperma suami kemudian disuntikkan ke uterus istri. Tindakan ini tidaklah tergolong zina atau boleh hukumnya karena berasal dari pasangan suamu istri yang sah. Hal ini diperbolehkan kalau memang kondisi suami istri benar- benar memerlukan cara inseminasi buatan untuk memperoleh anak.
Diperbolehkannya bayi tabung bagi suami istri yang sah, disebabkan karena manfaatnya sangat besar dalam kehidupan rumah tangga. Bagi suami istri yang sangat merindukan anak, namun tidak bisa berproses secara alami maka melalui proses bayi tabung, anak yang dirindukannya akan segara hadir disisinya. Disinilah letak kemaslahatannya, sehingga kebolehannya didasarkan melalui maslahah mursalah.
Pendapat ulama:
- Jumhur ulama membolehkan inseminasi buatan yang berasal dari bibit suami istri. Mereka adalah Syeik Mahmud Syaltut, Yusuf Qardawi, Ahmad Ribasyi, Zakaria Ahmad Al- Barry.
 - Majelis ulama DKI Jakarta dan Majelis Pertimbangan Kesehatan dan Syara’ Department Kesehatan RI.
 - Menurut hemat penulis adalah membolehkan inseminasi buatan, asalkan berasal dari bibit suami istri yang sah. Karena dengan adanya inseminasi buatan ini memudahkan bagi pasangan suami istri yang sulit untuk mendapatkan keturunan agar dapat hidup normal dan memperpanjang keturunan.
 
- Bibit bukan pasangan suami istri (heterolog)
 
Inseminasi buatan berasal dari donor sperma laki- laki yang disuntikkan kedalam vagina yang bukan istrinya. Kedua dengan cara pembuahan di luar rahim, dimana pembuahannya diambil dari sel sperma suami istri, kemudian dititipkan ke rahim perempuan lain.
Diantaranya pendapat ulama adalah:
- Jumhur ulama menghukuminya haram. Karena sama hukumnya dengan zina yang akan mencampur adukkan nashab dan sebagai akibat, hukumnya anak tersebut tidak sah dan nasabnya hanya berhubungan dengan ibu yang melahirkannya. Sesuai firman Allah dalam surat (At-Tiin: 4) adalah: “Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik- baiknya”. Dan hadis Rasululloh Saw: “Tidak boleh orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir menyirami air spermanya kepada tanaman orang lain ( vagina perempuan bukan istrinya). HR. Abu Daud At- Tarmidzi yang dipandang shahih oleh Ibnu Hibban”.
 - Majlis Tarjih Muhammadiyah melalui Mukhtamar tahun 80-an dengan tegas mengharamkan bayi tabung dengan donor sperma. Begitu juga dengan (OKI) Organisasi Konferensi Islam juga membuat fatwa yang sama yaitu mengharamkan bayi tabung dari donor sperma.bahkan diluar islam Vatikan tahun 1987, telah mengecam keras pembuatan bayi tabung ibu titipan, karena dipandang tidak bermoral dan bertentangan dengan harkat kemanusian.
 - Robin Rowlan ( Australia) menentang inseminasi buatan dengan donor sperma, karena mempertimbangkan nantinya wanita menjadi incubator buatan. Ninoek Laksono berpendapat jika model inseminasi ini dijalankan maka definisi anak dan ibu menjadi tidak menentu dan akan memunculkan ibu- ibu titipan.
 - Syekh Syaltut berpendapat bahwa mengharamkan mutlak. Karena suatu perbuatan zina dalam satu waktu, sebab intinya adalah satu dan hasilnya satu juga: itu meletakkan sperma laki-laki lain dengan suatu kesengajaan pada lading yang tidak ada ikatan perkawinan secara syara’ yang dilindungi hukum naluri dan syariat agama. Andaikata tidak ada pembatasan- pembatasan dalam masalah bentuk pelanggaran hokum niscaya pencangkokan ini dapat dihukumi berzina yang oleh syariat Allah telah diberi pembatasan dan kitab- kitab agama akan menurunkan ayat tentang itu. Menisbatkan anak kepada selain ayahnya sendiri menyebabkan laknat.
 - Namun berbeda dengan pendapat Dr. Ali. Akbar, menurutnya bahwa inseminasi model kedua yaitu yang berasal dari sperma dan ovum suami istri kemudian kedalam rahim perempuan lain bukanlah perbuatan zina. Karena yang ditanamkan pada rahim orang lain itu adalah sperma dan ovum yang sudah bercampur terlebih dahulu, sehingga hanya menitipkan untuk memperoleh kehidupan, yaitu makanan untuk menjadi bayi yang sempurna. Dibolehkannya menitipkan sperma suami istri yang telah terjadi proses pembuahan kerahim perempuan lain jika si istri dinyatakan secara medis tidak bisa mengandung atau kalaupun bisa akan berbahaya. Maka wanita lain itu hanya berfungsi sebagai titipan saja tempat kelangsungan perkembangbiakkan embrio. Dan wanita yang dititipi tidak ada kaitan apa-apa dengan embrio yang sudah berkembang. Dari sini inseminasi model kedua tidak merusak nasab, karena bibit tetap dari suami istri yang sah. Namun efek negative yang ditimbulkannya juga harus dapat dikendalikan.karena akan munculnya ibu sewaan. Demi karir mungkin banyak perempuan ingin punya anak, tapi tidak mau hamil, dan cukup menitipkan kepada orang lain. Adanya kemungkinan ingkar janji anak yang dilahirkan tidak dikembalikan kepada yang menitipkan kurangnya kasih saying dan sebagainya.
 - Penulis berpendapat adalah usaha untuk memperoleh anak adalah naluriah setiap manusia dan usaha yang dianjurkan oleh agama. Karenanya jika dengan cara biasa tidak dapat memperoleh anak, maka hendaklah dapat mengusahakan melalui bayi tabung, termasuk hal yang dianjurkan, namun harus memperhatikan norma- norma agama. Karena bayi tabung lebih banyak berhubungan dengan masalah teknis atau proses memperoleh keturunan. Jika ini sudah dipegang maka suami istri boleh saja menempuh cara yang tidak lazim ( bayi tabung) kalau memang cara alamiah tidak menghasilkan anak. Karena ini termasuk kebutuhan yang daruriyat, selam tidak berbenturan dengan nash yang qat’I bayi tabung dengan sperma yang berasal dari suami istri yang sah, maka hukumnya boleh.
 
Kesimpulan
Bayi tabung (test tube baby) yang kita kenal dengan bayi tabung yang didapatkan melalui proses pembuahan yang dilakukan diluar rahim sehingga terjadi embrio tidak secara alamiah, melainkan dengan bantuan ilmu kedokteran. Dalam proses pembuahan yang dilakukan diluar rahim perlu disediakan ovum/ sel telur dan sperma, ovum diambil dari tuba faluppi (kandung telur) seorang ibu dan sperma diambil dari ejakulasi seorang ayah diperiksa apakah benih tersebut memenuhi persyaratan atau tidak. Begitu juga dengan sel telur seorang ibu. Dan bila pada saat ovulasi terdapat sel- sel yang benar-benar masak maka sel telur itu dihisap dengan jarum suntik melalui sayatan pada perut. Sel telur itu kemudian ditaruh dal suatu tabung yang diberi suhu menyamai panas badan seorang wanita.
Kedua sel kelamin tersebut dibiarkan bercampur (zygota) dalam tabung sehingga terjadilah fertilisasi. Zygota yang dihasilkan berkembang dalam medium yang terdapat dalam tabung reaksi sehingga menjadi morulla, morulla yang terbentuk melalui teknik embrio, lalu ditransfer kerahim seorang ibu yang telah disiapkan akan ibu akan hamil.
Para ulama banyak yang menghukumi boleh atas bayi tabung. Dengan catatan benihnya berasal dari sel suami istri yang sah. Dan pasangan tersebut sulit untuk mendapatkan keturunan. Namun dengan adanya bayi tabung tidak menimbulkan banyaknya ibu- ibu sewaan yang hanya memanfaatkan karena factor ekonomi saja.
Daftar Bacaan:
Agil, Said, Husein Al- Munawwar, Hukum Islam Dan Pluralisme Islam, (Jakarta: Penama)
Hasan. M. Ali, Masail Fiqhiyah Al-Haditsah, ( Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000)
Shidik Safiudin , Hukum Islam Tentang Berbagai Persoalan Kontemporer, (Jakarta: Intimedia, 2004)
Qardawi ,Yusuf , Halal Dan Haram Dalam Islam, ( Jakarta : PT. Bina Aksara, 1993)
TIGA PILAR PEMIKIR ASY’ARIYAH
(Deskripsi Pemikiran Al-Baqillani, Al-Juwaini dan Al-Ghazali)
I. IFTITAH
Ada tiga pemikir Islam, yang sementara ini diklaim sebagai penganut aliran teologi Asy’ariyah, mereka ialah: Al-Baqillani, Al-Juwaini dan Al-Ghazali, meskipun mereka sendiri tidak pernah menyatakan diri berafilisi kepada aliran telogi tersebut, baik secara eksplisit maupun implisit.
Para pemerhati pemikiran teologi Islam memberikan predikat kepada mereka sebagai penganut aliran teologi Asy’ariyah diakibatkan oleh dasar-dasar epistemologi (pemikiran) mereka dan substansi pemikiran mereka yang condong ke arah pemikiran Asy’ariyah.
II. AL BAQILLANI (403/1013)
Al-Baqillani, yang nama lengkapnya Abu Bakr Muhammad b. al-Tayyib b. Muhammad b. Ja’far b. al-Qasim, dalam kebanyakan sumber dikenal dengan Ibn Baqillani tapi penggunaan yang populer al-Baqillani (Lewis, 1968: 958), dilahirkan di kota Basrah, tanggalnya tidak diketahui, wafat di Baghdad pada tanggal 21 Zul Qa’dah 403/6 Juni 1013. Ia dikenal sebagai pendukung Asy’ari dalam teologi dan al-Maliki dalam fiqh. Ia juga dikenal sebagai aktor utama dalam sistematisasi dan populerisasi aliran Asy’ariyah. (Lewis, 1968: 958)
Ia dikenal dengan sebutan al-Qadi sehingga kalau disebut al-Qadi saja maka yang dimaksud adalah al-Baqillani. Meskipun demikian ia tidak lama memegang jabatan sebagai Qadi dan itupun jauh di luar ibu kota (Baghdad) tapi tidak diketahui dengan pasti di daerah mana ia menjabat sebagai Qadi tersebut. (Badawi, 1971: 572)
Karyanya sejumlah 52 (liam puluh dua) kitab menurut penuturan Qadi Iyad berdasarkan tulisan gurunya Qadi Abu ‘Ali al-Sadafi, tapi dari sekian banyak kitab tersebut yang masih ada sampai sekarang hanya enam, yaitu:
- I’jaz al-Quran; membicarakan tentang kemukjizatan al-Qur’an.
 - Al-Tamhid fi al-Radd ‘ala al-Mulhidah al-Mu’aththilah wa al-Rafidhat wa al-Khawarij wa al-Mu’tazilah; kitab ini merupakan yang pertama kali menampilkan polemik teologi yang lengkap.
 - Hidayah al-Mustarsyidin wa Mughni fi ushul al-Din; membicarakan tentang nubuwwat.
 - Manaqib al-A’immah wa Naqd al-Mata’in ala Salaf al-Ummah; membicarakan tentang imamah (kepemimpinan nasional)
 - Al-Bayan al-Farq Baina Mu’jizat al-Nabiyyin wa Karamat al-Shalihin; berisi tentang keajaiban apologis yang menunjukkan klaim kenabiyan.
 - Al-Inshaf fi Asbab al-Khilaf; memuat dua bagian utama; kepercayaan‑kepercayaan versi sunni dengan penjelasan‑penjelasan singkat dan diskusi‑diskusi mendetail tentang keqadiman al-Quran, Qadar, melihat Tuhan dan Syafa’ah. (Badawi, 1971: 588)
 
Dari enam karya tersebut yang relevan untuk dibahas dalam konteks pemikiran al-Baqillani adalah al-Tamhid sebagaimana diuraikan dalam paragraf berikut:
Pemikiran‑pemikirannya
Dalam al-Tamhidnya, al-Baqillani, yang tidak henti‑hentinya disibukkan dengan ungkapan‑ungkapan apologisnya, mencampur adukkan penyajian tentang kepercayaan dengan diskusi‑diskusi panjang melawan sekte‑sekte non muslim dan aliran‑aliran Muslim sendiri.
Berikut ini skema pendapat al-Baqillahi dalam kitab tersebut (berdasarkan pembahasan ilmu kalam):
(1) al-’ilm (2) Aqsam al-Ma’lumat (3) Itsbat Wujud Allah (4) Itsbat ats-TsSani (5) Tsani al-Muhdatsat La Yusybihuha (6) Tani al-Alam Wahid (7) Shifat Allah (8) al-‘Alaqat Baina as-Shifat wa adz-Dzat (9) Al-Ism wa al- Musamma (10) Asma Allah (11) Shifat adz-Dzat wa Shifat al-Af’al (12) Jawaz ar-Ru’yat Allah Ta’ala bi al-Abshar (13) Iradah Allah Syamilah (14) al-Istitha’ah wa al-Kasb (15) At-Ta’dil wa at-Tajwir (16) Al-Arzaq (17) Al- Ats’ar (18) Al-Ajal (19) Ad-Din wa al-Iman wa al-Kufr (20) Nazhariyah al- Imamah (21) Shifat al-Imam (22) Ma Yujibu Khalq al-Imam. (Badawi, 1971: 596‑632)
Dalam kebanyakan faham al-Baqillani sama dengan al-Asy’ari, tapi ia tidak sefaham dalam satu hal yaitu tentang perbuatan manusia. Menurut al- Baqillani manusia mempunyai sumbangan yang efektif dalam mewujudkan perbuatannya, tapi efektifitas kemampuan manusia itu baru dimiliki manusia ketika ia mulai melakukan perbuatan. Dalam ungkapannya ia mengatakan: “’An al-Istitha’ah Ma’a al-Fi’l ila al-Fi’li“. (Badawi, 1971: 517)
III. AL-JUWAINI
Nama lengkapnya adalah Abdul Malik b. Abdullah b. Yusuf b. Muhammad b. Abdullah b. Haywiyah al-Juwaini, dan kunyahnya Abu al- Ma’ali. Lahir pada tanggal 18 Muharram 419 H (17 Pebruari 1028 M) dan wafat di Bisytinqan pada tanggal 25 Rabi al-Akhir 478 H (19 Agustus 1058 M). (Badawi, 1971: 679 dan 689; Ad-Daib, 1981: 27‑29)
Al-Juwaini hidup dan dibesarkan dalam lingkungan kaum intelektual di Nisabur dimana ayah dan kakeknya adalah tokoh‑tokoh yang ahli dalam agama. Oleh karena itu tidak mustahil kalau sosok al-Juwaini pun tampil sebagai intelektual yang ahli dalam agama.
Sewaktu dinasti Buwaihi digulingkan oleh dinasti Saljuk (tahun 445 H/1055 M) terjadi kesukaran‑kesukaran bagi golongan al-Asy’ariyah. Hal ini disebabkan karena perdana menteri kerajaan Saljuk yaitu al-Kunduri yang berpaham Mu’tazilah mempengaruhi Sultan untuk membenci orang‑orang yang mempunyai akidah yang dianggap salah yaitu al-Asy’ariyah hingga tokoh‑tokoh pimpinannya ditangkap. Dalam hal ini al-Juwaini melarikan diri. Ia pergi ke beberapa tempat seperti Baghdad, Hijaz, Makkah serta Madinah. Ia pernah mengajar dan memberi fatwa dengan mazhabnya di Makkah dan Madinah selama empat tahun, hingga ia digelari dengan Imam al-Haramain. (Badawi, 1971: 683‑684; Ad-Daib, 1981: 22‑23; Nasution, Op.Cit., hal. 74‑75.) Ia kembali lagi ke Nisabur setelah sultan Tugril Bek wafat dan digantikan oleh Ali Arselan yang kemudian menggantikan kedudukan al-Kunduri dengan Nizam al-Mulk. Ia kemudian mengajar di madrasah Nizamiyah yang dibangun oleh Nizam al-Mulk.
Karya‑karya al-Juwaini meliputi tulisan‑tulisan dalam bidang ilmu kalam dan ilmu fiqh. Adapun kitab‑kitabnya dalam bidang ilmu kalam adalah: Al-Irsyad Ila Qawa’id al-Adillah fi Ushul al-I’tiqad (Terdapat di Leiden, Museum Britania, Escorial, Dar al-Kutub al-Misriyyah, Badawi, Ibid: 691), Luma al-Adillah fi Qawa’id Aqaid Ahl al-Sunnah (Terdapat di Berlin, Dar al Kutub al Misriyyah., ibid: . 693), al Aqidah al Nizamiyyah (Terdapat di Escorial; ibid: 695), dan al Syamil fi Usul al Din. (Terdapat di Dar al- Kutub al Misriyyah,ibid).
Pemikiran‑pemikiran
Sebagai salah seorang tokoh Asy’ariyah al Juwaini banyak sependapat dengan tokoh‑tokoh sebelumnya, yaitu Abu Hasan al Asy’ari dan al Baqillani, meskipun dalam beberapa hal ia tidak sependapat dengan kedua tokoh tersebut.
Adapun pendapat‑pendapat terpenting yang dikemukakan oleh al Juwaini adalah:
- Dalam membahas masalah sifat‑sifat Tuhan al-Juwaini mengemukakan teori tentang ahwal. Menurutnya meskipun ahwal itu merupakan sifat yang melekat pada sesuatu yang ada, tetapi ia tidak menyifati sesuatu itu bersamaan sesuatu itu ada atau tidak. Dalam hal ini ia membagi sesuatu kepada: maujud, ma’dum, dan wasatah. Wasatah inilah yang disebut hal, yaitu sesuatu yang ada dalam nafs (zat) nya dan ada di otak ketika mengamati‑nya. Dari pendapat tenang hal ini al-Juwaini mengemukakan adanya sifat‑sifat ma’nawiyah yaitu sifat yang berdiri dengan zat Allah yang ada pada nafsNya dan tidak dapat dilihat. (Ad-Daib, tt.: 105‑106)
 - Dalam penggunaan ta’wil al-Juwaini menerapkannya pada zahir Kitab dan Sunnah, begitu pula pada ayat‑ayat antropomorphisme. (Al-Juwaini, 1969: 543‑554; Nasution, 1985: 72)
 - Mengenai perbuatan manusia ia beranjak dari pendapat al-Asy’ari tentang kasb, namun ia mengemukakan teori yang lebih luas lagi yaitu bahwa kasb manusia bersifat efektif. Efek itu baru ada ketika dilakukannya usaha/ kasb, dan wujud perbuatan manusia tergantung pada daya yang ada padanya, dan wujud daya itu tergantung pula kepada sebab yang lain, dan wujud sebab ini tergantung pula sebab yang lain. Begitulah seterusnya hingga sampai pada sebab dari segala sebab yaitu Tuhan. (Nasution, 1985; Asy-Syahrastani, 98‑99; Badawi, tt.: 70) Berdasarkan pendapatnya ini al-Juwaini lebih dekat kepada faham Mu’tazilah tentang hukum kausalitas dari pada pendapat al-Asy’ari yang mengatakan bahwa kasb manusia tidak punya efek terhadap perbuatannya.
 - Dalam masalah kalam Allah al-Juwaini menjelaskan bahwa kalam Allah adalah perkataan yang berdiri pada nafs, kalam yang seperti inilah yang bersifat qadim, sedangkan kalam ibarat yang bersuara dan berhuruf bersifat baharu. (Badawi, ibid) Dengan pendapatnya tentang kalam Allah ini al-Juwaini telah menemukan suatu kompromi dengan pendapat Mu’tazilah yang mengatakan kalam Allah itu makhluk.
 - Pendapatnya yang lain adalah tentang wajibnya ma’rifah (mengenal) Allah dengan analisa dan argumentasi. Menurutnya kewajiban ini didapati dari kewajiban‑kewajiban syari’at, sementara akal tidak dapat menemukan kewajiban‑kewajiban taklif. (Al-Juwaini, 1969: 115)
 
IV. AL-GHAZALI (450‑505/1058‑1111)
Al-Ghazali dilahirkan di kota Tus, (sekarang) dekat kota masyhad  disebelah timur Iran. Ia mendapatkan pendidikan pertama di sana.  (Tibanah, 1957: 
 Ketika berusia lima belas tahun ia pergi ke  daerah Jurjan (Eliade, tt.:541) untuk melanjutkan studi pada Abu Nasr  al-Isma’ili. Tak lama kemudian ia kembali lagi ke Tus.
Pada usia 19 sembilan belas tahun (469/1077) ia pergi ke Nisabur (sekitar 50 mil ke arah barat Tus) dan belajar di perguruan Nizamiyyah pimpinan al-Juwaini. Meskipun studi utamanya tentang hukum al-Juwaini juga mengenalkannya dengan teologi al-Asy‑ari dan [mungkin] filsafat al- Farabi dan Ibn Sina. Ia juga belajar lebih lanjut tentang teori dan praktek sufisme pada seorang sufi Abu Ali Darmazi al-Tusi.
Ia belajar fiqh pada Ahmad b. Muhammad al-Razkani (as-Subki, ibid: 103). Akan tetapi menurut versi lain ia juga belajar tentang sufi/tasawuf pada seorang sahabat ahayhnya yang menerima wasiat untuk mendidiknya bersama saudaranya, Ahmad al-Ghazali.
Menurut cerita, yang juga dimuat di Thabaqat as-Subki, pada perjalanan pulang dari Jurjan ia di rampok, semua yang dibawanya dirampas termasuk buku‑buku catatannya. Ketika ia memohon supaya buku‑bukunya yang tentunya tidak ada artinya bagi perampok itu dikembalikan padanya, para perampok itu malah mengejeknya bahwa pengetahuannya hanya terdapat dalam buku catatan. Buku itu akhirnya dikembalikan juga, namun peristiwa ini membuatnya bekerja keras untuk menghafal isi buku‑buku tersebut selama tiga tahun (Eliade, ibid, Lihat al Subki, ibid). Dari cerita ini dapat disimpulkan bahwa al Ghazali belajar di Jurjan hanya selama satu tahun.
Sepninggal gurunya (al-Farmazi [477/1084], al-Juwaini [478/1085]), al-Ghazali diundang Nizam al-Mulk, wasir kerjaan Saljuk untuk bergabung ke majelisnya dimana berkumpul para ahli pikir untuk bertukar pikiran. Tahun 484/1091 ketika masih berusia 33 tahun, al-Ghazali diangkat sebagai guru besar pada Universitas Nizamiyyah di Baghdad. Namun ia hanya mengajar selama empat tahun. Ia jatuh sakit selama lebih kurang enam bulan sehingga ia tidak bisa berbicara. (Lewis, tt.: 1039; Al-Asy’ari, tt.: 9; Al-Ghazali, tt.: 23‑27, 71‑75) Ia lalu meninggalkan Baghdad pada tahun 488/ 1095 ke Makkah dengan alasan untuk haji, namun sebenarnya tujuannya untuk meninggalkan panggung kehormatan dunia dengan segala jabatan yang diperolehnya menuju ketenangan jiwa dan kebenaran hakiki.
Selama hampir dua tahun (488‑490/1095‑1097) ia mengasingkan diri (‘uzlah) dalam salah satu menara di Masjid Banu Umayyh di Damaskus, beribadah, menjalani hidup zuhud, dan menyucikan jiwa dari kotoran‑kotoran hawa nafsu. Ia kemudian pindah ke Yerussalem melakukan hal yang sama di masjid Umar. Setelah mengunjungi makam Nabi Ibrahim di Hebron, ia pergi haji ke Makkah dan madinah,27 kemudian mengembara sambil terus bertaubat di tempat‑tempat suci dan masjid‑masjid serta gurun‑gurun pasir. Setelah sebelas tahun berselang semenjak kepergiaannya dari baghdad, ia akhirnya kembali ke kota kelahirannya Tus pada tahun 499/1105. Selama dalam pengembaraan itu ia tidak hanya melakukan taubat, kontemplasi dan lain sebagainya yang berhubungan dengan penyucian jiwa tapi juga menulis dan mengajar. Ihya Ulum ad-Din, karyanya yang terbesar, ditulis dalam masa itu. AL Risalah al Qudsiyyah ditulis ketika berada di Yerussalem, dan masih banyak kitab‑ktiab (kecil) lain yang ditulisnya. (Sharif, 1963: 586)
Sebab‑sebab sakitnya al Ghazali masih diperdebat‑kan orang dari dulu sampai sekarang. Al Ghazali sendiri mengatakan bahwa ia takut masuk neraka karena ia melihat kecurangan/kejahatan yang dilakukan kalangan ilmuwan ketika itu. Ia melihat ilmu dengan segala kemuliaannya dan profesi yang digelutinya tidak ikhlas karena Allah akan tetapi motivasinya mencari kehormatan dan ketenaran.
Menurut as-Subki setelah pergi ke baitullah dan berhaji, ia pergi ke Syam (Damaskus) dan tinggal di sana selama sepuluh tahun sambil mengunjungi tempat‑tempat bersejarah seperti Baitul Maqdis dan lain‑lain.
Sekembalinya ke Tus, ia didesak oleh Fakhr al-Mulk, putera Nizam al-Mulk, yang menjadi wazir sultan Sanjar untuk mengajar di Universitas Nizamiyyah Maimunah di Nisabur. Ia lalu mengajar di sana pada bulan Zul Qa’dah 499/Agustus 1106, tapi tak lama kemudian ia kembali lagi ke Tus dan mendirikan madrasah yang mengajarkan teologi dan tasawwuf. Setiap hari diisinya dengan mengajar dan beribadah sampai ia meninggal dunia pada 14 Jumada ats-Tsaniyah 505/19 Desember 1111. (Ibid., 587)
Karya dan pemikirannya
Lebih dari empat ratus karya yang disandarkan pada al-Ghazali, namun hanya tujuh puluh yang masih ada yang berbentuk manuskrip (termasuk yang sudah dicetak). Sebagian karya‑karya tersebut isinya sama tapi judulnya berbeda, lagi pula terdapat karya‑karya yang sebenarnya bukan karya al-Ghazali tapi disandarkan kepadanya. (Eliade, tt.: 542; Lewis, tt.: 1040)
Diantara sekian banyak karyanya tersebut yang secara akhusus membicarakan tentang teologi sedikitnya ada empat kitab, yaitu:
- Al-Iqtisad fi al-I’tiqad; buku ini mungkin ditulis menjelang atau sesudah kepergiannya dari Baghdad. buku ini pada garis besarnya membicarakan topik yang sama dengan al-Irsyadnya al-Juwaini, tapi di sini al-Ghazali banyak menggunakan logika Aristoteles khususnya syllogisme. Dalam hal ini Ibn Khaldun menganggap al-Ghazali sebagai penemu tendensi baru dalam teologi.
 - Al-Arba’in, ditulis setelah al-Ihya, tampak di sini bahwa al-Ghazali tidak pernah keluar dari ajaran al-Asy’ariyah. Namun ia menetapkan bahwa diskusi ilmiah tentang agama harus berada jauh di luar lapangan ajaran‑ajaran dogmatis dan bahwa pembahasan yang detail tentang dogma tidak mempunyai nilai praktis.
 - Fashl at-Tafriqah Bain al-Islam Wa al-Zandaqah; buku ini sebagai ditujukan untuk menyerak kelompok Batiniyyah, namun terutama merupakan pembelaan diri dari kecaman koleganya sesama Asy’ariyah yang meng‑kritiknya karena terlalu toleran terhadap aliran Mu’tazilah yang banyak menggunakan ta’wil.
 - Iljam Al-‘Awam ‘An ‘Ilm al-Kalam; merupakan karya yang terakhir memuat peringatan akan bahaya belajar ilmu kalam bagi orang‑orang yang rendah pengetahuannya.
 
Pemikiran teologis al‑Ghazali pada prinsipnya tidak banyak berbeda dengan tokoh‑tokoh pendahulunya (al-Juwaini, al-Baqillani maupun al-Asy’ari). Hanya saja karena ia selalu menekuni suatu ilmu dengan sangat mendalam disamping sikap ilmiahnya yang selalu mempertanyakan (meragukan) keabsahan (validitas) suatu pengetahuan (Al-Asy’ari, tt.: 13‑18; Al-Ghazali, tt.: 27‑32) maka ia tidak lagi menggunakan metode yang dipakai oleh para pendahulunya yang cenderung normatif. Al-Ghazali tampil beda dengan menggunakan logika ilmiah dalam filsafat untuk membuktikan pemikiran teologisnya. (Ibn Khaldun, tt, 446)
Lebih tajam lagi Abu Zahrah menegaskan bahwa al-Ghazali tidaklah mengikuti al-Asy’ari maupun Abu Mansur al-Maturidi, akan tetapi ia menggunakan pola pemikiran yang bebas dan mandiri bukan layaknya seorang pengikut atau muqallid. Memang sebagian hasil pemikirannya sama dengan pendapat mereka namun ia berbeda dalam beberapa hal yang menurut mereka harus diikuti. (Abu Zahrah, tt, 191; Nasution, 1985: 72‑73)
Pemikiran al-Ghazali itu antara lain adalah bahwa zat Allah itu wujud, qadim, baqin, bukan jauhar, jisim atau arad, tidak dibatasi dengan suatu batasan, atau ditentukan dengan arah (jihat), Ia bisa dilihat di akhirat dan Ia Maha Esa. Tentang sifat‑sifat Allah al-Ghazali mengatakan bahwa Dia hayyun, ‘alimun, qadirun, muridun, sami‑un bashirun, mutakallimun. Dan bahwasanya Allah mempunyai sifat hayat, ‘ilm, qudrah, iradah, sam’, bashar dan kalam. Sedangkan tentang af’al Allah Ta’ala bahwasanya Allah tidak berkewajiban memberi taklif, menciptakan, memberi pahala, menjaga kemaslahatan para hambaNya, tidak mustahil bagiNya membebankan sesuatu yang tidak mampu dilakukan manusia, tidak wajib bagiNya menyiksa yang maksiat, tidak wajib baginya mengutus para Nabi. (Al-Ghazali, 1962: 4‑5)
Daftar Pustaka
Abu Zahrah, Muhammad., Tarikh al-Madzahib a-Islamiyyah, Juz 1, ttp.: Dar al-Fikr al-Arabi, tt.
Badawi, Abdurrahman., Mazahib al-Islamiyyin, Juz I, Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, 1971.
Ad-Daib, Abd. Azhim., Abu al-Ma’ali Abd. Malik B. Abd. Allah Al-Juwaini, Hayatuhu Wa Ashruhu Atsaruhu Wa Fikruhu, Kuwait: Dar al-Qalam, 1981.
Edwards, Paul (ed)., The Encyclopedia of Philosophy, Vol. III, New York: Macmillan Publishing Company, 1972.
Al-Ghazali, Al-Munqidz min adh-Dhalal, Beirut: Al-Maktabah as-Sa’diyyah, tt.
——, Al-Iqtishad fi al-I’tiqad Kairo: Maktabah wa Matba’ah Muhammad Ali Shabih wa Auladuh, 1962.
Ibn Khaldun, Kitab al-‘Ibar, Vol. I, Beirut: Dar al-Fikr, tt.
Al-Juwaini, asy-Syamil fi Ushul ad-Din, Iskandariyah: Al-Ma’arif, 1969).
Lewis CH. Pellat, B., J. Schacht, The Encyclopedia of Islam, Vol. 2, Leiden: E.J. Brill, 1968.
Nasution, Harun., Teologi Islam, Jakarta: UI Press, 1986.
Sharif, M.M., A History of Muslim Philosophy, Vol. I, Wiesbaden: Ottoharrassowitz, 1963.
Al-Subki, Tajuddin., Tabaqat asy-Syafi’iyyah al-Kubra, Juz III, Beirut: Dar al-Ma’rifah, tt.
Asy-Syahrastani, al-Milal wa an-Nihal, Beirut: Dar al-Fikr, tt.
Tibanah, Badawi Ahmad., Muqaddimah Ihya Ulum ad-Din, Kairo: Dar Ihya al-Kutub al- Arabiyah, 1957.
Watt, W. Montgomery., Islamic Theology and Philosophy, terjemahan Umar Basalim: Jakarta: P3M, 1987.
SEPINYA MASJIDKU
Pada bulan yang Ramadhan lalu, masjidku penuh dengan jamaah. Tidak hanya di waktu taraweh (qiyâm al-lail), di waktu subuh pun karpet yang terhampar di seluruh bagian lantai masjid dipenuhi oleh jamaah, utamanya di sepuluh hari pertama bulan itu. Tapi, kini karpet-karpet itu kesepian dan – kalau bisa menangis – mungkin akan menangis meratapi nasibnya yang tak seberuntung pada bulan Ramadhan itu. Masjidku kini sepi kembali, seperti bulan-bulan sebelum Ramadhan.
Banyak orang yang tak bisa menjawab, kenapa sejumlah masjid sepi dari jamaah. Utamanya ketika waktu subuh. Padahal, tempat itu semestinya menjadi tempat yang sangat dirindukan oleh setiap muslim. Apakah kini tempat itu sudah sekadar menjadi simbol kesucian tanpa kesalehan para jamaahnya, atau karena mereka – umat Islam – sudah menganggapnya sebagai tempat eksklusif yang hanya pantas dihadiri dalam upacara-upacara suci — atau tepatnya: “dianggap suci” – seperti ritual Jumatan dan – lebih khusus lagi – “walimatul ‘ursy”?
Pertanyaan itu semakin tidak terjawab ketika banyak orang yang harus bersabar menunggu ‘antrean’ pemberangkatan jamah haji dari tahun ke tahun, karena terbatasnya kuota. Ibadah haji yang harus dilaksanakan dengan persiapan yang lebih rumit, ternyata lebih menarik daripada ibadah-ibadah sederhana – seperti shalat jamaah– di masjid. Apalagi, dalam acara pengajian rutin bulanan yang diselenggarakan oleh pengurus ranting Muhammadiyah di sebuah kampung di sudut kota Yogyakarta, yang secara kebetulan penulis menjadi ustadz tetapnya, yang hadir tidak pernah lebih daripada hitungan jari-jemari penulis. Kalau tidak salah hitung, — yang secara rutin menghadirinya — kurang lebih 17 orang, dari kurang lebih seratus lebih orang Islam di kampung itu yang mengaku menjadi warga, atau minimal simpatisan Muhammadiyah.
Tetapi, pernah satu saat pengurus pengajian itu menyelenggarakan pengajian pamitan calon jemaah haji, dan – ternyata di luar dugaan – yang hadir lebih dari dua ratus orang (jamaah). Mereka datang bersama dengan para calon jemaah haji yang jumlahnya hanya dua orang (suami-isteri). Subhânallâh wal hamdulillâh, spontan terucap dua kalimah thayyibah dari lisan penulis, sambil tetap bertanya-tanya: “Ke mana saja ratusan orang ini pada waktu yang lain. Kenapa mereka tidak pernah muncul, dan baru terlihat pada acara pengajian-pamitan calon jamaah haji?”
Penulis masih ingat terhadap pelajaran guru ngaji penulis di masjid dekat rumah, ketika pak guru (‘mengaji’) itu menyatakan bahwa dengan perasaan cinta yang mendalam kepada sahabatnya, suatu ketika Abu Darda’ menulis surat kepada sahabatnya, Salman Al-Farisi, yang berisi mau’izhah hasanah: ”Wahai saudaraku, pergunakanlah masa hidupmu untuk kepentingan ibadah, sebelum tiba bencana yang menyebabkanmu tidak dapat beribadah. Wahai saudaraku, jadikanlah masjid bagaikan rumahmu. Sebab, Rasulullah s.a.w. pernah bersabda, bahwa masjid adalah rumah bagi orang yang bertakwa”. (HR ath-Thabarani dari Abu Darda’). Dan juga sebuah hadis lain, yang antara lain berisi nasihat: “Orang-orang yang akan dinaungi oleh Allah SWT pada hari kiamat nanti antara lain adalah: rajulun qalbuhu mu’alaqun bil masâjid (mereka yang selalu terpaut dengan masjid). (HR al-Baihaqi dari Abu Hurairah).
Pada bulan Ramadhan yang baru berlalu, masjidku bagaikan rumah tinggalku, yang selalu tampak terasa ‘hangat’ pada setiap waktu selama bulan Ramadhan. Utamanya di malam hari, di ketika sahabat-sahabat karibku memakmurkannya dengan berbagai acara: “buka bersama”, shalat berjamaah, qiyâm al-lail (taraweh), pengajian-pengajian, tadarus al-Quran, hingga i’tikaf – utamanya — pada sepuluh hari terakhir bulan itu. Namun, di saat Ramadhan berlalu, masjidku kembali sepi, ditinggal oleh para jamaahnya. Sedih, rasanya!
Bagi mereka yang selalu menambatkan hati ke masjidku, rasa rindu mereka untuk beribadah di dalamnya tak pernah sirna, mereka selalu berusaha untuk melakukan tazkiyatun nafs (menyucikan dirinya) dari debu-debu dosanya. Allah berkata di dalam kalam suci-Nya, ”Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar takwa sejak hari pertama adalah patut kamu shalat di dalamnya. Di dalamnya, ada orang-orang yang ingin membersihkan diri.” (QS at-Taubah [9]: 108).
Menjadikan masjid sebagai rumah, bukan sebatas mendatanginya secara fisik. Tetapi, lebih jauh dari itu, selalu mengisinya dengan sejumlah aktivitas yang dipandu oleh kehendak hati untuk mengekspresikan keimananan yang ada di dalam hati menuju berbagai amal saleh yang bisa kita hadirkan dalam seluruh akvitas ibadah di masjid kita, hingga Allah pun berkenan memanjakan kita dengan melipatgandakan pahala dan menghapuskan dosa-dosa kita yang pernah kita perbuat, dan pada akhirnya membukakan pintu “ar-Rayân” menuju surga-Nya.
Penulis selalu yakin, bahwa setiap shalat yang kita lakukan di mesjid, karena kehendak hati kita – dengan fondasi iman — ketika diundang oleh para muazin melalui seruan azannya untuk datang ke masjid, pasti dicatat oleh Allah sebagai ‘amal saleh’. Di tempat ini, kita disatukan dengan simbol bersama, dengan tujuan yang sama, yakni ‘hanya’ untuk beribadah kepada Allah. Kita — para jamaah — selalu bersedia menghadapkan wajah kita ke satu arah yang sama dengan penuh ketundukan dan ketaatan. Hingga kita mendapatkan satu perolehan terindah dari Allah berupa: “ridha”. Sebuah perolehan yang paling bermakna dalam ibadah kita, meskipun harus kita lakukan dengan sejumlah pengorbanan.
Penulis juga masih ingat terhadap pelajaran seorang ustadz di sebuah masjid kecil di pojok kampus. Ketika sang Ustadz bercerita bahwa, ketika sekelompok orang dari Bani Salamah ingin mendirikan tenda di halaman masjid, Rasulullah s.a.w. menegurnya seraya menyarankan: ”Wahai Bani Salamah, rumah-rumah kalian yang jauh dari masjid lebih utama. Karena, setiap langkah kalian ke masjid akan menjadi bekas (atsar) kebaikan di sisi Allah.” (HR Muslim dari Jabir bin Abdullah). Penulis pun sadar, bahwa jauhnya jarak rumah dari masjid tak layak untuk menjadi alasan bagi siapa pun yang telah mengaku beriman kepada Allah dan hari akhir untuk (merasa) malas “hadir ke masjid”
Namun demikian, penulis pun juga sadar bahwa tidak setiap orang memiliki kesiapan untuk menjadi pemakmur masjid. Hanya orang-orang yang benar-benar kokoh imannya yang ‘sadar’ dan memiliki semangat kuat untuk menjadi yang pertama dan utama dalam aktivitas “memakmurkan masjid”, sebagaimana firman Allah: “Tidaklah pantas orang-orang musyrik itu memakmurkan masjid-masjid Allah, sedang mereka mengakui bahwa mereka sendiri kafir. Itulah orang-orang yang sia-sia pekerjaannya, dan mereka kekal di dalam neraka. Hanyalah orang-orang yang (bersedia) memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah. Maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS at-Taubah, 9: 17-18).
Hingga kini, penulis tidak tahu mau berkomentar ”apa” terhadap gejala sepinya mesjid-mesjid kita pada bulan-bulan selain (bulan) Ramadhan. Hanya ada sejumlah pertanyaan di benak penulis: ”Apakah kita (baca: umat Islam) sudah kehilangan ’iman’ yang menancap di hati kita pada bulan Ramadhan? Atau selama ini kita tidak terlatih untuk membiasakan diri ’menegakkan shalat’ dalam seluruh aspek kehidupan kita, dengan tetap menjaga kontinuitas untuk beramal saleh dan meninggalkan perbuatan maksiat? Atau, karena kita sering lupa untuk membayar zakat? Atau, sekarang ini kita posisikan diri kita menjadi seseorang yang kehilangan sifat as-sajâ’ah (berani) dalam beramar ma’ruf dan bernahi mungkar karena harus berhadapan dengan risiko duniawiah? Atau, (sementara) kita sudah merasa puas untuk tidak mendapatkan hidâyah (petunjuk) karena kelalaian-kelalaian kita selama ini? Wallâhu a’lam.
Untuk itu, sebelum kita benar-benar lupa, marilah kita mulai melangkah. Kita kembalikan ingatan kita kepada Allah, dengan selalu hadir di mesjid-mesjid yang telah kita bangun dengan susah-payah, supaya diri kita benar-benar menjadi pecinta mesjid yang selalu hadir dengan kerinduan yang dalam untuk bertemu Allah dalam keasyikan kita ”beribadah” kepadaNya.
Kalau pun bulan Ramadhan masih lama untuk kita jumpai kembali, kita bisa menjadikan semua bulan dalam setiap tahun seolah-olah adalah bulan Ramadhan. Kita ramaikan mesjid-mesjid kita seperti ketika bulan Ramadhan menjumpai diri kita. Agar kita menjadi hamba-hamba Allah yang mendapatkan rahmat, maghfirah dan surga yang dijanjikan oleh-Nya. Dan tak perlu lagi kita bertanya: ”Masjidku, ke manakah jamaahmu?”
Semoga!
GELAR ATAU NALAR
Dunia pendidikan saat ini memperlihatkan dua potret paradoksal. Di satu sisi, banyak orang yang dengan mudah mendapatkan gelar pendidikan melalui uang yang dimilikinya. Sementara di sisi lain, banyak masyarakat yang tak mampu melanjutkan sekolah karena kekurangan uang. Kedua-duanya menunjukkan kelemahan atau ketidakberdayaan.
Mereka yang berduit tidak berdaya secara kualitas sehingga harus membeli atau mengambil jalan pintas. Sementara mereka yang tak berdaya secara ekonomi, harus memupus masa depannya. Kenyataan paradoks ini patut diprihatinkan karena kualitas manusia merupakan penggerak utama keberlangsungan eksistensi sebuah negara. Negara hanya bisa digerakkan oleh mereka yang berpendidikan, punya pengetahuan, dan kemampuan untuk menjalankan negara ini.
Sehingga tidak berlebihan apabila Plato menganggap seorang cerdik cendekia (philosopher king) sebagai sosok yang paling berhak untuk memimpin sebuah negara. Pernyataan Plato tersebut bukan mengacu pada formalitas pendidikan melalui gelar atau simbol-simbol akademik lainnya, tetapi lebih pada kualitas dan integritas intelektualnya. Pembelian gelar atau pemberian gelar tanpa seleksi yang ketat secara kualitas dengan sendirinya semakin memperparah nasib dunia pendidikan kita.
Bagaimana dengan kita?
DIMENSI-DIMENSI KEBERAGAMAAN
Tujuan Pendidikan Agama adalah membentuk siswa agar menjadi manusia yang “beragama”. Manusia “beragama” ini tentu saja tidak sekedar mengetahui berbagai konsep dan ajaran agama, melainkan juga meyakini, menghayati, mengamalkan dan mengekspresikan agama dalam kehidupan kesehariannya.
Kata “Beragama” itu sendiri memang bisa mengandung berbagai makna dan dimensi. Ia bisa berkaitan dengan pengetahuan tentang berbagai konsep keagamaan, keyakinan pada doktrin-doktrin, ketaatan pemeluk menjalankan ritual, pengalaman mistik atau keterlibatan pada berbagai aktivitas keagamaan.
Berkaitan dengan kata “beragama” itu, C.Y. Glock & R. Stark dalam American Piety: The Nature of Religious Commitment (1968) menyebutkan lima dimensi keberagaamaan; belief dimension, ritual dimension, consequential dimension, experiential dimension dan knowledge dimension.
Menurut Jamaluddin Ancok (1994) lima dimensi keberagamaan rumusan Glock & Stark itu melihat keberagamaan tidak hanya dari dimensi ritual semata tetapi juga pada dimensi-dimensi lain. Ancok (1994) menilai, meskipun tidak sepenuhnya sama, lima dimensi keberagamaan rumusan Glock & Stark itu bisa disejajarkan dengan konsep Islam. Dimensi ideologis bisa disejajarkan dengan akidah, dimensi ritual bisa disejajarkan dengan syari’ah, khususnya ibadah, dan dimensi konsekuensial bisa disejajarkan dengan akhlak. Akidah, syari’ah dan akhlak adalah inti dari ajaran Islam. Dimensi intelektual mempunyai peran yang cukup penting pula karena pelaksanaan dimensi-dimensi lain sangat membutuhkan pengetahuan terlebih dahulu. Sedangkan dimensi eksperiensial dapat disejajarkan dengan dimensi tasawuf atau dimensi mistik.
Dalam perspektif Islam, keberagamaan harus bersifat menyeluruh sebagaimana diungkap dalam Al-Qur’an (2: 208) bahwa orang-orang yang beriman harus masuk ke dalam Islam secara menyeluruh (kaffah). Oleh karena itu seorang muslim harus mempunyai keyakinan terhadap akidah Islam, mempunyai komitmen dan kepatuhan terhadap syari’ah, mempunyai akhlak yang baik, ilmu yang cukup dan jiwa yang sufistik..
Dimensi Ideologis
Dimensi ini merupakan bagian dari keberagamaan yang berkaitan dengan apa yang harus dipercayai dan menjadi sistem keyakinan (creed). Doktrin mengenai kepercayaan atau keyakinan adalah yang paling dasar yang bisa membedakan agama satu dengan lainnya. Dalam Islam, keyakinan-keyakinan ini tertuang dalam dimensi akidah.
Akidah Islam dalam istilah Al-Qur’an adalah iman. Iman tidak hanya berarti percaya melainkan keyakinan yang mendorong munculnya ucapan dan perbuatan-perbuatan sesuai dengan keyakinan tadi. Iman dalam Islam terdapat dalam rukun iman yang berjumlah enam.
Dimensi Ritual
Dimensi ini merupakan bagian dari keberagamaan yang berkaitan dengan perilaku yang disebut ritual keagamaan seperti pemujaan, ketaatan dan hal-hal lain yang dilakukan untuk menunjukkan komitmen terhadap agama yang dianutnya. Perilaku di sini bukan perilaku dalam makna umum, melainkan menunjuk kepada perilaku-perilaku khusus yang ditetapkan oleh agama seperti tata cara beribadah dan ritus-ritus khusus pada hari-hari suci atau hari-hari besar agama.
Dimensi ini sejajar dengan ibadah. Ibadah merupakan penghambaan manusia kepada Allah sebagai pelaksanaan tugas hidup selaku makhluk Allah. Ibadah yang berkaitan dengan ritual adalah ibadah khusus atau ibadah mahdhah, yaitu ibadah yang bersifat khusus dan langsung kepada Allah dengan tatacara, syarat serta rukun yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an serta penjelasan dalam hadits nabi. Ibadah yang termasuk dalam jenis ini adalah shalat, zakat, puasa dan haji.
Dimensi Konsekuensial
Dimensi ini menunjuk pada konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkan oleh ajaran agama dalam perilaku umum yang tidak secara langsung dan khusus ditetapkan oleh agama seperti dalam dimensi ritualis. Walaupun begitu, sebenarnya banyak sekali ditemukan ajaran Islam yang mendorong kepada umatnya untuk berperilaku yang baik seperti ajaran untuk menghormati tetangga, menghormat tamu, toleran, inklusif, berbuat adil, membela kebenaran, berbuat baik kepada fakir miskin dan anak yatim, jujur dalam bekerja, dan sebagainya.
Perilaku umum ini masuk dalam wilayah hubungan manusia (hablum minannas) yang mestinya harus tidak bisa dipisahkan dari hubungan kepada Allah (hablum minallah). Dalam bahasa Hassan Hanafi (2003) iman dan praksis tindakan tidak boleh dipisahkan. Iman, menurutnya bisa bertambah dan berkurang oleh tindakan-tindakan yang dilakukan seseorang. Konsekuensi tindakan ini, dalam hal-hal tertentu, terkadang lebih berat daripada keyakinan dan ritual, sehingga, menurut pendapat Asghar Ali (1997) penolakan pemuka Makkah terhadap ajaran Muhammad bukan karena semata-mata penolakan ajaran tauhidnya, tetapi lebih karena konsekuensi-konsekuensi ekonomis dan politis yang harus ditanggung dari ajaran revolusioner teologi Muhammad.
Menurut Nasution (1985) tujuan ibadah atau ritual dalam Islam bukan hanya untuk menyembah Allah semata, melainkan untuk mendekatkan diri kepada Allah agar manusia selalu teringat kepada hal-hal yang baik dan suci sehingga mendorongnya untuk berperilaku yang luhur, baik kepada sesama manusia maupun kepada lingkungan alam sekitar.
Dimensi Eksperiensial
Dimensi ini adalah bagian dari keberagamaan yang berkaitan dengan perasaan keagamaan seseorang. Psikologi agama menyebutnya sebagai pengalaman keagamaan (religious experience) yaitu unsur perasaan dalam kesadaran agama yang membawa pada suatu keyakinan (Zakiah Darajat, 1996). Pengalaman keagamaan ini bisa terjadi dari yang paling sederhana seperti merasakan kekhusukan pada waktu shalat dan ketenangan setelah menjalankannya, atau merasakan nikmat dan bahagia ketika memasuki bulan Ramadlan.
Pengalaman yang lebih kompleks adalah seperti pengalaman ma’rifah (gnosis) yang dialami oleh para sufi yang sudah dalam taraf merasakan bahwa hanya Tuhanlah yang sungguh berarti, sehingga, jangankan dibanding dengan dunia seisinya, dibanding sorga seisinya pun, Rabi’ah al-Adawiyah justru lebih memilih shalat, karena dengan shalat ia akan ‘bertemu’ dan berkomunikasi dengan Tuhan. Bagi sufi setingkat Rabi’ah, komitmen menjalankan berbagai perintah agama bukan lagi karena melihatnya sebagai kewajiban, tetapi lebih didasarkan pada cinta (mahabbah) yang membara kepada Allah. Karena didasarkan dorongan cinta, maka apapun yang dilakukan terasa nikmat.
Pengalaman keagamaan ini muncul dalam diri seseorang dengan tingkat keagamaan yang tinggi. Dalam Islam pola keberagamaan bisa dibedakan dari yang paling rendah yaitu syari’ah, kemudian thariqah dan derajat tertinggi adalah haqiqah. Pola keberagamaan thariqah dan haqiqah adalah pola keberagamaan tasawuf. Tasawuf bertujuan memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan.
Dimensi Intelektual
Setiap agama memiliki sejumlah informasi khusus yang harus diketahui oleh para pemeluknya. Dalam Islam, misalnya ada informasi tentang berbagai aspek seperti pengetahuan tentang Al-qur’an dengan segala bacaan, isi dan kandungan maknanya, al-Hadits, berbagai praktek ritual atau ibadah dan muamalah, konsep keimanan, berbagai konsep dan bentuk akhlak, tasawuf, sejarah dan peradaban masyarakat Islam.
Implikasi dalam Pendidikan Agama
Melihat lima dimensi keberagamaan di atas, maka tugas pendidikan agama yang ingin membentuk siswa yang “beragama” akan meliputi wilayah yang cukup luas, paling tidak meliputi lima dmensi di atas. Masing-masing dimensi harus mendapatkan pengelolaan dan perlakuan berbeda, baik dari segi tujuan belajar, materi, pengalaman belajar, metode, media, perencanaan maupun teknik pengukuran dan penilaiannya.
Selain itu, Pendidikan Agama yang ada di sekolah juga mesti memperluas kerjasama dengan pihak-pihak luar sekolah seperti keluarga (orang tua siswa) dan masyarakat, karena keberagamaan anak tidak mungkin diukur hanya pada saat anak di sekolah saja. Ekspresi anak pada kehidupan yang sebenarnya, yaitu ketika mereka berada di luar sekolah justru obyek yang cukup representatif untuk melihat tingkat keberagamaan anak.
Melihat lima dimensi keberagamaan berikut implikasinya dalam Pendidikan Agama, maka implementasi Pendidikan Agama membutuhkan perencanaan, persiapan dan skill yang matang dari Guru Agama serta dukungan yang cukup dari Sekolah, orang tua serta masyarakat. Penerapan Competency Based Curriculum, merupakan acuan awal yang cukup mendukung untuk mengimplementasikan Pendidikan Agama yang kaffah yang bisa menyentuh berbagai dimensi keberagamaan.
DAKWAH BI AL-HAL:
Alternatif Model Dakwah Masa Kini
Pendahuluan
Dalam Munas Majelis Ulama Indonesia tahun 1985 dan dalam rakernya tahun 1987, telah mengambil keputusan tentang program dakwah bi al-hal. Salah satu rumusannya disebutkan bahwa tujuan dakwah bi al-hal antara lain untuk meningkatkan harkat dan martabat umat, terutama kaum dhu’afa atau kaum berpenghasilan rendah. Begitu juga halnya dengan Quraish Shihab, dalam bukunya “Membumikan al-Qur’an” beliau menyarankan agar pada masa sekarang ini (tahun 2000-an) gerakan dakwah yang harus segera digalakkan adalah dakwah bi al-hal atau dakwah pembangunan.
Realitanya konsep dakwah model ini kurang begitu menjadi pijakan bagi gerakan-gerakan dakwah yang dilakukan oleh lembaga maupun organisasi dakwah Islamiyah. Kalaupun ada gerakannya belum begitu massif dan radikal serta belum menyentuh tatanan sosial masyarakat yang membutuhkan. Dakwah yang dilakukan sifatnya masih menoton bahkan bisa dikatakan sudah melenceng dari apa yang diajarkan oleh Nabi Muhammad. Sebagaimana yang dikatakan oleh Munir Mulkhan bahwa dakwah selama ini terlalu sibuk mengurusi Tuhan, bukan manusia. Akibatnya dakwah gagal mengembangkan daya rasional dan sikap empiris, kecuali memaksa orang dan dunia sosial menyesuaikan doktrin dan mengancam memasukkan ke dalam neraka.
Berangkat dari wacana diataslah dalam tulisan ini akan sedikit diulas hal ihwal tentang dakwah bi al-hal, baik dari konsep maupun keefektifannya dalam masa kini ketika dihadapkan dengan permasalahan-permasalahan sosial. Seperti pengangguran, kemiskinan, dan sebagainya.
Makna Dakwah
Dakwah ibarat bolam (bola lampu) kehidupan, yang memberikan cahaya dan menerangi jalan kehidupan yang lebih baik, dari kegelapan menuju terang benderang, dari keserakahan menuju kedermawanan. Dakwah merupakan bagian yang cukup terpenting dalam bagi umat saat ini tatkala manusia dilanda kegersangan spiritual, rapuhnya akhlak, maraknya korupsi, kolusi dan manipulasi, ketimpangan sosial, kerusuhan, kecurangan dan sederet tindakan-tindakan lainnya. Jelas bahwa dakwah merupakan seruan atau ajakan kepada keinsafan, atau usaha mengubah situasi yang buruk kepada situasi yang lebih baik dan sempurna.
Muhammad Natsir dalam bukunya “Fiqhud Dakwah” mengatakan bahwa ada tiga metode dakwah yang relevan disampaikan ditengah masyarakat yakni dakwah bi al- lisan, bi al-kalam, dan yang terakhir bi al-hal. Dalam prakteknya dewasa ini, baru dakwah bi al-lisan yang sering dilakukan. Sementara dakwah bi al-kalam dan bi al-hal masih jauh dari harapan. Biarpun demikian, dewasa ini banyak organisasi/lembaga dakwah Islam mengambil peran dalam program dakwah bi al-hal seperti Muhammadiyah. Hal ini bisa dilihat pada produk-produk yang dikembangkan oleh Muhammadiyah sebagai konsekuensi dakwahnya seperti sekolah, madrasah, panti asuhan, yatim, koperasi dan sebagainya. Dari dakwah model Muhammadiyah tersebut kita dapat melihat bahwa dakwah tidak hanya dengan cara penyampaian secara lisan, tetapi juga dengan keteladanan dengan perbuatan nyata.
Muhammad SAW dan Dakwah bi al-Hal
Kalau kita mau melihat sejarah Muhammad SAW dalam menyampaikan dakwahnya, ia tidak hanya bertabligh, mengajar, atau mendidik dan membimbing, tetapi juga sebagai uswatun hasanah. Ia juga memberikan contoh dalam pelaksanaanya, sangat memperhatikan dan memberikan arahan terhadap kehidupan sosial, ekonomi seperti pertanian, peternakan, perdagangan dan sebagainya.
Dakwah Nabi pun dalam periode Mekkah penuh dengan pengorbanan-pengorbanan baik raga, harta benda, bahkan jiwanya terancam akibat percobaan pembunuhan serta yang lebih berat lagi adalah korban perasaan, dari pada fitnah berupa ejekan, cemooh, cerca, penderitaan karena dikucilkan dan sebagainya. Demikian pula dalam periode Madinah para sahabat dan para pengikut Nabi, mereka bekerja keras dalam berbagai sektor kehidupan sosial, ekonomi dan sebagainya, orang-orang dari Anshor sebagian memberikan tanahnya, ternaknya, hartanya, kepada orang-orang Muhajirin yang telah kehabisan bekal. Rasul menghimpun harta benda untuk kepentingan pertahanan negara dan sebagainya.
Jelaslah bahwa kalau kita mau bercermin pada sejarah Nabi, telah memberikan suritauladan dalam hidup dan melakukan dakwahnya beliau senantiasa menunjukkan satunya kata dengan tindakan. Nabi menunjukkan adanya kesatuan antara ucapan dan dengan perbuatan. Beliau tidak hanya hidup berdo’a dan berkhutbah, tanpa melakukan aksi sosial kemasyarakatan.
Reformasi Paradigma Dakwah
Dari teladan dakwah yang demikian, maka sesungguhnya dakwah bukanlah sekedar retorika belaka, tetapi harus menjadi teladan tindakan sebagai dakwah pembangunan secara nyata. Ini dikarenakan akibat semakin meluasnya dan semakin kompleksnya kebutuhan masyarakat yang perlu menerima dakwah, jadi dakwah harus menjadi “komunikasi non verbal” atau dakwah bi al-hal. Dalam artian bahwa, lembaga tidak hanya berpusat di masjid-masjid, di forum-forum diskusi, pengajian, dan semacamnya. Dakwah harus mengalami desentralisasi kegiatan. Ia harus berada di bawah, di pemukiman kumuh, di rumah-rumah sakit, di teater-teater, di studio-studio film, musik, di kapal laut, kapal terbang, di pusat-pusat perdagangan, ketenagakerjaan, di pabrik-pabrik, di tempat-tempat gedung pencakar langit, di bank-bank, di pengadilan dan sebagainya.
Model dakwah yang dilakukan secara verbal, oratorik dengan teks-teks al Qur’an dan Sunnah menempatkan dakwah dan pelakunya eksklusif selain menyimpang dari rahmatan lil ‘alamin dan juga dari tradisi kenabian Muhammad SAW. Hal itu meyebabkan kegagalan menampilkan Islam sebagai sesuatu yang menarik dan baik bagi semua orang dalam ragam hirarki keagamaan (santri abangan) faham keagamaan, golongan dan kelas. Bahkan merangkap Islam menjadi agama elit yang tidak terbuka bagi orang awam dan si miskin serta hanya beredar di dalam dirinya sendiri.
Karenanya dakwah penting mempertimbangkan tujuan lebih luas yang bisa diperankan hampir semua orang yang berminat menebarkan praksis, dan praktik kebaikan, keadilan, kesejahteraan, dan kecerdasan. Dakwah adalah kegiatan seni-budaya, politik, penelitian dan pengembangan iptek, produksi, pemasaran, jasa dan perdagangan, pendidikan, dan pers serta pembelaan mereka yang tertindas, melarat dan kelaparan. Dakwah bukan hanya khutbah, pengajian dan kepesantrenan atau hanya bagi lembaga dengan nama resmi Islam yang hanya melibatkan suatau kelas keagamaan (santri).
Dakwah seyogyanya diletakkan di atas fondasi promosi kemanusiaan sehingga memperoleh kemajuan empiris di bidang kesehatan mental dan jasmani, ekonomi, hak politik, cita rasa budaya, kecerdasan emosi dan pikiran, kekayaan informasi serta sikap kritis. Dengan dakwah orang bisa melampaui batas dan perangkap materialisasi sistem, negara dan syari’ah, untuk sampai ke suatu fase spiritual dan metafisis yang bebas di antara sesama dan dihadapan Tuhan.
Peran Organisasi/ Lembaga Dakwah dan Optimalisasi Dakwah bil Hal
Dalam al-Qur’an surat Ali Imron ayat 104 Allah menyebutkan, “Adakanlah di antara kamu umat yan mengajak kepada kebaikan, menyuruh kepada yang baik dan melarang untuk berbuat kemungkaran. Mereka itulah orang-orang beruntung”. Ayat ini dijadikan landasan bagi bagi banyak organisasi/lembaga dakwah, dalam mendirikan organisasi/lembaga dakwah, dan bagi menyusun strategi dakwah. Dalam ayat ini umat Islam di perintahkan untuk mengadakan suatu badan/kelompok yang mengambil tugas mengerjakan dakwah.
Tetapi hingga kini kegiatan lembaga-lembaga dakwah Islam yang dikelola oleh kalangan cendikiawan masih memberikan kesan adanya ciri-ciri intelektual salon. Masih kebanyakan diantara kegiatan itu berbentuk serasehan, diskusi, seminar dan pernyataan dan pernyataan-pernyataan yang politis atau kegiatan publisitas. Sedangkan kegiatan di lapangan masih relatif sedikit. Banyak diantara lembaga dakwah kurang terjun ke bawah. Semuanya masih memberikan kesan yang elitis. Kalaupun ada kegiatan yang merakyat sifatnya masih memberi kesan amat politis. Program-progam dakwah yang dijalankan masih kurang nyambung dengan lapisan masyarakat bawah.
Oleh karena itu sudah tiba waktunya bagi lembaga-lembaga dakwah Islamiyah untuk memulai program pembaharuan dakwah meyeluruh dan program masuk desa secara besar-besaran. Disini perlu ada beberapa langkah dan orientasi gerakan dakwah yang perlu dirumuskan ulang. Pertama, setiap gerakan dakwah perlu merumuskan orientasi yang lebih spesifik dalam memadukan dakwah bi al-lisan dengan bi al-hal bagi daerah atau masyarakat di pedesan. Hal itu diperlukan kekhususan potensi, masalah dan tantangan yang dihadapi tidak sama dengan penduduk dan daerah perkotaan.
Kedua, setiap gerakan dakwah perlu merumuskan perencanaan dakwah yang muatan misinya tetap sesuai dengan ajaran Islam yang dipesankan al-Qur’an dan al-Sunnah, namun orientasi programnya perlu perlu berdasarkan data empirik dari potensi, masalah, kebutuhan, dan tantangan yang dihadapi masyarakat. Ketiga, berkaitan dengan bentuk dan jenis program. Program dan kegiatan dakwah bagi masyarakat pedesaan harus dirumuskan secara lebih bervariasi dan lebih kongkrit berdasarkan kebutuhan, permasalahan, dan tuntutan konkrit masyarakat dakwah setempat.
Sesuai dengan tuntutan pembangunan umat, maka gerakan dakwah hendaknya tidak hanya terfokus pada masalah-masalah Agama semata, tetapi mampu memberikan jawaban dari tuntutan realitas yang dihadapi masyarakat saat ini. Umat Islam pada lapisan bawah, tak sanggup menghubungkan secara tepat isi dakwah yang sering didengar melalui dakwah bi al-lisan dengan realitas yang begitu sulitnya kehidupan ekonomi sehari-hari. Untuk gerakan dakwah dituntut secara maksimal agar mampu melakukan dakwah bi al-hal (dalam bentuk nyata). Dakwah harus mencakup perbuatan nyata (bi al-hal) yang berupa uluran tangan oleh si kaya kepada si miskin, pengayoman hukum, dan sebagainya. Perluasan kegiatan dakwah (desentralisasi) yang dibarengi oleh verifikasi mubaligh, akan sangat relevan dengan kebutuhan masyarakat kita, yang juga semakin beragam, serta meluasnya diverensiasi sosial.
Dakwah dengan tindakan nyata berupa bantuan materi: pangan gratis, susu gratis, pakaian gratis, pengobatan cuma-cuma, modal untuk membentuk koperasi kecil-kecilan, dana untuk pembuatan sumur-sumur bersih, memperbaiki gubuk tempat tinggal, membiayai sekolah anak-anak mereka, dan sebagainya. Pembangunan masjid juga merupakan bentuk dakwah nyata, tetapi dakwah pembangunan masjid ini tidak terlalu penting apabila jumlah jamaahnya semakin menipis.
Konsep dakwah juga adalah dakwah yang tidak menyempitkan cakrawala umat dalam emosi keagamaan dan keterpencilan sosial. Dakwah yang diperlukan adalah dakwah yang mendorong perluasan partisipasi sosial. Dakwah demikian juga akan memenuhi tuntutan individual misalnya, untuk saling menolong dalam mengatasi perkembangan atau perubahan sosial yang kian cepat.
Dalam persiapan untuk mulai melaksanakan dakwah bi al-hal diperlukan:
- adanya badan atau kelompok orang yang terorganisasi, walaupun kecil dan sederhana.
 - adanya tenaga potensial, terdiri dari beberapa orang dengan pembagian tugas sesuai kemampuan masing-masing seperti: tenaga pengelola/koordinator tenaga pelaksana di lapangan yang akrab dengan pekerja-pekerja sosial, tenaga yang berpengetahuan, tentang kesehatan, gizi, pertanian, koperasi dan sebagainya, dan tenaga mubaligh atau guru agama, dan yang terakhir tetapi sangat penting ialah tenaga penghimpun dana.
 - adanya dana dan sarana-sarana yang diperlukan.
 - adanya program walaupun sederhana, yang disusun berdasarkan data-data tentang sasaran yang dituju dan sebagainya.
 - adanya kontak-kontak terlebih dahulu dengan sasaran yang dituju, dengan instansi-instansi dan orang orang yang terkait.
 
Setelah persiapan matang, maka sesuai dengan hari tanggal yang telah ditentukan, mulai operasional, dengan cara selangkah, dari tepi-tepi mulai masuk ke tengah, dari yang sangat rendah dan ringan hingga yang lebih kompleks. Setelah tiap-tiap langkah diayunkan, perlu diadakan evaluasi, dalam rangka untuk memperbaiki langkah-langkah lebih lanjut.
Dalam membina dan membimbing masyarakat, digunakan asas, memberi pancing agar mereka dapat mencari ikan sendiri, dan bukannya selalu memberi ikan yang sudah matang kepada mereka. Pada dasarnya rakyat mau bekerja, suka kerja, yang perlu adalah diberikan bimbingan dan contoh bekerja yang berdaya guna, misalnya dalam bercocok tanam, beternak dan sebagainya. Petani miskin, sering kesulitan dalam mendapatkan bibit unggul, pupuk dan modal untuk mulai bercocok tanam, diberi modal dan teknik menanam yang baik. Kerja mencangkul itu pekerjaan yang berat, memerlukan energi yang cukup, sehingga orang lapar jelas tidak mampu mencangkul. Pemberian sekedar bahan makanan sebagai modal kerja, sering sangat diperluan.
Di Desa banyak tenaga anak-anak, remaja, pemuda, wanita yang menganggur, tetapi kerena tidak ada yang dikerjakan. Mereka akan senang jika diberi bibit ternak, diajak bekerja gotong royong, diberi bimbingan kerajinan dan sebagainya.
Mereka membutuhkan bantuan seperti tersebut di atas, mereka akan menjadi akrab dengan siapa yang membantu mereka dalam memenuhi kebutuhan mereka itu. Tabu bagi mereka untuk meminta-minta, tetapi mereka dengan senang hati menerima uluran tangan dari orang-orang yang mereka percayai. Demikianlah cara pendekatan dakwah bi al-hal, didekati kebutuhannya, didekati hatinya menjadi akrablah mereka. Dalam kondisi yang demikian mereka tidak akan sungkan-sungkan untuk diajak membangun desanya, membangun pribadinya dengan iman dan taqwa.
Penutup
Dakwah bil hal diharapkan menunjang segi-segi kehidupan masyarakat, sehingga pada akhirnya setiap komunitas memiliki kemampuan untuk mengatasi kebutuhan dan kepentingan anggotanya, khususnya dalam bidang ekonomi, pendidikan dan kesehatan masyarakat. Sebagai catatan akhir ketika masyarakat sekarang ini sedang dilanda berbagai ketimpangan, kesenjangan baik sosial, politik maupun ekonomi maka gerakan-gerakan dakwah Islam dituntut untuk lebih tampil sebagai pemandu dan pembimbing masyarakat dan pengayom.
Catatan;
H.S. Prodjokusumo, “Dakwah bi al-Hal Sekilas Pandang”, dalam, Tuntunan Tablig 1, Yogyakarta: Pustaka Suara Muhammadiyah, 1997. hal.221
Hamdan Daulay, Dakwah di Tengah Persoalan Budaya dan Politik, (Yogyakarta: LESFI, 2001). hal 4.
H.S. Prodjokusumo,…., hal.222.
Andi Abdul Muis, Komunikasi Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001) hal. 133
Abdul Munir Mulkhan, Teologi Kiri Landasan Gerakan Membela Kaum Mustadl’afin, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2002). hal.215
Haedar Nasir, Islam dan Prilaku Umat diTengah Perubahan, (Yogyakarta: Pustaka SM, 2002). Hal.83_

Tidak ada komentar:
Posting Komentar