
Iftitah
Salah satu doktrin yang sangat penting bagi Mu’tazilah adalah perihal kemakhlukan al-Quran. Doktrin ini mempunyai dua sisi tinjauan. Pertama, sisi teologis an‑sich yang berpangkal pada paham bahwa hanya Allahlah yang qadim, sedang semua diluar Allah adalah hadits, semua yang hadits adalah makhluk, jadi al-Quran karena di luar Allah adalah hadits dan makhluk. Kedua, sisi politis yaitu upaya pemasyarakatan doktrin ini pada umat Islam, dimana pemerintah ikut campur tangan dengan kekuasaannya bahkan tidak segan‑segan menggunakan kekerasan fisik. Sisi kedua inilah obyek kajian makalah ini.
Al-Mihnah: Tonggak Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Mu’tazilah
Al‑Mihnah yang mirip dengan inquisition berarti severe trial, ordinal tribulation (Hans Wehr, 1960: 895), yaitu pemeriksaan keras, cobaan berat dan kesengsaraan.
Dalam konteks Mu’tazilah, al‑Mihnah adalah suatu pemeriksaan, penyelidikan dan pemaksaan yang dilakukan oleh kaum Mu’tazilah terhadap para qadli dan para pejabat pemerintah serta tokoh masyarakat untuk mengakui paham kemakhlukan al-Quran sebagaimana dianut oleh kaum Mu’tazilah (Gibb, 1974: 377). Bagi qadli dan pejabat yang menerima paham ini maka putusannya dianggap sah, demikian halnya dengan kesaksian seorang saksi. Bagi mereka yang tidak menerima paham ini siksaanlah yang mereka terima.
Gerakan al‑Mihnah ini merupakan implikasi doktrin ketauhidan Mu’tazilah di samping doktrin yang lain yaitu Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Logika yang mereka pakai adalah dengan meyakini keqadiiman al-Quran berarti telah berbuat syirik, syirik adalah dosa besar, dan dosa besar harus diberantas sampai keakar‑akarnya meski dengan kekerasan.
Mereka berkeyakinan bahwa satu‑satunya sifat Tuhan yang betul‑betul tidak mungkin ada pada makhluknya adalah qadim (Nasution, 1986: 52), dengan keyakinan semacam ini tauhid akan murni dari syirik.
Al-Quran: Qadim atau Jadid?
Secara historis, paham kemakhlukan al-Quran ini sudah ada sejak masa Marwan bin Muhammad (Khaalifah terakhir dinasti Umayah). Paham ini dimunculkan buat pertama kali oleh al‑Ja’d bin Dirham, dari dialah Jaham bin Shafwan mengambil paham ini (Ahmad Amin, 1936: 162). Dalam perkembangan selanjutnya ketika Mu’tazilah telah menjadi paham resmi negara/pemerintah, doktrin kemakhlukan al-Quran ini menjadi issu yang sangat dominan. Mu’tazilah mencapai masa kejayaannya pada masa tiga khalifah Abbasiyah al‑Makmun, Al‑Mu’tashim dan al‑Watsiq sejak tahun 813 s/d 847 M, pada masa inilah gencar‑gencarnya gerakan al‑Mihnah.
Gerakan al‑Mihnah ini diawali dengan instruksi al‑Makmun kepada gubernur Baghdad Emier Ishaq bin Ibrahim tahun 218/833. Dalam suratnya ia menjalskan hal‑hal yang mendorongnya mengeluarkan instruksi itu. Ahmad Amin dalam bukunya Dluha Al‑Islam halaman 168‑169 menyimpulkan isi instruksi itu menjadi lima point, yang hakekatnya berpangkal pada keinginan Makmun menjaga kemurnian aqidah umat secara keseluruhan, baik ia sebagai pejabat pemerintah, ulama atau rakyat biasa. Surat yang sama juga beliau kirimkan kepada Gubernur Mesir, Kaidar, sehingga beliau menguji/menyelidiki Abdullah al‑Zuhri qodli Mesir kala itu.
Sasaran al‑Mihnah dalam instruksi pertama ini adalah para qadli, para pejabat peradilan juga para saksi dalam perkara yang dimajukan dalam pengadilan, karena ini merupakan syarat sahnya putusan pengadilan.
Instruksi kedua dikirim lagi kepada Ishaq bin Ibrahim untuk menguji tujuh ulama ahli hadits, yaitu Muhammad bin Sa’ad, Abu Muslim, Yahya bin Ma’in, Zuhair bin Harb, Ismail bin Dawud, Ismail bin Abi Mas’ud dan Ahmad bin al‑Dauraqi. Dalam pengujian itu mereka semua menerima paham kemakhlukan al-Quran (Ahmad Amin, 1936: 170).
Instruksi ketiga dikirim kepada Ishaq untuk menguji para pejabat pemerintah, fuqaha dan muhadditsin. Dari pengujian tersebut kebanyakan mereka memberikan jawaban yang tidak tegas menerima atau menolak, mungkin ini dilakukan untuk menghindari siksaan. Diantara yang berbuat demikian adalah Basyar bin al‑Walid, Ali bin Abi Muqatal, Ahmad bin Hambal dan Ibnu al‑Baka’ (Ahmad Amin, 1936: 170).
Khalifah Makmun tidak puas dengan jawaban mereka yang tidak tegas itu, sehingga Ishaq mengumpulkan lagi 30 orang terdiri dari qodli, muhadditsin dan fuqaha’. Kebanyakan mereka mengakui kemakhlukan al-Quran kecuali empat orang saja; Ahmad bin Hambal, Sajadah, Qawadiri dan Muhammad bin Nuh. Mereka dibelenggu dan disiksa, akhirnya tingal dua orang saja yang bertahan Ahmad bin Hambal dan Muhammad bin Nuh (Ahmad Amin, 1936: 177).
Pengganti al‑Makmun adalah al‑Mu’tashim (833‑842 M) ia tetap menjalankan al‑Mihnah ini, Ahmad bin Hambal tetap pada pendiriannya maka ia dijebloskan ke penjara. Khalifah berikutnya al‑Watsiq (842‑847 M). Di awal pemerintahannya ia menampakkan kekerasannya seperti al‑Makmun, namun pada akhir pemerintahannya ia berbalik dan menyesali semua tindakannya, bahkan ia berusaha menghapuskan gerakan al‑Mihnah dan paham kemakhlukan al-Quran ini (Abu Zahrah: 173).
Perkembangan Pemikiran Teologis Mu’tazilah Sebagai Aliran
Gerakan al‑Mihnah ini ternyata membawa dampak yang kurang menguntungkan bagi Mu’tazilah sebagai aliran. Mereka mendapat tantangan keras dari umat Islam lain setelah mereka berusaha di abad kesembilan untuk melaksanakan paham‑paham mereka dengan memakai kekerasan pada umat Islam yang ada pada waktu itu. (Nasution, 1974: 40). Setelah kejadian itu kaum Mu’tazilah tidak lagi mempunyai peranan politik yang berarti (Watt, 1987: 78).
Pemikiran rasional dan sikap kekerasan Mu’tazilah ini memicu lahirnya aliran‑aliran teologi lain dalam islam karena Mu’tazilah semakin kehilangan simpati umat disatu pihak, dipihak lain keadaan semacam ini justru mendongkrak kedudukan muhadditsin ke tingkat yang lebih tinggi di mata umat. Keadaan semakin parah ketika al‑Mutawakkil, pengganti wal‑Watsiq, membatalkan Mu’tazilah sebagai paham negara tahun 848 M. Sehingga keadaannya menjadi berbalik, Ibnu Hambal serta ulama muhadditsin lebih dekat dengan penguasa, sedang Mu’tazilah jauh dari penguasa. Terlebih lagi Mu’tazilah mengalami konflik intern dengan banyaknya pemikir‑pemikir Mu’tazilah yang meninggalkannya, seperti: Abu Isa al‑Warraq, Abu Husain Ahmad Ibnu Rawandi juga Abu Hasan al‑Asy’ary (Nasution, 1986: 68). Di saat seperti ini aliran Asy’ariyah cepat diterima rakyat banyak.
Pada masa dinasti Buwaihi (945‑1055), Mu’tazilah mendapat angin segar kembali, karena Ahmad Ibnu Buwaihi kepala dinasti yang menyerang Baghdad tahun 945 M. beraliran Syi’ah yang cenderung rasionalis. Kalau dahulu Mu’tazilah ditopang oleh al‑Makmun, maka sekarang Sahib Ibnu Abdadlah (977‑995 M) Perdana Menteri dari Sultan Fakhr al‑Dawlah yang menopang kekuatan Mu’tazilah. Filosof‑filosof besar banyak yang muncul pada masa ini, seperti al‑Farabi, Ibnu Maskawih, al‑Ghazali, al‑Biruni dan Ibnu Haitami.
Dinasti Buwaihi akhirnya digulingkan oleh Tughril dinasti Saljuq pada tahun 1055 M, namun belum bisa menggoyahkan kedudukan Mu’tazilah, karena Tughril mempunyai perdana menteri yang beraliran Mu’tazilah yaitu Abu Nasr Muhammad Ibnu Mansur al‑Kunduri (416‑456 H), (Nasution, 1986: 74).
Setelah meninggalnya Tughril Bek, Mu’tazilah menurun kembali karena penggantinya Alp Arselan menangkat Nizam al‑Muluk seorang Asy’ariyah menjadi perdana menteri. Mulai saat inilah Mu’tazilah sebagai aliran berangsur‑angsur menghilang sampai tujuh (7) abad lamanya, dan baru pada awal abad kesembilan belas muncul kembali namun bukan merupakan aliran/kelompok, tetapi cenderung sebagai cara pandang/wawasan dalam memahami agama. Tokoh‑tokoh kebangkitan kembali Mu’tazilah ini seperti Jamaluddin al‑Afghani, Mohammad Abduh, Ahmad Amin dan sebagainya.
Al‑Mihnah Dalam Sorotan
Sebagaimana telah dipaparkan di awal tulisan ini, bahwa dimungkinkan menggunakan dua pendekatan terhadap al‑Mihnah, karena ia berdimensi ganda, yaitu dimensi teologis dan dimensi politis. berdimensi teologis karena muatan peristiwa al‑Mihnah masalah khalq al-Quran sedangkan dimensi politis, karena pengambil keputusan dalam peristiwa ini adalah seorang penguasa, bukan dalam kapasitasnya sebagai seorang pemikir.
Dari dua pendekatan tersebut, penulis cenderung mendekati dari dimensi politik. Ada dua pertimbangan yang memperkuat pandangan penulis, yaitu:
Pertama, pengambil keputusan dalam masalah al‑Mihnah adalah seorang penguasa, bukan seorang pemikir, betapapun tidak tertutup kemungkinan bahwa al‑Makmun berada dalam bayang‑bayang pikiran Mu’tazilah.
Kedua, Khalq al-Quran yang tampaknya menjadi persoalan utama dalam kasus al‑Mihnah, hanyalah salah satu indikator dari sikap pemerintah al‑Makmun, bukan sebagai persoalan yang sebenarnya (crucial points), karena ada yang lebih penting dan mendasar dari pada masakah khalq al-Quran. Masalah pokok yang sesungguhnya adalah suatu pergulatan antara pemerintah yang berhaluan rasional dalam melihat persoalan‑persoalan teologis dengan kelompok ahli hadits yang berhaluan tradisional dan tekstual.
Sebagaimana tercatat dalam lembaran sejarah Islam, pada tahun 750 M. sampai dengan 1000 M., di kalangan umat Islam sedang terjadi gelombang pemikiran yang begitu besar, pada saat mana umat Islam sedang mentransformasi keilmuan Yunani secara besar‑besaran. Harun al‑Rasyid, al‑Makmun dan al‑Mu’tashim adalah diantara khalifah Abbasiyah yang dikenal sebagai orang yang sangat besar komitmennya pada usaha transformasi pemikiran Yunani ini. (Nasr, 1986: XIV). Transformasi pemikiran Yunani secara besar‑besaran ini oleh Dr. Muhammad Ghallab disebut sebagai gelombang pemikiran kedua dalam masyarakat Islam. (Ghallab, t.t.: 121).
Al‑Mihnah (inquisition) yang dilancarkan oleh al‑Makmun tidaklah sama dengan inquisition yang terjadi di Spanyol. Karena al‑Mihnah yang dilancarkan oleh al‑Makmun ini semacam “liberalisme” Mu’tazilah melawan mereka yang menghalangi liberalisme khususnya kaum fundamentalis. Sedangkan inquisition di Spanyol yang kemudian melanda Eropa adalah sebaliknya, yaitu atas nama paham agama yang fundamentalistik dan sempit, melawan pikiran liberal yang menjadi paham para pengemban ilmu pengetahuan, termasuk para failasuf yang saat itu banyak belajar dari warisan pemikiran islam. (Nurcholis Madjid, 1992: 216)
Fakta sejarah ini menunjukkan bahwa Mu’tazilah sebagai sebuah aliran teologi tidaklah bertanggung jawab dalam kasus al‑Mihnah, meskipun al‑Makmun berada dalam bayang‑bayang pemikiran Mu’tazilah. Sebagai seorang pemegang kekuasaan, al‑Makmun dengan kebijakan politiknya tersebut sdah barang tentu tidak hanya sekedar berkepentingan dengan masalah khalq al-Quran yang menjadi ajang perselisihan antara kelompok Mu’tazilah dengan kelompok ahli hadits, tetapi lebih jauh dari itu yaitu berbentangnya jalan bagi liberalisme dalam pemikiran‑pemikiran keagamaan, disamping menginginkan adanya kesamaan pandang umat Islam dalam masalah yang bersifat teologis.
Mengenai sementara pandangan bahwa kasus al‑Mihnah menjadi faktor sirnanya paham Mu’tazilah setelah periode al‑Mu’tashim, mungkin masih perlu dilakukan tinjauan yang lebih teliti lagi. Sebab jika dilihat dari kasus mihnah tersebut, paham Mu’tazilah nampaknya hanya diterima oleh sebagian kecil umat Islam yaitu kalangan intelektual dan pemerintah, sementara di sisi lain, kelompok ahli hadits mempunyai pengaruh yang luas dan mengakar di kalangan masyarakat. Maka kemungkinan besar faktor kurang berkembangnya pemikiran Mu’tazilah karena transformasi pemikiran Yunani belum benar‑benar diterima oleh kebanyakan umat islam semenjak kehadirannya di tengah‑tengah mereka, karena pola pikir tradisional telah lebih dulu berkembang dan mengakar pada mereka. Bahkan hingga saat ini tidak berkembangnya ajaran‑ajaran Mu’tazilah karena tidak mudahnya pikiran Mu’tazilah diterima oleh pemikir Islam yang telah terbentuk dalam alam pikiran tradisional.
Semoga tulisan ini mempunyai dampak positif dalam pengembangan pemikiran Islam baik bagi penulis sendiri maupun bagi pembaca yang budiman.
Referensi:
Amin, Ahmad, Duha al‑Islam, Juz III, Mesir: al‑Nahdlah al‑Misriyah, 1936.
Abu Zahrah, Muhammad, Ahmad, Tarikh al‑Madzahib al‑Islamiyah, Mesir: al‑Maktabah al‑Mahmudiyah, t.t.
Ghallab, Muhammad, Al‑Ma’rifah ‘Inda Mufakkiri al‑Muslimin, Mesir: Darul Misriyah, t.t.
Gibb, H.A.R, dan Kramer, Shorter Encyclopedia of Islam, Leiden: EJ. Brill, 1974.
Madjid, Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992.
Nasr, Sayyed Husein, Tiga Pemikir Islam, Bandung: Risalah, Terj. Ahmad Mujahid, Lc., 1986.
Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, Jakarta: Bulan Bintang, 1974.
——, Teologi Islam, Jakarta: UI. Press, 1986.
Watt, W. Montgomery., Pemikiran Teologi Dan Filsafat Islam, Terj. Umar Basalim, Jakarta: P3M, 1987.
Wehr, Hens, A Dictionary of Modern Written Arabic, Ithaca: ed. J. Milton Cowan, Ithaca, 1960.
WARISAN YUNANI, ISKANDARIAH DAN TIMUR (ASIA):
SUASANA TIMUR DEKAT PADA ABAD KETUJUH[1]
Oleh: Majid Fakhry
Penaklukan Arab atas Timur Dekat telah selesai menjelang tahun 541, ketika Iskandariah jatuh ke tangan Jenderal Arab, ‘Amr ibn al-’Ash. Kebudayaan Yunani telah tumbuh subur di Mesir, Syria dan Irak sejah masa Iskandar Agung. Tetapi, jatuhnya kota Iskandariah telah menundukkan mereka di bawah kekuasaan Arab, dan mengakhiri abad-abad lama kekuasaan kekuasaan Persia dan Bizantium di wilayah tersebut.
Beberapa alasan telah dikemukakan berkenaan dengan cepatnya proses penaklukan itu. Tindakan perluasan Kaisar Romawi, Heraclius, pada tahun 610, menimbulkan suatu masa perseteruan sengit antara orang-orang Persia dan Bizantium yang telah terlibat dalam suatu pertempuran panjang untuk memperoleh pengaruh militer di Timur Dekat. Hal ini tentu saja sangat melemahkan kekuatan kedua belah pihak yang telah bertarung sedemikian lama, sehingga tentara Arab berhasil mencatat serangkaian kemenangan yang menentukan terhadap kedua pasukan yang jauh lebih unggul dan banyak jumlahnya, meskipun orang-orang Arab sebenarnya belum banyak berpengalaman dalam perang-perang berskala besar.
Selain itu, perbedaan dan perseteruan keagamaan, di mana terlibat orang-orang sekte Nestorian, Monofisite dan Meichite (aliran ortodoks) menimbulkan rasa tidak puas dan senang penduduk Mesir, Syria dan Irak. Dalam keadaan seperti itu, tidak heran kalau orang-orang Arab disambut sebagai pembebas oleh sebagian besar orang-orang yang berharap agar orang-orang Arab itu akan dapat melenyapkan penindasan opresif dari Konstaninopel yang dilakukan dengan dalih menjaga kemurnian (ortodoksi), terutama sejak masa pemerintahan Justinian (527-565).
Iskandariah merupakan pusat studi filsafat dan teologi Yunani yang sangat penting pada abad ketujuh, sekalipun tentu saja bukan satu-satunya. Di Syria dan Irak, (filsafat dan teologi) Yunani sudah dipelajari sejak abad keempat; tepatnya di kota Antioch, Haraan, Edessa dan Qinnesrin di (kawasan) Syria Utara, dan di kota Nisibis dan Ras’aina di dataran tinggi Irak. Pusat-pusat studi ini masih berkembang subur ketika pasukan Arab memasuki wilayah Syria dan Irak. Kajian mengenai Yunani telah diupayakan, terutama sebagai cara untuk memberi kunci masuk ke dalam naskah-naskah teologi yang mengalir, terutama dari Iskandariah kepada para sarjana Syria dari pelbagi lembaga yang patut dihormati ini. Pada saat itu berbagai risalah teologi diterjemahkan ke dalam bahasa Syria, khususnya karya Eusebius: “Sejarah Gereja-gereja”, “Pengakuan” yang dianggap berasal dari St. Clement dari Iskandariah, “Theophany” karya Eusebius, “Discourses” karya Titus dari Bostra untuk melawan kaum Manichaean, dan karya-karya Theodor dari Mopseustia serta Diodorus dari Tarsus.[2]
Bersama dengan terjemah naskah-naskah teologis itu, seringkali diikutsertakan terjemah karya-karya yang berkaitan dengan logika. Hal ini didorong oleh kebutuhan untuk meneliti makna yang lebih dalam tentang konsep-konsep teologis dan proses dialektis yang dikenalkan dalam perdebatan kristologis pada masa itu. Tetapi perlu dicatat, bahwa para penerjemah itu tidak meneruskan terjemah mereka sampai pada Isagoge Porphyry, Categories, Hermeutica dan Analytica Priora.[3] Sebagaimana terbukti dalam tradisi yang dinisbatkan atas nama Al-Farabi dalam sumber-sumber yang berbahasa Arab, bahwa studi-studi logika tidak dikejar sampai ada Analytisa Priora, karena adanya bahaya-bahaya yang terkandung dalam mempelajari argumen-argumen demonstratif dan sofistis.[4]
Penaklukan oleh bangsa Arab pada umumnya tidak mengganggu penelitian akademik yang dilakukan para sarjana di Edessa, Nisibis dan pusat-pusat studi lainnya di Timur Dekat. Salah satu indikatornya adalah kenyataan bahwa Edessa (Arb.: Al-Ruha) terus berkembang dengan baik sampai dasa warsa terakhir abad ketujuh Karya teologis dan filosofis yang agung dari salah seorang pakarnya yang terkemuka, Jacob dari Edessa (w. 708) merupakan sebuah monumen yang menandai kebebasan berpikir yang ia nikmati bersama-sama dengan rekan-rekannya yang lain.[5]
Studi-studi teologis masih terus ditekuni tanpa mengalami hambatan pada abad ketujuh di biara Monofisit Qinnesin di Syria Utara. Biara yang didirikan John bar Aphtona (w. 538) pada abad keenam, telah menghasilkan sejumlah sarjana, seorang di antaranya yang paling menonjol ialah Severus Sebokht (w. 667). Ia menyusun beberapa komentar tentang Hermeneutica dan Rethorica Aristoteles dan menulis risalah tentang Syllogisme Analytica Priora.[6] Murid Severus yang paling terkenal ialah Jacob dari Edessa, yang karya-karyanya meliputi bidang yang amat luas, seperti: teologi, filsafat, geologi, tata-bahasa dan kajian ilmiah lainnya. Karya-karya filosofis Jacob yang ada pada kami adalah Risalah tentang Terma-terma Teknis, Enchiridion, dan terjemah Categories[7] (ke dalam bahasa Arab).
Biara Qinnesin menghasikan dua sarjana lainnya yang terkemuka: Athanasius dari Balad (w. 696) dan muridnya, George, seorang Uskup Arab (w. 724) yang kedua-duanya telah menerjemahkan dan mengomentari Categories, Hermeneutica dan buku pertama dari Analytica Priora karya Aristoteles, seperti halnya Isalog karya Porphyry.[8] Begitu tinggi Renan menilai karya George, sehingga ia menyatakan bahwa “di antara para penafsir Syria, tidak ada seorang pun yang dapat menandingi artipenting kecermatannya dalam memberikan penjelasan.[9]
Masih ada dua lembaga studi Yunani lain yang penting pada abad ketujuh di Harran dan Jundishapur. Harran, kota di sebelah utara Syria telah menjadi tempat bermukim aliran para pemuja bintang, yang selama masa pemerintahan Abbasiyah disebut sebagai kaum Sabaean (Arb: Al-Shaba’ah) yang disebut dalam al-Quran. Agama mereka, seperti juga pengaruh-pengaruh Helenistik, Gnostik dan Hermetik, mampu membuat kaum Harran bertindak secara istimewa sebagai mata rantai penyebaran ilmu Yunani kepada orang-orang Arab, dan dari permulaan abad kesembilan mampu melengkapi istana Abbasiyah dengan sekelompok Astrolog yang terpilih. Kita memiliki kesempatan untuk memperhitungkan sumbangan yang diberikan oleh beberapa sarjana Harran yang utama, seperti Tsabit bin Qurra yang termasyhur (w. 901), puteranya, Sinan, dan dua orang cucunya, Tsabit dan Ibrahim, dalam studi matematika dan astronomi serta peranan mereka dalam menyebarkan ilmu Yunani di kalangan orang-orang Arab.
Perguruan Jundishapur, yang didirikan oleh Chosrous I (Anushirwan) sekitar tahun 555 dianggap sebagai lembaga utama pengajian Helenik di Asia Barat, yang pengaruhnya telah menyebar ke dunia Islam pada masa pemerintahan ‘Abbasiyah. Guru-gurunya yang beraliran Nestorian, oleh Chosrous yang bijaksana diperkenankan untuk menekuni studi-stdi ilmiah mereka dan merumuskan tradisi-tradisi keilmuan Syria-Yunani. Guru Yunani disambut oleh kalangan istana Persia, ketika sekolah Athena ditutup atas perintah Kaisar Justianus, dan guru-guru pagan diperiksa untuk menghindarkan diri dari persekusi tahun 529. Pada saat itu sekolah Jndishapur dengan fakultas kedoteran, akademi dan observatoriumnya mencapai puncak kemasyhurannya dan masih berkembang dengan pesat ketika kota Baghdad didirikan pada tahun 762 oleh Khalifah ‘Abbasiyah di al-Manshur. Karena Jundishapur berdekatan dengan Baghdad, relasi politis orang-orang Persia dengan Khalifah ‘Abbasiyah sangat erat. Akhirnya, dari sekolah inilah perkembangan ilmiah dan intelektual menyebar ke seluruh kerajaan Muslim. Sejak awal Jundishapur telah menyumbang kepada Khalifah di Baghdad sejumlah dokter-dokter istana, seperti halnya sejumlah keluarga Nestorian, Bakhtishu yang terkenal, yang mengabdi kepada Khalifah dengan setia lebih dari dua abad. Mereka juga banyak membantu pembangunan rumah-rumah sakit dan observatorium di Baghdad dengan mengikuti model Jundishapur, selama masa pemerintahan Harun al-Rasyid (786-809) dan penerusnya al-Ma’mun (813-833)[10]
Perhatian kepada filsafat dan ilmu-ilmu teoritis juga banyak muncul, berkat dorongan sekolah Jundishapur. Seorang Persia, yaitu Yahya al-Barmaki (w. 657), menteri dan penasihat Harun al-Rasyid, yang antusiasmenya luar biasa terhadap studi-studi Helenis, sangat membantu perkembangan penerjemahan karya-karya Yunani ke dalam bahasa Arab. Dan seorang murid Jibril bin Bakhtishu-lah, yaitu Yuhanna bin Masawayh (w. 857), guru Hunain Agung, yang menjadi penerjemah Arab pertama yang paling menonjol dari karya-karya Yunani. Ia juga menjadi Kepala Sekolah Baghdad (Bait al-Hikmah) pertama, yang didirikan oleh al-Ma’mun pada tahun 830.
[1] Diterjemahkan oleh Muhsin Hariyanto, dari Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, New York & London: Columbia University Press: 1970
[2] Duval. Histoire d’Edesse, h. 162 dan Wright, History of Syriac Literature, h. 61 dst.
[3] Lihat Georr, Les Categories d’Aristote dans leurs versions syro-arabes, h. 14, Baumstark, Geschichte der Syrischen Literatur, h. 1001; dan Wright, History of Syrac Literaure, h. 74 ds.t.
[4] Lihat Ibnu Abi Ushaybi’ah, ‘Uyun a-Anba’, II, h. 134 dst. Bandingkan dengan yang di bawah h. 61 dst.
[5] Untuk kegiatan literal Jacob, lihat Duval, Histoire ‘Edesse, hh. 244-51.
[6] Georr, Les categories, h. 25 dst. Duval, La literature Syriaque, h. 257. Wrigh History of Syriac Literature, h. 138.
[7] Georr, Les categories, h. 27, dan Baumstark, Geschichte, hh. 248-56. Wright menentang bahwa karya terakhir itu karangan Jacob(History of Syriac Literature, h. 91)
[8] Wright, History of Syriac Literature, hh. 155 dst., dan Duval, La Literature syriaque, hh. 258 dst.
[9] Renan, De philosophia peripatetica apud Syros, h. 33/
[10] Ibn al-Ibri, Mukhtashar Tarikh al-umam, h. 130; dan Hitti, History of the Arabs, h. 309, 365, 373.
KHAWARIJ
(Sejarah, Pemikiran dan Gerakan)
Iftitah
Kekalahan pihak ‘Ali Ibn Abi Thalib yang diwakili oleh Abu Musa al‑Asy’ari dalam tahkim dengan pihak Mu’awiyah Ibh Abi Sufyan yang diwakili oleh Amr Ibn al-Ash, yang mengakibatkan ‘Ali kehilangan kedudukannya sebagai khalifah secara “de jure” (Nurcholis Madjid, 1984: 11), menimbulkan luka dan kekecewaan yang sangat dalam di kalangan para pengikutnya. Karena peristiwa tersebut, maka terpecahlah para pengikut ‘Ali. Mereka yang tidak menyetujui hasil perundingan lalu memisahkan diri dan mengadakan perlawanan, bukan hanya terhadap ‘Ali saja, tetapi juga terhadap Mu’awiyah dan pihak lain yang menyetujui perundingan tersebut. Kelompok pembangkang inilah yang lalu dikenal dengan nama Khawarij.
Peristiwa politik yang kontroversial inilah yang membidani lahirnya ide‑ide teologi Khawarij, berangkat dari masalah yang bersifat murni kepentingan politk menuju kepada pandangan dan sikap teologis radikal dan ekstrem dengan menghukumi para tokoh pelaku politik tersebut sebagai berdosa besar, kafir dan yang pantas dibunuh (Nurcholis Madjid, 1992: 206), karena mereka dipandang tidak berhukum dengan hukum Allah. Oleh karena itu mereka berusaha membunuh para tokoh pelaku politik tersebut, tetapi hanya ‘Ali yang berhasil mereka bunuh melalui tangan ‘Abd ar‑Rahman Ibn Muljam.
Prinsip Teologi Khawarij
Seperti yang banyak terjadi dalam sejarah gerakan umat islam, gerakan Khawarij mempunyai aspek politik dan keagamaan. Ia dapat dianggap sebagai rangkaian pemberontak politik yang berdampak besar terhadap bidang teologi (Watt, 1987: 64). Pada perkembangan selanjutnya masalah pemikiran teologis lebih merupakan ciri khas dan dominan bagi Khawarij. Ini dapat dilihat dari ajaran‑ajaran pokoknya. Memang dalam bidang politik mereka juga mempunyai prinsip‑prinsip yang nampak demokratis (Nasution, 1986: 12). Adapun ajaran‑ajaran pokoknya adalah sebagai berikut:
A. Dalam Bidang Kalam (Teologi)
Paham mereka dalam bidang ini lebih banyak terfokus pada masalah dosa besar dan atribut bagi pelakunya. Mereka memandang bahwa pelaku dosan besar berarti telah kafir dan boleh dibunuh. Para pelaku tahkim, yakni Abu Musa Al-Asy’ari, Amr Ibn al-Ash, Ali Ibn Abi Thalib dan Mu’awiyah Ibn Abi Sufyan, dalam pandangan mereka telah kafir, karena mereka telah melakukan dosa besar yaitu tidak berhukum dengan hukum Allah pada waktu melaksanakan perundingan (Nasution, 1986: 14), dan oleh karena itu mereka boleh dibunuh. Begitu juga para pelaku dosa besar seperti zina, membunuh manusia tanpa alasan yang benar, juga telah kafir dan harus dibunuh. Mereka mendasarkan legitimasi ajarannya pada Q.S. Al‑Maidah, 5: 44). Dengan dasar ayat tersebut maka muncul semboyan mereka yang terkenal Lâ hukma illâ lillâh (Asy-Syahrastani, 1978: 117).
Di antara ajarannya yang lain adalah menolak paham syafa’at menyatakan jihad sebagai rukun Islam keenam. (Siddiqi, 1985: 80). Dalam hal perbuatan manusia, mereka berpendapat bahwa manusia mampu sepenuhnya memilih dan menentukan tindakannya sendiri yang baik maupun buruk. Justeru karena kemampuannya itu manusia dituntut pertanggung jawabannya di hadapan umat dan Tuhan. Mereka dengan gigih membela keadilan Tuhan berdasarkan kebebasan manusia (Nurcholis Madjid, 1984: 13). Secara logis dan historis nampak bahwa paham ini mereka kembangkan sebagai reaksi terhadap praktek‑praktek Bani Umayah di Damaskus yang semakin sewenang‑wenang. (Nurcholis Madjid,1984: 12)
B. Dalam Bidang Siyasah (Ketatanegaraan)
Sebagai gerakan sosial politik, Khawarij dapat dikatakan tidak mengalami sukses. Mereka selalu dikejar‑kejar dan ditindas oleh setiap kekuasaan yang mapan, sehingga membuat mereka mengalami disintegrasi dan menyebar ke seluruh penjuru dunia Islam. ((Nurcholis Madjid,1984: 10)
Dalam bidang politik kaum Khawarij mempunyai paham yang demokratis. Ini terbukti dari ajaran‑ajarannya yang cukup melawan arus saat itu bahwa khalifah tidak harus dari bangsa Quraisy. Siapa saja yang menjalankan syari’ah islam, adil dan mampu, berhak untuk menduduki jabatan itu. (Nasution, 1986: 13). Selain itu, syarat‑syarat khalifah adalah pribadi yang memiliki kualitas terbaik, bertaqwa, dekat dengan rakyat dan dibai’at. (Siddiqi, 1985: 80).
Prinsip‑prinsip tersebut bila dibiarkan berkembang dapat membahayakan kedudukan dinasti Bani Umayah yang telah dibangun oleh Mu’awiyah dengan segala cara. Itulah sebabnya dinasti ini berusaha sekuat tenaga untuk menumpas gerakan Khawarij.
Sekte-sekte Khawarij dan Ajarannya
A. Sebab‑sebab Timbulnya Sekte‑sekte
Banu Tamim, yang dulunya adalah para pengikut setia Ali, merupakan inti penggerak munculnya golongan Khawarij. (Shiddiqi, 1984:. 71). Mereka adalah orang‑orang badui yang hidupnya di padang pasir tandus, nomaden, sederhana dalam hidup dan pemikiran tetapi keras hati dan merdeka, sehingga tidak suka bergantung pada orang lain dan sukar di atur. Ajaran al‑Quran dan Hadits tidak merubah sifat‑sifat mereka tersebut. Mereka tetap bengis dan suka kekerasan serta mudah salah paham. Agama mereka pahami secara lafzi dan tanpa wawasan yang luas. Sikap fanatik dan sempit itulah yang menyebabkan mereka tidak bisa toleran dengan orang yang berbeda paham dari mereka. (Harun Nasution, 1986: 13) Dengan sikap fanatik tersebut mereka berusaha membentuk masyarakat yang semurni‑murninya dan sesuci‑sucinya dipandang dari ajaran Islam sesuai dengan tafsiran mereka. Maka dapat dibayangkan bahwa mereka rawan sekali terhadap perbedaan tafsiran ajaran agama yang membawa mereka kepada perpecahan demi perpecahan dan amat melemahkan gerakan mereka sendiri. (Harun Nasution, 1984: 13)
B. Sekte‑sekte dan Ajaran Masing‑masing
Perbedaan pendapat di kalangan Khawarij menimbulkan berbagai sekte yang bervariasi sikap penampilan dan pandangannya. Diantara berbagai sekte tersebut, ada yang fanatik sekali dengan golongannya dan ada pula yang moderat. Al Baghdadi mencatat ada 20 sub‑sekte (al‑Baghdadi, 1977: 17‑18), sedangkan menurut Asy-Syahrastani ada 18 sub‑sekte (Asy-Syahrastani, 1978: 114‑137). Adapun Prof. Dr. Harun Nasution menggolongkan Khawarij menjadi 6 sekte utama (Harun Nasution, 1986: 13‑21), yaitu:
1. Al‑Muhakkimah
Sekte ini yang muncul pertama kali sebagai reaksi langsung atas tahkim yang mengecewakan mereka (Asy-Syahrastani, 1978: 115), sehingga dapat digolongkan sebagai Khawarij yang asli. Semboyannya yang utama dan pertama adalah La hukma illa lillah. Ajaran pokok sekte ini adalah para pelaku tahkim dan yang menyetujuinya adalah kafir dan termasuk orang‑orang yang berdosa besar seperti zina dan membunuh manusia tanpa dasar yang benar, sehingga telah keluar dari Islam (Nasution, 1986: 14). Mereka memilih Abdillah Ibn Wahb ar-Rasibi menjadi imam mereka sebagai ganti ‘Ali Ibn Abi Thalib (Nasution, 1986: 11). Ajarannya yang lain adalah Khalifah tidak harus dari bangsa Quraisy. Bahkan lembaga imam itu sendiri tidak harus ada, bisa diadakan bila memang diperlukan (Asy-Syahrastani, 1978: 116). Sekte ini berhasil ditumpas oleh ‘Ali di Nahrawan, hanya 10 orang dari mereka yang bisa meloloskan diri (Asy-Syahrastani, 1978: 117).
2. Al‑Azariqah
Setelah al‑Muhakkimah dapat ditumpas ‘Ali, muncul Nafi’ Ibn al‑Arzaq yang dibuat oleh 20 ribu pengukutnya sebagai khalifah. Wilayahnya terletak di daerah per‑batasan Iran dan Irak. Sekte ini lebih radikal dari pada al‑Muhakkimah. Mereka tidak lagi memakai term kafir, tetapi term musyrik (Nasution, 1986: 15). Dan dalam Islam dosa musyrik lebih besar daripada dosa kafir. Secara detail ajaran‑ajaran sekte ini adalah:
- Pelaku dosa besar adalah musyrik, bukan hanya kafir.
- Orang yang tidak sepaham dengan mereka juga musyrik.
- Orang yang sepaham dengan mereka, tetapi tidak tinggal sekampung dengan mereka juga musyrik.
- Hanya daerah mereka yang dipandang sebagai Dar al‑Islam, lainnya adalah Dar al‑Harb yang harus diperangi.
- Anak‑anak orang yang mereka pandang musyrik juga dipandang musyrik walaupun belum baligh. (Nasution, 1986: 15)
Salah satu bentuk ekstremitas sekte ini adalah melakukan Isti’rad yakni menanyai orang‑orang yang mereka jumpai. Bila orang tersebut tidak sepaham dengan mereka, maka dibunuhlah orang tersebut (Al‑Baghdadi, 1977: 124)
3. Al‑Najdat al‑Aziriyah
Doktrin al‑Azraq yang terlalu ekstrem yang memandang anak‑anak orang musyrik atau yang dipandang musyrik sebagai juga musyrik, ditentang oleh para pengikutnya sendiri. Mereka yang menentang diantaranya adalah Abu Fudaik, Rasyid ath‑Thawil dan ‘Atiyah al‑Hanafi serta teman‑temannya. Lalu mereka memisahkan diri dan pergi ke Yamamah dan bergabung dengan Najdah Ibn ‘Amir al‑Hanafi. Mereka mengangkat Najdah sebagai imam baru. Sedangkan Nafi tidak lagi mereka akui sebagai imam (Nasution, 1986: 16)
Ajaran pokok sekte ini adalah:
- Pelaku dosa besar yang menjadi kafir dan kekal dalam neraka adalah yang tidak sepaham dengan mereka.
- Dosa kecil bisa menjadi besar bila terus dikerjakan dana pelakunya menjadi musyrik.
- Yang diwajibkan bagi tiap muslim adalah mengetahui Allah dan Rasulnya, serta percaya kepada seluruh apa yang diwahyukan.
- Imam diperlukan, hanya bila maslahat menghendaki demikian.
- Pengikutnya boleh melakukan taqiyyah yakni merahasiakan keyakinannya (Nasution, 1986: 17). Ini mereka tempuh sebagai upaya menyelamatkan diri dari kejaran yang dilakukan oleh aparat Abd al‑Malik Ibn Marwan (Asy-Syahrastani, 1978: 124).
- Mereka memberi ‘Uzr dalam hal‑hal yang sifatnya Furu’ itulah sebabnya sekte ini dinamakan al‑Aziriyah.
Bila dibandingkan dengan sekte al‑Muhakkimah, sekte ini lebih moderat. Dengan demikian sikap pemerintah mungkin sebagai manfaat sikap taqiyyah tersebut juga lebih lunak kepada mereka.
Karena perselisihan dalam masalah rampasan perang dan sikap lunak dengan Taqiyyah tersebut, maka timbul rasa tidak senang dari sebagian pengikutnya yang ekstrem sehingga berakhir dengan terbunuhnya an‑Najdah.
4. Al‑’Ajaridah
Nama sekte ini dinisbahkan kepada tokohnya ‘Abd al‑Karim Ibn ‘Ajrad teman ‘Atiyah al‑Hanafi (Asy-Syahrastani, 1978: 124). Sekte ini mempunyai ajaran yang lebih lunak daripada sekte al‑Azariqah dan an‑Najdah. Ajaran‑ajarannya adalah: (Asy-Syahrastani, 1978: 128‑131)
- Hijrah ke daerah mereka bagi para pengikutnya tidak wajib, tetapi sebagai kebajikan saja.
- Hanya harta rampasan perang orang yang telah mati saja yang boleh diambil.
- Anak kecil tidak berdosa dan tidak musyrik seperti orang tuanya.
- Mereka tidak mengakui surat Yusuf dalam al‑Quran, karena di dalamnya terdapat pada anggapan mereka skandal cinta yang tidak layak ada pada al‑Quran.
- Al‑Maimuniyah dan al‑Hamziyah, yang merupakan sub‑sekte al‑’Ajaridah, menganut paham Qadariyah. Sedangkan sub‑sekte yang lain, yakni asy-Syu’aibiyah dan al‑Hamiziah, menganut paham Jabariyah.
5. As‑Sufriyah
Nama sekte ini diambil dari nama pemimpinnya Ziad Ibn al‑Asfar. Pandangan teologis sekte ini banyak ber‑tentangan dengan sekte Azariqah, Najdah dan Ibadiyah. Adapun rincian ajaran‑ajarannya, sebagai ditulis oleh Prof. Dr. Harun Nasution (Nasution, 1986: 19), yaitu sebagai berikut:
- Pengikut as‑Sufriyah yang tidak berhijrah ke daerah mereka tidak dipandang kafir.
- Mereka tidak berpendapat anak‑anak orang musyrik boleh dibunuh.
- Tidak semua mereka berpendapat pelaku dosa besar adalah musyrik. Dosa besar dibagi dua, yaitu yang disiksa di dunia seperti melakukan zina dan membunuh, dan dosa besar disiksa diakherat serta pelakunya dihukumi kafir, seperti meninggalkan salat dan puasa.
- Yang dipandang sebagai dar al‑harb adalah ma’askar atau camp pemerintah, sedangkan anak‑anak tidak boleh dijadikan tawanan.
- Kufr ada dua, yakni kufr bi inkar an‑ni’mah dan kufr bi ar‑Rububiyyah. Syirk juga ada dua, yakni mentaati setan dan beribadah kepada berhala (Asy-Syahrastani, 1978: 137)
- Wanita muslimah boleh menikah dengan lelaki kafir dalam wilayah bukan muslim dalam rangka taqiyyah. Ini boleh dilakukan hanya dalam bentuk perkataan (Asy-Syahrastani, 1978: 137)
Nampak sekali bahwa ajaran‑ajaran sekte as‑Sufriyah sangat moderat untuk ukuran sekte Khawarij yang selalu diidentikkan dengan keekstreman dan kekakuan dalam berpandangan dan bersikap baik dalam masalah teologi maupun politik. Ini bisa dimaklumi bahwa secara kronologis historis, sekte ini muncul agak belakangan dibandingkan dengan sekte‑sekte yang telah disebutkan terdahulu. Jadi para tokohnya telah “pandai” mengambil langkah strategis dalam rangka menyelamatkan diri dari penumpasan oleh pemerintah, seperti sekte‑sekte pendahulunya.
6. Al‑Ibadiyah
Pemimpin sekte ini adalah Abdillah Ibn Ibad yang memisahkan diri dari al‑Azariqah. Ia adalah seorang yang sangat moderat dalam berpandangan dan bersikap. Ajaran‑ajarannya adalah sebagai berikut: (Asy-Syahrastani, 1978: 134-135)
- Orang Islam yang tidak sepaham dengan mereka bukan musyrik tetapi kafir, boleh kawin dengan mereka dan persaksian mereka pun diterima.
- Daerah orang Islam adalah Dar al‑Tauhid, hanya camp pemerintah saja yang boleh diperangi.
- Hanya kuda dan senjata saja yang boleh dirampas. Sedang emas dana perak harus dikembalikan.
- Pelaku dosa besar dari kalangan muslim tetap muwahhid, tetapi bukan mu’min.
- Dalam perbuatan manusia, mereka berpendapat bahwa perbuatan manusia adalah diciptakan oleh Allah. Jadi dalam hal ini mereka menganut paham jabariyah.
- Dalam hal ketatanegaraan, mereka tidak menamakan iman mereka Amir al‑Mukminin, dan tidak mengajarkan keharusan berhijrah bagi pengikutnya ke daerah mereka.
- Mengenai kaum munafiqin pada masa Rasul, sekte ini tidak memandang mereka sebagai musyrik. Tetapi mereka adalah kafir karena perbuatan mereka melakukan dosa besar.
Secara politik sekte ini dalam bersikapa kepada pemerintah Bani Umayyah adalah lunak. Ini terbukti bahwa pemimpinnya menjalin hubungan yang baik dengan Khalifah Abd al‑Malik Ibn Marwan.
Karena paham teologi dan penampilan sikap politiknya yang moderat, maka sekte ini sampai sekarang masih bisa bertahan, yaitu di Zabzibar, Afrika Utara, Oman dan Arabia Selatan. (Al‑Faruqi, 1986: 25)
Kesimpulan
Dari pembahasan tersebut dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
A. Sekte Khawarij pertama kali muncul adalah sebagai reaksi politik terhadap kontroversi hasil tahkim antara ‘Ali yang terkalahkan secara tidak fair atas Mu’awiyah.
- Sikap dan tindakan politik mereka menentang para tokoh pelaku tahkim dan yang mendukungnya ditampilkan dalam bentuk pemberontakan militer dan ide‑ide teologi yang memandang para politisi tersebut sebagai pelaku dosa besar, kafir bahkan telah musyrik yang boleh dibunuh.
- Perpecahan Khawarij menjadi sekte‑sekte lebih banyak disebabkan oleh doktrin dan sikapnya yang ekstrem dan tidak toleran dengan pihak lain yang sebenarnya masih sesama mereka dalam sekte induknya, juga karena latar belakang geografis dan sosio‑kultural mereka sebagai suku badui yang keras dan sulit diatur.
D. Hanya sekte yang moderat dari berbagai sekte tersebut yang mampu bertahan, karena relatif lebih bisa bergaul dengan pihak lain, seperti sekte Ibadiyah yang masih ada sampai sekarang.
Referensi:
Al‑Baghdadi, Imam Abd Qahhar Ibn Tahir, Al‑Farq Bain al‑Firaq, Beirut: Dar al-Fikr 1977.
Al‑Faruqi, Ismail R. dan Lois Lamya al‑Faruqi, The Cultural Atlas of Islam, New York: Macmillan Publishing Company, 1986.
Nasution, Harun, Teologi Islam, Jakarta: UI Press, 1986.
Nurcholis Madjid, Khasanah Intelektual Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1984.
——, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992.
Siddiqi, Nourouzzaman, Syi’ah dan Khawarij Dalam Perspektif Sejarah, Yogyakarta: PLP2M, 1985.
——, Menguak Sejarah Muslim, Yogyakarta: PLP2M, 1984.
Asy‑Syahrastani, Al‑Milal wa an‑Nihal, Kairo: Muassasah al‑Halabi, 1978.
Watt, Montgomery, Islamic Political Thought, Terjemahan Hamid Fahmi dan Taufiq Ibnu Syam, Jakarta: Beunebi Cipta, 1987.
BERPIKIR POSITIF
“ … boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh Jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (QS al-Baqarah/2: 216)
Hidup seringkali berjalan tidak seperti yang direncanakan. Kenyataan acap berbeda dari harapan, dan perlakuan orang-orang di sekitar seringkali tak sepadan dengan kebaikan yang telah kita tebar.
Dalam situasi seperti itu, kebanyakan manusia cenderung menuruti kemauan negatifnya; berburuk sangka, menyalahkan keadaan, dan berkeluh kesah. Seperti disinyalir dalam al-Quran,
“Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah.” (QS al-Mâ’arij/70: 19).
Namun, Islam menuntun manusia untuk melawan kemauan negatif semacam itu. Salah satu solusinya adalah dengan mengembangkan tradisi berpikir positif. Paling tidak, ada tiga hikmah yang bisa dipetik dari berpikir positif.
Pertama, bahwa ternyata orang lain seringkali tidak seburuk yang kita kira.
Contoh terbaik dalam konteks ini ialah kisah Nabi Khidzir a.s. dan Nabi Musa a.s.. Nabi Khidzir a.s. mau menerima Nabi Musa a.s. sebagai murid dengan syarat tidak terburu-buru berburuk sangka selama bersamanya. ”Tapi aku yakin, kamu tidak akan bisa menahan diri,” ujar Nabi Khidzir a.s.. Ternyata benar. Setiap kali Nabi Khidzir a.s. melakonkan hikmah demi hikmah yang telah diperintahkan Allah SWT, tak sekalipun Nabi Musa a.s. mampu bersabar untuk tidak berprasangka buruk. (Lihat, QS a-Kahfi/18: 60-82).
Kisah Qurani ini sejatinya hendak mengingatkan bahwa berburuk sangka cenderung mengakibatkan kesalahan fatal. Setiap orang hanya bisa melihat keburukan setiap peristiwa, tanpa bisa melihat kebaikannya.
Kedua, berpikir positif dapat menyelamatkan hati dan hidup kita. Sebab, hati yang bersih adalah hati yang tidak menyimpan kebencian. Hati yang tenteram adalah hati yang tidak memendam apriori terhadap orang lain.
Dalam ungkapan yang sangat menggugah, seorang sufi mengatakan, ”Yang paling penting adalah bagaimana kita selalu baik kepada semua orang. Kalau kemudian ada yang tidak baik kepada kita, itu bukan urusan kita, tetapi urusan orang itu dengan Allah SWT.”
Ketiga, berpikir positif bisa membuat hidup kita lebih legowo, karena sebenarnya Allah SWT sering menyiapkan rencana-rencana yang mengejutkan bagi hamba-Nya.
Contoh kasus, ketika Rasulullah s.a.w. terusir oleh orang-orang kafir dari Makkah ke Madinah dalam persitiwa hijrah, mayoritas sahabat, apalagi musuh-musuh Islam merasakan sebagai sebuah kegagalan Rasulullah s.a.w. dan pengikutnya dalam berdakwah. Tetapi, ternyata Allah SWT memiliki rencana jangka panjang. Setelah 10 tahun kemudian, Rasulullah s.a.w. dan para pengikutnya (umat Islam) berhasil menaklukkan Makkah – dengan kemenangan yang luar biasa — tanpa setetes darah pun dalam peristiwa Fathu Makkah (Lihat, QS an-Nashr/1-3)
“Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan; dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat.
WANITA DAN MASJID
Bagi seorang wanita, apakah ia lebih baik shalat di masjid atau di rumahnya? Pendapat yang terkuat adalah pendapat yang menyatakan bahwa shalat wanita di rumahnya lebih utama dibandingkan shalatnya di masjid karena s.a.w.:
صَلاةُ الْمَرْأَةِ فِي مَخْدَعِهَا أَفْضَلُ مِنْ صَلاتِهَا فِي بَيْتِهَا ، وَصَلاتُهَا فِي بَيْتِهَا أَفْضَلُ مِنْ صَلاتِهَا فِي حُجْرَتِهَا.
“Shalat seorang wanita di makhda’ (kamar kecil yang berada di rumah yang besar dan berguna untuk menjaga barang-barang mahal dan berharga)-nya lebih utama daripada shalat di rumahnya. Dan shalat di rumahnya lebih utama daripada shalat di kamar tamunya.” (HR. Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya, dari Abdullah bin Mas’ud)
صَلَاةُ الْمَرْأَةِ فِي بَيْتِهَا أَفْضَلُ مِنْ صَلَاتِهَا فِي حُجْرَتِهَا وَصَلَاتُهَا فِي مَخْدَعِهَا أَفْضَلُ مِنْ صَلَاتِهَا فِي بَيْتِهَا
“Shalat seorang wanita di rumahnya lebih utama daripada shalat di kamar tamunya. Dan shalat di makhda’-nya lebih utama daripada shalat di rumahnya” [HR. Abu Dawud dari Abdullah bin Mas’ud, dishahihkan oleh Syaikh Muhammad Nashiduddin Al-Albani dalam Misykâtul-Mashâbih halaman 184 – Maktabah Al-Misykâh].
لَا تَمْنَعُوا نِسَاءَكُمْ الْمَسَاجِدَ وَبُيُوتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ
“Janganlah kalian melarang kaum wanita pergi ke masjid; akan tetapi shalat di rumah (mereka) adalah lebih baik bagi mereka” [HR. Abu Dawud Ibnu Khuzaimah dan al-Hakim dari Abdullah bin Umar, shahîh lighairihi].
Dua hadis di atas sama sekali tidak bertentangan dengan dalil-dalil yang menunjukkan keutamaan mengerjakan shalat di masjid masjid seperti:
“Tidaklah pantas orang-orang musyrik itu memakmurkan mesjid-mesjid Allah, sedang mereka mengakui bahwa mereka sendiri kafir. Itulah orang-orang yang sia-sia pekerjaannya, dan mereka kekal di dalam neraka. Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, emnunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. at-Taubah/9: 17-18)
مَنْ غَدَا إِلَى الْمَسْجِدِ وَرَاحَ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُ نُزُلَهُ مِنْ الْجَنَّةِ كُلَّمَا غَدَا أَوْ رَاحَ
“Barangsiapa pergi ke masjid pagi atau petang hari, maka Allah akan menjadikan untuknya hidangan di surga setiap kali ia berangkat pagi atau petang” (HR al-Bukhari-Muslim, dari Abu Hurairah)
مَنْ تَطَهَّرَ فِى بَيْتِهِ ، ثُمَّ مَشَى إِلَى بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ تَعَالَى فَيَقْضِى فَرِيضَةً مِنْ فَرَائِضِ اللَّهِ كَانَتْ خُطُوَاتُهُ إِحْدَاهُمَا تَحُطُّ خَطِيئَةً ، وَالأُخْرَى تَرْفَعُ دَرَجَةً
“Barangsiapa bersuci di rumahnya kemudian berangkat menuju salah satu masjid Allah untuk menunaikan salah satu kewajiban kepada Allah, maka langkah-langkahnya, yang satu menghapus dosa dan yang lain mengangkat derajat” (HR. Muslim dari Abu Hurairah)
Hadis-hadis di atas bersifat umum. Keumuman tersebut tetap berlaku sampai ada hal-hal yang membatasi/ mengkhususkannya. Hadis-hadis yang menjelaskan tentang keutamaan shalatnya wanita di rumah merupakan dalil yang sangat jelas yang mengkhususkan keumuman tersebut.
Asy-Syaukani ketika mengomentari hadis di atas berkata:
“Shalat mereka (wanita) di rumahnya adalah lebih baik dan utama daripada shalat di masjid jika mereka mengetahui yang demikian. Akan tetapi, karena mereka tidak mengetahuinya, mereka meminta ijin untuk keluar berjama’ah. Mereka berkeyakinan bahwa pahala shalat di masjid lebih banyak. Keutamaan yang lainnya adalah bahwa shalat-shalat mereka di rumahnya lebih aman dari fitnah. Yang menekankan demikian ini karena adanya perbuatan yang diadakan oleh wanita seperti tabarruj (berdandan) atau bersolek, sebagaimana yang telah dikatakan ‘Aisyah r.a.” [Nailul-Authaar juz 3 halaman 131 melalui Jamî li Ahkâmin-Nisâ’ oleh Musthafa Al-‘Adawi juz 1 halaman 293 – atau Nailul-Authâr juz 1 halaman 530 syarah Hadis nomor 1036-1037 Maktabah al-Misykâh].
Perkataan yang sama juga ternukil dari Imam an-Nawawi dalam ‘Aunul-Ma’bûd (Kitâbush-Shalâh halaman 121 – Maktabah Al-Misykâh).
Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin berkata:
“Rasulullah s.a.w. bersabda: Rumah-rumah mereka lebih utama bagi mereka. Hadis ini memberikan pengertian bahwa shalat wanita di rumahnya lebih utama. Jika mereka (para wanita) berkata : “Aku ingin shalat di masjid agar mendapat dapat berjama’ah”. Maka akan aku katakan: “Sesungguhnya shalatmu di rumahmu itu lebih utama dan lebih baik. Hal itu dikarenakan seorang wanita akan terjauh dari ikhtilath bersama laki-laki lain, sehingga akan dapat menjauhkannya dari fitnah” (Majmû’ah Durûs Fatawâ, 2/274).
Ada pendapat lain yang mengatakan kebalikan dari pernyataan di atas, yaitu sebagaimana yang ternukil dari Ibnu Hazm dalam Al-Muhallâ. Namun pendapat ini adalah pendapat yang lemah yang diingkari mayoritas ulama karena bertentangan dengan sejumlah dalil yang shahih.
Kesimpulan
Shalatnya seorang wanita di rumahnya secara umum lebih baik dibandingkan shalatnya yang dilakukan di masjid. Namun bila ada wanita yang meminta ijin untuk shalat di masjid, kita tidak boleh melarangnya berdasarkan riwayat :
كَانَتِ امْرأَةٌ لِعُمَرَ تَشْهَدُ صَلاَةَ الصُّبْحِ وَالْعِشَاءِ فِي الْجَمَاعَةِ فِي الْمَسْجِدِ، فَقِيلَ لَهَا: لِم تَخْرُجِينَ وَقَدْ تَعْلَمِينَ أَنَّ عُمَرَ يَكْرَهُ ذَلِكَ وَيَغَارُ قَالَتْ: وَمَا يَمْنَعَهُ أَنْ يَنْهَانِي قَالَ: يَمْنَعُهُ قَوْلُ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم: لاَ تَمْنَعُوا إِمَاءَ اللهِ مَسَاجِدَ اللهِ
“Salah seorang istri ‘Umar bin Al-Khaththab r.a. biasa menghadiri shalat ‘isya’ dan shubuh berjama’ah di masjid. Ada yang berkata kepadanya: ‘Mengapa Anda keluar, bukankah Anda tahu bahwa ‘Umar tidak menyukai hal ini dan pencemburu?’. Ia menjawab: ‘Apa yang menghalanginya untuk melarangku adalah sabda Nabi s.a.w.: “Janganlah kalian melarang kaum wanita pergi ke masjid” (HR. al-Bukhari no. 858 dan Muslim no. 442. Lafadh ini milik al-Bukhari, dari Abdullah bin Umar)
Namun yang perlu diperhatikan adalah bahwa ketika wanita tersebut pergi ke masjid, ia tidak boleh memakai wangi-wangian, tidak dikhawatirkan ada fitnah, dan segera pulang ketika shalat telah selesai ditunaikan.
Wallâhu A’lam.
KESETIAKAWANAN SOSIAL DALAM PANDANGAN ALQUR'AN
Perbincangan di seputar kesetiakawanan atau yang juga dikenal dalam bahasa Ingrris dengan sebutan solidarity, hingga kini menjadi sebuah diskusi yang masih menarik, dan ditengarai akan selalu menarik perhatian setiap anggota masyarakat, karena artipentingnya pranata social ini sebagai pilar penyangga bangunan harmoni sosial, di mana pun kapan pun dan bagi siapa pun
Memang tidak mudah untuk mendefinisikan makna kesetiakawanan sosial dalam konteks yang beragam. Tetapi, untuk sekadar memetakan pengertian esensialnya, kesetiakawanan adalah sebuah pranata sosial yang di dalamnya terkandung ciri-ciri penting, yaitu: kepedulian, rasa sepenanggungan, kasih sayang, kebersamaan dan ketulusan.[1]
Sejumlah tantangan kompleks yang muncul-termasuk potensi konflik yang ditimbulkan oleh dorongan ego setiap manusia, yang pada saatnya bisa menjebak mereka menjadi manusia-manusia yang tidak peduli terhadap kepentingan orang lain, karena menganggap yang terpenting adalah dirinya. Sedang orang lain baru dianggap (menjadi) menjadi penting karena berpotensi “menguntungkan” bagi dirinya.[2] Oleh karena itu, untuk membangun kesetiakawanan sosial, setiap orang, sebagai anggota mansyarakat, dituntut untuk memiliki kepedulian dan ketenggangrasaan terhadap orang lain, dan bahkan menganggap orang lain sebagai entitas yang penting, sepenting dirinya.[3]
Dalam merespon wacana kesetikawanan (sosial) tersebut, kita (umat Islam) bisa mengajak dialog dengan al-Quran, sebagaimana nasihat Ali bin Abi Thalib terhadap para sahabatnya: istanthiq al-Quran, yang ternyata menurut M. Quraish Shihab[4] tersirat dalam gagasan “ukhuwwah”.[5]
Kajian mengenai ukhuwah (Ar.: Ukhuwwah), dalam pandangan M. Quraish Shibab, menjadi dianggap memiliki arti penting dewasa ini, karena adanya fenomena yang sangat meresahkan: sinyal-sinyal menuju “disintegrasi sosial”. Banyak orang mempertanyakan: “sejaumana peran Islam di dalamnya?” Di sini, Islam menawarkan gagasan “ukhuwah Islamiyah”. Bukan sekadar penjelasan normatif, tetapi sampai pada solusi atas problem sosial yang sudah pernah, sedang dan akan dialami oleh umat manusia secara kongkret.
Kata Ukhuwah (ukhuwwah) yang biasa diartikan sebagai “persaudaraan”, terambil dari akar kata yang pada mulanya berarti “memperhatikan”. Makna asal ini memberi kesan bahwa persaudaraan mengharuskan adanya perhatian semua pihak yang merasa bersaudara.
Boleh jadi, perhatian itu pada mulanya lahir karena adanya persamaan di antara pihak-pihak yang bersaudara, sehingga makna tersebut kemudian berkembang, dan pada akhirnya ukhuwah diartikan sebagai “setiap persamaan dan keserasian dengan pihak lain, baik persamaan keturunan, dari segi ibu, bapak, atau keduanya, maupun dari segi persusuan”. Secara majazi kata ukhuwah (persaudaraan) mencakup persamaan salah satu unsur seperti suku, agama, profesi, dan perasaan. Dalam kamus-kamus bahasa Arab ditemukan bahwa kata akh yang membentuk kata ukhuwwah digunakan juga dengan arti “teman akrab” atau “sahabat”.
Ukhuwah dalam al-Quran
Dalam al-Quran, kata akh (saudara) dalam bentuk tunggal ditemukan sebanyak 52 (lima puluh dua) kali. Kata ini dapat berarti:
Saudara kandung atau saudara seketurunan, seperti pada ayat yang berbicara tentang kewarisan, atau keharaman mengawini orang-orang tertentu, misalnya:[6]
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu[7]; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
2. Saudara yang dijalin oleh ikatan keluarga, seperti (redaksi) doa Nabi Musa a.s. yang diabadikan al-Quran:[8]
وَاجْعَلْ لِي وَزِيرًا مِنْ أَهْلِي هَارُونَ أَخِي
3. Saudara dalam arti sebangsa, walaupun tidak seagama seperti dalam firman-Nya,[9]
وَإِلَى عَادٍ أَخَاهُمْ هُودًا قَالَ يَاقَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ أَفَلَا تَتَّقُونَ
Seperti telah diketahui kaum ‘Ad membangkang terhadap ajaran yang dibawa oleh Nabi Hud, sehingga Allah memusnahkan mereka (baca antara lain:[10]
وَأَمَّا عَادٌ فَأُهْلِكُوا بِرِيحٍ صَرْصَرٍ عَاتِيَة سَخَّرَهَا عَلَيْهِمْ سَبْعَ لَيَالٍ وَثَمَانِيَةَ أَيَّامٍ حُسُومًا فَتَرَى الْقَوْمَ فِيهَا صَرْعَى كَأَنَّهُمْ أَعْجَازُ نَخْلٍ خَاوِيَة ٍ
4. Saudara semasyarakat, walaupun berselisih paham.[11]
إِنَّ هَذَا أَخِي لَهُ تِسْعٌ وَتِسْعُونَ نَعْجَةً وَلِيَ نَعْجَةٌ وَاحِدَةٌ فَقَالَ أَكْفِلْنِيهَا وَعَزَّنِي فِي الْخِطَابِ
5. Persaudaraan seagama.[12]
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
Dari pembahasana kebahasaan ini kita temukan lagi dua macam ragama persaudaraan, yang walaupun secara tegas tidak disebut oleh al-Quran sebagai “persaudaraan”, namun substansinya adalah persaudaraan. Kedua hal tersebut adalah:
1. Saudara sesama manusia (ukhuwwah insâniyyah).
Al-Quran menyatakan bahwa semua manusia diciptakan oleh Allah dari seorang lelaki dan seorang perempuan (Adam dan Hawa)[13]
يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
2. Saudara sesama makhluk dan seketundukan kepada Allah.
Di atas telah dijelaskan bahwa dari segi bahasa kata akh (saudara) digunakan pada berbagai bentuk persamaan. Dari sini 1ahir persaudaraan kesemakhlukan. Al-Quran secara tegas menyatakan:[14]
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا طَائِرٍ يَطِيرُ بِجَنَاحَيْهِ إِلَّا أُمَمٌ أَمْثَالُكُمْ مَا فَرَّطْنَا فِي الْكِتَابِ مِنْ شَيْءٍ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِمْ يُحْشَرُون
Ragam Ukhuwah Islamiyah
Ukhuwah Islamiyah, dalam pandangan M. Quraish Shihab, lebih tepat dimaknai sebagai ukhuwah yang bersifat Islami atau yang diajarkan oleh Islam. Telah dikemukakan pula beberapa ayat yang mengisyaratkan bentuk atau jenis “persaudaraan” yang disinggung oleh al-Quran. Semuanya dapat disimpulkan bahwa kitab suci ini memperkenalkan paling tidak empat macam persaudaraan:
Ukhuwwah ‘ubûdiyyah atau saudara kesemakhlukan dan kesetundukan kepada Allah.
Ukhuwwah insâniyyah (basyariyyah) dalam arti seluruh umat manusia adalah bersaudara, karena mereka semua berasal dari seorang ayah dan ibu.
Ukhuwwah wathaniyyah wa an-nasab, yaitu persaudaraan dalam keturunan dan kebangsaan.
Ukhuwwah fi dîn al-Islâm, persaudaraan antarsesama Muslim.
Makna dan macam-macam persaudaraan tersebut di atas adalah berdasarkan pemahaman terhadap teks ayat-ayat al-Quran. Ukhuwah yang secara jelas dinyatakan oleh al-Quran adalah persaudaraan seagama Islam, dan persaudaraan yang jalinannya bukan karena agama. Ini tecermin dengan jelas dari pengamatan terhadap penggunaan bentuk jamak kata tersebut dalam al-Quran, yang menunjukkan dua arti kata akh, yaitu:
Pertama, ikhwan, yang biasanya digunakan untuk persaudaraan tidak sekandung. Kata ini ditemukan sebanyak 22 (dua puluh dua) kali sebagian disertakan dengan kata ad-dîn (agama) seperti dalam firmanNya.[15]
فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَءَاتَوُا الزَّكَاةَ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَنُفَصِّلُ الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
Apabila mereka bertobat, melaksanakan shalat, dan menunaikan zakat, mereka adalah saudara-saudara kamu seagama.
Sedangkan sebagian lain tidak dirangkaikan dengan kata ad-dîn (agama) seperti:[16]
فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْيَتَامَى قُلْ إِصْلَاحٌ لَهُمْ خَيْرٌ وَإِنْ تُخَالِطُوهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ الْمُفْسِدَ مِنَ الْمُصْلِحِ وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَأَعْنَتَكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Teks ayat-ayat tersebut secara tegas dan nyata menunjukkan bahwa al-Quran memperkenalkan persaudaraan seagama dan persaudaraan tidak seagama.
Bentuk jamak kedua yang digunakan oleh al-Quran adalah ikhwah, terdapat sebanyak 7 (tujuh) kali dan digunakan untuk makna persaudaraan seketurunan, kecuali satu ayat, yaitu,[17]
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
Menarik untuk dipertanyakan, mengapa al-Quran menggunakan kata ikhwah dalam arti persaudaraan seketurunan ketika berbicara tentang persaudaraan sesama Muslim, atau dengan kata lain, mengapa al-Quran tidak menggunakan kata ikhwan, padahal kata ini digunakan untuk makna persaudaraan tidak seketurunan? Bukankah lebih tepat menggunakan kata terakhir, jika melihat kenyataan bahwa saudara-saudara seiman terdiri dari banyak bangsa dan suku, yang tentunya tidak seketurunan?
Menurut M. Quraish Shihab, hal ini bertujuan untuk mempertegas dan mempererat jalinan hubungan antar sesama Muslim, seakan-akan hubungan tersebut bukan saja dijalin oleh keimanan (yang di dalam ayat itu ditunjukkan oleh kata al-mu’minûn), melainkan juga “seakan-akan” dijalin oleh persaudaraan seketurunan (yang ditunjukkan oleh kata ikhwah). Sehingga merupakan kewajiban ganda bagi umat beriman agar selalu menjalin hubungan persaudaraan yang harmonis di antara mereka, dan tidak satu pun yang dapat dijadikan dalih untuk melahirkan keretakan hubungan.
Faktor Penunjang Persaudaraan
Faktor penunjang lahirnya persaudaraan dalam arti luas ataupun sempit adalah persamaan. Semakin banyak persamaan akan semakin kokoh pula persaudaraan. Persamaan rasa dan cita merupakan faktor dominan yang mendahului lahirnya persaudaraan hakiki, dan pada akhirnya menjadikan seseorang merasakan derita saudaranya, mengulurkan tangan sebelum diminta, serta memperlakukan saudaranya bukan atas dasar “take and give,” tetapi justeru “mengutamakan orang lain atas diri mereka”, walau diri mereka sendiri kekurangan. Sebagaimana firman Allah:[18]
وَالَّذِينَ تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالْإِيمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِمَّا أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Keberadaan manusia sebagai makhluk sosial, perasaan tenang dan nyaman pada saat berada di antara sesamanya, dan dorongan kebutuhan ekonomi merupakan faktor-faktor penunjang yang akan melahirkan rasa persaudaraan.
Islam datang menekankan hal-hal tersebut, dan menganjurkan mencari titik-singgung dan titik-temu persaudaraan. Jangankan terhadap sesama Muslim, terhadap non-Muslim pun demikian. Sebagaimana firman Allah berikut:[19]
قُلْ يَاأَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلَّا نَعْبُدَ إِلَّا اللَّهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ
dan[20]
قُلْ مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ قُلِ اللَّهُ وَإِنَّا أَوْ إِيَّاكُمْ لَعَلَى هُدًى أَوْ فِي ضَلَالٍ مُبِينٍ – قُلْ لَا تُسْأَلُونَ عَمَّا أَجْرَمْنَا وَلَا نُسْأَلُ عَمَّا تَعْمَلُونَ
Petunjuk al-Quran Untuk Memantapkan Ukhuwah
Guna memantapkan ukhuwah tersebut, pertama kali al-Quran menggarisbawahi bahwa perbedaan adalah hukum yang berlaku dalam kehidupan ini. Selain perbedaan tersebut merupakan kehendak Ilahi, juga demi kelestarian hidup, sekaligus demi mencapai tujuan kehidupan makhluk di pentas bumi.[21]
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا ءَاتَاكُمْ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ
Seandainya Tuhan menghendaki kesatuan pendapat, niscaya diciptakan-Nya manusia tanpa akal budi seperti binatang atau benda-benda tak bernyawa yang tidak memiliki kemampuan memilah dan memilih, karena hanya dengan demikian seluruhnya akan menjadi satu pendapat.
Dari sini, seorang Muslim dapat memahami adanya pandangan atau bahkan pendapat yang berbeda dengan pandangan agamanya, karena semua itu tidak mungkin berada di luar kehendak Ilahi. Kalaupun nalarnya tidak dapat memahami kenapa Tuhan berbuat demikian, kenyataan yang diakui Tuhan itu tidak akan menggelisahkan atau mengantarkannya “mati”, atau memaksa orang lain secara halus maupun kasar agar menganut pandangan agamanya,[22]
فَلَعَلَّكَ بَاخِعٌ نَفْسَكَ عَلَى ءَاثَارِهِمْ إِنْ لَمْ يُؤْمِنُوا بِهَذَا الْحَدِيثِ أَسَفًا
وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَآمَنَ مَنْ فِي الْأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا أَفَأَنْتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتَّى يَكُونُوا مُؤْمِنِينَ
Untuk menjamin terciptanya persaudaraan dimaksud, Allah Swt. memberikan beberapa petunjuk sesuai dengan jenis persaudaraan yang diperintahkan. Pada kesempatan ini, akan dikemukakan petunjuk-petunjuk yang berkaitan dengan persaudaraan secara umum dan persaudaraan seagama Islam.
1. Untuk memantapkan persaudaraan pada arti yang umum, Islam memperkenalkan konsep khalifah. Manusia diangkat oleh Allah sebagai khalifah. Kekhalifahan menuntut manusia untuk memelihara, membimbing, dan mengarahkan segala sesuatu agar mencapai maksud dan tujuan penciptaannya. Karena itu, Nabi Muhammad Saw. melarang memetik buah sebelum siap untuk dimanfaatkan, memetik kembang sebelum mekar, atau menyembelih binatang yang terlalu kecil. Nabi Muhammad Saw. juga mengajarkan agar selalu bersikap bersahabat dengan segala sesuatu sekalipun terhadap benda tak bernyawa. Al-Quran tidak mengenalkan istilah “penaklukan alam”, karena secara tegas al-Quran menyatakan bahwa yang menaklukkan alam untuk manusia adalah Allah,[23]
وَسَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا مِنْهُ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Secara tegas pula seorang Muslim diajar untuk mengakui bahwa ia tidak mempunyai kekuasaan untuk menundukkan sesuatu kecuali atas penundukan Ilahi. Pada saat berkendaraan seorang Muslim dianjurkan membaca, Mahasuci Allah yang menundukkan ini buat kami, sedang kami sendiri tidak mempunyai kesanggupan menundukkannya,[24]
لِتَسْتَوُوا عَلَى ظُهُورِهِ ثُمَّ تَذْكُرُوا نِعْمَةَ رَبِّكُمْ إِذَا اسْتَوَيْتُمْ عَلَيْهِ وَتَقُولُوا سُبْحَانَ الَّذِي سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِينَ
2. Untuk mewujudkan persaudaraan antarpemeluk agama, Islam memperkenalkan ajaran,[25]
لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
dan:[26]
فَلِذَلِكَ فَادْعُ وَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَقُلْ ءَامَنْتُ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنْ كِتَابٍ وَأُمِرْتُ لِأَعْدِلَ بَيْنَكُمُ اللَّهُ رَبُّنَا وَرَبُّكُمْ لَنَا أَعْمَالُنَا وَلَكُمْ أَعْمَالُكُمْ لَا حُجَّةَ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ اللَّهُ يَجْمَعُ بَيْنَنَا وَإِلَيْهِ الْمَصِيرُ
Al-Quran juga menganjurkan agar mencari titik-singgung dan titik-temu antarpemeluk agama. Al-Quran menganjurkan agar dalam interaksi sosial, bila tidak ditemukan persamaan hendaknya masing-masing mengakui keberadaan pihak lain, dan tidak perlu saling menyalahkan.[27]
قُلْ يَاأَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلَّا نَعْبُدَ إِلَّا اللَّهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ
Bahkan al-Quran mengajarkan kepada Nabi Muhammad Saw. dan umatnya untuk menyampaikan kepada penganut agama lain, setelah “kalimah sawa’ (titik-temu)” tidak dicapai:[28]
قُلْ مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ قُلِ اللَّهُ وَإِنَّا أَوْ إِيَّاكُمْ لَعَلَى هُدًى أَوْ فِي ضَلَالٍ مُبِينٍ(24) قُلْ لَا تُسْأَلُونَ عَمَّا أَجْرَمْنَا وَلَا نُسْأَلُ عَمَّا تَعْمَلُونَ- قُلْ يَجْمَعُ بَيْنَنَا رَبُّنَا ثُمَّ يَفْتَحُ بَيْنَنَا بِالْحَقِّ وَهُوَ الْفَتَّاحُ الْعَلِيمُ
Jalinan persaudaraan antara seorang Muslim dan non-Muslim sama sekali tidak dilarang oleh Islam, selama pihak lain menghormati hak-hak umat Islam.
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
Ketika sebagian sahabat Nabi memutuskan bantuan keuangan/material kepada sebagian penganut agama lain dengan alasan bahwa mereka bukan Muslim, al-Quran menegur mereka dengan firman-Nya:[29]
لَيْسَ عَلَيْكَ هُدَاهُمْ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ خَيْرٍ فَلِأَنْفُسِكُمْ وَمَا تُنْفِقُونَ إِلَّا ابْتِغَاءَ وَجْهِ اللَّهِ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ خَيْرٍ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تُظْلَمُونَ
3. Untuk memantapkan persaudaraan antarsesama Muslim, al-Quran pertama kali menggarisbawahi perlunya menghindari segala macam sikap lahir dan batin yang dapat mengeruhkan hubungan di antara mereka.
Setelah menyatakan bahwa orang-orang yang beriman bersaudara, dan memerintahkan untuk melakukan ishlâh (perbaikan hubungan) jika seandainya terjadi kesalahpahaman di antara dua orang (kelompok) kaum Muslim, al-Quran memberikan contoh-contoh penyebab keretakan hubungan sekaligus melarang setiap Muslim melakukannya:[30]
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا يَسْخَرْ قَومٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Selanjutnya ayat di atas memerintahkan orang yang beriman (mu’min; pl.: mu’minûn) untuk menghindari prasangka buruk, tidak mencari-cari kesalahan orang lain, serta menggunjing, yang diibaratkan oleh al-Quran seperti memakan daging-saudara sendiri yang telah meninggal dunia.[31]
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ
Menarik untuk diketengahkan, bahwa al-Quran dan hadis-hadis Nabi Saw. tidak merumuskan definisi persaudaraan (ukhuwwah), tetapi yang ditempuhnya adalah memberikan contoh-contoh praktis. Pada umumnya contoh-contoh tersebut berkaitan dengan sikap kejiwaan, atau tecermin — misalnya — dalam hadis Nabi Saw. antara lain,[32]
إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيثِ وَلَا تَحَسَّسُوا وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا تَنَافَسُوا وَلَا تَحَاسَدُوا وَلَا تَبَاغَضُوا وَلَا تَدَابَرُوا وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا
Semua itu wajar, karena sikap batiniahlah yang melahirkan sikap lahiriah. Demikian pula, bahwa sebagian dari redaksi ayat dan hadis yang berbicara tentang hal ini dikemukakan dengan bentuk larangan. Ini pun dimengerti bukan saja karena at-takhliyah (menyingkirkan yang jelek) harus didahulukan daripada at-tahliyah (menghiasi diri dengan kebaikan), melainkan juga karena “melarang sesuatu mengandung arti memerintahkan lawannya, demikian pula sebaliknya.”
Semua petunjuk al-Quran dan hadis Nabi Saw. yang berbicara tentang interaksi antarmanusia pada akhirnya bertujuan untuk memantapkan ukhuwah. Perhatikan — misalnya — larangan melakukan transaksi yang bersifat batil,[33]
وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Larangan riba,[34]
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
Anjuran menulis utang-piutang,[35]
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَى وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا وَلَا تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَى أَجَلِهِ ذَلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى أَلَّا تَرْتَابُوا إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلَّا تَكْتُبُوهَا وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ وَلَا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلَا شَهِيدٌ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Larangan mengurangi atau melebihkan timbangan,[36]
وَيْلٌ لِلْمُطَفِّفِينَ(1) الَّذِينَ إِذَا اكْتَالُوا عَلَى النَّاسِ يَسْتَوْفُونَ(2) وَإِذَا كَالُوهُمْ أَوْ وَزَنُوهُمْ يُخْسِرُونَ(3)
“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang,(1) (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi,(2) dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.(3)” (QS al-Muthaffifîn [83]: 1-3), dan lain-lain.
Dalam konteks pendapat dan pengamalan agama, al-Quran secara tegas memerintahkan orang-orang yang beriman untuk merujuk Allah (al-Quran) dan Rasul (Sunnah). Tetapi seandainya terjadi perbedaan pemahaman al-Quran dan Sunnah itu, baik mengakibatkan perbedaan pengamalan maupun tidak, maka petunjuk al-Quran dalam hal ini adalah:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Konsep-konsep Dasar Pemantapan Ukhuwah
Setelah mempelajari teks-teks keagamaan, M. Quraish Shihab menyatakan bahwa para ulama mengenalkan tiga konsep untuk memantapkan ukhuwah menyangkut perbedaan pemahaman dan pengamalan ajaran agama.
a. Konsep tanawwu’ al-’ibâdah (keragaman cara beribadah).
Konsep ini mengakui adanya keragaman yang dipraktikkan Nabi Saw. dalam bidang pengamalan agama, yang mengantarkan kepada pengakuan akan kebenaran semua praktik keagamaan, selama semuanya itu merujuk kepada Rasulullah Saw. Anda tidak perlu meragukan pernyataan ini, karena dalam konsep yang diperkenalkan ini, agama tidak menggunakan pertanyaan: “Berapaka hasil 5 + 5?”, melainkan yang ditanyakan adalah, “Jumlah sepuluh itu merupakan hasil penambahan berapa tambah berapa?”
b. Konsep al-mukhti’u fî al-ijtihâd lahû ajr (Yang salah dalam berijtihad pun [menetapkan hukum] mendapat ganjaran).
Ini berarti bahwa selama seseorang mengikuti pendapat seorang ulama, ia tidak akan berdosa, bahkan tetap diberi ganjaran oleh Allah Swt., walaupun hasil ijtihad yang diamalkannya keliru. Hanya saja di sini perlu dicatat bahwa penentuan yang benar dan salah bukan wewenang makhluk, tetapi wewenang Allah Swt. sendiri, yang baru akan diketahui pada hari kemudian. Sebagaimana perlu pula digarisbawahi, bahwa yang mengemukakan ijtihad maupun orang yang pendapatnya diikuti, haruslah memiliki otoritas keilmuan, yang disampaikannya setelah melakukan ijtihad (upaya bersungguh-sungguh untuk menetapkan hukum) setelah mempelajari dengan saksama dalil-dalil keagaman (al-Quran dan Sunnah).
c. Konsep lâ hukma lillâh qabla ijtihâd al-mujtahid (Allah belum menetapkan suatu hukum sebelum upaya ijtihad dilakukan oleh seorang mujtahid).
Ini berarti bahwa hasil ijtihad itulah yang merupakan hukum Allah bagi masing-masing mujtahid, walaupun hasil ijtihadnya berbeda-beda. Sama halnya dengan gelas-gelas kosong, yang disodorkan oleh tuan rumah dengan berbagai ragam minuman yang tersedia. Tuan rumah mempersilakan masing-masing tamunya memilih minuman yang tersedia di atas meja dan mengisi gelasnya — penuh atau setengah — sesuai dengan selera dan kehendak masing-masing (selama yang dipilih itu berasal dari minuman yang tersedia di atas meja). Apa dan seberapa pun isinya, menjadi pilihan yang benar bagi masing-masing pengisi. Jangan mempersalahkan seseorang yang mengisi gelasnya dengan kopi, dan Anda pun tidak wajar dipersalahkan jika memilih setengah air jeruk yang disediakan oleh tuan rumah.
Memang al-Quran dan hadis-hadis Nabi Saw. tidak selalu memberikan interpretasi yang pasti dan mutlak. Yang mutlak adalah Tuhan dan firman-firman-Nya, sedangkan interpretasi firman-firman itu, sedikit sekali yang bersifat pasti ataupun mutlak. Cara kita memahami al-Quran dan Sunnah Nabi berkaitan erat dengan banyak faktor, antara lain lingkungan, kecenderungan pribadi, perkembangan masyarakat, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan tentu saja tingkat kecerdasan dan pemahaman masing-masing mujtahid.
Dari sini terlihat bahwa para ulama sering bersikap rendah hati dengan menyebutkan, “Pendapat kami benar, tetapi boleh jadi keliru, dan pendapat Anda menurut hemat kami keliru, tetapi mungkin saja benar.” Berhadapan dengan teks-teks wahyu, mereka selalu menyadari bahwa sebagai manusia mereka memiliki keterbatasan, dan dengan demikian, tidak mungkin seseorang akan mampu menguasai atau memastikan bahwa interpretasinyalah yang paling benar.
Ukhuwah Dalam Praktik
Jika kita mengangkat salah satu ayat dalam bidang ukhuwah, agaknya salah satu ayat dalam surat al-Hujurât dapat dijadikan landasan pengamalan konsep ukhuwah Islamiyah. Ayat yang dimaksud adalah,[37]
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
Kata ishlâh atau shalâh yang banyak sekali berulang dalam al-Quran, pada umumnya tidak dikaitkan dengan sikap kejiwaan, melainkan justeru digunakan dalam kaitannya dengan perbuatan nyata. Kata ishlâh hendaknya tidak hanya dipahami dalam arti mendamaikan antara dua orang (atau lebih) yang berselisih, melainkan harus dipahami sesuai makna semantiknya dengan memperhatikan penggunaan al-Quran terhadapnya.
Puluhan ayat berbicara tentang kewajiban melakukan shalâh dan ishlâh. Dalam kamus-kamus bahasa Arab, kata shalâh diartikan sebagai antonim dari kata fasâd (kerusakan), yang juga dapat diartikan sebagai yang bermanfaat. Sedangkan kata ishlâh digunakan oleh al-Quran dalam dua bentuk: Pertama, ishlâh yang selalu membutuhkan objek; dan kedua, adalah shalâh yang digunakan sebagai bentuk kata sifat. Sehingga, shalâh dapat diartikan terhimpunnya sejumlah nilai tertentu pada sesuatu agar bermanfaat dan berfungsi dengan baik sesuai dengan tujuan kehadirannya. Apabila pada sesuatu ada satu nilai yang tidak menyertainya hingga tujuan yang dimaksudkan tidak tercapai, maka manusia dituntut untuk menghadirkan nilai tersebut, dan hal yang dilakukannya itu dinamai ishlâh.
Jika kita menunjuk hadis, salah satu hadis yang populer di dalam bidang ukhuwah adalah sabda Nabi Saw. yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari sahabat Ibnu Umar:[38]
الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لَا يَظْلِمُهُ وَلَا يُسْلِمُهُ مَنْ كَانَ فِي حَاجَةِ أَخِيهِ كَانَ اللَّهُ فِي حَاجَتِهِ وَمَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً فَرَّجَ اللَّهُ عَنْهُ بِهَا كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Dari riwayat at-Tirmidzi dari Abu Hurairah, larangan di atas dilengkapi dengan,[39]
لَا يَخُونُهُ وَلَا يَكْذِبُهُ وَلَا يَخْذُلُهُ
Dia tidak mengkhianatinya, tidak membohonginya, dan tidak pula meninggalkannya tanpa pertolongan.
Demikian terlihat, betapa ukhuwah Islamiyah mengantarkan manusia mencapai hasil-hasil kongkret dalam kehidupannya.
Untuk memantapkan ukhuwah Islamiyah, yang dibutuhkan bukan sekadar penjelasan segi-segi persamaan pandangan agama, atau sekadar toleransi mengenai perbedaan pandangan, melainkan yang lebih penting lagi adalah langkah-langkah bersama yang dilaksanakan oleh umat, sehingga seluruh umat merasakan nikmatnya.
Implementasi konsep ukhuwah (Islamiyah) dalam pandangan al-Quran memerlukan kesadaran setiap orang untuk bersinergi, dan tidak mungkin akan terwujud di ketika setiap orang – dalam bangunan sosial – menerjemahkannya dalam bentuk sikap anergis.
Manifestasi persaudaraan Islam ini telah dicontohkan dengan gemilang oleh Nabi dan para sahabatnya. Dalam bentuk saling menolong oleh siapa pun kepada siapa pun. Sebagai wujud kesaadaran untuk mengamalkan pesan moral al-Quran.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, al-Maktabah al-Syâmilah, Ishdâr Tsânî, UEA: Shakhr, 2007.
KESEHATAN
DALAM PERSPEKTIF AL-QURAN DAN AS-SUNNAH
Islam menetapkan tujuan pokok kehadirannya untuk memelihara agama, jiwa, akal, jasmani, harta, dan keturunan.
Setidaknya tiga dari yang disebut di atas berkaitan dengan kesehatan. Tidak heran jika ditemukan bahwa Islam amat kaya dengan tuntunan kesehatan.
Paling tidak ada dua istilah literatur keagamaan yang digunakan untuk menunjuk tentang pentingnya kesehatan dalam pandangan Islam.
1. Kesehatan, yang terambil dari kata sehat;
2. Afiat.
Keduanya dalam bahasa Indonesia, sering menjadi kata majemuk sehat afiat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesra, kata “afiat” dipersamakan dengan “sehat”. Afiat diartikan sehat dan kuat, sedangkan sehat (sendiri) antara lain diartikan sebagai keadaan baik segenap badan serta bagian-bagiannya (bebas dari sakit).
Tentu pengertian kebahasaan ini berbeda dengan pengertian dalam tinjauan ilmu kesehatan, yang memperkenalkan istilah-istilah kesehatan fisik, kesehatan mental, dan kesehatan masyarakat.
Walaupun Islam mengenal hal-hal tersebut, namun sejak dini perlu digarisbawahi satu hal pokok berkaitan dengan kesehatan, yaitu melalui pengertian yang dikandung oleh kata afiat.
Istilah sehat dan afiat masing-masing digunakan untuk makna yang berbeda, kendati diakui tidak jarang hanya disebut salah satunya (secara berdiri sendiri), karena masing-masing kata tersebut dapat mewakili makna yang dikandung oleh kata yang tidak disebut.
Pakar bahasa al-Quran dapat memahami dari ungkapan sehat wal-afiat bahwa kata sehat berbeda dengan kata afiat, karena wa yang berarti “dan” adalah kata penghubung yang sekaligus menunjukkan adanya perbedaan antara yang disebut pertama (sehat) dan yang disebut kedua (afiat). Nah, atas dasar itu, dipahami adanya perbedaan makna di antara keduanya.
Dalam literatur keagamaan, bahkan dalam hadis-hadis Nabi Saw. ditemukan sekian banyak doa, yang mengandung permohonan afiat, di samping permohonan memperoleh sehat.
Dalam kamus bahasa Arab, kata afiat diartikan sebagai “perlindungan Allah untuk hamba-Nya dari segala macam bencana dan tipu daya”. Perlindungan itu tentunya tidak dapat diperoleh secara sempurna kecuali bagi mereka yang mengindahkan petunjuk-petunjuk-Nya. Maka kata afiat dapat diartikan sebagai: “berfungsinya anggota tubuh manusia sesuai dengan tujuan penciptaannya.”
Kalau sehat diartikan sebagai keadaan baik bagi segenap anggota badan, maka agaknya dapat dikatakan bahwa mata yang sehat adalah mata yang dapat melihat maupun membaca tanpa menggunakan kacamata. Tetapi, mata yang afiat adalah yang dapat melihat dan membaca objek-objek yang bermanfaat serta mengalihkan pandangan dari objek-objek yang terlarang, karena itulah fungsi yang diharapkan dari penciptaan mata.
KESEHATAN FISIK
Telah disinggung bahwa dalam tinjauan ilmu kesehatan dikenal berbagai jenis kesehatan, yang diakui pula oleh pakar-pakar Islam.
Majelis Ulama Indonesia (MUI), misalnya, dalam Musyawarah Nasional Ulama tahun 1983 merumuskan kesehatan sebagai “ketahanan jasmaniah, ruhaniah, dan sosial yang dimiliki manusia, sebagai karunia Allah yang wajib disyukuri dengan mengamalkan (tuntunan-Nya), dan memelihara serta mengembangkannya.”
Memang banyak sekali tuntunan agama yang merujuk kepada ketiga jenis kesehatan itu.
Dalam konteks kesehatan fisik, misalnya ditemukan sabda Nabi Muhammad saw.:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا عَبْدَ اللَّهِ أَلَمْ أُخْبَرْ أَنَّكَ تَصُومُ النَّهَارَ وَتَقُومُ اللَّيْلَ قُلْتُ بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ فَلَا تَفْعَلْ صُمْ وَأَفْطِرْ وَقُمْ وَنَمْ فَإِنَّ لِجَسَدِكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَإِنَّ لِعَيْنِكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَإِنَّ لِزَوْجِكَ عَلَيْكَ حَقًّا
Terjemah:
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash dia berkata bahwa Rasulullah saw telah bertanya (kepadaku): “Benarkah kamu selalu berpuasa di siang hari dan dan selalu berjaga di malam hari?” Aku pun menjawab: “ya (benar) ya Rasulullah.”Rasulullah saw pun lalu bersabda: “Jangan kau lakukan semua itu. Berpuasalah dan berbukalah kamu, berjagalah dan tidurlah kamu, sesungguhnya badanmu mempunyai hak atas dirimu, matamu mempunyai hak atas dirimu, dan isterimu pun mempunyai hak atas dirimu.” (Hadis Riwayat al-Bukhari dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash)
Demikian Nabi Saw. menegur beberapa sahabatnya yang bermaksud melampaui batas dalam beribadah, sehingga kebutuhan jasmaniahnya terabaikan dan kesehatannya terganggu.
Pembicaraan literatur keagamaan tentang kesehatan fisik, dimulai dengan meletakkan prinsip: “Pencegahan lebih baik daripada pengobatan.”
Karena itu dalam konteks kesehatan ditemukan sekian banyak petunjuk Kitab Suci dan Sunah Nabi saw. yang pada dasarnya mengarah pada upaya pencegahan.
Salah satu sifat manusia yang secara tegas dicintai Allah adalah orang yang menjaga kebersihan. Kebersihan dikaitkan dengan tobat (taubah) dalam QS al-Baqarah [2]: 222:
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
Terjemah:
Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: “Haidh itu adalah kotoran”. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri. (QS al-Baqarah [2]: 222)
Tobat menghasilkan kesehatan mental, sedangkan kebersihan lahiriah menghasilkan kesehatan fisik.
Wahyu kedua (atau ketiga) yang diterima Nabi Muhammad Saw. adalah:
وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ(4) وَالرُّجْزَ فَاهْجُرْ(5)
Terjemah:
Dan pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan dosa (menyembah berhala) tinggalkanlah (QS al-Muddatstsir [74]: 4-5).
Perintah tersebut berbarengan dengan perintah menyampaikan ajaran agama dan membesarkan nama Allah Swt.
Terdapat hadis yang amat populer tentang kebersihan yang berbunyi:
النَّظَافَةُ مِنَ الإِيْمَانِ
Terjemah:
Kebersihan adalah bagian dari iman.
Hadis ini dinilai oleh sebagian ulama sebagai hadis dha’if. Kendati begitu, terdapat sekian banyak hadis lain yang mendukung makna tersebut, seperti sabda Nabi Saw.:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الْأَذَى عَنْ الطَّرِيقِ وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنْ الْإِيمَانِ
Terjemah:
Iman, terdiri dan tujuh puluh atau enam puluh cabang, puncaknya adalah ucapan “Tiada Tuhan selain Allah, dan yang terendah adalah menyingkirkan gangguan dan jalan, dan malu itu adalah sebagian dari iman” (Hadis Riwayat al-Bukhari dari Abu Hurairah).
Perintah menutup hidangan, mencuci tangan sebelum makan, bersikat gigi, larangan bernafas sambil minum, tidak kencing atau buang air di tempat yang tidak mengalir atau di bawah pohon, adalah contoh-contoh praktis dari sekian banyak tuntunan Islam dalam konteks menjaga kesehatan. Bahkan sebelum dunia mengenal ‘karantina’, Nabi Muhammad Saw. telah menetapkan dalam salah satu sabdanya,
إِذَا سَمِعْتُمْ بِالطَّاعُونِ بِأَرْضٍ فَلَا تَدْخُلُوهَا وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلَا تَخْرُجُوا مِنْهَا
Terjemah:
Apabila kalian mendengar adanya wabah di suatu daerah, janganlah mengunjungi daerah itu, tetapi apabila kalian berada di daerah itu, janganlah meninggalkannya. (Hadis Riwayat al-Bukhari dari Usamah bin Zaid)
Ditemukan juga peringatan bahwa perut merupakan sumber utama penyakit: Al-Mâ’idât Bait Addâ’. Dan karena itu, ditemukan banyak sekali tuntutan — baik dari al-Quran maupun hadis Nabi Saw. — yang berkaitan dengan makanan, jenis maupun kadarnya.
Al-Quran juga mengingatkan:
يَابَنِي ءَادَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
Terjemah:
Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. (QS al-A’râf [7]: 31)
Penjabaran peringatan itu dijelaskan oleh Rasulullah Saw. dengan sabdanya:
عَنْ مِقْدَامِ بْنِ مَعْدِي كَرِبَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَا مَلَأَ آدَمِيٌّ وِعَاءً شَرًّا مِنْ بَطْنٍ بِحَسْبِ ابْنِ آدَمَ أُكُلَاتٌ يُقِمْنَ صُلْبَهُ فَإِنْ كَانَ لَا مَحَالَةَ فَثُلُثٌ لِطَعَامِهِ وَثُلُثٌ لِشَرَابِهِ وَثُلُثٌ لِنَفَسِهِ
Terjemah:
Dari Miqdam bin Ma’di Kariba, dia berkata bahwa dia pernah mendengar Rasulullah saw bersabda: “Tidak ada sesuatu yang dipenuhkan oleh putra putri Adam lebih buruk daripada perut. Cukuplah bagi putra Adam beberapa suap yang dapat menegakkan tubuhnya. Kalaupun harus dipenuhkan, maka sepertiga untuk makanannya, seperti lagi untuk minumannya, dan sepertiga sisanya untuk pernafasannya (Hadis Riwayat at-Tirmidzi).
Perlu pula digarisbawahi bahwa sebagian pakar, baik agamawan maupun ilmuwan, berpendapat bahwa jenis makanan dapat mempengaruhi mental manusia. Al-Harali (wafat 1232 M.) menyimpulkan hal tersebut setelah membaca firman Allah yang mengharamkan makanan dan minuman tertentu karena makanan dan minuman tersebut rijs.
قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Terjemah:
Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi — karena sesungguhnya semua itu kotor — atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS al-An’âm [6]: 145).
Kata rijs diartikan sebagai keburukan budi pekerti atau kebobrokan mental. Pendapat serupa dikemukakan antara lain oleh seorang ulama kontemporer Syaikh Taqi Falsafi dalam bukunya Child Between Heredity and Education, yang mengutip pendapat Alexis Carrel dalam bukunya Man the Unknown. Carrel, peraih hadiah Nobel bidang kedokteran ini, menulis bahwa pengaruh campuran kimiawi yang dikandung oleh makanan terhadap aktivitas jiwa dan pikiran manusia belum diketahui secara sempurna, karena belum diadakan eksperimen dalam waktu yang memadai. Namun tidak dapat diragukan bahwa perasaan manusia dipengaruhi oleh kuantitas dan kualitas makanan.
Para ulama sering mengaitkan penyakit dengan siksa Allah. Dalam hal ini, al-Biqa’i dalam tafsirnya mengenai surah al-Fatihah, mengemukakan sabda Nabi Saw.:
المَرَضُ سَوْطُ اللهِ فِى الأَرْضِ يُؤَدِّبُ اللهُ بِهِ عِبَادَهُ
Terjemah:
Penyakit adalah cambuk Tuhan di bumi ini, dengannya Dia (Allah) mendidik hamba-hamba-Nya.
Pendapat ini didukung oleh kandungan pengertian takwa yang pada dasarnya berarti menghindar dari siksa Allah di dunia dan di akhirat. Siksa Allah di dunia, adalah akibat pelanggaran terhadap hukum-hukum alam. Hukum alam antara lain membuktikan bahwa makanan yang kotor mengakibatkan penyakit. Seorang yang makan makanan kotor pada hakikatnya melanggar perintah Tuhan, sehingga penyakit merupakan siksa-Nya di dunia yang harus dihindari oleh orang yang bertakwa.
Dari sini dapat dimengerti bahwa Islam memerintahkan agar berobat pada saat ditimpa penyakit.
تَدَاوَوْا فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَمْ يَضَعْ دَاءً إِلَّا وَضَعَ لَهُ دَوَاءً غَيْرَ دَاءٍ وَاحِدٍ الْهَرَمُ
Terjemah:
Berobatlah, karena tiada satu penyakit yang diturunkan Allah, kecuali diturunkan pula obat penangkalnya, selain dari satu penyakit, yaitu ketuaan (Hadis Riwayat Abu Dawud dan at-Tirmidzi dari — sahabat Nabi — Usamah bin Syuraik).
Bahkan seandainya tidak ada perintah rinci dari hadis tentang keharusan berobat, maka prinsip- prinsip pokok yang diangkat dari al-Quran dan Hadis cukup untuk dijadikan dasar dalam upaya kesehatan dan pengobatan. Sebagai contoh dapat dikemukakan persoalan transplantasi, baik dari donor hidup maupun donor yang telah meninggal dunia. Beberapa prinsip dan kesepakatan dalam bidang hukum agama yang berkaitan dengan topik bahasan ini dapat membantu menemukan pandangan Islam dalam persoalan dimaksud. Prinsip-prinsip dimaksud antara 1ain adalah:
Agama Islam bertujuan memelihara agama, jiwa, akal, kesehatan, dan harta benda umat manusia.
Anggota badan dan jiwa manusia merupakan milik Allah yang dianugerahkan-Nya untuk dimanfaatkan, bukan untuk disalahgunakan atau diperjualbelikan.
Penghormatan dan hak-hak asasi yang dianugerahkan-Nya mencakup seluruh manusia, tanpa membedakan ras atau agama.
Terlarang merendahkan derajat manusia, baik yang hidup, maupun yang telah wafat.
Jika bertentangan kepentingan antara orang yang hidup dan orang yang telah wafat, maka dahulukanlah kepentingan orang yang hidup.
Dari prinsip-prinsip ini banyak ulama kontemporer menetapkan bahwa “transplantasi” dapat dibenarkan selama tidak diperjualbelikan, dan selama kehormatan manusia — yang hidup maupun yang mati – terjaga sepenuhnya. Salah satu jaminan tidak adanya pelecehan adalah izin dan pihak keluarga.
Alasan penolakan yang sering terdengar dari kalangan orang kebanyakan (awam) bahwa setelah si penerima donor sehat, ia mungkin dapat menyalahgunakan kesehatannya, dan ini dapat mengakibatkan dosa, terutama bagi “pemilik” organ (jenazah), atau orang yang mengizinkan. Alasan ini, pada hakikatnya tidak sepenuhnya dapat diterima. Kemurahan dan keadilan Tuhan mengantar-Nya untuk tidak menuntut pertanggungjawaban dari seseorang terhadap sesuatu yang tidak dikerjakannya secara sadar, karena hakikat manusia bukan organ dan jasmaninya:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ
Terjemah:
Allah tidak memandang kepada rupa dan hartamu, tetapi memandang hati dan perbuatanmu. (Hadis Riwayat Muslim dari Abu Hurairah)
Demikian sabda Nabi Muhammad Saw. yang diriwayatkan oleh Muslim. Di samping itu, izin yang diharuskan itu, telah dapat mengurangi kalau enggan berkata “menghilangkan” kekhawatiran di atas. Kalau niat pemberi izin untuk membantu sesama manusia, dan dia menduga keras bahwa bantuan tersebut tidak akan disalahgunakan, maka kalaupun ternyata dugaannya keliru, maka ia bebas dari dosa. Sebaliknya, jika yang memberi izin sudah menduga keras akan terjadinya penyalahgunaan, maka tentu saja ia tidak terbebaskan dari dosa. Di sini terlihat pula peranan izin.
Dapat ditambahkan bahwa al-Quran menegaskan:
مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ كَتَبْنَا عَلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنَّهُ مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا وَلَقَدْ جَاءَتْهُمْ رُسُلُنَا بِالْبَيِّنَاتِ ثُمَّ إِنَّ كَثِيرًا مِنْهُمْ بَعْدَ ذَلِكَ فِي الْأَرْضِ لَمُسْرِفُونَ
Terjemah:
Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak di antara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan di muka bumi. (QS al-Maidah [5]: 32).
“Menghidupkan” di sini bukan saja yang berarti “memelihara kehidupan”, tetapi juga dapat mencakup upaya “memperpanjang harapan hidup” dengan cara apa pun yang tidak melanggar hukum.
Demikian, satu contoh, bagaimana ayat-ayat al-Quran dipahami dalam konteks peristiwa paling mutakhir dalam bidang kesehatan.
Namun dalam ajaran Islam juga ditekankan bahwa obat dan upaya hanyalah “sebab”, sedangkan penyebab sesungguhnya di balik sebab atau upaya itu adalah Allah Swt., seperti ucapan Nabi Ibrahim a.s. yang diabadikan al-Quran dalam QS al-Syu’arâ’ [26]: 80,
وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ
Terjemah:
Apabila aku sakit, Dia (Allah) lah yang menyembuhkanku.
KESEHATAN MENTAL
Nabi Saw. juga mengisyaratkan bahwa ada keluhan fisik yang terjadi karena gangguan mental. Seseorang datang mengeluhkan penyakit perut yang diderita saudaranya setelah diberi obat berkali-kali, tetapi tidak kunjung sembuh dinyatakan oleh Nabi Saw:
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنَّ أَخِي اسْتَطْلَقَ بَطْنُهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْقِهِ عَسَلًا فَسَقَاهُ ثُمَّ جَاءَهُ فَقَالَ إِنِّي سَقَيْتُهُ عَسَلًا فَلَمْ يَزِدْهُ إِلَّا اسْتِطْلَاقًا فَقَالَ لَهُ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ جَاءَ الرَّابِعَةَ فَقَالَ اسْقِهِ عَسَلًا فَقَالَ لَقَدْ سَقَيْتُهُ فَلَمْ يَزِدْهُ إِلَّا اسْتِطْلَاقًا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدَقَ اللَّهُ وَكَذَبَ بَطْنُ أَخِيكَ فَسَقَاهُ فَبَرَأَ
Terjemah:
Dari Abu Said al-Khudri r.a katanya: Ada seorang lelaki datang kepada Nabi s.a.w lalu berkata: Saudaraku terasa mual-mual perutnya. Rasulullah s.a.w. bersabda: Berilah beliau [minum] madu! Setelah lelaki itu memberikan madu kepada saudaranya, beliau datang lagi kepada Nabi s.a.w. dan menyatakan: Aku telah memberinya [minum] madu, tetapi perut beliau bertambah memulas. Kejadian itu berulang sehingga tiga kali. Pada kali yang keempat, Rasulullah s.a.w. bersabda: Berilah beliau [minum] madu! Lelaki tersebut masih lagi menyatakan: Aku benar-benar telah memberinya [minum] madu, tetapi perut beliau bertambah mulas. Maka Rasulullah s.a.w. bersabda: Maha benar Allah yang telah berfirman: Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalam minuman itu terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Oleh sebab itu, mungkin ada yang tidak sesuai dengan perut saudaramu itu. Akhirnya Rasulullah s.a.w. sendiri yang memberikan minum madu, dan sembuhlah saudara lelaki itu. (Hadis Riwayat al-Bukhari dan Muslim)
Al-Quran al-Karim memang banyak berbicara tentang penyakit jiwa. Mereka yang lemah iman dinilai oleh al-Quran sebagai orang yang memiliki penyakit di dalam dadanya.
Dari hadis-hadis Nabi diperoleh petunjuk, bahwa sebagian kompleks kejiwaan tercipta pada saat janin masih berada di perut ibu, atau bahkan pada saat hubungan seks (pertemuan sperma dan ovum), demikian juga ketika bayi masih dalam buaian.
Karena itu, Islam memerintahkan kepada para ibu dan bapak agar menciptakan suasana tenang, dan mengamalkan ajaran agama pada saat bayi berada dalam kandungan, sebagaimana memerintahkan kepada para orang-tua untuk memperlakukan anak-anak mereka secara wajar.
Dalam suatu riwayat diungkapkan ada seorang anak yang sedang digendong, kemudian ‘pipis’ [kencing] membasahi pakaian Nabi. Ibunya merenggut bayi tersebut dengan kasar. Namun Nabi [lalu] menegurnya, dengan bersabda:
مَهْلًا بِأُمِّ الْفَضْلِ إِنَّ هَذَا الإِرَقَةَ المَاءُ يُطَهِّرُهَا فأَيُّ شَيْءٍ يَزِيْلُ هَذَا الغُبَارَ عَنْ قَلْبِهِ
Terjemah:
Jangan hentikan pipisnya, jangan renggut dia dengan kasar. Pakaian ini dapat dibersihkan dengan air, tetapi apa yang dapat menjernihkan hati sang anak (yang engkau renggut dengan kasar)?
Seperti diungkapkan oleh beberapa pakar ilmu jiwa, bahwa sebagian kompleksitas gejala sakit kejiwaan yang diderita orang dewasa, dapat diketahui penyebab utamanya adalah pada perlakuan yang diterimanya sebelum dewasa.
Agaknya kita dapat menyimpulkan bahwa pandangan Islam tentang penyakit-penyakit mental mencakup banyak hal, yang boleh jadi tidak dijangkau oleh pandangan ilmu kesehatan modern.
Dalam al-Quran tidak kurang sebelas kali disebut istilah fî qulûbihim maradh.
Kata qalb atau qulûb dipahami dalam dua makna, yaitu “akal dan hati.” Sedang kata maradh biasa diartikan sebagai penyakit. Secara rinci pakar bahasa – Ibnu Faris – mendefinisikan kata tersebut sebagai “segala sesuatu yang mengakibatkan manusia melampaui batas keseimbangan/ kewajaran dan mengantar kepada terganggunya fisik, mental, bahkan kepada tidak sempurnanya amal seseorang.”
Terlampauinya batas kesimbangan tersebut dapat berbentuk gerak ke arah berlebihan, dan dapat pula ke arah kekurangan.
Dari sini dapat dikatakan bahwa al-Quran memperkenalkan adanya penyakit-penyakit yang menimpa hati dan yang menimpa akal.
Penyakit-penyakit akal yang disebabkan bentuk berlebihan adalah semacam kelicikan, sedangkan yang bentuknya karena kekurangan adalah ketidaktahuan akibat kurangnya pendidikan. Ketidaktahuan ini dapat bersifat tunggal maupun ganda. Seseorang yang tidak tahu serta tidak menyadari ketidaktahuannya pada hakikatnya menderita penyakit akal-ganda (jâhil murakkab).
Penyakit akal berupa ketidaktahuan mengantarkan penderitanya pada keraguan dan kebimbangan. Penyakit-penyakit kejiwaan pun beraneka ragam dan bertingkat-tingkat. Sikap angkuh, benci, dendam, fanatisme, loba, dan kikir yang antara lain disebabkan karena bentuk keberlebihan seseorang. Sedangkan rasa takut, cemas, pesimisme, rendah diri dan lain-lain adalah karena kekurangannya.
Yang akan memperoleh keberuntungan di hari kemudian adalah mereka yang terbebas dari penyakit-penyakit tersebut, seperti bunyi firman Allah dalam QS al-Syu’arâ’ [26]: 88-89,
يَوْمَ لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ(88) إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ(89)
Terjemah:
(Yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.
Islam mendorong manusia, agar memiliki hati (qalb) yang sehat dari segala macam penyakit adalah dengan jalan bertobat, dan mendekatkan diri kepada Tuhan (Allah). Karena itulah Allah berfirman:
الَّذِينَ ءَامَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
Terjemah:
(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram. (QS al-Ra’d [13]: 28).
Itulah sebagian tuntunan al-Quran dan Sunnah Nabi Saw. tentang kesehatan.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar