Powered By Blogger

Jumat, 10 Desember 2010

renungan


SADD ADZ-DZARÂI’ [1]

DAN KEABSAHANNYA SEBAGAI HUJJAH SYAR’IYYAH

A. Pendahuluan

Allah SWT mengutus Nabi Muhammad s.a.w. sebagai penutup para Nabi dan Rasul dengan berbagai keistimewaan risalah-Nya (al-Islam). Diantara karakteristik atau keistimewaan tersebut adalah bahwa Islam merupakan agama yang universal. Sebagaimana dalam firman-Nya:

”Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.”(QS Saba’, 34: 28).

Kemudian agama Islam juga adalah agama yang menyeluruh, ajarannya mencakup seluruh aspek yang dibutuhkan manusia; aspek ruh, jasad, dan akal.

“(dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri dan Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.”(QS an-Nahl, 16: 89).

Selain itu juga Islam adalah agama yang fleksibel. Mampu menjawab tantangan dan pertanyaan seiring dengan lajunya perkembangan zaman (shâlihun likulli zamân wa makân).

Sebagai salah satu upaya dalam merealisasikan aspek fleksibilitas Islam, maka Rasulullah sallalâhu ‘alahi wasallam membolehkan kepada para sahabat untuk berijtihad. Hal inilah yang dijadikan salah satu landasan para mujtahid dalam berijtihad mengenai suatu hukum yang tidak terdapat dalam nash sharih mengenai penetapan hukumnya.

Sebagaimana yang telah diketahui bahwa al-Qurân, as-Sunnah, Ijmâ’, dan Qiyâs merupakan sumber hukum Islam yang muttafaq ‘alaih (yang telah disepakati). Kemudian kita juga mengenal adillah mukhtalaf fîhâ (yang masih diperselisihkan) yang merupakan produk ijtihad. Keabsahannya untuk dijadikan sumber hukum masih dipertentangkan. Salah satu dari adillah mukhtalaf tersebut adalah sadd adz dzarâi’.

Dalam tulisan yang sederhana ini penulis akan mencoba mengulas beberapa permasalahan mengenai sadd adz dzarâi’ sebagai salah satu sumber dalam penetapan hukum Islam.

B. Definisi Sadd adz-Dzarâi’

  1. Definisi secara etimologi.

Sadd adz-dzarâi’ terdiri dari dua kata. Sadd dan adz-dzarâi’. Kata sadd dapat kita artikan mencegah (al-man’u, al-hasmu), dan adz-dzarâi’ adalah bentuk jamak dari kata dzarî’ah. Secara etimologi, kata dzarî’ah memiliki arti at-taharruk wa al-imtidâd. Sesuatu yang menunjukan adanya perubahan. Dalam bahasa Arab kata (mufrad) dzarî’ah (jama’: dzarâi’) biasa digunakan dalam makna hal-hal berikut ini:[2]

  1. Sebab. Orang Arab biasa mengungkapkan fulânun dzarî’atî ilaika.
  2. Perantara. Seperti ungkapan mereka: faman tadzarra’a bi dzarî’atin faqad tawassala bi wasîlatin.
  3. Kata dzarî’ah juga biasa difungsikan sebagai seekor unta yang dijadikan tempat persembunyian seorang pemanah, agar ia berhasil memanah binatang buruannya dari jarak yang dekat.
  4. Kata dzarî’ah biasa difungsikan juga sebagai sebuah halaqah atau perkumpulan orang yang belajar memanah.

Dari empat definisi dzarî’ah secara etimologi di atas dapat disimpulkan bahwa dzarî’ah adalah segala sesuatu yang dijadikan perantara menuju sesuatu yang lain.

  1. Definisi secara terminologi.[3]

Ketika kita membaca buku-buku yang membahas masalah dzarâi’, maka kita akan menemukan bahwa secara terminologi para ahli ushûl, dzarâ’i memiliki dua definisi. Yaitu definisi secara umum dan definisi secara khusus.

  1. Definisi Umum.

Dzarâi’ ialah segala sesuatu yang dijadikan perantara, baik itu sesuatu yang hukumnya halâl ataupun harâm. Dari definisi ini mencakup tiga hal yaitu: Pertama; perpindahan dari sesuatu yang hukumnya mubâh (boleh) kepada hal yang dibolehkan (mubâh). Kedua; perpindahan dari sesuatu yang hukumnya harâm kepada hal yang diharamkan. Ketiga; perpindahan dari sesuatu yang hukumnya mubâh (boleh) kepada hal yang diharamkan atau sebaliknya. Dari sini maka munculah sebuah kaedah fath adz-dzarâi’ dan sadd adz-dzarâi’. Membolehkan segala perantara yang akan mengantarkan kepada kemashlahatan dan mencegah atau mengharamkan segala perantara yang akan mengantarkan kepada mafsadah. Mengenai hal ini al-Qurâfi[4] berkata: ”Ketahuilah bahwa dzarî’ah itu, sebagaimana ia harus ditutup pintunya, ia juga harus dibuka selebar-lebarnya. Karena segala perantara yang mengantarkan kepada sesuatu yang harâm, hukumnya harâm. Begitu juga dengan sesuatu yang wajib. Dan bahwasanya adanya hukum itu berdasarkan dua hal. Maqâshid dan wasâil. keduanya memiliki ketetapan hukum yang sama …”.

  1. Definisi Khusus.

Maksud dari definisi khusus di sini ialah definisi dzarâi’ secara terminologi yang menjadi pertentangan para ulama. Ada yang membolehkan dan ada juga yang melarangnya.

Beberapa ulama yang mendefinisikan dzarâi’ secara terminologi khusus

1) Al-Qâdhi Abdul Wahhâb, al-Bâjî, dan Ibnu Rusyd mendefinisikan bahwa dzarâi’ ialah sesuatu — yang berawal dari sesuatu — yang hukumnya mubâh (boleh), tetapi jika dilakukan (diamalkan) kemungkinan besar akan mengantarkan kepada sesuatu yang (hukumnya) harâm.

2) Menurut al-Qurthubi, dzarâi’ ialah sesuatu — yang berawal dari sesuatu — yang hukumnya mubâh (boleh), tetapi jika dilakukan (diamalkna) dikhawatiran akan menjerumuskan (para pelakunya) kepada sesuatu hal yang (hukumnya) harâm.

3) Sementara menurut asy-Syathibi, hakikat dzarâi’ ialah bertawassul (bertumpu, berperantara) dengan sesuatu yang (bernilai) mashlahah (menuju) kepada hal yang mengandung unsur mafsadah.

Dari ketiga definisi di atas dapat kita simpulkan, bahwa para ulama sepakat dengan istilah dzarâi’ secara terminologi khusus adalah: ”suatu perantara yang hukum yang asalnya mubâh (boleh)”. Adapun perantara yang hukumnya harâm, bukanlah dzarâi’ yang dimaksud dalam definisi ini.

C. Pembagian Sadd adz-Dzarâi’

Setiap perbuatan yang akan mengantarkan kepada mafsadah, ada yang hukum asalnya harâm, dan ada juga yang hukumnya mubâh (boleh). Adapun yang hukum asalnya harâm, para ulama tidak mempertentangkan mengenai ketetapan hukumnya. Seperti minum khamar yang akan menyebabkan mabuk dan merusak akal manusia. Hal ini tidak termasuk dalam pembahasan sadd adz-dzarâi’. Hal yang menjadi objek pembahasan kita mengenai sadd adz dzarâi ialah segala sesuatu yang hukum asalnya mubâh (boleh), tetapi akan mengantarkan kepada mafsadah, sebagaimana yang telah disinggung dalam definisi dalam terminologi khusus. Dalam bukunya al- Wajîz fî Ushûl al Fiqh, Dr. Abdul Karîm Zaidan membaginya kepada tiga bagian[5]:

  1. Dzarâi yang akan mengantarkan pada mashlahah yang lebih dominan dibandingkan dengan mafsadahnya. Seperti melihat calon isteri dan menanam anggur. Hal ini tidak dilarang oleh syari’at, karena mashlahahnya lebih dominan dari pada mafsadah yang akan terjadi.
  2. Dzarâi’ yang akan mengantarkan pada mafsadah yang dominan dibandingkan mashlahahnya. Seperti menjual senjata (alat-alat perang) ketika masa-masa perang, menyewakan rumah kepada orang yang akan menggunakannya sebagai tempat maksiat.
  3. Dzarâi’ yang akan mengantarkan pada mafsadah, dengan memanfaatkannya bukan pada tujuan yang sebenarnya. Seperti pernikahan yang dijadikan wasîlah dihalalkannya isteri yang telah ditalak bain dan jual beli ajal.[6]

Poin kedua dan ketiga ini menjadi objek pertentangan di kalangan para ulama. Madzhab Malikiyah dan Hanabilah mengharamkannya, dengan landasan sadd adz-dzarâi’. Sementara madzhab yang lainnya seperti Syafi’iyah dan Zhahiriyah tidak mengharamkannya, dengan landasan hukum asal dari perbuatan tersebut adalah mubâh (boleh), maka hukumnya tidak berubah menjadi harâm hanya karena ada ihtimal (kemungkinan) menyebabkan mafsadah.

Sementara Imam asy-Syathibi menambahkan satu poin dari ketiga pembagian di atas, yaitu dzarâi’ yang akan mengantarkan kepada mafsadah yang qath’i (pasti). Seperti menggali sumur di belakang pintu rumah dalam keadaan gelap. Karena dapat dipastikan ada orang yang terperosok kedalamnya. Maka para ulama sepakat bahwa perbuatan tersebut harâm, sama saja dengan membunuh orang dengan sengaja.

Dengan kata lain, berdasarkan mauqif (sikap) ulama terhadap sadd adz- dzarâi’, ada tiga pembagian.

  1. dzarâi’ yang disepakati keharamannya oleh para fuqaha’,
  2. b. dzarâi’ yang disepakati kebolehannya, dan
  3. dzarâi’ yang masih dipertentangkan.

D. Pendapat Para Ulama Terhadap Keabsahan Sadd adz-Dzarâi’ Sebagai Hujjah Syar’iyyah

Tujuan asal dari sadd adz-dzarâi’ adalah untuk menciptakan suatu mashlahah dan menghindari mafsadah. Ia ibarat penguat bagi maslahah mursalah yang diterapkan secara khusus sebagai mashâdir tasyrî’i oleh Imam Malik dan Ahmad bin Hanbal. Maka tidak heran jika madzhab yang menjadikan sadd adz-dzarâi’ sebagai salah satu mashâdir tasyrî’i adalah madzhab Malikiyah dan Hanabilah. Hanya saja Imam Malik lebih banyak menggunakannya dari pada Imam Ahmad. Bahkan Ibnu al-Qayyim[7] mengatakan bahwa sadd adz-dzarâi’ adalah rub’u ad-dîn.[8] Sementara Imam asy-Syafi’i, Abu Hanifah, dan golongan Syi’ah menyepakatinya dalam beberapa masalah saja. Adapun Ibnu Hazm azh- Zhâhiri mengingkarinya secara mutlak.[9] Di antara bukti yang menjelaskan bahwa Imam Syafi’i mengambil sadd adz-dzara’i sebagai salah satu hujjah syar’iyyah dapat kita lihat dalam kitab al-Umm. Salah satunya dijelaskan bahwa beliau terkadang meninggalkan udhhiyyah (ibadah kurban), untuk menghindari anggapan bahwa hal tersebut hukumnya wajib.

Landasan (alasan) yang menerima sadd adz-dzarâi’ sebagai hujjah syar’iyyah[10].

  1. Naqli
    1. Al-Quran

“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka, kemudian kepada tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan”. (QS al-An’âm, 6 :100)

“Wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian mengatakan (kepada Muhammad) “râ’ina”, tetapi katakanlah “unzhurnâ”, dan dengarlah. Dan bagi orang-orang kafir siksaan yang pedih” (QS al-Baqarah, 2: 104).

  1. As-Sunnah

1) Rasulullah s.a.w. melarang kepada umat Islam (orang-orang yang beriman) melakukan pembunuhan terhadap orang munafik, padahal jika dilakukan tentu ada unsur mashlahah, namun unsur mashlahah tersebut dikalahkan oleh unsur mafsadah yang akan timbul. Yaitu akan mengakibatkan perginya kaum dari agama Islam dengan anggapan bahwa Rasulullah s.a.w. telah membunuh sahabatnya. Lebih dari itu ia akan berimplikasi kepada phobinya orang-orang yang belum masuk Islam.

2) Rasulullah s.a.w. melarang kepada orang yang diutangi untuk menerima hadiah dari yang berutang padanya. Khawatir hal tersebut (akan berdampak) mendekati riba.

3) Rasulullah s.a.w.. bersabda: “Tinggalkanlah hal yang membuatmu ragu dan lakukanlah hal yang tidak kamu ragukan”(’’da mâ yurîbuka ilâ mâ lâ yurîbuka”)[11]

4) Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya di antara dosa besar itu adalah seseorang melaknat orang tuanya. Para sahabat bertanya, wahai Rasulullah bagaimana seseorang melaknat orang tuanya sendiri? Rasulullah menjawab: seseorang yang mencela orang tua saudaranya, maka orang tersebut akan membalasnya dengan mencela kembali orang tua pencela tersebut”.[12]

  1. Fatwa Sahabat

1) Para sahabat menetapkan bahwa wanita yang ditalak oleh suaminya yang sakit yang menyebabkan kematian (fî maradh al-maut), mereka tetap mendapatkan warisan. Karena dikhawatirkan penthalakan tersebut bertujuan agar si isteri tidak mendapatkan warisan (hirmân al-irtsi). Meski dalam kenyataannya si suami tersebut tidak berniat demikian.

2) Para sahabat bersepakat untuk mengqishâsh para pelaku pembunuhan dengan keroyokan, walaupun yang dibunuh hanya satu orang (qatlu al-jamâ’ah bi a- wâhid. Pada dasarnya hal ini tidak sesuai dengan aturan qishâsh, namun ditetapkannya hal tersebut sebagai sadd adz-dzarî’ah (agar tidak menimbulkan pertumpahan darah).

  1. Kaedah Fikih

دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ

)Menghindari mafsadah-mafsadah lebih didahalukan daripada memperoleh kemashlahatan-kemashlahatan).

  1. ‘Aqli (Akal)

Secara logika, ketika seseorang membolehkan sesuatu, maka otomatis ia akan membolehkan juga segala perantara yang akan mengantarkan kepada hal tersebut. Begitupun sebaliknya. Hal ini senada dengan ungkapan Ibnu Qayyim dalam kitab I’lâm al-Mûqi’în: ”Ketika Allah mengharamkan sesuatu, maka Allah akan mengharamkan segala perantaranya. Jika membolehkanya, tentu hal ini bertolak belakang dengan tetapnya keharaman tersebut…”

Landasan (alasan) yang tidak menghukumi sadd adz-dzarâi’ sebagai hujjah syar’iyyah Diriwayatkan oleh Nasai, Tirmidzi, Hakim, dan disahkan oleh Hasan bin Ali bin Abi Thalib.

Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa di antara yang tidak menghukumi sadd adz-dzarâi’ sebagai hujjah syar’iyyah adalah Imam asy-Syafi’i dan Ibnu Hazm. Maka dalam pembahasan ini penulis akan memaparkan beberapa argumen dari keduanya.

E. Mauqif (Sikap) Imam asy-Syafi’i terhadap sadd adz-dzarâi’[13]

  1. Beliau berpendapat bahwa ketetapan hukum itu berdasarkan sesuatu yang bersifat zhahir, bukan berdasarkan sesuatu yang maknawi atau yang sifatnya zhanni. Dalam suatu ayat Allah SWT. berfirman yang ditujukan kepada Rasulullah s.a.w.:

”Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS al-Isrâ’, 17: 36).

  1. Beliau berpendapat bahwa suatu hukum tidak batal dengan sesuatu yang belum jelas. Beliau mencontohkan dengan orang yang membeli pedang dengan tujuan mempergunakannya untuk membunuh. Maka hukum jual beli tersebut sah, tapi niatnya yang tidak boleh. Niat tersebut tidak membatalkan jual beli. Bahkan jual beli tersebut tetap sah, ketika ternyata si pembeli tadi benar-benar menggunakannya untuk membunuh.
  2. Selain itu juga, Imam asy-Syafi’i tidak menjadikan produk ijtihad sebagai sumber hujjah syar’iyyah, kecuali qiyâs.
  3. Penolakan Ibnu Hazm terhadap penetapan sadd adz-dzarâi’ sebagai Hujjah Syar’iyyah.

Ibnu Hazm menolak kehujjahan sadd adz-dzarâi’, karena sadd adz-dzarâi’ itu sendiri adalah salah satu produk hukum yang melibatkan akal (bâb min abwâb al ijtihâd a- ra`yi). Sementara Ibnu Hazm adalah penolak ar-ra`yu (akal) sebagai sumber hukum. Kemudian Ibnu Hazm juga sepakat dengan pendapat Imam asy-Syafi’i bahwa halâl dan harâmnya sesuatu tidak bisa ditetapkan oleh sesuatu yang bersifat zhanniy.

G. Pengaruh sadd adz Dzarâi’ terhadap Ikhtilâf para Fuqaha[14]

Ketika terjadi perbedaan pendapat mengenai keabsahan sadd adz- dzara’i sebagai hujjah syar’iyyah, maka ketika itu juga para fuqaha’ berbeda pendapat dalam menetapkan suatu hukum yang berkaitan dengan permasalahan furu’ dalam fikih. Banyak sekali masâil fiqhiyyah mengenai hal ini. Akan tetapi, penulis hanya akan memberikan dua contoh saja.

  1. Hukum membayarkan zakat bagi mayit yang belum menunaikan zakat
  1. Imam Malik dan Abu Hanifah berpendapat bahwa jika si mayit berwasiat untuk membayarkannya, maka ahli waris harus membayarkannya sepertiga dari tirkah, seperti halnya wasiat. Namun jika si mayit tidak berwasiat, maka ahli waris tidak berkewajiban untuk membayarnya. Adapun alasan Imam Malik adalah sadd adz-dzarâi’. Karena jika ahli waris wajib membayarkannya, dikhawatirkan semua orang akan menangguhkan zakatnya sampai akhir hayatnya. Tentu hal ini merupakan dlarar bagi ahli waris. Sementra Imam Abu Hanifah berhujjah bahwa zakat adalah ibadah yang mensyaratkan adanya niat, maka hal tersebut gugur dengan kematian orang yang bersangkutan.
  2. Imam asy-Syafi’i dan Ahmad berpendapat bahwa zakat tersebut harus dibayarkan oleh ahli waris dari harta yang ditinggalkan si mayit (tirkah). Baik si mayit mewasiatkan ataupun tidak. Hujjah Imam asy-Syafi’i dan Ahmad adalah mengqiyâskan (menganalogikan) zakat dengan utang dan ibadah haji. Tidak gugur dengan matinya orang yang bersangkutan dan dibayarkan dari seluruh tirkahnya (bukan sepertiganya). Kemudian juga karena berpegang pada hujjah syar’iyyah: “fa dâinullâh ahaqqu an yuqdhâ”[15]
  1. Hukum nikah orang sakit (sakit yang menimbulkan kematian)

1) Imam Malik berpendapat bahwa nikahnya tidak sah.

Alasan Imam Malik adalah sadd adz-dzarâi’. Karena dengan menikah, berarti ahli waris akan bertambah. Hal ini diperkirakan akan menimbulkan kemadharatan bagi ahli waris yang lain. Sebab tidak menutup kemungkinan ada ahli waris yang terhijâb (mahjûb; Ind.: ”terhalang”) dengan hadirnya ahli waris yang baru. Sementara Ibnu Rusyd berpendapat bahwa tidak sahnya nikah orang yang sakit adalah salah satu dari mashlahah mursalah.

2) Imam Abu Hanifah, asy-Syafi’i dan Ahmad berpendapat bahwa nikahnya sah, dengan syarat maharnya adalah mahar mitsli.[16] Dan tidak sah nikahnya kalau lebih dari mahar mitsli. Dalam kitab al-Mughnî, Ibnu Qudamah berkata: ”jika seorang laki-laki yang sakit menikahi seorang perempuan yang mahar mitslinya lima, namun ia memberinya mahar sepuluh, sementara ia tidak memiliki harta selain harta yang dijadikan mahar itu. Kemudian laki-laki tersebut mati, maka selebihnya dari mahar mitsli yang telah diberikan, tidak berhak dimiliki oleh isteri tersebut, karena hal ini menyerupai wasiat, dan ahli waris tidak berhak menerima harta wasiat.”(lâ washiyyata li wâritsin)[17].

3) Adapun hujjah yang menyatakan bahwa nikahnya sah, adalah:

a) diqiyâskan dengan jual beli. Karena keduanya sama-sama ’aqdun mu’âwadhah.

b) diqiyâskan dengan hukum nikah ketika dalam kondisi sehat.

c) Imam asy-Syafi’i menguatkannya dengan beristidlal kepada perbuatan sahabat. Yaitu permohonan Mu’adz bin Jabal ketika beliau sakit yang mengantarkannya pada kematian. Saat itu Mu’adz berkata: ”nikahkanlah aku, agar ketika aku berjumpa dengan Allah SWT. tidak dalam keadaan membujang”.

H. Penutup

Pada akhir tulisan ini, penulis menemukan satu benang merah dari permasalahan di atas, bahwa sadd adz-dzarâ’i merupakan salah satu ushûl shahîhah yang dikuatkan oleh syara’, tidak bertentangan dengan nash, juga muayyadun bi al-‘aqli. Karena sadd adz-dzarâi’ itu sendiri merupakan salah satu pilar dari maqâshid asy-syari’ah.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Bughâ, Mushthafa Dîb., Atsar al-Adillah al-Mukhtalaf fîhâ fî al-Fiqh al Islâmî, (Damaskus, Dâr al Qalam, 1999).

Al-Burhâni, Muhammad Hisyâm., Sadd adz-Dzarâi’ fî at-Tasyrî’î al-Islâmî, Damaskus, Dâr al-Fikr, 1985.

Zaidan, Abdul Karîm., Al-Wajîz fî Ushûl al-Fiqh, Cet. 5, Beirut, Muassasah ar-Risâlah, 1996.

Az-Zuhaili Wahbah., Ushûl al Fiqh al-Islâmî, vol 2, Damaskus, Dâr al Fikr, 2004.

Al-Qazwînî, [Ibnu Majah] Muhammad ibn Yazîd Abû’Abdillah., Sunan Ibn Mâjah, Juz II, Beirut: Dâr al-Fkr, t.t.




ISTISHHAB SEBAGAI SEBUAH PIJAKAN HUKUM

DALAM USHUL FIQIH

A. Pengantar

Tidak diragukan lagi bahwa Syariat Islam adalah penutup semua risalah samawiyah, yang membawa petunjuk dan tuntunan Allah untuk ummat manusia dalam wujudnya yang lengkap dan final. Itulah sebabnya, dengan posisi seperti ini, maka Allah pun mewujudkan format Syariat Islam sebagai syariat yang abadi dan komperhensif.

Hal itu dibuktikan dengan adanya prinsip-prinsip dan kaedah-kaedah hukum yang ada dalam Islam yang membuatnya dapat memberikan jawaban terhadap terhadap hajat dan kebutuhan manusia yang berubah dari waktu ke waktu, seiring dengan perkembangan zaman. Secara kongkrit hal itu ditunjukkan dengan adanya dua hal penting dalam hukum Islam: (1) nash-nash (teks-teks) yang menetapkan hukum-hukum yang tak akan berubah sepanjang zaman dan (2) pembukaan jalan bagi para mujtahid untuk melakukan ijtihad dalam hal-hal yang tidak dijelaskan secara sharîh dalam nash-nash (teks-teks) tersebut.

Dan jika kita berbicara tentang ijtihad, maka sisi ra’yu (logika-logika yang benar) adalah hal yang tidak dapat dilepaskan darinya. Karena itu, dalam Ushul Fiqih –- sebuah ilmu yang “mengatur” proses ijtihad — dikenallah beberapa landasan penetapan hukum yang berlandaskan pada penggunaan kemampuan ra’yu para fuqaha. Dan salah satunya adalah istishhâb yang akan dibahas dan diuraikan secara singkat dalam makalah ini.

B. Definisi Istishhâb

Istishhâb secara bahasa adalah menyertakan, membawa serta dan tidak melepaskan sesuatu.[1] Jika seseorang mengatakan: استصحبت الكتاب في سفري (istashhabtu al-kitâba fî safarî), maka itu artinya: “aku membuat buku itu ikut serta bersamaku dalam perjalananku”.

Adapun secara terminologi Ushul Fiqih — sebagaimana umumnya istilah-istilah yang digunakan dalam disiplin ilmu ini — ada beberapa definisi yang disebutkan oleh para ulama Ushul Fiqih, di antaranya adalah:

Definisi al-Asnawiy (w. 772 H) yang menyatakan bahwa “(Istishhâb) adalah penetapan (keberlakukan) hukum terhadap suatu perkara di masa selanjutnya atas dasar bahwa hukum itu telah berlaku sebelumnya, karena tidak adanya suatu hal yang mengharuskan terjadinya perubahan (hukum tersebut).”[2]

Sementara al-Qarafiy (w. 486H) –- seorang ulama Malikiyah — mendefinisikan istishhâb sebagai “keyakinan bahwa keberadaan sesuatu di masa lalu dan sekarang itu berkonsekuensi bahwa ia tetap ada (eksis), sekarang atau di masa yang akan datang.”[3]

Definisi ini menunjukkan bahwa istishhâb sesungguhnya adalah penetapan hukum suatu perkara –- baik itu berupa hukum ataupun benda — di masa kini ataupun mendatang berdasarkan apa yang telah ditetapkan atau berlaku sebelumnya. Seperti ketika kita menetapkan bahwa si A adalah pemilik rumah atau mobil ini, entah itu melalui proses jual-beli atau pewarisan, maka selama kita tidak menemukan ada dalil atau bukti yang mengubah kepemilikan tersebut, kita tetap berkeyakinan dan menetapkan bahwa si A-lah pemilik rumah atau mobil tersebut hingga sekarang atau nanti. Dengan kata lain, istishhâb adalah melanjutkan pemberlakuan hukum di masa sebelumnya hingga ke masa kini atau (bahkan) nanti (yang akan datang).[4]

C. Kedudukan Istishhâb Di antara Dalil-dalil yang Lain

Banyak ulama yang menjelaskan bahwa secara hirarki ijtihad, istishhâb termasuk dalil atau pegangan yang terakhir bagi seorang mujtahid setelah ia tidak menemukan dalil dari al-Quran, as-Sunnah, Ijmâ’ atau Qiyâs. Asy-Syaukaniy – misalnya — mengutip pandangan seorang ulama, yang mengatakan:

“Ia (istishhâb) adalah putaran terakhir dalam berfatwa. Jika seorang mufti ditanya tentang suatu masalah, maka ia harus mencari hukumnya dalam al-Quran, kemudian as-Sunnah, lalu Ijmâ’, kemudian Qiyâs. Bila ia tidak menemukan (hukumnya di sana), maka ia pun (boleh) menetapkan hukumnya dengan ‘menarik pemberlakuan hukum yang lalu di masa sekarang’ (istishhâb al-hâl). Jika ia ragu akan tidak berlakunya hukum itu, maka prinsip asalnya adalah bahwa hukum itu tetap berlaku…”[5]

D. Perbedaan Pendapat (Ikhtilâf) Ulama dalam Kehujjahan Istishhab

Dalam menyikapi apakah istishhâb dapat dijadikan sebagai dalil dalam proses penetapan hukum, para ulama Ushul Fiqih terbagi dalam 3 pendapat:

Pendapat pertama, menyatakan bahwa istishhab adalah dalil (hujjah) dalam penetapan ataupun penafian sebuah hukum. Pendapat ini didukung oleh Jumhur ulama dari kalangan Malikiyah, Hanabilah, mayoritas ulama Syafi’iyah dan sebagian Hanafiyah.

Di antara argumentasi mereka dalam mendukung pendapat ini adalah:

Firman Allah:

“Katakanlah (wahai Muhammad): ‘Aku tidak menemukan dalam apa yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan untuk dimakan kecuali jika adalah bangkai, atau darah yang mengalir, atau daging babi…” (QS al-An’âm, 6: 145)

Ayat ini –- menurut mereka — menunjukkan bahwa prinsip asalnya segala sesuatu itu hukumnya mubâh hingga datangnya dalil yang menunjukkan pengharamannya. Hal ini ditunjukkan dengan Firman Allah: “… قُل لَّا أَجِد (qul lâ ajidu) (Katakanlah (wahai Muhammad): Aku tidak menemukan…)”. Pernyataan ini menunjukkan bahwa ketika tidak ada ketentuan baru, maka ketentuan lama-lah yang berlaku.[6]

2. Hadis Rasulullah s.a.w.:

إِنَّ الشَّيْطَانَ يَأْتِي أَحَدَكُمْ فِي صَلاَتِهِ فَيَقُولُ: إِنَّكَ قَدْ أَحْدَثْتَ، فَلْيَقُلْ: كَذَبْتَ إِلاَّ مَا وَجَدَ رِيحَهُ بِأَنْفِهِ ، أَوْ سَمِعَ صَوْتَهُ بِأُذُنِهِ

“Sesungguhnya setan mendatangi salah seorang dari kalian dalam shalatnya lalu mengatakan: Engkau telah berhadats (kentut)!’ Maka (jika demikian), katakan: “Kamu berdusta! (janganlah ia meninggalkan shalatnya), kecuali setelah ia mencium bau (kentut)-nya dengan hidungnya atau mendengar suara (kentut)-nya dengan telinganya.” (HR Ibnu Khuzaimah, Ahmad, Abu Ya’la, Al-Hakim, Ibnu Hibban, Ibnu Abi Syaibah dan Abu Dawud dari Abu Sa’id al-Khudriy; HR ath-Thabarani dari Abu Hurairah)

Dalam hadis ini, Rasulullah s.a.w. memerintahkan kita untuk tetap memberlakukan kondisi awal kita pada saat mulai mengerjakan shalat (yaitu dalam keadaan suci) bila setan membisikkan keraguan padanya bahwa wudhu’nya telah batal. Bahkan Rasulullah s.a.w. melarangnya untuk meninggalkan shalatnya hingga menemukan bukti bahwa wudhu’nya telah batal; yaitu mendengar suara atau mencium bau. Dan inilah hakikat istishhâb itu.

3. Ijmâ’.

Para pendukung pendapat ini menyatakan bahwa ada beberapa masalah fiqih yang telah ditetapkan melalui ijmâ’ atas dasar istishhab. Di antaranya adalah bahwa para ulama telah berijmâ’ bahwa jika seseorang ragu apakah ia sudah bersuci, maka ia tidak boleh melakukan shalat, karena dalam kondisi seperti ini ia harus merujuk pada hukum asal bahwa ia belum bersuci. Ini berbeda jika ragu apakah wudhu’nya sudah batal atau belum, maka dalam kasus ini ia harus berpegang pada keadaan sebelumnya bahwa ia telah bersuci dan kesucian itu belum batal.[7]

4. Dalil ‘Aqli.

Di antara dalil ‘aqli atau logika yang digunakan oleh pendukung pendapat ini adalah:

Bahwa penetapan sebuah hukum pada masa sebelumnya dan tidak adanya faktor yang menghapus hukum tersebut membuat dugaan keberlakuan hukum tersebut sangat kuat (azh-zhann ar-râjih). Dan dalam syariat Islam, sebuah dugaan kuat (azh-zhann ar-râjih) adalah hujjah, maka dengan demikian istishhâb adalah hujjah pula.

Disamping itu, ketika hukum tersebut ditetapkan pada masa sebelumnya atas keyakinan, maka penghapusan hukum itu pun harus didasarkan atas keyakinan, berdasarkan kaedah al-yaqîn lâ yuzâlu bi asy-syakk.

Pendapat kedua, bahwa istishhâb tidak dapat dijadikan sebagai hujjah secara mutlak, baik dalam menetapkan hukum ataupun menafikannya. Ini adalah pendapat mayoritas ulama Hanafiyah.[8]

Di antara dalil dan pegangan mereka adalah:

Menggunakan istishhâb berarti melakukan sesuatu dengan tanpa landasan dalil. Dan setiap pengamalan yang tidak dilandasi dalil adalah batil. Maka itu berarti bahwa istishhâb adalah sesuatu yang batil.

Istishhâb akan menyebabkan terjadinya pertentangan antara dalil, dan apapun yang menyebabkan hal itu maka ia adalah batil. Ini adalah karena jika seseorang boleh menetapkan suatu hukum atas dasar istishhâb, maka yang lain pun bisa saja menetapkan hukum yang bertentangan dengan itu atas dasar istishhâb pula.

Pendapat ketiga, bahwa istishhâb adalah hujjah pada saat membantah orang yang memandang terjadinya perubahan hukum yang lalu –- atau yang dikenal dengan barâ’ah adz-dzimmah — dan tidak dapat sebagai hujjah untuk menetapkan suatu hukum baru. Pendapat ini dipegangi oleh mayoritas ulama Hanafiyah belakangan dan sebagian Malikiyah.[9]

Dalam hal ini yang menjadi alasan mereka membedakan kedua hal ini adalah karena dalil syar’i hanya menetapkan hukum itu di masa sebelumnya, dan itu tidak bisa dijadikan sebagai landasan untuk menetapkan hukum baru di masa selanjutnya.

E. Tarjih

Dengan melihat dalil-dalil yang dipaparkan oleh ketiga pendapat ini, nampak jelas bahwa dalil pendapat pertama sebenarnya jauh lebih kuat dari dua pendapat lainnya. Istishhâb adalah sesuatu yang fithri (asasi, natural dan sudah menjadi pendapat umum) dalam diri manusia, yaitu bahwa jika tidak ada suatu bukti atau dalil yang mengubah hukum atau label pada sesuatu menjadi hukum lain, maka yang berlaku dalam pandangan mereka adalah tetap hukum yang pertama.

Karena itu para fuqaha pun menyepakati kaedah al-yaqîn lâ yuzâlu bi asy-syakk –- termasuk yang mengingkari istishhâb — dan kaedah inilah yang sesungguhnya menjadi salah satu landasan kuat istishhâb ini. Itulah sebabnya, para qâdhi (hakim) pun memberlakukan prinsip yang sama dalam keputusan peradilan mereka. Dalam hubungan suami-isteri misalnya, jika tidak ada bukti bahwa hubungan itu telah putus, maka sang qadhi tetap memutuskan berlakunya hubungan itu seperti yang telah ada sebelumnya.[10]

F. Jenis-jenis Istishhâb

Para ulama menyebutkan banyak sekali jenis-jenis istishhâb ini. Dan berikut ini akan disebutkan yang terpenting di antaranya, yaitu:

Istishhâb hukum asal atas sesuatu saat tidak ditemukan dalil lain yang menjelaskannya; yaitu mubâh jika ia bermanfaat dan harâm jika ia membawa mudharat, dengan perbedaan pendapat yang masyhur di kalangan para ulama tentangnya; yaitu apakah hukum asal sesuatu itu adalah mubâh atau harâm. Salah satu contohnya adalah jenis makanan dan minuman yang tidak ditemukan dalil yang menjelaskan hukumnya dalam al-Quran dan as-Sunnah, atau dalil lainnya seperti ijmâ’ dan qiyâs.[11] Untuk yang semacam ini, para ulama berbeda pendapat dalam 3 (tiga) madzhab:

Pendapat pertama, bahwa hukum asal segala sesuatu adalah mubâh, hingga adanya dalil yang menetapkan atau mengubahnya. Pendapat ini dipegangi oleh Jumhur Mu’tazilah, sebagian ulama Hanafiyah, Syafi’iyah dan Zhahiriyah.[12]

Dalil-dalil mereka antara lain adalah ayat-ayat al-Quran yang zhahirnya (secara tekstual) menunjukkan bahwa pada dasarnya segala sesuatu itu mubâh, seperti:

“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS al-Baqarah, 2: 29)

Ayat ini menunjukkan bahwa semua yang ada di bumi ini untuk dimanfaatkan oleh manusia, dan hal itu tidak mungkin dimanfaatkan kecuali jika hukumnya mubâh.

Juga firman-Nya:

“Katakanlah: “Tiadalah Aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi – Karena Sesungguhnya semua itu kotor – atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha penyayang.” (QS al-An’âm, 6: 145)

Ayat ini menunjukkan bahwa apa yang tidak disebutkan di dalamnya tidak diharamkan karena tidak adanya dalil yang menunjukkan itu, dan itu semuanya karena hukum asalnya adalah mubâh.

Pendapat kedua, bahwa hukum asal sesuatu itu adalah harâm, hingga ada dalil syara’ yang menetapkan atau mengubahnya. Pendapat ini dipegangi oleh sebagian Ahl al-Hadîts dan Mu’tazilah Baghdad.[13]

Alasan mereka adalah karena yang berhak untuk menetapkan syariat dan hukum adalah Allah saja. Maka jika kita membolehkan sesuatu yang tidak ada nashnya, maka berarti kita telah melakukan apa yang seharusnya menjadi hak prerogatif Sang Pembuat Syariat (Allah) tanpa seizin-Nya. Dan ini tidak dibenarkan sama sekali.

Pendapat ketiga, bahwa hukum asal segala sesuatu yang bermanfaat adalah mubâh, sementara yang membawa mudharat adalah harâm. Pendapat ini dipegangi oleh Jumhur ulama. Dan mereka menggunakan dalil pendapat yang pertama untuk menguatkan bahwa hukum asal sesuatu yang bermanfaat adalah mubâh, dan dalil pendapat yang kedua untuk menegaskan bahwa hukum asal sesuatu yang membawa mudharat adalah harâm.[14]

Di samping itu, untuk menegaskan sisi kedua dari pendapat ini, mereka juga berlandaskan pada hadis:

لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ

“Tidak (boleh) ada kemudharatan dan tidak (boleh) memberi mudharat (dalam Islam).” (HR Ibnu Majah dari ‘Ubadah bin Shamit; HR ad-Daraquthni dan Al-Hakim dari Abu Sa’id al-Khudriy; HR Ahmad dan ath-Thabarani dari Ibnu ‘Abbas; HR Malik bin Anas dan al- Baihaqi dari Yahya al-Mazini).

Istishhâb al-Barâ’ah al-Ashliyah, atau bahwa hukum asalnya seseorang itu terlepas dan bebas dari beban dan tanggungan apapun, hingga datangnya dalil atau bukti yang membebankan ia untuk melakukan atau mempertanggungjawabkan sesuatu.[15] Sebagai contoh misalnya adalah bahwa kita tidak diwajibkan untuk melakukan shalat fardhu yang keenam dalam sehari semalam –- setelah menunaikan shalat lima waktu — karena tidak adanya dalil yang membebankan hal itu.

Demikian pula -misalnya- jika ada seseorang yang menuduh bahwa orang lain berutang padanya, sementara ia tidak bisa mendatangkan bukti terhadap tuduhan itu, maka orang yang tertuduh dalam hal ini tetap berada dalam posisi bebas dari utang atas dasar al-Barâ’ah al-Ashliyah ini.

Istishhâb hukum yang ditetapkan oleh ijmâ’ pada saat berhadapan dengan masalah yang masih diperselisihkan.[16]

Salah satu contohnya adalah bahwa para ulama telah berijmâ’ akan batalnya shalat seorang yang bertayammum karena tidak menemukan air saat ia menemukan air sebelum shalatnya.

Adapun jika ia melihat air pada saat sedang mengerjakan shalatnya; apakah shalatnya juga batal atas dasar istishhab dengan ijmâ’ tersebut, atau shalat tetap sah dan ia boleh tetap melanjutkannya?

Imam Abu Hanifah dan beberapa ulama lain –- seperti al-Ghazaliy dan Ibnu Qudamah — berpendapat bahwa dalam masalah ini istishhâb dengan ijmâ’ terdahulu tidak dapat dijadikan landasan, karena berbedanya kondisi yang disebutkan dalam ijmâ’. Oleh sebab itu, ia harus berwudhu kembali.

Sementara Imam asy-Syafi’i dan Abu Tsaur berpendapat bahwa istishhâb ijmâ’ ini dapat dijadikan sebagai hujjah hingga ada dalil lain yang mengubahnya. Oleh sebab itu, shalatnya tetap sah atas dasar istishhab kondsi awalnya yaitu ketiadaan air untuk berwudhu.

G. Pengaruh Istishhâb dalam Persoalan-persoalan Furû’iyyah

Bila ditelusuri lebih jauh ke dalam pembahasan dan kajian Fiqih Islam, maka kita akan menemukan banyak sekali persoalan-persoalan yang dibahas oleh para fuqaha yang kemudian menjadikan istishhâb sebagai salah satu pijakan atau landasan mereka dalam memegangi satu madzhab atau pendapat.

Berikut ini adalah beberapa contoh persoalan furû’iyyah yang termasuk dalam kategori tersebut:

H. Pewarisan Orang yang Hilang (al-Mafqûd)

Orang yang hilang (al-mafqûd) adalah orang yang menghilang dari keluarganya hingga beberapa waktu lamanya, dimana tidak ada bukti yang dapat digunakan untuk membuktikan apakah ia masih hidup atau sudah mati.

Dalam kasus ini, para ulama berbeda pendapat antara memvonis ia masih hidup sehingga peninggalannya tidak boleh dibagikan kepada ahli warisnya dan ia tetap berhak mendapatkan warisan jika ada kerabatnya yang meninggal saat kehilangannya; dan memvonis ia telah meninggal sehingga peninggalannya dapat dibagikan kepada ahli warisnya. Dalam hal ini, ada tiga pendapat di kalangan para ulama:

Pendapat pertama, bahwa ia tetap dianggap hidup, baik untuk urusan yang terkait dengan dirinya maupun yang terkait dengan orang lain. Karena itu semua hukum yang berlaku untuk orang yang masih hidup tetap diberlakukan padanya; hartanya tidak diwariskan, isterinya tidak boleh dinikahi, dan wâdi’ah yang ia titipkan pada orang lain tidak boleh diambil. Pendapat ini dipegangi oleh Imam Malik dan asy-Syafi’i.[17]

Hujjah mereka adalah bahwa orang yang hilang itu sebelum ia hilang ia tetap dihukumi sebagai orang yang hidup. Karena itu hukum ini wajib diistishhabkan hingga sekarang sampai ada bukti yang mengubah hukum tersebut.

Pendapat kedua, ia dianggap hidup terkait dengan hak dirinya sendiri. Pendapat ini dilandaskan pada pandangan bahwa istishhâb hanya dapat digunakan untuk mendukung hukum yang telah ada sebelumnya, tapi bukan untuk menetapkan hukum baru.[18]

Pendapat ketiga, ia dianggap hidup baik terkait dengan hak dirinya maupun hak orang lain selama 4 (empat) tahun sejak hilangnya. Jika 4 (empat) tahun telah berlalu, maka ia dianggap telah meninggal terkait dengan hak dirinya maupun hak orang lain; hartanya dibagi, ia tidak lagi mewarisi dari kerabatnya yang meninggal dan isterinya dapat dinikahi. Pendapat ini dipegangi oleh Imam Ahmad bin Hanbal.[19]

Alasan pembatasan jangka waktu 4 (empat) tahun adalah pengqiyâsan kepada jika ia meninggalkan isterinya selama 4 (empat) tahun, dimana –- menurut pendapat ini — jika ia meninggalkan isterinya selama itu, maka hakim dapat memisahkan keduanya dan isterinya dapat dinikahi setelah masa iddah sejak pemisahan itu berakhir.

I. Berwudhu Karena Apa yang Keluar Dari Selain “2 (dua) Jalan”

Semua ulama telah berijmâ’ bahwa segala sesuatu yang keluar melalui “2 (dua) jalan” (qubûl dan dubur) itu membatalkan thaharah seseorang. Namun bagaimana dengan najis yang keluar tidak melalui kedua jalan tersebut? Apakah ia juga membatalkan thaharah seseorang atau tidak?

Dalam kasus ini, ada beberapa pendapat yang dipegangi oleh para ulama:

Pendapat pertama, bahwa hal itu membatalkan thaharahnya, sedikit ataupun banyaknya yang keluar. Pendapat ini dipegangi oleh Imam Malik dan asy-Syafi’i.

Hujjah mereka adalah istishhâb, yaitu bahwa hukum asalnya hal itu tidak membatalkan, maka ia tetap diberlakukan hingga ada dalil yang menunjukkan selain itu.[20]

Pendapat kedua, bahwa apapun yang keluar dari selain kedua jalan itu, seperti muntah jika telah memenuhi mulut, maka ia membatalkan wudhu. Pendapat ini dipegangi oleh Imam Abu Hanifah.

Pijakannya adalah beberapa hadis seperti:

الْوُضُوءُ مِنْ كُلِّ دَمٍ سَائِلٍ

“Wudhu’ itu wajib untuk setiap darah yang mengalir.” (HR ad-Daruquthni dari Tamim ad-Dari)

Dan juga hadis:

إِذَا قَاءَ أَحَدُكُمْ فِى صَلاَتِهِ أَوْ قَلَسَ أَوْ رَعَفَ فَلْيَتَوَضَّأْ ثُمَّ لِيَبْنِ عَلَى مَا مَضَى مِنْ صَلاَتِهِ مَا لَمْ يَتَكَلَّمْ

“Barangsiapa yang muntah atau mengeluarkan ingus dalam shalatnya, maka hendaklah ia pergi dan berwudhu lalu melanjutkan shalatnya selama ia belum berbicara.” (HR al-Baihaqi dari ‘Aisyah)

Hanya saja hadis-hadis ini didhaifkan oleh sebagian ulama, sehingga mereka tidak dapat menjadikannya sebagai dalil.[21]

Pendapat ketiga, bahwa apa yang keluar dari selain kedua jalan tersebut membatalkan wudhu jika ia sesuatu yang najis dan banyak, seperti muntah atau darah yang banyak. Adapun jika ia sesuatu yang suci, maka tidak membatalkan wudhu. Pendapat ini dipegangi oleh Imam Ahmad bin Hanbal.[22]

Hujjah pendapat ini adalah apa yang diriwayatkan oleh Ma’dan bin Thalhah dari Abu al-Darda’ r.a.,

أَنّ النّبِيّ صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ قَاءَ فَتَوَضّأَ فَلَقِيتُ ثَوْبَانَ فِي مَسْجِدِ دِمَشْقَ فَذَكَرْتُ لَهُ ذَلِكَ فَقَالَ صَدَقَ أَنَا صَبَبْتُ لَهُ وَضُوءَهُ

“Sesungguhnya Nabi s.a.w pernah muntah, lalu beliau berwudhu’. Aku pun menemui Tsauban di Masjid Damaskus lalu menyebutkan hal itu padanya. Maka ia pun berkata: ‘Benar’! Aku-lah yang menuangkan air wudhu beliau.” (HR at-Tirmidzi dari Abu Darda’)

Landasan lainnya adalah pengamalan para shahabat Nabi s.a.w. akan hal itu, dan tidak ada satu pun yang mengingkari hal tersebut, maka dengan demikian ini adalah ijmâ’ dari mereka akan hal itu.

J. Thalaq Setelah Terjadinya Ilâ’

Salah satu masalah furu’iyyah yang terkait dengan istishhâb adalah jika seorang seorang suami bersumpah untuk tidak mendekati isterinya (ila’), apakah thalaq yang terjadi setelah ila’ ini termasuk thalaq yang raj’i atau ba’in?

Para fuqaha berbeda pendapat menjadi 3 (tiga) pendapat dalam hal ini:

Pendapat pertama, bahwa thalaq yang terjadi adalah thalaq raj’i, baik thalaq dijatuhkan oleh sang suami ataupun oleh sang hakim. Pendapat ini dipegangi Imama Malik dan asy-Syafi’i.

Landasan mereka dalam hal ini adalah bahwa hukum asalnya thalaq itu jika dijatuhkan pada sang isteri yang telah digauli, dan bukan dalam khulu’ atau thalaq tiga, maka ia adalah thalaq raj’i yang memungkinkan rujuk kembali. Dan kita tidak boleh meninggalkan hukum asal ini kecuali dengan dalil, sementara dalam hal ini tidak ada dalil yang menunjukkan itu.[23]

Pendapat kedua, jika yang menjatuhkan thalaq adalah suami maka yang jatuh adalah thalaq raj’i, namun jika yang menjatuhkannya adalah hakim maka thalaqnya adalah ba’in. Pendapat ini dipegangi oleh Imam Ahmad bin Hanbal.

Dan mungkin yang menjadi landasan mereka adalah bahwa jika penjatuhan thalaq itu dilakukan oleh sang hakim, maka ini seperti jika hakim memutuskan suatu masalah yang diperselisihkan oleh para ulama, dimana pendapat manapun yang dipilih oleh hakim maka itulah yang berlaku.[24]

Pendapat ketiga, bahwa thalaq yang terjadi karena ilâ’ adalah menjadi thalaq ba’in secara mutlak. Pendapat ini dipegangi oleh Imam Abu Hanifah.

Landasan mereka adalah karena penjatuhan thalaq itu bertujuan untuk melepaskan sang wanita dari kemudharatan, dan itu tidak dapat terwujud hanya dengan menjatuhkan thalaq raj’i saja. Pendapat ini juga dilandasi oleh apa yang diriwayatkan dari sebagian sahabat bahwa mereka berkata: “Jika telah berlalu 4 bulan (sejak terjadinya ila’), maka sang isteri tertalak dan ia lebih berhak atas dirinya sendiri.” Dalam riwayat lain: “Dan ia terthalak secara ba’in.”[25]

Demikianlah beberapa masalah furu’iyyah yang dapat diangkat di sini untuk menunjukkan bagaimana pengaruh istishhâb dalam perbedaan ijtihad para fâqih (fuqahâ’).

K. Penutup

Demikianlah uraian singkat tentang kedudukan istishhab secara umum sebagai salah satu pijakan dan metode penggalian dan penyimpulan hukum dalam Islam. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa istishhâb sebenarnya dapat digunakan sebagai landasan hukum. Meskipun dalam beberapa bentuk istishhâb terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Namun hal itu tidak menafikan kedudukan argumentatif istishhâb dalam Fikih Islam.[26]

Daftar Pustaka:

Amir Syarifuddin, Ushûl Fiqh, Cetakan Ketiga, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1426 H.

Al-Andalûsiy, Abû ‘Umar Yûsuf ibn ‘Abdillâh ibn ‘Abd al-Barr,. Al-Istidzkâr al-Jâmi’ li Madzâhib Fuqahâ’ al-Amshâr wa ‘Ulamâ al-Aqthâr Fî Mâ Tadhammanahu al-Muwaththa’ min Ma’âni al-Ra’y wa al-Âtsâr. Tahqîq: ‘Abd al-Mu’thy Amin Qal’ajiy, Cetakan Kesepuluh, Damaskus: Dâr Qutaibah. 1413 H.

Al-Asnawiy, ‘Abd al-Rahîm ibn Hasan al-Syâfi’iy, Nihâyah al-Saul fî Syarh Minhâj al-Ushûl. Kairo: Al-Mathba’ah al-Salafiyyah, t.t.

Badsyah, Muhammad Amîr,. Taisîr at-Tahrîr. Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.

Al-Bukhâriy, ‘Alâ ad-Dîn ibn ‘Abd al-‘Azîz ibn Ahmad., Kasyf al-Asrâr ‘an Ushûl al-Bazdawiy, Beirut: Dâr al-Kitâb al-‘Arabiy, 1394 H.

Al-Ghazâliy, Abû Hâmid Muhammad ibn Muhammad,. Al-Mustashfâ fî ‘Ilm al-Ushûl.Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1417 H.

Ibn Manzhûr, Abû al-Fadhl Muhammad ibn Mukrim,. Lisân al-‘Arab, Cetakan Pertama, Beirut: Dâr Shâdir, 1410 H.

Ibn Qudamah, ‘Abdullâh ibn Ahmad,. Al-Mughniy, Riyâdh: Maktabah ar-Riyâdh al-Hadîtsah. t.t.

Ibn Rusyd, Muhammad ibn Ahmad (al-Hâfizh), Bidâyah al-Mujtahid wa Nihâyah al-Muqtashid, Cetakan Pertama, Kairo: Dâr al-Salâm, 1416 H.

Ismâ’îl, Sya’ban Muhammad, Ushûl Fiqh al-Muyassar, Cetakan Pertama, Kairo: Dâr al-Kitâb al-Jâmi’iy, 1415 H.

Khallâf, ‘Abd al-Wahhâb,. Ilm Ushûl al-Fiqh. Cetakan Keempatbelas, Kuwait: Dâr al-Qalam, 1401 H.

Al-Marghinâniy, Abû al-Hasan ‘Aliy ibn Abî Bakr,. Al-Hidâyah wa Syurûhuhâ, Cetakan Pertama, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah. 1418 H.

Al-Muthi’iy, Abû Zakariyyâ Yahya ibn Syaraf al-Nawâwiy, Al-Majmû’ Syarh al-Muhadzdzab, Abu Zakariya Yahyâ ibn Syaraf al-Nawâwiy. Tahqîq: Muhammad Najîb, Jeddah: Maktabah al-Irsyâd, t.t.

Al-Qarafiy, Syihâb ad-Dîn Ahmad ibn Idrîs,. Syarh Tanqîh al-Fushûl fî ‘Ilm al-Ushûl, Tahqîq: Thâhâ ‘Abd al-Ra’ûf, Cetakan Pertama, Beirut: Dâr al-Fikr, 1393 H.

Asy-Syafi’i, Muhammad ibn Idrîs,. Al-Umm, Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.

Asy-Syaukâniy, Muhammad ibn ‘Aliy,. Irsyâd al-Fuhûl ilâ Tahqîq al-Haq min ‘Ilm al-Ushûl, Cetakan Pertama (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah. Beirut, 1414 H.





KONTROVERSI TENTANG KEMATIAN ISA A.S.

DALAM PERSPEKTIF AL-QURAN[1]

Akhmad Albed (2009), dalam penelitiannya tentang kematian/pengangkatan ‘Isa a.s. dalam khazanah tafsir al-Quran, menyatakan bahwa simpulan para mufasir tentang masalah ini tidak bisa terlepas dari pemahaman mereka terhadap QS. Âli ‘Imrân [3]: 55, an-Nisâ’ [4]: 157-158 dan al-Mâidah [5]: 117. Sebab tiga ayat di ataslah yang berbicara tentang kematian ‘Isa a.s.. Berkaitan dengan kematian ‘Isa a.s., al-Quran menggunakan dua kata kunci yang berbeda. Pertama, al-Quran menggunakan kata rafa’a; kata ini termaktub dalam QS an-Nisâ’ [4]: 158. Kedua, al-Quran menggunakan kata tawaffâ; kata ini terdapat pada QS al-Mâidah [5]: 117. Sedangkan pada QS Âli-’Imrân [3]: 55 kata rafa’a dan tawaffâ digunakan secara bersamaan (beriringan).

Peneilitian tersebut membahas penafsiran para mufasir — dalam kitab tafsir mereka — terhadap ayat-ayat di atas, Dengan – utamanya – merujuk pada kitab tafsir Tanwîr al-Miqbâs min Tafsîr Ibn ‘Abbâs karya ‘Abdullâh ibnu ‘Abbâs, Tafsîr al-Qurân al-Azhîm karya Ibnu Katsîr, Tafsîr al-Kasysyâf karya al-Zamakhsyari, Tafsîr al-Manâr karya Muhammad ‘Abduh dan Muhammad. Rasyid Ridha serta Tafsîr Fi Zhilâlil Qurân karya Sayyid Qutb.

Berdasarkan asumsi di atas, ada persoalan yang perlu diajukan dalam penelitian ini, yaitu: Apa penyebab perbedaan penafsiran para mufasir terhadap ayat-ayat tentang kematian ‘Isa a.s.? Apa implikasi teologis adanya perbedaan penafsiran atas ayat-ayat tentang kematian ‘Isa a.s? Dalam penelitian ini penulis menggunakan kajian linguistik dengan analisis semantik pada lafal-lafal yang digunakan al-Qurân dengan pendekatan deskriptif dan metode penarikan kesimpulan induksi-deduksi.

Dari penelitian ini dapat diketahui bahwa sebagian mufasir mengatakan ‘Isa a.s. masih hidup dengan alasan adanya hadis-hadis Nabi Muhammad s.a.w. yang menyatakan bahwa ‘Isa a.s. akan turun kembali menjelang kiamat, sebagian lagi menyatakan ‘Isa a.s. telah meninggal dengan pernyataan bahwa hadis-hadis tersebut berstatus ahad.

Hasil dari penelitian ini menyimpulkan bahwa ‘Isa .a.s. telah wafat (meninggal) dengan berbagai alasan yang mematahkan pendapat yang mengatakan bahwa ‘Isa a.s. masih hidup. Implikasi teologis sebagai akibat telah wafatnya ‘Isa a.s. ada 3 (tiga) macam; Pertama, ‘Isa a.s. telah wafat dan hadis-hadis tentang nuzûlul ‘Îsâ (turunnya Isa a.s.) yang berstatus ahad tidak digunakan. Kedua, ‘Isa a.s. telah wafat, namun hadis-hadis tentang nuzûlul ‘Îsâ dipahami dengan akan datangnya ajaran ‘Isa a.s. yang penuh kedamaian dan mengesakan Tuhan. Ketiga, pemahaman terhadap hadis tentang nuzûlul ‘Îsâ dipahami sebagai sosok manusia yang berasal dari umat Nabi Muhammad s.a.w., sebagaimana yang dianut Ahmadiyah.

Ketika penulis diminta untuk melakukan kajian tafsir terhadap QS an-Nisâ [4]: 156-159, berkaitan dengan kajian Kristologi mengenai Kelahiran dan Kematian Yesus, Apakah Yesus Mati Disalib” oleh Ibu Dra.H. Shoimah Kastolani, penulis – dalam hal ini — akan mencoba melalukan kajian ulang terhadap hasil kajian Akhmad Albed (2009), dengan (mencoba) menekankan kajian penulis terhadap ayat dimaksud (QS an-Nisâ [4]: 156-159).

Untuk memulai kajian ni, mari kita perhatiikan secara seksama teks ayat-ayat al-Quran berikut (QS an-Nisâ [4]: 156-159):

وَبِكُفْرِهِمْ وَقَوْلِهِمْ عَلَىٰ مَرْيَمَ بُهْتَانًا عَظِيمًا ﴿١٥٦﴾ وَقَوْلِهِمْ إِنَّا قَتَلْنَا الْمَسِيحَ عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ رَسُولَ اللَّهِ وَمَا قَتَلُوهُ وَمَا صَلَبُوهُ وَلَـٰكِن شُبِّهَ لَهُمْ ۚ وَإِنَّ الَّذِينَ اخْتَلَفُوا فِيهِ لَفِي شَكٍّ مِّنْهُ ۚ مَا لَهُم بِهِ مِنْ عِلْمٍ إِلَّا اتِّبَاعَ الظَّنِّ ۚ وَمَا قَتَلُوهُ يَقِينًا ﴿١٥٧﴾ بَل رَّفَعَهُ اللَّهُ إِلَيْهِ ۚ وَكَانَ اللَّهُ عَزِيزًا حَكِيمًا ﴿١٥٨﴾ وَإِن مِّنْ أَهْلِ الْكِتَابِ إِلَّا لَيُؤْمِنَنَّ بِهِ قَبْلَ مَوْتِهِ ۖ وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يَكُونُ عَلَيْهِمْ شَهِيدًا ﴿١٥٩﴾

(156) Dan karena kekafiran mereka (terhadap ‘Isa), dan tuduhan mereka terhadap Maryam dengan kedustaan besar (zina), (157) dan karena ucapan mereka: “Sesungguhnya Kami telah membunuh al-Masih, ‘Isa putera Maryam, Rasul Allah”, padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan ‘Isa bagi mereka. Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang (pembunuhan) ‘Isa, benar-benar dalam keragu-raguan tentang yang dibunuh itu. Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka, mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah ‘Isa. (158) Tetapi (yang sebenarnya), Allah telah mengangkat ‘Isa kepada-Nya. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (159) Tidak ada seorangpun dari Ahli Kitab, kecuali akan beriman kepadanya (‘Isa) sebelum kematiannya. Dan di hari Kiamat nanti ‘Isa itu akan menjadi saksi terhadap mereka.

Dalam QS an-Nisâ [4]: 156 Allah menyatakan: “Dan karena kekafiran mereka (terhadap ‘Isa), dan tuduhan mereka terhadap Maryam dengan kedustaan besar (zina)” dipahami oleh para mufasir, bahwa selain bersikap kufur terhadap Isa a.s. (dan wahyu Allah yang terdapat di dalam kitab Injil), orang-orang Yahudi juga menuduh Maryam (ibu Isa a.s.) berzina dengan dengan seorang laki-laki yang bernama Yusuf an-Najjar. Sikap kufur dan kedustaan mereka, dengan menuduh Maryam telah melakukan perzinaan sehingga lahirlah Isa a.s. adalah salah satu penyebab kemarahan Allah SWT kepada mereka (orang-orang Yahudi), sehingga – dengan kemarahan Allah – hati mereka tertutup dan tidak mampu menerima hidayah Allah, dan pada akhirnya (kelak di akhirat) akan menerima azab dari Allah SWT.

Pada rangkaian ayat selanjutnya Allah SWT berfirman: “Dan karena ucapan mereka: “Sesungguhnya Kami telah membunuh al-Masih, ‘Isa putera Maryam, Rasul Allah”, dipahami oleh para mufasir dengan pernyataan: “Disebabkan oleh pernyataan mereka bahwa merekalah yang membunuh Isa bin Maryam, mereka pun ketika menyebut dan memanggil Isa a.s. sebagai rasul (utusan) Allah bukanlah sebagai pengakuan atau penghormatan, namun justeru sebagai sindiran (cemoohan) kepadanya. Sebaliknya al-Quran menyebut dan memanggilnya (Isa a.s.) sebagai rasul (utusan) Allah dalam rangka menolak dan membantah pengakuan dan keyakinan (aqidah) kaum Nasrani yang menyatakan bahwa Isa a.s. adalah Tuhan dan anak Tuhan sebagaimana yang tersebut dalam kitab suci mereka.

Selanjutnya firman Allah: “padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan ‘Isa bagi mereka” dipahami oleh para mufasir dengan pernyataan: “Mereka (orang-orang Yahudi) sesungguhnya tidak (pernah sama sekali) membunuh Isa a.s. dan tidak (pula) menyalibnya, seperti keyakinan yang tersebar dalam masyarakat mereka pada waktu itu (dan yang hingga saat ini menjadi keyakinan umat Krsitiani pada umumnya). Mereka (orang-orang Yahudi) berkeyakinan bahwa Isa a.s. telah terbunuh di tiang salib, padahal – atas kehendak Allah – mereka (sebenarnya) telah menyalib dan membunuh orang lain yang diserupakan (oleh Allah) dengan Isa a.s.

Mengenai rangkaian kalimat: “Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang (pembunuhan) ‘Isa, benar-benar dalam keragu-raguan tentang yang dibunuh itu. Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka,”, para mufasir menjelaskan bahwa mereka (orang-orang Yahudi dan – juga — Nasrani) yang memiliki ikhtilâf (berselisih paham) tentang keberadaan Isa a.s., sebenarnya (mereka) masih memiliki keraguan tentang (informasi) kematian Isa a.s. Apakah Isa a.s. benar-benar terbunuh dengan disalib atau tidak. Karena ada sebagian dari mereka yang memiliki dugaan bahwa orang yang terbubuh di tiang salib itu bukanlah Isa a.s., tetapi orang yang diserupakan oleh Tuhan seperti Isa a.s., karena mereka tidak memiliki bukti yang meyakinkan tentang keyakinannya itu, yang benar-benar bisa memberikan kepuasan kepada semua orang bahwa orang yang terbunuh di tiang salib itu adalah benar-benar Isa a.s.. Mereka – pada umumnya – hanya mengikuti opini publik yang terbangun pada komunitas mereka, tanpa memiliki kepastian pembuktian bahwa orang yang terbunuh di tiang salib itu adalah benar-benar Isa a.s. sebagaimana asumsi yang mereka bangun dalam opini publiik mereka.. Mereka – pada umumnya – hanya bisa memperkokoh asumsi (mereka) dengan beragam asumsi. Karena, seandainya mereka konsisten dengan keyakinan mereka terhadap kitab suci mereka, mereka bisa membaca ulang salah satu pernyataan Isa a.s. dalam kitab Injil kepada para muridnya pada waktu itu: “kamu semua akan ragu tentang diriku pada malam ini (saat terjadinya penyaliban)” (كُلُّكُمْ تَشُكُّونَ فِيَّ فِي هَذِهِ اللَّيْلَةِ). (Muhammad Rasyid Ridha, Tafsîr al-Qurân al-Hakîm [Tafsîr al-Manâr], Al-Qâhirah: Al-Haiah al-Mishriyyah al-Âmmah li al-Kitâb, 1990, Juz 6, hal. 17).

Mengenai rangkaian kalimat selanjutnya: “Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka, mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah ‘Isa”, para mufasir berpendapat: “(orang-orang Yahudi dan – juga – Nasrani) tidak benar-benar yakin bahwa bahwa yang disalib dan dibunuhnya adalah (benar-benar) Isa a.s.. Mereka ketika itu (para penyalib dan pembunuh itu) – pada umumnya – terdiri dari orang-orang yang tidak mengenal Isa a.s. Dalam beberapa ayat (kitab Injil) dijelaskan bahwa yang menyerahkan Isa a.s. kepada para penyalib dan pembunuh itu adalah orang-orang Yahudi. Tetapi di dalam kitab Injil Barnabas dijelaskan bahwa para penyalib dan pembunuh itulah yang menangkap orang yang disalib dan dibunuhnya itu dan mereka – pada umumnya – menyangka bahwa yang ditangkap, lalu disalib dan dibunuhnya itu adalah Isa a.s. Dinyatakan oleh para mufasir bahwa para penyalib dan pembunuh itu seluruhnya yakin bahwa orang yang ditangkap, disalib dan dibunuhnya itu adalah Isa a.s. tanpa bukti yang jelas, sehingga bisa disimpulkan bahwa sebenarnya ketika mereka meyakini bahwa orang yang ditangkap, disalib dan dibunuhnya itu adalah (benar-benar) Isa a.s. hanyalah berdasarkan dugaan tanpa pembuktian.

Dari kejadian ini, tidak bisa disanggah orang yang menyatakan (termasuk umat Islam) bahwa orang yang disalib dan dibunuh pada saat itu bukanlah Isa a.s., tetapi orang yang (oleh Allah) diserupakan dengan Isa a.s., karena para penyalib dan pembunuhnya sama sekali tidak mengenal siapa yang disalib dan dibunuhnya, kecuali hanya sekadar didasarkan pada asumsi saja. Dan oleh karenanya – pendapat mereka (orang-orang Yahudi dan Nasrani) – tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Sehingga ketika Allah SWT menyatakan: “Tetapi (yang sebenarnya), Allah telah mengangkat ‘Isa kepada-Nya”, adalah sebuah penegasan bahwa sebenarnya orang yang tersalib dan terbunuh bitu bukanlkah Isa a.s., karena – sebelum terjadinya penyaliban dan pembunuhan – Isa a.s. telah diangkat (diselamatkan) oleh Allah SWT.

Para mufasir berbeda pendapat mengenai kata “mengangkat” dalam ayat ini. Asy-Sya’rawi – sebagaimana dikutip oleh M. Quraish Shihab – menjelaskan bahwa Allahlah yang mengambil Isa a.s. secara sempurna, kemudian membawa ruh dan jasadnya ke suatu tempat yang tidak dapat dijangkau oleh orang-orang kafir, yaitu di sisi-Nya. Sedangkan kata “kepada-Nya” – dalam ayat tersebut – bermakna di sisi Allah, yaitu di langit yang tersembunyi dari kerumunan manusia. Dalam penjelasannya, asy-Sya’rawi menyatakan bahwa akhir perjalanan hidup Nabi Isa a.s. di dunia ini tidak sama dengan manusia pada umumnya, sebagaimana – juga – awal perjalanan hidupnya (kelahirannya). Begitu juga pendapat ath-Thabathaba’i dalam Tafsîr al-Mîzân. Dia menyatakan bahwa tidaklah mustahil bagi Allah untuk mewafatkan Nabi Isa a.s. dengan cara mengangkat ke sisi-Nya dan melindunginya dengan cara yang tidak sama dengan manusia yang lain sebagai bukti kemukjizatan Isa a.s. (M. Quraish Shihab, Tafsîr al-Mishbâh, Jilid 2, Jakarta: Lentera Hati, 2000, hal. 624).

Kata “mengangkat” di dalam ayat ini oleh sebagian ulama tidak dimaknai dalam pengertian hakiki. Mereka tidak memakainya dalam arti “mengangkat” ruh dan jasad Isa a.s. ke langit, tetapi – kata mereka — “mengangkat” di dalam ayat ini bermakna bahwa Allah “mewafatkan”, yakni menjadikan Isa a.s. wafat di dunia ini setelah tiba waktunya, sebagaimana takdir Allah atas (kematian)-nya. Kematian Isa .a.s. terjadi di suatu tempat yang tidak dikenal oleh musuh-musuhnya. Kemudian setelah kematiannya (secara wajar) terjadi, beliau diangkat (ruhnya) ke derajat yang sangat tinggi di sisi Allah SWT.

Dalam hal ini ar-Razi (Mafâtîh al-Ghaib, Beirut: Dâr Ihyâ’ at-Turâts al’Arabiy, t.t., 26: 343) menyatakan bahwa makna “mengangkat” dalam ayat ini adalah memuliakan dan menghormatinya. Pernyataan ini – menurut ar-Razi – sama dengan perkataan Nabi Ibrahim a.s. dalam QS ash-Shaffât [37]: 99 Dan Ibrahim berkata: “Sesungguhnya aku pergi menghadap kepada Tuhanku dan Dia akan memberi petunjuk kepadaku (وَقَالَ إِنِّي ذَاهِبٌ إِلَىٰ رَبِّي سَيَهْدِينِ)

Sebenarnya Nabi Ibrahim a.s.—pada saat itu – sedang dalam perjalanan dari Iraq ke Syam (Syria). Dan ayat ini (seandainya diapahami dalam pengertian seperti ini) dapat berfungsi untuk membantah pendapat orang-orang Yahudi — yang juga diakui oleh kaum Nasrani — yang menyatakan bahwa Nabi Isa a.s. itu mati di tiang salib. Dalam konteks peristiwa ini Allah berfirman: “Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”, Dalam kaitannya dengan sikap kaum Yahudi dan Nasrani, Allah SWT menunjukkan ketegasan-Nya. Dia kalahkan orang-orang kafir dan Dia menangkan orang-orang yang beriman kepada-Nya. Dia lepaskan Isa a.s. dari jebakan orang-orang Yahudi dan Nasrani, dengan ke-Mahaperkasan-Nya, dan dengan ke-Mahabijakan-Nya Allah memberi balasan kepada setiap orang sesuai dengan amal-perbuatannya.

Pada QS an-Nisâ’ [4]: 159, Allah berfirman: “Tidak ada seorangpun dari Ahli Kitab, kecuali akan beriman kepadanya (‘Isa) sebelum kematiannya”. Ayat ini – menurut para mufasir – menegaskan bahwa pada akhirnya, ketika orang-orang Yahudi dan Nasrani mau menyadari kekeliruannya, mereka pasti akan akan beriman kepada Allah dan rasul-Nya (Isa a.s.). Tetapi, karena keterlambatan mereka (dalam menyadari kekeliruannya), akhirnya iman yang seharusnya terjadi pada diri mereka pada saat yang tepat, tidak berguna lagi. Karena mereka baru menyadari kekeliruannya di ambang kematian, setelah mereka bersikap kufur, berdusta dan berbuat zalim terhadap Isa a.s. dan Maryam dan (terhadap) diri mereka sendiri.

Akhirnya Allah pun menutup firman-Nya dengan rangkaian kalimat: “Dan di hari Kiamat nanti ‘Isa itu akan menjadi saksi terhadap mereka.” Dalam hal ini para mufasir menyatakan bahwa Nabi Isa a.s. pun pada hari kiamat kelak akan menjadi saksi terhadap kekufuran, kedustaan dan kezaliman mereka (kaum Yahudi dan Nasrani). Ayat ini – menurut para para mufasir — menegaskan kepada seluruh umat manusia, termasuk di dalamnya terhadap orang-orang yang beriman yang telah bersedia — bersama Nabi Isa a.s. — bahwa mereka telah beriman dan – bersama dengan Nabi Isa a.s. — menjadi saksi atas orang-orang kafir dan (sekaligus) menegaskan bahwa mereka (orang-orang kafir) – meskipun telah mendapatkan penjelasan dari rasul-Nya — selamanya (mereka) tidak akan pernah bersedia untuk beriman kepada Allah dan rasul-Nya, karena hati, pendengaran dan penglihatan mereka telah terkunci rapat. (Lihat, QS al-Baqarah [2]: 6-7).

Hingga saat kita pun bisa menyaksikan bahwa sikap kufur, kebohongan dan kezaliman yang dimiliki oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani tentang perjalanan hidup Isa a.s. – secara a-priori — telah menjadi bagian dari keyakinan mereka, meskipun hingga saat ini mereka tidak memiliki bukti yang cukup kuat untuk meyakinkan kepada semua orang bahwa keyakinan yang mereka miliki benar-benar teruji. Mereka untuk sementara waktu – dan mungkin juga selamanya – berada dalam kondisi “meyakini” tanpa bukti. Hingga oleh Allah (dalam QS al-Fâtihah [1]: 7) disebut sebagai الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ (mereka yang dimurkai [orang-orang yang mengetahui kebenaran, tetapi justeru meninggalkannya], untuk orang-orang Yahudi), dan الضَّالِّينَ (mereka yang sesat (orang-orang yang meninggalkan kebenaran karena ketidaktahuan dan kejahilan, untuk orang-orang Nasrani).

Wallâhu A’lamu Bish-Shawwâb




SIGNIFIKASI TAZKIYATUN NAFS:

Kajian Akhlak dalam Perspektif Dakwah

Kapan pun dan di mana pun, seseorang yang mengharapkan keridhaan Allah dan kebahagiaan abadi hendaknya benar-benar memberi perhatian khusus pada perilaku tazkiyatun nafs (penyucian jiwa). Ia harus berupaya agar jiwanya senantiasa berada dalam kondisi suci. Dakwah Rasulullah s.a.w. – sebagai ilustrasi — tak lain difokuskan untuk menyucikan jiwa manusia. Hasilnya sangat terlihat jelas pada kepribadian beliau dan para sahabatnya di saat mereka telah memeluk dan menerjemahkan Islam ke seluruh aspek kehidupan mereka. Sebelum mengenal Islam jiwa mereka – para sahabat – berada dalam keadaan kotor oleh debu-debu syirik, ashabiyah (fanatisme kesukuan), dendam, iri, dengki dan perangai buruk lainnya. Namun begitu telah disibghah (diwarnai) oleh nilai-nilai Islam yang dikenalkan dan ditransformasikan oleh Rasulullah s.a.w. kepada mereka, “mereka” – para sahabat itu — menjadi bersih, bertauhid, ikhlas, sabar, ridha, zuhud dan berperangai mulia lainnya. Mereka menjadi manusia-manusia yang ber-akhlâqul karîmah. Keberuntungan dan kesuksesan seseorang – menurut al-Ghazali, misalnya — sangat ditentukan oleh seberapa jauh ia dapat melakukan tazkiyatun nafs (menyucikan dirinya). “Barangsiapa tekun membersihkan jiwanya maka sukseslah hidupnya. Sebaliknya yang mengotori jiwanya akan senantiasa merugi, gagal dalam hidupnya”.

Tazkiyah, secara bahasa (harfiah) berarti tathahhur, maksudnya bersuci. Seperti yang terkandung dalam kata zakat, yang memiliki makna mengeluarkan sedekah berupa harta yang berarti tazkiyah (penyucian). Karena dengan mengeluarkan zakat, seseorang berarti telah menyucikan hartanya dari hak Allah yang wajib ia tunaikan.

Salah satu tujuan utama diutusnya Nabi Muhammad s.a.w. adalah untuk membimbing umat manusia dalam rangka membentuk jiwa yang suci. Firman Allah SWT:

”Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka kitab dan Hikmah (as-Sunnah). dan Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata”. (QS al-Jumu’ah, 62: 2).

Dengan demikian, seseorang yang mengharapkan keridhaan Allah dan kebahagiaan abadi – sebagaimana pernyataan di atas – setiap orang hendaknya benar-benar memberi perhatian khusus pada aktivitas tazkiyatun nafs (penyucian jiwa) ini. Ia harus berupaya agar jiwanya senantiasa berada dalam kondisi suci. Al-Dr. Ahmad Farid – ketika memahami sabda Nabi s.a.w. tentang misi dakwahnya — menyatakan bahwa kedatangan beliau ke dunia ini tak lain adalah untuk menyucikan jiwa manusia. Ini sangat terlihat jelas pada jiwa Islam jiwa mereka dalam keadaan kotor oleh debu-debu syirik, ashabiyah (fanatisme kesukuan), dendam, iri, dengki dan sebagainya. Namun begitu telah disibghah (diwarnai) oleh syariat Islam yang dibawa Rasulullah s.a.w., mereka menjadi bersih, bertauhid, ikhlas, sabar, ridha, zuhud dan sebagainya.

Keberuntungan dan kesuksesan seseorang, sangat ditentukan oleh seberapa jauh ia menyucikan dirinya. Barangsiapa tekun membersihkan jiwanya maka sukseslah hidupnya. Sebaliknya yang mengotori jiwanya akan senantiasa merugi, gagal dalam hidup. Hal itu diperkuat oleh Allah SWT dengan sumpahNya sebanyak sebelas kali berturut-turut, padahal dalam al-Quran tidak dijumpai keterangan yang memuat sumpah Allah sebanyak itu secara berurutan. Marilah kita perhatikan firman Allah sebagai berikut:

“Demi matahari dan cahayanya di pagi hari, dan bulan apabila mengiringinya, dan siang apabila menampakkannya, dan malam apabila menutupinya [maksudnya: malam-malam yang gelap], dan langit serta pembinaannya, dan bumi serta penghamparannya, dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya). Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya”. (QS asy-Syams, 91: 1-10).

Dalam ayat yang lain juga disebutkan bahwa nantinya harta dan anak-anak tidak bermanfaat di akhirat. Tetapi yang bisa memberi manfaat adalah orang yang menghadap Allah dengan Qalbun Salîm, yaitu hati yang bersih dan suci.

Firman Allah:

“(yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.” (QS asy-Syu’arâ’, 26: 88-89).

Hakikat Tazkiyatun Nafs

Secara umum aktivitas tazkiyatun nafs mengarah pada dua kecenderungan, yaitu:

Membersihkan jiwa dari sifat-sifat tercela (membuang seluruh penyakit hati), yang dalam khazanah tasawuf dikenal dengan istilah at-takhalliy (التَّخَلِّي).

Menghiasi jiwa dengan sifat-sifat terpuji (mengisi diri dengan amal saleh), yang di dalam khazanah tasawuf dikenal dengan istilah at-tahalliy (التَّحَلِّي)

Kedua hal itu harus berjalan seiring, tidak boleh hanya dikerjakan satu bagian kemudian meninggalkan bagian yang lain. Jiwa yang cuma dibersihkan dari sifat tercela saja, tanpa dibarengi dengan menghiasi dengan sifat-sifat kebaikan menjadi kurang lengkap dan tidak sempurna. Sebaliknya, sekadar menghiasi jiwa dengan sifat terpuji tanpa menumpas penyakit-penyakit hati, juga akan sangat ironis. Tidak wajar. Ibaratnya seperti sepasang pengantin, sebelum berhias dengan beragam hiasan, mereka harus mandi terlebih dahulu agar badannya bersih. Sangat buruk andaikata belum mandi (membersihkan kotoran-kotoran di badan) lantas begitu saja dirias. Hasilnya tentu sebuah pemandangan yang mungkin saja indah tetapi bila orang mendekat akan tercium bau tak sedap.

Wasâil (sarana-sarana) Tazkiyatun Nafs

Wasîlah (sarana) untuk menyucikan jiwa tidak boleh keluar dari patokan-patokan syar’i yang telah ditetapkan oleh Allah dan rasulNya. Seluruh wasîlah tazkiyatun nafs adalah beragam ibadah dan amal-amal shalih yang telah disyariatkan di dalam al-Quran dan as-Sunnah. Kita dilarang membuat wasâil (sarana-sarana) baru dalam menyucikan jiwa ini yang menyimpang dari arahan kedua sumber hukum Islam tersebut. Misalnya, seperti yang dilakukan oleh beberapa penganut kejawen, dimana dalam membersihkan jiwa (tazkiyatun nafs) mereka melakukan puasa ‘pati-geni’ atau dikenal juga dalam tradisi Jawa dengan istilah ‘ngebleng’ (puasa terus menerus sehari semalam/wishâl) sambil membaca sejumlah mantera. Ada lagi yang mensyariatkan mandi di tengah malam atau berendam di sungai selama beberapa waktu yang ditentukan. Cara-cara ‘bid’ah’ semacam ini jelas tidak bisa dibenarkan dalam Islam.

Sesungguhnya rangkaian ibadah yang diajarkan Allah dan RasulNya telah memuat asas-asas tazkiyatun nafs dengan sendirinya. Bahkan bisa dikatakan bahwa inti dari ibadah-ibadah seperti shalat, shaum, zakat, haji dan lain-lain itu tidak lain adalah aspek-aspek tazkiyah.

Shalat misalnya, bila dikerjakan secara khusyû’, ikhlas dan sesuai dengan syariat, niscaya akan menjadi pembersih jiwa, sebagaimana sabda Rasulullah s.a.w. berikut:

قَالَ أَبُوْ هُرَيْرَةَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ: أَرَأَيْتُمْ لَوْ أَنَّ نَهْرًا بِبَابِ أَحَدِكُمْ يَغْتَسِلُ كُلَّ يَوْمٍ مِنْهُ خَمْسَ مَرَّاتٍ مَا تَقُولُونَ ذَلِكَ مُبْقِيًا مِنْ دَرَنِهِ؟ قَالُوا: لا يُبْقِي مِنْ دَرَنِهِ شَيْئًا، قَالَ: فَذَلِكَ مِثْلُ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ يَمْحُو اللَّهُ بِهِ الْخَطَايَا.

“Abu Hurairah r.a. berkata: Saya telah mendengar Rasulullah s.aw. bersabda: “Bagaimanakah pendapat kamu kalau di muka pintu (rumah) salah satu dari kamu ada sebuah sungai, dan ia mandi daripadanya tiap hari lima kali, apakah masih ada tertinggal kotorannya? Jawab sahabat: Tidak. Sabda Nabi: “Maka demikianlah perumpamaan shalat lima waktu, Allah menghapus dengannya dosa-dosa”. (HR al-Bukhari dan Muslim).

Dari hadis di atas nampak sekali bahwa misi utama penegakan shalat adalah menyangkut tazkiyatun nafs. Artinya, dengan shalat secara benar (sesuai sunnah), ikhlas dan khusyû’, jiwa akan menjadi bersih, yang digambarkan Rasulullah s.a.w. seperti mandi di sungai lima kali. Sebuah perumpamaan atas terhapusnya kotoran-kotoran dosa dari jiwa. Secara demikian, bisa kita bayangkan kalau ibadah shalat ini ditambah dengan shalat-shalat sunnah. Tentu nilai kebersihan jiwa yang diraih lebih banyak lagi. Demikian pula dalam masalah shaum (puasa). Hakikat puasa yang paling dalam berada pada aspek tazkiyah.

Sabda Rasulullah s.aw.:

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ ، وَالْعَمَلَ بِهِ ، فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

“Barangsiapa tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan dusta maka Allah tidak butuh terhadap puasanya dari makan dan minum”. (HR Al-Bukhari, Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad dan lainnya Abu Hurairah).

Dalam hadis yang lain disebutkan:

كَمْ مِنْ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلَّا الْجُوعُ، وَكَمْ مِنْ قَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ قِيَامِهِ إِلَّا السَّهَرُ

“Adakalanya orang berpuasa, yang tidak mendapatkan bagian (pahala) dari puasanya kecuali (hanya) lapar dan ada pula orang yang melakukan ibadah puasa di malam hari, yang tidak mendapatkan bagian (pahala) ibadahnya kecuali (sekadar) bangun malam (begadang)”. (HR Ahmad dari Abu Hurairah).

Ini menunjukkan betapa soal-soal tazkiyatun nafs benar-benar mewarnai diri manusia dalam ibadah puasa, sehingga tanpa membuat-buat syariat baru sesungguhnya apa yang datang dari syariat Rasulullah s.a.w. bila diresapi secara mendalam benar-benar telah mencukupi.

Hal yang sama dijumpai pada ibadah qurban. Esensi utama qurban adalah ketaqwaan kepada Allah SWT yang berarti soal pembersihan jiwa dan bukan terbatas pada daging dan darah qurban.

Dan firman Allah SWT:

“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi Ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik”. (QS al-Hajj, 22: 37).

Kalau diteliti lagi masih banyak sekali ibadah dalam syariat Islam yang muara akhirnya adalah pembersihan jiwa. Dengan mengikuti apa yang diajarkan syari’at Islam, niscaya seorang muslim telah mendapatkan tazkiyatun nafs. Contohnya adalah para sahabat Rasulullah s.a.w.. Mereka adalah generasi yang –pada umumnya — paling dekat dengan zaman kenabian dan masih bersih pemahaman keagamaannya, karenanya mereka memiliki jiwa-jiwa yang suci lantaran ber-ittiba’ pada sunnah Rasululllah s.a.w. dan tanpa menciptakan cara-cara bid’ah dalam tazkiyatun nafs. Mereka mendapatkan kesucian jiwa tanpa harus menjadi seorang sufi yang hidup dengan syariat yang aneh-aneh dan ‘njelimet’ (rumit).

Bagi setiap muslim, ia harus berupaya menggapai aktivitas tazkiyatun nafs dari serangkaian ibadah yang dikerjakannya. Artinya, ibadah yang dilakukan jangan hanya menjadi gerak-gerak fisik yang kosong dari ruh keimanan dan taqarrub (pendekatan diri) kepada Allah SWT. Sebaliknya, ibadah apapun yang kita kerjakan hendaknya juga bernuansa pembersihan jiwa. Dengan cara seperti inilah, insyâallâh kita bisa mencapai keberuntungan.

Wallâhu’ A’lam bish-Shawâb.

Dikutip dan dielaborasi dari: www.alsofwah.or.id, dengan rujukan pokok kitab-kitab: Tazkiyatun Nufûs wa Tarbiyatuhâ Kamâ Yuqarriruhu ‘Ulamâ’us Salaf oleh Dr. Ahmad Farid, Riyâdhus Shâlihîn oleh Imam Nawawi dan Risâlah Ramadhan oleh: Abdullah bin Jarullah bin Ibrahim al-Jarullah. Dipublikasi juga dalam http://tazkiyah-annafs.blogspot.com/2006/07/pentingnya-tazkiyatun-nafs.html

BEKAL UTAMA AKTIVIS DAKWAH

Dakwah bukanlah pekerjaan ringan. Bukan pekerjaan yang bisa dilakukan sambil-lalu, atau dengan tanpa perencanaan yang matang. Tiada dakwah yang berhasil tanpa aktor (pelaku) yang mau berkhidmat dengan kesiapan prima, fisik dan spiritual maupun finansial. Dan. Bahkan, lebih dari itu semua, banyak hal yang dibutuhkan oleh seseorang ketika memilih profesinya sebagai “Da’i”. Dengan bekal utama itu, “Sang Da’i” akan berhasil mengemban misinya, menjadikan Islam sebagai rahmah bagi semuanya, di mana pun dan kapan pun.

Allah berfirman:

Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang shalih dan berkata:”Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.” Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar.” (QS Fushshilat, 41: 33-35).

Ayat di atas merupakan bekal utama bagi para aktivis dakwah di jalan Allah (Da’i), agar selalu bersemangat dan memiliki sikap istiqâmah, tidak pernah gentar dan merasa ‘getir’, senantiasa menjalankan tugasnya dengan tenang, tidak emosional dan seterusnya. Ayat tersebut diletakkan setelah sebelumnya di awal QS Fushshilat Allah menggambarkan sikap orang-orang yang tidak mau menerima ajaran Allah.

“Mereka berkata: “Hati Kami berada dalam tutupan (yang menutupi) apa yang kamu seru Kami kepadanya dan telinga Kami ada sumbatan dan antara Kami dan kamu ada dinding, maka bekerjalah kamu; sesungguhnya Kami bekerja (pula).” (QS Fushshilat, 41: 5).

Bisa dibayangkan bagaimana beratnya tugas dakwah jika yang dihadapi adalah orang-orang yang tidak mau menerima kebenaran, tidak mau diajak kepada kebaikan, lebih dari itu ia menyerang, memusuhi dan melemparkan ancaman. Setiap disampaikan kepada mereka ajaran Allah, mereka menolaknya dengan segala cara, entah dengan menutup telinga, menutup mata, atau dengan mencari-cari alasan dan lain sebagainya.

Dakwah di jalan Allah adalah kebutuhan pokok manusia. Tanpa dakwah manusia akan tersesat jalan, jauh dari tujuan yang diinginkan Allah SWT. Para rasul dan nabi yang Allah pilih dalam setiap fase adalah dalam rangka menegakkan risalah dakwah ini. Di dalam al-Quran, Allah SWT tidak pernah bosan mengulang-ulang seruan untuk bertakwa dan menjauhi jalan-jalan setan. Tetapi manusia tetap saja terlena dengan panggilan hawa nafsu, terpedaya dengan indahnya dunia sehingga lupa kepada akhirat. Dalam QS al-Infithâr, 82: 6 Allah berfirman:

“Hai manusia, apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu yang Maha Pemurah.”

Dalam ayat lain:

“Sekali-kali janganlah demikian. Sebenarnya kamu (hai manusia) mencintai kehidupan dunia, dan meninggalkan (kehidupan) akhirat.” (QS al-Qiyâmah, 75: 20-21).

Perhatikan bagaimana pahit-getir yang harus ditempuh para pegiat dakwah (Da’i). Sampai kapan manusia harus terus terombang-ambing dalam gemerlap dunia yang menipu kalau tidak ada seorang pun yang bergerak untuk melakukan dakwah? Di sini tampak bahwa tugas dakwah pada hakikatnya bukan hanya tugas para Da’i, melainkan tugas semua manusia yang mengaku dirinya sebagai hamba Allah – tak perduli apa profesinya – lebih-lebih mereka yang telah meletakkan dirinya sebagai aktivis dakwah.

Karenanya, persoalan dakwah bukan persoalan nomor dua, melainkan persoalan pertama dan harus diutamakan di atas segala kepentingan. Bila kita mengaku mencintai Rasulullah s.a.w., maka juga harus mengaku bahwa berjuang di jalan dakwah adalah segala-galanya. Karena Rasulullah s.a.w. dan sahabat-sahabatnya tidak saja mengurbankan segala waktu dan hartanya bahkan jiwa raganya untuk dakwah kepada Allah. Bagi mereka rumah dan harta yang telah mereka bangun sekian lama di kota Makkah memang merupakan bagian dari kehidupan yang sangat mahal dan berharga. Tetapi mempertahankan iman dan menegakkan ajaran Allah di bumi adalah di atas semua itu. Karenanya mereka tidak pikir-pikir lagi untuk berhijrah dengan meninggalkan segala apa yang mereka miliki. Mereka benar-benar paham bahwa iman dan dakwah pasti menuntut pengurbanan. Karenanya dalam berbagai pertempuran para sahabat berlomba untuk melibatkan dirinya. Mereka merasa berdosa jika tidak ikut terlibat aktif. Tidak sedikit dari mereka yang telah gugur di medan tempur. Semua ini menggambarkan kesungguhan dan kejujuran mereka dalam menegakkan risalah dakwah yang taruhannya bukan hanya harta benda melainkan juga nyawa.

Dakwah Adalah Tugas yang Sangat Mulia

Ayat di atas dibuka dengan pernyataan: waman ahsanu qawlan. Sayyid Quthub ketika menafsirkan ayat ini: “Kalimat-kalimat dakwah yang diucapkan sang Da’i adalah kal;imat yang paling baik, ia berada pada barisan pertama di antara kalimat-kalimat yang baik yang mendaki ke langit.” (lihat: Sayyid Quthub, Fî Zhilâlil Qurân, vol.5, h. 3121).

Kata waman ahsanu diulang di beberapa tempat dalam al-Qur’an untuk menegaskan tingginya kualitas beberapa hal.

Pada QS an-Nisâ’, 4: 125 Allah berfirman:

“Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNya.”

Dalam QS al-Mâidah, 5: 50:

“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?”

Dan pada ayat di atas (QS Fushshilât, 44: 33):

“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?”

Perhatikan semua ayat-ayat tersebut secara seksama, betapa tugas dakwah sangat Allah muliakan. Peringkatnya sangat tinggi, setara dengan kualitas hukum Allah dan penyerahan diri kepadaNya secara total.

Adalah suatu keharusan seorang Da’i, menyerahkan hidupnya kepada Allah SWT. Ia tidak kenal lelah menjalani tugas-tugas dakwah. Ia pun tidak mengharapkan keuntungan duniawi di baliknya, kecuali hanyalah ridhaNya. Dalam QS Yâsîn. 36: 21 Allah berfirman:

“Ikutilah orang yang tiada minta balasan kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.”

Andaikata Allah membuka jalan rezeki baginya melalui jalan-jalan tak terduga, seperti kata Abu Ishaq Ahmad bin Ibrahim an-Naisaburi dalam kitab Al-Kayfu wa al-Bayân ‘an Tafsîr al-Qurân, Juz I (Beirut: Dâr Ihyâ at-Turâts al-’Arabiy, 1422 H), hal. 142: “فهو خير على خير (fahuwa khairun ‘alâ khair)“. Yang penting jangan sampai seorang Da’i orientasinya dunia. Sebab, bila seorang Da’i juga berorientasi dunia, kepada apa dia mau berdakwah, bukankah tema utama dakwah adalah ajakan untuk mempersiapkan diri menuju akhirat?

Berdakwah Dengan Amal

Ayat selanjutnya menegaskan pentingnya amal shalih: wa amila shâlihâ. Mengapa? Apa hubungannya dengan dakwah? Bahwa seorang Da’i jangan hanya ‘ngomong’ saja, sementara perbuatannya jauh atau bahkan bertentangan dengan apa yang disampaikannya. Benar, bahwa perkataan dakwah adalah paling baiknya perkataan, tetapi itu kalau diikuti dengan amal shalih. Jika tidak, maka perkataan itu akan menjadi bumerang yang akan menyerang sang Da’i itu sendiri.

Dalam QS ash-Shaf, 61: 3, Allah berfirman:

“Amat besar kebencian Allah, bila kamu hanya mengatakan tanpa mengerjakannya.”

Karenanya Rasulullah s.a.w. tidak hanya berbicara, melainkan — lebih dari itu — seluruh perbuatannya merupakan contoh amal shalih.

Allah SWT memberikan rekomendasi yang luar biasa dalam QS al-Qalam, 68: 4,

“Dan sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung.

Ibnu Katsir — ketika menafsirkan ayat ini — menyebutkan riwayat dari ‘Aisyah r.a.: “Bahwa akhlak Rasulullah s.a.w. adalah al-Quran (lihat: Tafsir Ibn Katsir, vol.4, h. 629). Dalam hadis-hadis yang diriwayatkan para ulama tidak semua berupa ucapan Rasulullah s.a.w., melainkan banyak sekali yang berupa cerita para sahabat mengenai perilaku dan sikap Rasulullah s.a.w. Banyak sekali hadis-hadis yang berupa ucapan pendek, to the point, tidak ‘bertele-tele’, mudah dihafalkan. Suatu gambaran betapa keberhasilan dakwah Rasulullah s.a.w. adalah karena setiap yang diucapkannya langsung ada contohnya dalam bentuk amal nyata dari sikap dan akhlaknya yang sangat mulia.

Menampilkan Diri Sebagai Seorang Muslim Adalah: “Dakwah”

Di antara ciri utama berdakwah kepada Allah, tidak saja mengamalkan ajaranNya dan menjauhi segala yang dilarang melainkan lebih dari itu menampilkan diri sebagai seorang Muslim di manapun ia berada, Allah berfirman pada ayat berikut: وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ [Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri] (QS Fushshilât, 41: 33)

Dengan kata lain tidak cukup seorang mengamalkan Islam hanya dengan shalat, membayar zakat dan menjalankan haji, sementara dalam hidup sehari-harinya tidak mencerminkan Islam, misalnya ia tidak merasa berdosa dengan mempertontonkan auratnya di mana-mana, bergandengan tangan dengan wanita bukan istrinya di depan banyak orang, melakukan kemaksiatan, kezaliman, korupsi, judi, perzinaan dengan terang-terangan. Anehnya, dia merasa malu untuk menampilkan Islam dengan sebenar-benarnya. Ia tidak merasa bangga sebagai seorang muslim. Bahkan Islam yang dipeluk digerogoti ajarannya sedikit demi sedikit, dengan sikap memperdebatkan prinsip-prinsipnya yang sudah baku, mencari-cari dalil untuk membangun keraguan terhadap kebenaran Islam.

Seorang aktivis dakwah sejati selalu bangga dengan identitasnya sebagai seorang muslim. Ia tidak takut menampilkan Islam sebagai pribadinya. Sungguh krisis umat Islam di mana-mana kini adalah krisis keberanian untuk menampilkan wajah Islam yang sebenarnya. Islam mengajarkan kedisiplinan, kebersihan, dan akhlak mulia, tetapi umat Islam di mana-mana selalu terkesan jorok, kotor dan beringas. Islam mengajarkan kejujuran, dan ketegasan dalam menegakkan hukum, tetapi penipuan dan korupsi justeru merebak di tengah masyarakat yang mayoritasnya umat Islam. Mengapa ini semua terjadi? Bukankah orang-orang non-muslim sudah sedemikian jauh menampilkan dirinya sebagai bangsa yang bersih, disiplin dan lain sebagainya?

Benar, jika kemudian saya mendengar penyataan salah seorang muallaf : “Saya masuk Islam bukan karena umat Islam, melainkan karena kebenaran Islam. SeanDa’inya umat Islam mampu menampilkan Islam dengan sebenar-benarnya, niscaya mereka akan berbondong-bondong masuk Islam.” Bahkan ada ungkapan yang sangat terkenal dan diulang-ulang hampir dalam setiap seminar di dalam di luar negeri: al-Islâm mahjûbun bil muslimîn (kebenaran Islam terhalang oleh orang-orang-orang Islam sendiri). Perhatikan realitasnya, apa yang sedang berlangsung dalam diri umat Islam di mana-mana. Ya, kalau tidak berperang di antara mereka sendiri, mereka dizalimi oleh pemimpinnya sendiri yang mengaku muslim.

Karenanya menampilkan Islam secara jujur dalam diri sebagai pribadi, dalam rumah tangga, dalam bermasyarakat dan dalam berbangsa dan bernegara adalah sebuah keniscayaan, dan menurut ayat di atas termasuk perbuatan yang sangat baik dan mulia. Oleh sebab itu pada ayat berikutnya Allah mengajarkan agar seorang Da’i selalu menyadari posisinya yang sangat mulia. Jangan sampai – karena suatu saat kelak menghadapi cobaan berupa munculnya orang-orang yang menolak dakwahnya dan lain sebagainya – ia kemudian bersikap emosional. Sehingga perkataannya lepas kontrol, lalu membalas cercaan mereka dengan cercaan. Atau lebih dari itu ia kemudian putus asa, lalu menjadi lesu dan patah arang. Akibatnya dakwah yang sangat Allah muliakan, ia lalaikan begitu saja.

Tidak! Tidak demikian pribadi seorang aktivis dakwah. Seorang aktivis dakwah selalu menjiwai ayat ini: وَلا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلا السَّيِّئَةُ (walâ tastawil hasanatu walas sayyi’ah). Benar, tidak akan pernah sama antara kebaikan dan keburukan. Kata-kata dakwah tetap lebih mulia dari kata-kata pencerca. Pertahankan kata-kata yang baik itu untuk terus menghiasi lidah sang Da’i. Jangan sampai terpengaruh emosi para pencerca lalu ditukar menjadi cercaan pula. Karenanya Allah ajarkan konsep: ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ (idfa’ billatî hiya ahsan), balaslah dengan ucapan yang lebih baik dan dengan cara yang lebih baik. Kata ahsan juga diulang pada ayat lain: وَ جادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ [wajâdilhum billatî hiya ahsan] (QS an-Nahl, 16: 125), suatu sikap yang harus selalu menghiasi pribadi seorang Da’i setiap saat dan di manapun ia berada, lebih-lebih saat menghadapi penolakan, cercaan dan makian. Di saat seperti itu seorang Da’i, harus benar-benar tampil sempurna, bijak dan tenang. Mengapa? Sebab ia membawa misi Allah Yang Maha Perkasa. Maka ia harus selalu yakin dan percaya diri dengan posisinya. Tidak perlu bersikap tidak percaya diri apalagi rendah diri.

Bahkan pada ayat selanjutnya Allah mengajarkan agar ia selalu tampil dengan penuh persahabatan, sekalipun mereka mencerca dengan penuh permusuhan. Perhatikan bagaimana Allah mengajarkan cara berdakwah yang efektif, di mana kemudian cara ini menjadi salah satu pilar utama dalam ilmu komunikasi modern. Setelah itu Allah menegaskan bahwa untuk itu semua seorang Da’i tidak cukup hanya dengan bermodal semangat, melainkan lebih dari itu harus mempunyai sifat sabar dan selalu memohon kepada Allah agar mendapatkan nasib yang baik, di dunia dan di akhirat. Tanpa sifat sabar dan doa untuk memperoleh nasib yang baik, segala proses akan menjadi sia-sia. Sebab segala kemenangan tidak akan pernah dicapai tanpa pertolonganNya.

Wallâhu A’lamu bi ash-Shawâb.





BEKAL UTAMA AKTIVIS DAKWAH

Dakwah bukanlah pekerjaan ringan. Bukan pekerjaan yang bisa dilakukan sambil-lalu, atau dengan tanpa perencanaan yang matang. Tiada dakwah yang berhasil tanpa aktor (pelaku) yang mau berkhidmat dengan kesiapan prima, fisik dan spiritual maupun finansial. Dan. Bahkan, lebih dari itu semua, banyak hal yang dibutuhkan oleh seseorang ketika memilih profesinya sebagai “Da’i”. Dengan bekal utama itu, “Sang Da’i” akan berhasil mengemban misinya, menjadikan Islam sebagai rahmah bagi semuanya, di mana pun dan kapan pun.

Allah berfirman:

Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang shalih dan berkata:”Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.” Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar.” (QS Fushshilat, 41: 33-35).

Ayat di atas merupakan bekal utama bagi para aktivis dakwah di jalan Allah (Da’i), agar selalu bersemangat dan memiliki sikap istiqâmah, tidak pernah gentar dan merasa ‘getir’, senantiasa menjalankan tugasnya dengan tenang, tidak emosional dan seterusnya. Ayat tersebut diletakkan setelah sebelumnya di awal QS Fushshilat Allah menggambarkan sikap orang-orang yang tidak mau menerima ajaran Allah.

“Mereka berkata: “Hati Kami berada dalam tutupan (yang menutupi) apa yang kamu seru Kami kepadanya dan telinga Kami ada sumbatan dan antara Kami dan kamu ada dinding, maka bekerjalah kamu; sesungguhnya Kami bekerja (pula).” (QS Fushshilat, 41: 5).

Bisa dibayangkan bagaimana beratnya tugas dakwah jika yang dihadapi adalah orang-orang yang tidak mau menerima kebenaran, tidak mau diajak kepada kebaikan, lebih dari itu ia menyerang, memusuhi dan melemparkan ancaman. Setiap disampaikan kepada mereka ajaran Allah, mereka menolaknya dengan segala cara, entah dengan menutup telinga, menutup mata, atau dengan mencari-cari alasan dan lain sebagainya.

Dakwah di jalan Allah adalah kebutuhan pokok manusia. Tanpa dakwah manusia akan tersesat jalan, jauh dari tujuan yang diinginkan Allah SWT. Para rasul dan nabi yang Allah pilih dalam setiap fase adalah dalam rangka menegakkan risalah dakwah ini. Di dalam al-Quran, Allah SWT tidak pernah bosan mengulang-ulang seruan untuk bertakwa dan menjauhi jalan-jalan setan. Tetapi manusia tetap saja terlena dengan panggilan hawa nafsu, terpedaya dengan indahnya dunia sehingga lupa kepada akhirat. Dalam QS al-Infithâr, 82: 6 Allah berfirman:

“Hai manusia, apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu yang Maha Pemurah.”

Dalam ayat lain:

“Sekali-kali janganlah demikian. Sebenarnya kamu (hai manusia) mencintai kehidupan dunia, dan meninggalkan (kehidupan) akhirat.” (QS al-Qiyâmah, 75: 20-21).

Perhatikan bagaimana pahit-getir yang harus ditempuh para pegiat dakwah (Da’i). Sampai kapan manusia harus terus terombang-ambing dalam gemerlap dunia yang menipu kalau tidak ada seorang pun yang bergerak untuk melakukan dakwah? Di sini tampak bahwa tugas dakwah pada hakikatnya bukan hanya tugas para Da’i, melainkan tugas semua manusia yang mengaku dirinya sebagai hamba Allah – tak perduli apa profesinya – lebih-lebih mereka yang telah meletakkan dirinya sebagai aktivis dakwah.

Karenanya, persoalan dakwah bukan persoalan nomor dua, melainkan persoalan pertama dan harus diutamakan di atas segala kepentingan. Bila kita mengaku mencintai Rasulullah s.a.w., maka juga harus mengaku bahwa berjuang di jalan dakwah adalah segala-galanya. Karena Rasulullah s.a.w. dan sahabat-sahabatnya tidak saja mengurbankan segala waktu dan hartanya bahkan jiwa raganya untuk dakwah kepada Allah. Bagi mereka rumah dan harta yang telah mereka bangun sekian lama di kota Makkah memang merupakan bagian dari kehidupan yang sangat mahal dan berharga. Tetapi mempertahankan iman dan menegakkan ajaran Allah di bumi adalah di atas semua itu. Karenanya mereka tidak pikir-pikir lagi untuk berhijrah dengan meninggalkan segala apa yang mereka miliki. Mereka benar-benar paham bahwa iman dan dakwah pasti menuntut pengurbanan. Karenanya dalam berbagai pertempuran para sahabat berlomba untuk melibatkan dirinya. Mereka merasa berdosa jika tidak ikut terlibat aktif. Tidak sedikit dari mereka yang telah gugur di medan tempur. Semua ini menggambarkan kesungguhan dan kejujuran mereka dalam menegakkan risalah dakwah yang taruhannya bukan hanya harta benda melainkan juga nyawa.

Dakwah Adalah Tugas yang Sangat Mulia

Ayat di atas dibuka dengan pernyataan: waman ahsanu qawlan. Sayyid Quthub ketika menafsirkan ayat ini: “Kalimat-kalimat dakwah yang diucapkan sang Da’i adalah kal;imat yang paling baik, ia berada pada barisan pertama di antara kalimat-kalimat yang baik yang mendaki ke langit.” (lihat: Sayyid Quthub, Fî Zhilâlil Qurân, vol.5, h. 3121).

Kata waman ahsanu diulang di beberapa tempat dalam al-Qur’an untuk menegaskan tingginya kualitas beberapa hal.

Pada QS an-Nisâ’, 4: 125 Allah berfirman:

“Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNya.”

Dalam QS al-Mâidah, 5: 50:

“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?”

Dan pada ayat di atas (QS Fushshilât, 44: 33):

“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?”

Perhatikan semua ayat-ayat tersebut secara seksama, betapa tugas dakwah sangat Allah muliakan. Peringkatnya sangat tinggi, setara dengan kualitas hukum Allah dan penyerahan diri kepadaNya secara total.

Adalah suatu keharusan seorang Da’i, menyerahkan hidupnya kepada Allah SWT. Ia tidak kenal lelah menjalani tugas-tugas dakwah. Ia pun tidak mengharapkan keuntungan duniawi di baliknya, kecuali hanyalah ridhaNya. Dalam QS Yâsîn. 36: 21 Allah berfirman:

“Ikutilah orang yang tiada minta balasan kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.”

Andaikata Allah membuka jalan rezeki baginya melalui jalan-jalan tak terduga, seperti kata Abu Ishaq Ahmad bin Ibrahim an-Naisaburi dalam kitab Al-Kayfu wa al-Bayân ‘an Tafsîr al-Qurân, Juz I (Beirut: Dâr Ihyâ at-Turâts al-’Arabiy, 1422 H), hal. 142: “فهو خير على خير (fahuwa khairun ‘alâ khair)“. Yang penting jangan sampai seorang Da’i orientasinya dunia. Sebab, bila seorang Da’i juga berorientasi dunia, kepada apa dia mau berdakwah, bukankah tema utama dakwah adalah ajakan untuk mempersiapkan diri menuju akhirat?

Berdakwah Dengan Amal

Ayat selanjutnya menegaskan pentingnya amal shalih: wa amila shâlihâ. Mengapa? Apa hubungannya dengan dakwah? Bahwa seorang Da’i jangan hanya ‘ngomong’ saja, sementara perbuatannya jauh atau bahkan bertentangan dengan apa yang disampaikannya. Benar, bahwa perkataan dakwah adalah paling baiknya perkataan, tetapi itu kalau diikuti dengan amal shalih. Jika tidak, maka perkataan itu akan menjadi bumerang yang akan menyerang sang Da’i itu sendiri.

Dalam QS ash-Shaf, 61: 3, Allah berfirman:

“Amat besar kebencian Allah, bila kamu hanya mengatakan tanpa mengerjakannya.”

Karenanya Rasulullah s.a.w. tidak hanya berbicara, melainkan — lebih dari itu — seluruh perbuatannya merupakan contoh amal shalih.

Allah SWT memberikan rekomendasi yang luar biasa dalam QS al-Qalam, 68: 4,

“Dan sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung.

Ibnu Katsir — ketika menafsirkan ayat ini — menyebutkan riwayat dari ‘Aisyah r.a.: “Bahwa akhlak Rasulullah s.a.w. adalah al-Quran (lihat: Tafsir Ibn Katsir, vol.4, h. 629). Dalam hadis-hadis yang diriwayatkan para ulama tidak semua berupa ucapan Rasulullah s.a.w., melainkan banyak sekali yang berupa cerita para sahabat mengenai perilaku dan sikap Rasulullah s.a.w. Banyak sekali hadis-hadis yang berupa ucapan pendek, to the point, tidak ‘bertele-tele’, mudah dihafalkan. Suatu gambaran betapa keberhasilan dakwah Rasulullah s.a.w. adalah karena setiap yang diucapkannya langsung ada contohnya dalam bentuk amal nyata dari sikap dan akhlaknya yang sangat mulia.

Menampilkan Diri Sebagai Seorang Muslim Adalah: “Dakwah”

Di antara ciri utama berdakwah kepada Allah, tidak saja mengamalkan ajaranNya dan menjauhi segala yang dilarang melainkan lebih dari itu menampilkan diri sebagai seorang Muslim di manapun ia berada, Allah berfirman pada ayat berikut: وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ [Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri] (QS Fushshilât, 41: 33)

Dengan kata lain tidak cukup seorang mengamalkan Islam hanya dengan shalat, membayar zakat dan menjalankan haji, sementara dalam hidup sehari-harinya tidak mencerminkan Islam, misalnya ia tidak merasa berdosa dengan mempertontonkan auratnya di mana-mana, bergandengan tangan dengan wanita bukan istrinya di depan banyak orang, melakukan kemaksiatan, kezaliman, korupsi, judi, perzinaan dengan terang-terangan. Anehnya, dia merasa malu untuk menampilkan Islam dengan sebenar-benarnya. Ia tidak merasa bangga sebagai seorang muslim. Bahkan Islam yang dipeluk digerogoti ajarannya sedikit demi sedikit, dengan sikap memperdebatkan prinsip-prinsipnya yang sudah baku, mencari-cari dalil untuk membangun keraguan terhadap kebenaran Islam.

Seorang aktivis dakwah sejati selalu bangga dengan identitasnya sebagai seorang muslim. Ia tidak takut menampilkan Islam sebagai pribadinya. Sungguh krisis umat Islam di mana-mana kini adalah krisis keberanian untuk menampilkan wajah Islam yang sebenarnya. Islam mengajarkan kedisiplinan, kebersihan, dan akhlak mulia, tetapi umat Islam di mana-mana selalu terkesan jorok, kotor dan beringas. Islam mengajarkan kejujuran, dan ketegasan dalam menegakkan hukum, tetapi penipuan dan korupsi justeru merebak di tengah masyarakat yang mayoritasnya umat Islam. Mengapa ini semua terjadi? Bukankah orang-orang non-muslim sudah sedemikian jauh menampilkan dirinya sebagai bangsa yang bersih, disiplin dan lain sebagainya?

Benar, jika kemudian saya mendengar penyataan salah seorang muallaf : “Saya masuk Islam bukan karena umat Islam, melainkan karena kebenaran Islam. SeanDa’inya umat Islam mampu menampilkan Islam dengan sebenar-benarnya, niscaya mereka akan berbondong-bondong masuk Islam.” Bahkan ada ungkapan yang sangat terkenal dan diulang-ulang hampir dalam setiap seminar di dalam di luar negeri: al-Islâm mahjûbun bil muslimîn (kebenaran Islam terhalang oleh orang-orang-orang Islam sendiri). Perhatikan realitasnya, apa yang sedang berlangsung dalam diri umat Islam di mana-mana. Ya, kalau tidak berperang di antara mereka sendiri, mereka dizalimi oleh pemimpinnya sendiri yang mengaku muslim.

Karenanya menampilkan Islam secara jujur dalam diri sebagai pribadi, dalam rumah tangga, dalam bermasyarakat dan dalam berbangsa dan bernegara adalah sebuah keniscayaan, dan menurut ayat di atas termasuk perbuatan yang sangat baik dan mulia. Oleh sebab itu pada ayat berikutnya Allah mengajarkan agar seorang Da’i selalu menyadari posisinya yang sangat mulia. Jangan sampai – karena suatu saat kelak menghadapi cobaan berupa munculnya orang-orang yang menolak dakwahnya dan lain sebagainya – ia kemudian bersikap emosional. Sehingga perkataannya lepas kontrol, lalu membalas cercaan mereka dengan cercaan. Atau lebih dari itu ia kemudian putus asa, lalu menjadi lesu dan patah arang. Akibatnya dakwah yang sangat Allah muliakan, ia lalaikan begitu saja.

Tidak! Tidak demikian pribadi seorang aktivis dakwah. Seorang aktivis dakwah selalu menjiwai ayat ini: وَلا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلا السَّيِّئَةُ (walâ tastawil hasanatu walas sayyi’ah). Benar, tidak akan pernah sama antara kebaikan dan keburukan. Kata-kata dakwah tetap lebih mulia dari kata-kata pencerca. Pertahankan kata-kata yang baik itu untuk terus menghiasi lidah sang Da’i. Jangan sampai terpengaruh emosi para pencerca lalu ditukar menjadi cercaan pula. Karenanya Allah ajarkan konsep: ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ (idfa’ billatî hiya ahsan), balaslah dengan ucapan yang lebih baik dan dengan cara yang lebih baik. Kata ahsan juga diulang pada ayat lain: وَ جادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ [wajâdilhum billatî hiya ahsan] (QS an-Nahl, 16: 125), suatu sikap yang harus selalu menghiasi pribadi seorang Da’i setiap saat dan di manapun ia berada, lebih-lebih saat menghadapi penolakan, cercaan dan makian. Di saat seperti itu seorang Da’i, harus benar-benar tampil sempurna, bijak dan tenang. Mengapa? Sebab ia membawa misi Allah Yang Maha Perkasa. Maka ia harus selalu yakin dan percaya diri dengan posisinya. Tidak perlu bersikap tidak percaya diri apalagi rendah diri.

Bahkan pada ayat selanjutnya Allah mengajarkan agar ia selalu tampil dengan penuh persahabatan, sekalipun mereka mencerca dengan penuh permusuhan. Perhatikan bagaimana Allah mengajarkan cara berdakwah yang efektif, di mana kemudian cara ini menjadi salah satu pilar utama dalam ilmu komunikasi modern. Setelah itu Allah menegaskan bahwa untuk itu semua seorang Da’i tidak cukup hanya dengan bermodal semangat, melainkan lebih dari itu harus mempunyai sifat sabar dan selalu memohon kepada Allah agar mendapatkan nasib yang baik, di dunia dan di akhirat. Tanpa sifat sabar dan doa untuk memperoleh nasib yang baik, segala proses akan menjadi sia-sia. Sebab segala kemenangan tidak akan pernah dicapai tanpa pertolonganNya.

Wallâhu A’lamu bi ash-Shawâb.





MENEGAKKAN KEADILAN

Banyak ajaran Islam yang menyeru manusia untuk menegakkan keadilan dalam setiap sikap dan perbuatan. Rasul-rasul diutus ke tengah kaum atau bangsanya juga untuk menegakkan keadilan. Nabi Musa, misalnya, diutus Tuhan untuk membasmi kezaliman Firaun. Nabi Ibrahim diutus buat menegakkan keadilan terhadap Raja Namrud yang memperlakukan bangsa Babilonia sesuka hatinya. Begitu pula Nabi Muhammad SAW. Nabi yang terakhir ini diutus ke bangsa Arab untuk menegakkan keadilan di tengah kezaliman dan kejahiliyahan bangsa Arab ketika itu. Menurut ajaran Islam, keadilan berarti memberikan satu ketentuan (hukum) yang tidak menyimpang dari kebenaraan. Berdasarkan pengertian umum, keadilan adalah bertindak sama atau serupa. Lawan dari keadilan adalah kezaliman. Seruan menegakkan keadilan harus terwujud di tengah masyarakat. Keadilan mesti ditegakkan dalam segala bidang kehidupan, baik sosial, ekonomi, maupun kehidupan politik.

Allah SWT berfirman:

“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. jika ia [maksudnya: orang yang tergugat atau yang terdakwa] Kaya ataupun miskin, Maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan. .”(QS an-Nisâ’, 4: 135).

Ada seorang ulama berkata, ”Keadilan itu adalah sendi negara. Tidak akan kekal suatu kekuasaan tanpa menegakkan keadilan. Kalau tak ada hukum yang adil, maka orang akan hidup dalam anarki, tidak punya sandaran dan pegangan.” Seorang ahli hikmah mengatakan, ”Keadilan seorang penguasa terhadap rakyatnya mestilah dengan empat perkara, yaitu dengan menempuh jalan yang mudah, meninggalkan cara yang sulit menyukarkan, menjauhkan kesewenang-wenangan, dan mematuhi kebenaran dalam perilakunya.

”Menegakkan keadilan harus dengan secara mutlak dan menyeluruh. Tidak karena sebab sesuatu, keadilan itu berubah fungsi. Jangan karena perbedaan kedudukan, golongan, dan keadaan sosial mengakibatkan perlakuan keadilan itu tidak sama.

Firman Allah SWT:

“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS al-Mâidah, 5: 8).

Dalam Islam kedudukan rakyat dan pemerintah adalah sama, karena ia merupakan pengokoh suatu masyarakat yang menginginkan kesempurnaan. Nabi Muhammad SAW pernah berkata kepada Usman bin Zaid bahwa kehancuran pemerintahan dahulu karena mereka menjalankan hukuman berat sebelah.

Mereka cuma memberi dan menjatuhkan hukuman terhadap rakyat kecil, sedangkan pencuri dari kalangan atas mereka diamkan saja dan biarkan terus. Tuntutan berbuat adil haruslah dimulai dari diri sendiri, rumah tangga, dan lingkungan. Adil terhadap anak, misalnya, dengan memberikan nafkah, pendidikan, dan keperluan lainnya. Dalam menegakkan keadilan tidak saja disuruh hanya terhadap kawan, teman seperjuangan atau seprofesi. Terhadap lawan pun, keadilan harus tetap ditegakkan. Alquran menjelaskan:

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS an-Nahl, 16: 90).

“Maka karena itu serulah (mereka kepada agama ini) dan tetaplah [maksudnya: tetaplah dalam agama dan lanjutkanlah berdakwah] sebagai mana diperintahkan kepadamu dan janganlah mengikuti hawa nafsu mereka dan Katakanlah: “Aku beriman kepada semua kitab yang diturunkan Allah dan aku diperintahkan supaya Berlaku adil diantara kamu. Allah-lah Tuhan Kami dan Tuhan kamu. bagi Kami amal-amal Kami dan bagi kamu amal-amal kamu. tidak ada pertengkaran antara Kami dan kamu, Allah mengumpulkan antara kita dan kepada-Nyalah kembali (kita.)” (QS as-Syûrâ, 42: 15).

Paling tidak ada empat makna keadilan yang dikemukakan oleh para pakar agama.

Pertama, adil dalam arti “sama”

Anda dapat berkata bahwa si A adil, karena yang Anda maksud adalah bahwa dia memperlakukan sama atau tidak membedakan seseorang dengan yang lain. Tetapi harus digarisbawahi bahwa persamaan yang dimaksud adalah persamaan dalam hak. Dalam surat an-Nisâ’ (4): 58 dinyatakan bahwa,

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا

Terjemah:

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.

Kata “adil” dalam ayat ini — bila diartikan “sama” –hanya mencakup sikap dan perlakuan hakim pada saat proses pengambilan keputusan.

Ayat ini menuntun sang hakim untuk menempatkan pihak-pihak yang bersengketa di dalam posisi yang sama, misalnya ihwal tempat duduk, penyebutan nama (dengan atau tanpa embel-embel penghormatan), keceriaan wajah, kesungguhan mendengarkan, dan memikirkan ucapan mereka, dan sebagainya yang termasuk dalam proses pengambilan keputusan. Apabila persamaan dimaksud mencakup keharusan mempersamakan apa yang mereka terima dari keputusan, maka ketika itu persamaan tersebut menjadi wujud nyata kezaliman.

Al-Quran mengisahkan dua orang berperkara yang datang kepada Nabi Daud a.s. untuk mencari keadilan. Orang pertama memiliki sembilan puluh sembilan ekor kambing betina, sedangkan orang kedua hanya memiliki seekor. Pemilik kambing yang banyak mendesak agar diberi pula yang seekor itu agar genap seratus. Nabi Daud tidak memutuskan perkara ini dengan membagi kambing-kambing itu dengan jumlah yang sama, melainkan menyatakan bahwa pemilik sembilan puluh sembilan kambing itu telah berlaku aniaya atas permintaannya itu (QS Shâd [38]: 23),

إِنَّ هَذَا أَخِي لَهُ تِسْعٌ وَتِسْعُونَ نَعْجَةً وَلِيَ نَعْجَةٌ وَاحِدَةٌ فَقَالَ أَكْفِلْنِيهَا وَعَزَّنِي فِي الْخِطَابِ

Terjemah:

Sesungguhnya saudaraku ini mempunyai sembilan puluh sembilan ekor kambing betina dan aku mempunyai seekor saja. Maka dia berkata: “Serahkanlah kambingmu itu kepadaku dan dia mengalahkan aku dalam perdebatan”.

Kedua, adil dalam arti “seimbang”

Keseimbangan ditemukan pada suatu kelompok yang di dalamnya terdapat beragam bagian yang menuju satu tujuan tertentu, selama syarat dan kadar tertentu terpenuhi oleh setiap bagian. Dengan terhimpunnya syarat ini, kelompok itu dapat bertahan dan berjalan memenuhi tujuan kehadirannya.

يَاأَيُّهَا الْإِنْسَانُ مَا غَرَّكَ بِرَبِّكَ الْكَرِيمِ(6) الَّذِي خَلَقَكَ فَسَوَّاكَ فَعَدَلَكَ(7)

Terjemah:

Hai manusia, apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu Yang Maha Pemurah. Yang telah menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuh) mu seimbang, (QS al-Infithâr [82]: 6-7).

Seandainya ada salah satu anggota tubuh manusia berlebih atau berkurang dari kadar atau syarat yang seharusnya, maka pasti tidak akan terjadi kesetimbangan (keadilan).

Contoh lain tentang keseimbangan adalah alam raya bersama ekosistemnya. al-Quran menyatakan bahwa,

الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَوَاتٍ طِبَاقًا مَا تَرَى فِي خَلْقِ الرَّحْمَنِ مِنْ تَفَاوُتٍ فَارْجِعِ الْبَصَرَ هَلْ تَرَى مِنْ فُطُورٍ

Terjemah:

(Allah) Yang menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sama sekali tidak melihat pada ciptaan Yang Maha Pemurah itu sesuatu yang tidak seimbang. Amatilah berulang-ulang! Adakah kamu melihat sesuatu yang tidak seimbang? (QS al-Mulk [67]: 3)

Di sini, keadilan identik dengan kesesuaian (proporsionalitas), bukan lawan kata “kezaliman”. Perlu dicatat bahwa keseimbangan tidak mengharuskan persamaan kadar dan syarat bagi semua bagian unit agar seimbang. Bisa saja satu bagian berukuran kecil atau besar, sedangkan kecil dan besarnya ditentukan oleh fungsi yang diharapkan darinya.

Petunjuk-petunjuk al-Quran yang membedakan satu dengan yang lain, seperti pembedaan lelaki dan perempuan pada beberapa hak waris dan persaksian -apabila ditinjau dari sudut pandang keadilan- harus dipahami dalam arti keseimbangan, bukan persamaan.

Keadilan dalam pengertian ini menimbulkan keyakinan bahwa Allah Yang Mahabijaksana dan Maha Mengetahui menciptakan dan mengelola segala sesuatu dengan ukuran, kadar, dan waktu tertentu guna mencapai tujuan. Keyakinan ini nantinya mengantarkan kepada pengertian Keadilan Ilahi.

الشَّمْسُ وَالْقَمَرُ بِحُسْبَانٍ

Terjemah:

Matahari dan bulan beredar dengan perhitungan yang amat teliti (QS ar-Rahmân [55]: 5).

إِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ

Terjemah:

Sesungguhuga Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukurannya (QS al-Qamar [54]: 49)

Ketiga, adil adalah “perhatian terhadap hak-hak individu dan memberikan hak-hak itu kepada setiap pemiliknya”

Pengertian inilah yang didefinisikan dengan “menempatkan sesuatu pada tempatnya” atau “memberi pihak lain haknya melalui jalan yang terdekat”. Lawannya adalah “kezaliman”, dalam arti pelanggaran terhadap hak-hak pihak lain. Dengan demikian menyirami tumbuhan adalah keadilan dan menyirami duri adalah lawannya. Sungguh merusak permainan (catur), jika menempatkan gajah di tempat raja, demikian ungkapan seorang sastrawan yang arif.

Pengertian keadilan seperti ini, melahirkan keadilan sosial.

Keempat, adil yang dinisbatkan kepada Ilahi

Adil di sini berarti “memelihara kewajaran atas berlanjutnya eksistensi, tidak mencegah kelanjutan eksistensi dan perolehan rahmat sewaktu terdapat banyak kemungkinan untuk itu.”

Semua wujud tidak memiliki hak atas Allah. Keadilan Ilahi pada dasarnya merupakan rahmat dan kebaikan-Nya. Keadilan-Nya mengandung konsekuensi bahwa rahmat Allah SWT. tidak tertahan untuk diperoleh sejauh makhluk itu dapat meraihnya.

Sering dinyatakan bahwa ketika A mengambil hak dari B, maka pada saat itu juga B mengambil hak dari A. Kaedah ini tidak berlaku untuk Allah Swt., karena Dia memiliki hak atas semua yang ada, sedangkan semua yang ada tidak memiliki sesuatu di sisi-Nya.

Dalam pengertian inilah harus dipahami kandungan firman-Nya yang menunjukkan Allah Swt. sebagai qâiman bi al-qisth (yang menegakkan keadilan) (QS Âli ‘Imrân [3]: 18),

شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ وَالْمَلَائِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

Terjemah:

Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Atau ayat lain yang mengandung arti keadilan-Nya seperti:

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا فَلِنَفْسِهِ وَمَنْ أَسَاءَ فَعَلَيْهَا وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِلْعَبِيدِ

Terjemah:

Barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barangsiapa yang berbuat jahat maka (dosanya) atas dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Tuhanmu menganiaya hamba-hamba (Nya). (QS Fushshilât [41]: 46).

Sebagaimana sabda nabi s.a.w..

إِنَّ الْمُقْسِطِينَ عِنْدَ اللَّهِ عَلَى مَنَابِرَ مِنْ نُورٍ عَنْ يَمِينِ الرَّحْمَنِ عَزَّ وَجَلَّ وَكِلْتَا يَدَيْهِ يَمِينٌ الَّذِينَ يَعْدِلُونَ فِى حُكْمِهِمْ وَأَهْلِيهِمْ وَمَا وَلُوا

“Sesungguhnya orang-orang yang berbuat adil di mata Allah berada di atas mimbar yang terbuat dari cahaya, berada di sebelah kanan Ar-Rahman Azza wa Jalla. Yaitu mereka yang berbuat adil ketika menetapkan putusan hukum, dan adil terhadap pengikut dan rakyatnya.” (HR Muslim dari Abdullah bin ‘Amr)





NILAI DAN DOKTRIN EKONOMI DALAM AL-QURAN DAN HADIS

Prawacana

Masalah-masalah pokok ekonomi, menurut para pakar, antara 1ain mencakup :

Jenis dan jasa yang diproduksi serta sistemnya.

Sistem distribusi (untuk siapa barang dan jasa itu).

Efisiensi penggunaan faktor-faktor produksi.

Inflasi

Resesi

Derivasi dari persoalan-persoalan tersebut di atas.

Melihat luasnya ruang lingkup ekonomi, maka boleh jadi kita dapat menyederhanakan kajian tulisan ini, dengan mengambil alih pandangan sekian pakar yang mendefinisikan ilmu ekonomi sebagai “ilmu mengenai perilaku manusia yang berhubungan dengan kegiatan mendapatkan uang dan membelanjakannya”.

Pendorong bagi kegiatan itu adalah kebutuhan dan keinginan manusia yang tidak mungkin diperoleh secara mandiri. Untuk memenuhinya manusia terpaksa melakukan kerja sama, dan sering kali juga terpaksa harus mengorbankan sebagian keinginannya, atau mengantarnya menetapkan prioritas dalam melakukan pilihan.

Namun ada juga manusia yang sukar mengendalikan keinginannya, sehingga ia terdorong untuk menganiaya, baik terhadap sesama manusia maupun makhluk lain. Dari sini amat diperlukan peraturan serta etika yang mengatur kegiatan ekonomi.

Peraturan dan etika itulah yang membedakan antara ekonomi yang dianjurkan al-Quran dengan ekonomi lainnya.

Harus diakui bahwa al-Quran tidak menyajikan rincian, tetapi hanya mengamanatkan nilai-nilai (prinsip-prinsip)-nya saja. Sunnah Nabi dan analisis para ulama dan cendekiawan mengemukakan sebagian dari rincian dalam rangka operasionalisasinya.

Uang Dalam Pandangan Al-Quran

Terlebih dahulu perlu dijelaskan pandangan al-Quran tentang harta (uang) dan pengembangannya dalam kegiatan ekonomi.

“Uang” antara lain diartikan sebagai “harta” kekayaan, dan “nilai tukar bagi sesuatu”.

Berbeda dengan dugaan sementara orang yang beranggapan bahwa Islam kurang menyambut baik kehadiran uang, pada hakikatnya pandangan Islam terhadap uang dan harta amat positif. Manusia diperintahkan Allah untuk mencari rezeki bukan hanya yang mencukupi kebutuhannya, tetapi al-Quran memerintahkan untuk mencari apa yang diistilahkannya fadhl Allah, yang secara harfiah berarti “kelebihan yang bersumber dari Allah”. Salah satu ayat yang menunjuk ini adalah:

فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Apabila telah ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. (QS a1-Jumu’ah [62]: 10).

Kelebihan tersebut dimaksudkan antara lain agar yang memperoleh dapat melakukan ibadah secara sempurna serta mengulurkan tangan bantuan kepada pihak lain yang oleh karena satu dan lain sebab tidak berkecukupan.

Harta atau uang dinilai oleh Allah Swt. sebagai “qiyâman”,

yaitu “sarana pokok kehidupan” (QS an-Nisâ’ [4): 5). Tidak heran jika Islam memerintahkan untuk menggunakan uang pada tempatnya dan secara baik, serta tidak memboroskannya. Bahkan memerintahkan untuk menjaga dan memeliharanya sampai-sampai al-Quran melarang pemberian harta kepada pemiliknya sekalipun, apabila sang pemilik dinilai boros, atau tidak pandai mengurus hartanya secara baik. Dalam konteks ini, a1-Quran berpesan kepada mereka yang diberi amanat memelihara harta seseorang:

وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِيَامًا وَارْزُقُوهُمْ فِيهَا وَاكْسُوهُمْ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلًا مَعْرُوفًا

Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik. (QS an-Nisâ' [4]: 5).

Bukan hanya itu, al-Quran memerintahkan siapa pun yang melakukan transaksi utang-piutang, agar mencatat jumlah utang- piutang itu, jangan sampai oleh satu dan lain hal tercecer hilang atau berkurang.

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَى وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا وَلَا تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَى أَجَلِهِ ذَلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى أَلَّا تَرْتَابُوا إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلَّا تَكْتُبُوهَا وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ وَلَا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلَا شَهِيدٌ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada utangnya. Jika yang berutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki diantaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis utang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu, (Tulislah mu`amalahmu itu), kecuali jika mu`amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS al-Baqarah [2]: 282).

Bahkan kalau perlu meminta bantuan notaris dalam pencatatannya. Dan kepada notaris serta yang melakukan transaksi itu, Allah berpesan pada ayat di atas:

(وَلَا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلَا شَهِيدٌ)

Dalam arti, hendaknya notaris jangan merugikan orang yang melakukan transaksi terutama dengan mengurangi haknya masing-masing, dan bagi yang melakukan transaksi hendaknya jangan juga merugikan sang notaris dalam waktu, tenaga, dan pikirannya tanpa memberi imbalan yang wajar. Diperintahkan juga agar memilih saksi-saksi dalam hal utang-piutang, kalau bukan dua orang lelaki, maka seorang lelaki dan dua orang perempuan:

(أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَى)

“Agar kalau seseorang tersesat/lupa, maka yang satu lainnya akan mengingatkannya.”

Demikian antara lain kandungan pesan ayat yang terpanjang dalam al-Quran.

Pandangan al-Quran terhadap uang atau harta seperti yang dikemukakan sekilas ini, bertitik tolak dari pandangannya

terhadap naluri manusia. Seperti diketahui, al-Quran memperkenalkan agama Islam antara lain sebagai agama fitrah dalam arti ajaran-ajarannya sejalan dengan jati diri manusia serta naluri positifnya. Dalam bidang harta atau keuangan, Kitab Suci umat Islam secara tegas menyatakan:

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ

Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). (QS Âli ‘Imrân [3]: l4).

“Harta yang banyak” oleh al-Quran disebut “khair” (QS

al-Baqarah [2): 180), yang arti harfiahnya adalah "kebaikan". Ini bukan saja berarti bahwa harta kekayaan adalah sesuatu yang dinilai baik, tetapi juga untuk mengisyaratkan bahwa perolehan dan penggunaannya harus pula dengan baik. Tanpa memperhatikan hal-hal tersebut, manusia akan mengalami kesengsaraan dalam hidupnya.

Karena daya tarik uang atau harta seringkali menyilaukan mata dan menggiurkan hati, maka berulang-ulang al-Quran dan hadis, memperingatkan agar manusia tidak tergiur oleh kegemerlapan uang, atau diperbudak olehnya sehingga menjadikan seseorang lupa akan fungsinya sebagai hamba Allah dan khalifah di bumi.

Peranan Uang

Merujuk kepada Mu'jam al-Muhfaras (Kamus al-Quran) oleh Fuad Abdul Baqi, kata mâl (uang) terulang dalam al-Quran sebanyak 25 (dua puluh lima) kali (dalam bentuk tunggal) dan amwâl (dalam bentuk jamak) sebanyak 61 (enam puluh satu) kali. Diamati oleh Hassan Hanafi sebagaimana dikemukakan dalam bukunya Ad-Din wa ats-Tsaurah bahwa kata tersebut mempunyai dua bentuk:

Pertama, tidak dinisbahkan kepada "pemilik", dalam arti dia berdiri sendiri. Ini – menurutnya -- adalah sesuatu yang logis karena memang ada harta yang tidak menjadi objek kegiatan manusia, tetapi berpotensi untuk itu.

Kedua, dinisbahkan kepada sesuatu, seperti "harta mereka", harta anak-anak yatim, "harta kamu" dan 1ain-1ain. Ini adalah harta yang menjadi objek kegiatan. Dan bentuk inilah yang terbanyak digunakan dalam al-Quran.

Menurut hasil perhitungan penulis, bentuk pertama (yang dinisbahkan kepada “pemilik”) ditemukan sebanyak 23 (dua puluh tiga) kali, sedang bentuk kedua (yang dinisbahkan kepada sesuatu) sebanyak 54 (lima puluh empat) kali. Dari jumlah ini yang terbanyak dibicarakan adalah harta dalam bentuk objek, dan ini memberi kesan bahwa seharusnya harta atau uang menjadi objek kegiatan manusia. Kegiatan tersebut adalah aktivitas ekonomi.

Dalam pandangan al-Quran, uang merupakan modal serta salah satu faktor produksi yang penting, tetapi "bukan yang terpenting". Manusia menduduki tempat di atas modal, disusu1 sumber daya alam. Pandangan ini berbeda dengan pandangan sebagian pelaku ekonomi modern yang memandang uang sebagai segala sesuatu, sehingga tidak jarang manusia atau sumber daya alam dianiaya atau ditelantarkan.

Modal tidak boleh diabaikan, manusia berkewajiban

menggunakannya dengan baik, agar ia terus produktif dan tidak habis digunakan. Karena itu seorang wali yang menguasai harta orang-orang yang tidak atau belum mampu mengurus hartanya,

diperintahkan untuk mengembangkan harta yang berada dalam kekuasaannya itu dan membiayai kebutuhan pemiliknya yang tidak mampu itu, dari keuntungan perputaran modal, bukan dari pokok modal. Ini dipahami dari redaksi surat an-Nisa' (4): 5 yang dikutip di atas, di mana dinyatakan Warzuqûhum fîhâ bukan Warzuqûhum minhâ. "Minhâ" artinya "dari modal", sedang "fîhâ" berarti "di dalam modal", yang dipahami sebagai ada sesuatu yang masuk dari luar ke dalam (keuntungan) yang diperoleh dari hasil usaha.

Karena itu pula modal tidak boleh menghasilkan dari dirinya sendiri, tetapi harus dengan usaha manusia. Ini salah satu sebab mengapa membungakan uang, dalam bentuk riba dan perjudian, dilarang oleh al-Quran. Salah satu hikmah pelarangan riba, serta pengenaan zakat sebesar 2,5% terhadap uang (walau tidak diperdagangkan) adalah untuk mendorong aktivitas ekonomi, perputaran dana, serta sekaligus mengurangi spekulasi serta penimbunan. Dalam konteks ini al-Quran mengingatkan:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْأَحْبَارِ وَالرُّهْبَانِ لَيَأْكُلُونَ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.(QS at-Taubah [9]. 34)

Ancaman ini disebabkan karena uang/harta seperti dikemukakan sebelum ini dijadikan Allah untuk sarana kehidupan manusia dalam rangka memenuhi kebutuhannya. Dan menyimpannya tanpa perputaran, demikian juga penimbunan kebutuhannya, tidak sejalan dengan tujuan tersebut.

Bagi pemilik uang yang tidak atau kurang mampu mengelola uangnya, para ulama mengembangkan cara-cara yang direstui oleh al-Quran dan Sunnah Nabi, antara lain melalui apa yang dinamai murâbahah, mudhârabah atau musyârakah.

Murâbahah adalah pembelian barang menurut rincian yang ditetapkan oleh pengutang, dengan keuntungan dan waktu pembayaran yang disepakati.

Mudhârabah adalah bergabungnya tenaga kerja dengan pemilik modal, sebagai mitra usaha dan keuntungan yang dibagi sesuai rasio yang disepakati.

Musyârakah adalah memadukan modal untuk bersama-sama memutarnya, dengan kesepakatan tentang rasio laba yang akan diterima.

Cara-cara ini akan mendorong setiap pemilik modal untuk tidak membiarkan modalnya tersimpan tanpa perputaran. Bukankah uang — seperti dikemukakan di atas — dijadikan Allah untuk sarana kehidupan dan pemenuhan kebutuhan manusia?

Kebutuhan Manusia

“Kebutuhan” biasa diartikan sebagai “hasrat manusia yang perlu dipenuhi atau dipuaskan”.

Kebutuhan bermacam-macam dan bertingkat-tingkat, namun secara umum ia dapat dibagi dalam tiga jenis sesuai dengan tingkat kepentingannya. Primer (dharûriyyât), sekunder (hajjiyyât), dan tertier (kamâliyyât).

Jenis kebutuhan kedua dan ketiga sangat beraneka ragam, dan dapat berbeda-beda dari seorang dengan lainnya, namun kebutuhan primer sejak dahulu hingga kini dapat dikatakan sama dan telah dirumuskan oleh para pakar sebagai kebutuhan sandang, pangan, dan papan.

Al-Quran secara tegas menyebutkan ketiga macam kebutuhan primer itu dan mengingatkan manusia pertama tentang keharusan pemenuhannya sebelum manusia pertama itu menginjakkan kakinya di bumi. Ketika Adam dan isterinya – Hawa — masih berada di surga, Allah mengingatkan mereka berdua:

فَقُلْنَا يَاآدَمُ إِنَّ هَذَا عَدُوٌّ لَكَ وَلِزَوْجِكَ فَلَا يُخْرِجَنَّكُمَا مِنَ الْجَنَّةِ فَتَشْقَى(١١٧) إِنَّ لَكَ أَلَّا تَجُوعَ فِيهَا وَلَا تَعْرَى(١١٨) وَأَنَّكَ لَا تَظْمَأُ فِيهَا وَلَا تَضْحَى(١١٩)

Maka kami berkata: “Hai Adam, sesungguhnya ini (iblis) adalah musuh bagimu dan bagi isterimu, maka sekali-kali janganlah sampai ia mengeluarkan kamu berdua dari surga, yang menyebabkan kamu menjadi celaka. Sesungguhnya kamu tidak akan kelaparan di dalamnya dan tidak akan telanjang. dan sesungguhnya kamu tidak akan merasa dahaga dan tidak (pula) akan ditimpa panas matahari di dalamnya”. (QS Thâhâ [20]: 117-119).

Yang dimaksud dengan bersusah payah adalah bekerja untuk memenuhi kebutuhan mereka yang di dunia tidak diperoleh tanpa kerja tetapi di surga telah disediakan yaitu: “pangan” atau dalam bahasa ayat di atas “tidak lapar dan tidak dahaga”. “Sandang” dilukiskan dengan “tidak telanjang”, sedangkan “papan” diisyaratkan oleh kalimat “tidak disengat panas matahari”.

Sementara ulama menganalisis mengapa peringatan ini ditujukan kepada mereka berdua selaku suami-istri, tetapi pernyataan bersusah payah dikemukakan dalam bentuk tunggal yang ditujukan kepada suami (Adam) saja. Jawabannya menurut mereka adalah, karena kebutuhan sandang, pangan dan papan, merupakan kebutuhan pria dan wanita (suami-istri), tetapi kewajiban bersusah payah mencarinya, berada di pundak suami, sehingga merupakan kewajiban suami untuk mengikhtiarkannya.

Ketiga jenis kebutuhan seperti yang disebut di atas, mengantar manusia berikhtiar untuk memproduksi alat-alat pemenuhannya, baik berupa barang maupun jasa.

Aktivitas Ekonomi

Aktivitas antar manusia — termasuk aktivitas ekonomi —terjadi melalui apa yang diistilahkan oleh ulama dengan mu’âmalah (interaksi). Pesan utama al-Quran dalam mu’âmalah keuangan atau aktivitas ekonomi adalah:

وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui. (QS al-Baqarah [2]: 188).

Kata “bâthil” diartikan sebagai “segala sesuatu yang

bertentangan dengan ketentuan dan nilai agama”.

Bukan di sini tempatnya merinci cakupan kata bâthil, apalagi al-Quran — sejalan dengan sikapnya terhadap hal-hal yang bukan bersifat ibadah murni – pada dasarnya tidak memberikan perincian. Ini untuk memberikan peluang kepada manusia atau masyarakat yang sifatnya selalu berubah, agar menyesuaikan diri dengan perubahan masyarakat sepanjang sejalan dengan nilai-nilai Islam.

Nilai-Nilai Islam

Secara umum dapat dikatakan bahwa nilai-nilai Islam terangkum dalam empat prinsip pokok: tauhid, keseimbangan, kehendak bebas, dan tanggung jawab.

Tauhid mengantar manusia mengakui bahwa keesaan Allah mengandung konsekuensi keyakinan bahwa segala sesuatu bersumber serta kesudahannya berakhir pada Allah Swt. Dialah Pemilik mutlak dan tunggal yang dalam genggaman-Nya segala kerajaan langit dan bumi. Keyakinan demikian mengantar seorang Muslim untuk menyatakan:

قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

“Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku adalah semata-mata demi karena Allah, Tuhan seru sekalian alam. (QS al-An’âm [6], 162)

Prinsip ini menghasilkan “kesatuan-kesatuan” yang beredar dalam orbit tauhid, sebagaimana beredarnya planet-planet tatasurya mengelilingi matahari. Kesatuan-kesatuan itu, antara lain, kesatuan kemanusiaan, kesatuan alam raya, kesatuan dunia dan akhirat, dan 1ain-lain.

Keseimbangan mengantar manusia Muslim meyakini bahwa segala sesuatu diciptakan Allah dalam keadaan seimbang dan serasi,

الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَوَاتٍ طِبَاقًا مَا تَرَى فِي خَلْقِ الرَّحْمَنِ مِنْ تَفَاوُتٍ فَارْجِعِ الْبَصَرَ هَلْ تَرَى مِنْ فُطُورٍ

Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis, kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang? (QS al-Mulk [67]: 3)

Prinsip ini menuntut manusia bukan saja hidup seimbang serasi, dan selaras dengan dirinya sendiri, tetapi juga menuntunnya untuk menciptakan ketiga hal tersebut dalam masyarakatnya, bahkan alam seluruhnya.

Kehendak bebas adalah prinsip yang mengantar seorang Muslim meyakini bahwa Allah Swt. memiliki kebebasan mutlak namun Dia juga menganugerahkan kepada manusia kebebasan untuk memilih dua jalan yang terbentang di hadapannya, baik dan buruk. Manusia yang baik di sisi-Nya adalah manusia yang mampu menggunakan kebebasan itu dalam rangka penerapan tauhid dan keseimbangan di atas. Dari sini lahir prinsip tanggung jawab baik secara individu maupun kolektif. Dalam konteks ini, Islam memperkenalkan konsep fardhu ‘ain dan fardhu kifayah. Yang pertama adalah kewajiban individual yang tidak dapat dibebankan kepada orang lain sedang yang kedua adalah kewajiban yang bila dikerjakan oleh orang lain sehingga terpenuhi kebutuhan yang dituntut, maka terbebaskanlah semua anggota masyarakat dari pertanggungjawaban (dosa). Tetapi bila tidak seorang pun yang mengerjakannya, atau dikerjakan oleh sebagian orang namun belum memenuhi apa yang seharusnya, maka berdosalah setiap anggota masyarakat.

Keempat prinsip yang disebut di atas, harus mewarnai aktivitas setiap Muslim, termasuk aktivitas ekonominya.

Prinsip tauhid mengantarkan manusia dalam kegiatan ekonomi untuk menyakini bahwa harta benda yang berada dalam genggaman tangannya adalah milik Allah, yang antara lain diperintahkan oleh Pemiliknya agar diberikan (sebagian) kepada yang membutuhkan:

وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نِكَاحًا حَتَّى يُغْنِيَهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَالَّذِينَ يَبْتَغُونَ الْكِتَابَ مِمَّا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ فَكَاتِبُوهُمْ إِنْ عَلِمْتُمْ فِيهِمْ خَيْرًا وَءَاتُوهُمْ مِنْ مَالِ اللَّهِ الَّذِي ءَاتَاكُمْ وَلَا تُكْرِهُوا فَتَيَاتِكُمْ عَلَى الْبِغَاءِ إِنْ أَرَدْنَ تَحَصُّنًا لِتَبْتَغُوا عَرَضَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَمَنْ يُكْرِهُّنَّ فَإِنَّ اللَّهَ مِنْ بَعْدِ إِكْرَاهِهِنَّ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri) nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan budak-budak yang kamu miliki yang menginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. Dan barangsiapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa (itu). (QS an-Nûr [24]: 33).

Dalam pandangan agama Islam, harta kekayaan bahkan segala sesuatu adalah milik Allah. Memang jika diamati dengan seksama, hasil-hasil produksi yang dapat menghasilkan uang atau harta kekayaan, tidak lain kecuali hasil rekayasa manusia dari bahan mentah yang telah disiapkan oleh Tuhan Yang Maha Esa.

Di sisi lain, keberhasilan para pengusaha bukan hanya disebabkan oleh hasil usahanya sendiri, tetapi terdapat juga partisipasi orang lain atau masyarakat. Bukankah para pedagang – misalnya — membutuhkan para pembeli agar hasil produksi atau barang dagangannya terjual? Bukankah petani membutuhkan irigasi demi kesuburan pertaniannya? Bukankah para pengusaha membutuhkan stabilitas keamanan guna lancarnya roda keuangan dan perdagangan? Dan masih banyak lagi yang lain. Kalau demikian, wajar jika Allah memerintahkan manusia untuk menyisihkan sebagian dari apa yang berada dalam genggaman tangannya (“miliknya”) demi kepentingan masyarakat umum. Dari sini agama menetapkan keharusan adanya fungsi sosial bagi harta kekayaan.

Tauhid, yang menghasilkan keyakinan kesatuan dunia dan akhirat, mengantar seorang pengusaha untuk tidak mengejar keuntungan material semata, tetapi keuntungan yang lebih kekal dan abadi.

Prinsip tauhid yang menghasilkan pandangan tentang kesatuan umat manusia mengantar seorang pengusaha Muslim untuk menghindari segala bentuk eksploitasi terhadap sesama manusia. Dari sini dapat dimengerti mengapa Islam bukan saja melarang praktik riba dan pencurian, tetapi juga penipuan walau terselubung, bahkan sampai kepada larangan menawarkan barang pada saat konsumen menerima tawaran yang sama dari orang lain.

Prinsip keseimbangan mengantar kepada pencegahan segala bentuk monopoli dan pemusatan kekuatan ekonomi pada satu tangan atau satu kelompok. Atas dasar ini pula al-Quran menolak dengan amat tegas daur sempit yang menjadikan kekayaan hanya berkisar pada orang-orang atau kelompok tertentu.

مَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya. (QS al-Hasyr [59]: 7).

Dari sini juga datang larangan penimbunan dan pemborosan. Hal ini tercermin pada ayat 34 surat at-Taubah yang memberikan ancaman sedemikian keras kepada para penimbun, serta sabda Nabi Muhammad Saw. berikut:

مَنْ احْتَكَرَ طَعَامًا أَرْبَعِينَ لَيْلَةً فَقَدْ بَرِئَ مِنْ اللَّهِ تَعَالَى وَبَرِئَ اللَّهُ تَعَالَى مِنْهُ

Siapa yang menimbun makanan selama empat puluh hari, maka ia telah berlepas diri dari Allah, dan Allah juga berlepas diri darinya (Hadis Riwayat Ahmad)

Ayat dan hadis-hadis Nabi seperti di atas oleh sementara pakar dijadikan dasar pemberian wewenang kepada penguasa untuk mencabut hak milik perusahaan spekulatif yang melakukan penimbunan, penyelundupan, dan yang mengambil keuntungan secara berlebihan, karena penimbunan mengakibatkan kenaikan harga yang tidak semestinya.

Di sisi lain pemborosan pun dilarang juga:

يَابَنِي ءَادَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ

Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. (QS al-A’râf [7]: 31).

Pemborosan dan sikap konsumtif dapat menimbulkan kelangkaan barang-barang yang dapat menimbulkan ketidakseimbangan akibat kenaikan harga-harga.

Dalam rangka memelihara keseimbangan itu, Islam menugaskan Pemerintah untuk mengontrol harga, bahkan melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk menjamin agar-paling tidak bahan-bahan kebutuhan pokok dapat diperoleh dengan mudah oleh seluruh anggota masyarakat.

Dalam konteks ini, Nabi Muhammad Saw. menyebutkan bahwa:

الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلَاثٍ فِي الْكَلَإِ وَالْمَاءِ وَالنَّارِ

Masyarakat berserikat dalam tiga hal: rumput, air dan api (Hadis Riwayat Abu Daud).

Tiga komoditas ini merupakan kebutuhan masyarakat pada masa Nabi Saw., dan tentunya setiap masyarakat dapat memiliki kebutuhan-kebutuhan lain, yang dengan demikian masing-masing dapat menyesuaikan diri dengan kebutuhannya.

Semua hal yang disebut di atas harus dipertanggung-jawabkan oleh manusia demi terlaksananya keadilan baik secara individu maupun kolektif.

Demikian sekilas yang dilahirkan oleh prinsip dan nilai Islam dalam bidang ekonomi.

Dalam perkembangan perekonomian sesudah turunnya a1-Quran telah lahir institusi-institusi serta kondisi yang diperselisihkan keabsahannya dari segi syariat seperti halnya dengan perbankan konvensional. Sebagian ulama mempersamakan praktik perbankan itu dengan “riba”, sementara ulama lainnya menoleransinya dengan syarat-syarat tertentu, antara lain bahwa bank yang menyalurkan kredit haruslah bank pemerintah, karena keuntungan yang diperolehnya pada akhirnya akan kembali juga ke masyarakat. Berikut akan disoroti hal tersebut dan segi penafsiran ayat riba.

Riba

Keraguan terjerumus ke dalam “riba” yang diharamkan menjadikan para sahabat Nabi, seperti ucap Umar ibn al-Khaththab, “Meninggalkan sembilan per sepuluh dari yang halal.” Ini disebabkan karena mereka tidak memperoleh informasi yang utuh tentang masalah ini langsung dari Nabi Muhammad Saw.

Kata “riba” dari segi bahasa berarti “kelebihan”. Kalau kita hanya berhenti pada makna kebahasaan ini, maka logika yang dikemukakan para penentang “riba” pada masa Nabi dapat dibenarkan. Ketika itu mereka berkata — seperti yang diungkapkan al-Quran — bahwa “jual beli sama saja dengan riba” (QS al-Baqarah [2]: 275), Allah menjawab mereka dengan tegas bahwa “Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan “riba”.” Penegasan ini dikemukakan-Nya tanpa menyebut alasan secara eksplisit, namun dapat dipastikan bahwa pasti ada alasan atau hikmah sehingga ini diharamkan dan itu dihalalkan.

Dalam al-Quran ditemukan kata “riba” sebanyak delapan kali dalam empat surat, tiga di antaranya turun setelah Nabi hijrah dan satu ayat lagi ketika beliau masih di Makkah. Yang di Makkah, walaupun menggunakan kata “riba” (QS ar-Rûm [30]: 39), ulama sepakat bahwa riba yang dimaksud di sana bukan riba yang haram karena ia diartikan sebagai pemberian hadiah, yang bermotif memperoleh imbalan banyak dalam kesempatan yang lain.

Upaya memahami apa yang dimaksud dengan “riba” adalah dengan mempelajari ayat-ayat yang turun di Madinah, atau lebih khusus lagi kata-kata kunci pada ayat-ayat tersebut yaitu adh’âfan mudhâ’afah (berlipat ganda), mâ baqiya minarribâ (apa yang tersisa dari “riba”) dan falakum ru’ûsu amwâlikum, lâ tazlimûn wa lâ tuzlamûn.

Sementara ulama, semacam Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, memahami bahwa “riba” yang diharamkan al-Quran hanya riba yang “berlipat ganda”. Lipat ganda yang dimaksud di sini adalah “pelipatgandaan yang berkali-kali”.

Memang pada zaman jahiliah dan awal Islam, apabila seorang debitur yang tidak mampu membayar utangnya pada saat yang ditentukan, ia meminta untuk ditangguhkan dengan janji membayar berlebihan, demikian berulang-ulang.

Sikap semacam ini amat dikecam oleh al-Quran, sebagaimana firman Allah:

وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

Bila debitur berada dalam kesulitan, maka hendaklah diberi tangguh hingga ia memperoleh keleluasaan dan menyedekahkan (semua atau sebagian dan piutang) (lebih baik untuknya jika kamu mengetahui) (QS al-Baqarah [2]: 280).

Pendapat yang memahami “riba” yang diharamkan hanya yang berlipat ganda, tidak diterima oleh banyak ulama. Bukan saja karena masih ada ayat lain yang turun sesudahnya, yang memerintahkan untuk meninggalkan sisa riba yang belum diambil,

tetapi juga karena akhir ayat yang turun tentang “riba”, memerintahkan untuk meninggalkan sisa “riba”. Dan bila mereka mengabaikan hal ini, maka Tuhan mengumumkan perang terhadap mereka sedang

فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ

Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. (QS al-Baqarah [2]: 279).

Hemat penulis, inilah kata kunci yang terpenting dalam persoalan “riba”, dan atas dasar inilah kita dapat menilai transaksi utang piutang dewasa ini, termasuk praktik-praktik perbankan.

Kesimpulan yang dapat kita peroleh dari ayat-ayat al-Quran yang berbicara tentang “riba”, demikian pula hadis Nabi dan riwayat-riwayat lainnya adalah, bahwa “riba” yang dipraktikkan pada masa turunnya al-Quran adalah kelebihan yang dipungut bersama jumlah utang, pungutan yang mengandung penganiayaan dan penindasan, bukan sekadar kelebihan atau penambahan dan jumlah utang.

Kesimpulan di atas diperkuat pula dengan praktik Nabi Saw. yang membayar utangnya dengan berlebihan. Dalam konteks pembayaran berlebihan inilah Nabi Saw. bersabda:

إِنَّ خِيَارَ النَّاسِ أَحْسَنُهُمْ قَضَاءً (رواه مسلم عن أبي رافع)

Sebaُk-baik manusia adalah yang sebaik-baik membayar utang. (Diriwayatkan oleh Muslim, melalui — sahabat Nabi — Abu Rafi’).

(Yakni, antara lain “melebihkan”. Hanya saja, tentu harus digarisbawahi, bahwa kelebihan pembayaran itu tidak bersyarat pada awal transaksi)

Nah, bagaimana dengan praktik perbankan dewasa ini?

Ulama sejak dahulu hingga kini belum dan besar kemungkinan tidak akan sepakat, karena sikap kehati-hatian tetap menghiasi diri orang-orang yang bertakwa.

Demikian sekelumit dan prinsip-prinsip ajaran al-Quran tentang ekonomi. Intinya adalah keadilan, kerja sama, serta keseimbangan dan lain-lain. Dan semua itu tercakup dalam larangan melakukan transaksi apa pun yang berbentuk bâthil, eksploitasi atau segala bentuk penganiayaan.

(Dikutip dan dimodifikaasi dari tulisan M. Quraish Shihab dalam http://media.isnet.org untuk keperluan kajian Ekonomi Syariah)

METODOLOGI TAFSIR AL-QURAN: Sebuah Pengantar

Al-Quran adalah Kalâmullâh yang diturunkan kepada Nabi Muhammad s.a.w. sebagai mukjizat yang ditulis dalam mushaf dan diriwayatkan dengan mutawatir serta membacanya adalah ibadah[1] Diturunkannya kepada jin dan manusia agar bisa dijadikan petunjuk (hudan) dan pembeda (furqân) antara kebenaran dan kesesatan, sebagaimana firman Allah:

“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Alquran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). ” (QS. al-Baqarah, 2: 185)

Allah menurunkan al-Quran untuk dibaca dengan penuh penghayatan (tadabbur), meyakini kebenarannya dan berusaha untuk mengamalkannya.

Allah berfirman:

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Alquran? Kalau kiranya al-Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (QS. an-Nisâ’, 4: 82)

Juga firman Allah,

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Quran ataukah hati mereka terkunci.” (QS. Muhammad, 47: 24)

Agar bisa mewujudkan perintah Allah tersebut, seorang harus bisa memahami makna dan kandungannya. Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berkata;

Apabila anda ingin mengambil pelajaran dari al-Quran, maka pusatkanlah hati dan pikiran anda di saat membaca dan mendengarnya. Dan pasanglah pendengaran anda baik-baik karena Allah berfirman ”Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya”.[2]

Al-Quran diturunkan dengan bahasa Arab, sebagaimana firman Allah,

”Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa al-Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.” (QS. Yûsuf, 12: 2).

Dengan demikian, orang yang ingin menafsirkan AL-Quran harus memahami bahasa Arab baik kaedah lughawiyahnya seperti nahwu, sharf (gramatical), maupun ta’bîriyyah (linguistic) seperti majâz, balâghah, i’jâz dan lainnya. Juga ‘Ulûmul Qurân, seperti asbâb an-nuzûl, nâsikh-mansûkh, qirâ’ah dan lainnya. Studi interdisipliner juga diperlukan oleh seorang Mufassir, mengingat al-Quran tidak hanya berbicara masalah keimanan, ibadah dan syari’ah saja, tetapi juga memuat isyarat-isyarat ilmu pengetahuan yang lainnya.

Allah berfirman:

“Tiadalah Kami alpakan sesuatupun di dalam Al-Kitab.” (QS. al-An’âm, 6: 38)

Sebagai sebuah metode, kaedah-kaedah penafsiran telah ada sejak zaman sahabat, namun menjadi sebuah disiplin ilmu yang berada di dalam ilmu tafsir, penentuan tahunnya agak sulit dilacak. Yang jelas ketika ekspansi dakwah islam masuk wilayah-wilayah ‘ajam (non Arab) dan ajaran Islam tersebar luas terutama abad ketiga hijrah, maka di sini muncul ilmuan muslim yang mengajarkan Islam termasuk menulis masalah Islam sesuai dengan disiplin mereka masing-masing. Untuk memudahkan mereka melakukan penafsiran sekaligus memberikan rambu-rambu agar tidak terjerumus dalam kesalahan, maka dibakukanlah kaedah-kaedah tersebut.

Secara global penafsiran ayat-ayat al-Quran dilakukan oleh al-Quran sendiri (tafsîr al-Qurân bi al-Qurân). Ayat-ayat yang di-mujmal-kan pada suatu tempat akan dijelaskan di tempat lain, baik itu disebutkan pada tempat yang sama seperti firman Allah:

”Dan tahukah kamu Apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.” (QS al-Qadr, 97: 2 ditafsirkan oleh QS al-Qadr, 97: 3)

atau disebutkan pada tempat (surat) yang lain sebagaimana tafsir ayat:

“(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka ….” (QS al-Fâtihah, 1: 7)

Ditafsirkan oleh ayat :

”Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(-Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (QS. an-Nisâ’, 4: 69)

Apabila metode ini tidak ada, maka umat Islam bisa menafsirkan al-Quran dengan Sunnah Rasulullah s.a.w.. Karena ia (Sunnah Rasulullah s.a.w.) merupakan penjelasan bagi al-Quran.

Rasulullah s.a.w. bersabda,

أَلَا إِنِّي أُوتِيْتُ الْقُرْآنَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ

“Ketahuilah, aku diberi al-Quran dan sesuatu yang serupa dengannya (al-Quran) bersamanya (yaitu as-Sunnah).” (HR. Ahmad dari Al-Miqdam bin Ma’di Kariba al-Kindi).

Ketika Aisyah ditanya bagaimana kepribadian (akhlak) Rasulullah s.a.w. , beliau menjawab:

كَانَ خُلُقُهُ الْقُرْآنَ

Maksudnya: Akhlak Rasulullah s.a.w. refleksi dari keseluruhan syari’at Alllah yang terdapat di dalam al-Quran (HR. Muslim ).

Apabila tidak ada tafsir (al-Quran) dari Sunnah Rasulullah s.a.w., maka umat Islam bisa menggunakan perkataan para sahabat Rasulullah s.a.w.. Karena mereka melihat fakta dan realita kejadian Sunnah dan menerima ilmu langsung dari Rasulullah. Abdullah bin Mas’ud berkata; “Demi Allah yang tidak ada Tuhan selain-Nya, tidak ada satu ayat dari Kitabullah, kecuali saya mengetahui untuk siapa diturunkan dan di mana diturunkan, kalau ada orang yang lebih mengetahui tentang Kitabullah akan saya datangi sekalipun ada di ujung dunia”.

Begitu juga dengan Abdullah bin Abbas yang dijuluki oleh Rasulullah s.a.w. sebagai penerjemah al-Qurân dan sahabat yang lain seperti Said bin Musayyab, dan lainnya.

Kalau dengan al-Quran, Sunnah Rasulullah s.a.w. dan perkataan sahabat tidak ada, maka sebagian ulama mengharuskan merujuk kepada perkataan Tabi’in. seperti Hasan Bashri, Atha’ bin Rabah, Mujahid bin Jubair murid Abdullah bin Abbas yang pernah mengemukakan Al-Quran dari awal sampai akhir dan menanyakan tafsir dari setiap ayat yang dibaca. Sufyan At-Tsauri berkata; Apabila ada tafsir dari Mujahid maka itu sudah cukup.[3]Ibnu Jarir meriwayatkan dengan sanadnya dari Ibnu Abbas, menyebutkan penafsiran itu ada empat macam:

Pertama, penafsiran yang diketahui oleh orang Arab melalui tuturannya.

Kedua, penafsiran yang bisa diketahui oleh semua orang, yaitu yang menyangkut halal dan haram.

Ketiga, penafsiran yang hanya diketahui oleh para ulama,

Keempat, penafsiran yang tidak diketahui kecuali oleh Allah.[4]

Karena al-Quran diturunkan dengan Bahasa Arab, maka untuk memahami apalagi menafsirkannya dibutuhkan pemahaman terhadap bahasa Arab dan kaedah-kaedahnya, di samping pemahaman terhadap ‘Ulûmul Qurân yang lain, juga fikih, qawâid (kaedah-kaedah) dan ushulnya, dan disiplin ilmu yang lain sebagai penunjang. Menafsirkan ayat-ayat Allah dengan al-ahwâ’ (hawa nafsu) semata tanpa didasari dengan ilmu dan pengetahuan termasuk kebohongan terhadap Allah, sebagaimana firman-Nya:

“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung.” (QS. an-Nahl, 16: 116)

Rasulullah s.a.w. dalam banyak hadisnya mengingatkan untuk tidak menafsirkan ayat-ayat Allah tanpa ilmu, di antaranya adalah:

مَنْ قَالَ فِي الْقُرْآنِ بِرَأيِهِ أَوْ بِمَا لاَ يَعْلَمُ فَلْيَتَبَوَّأ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

Maksudnya; Barangsiapa yang menafsirkan al-Quran dengan pendapatnya atau tanpa dilandaskan dengan ilmu maka silahkan mengambil tempatnya di neraka”. (HR an-Nasa’i dari Abdullah bin Abbas)

Dan dalam riwayat yang lain Rasulullah s.a.w. bersabda;:

مَنْ قَالَ فِي الْقُرْآنِ بِرَأْيِهِ فَأَصَابَ فَقَدْ أَخْطَأَ

“Barangsiapa yang menafsirkan al-Quran dengan pendapatnya, meskipun bisa jadi benar, maka ia tetap dinyatakantelah keliru.” (HR. at-Tirmidzi, Abu Daud, dan Nasa’i dari Jundub bin Abdullah)

Abu Bakar berkata: “Langit yang mana aku bernaung, bumi yang mana aku berpijak, kalau aku menafsirkan Kitabullah tanpa ilmu”.

Ini menunjukkan kehati-hatian ulama salaf (sahabat, tabi’in dan berikutnya), untuk menafsirkan ayat-ayat Allah tanpa berlandaskan hujjah dan argumentasi yang jelas. Adapun penafsiran yang dilakukan dengan dasar ilmu dan pengetahuan, baik syariah maupun lughawiyah maka tidaklah termasuk dalam ancaman di atas[5], menafsirkan al-Quran dengan ijtihad ra’yu sudah ditradisikan sejak zaman Rasulullah s.a.w., dan itu dilakukan oleh isteri beliau Aisyah yang banyak menafsirkan masalah-masalah penting dalam agama[6]. Dan Rasulullah sendiri merekomendasikan Mu’adz bin Jabal untuk melakukan Ijtihad dengan ra’yu, dalam memutuskan permasalahan ummat, apabila dia tidak mendapatkan jawabannya itu pada al-Quran dan Sunnah. Dan hal seperti ini mesti dilakukan agar Al-Quran benar-benar bisa menjadi hudan (petunjuk) bagi kemaslahatan hidup manusia di dunia dan di akhirat.


[1] Anonim, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Madinah: Mujamma’ al-Malik Fahd li ath-Thiba’, tt, hal. 15.

[2] QS. Qâf, 50: 37; Lihat: Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Kitab al-Fawâid, (Beirut: Daarul Kutub Araby, 1414) hal. 1

[3] Ibnu Katsir, ‘Imaduddin. Tafsîr al-Qurân al-Azhîm, Muqaddimah. (Riyadh: Dâr as-Salâm, cetakan I, 1997). hal. 20.

[4] Taqiyyuddin Ahmad ibnu Taimiyyah. Majmû’ Fatawû, Tafsîr (Makkah: Mathba’ah al-Hukûmah, t.t.) juz. 13, hal. 375.

[5] Ibnu Katsir. Tafsîr al-Qurân al-Azhîm, Muqaddimah. Hal.13

[6] ‘Abdullah ibn Su’ûd al-Badr, Tafsîr Ummîl Mu’minîn ‘Âisyah Radhiyallâhu ‘Anhâ, (Jakarta: Dâr al-Falâh, 1422).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar