Powered By Blogger

Sabtu, 13 November 2010

renungan



Tawadhu’ Akhlaq Mulia Yang Dicintai Allah dan Rasul-Nya

Rendah hati (tawadhu’) merupakan sifat yang sangat terpuji di sisi Allah dan bahkan sangat didambakan oleh kita semua. Tawadhu’ akan melahirkan berbagai sikap-sikap mulia, seperti menghargai pihak lain, tidak memotong suatu pembicaraan, saling menjaga dan menghormati perasaan masing-masing, anak kecil bersikap sopan santun kepada yang lebih berusia darinya, orang dewasa/tua pun bersikap kasih sayang kepada yang dibawahnya, serta merasa bahwa diri ini tidak ada yang sempurna, semua serba kurang dan tidak mungkin hidup sendiri-sendiri tanpa bekerja sama dengan selainnya. Bila sikap tawadhu’ ini tercermin pada diri kita niscaya akan terwujud sebuah kehidupan yang diliputi mawaddah wa rahmah (kehidupan sakinah yang penuh cinta kasih). Hal ini sebagaimana petuah Al Imam Asy Syafi’i:
التَّوَاضُعُ يُوْرِثُ الْمَحَبَّةَ
“Sifat tawadhu’ akan melahirkan cinta kasih.”
Seiring dengan semakin tuanya zaman ini, terasa semakin sulit pula mencari dan menikmati suasana yang sakinah (tentram dan nyaman). Oleh karena itu dalam kajian ini akan dikupas secara ringkas tentang betapa urgennya (pentingnya) sikap tawadhu’ dan betapa besar pula pengaruhnya terhadap kemashlahatan (kebaikan) umat.

Perintah Tawadhu’
Sifat tawadhu’ merupakan sifat yang sangat dianjurkan, Allah berfirman (artinya):
“Janganlah kalian memuji diri kalian. Dia lah yang paling tahu tentang orang yang bertaqwa.” (An Najm: 32)
Demikianlah, Allah menutup pintu-pintu yang menjurus kepada takabbur (sombong) dengan melarang dari memuji-muji diri sendiri karena dari sinilah benih takabbur (sombong) datang.
Allah juga memerintahkan Rasul-Nya untuk berhias dengan akhlaq yang mulia ini, sebagaimana firman-Nya yang mulia (artinya):
“Rendahkanlah hatimu terhadap orang yang mengikutimu (yaitu) dari kalangan mu’minin.” (Asy Syu’ara’: 215)
Begitu juga Rasulullah , beliau senantiasa memerintahkan para shahabatnya untuk bersikap tawadhu’. Iyad bin Himar menceritakan bahwa Rasulullah bersabda:
إِنَّ اللهَ أَوْحَى إِلَيَّ أَنْ تَوَاضَعُوْا حَتَّى لاَ يَفْخَرَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ , وَ لاَ يَبْغِيَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ
“Sesungguhnya Allah telah mewahyukan kepadaku agar kalian merendahkan hati sehingga seseorang tidak menyombongkan diri atas yang lain dan tidak berlaku zhalim atas yang lain.” (H.R. Muslim no. 2588)
Dari hadits ini kita dapat mengambil faedah yang cukup banyak diantaranya, bahwa tawadhu’ merupakan jembatan menuju keharmonisan, saling menghargai, keadilan dan kebajikan sehingga mewujudkan kondisi lingkungan masyarakat yang lebih dinamis dan kondusif.
Hakekat Tawadhu’
Hakekat tawadhu’ adalah tunduk kepada kebenaran dan menerimanya dari siapapun datangnya, baik ketika ia suka ataupun duka. Merendahkan hati di hadapan sesamanya dan tidak menganggap dirinya berada di atas orang lain dan tidak pula merasa bahwa orang lain yang butuh kepadanya.
Fudhail bin ‘Iyadh, seorang ulama’ terkemuka ditanya tentang tawadhu’, maka beliau menjawab: “Ketundukan kepada kebenaran dan memasrahkan diri kepadanya serta menerimanya dari siapapun yang mengucapkannya.” (Madarijus Salikin 2/329)
Lawan dari sifat tawadhu’ adalah takabbur (sombong), sifat yang dibenci Allah dan Rasul-Nya . Rasulullah telah mendefinisikan sombong dengan sabdanya:
الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَ غَمْطُ النَّاسِ
“Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia.” (HR. Muslim no. 91 dari hadits Abdullah bin Mas’ud y)
Maka wajib bagi setiap mukmin untuk menerima kebenaran dari siapapun. Walaupun kebenaran itu bertentangan dengan keyakinannya, maka sesungguhnya ini merupakan kemuliaan baginya di sisi Allah dan di sisi makhluq-Nya dan lebih menjaga kehormatannya. Dan jangan sekali-kali beranggapan bahwa kembali kepada kebenaran itu hina, justru dengan demikian akan mangangkat derajat dan menambah kepercayaan orang. Adapun yang enggan dan tetap mempertahankan kesalahannya serta menolak kebenaran, maka ini adalah takabbur.
Saudaraku! Marilah kita renungkan kembali kehidupan umat-umat terdahulu. Iblis, apa yang menyebabkannya terkutuk? Begitu juga Fir’aun dan bala tentaranya, serta Qarun beserta anak buahnya dan harta yang selalu dibanggakannya? Mereka adalah orang-orang yang telah dikutuk/dibinasakan oleh Allah disebabkan selalu menentang kebenaran dengan kesombongan dan membuang jauh-jauh sifat tawadhu’.

Pemilik Sifat Tawadhu’
Kemuliaan tawadhu’ sering tercermin pada manusia pilihan baik pada umat ini ataupun umat sebelumnya. Ingatlah ketika Luqman Al Hakim, seorang hamba yang shalih menasehati anaknya (artinya):
“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan jangan pula kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang angkuh dan menyombongkan diri. Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu.” (Luqman: 18-19)
Ulama Ahli Tafsir menerangkan bahwa maksud ’sederhanalah kamu dalam berjalan’ adalah berjalanlah dengan tawadhu’ dan tenang, serta tidak berjalan dengan menyombongkan diri.
Begitu juga Rasulullah , sebagai manusia terbaik dan teladan bagi umat manusia, beliau menolak julukan/gelar yang berlebihan untuk diri beliau. Hal ini sebagaimana dikisahkan oleh Anas bin Malik , bahwa orang-orang pernah berkata kepada beliau: “Wahai Rasulullah, wahai orang yang terbaik di antara kami, anak orang yang terbaik di antara kami, wahai junjungan kami, anak junjungan kami.” Maka beliau pun bersabda:
يَآأَيُّهَا النَّاسُ قُوْلُوْا بِقَوْلِكُمْ ، لاَيَسْتَهْوِيَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ أَناَ مُحَمَّدٌ عَبْدُ اللهِ وَرَسُوْلُهُ ، مَا أُحِبُّ أَنْ تَرْفَعُوْنِي فَوْقَ مَنْزِلَتِي الَّتِي أَنْزَلَنِيَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ
“Wahai manusia, katakanlah dengan perkataan kalian (yang benar yaitu yang pertama; ‘wahai Rasulullah atau wahai Nabiyullah, -pent). Jangan sampai kalian dijerumuskan syaithan. (Hanyalah) aku ini Muhammad, hamba dan utusan Allah. Aku tidak suka jika kalian mengangkat derajatku di atas derajat yang telah diberikan oleh Allah kepadaku.” (HR. An Nasa’i )
Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin menyatakan bahwa hadits ini menunjukkan tawadhu’nya Rasulullah .
Dan di antara sifat tawadhu’ Nabi adalah kebiasaan beliau yang senantiasa memberikan pelayanan kepada keluarganya. Aisyah, istri Rasulullah pernah ditanya tentang apa yang dikerjakan beliau ketika di rumah, maka Aisyah menjawab:
يَكُوْنُ فِي مِهْنَةِ أَهْلِهِ فَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ خَرَجَ إِلَى الصَّلاَةِ
“Beliau selalu berkhidmat kepada keluarganya dan apabila datang waktu shalat, beliau keluar untuk menunaikannya.” (HR. Al Bukhari )
Dan di antara sifat tawadhu’ beliau, sebagaimana yang dikisahkan oleh Anas bin Malik , beliau berkata:
كاَنَ رَسُوْلُ اللهِ يَزُوْرُ الأَنْصَارَ فَيُسَلِّمُ عَلَىصِبْيَانِهِمْ وَيَمْسَحُ بِرُؤُسِهِمْ وَيَدْعُو لَهُمْ
“Rasulullah biasa mengunjungi orang-orang Anshar lalu megucapkan salam pada anak-anak mereka, mengusap kepala mereka dan mendo’akan kebaikan untuk mereka.” (HR. An Nasa’i)
Keteladanan yang baik ini juga diikuti oleh shahabatnya. Anas bin Malik pernah melewati kerumunan anak-anak, lalu beliau mengucapkan salam dan mendo’akan mereka. Kemudian beliau mengatakan:
كَانَ النَّبِيُّ يَفْعَلُهُ
“Nabi biasa melakukannya.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)
Ini merupakan sikap tawadhu’ dan akhlaq yang baik, serta termasuk pendidikan, pengajaran dan termasuk bimbingan kepada anak-anak, disebabkan apabila anak-anak diberi salam, maka mereka akan terbiasa dengannya dan menjadi sesuatu yang tertanam dalam jiwa mereka.” (Syarh Riyadhush Shalihin)
Sikap tawadhu’ beliau juga ditunjukkan ketika makan. Mari kita perhatikan penuturan Anas bin Malik berikut ini: “Apabila Rasulullah makan, beliau menjilati ketiga jari-jarinya.” Kemudian Anas mengatakan bahwa Rasulullah bersabda: “Apabila suapan salah seorang di antara kalian jatuh, maka ambillah dan bersihkan kotorannya, serta makanlah dan jangan membiarkan makanan itu dimakan setan.” Anas berkata: “Beliau juga menyuruh agar membersihkan sisa-sisa makanan yang ada di piring. Beliau bersabda: “Sesungguhnya kalian tidak tahu, bagian manakah dari makanan tersebut yang mengandung barakah.”(HR. Muslim no. 2034)
Hadits ini disebutkan oleh Al Imam An Nawawi di dalam Riyadhush Shalihin bab At Tawadhu’ dan Merendahkan Hati Terhadap Kaum Mukminin.
Begitu banyak teladan yang baik dari orang-orang terbaik yang melambangkan sikap tawadhu’. Semua ini tiada menambah mereka kecuali kemuliaan demi kemuliaan. Tinggallah kembali pada diri kita. Sudahkah kita memilikinya?
Keutamaan Tawadhu’
Sikap tawadhu’ akan menghasilkan buah yang luar biasa baik di dunia maupun di akhirat kelak. Diantaranya:
1. Allah akan meninggikan derajat orang yang tawadhu’.
Sifat tawadhu’ bukanlah suatu kehinaan, justru dengan ketawadhu’an dapat mengangkat derajat seseorang. Kenapa? Karena pada dasarnya setiap manusia menginginkan untuk dihormati, dan diperlakukan sama dengan pihak lainnya. Sehingga bila ada seseorang yang selalu berhias dengan sikap tawadhu’, menghormati orang lain, tidak meremehkannya, menghargai pendapatnya, tentu pihak lainnya pun akan memperlakukan sama bahkan bisa lebih dari itu.
Hal ini merupakan suatu realita yang dapat disaksikan dalam kehidupan ini. Seseorang yang memiliki sifat mulia ini akan menempati kedudukan yang tinggi di hadapan manusia, akan disebut-sebut kebaikannya dan akan dicintai oleh mereka. Berbeda dengan orang yang sombong, orang-orang akan menganggapnya rendah sebagaimana dia menganggap orang lain rendah, tidak akan disebut-sebut kebaikannya dan orang-orang pun membencinya. Oleh karena itu Rasulullah bersabda:
مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ , وَمَا زَادَ اللهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا , وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ ِللهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللهُ
“Tidak akan berkurang suatu harta karena dishadaqahkan, dan Allah tidak akan menambah bagi seorang hamba yang pemaaf melainkan kemuliaan dan tidaklah seseorang merendahkan hatinya karena Allah, melainkan Allah angkat derajatnya.” (HR. Muslim no. 556 dari hadits Abu Hurairah )
2. Meraih al jannah.
Tentu orang-orang yang selalu berhias dengan sikap tawadhu’, mereka itu adalah sebenar-benarnya mushlihun. Yaitu orang-orang yang suka mendatangkan kebaikan dan kedamaian. Karena sikap tawadhu’ tersebut akan melahirkan akhlak-akhlak terpuji lainnya dan akan menjauhkan orang-orang yang berhias dengannya dari sikap-sikap amoral (negatif) yang dapat merusak keharmonisan masyarakat. Oleh karena itu Allah menjanjikan al jannah bagi orang-orang yang memiliki sikap tawadhu’ bukan kepada orang-orang yang sombong, sebagaiamana dalam firman-Nya (artinya): “Itulah negeri akhirat yang Kami sediakan (hanya) untuk orang-orang yang tidak menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di muka bumi. Dan kesudahan yang baik itu (hanya) bagi orang-orang yang bertaqwa.” (Al Qashash: 83)
Rasulullah bersabda:
لاَيَدْخُلُ الجنَّةَ مَنْ كَانَ فِيْ قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ
“Tidak akan masuk al jannah barangsiapa yang di dalam hatinya terdapat kesombongan walaupun sebesar semut.” (H.R. Muslimin no. 91)
Demikianlah kajian kali ini, semoga dapat memberikan manfaat bagi kita semua. Amien, Ya Rabbal Alamin.




Menggapai Jannatullah Dengan Taubat

Sudah menjadi perkara yang maklum, bahwa tidak ada seorang manusia pun di muka bumi ini yang sempurna. Manusia adalah tempat salah dan dosa. Lupa dan khilaf sudah menjadi sesuatu yang lumrah yang akan menimpa setiap insan. Selamat dari dosa dan kesalahan tidak dapat dimiliki kecuali oleh para Nabi ‘alaihimussalam.
Kalau kita mau menghitung, sudah berapa banyak dosa-dosa dan kesalahan yang kita lakukan hari ini, belum lagi hari kemarin, lusa, dan seterusnya. Bukan tidak mungkin kita terjerumus ke dalam perbuatan dosa-dosa besar yang tanpa kita sadari pula. Semoga Allah melindungi kita.
Demikianlah keadaan manusia, Allah banyak menyebutkan di dalam Al Qur’an tentang keadaan manusia yang serba kurang. Diantaranya firman Allah (artinya):
“Manusia itu diciptakan dalam keadaan lemah.” (An Nisa’: 28)
“Sesungguhnya manusia itu sangat zhalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).” (Ibrahim: 34)
Demikian pula Rasulullah menegaskan tentang kelemahan dan kekurangan anak cucu Adam ini. Dari sahabat Anas bin Malik , bahwa Rasulullah bersabda:
كُلُّ بَنِي آدَمَ خَطَّاءٌ وَ خَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُونَ
“Setiap anak Adam (manusia) pasti sering berbuat kesalahan “Dan sebaik-baik orang yang berbuat kesalahan adalah yang mau bertaubat.” (H.R. Ibnu Majah no. 4251 dan lainnya)
Tidaklah Nabi mengatakan sebaik-baik manusia adalah yang tidak pernah bersalah, karena memang tidak ada seorang manusia pun yang ma’shum (terjaga dari kesalahan) kecuali para Nabi. Tetapi Rasulullah menegaskan bahwa orang-orang yang bertaubat dan mengakui kesalahan, serta kembali kepada kebenaranlah yang terbaik di antara mereka.
Oleh karena itu, bila kita terjerumus ke dalam perbuatan dosa dan kesalahan, maka segeralah bertaubat kepada Rabbul ‘alamin. Allah berfirman (artinya): “Bersegeralah menuju kepada ampunan dari Rabb kalian dan kepada al jannah (surga) yang seluas langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang bertaqwa.” (Ali Imran: 133)

Anjuran untuk Bertaubat
Taubat, tidaklah sebatas usaha seorang hamba untuk memohon ampunan dari Allah , namun taubat ini sekaligus termasuk ibadah agung nan mulia di sisi-Nya. Karena perbuatan taubat itu merupakan perintah dari Allah . Sebagaimana Allah berfirman (artinya):
“Wahai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya,…” (At Tahrim: 8)
Taubat juga merupakan ibadah yang sangat dicintai oleh Allah . Karena Allah sangat gembira melihat hamba-Nya yang tiap kali terjatuh dalam dosa dan kesalahan ia segera bertaubat dari dosa dan kesalahannya. Sebagaimana sabda Nabi :
َللهُ أَفْرَحُ بِتَوْبَةِ عَبْدِهِ مِنْ أَحَدِكُمْ إِذَا اسْتَيْقَظَ عَلَى بَعِيْرِهِ قَدْ أَضَلَّهُ بِأَرْضِ فَلاَةٍ
“Sesungguhnya Allah sangat gembira terhadap taubat hamba-Nya melebihi kegembiraan salah seorang di antara kalian yang kehilangan untanya di padang pasir kemudian menemukannya kembali.” (H.R. Muslim no. 2747)
Dalam sabdanya yang lain, Rasulullah mengatakan:
إِنَّ اللهَ تَعَالى يَبْسُطُ يَدَهُ بِاللَّيْلِ لِيَتُوبَ مَسِيءُ النَّهَارِ وَ يَبْسُطُ يَدَهُ بِالنَّهَارِ لِيَتُوبَ مُسِيءُ اللَّيْلِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا
“Sesungguhnya Allah membentangkan tangan-Nya pada malam hari untuk menerima taubat orang yang berbuat kejelekan pada siang hari, dan Allah membentangkan tangan-Nya pada siang hari untuk menerima taubat orang yang berbuat kejelekan pada malam hari, sampai matahari terbit dari barat.” (H.R. Muslim no. 2759)
Rasulullah sebagai sang uswah hasanah (tauladan terbaik bagi umat Islam) tidak pernah meninggalkan amalan mulia ini, walaupun beliau seorang yang ma’shum. Beliau menyatakan:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ تُوْبُوا إِلَى اللهِ وَ اسْتَغْفِرُوْهُ فَإِنِّي أَتُوْبُ فِي الْيَوْمِ مِائَةَ مَرَّةٍ
“Wahai sekalian manusia, bertaubatlah kepada Allah dan beristighfarlah kepada-Nya, sesunggunya aku bertaubat kepada-Nya dalam sehari seratus kali.” (H.R Muslim no. 2702)
‘Aisyah mengatakan:”Dahulu Rasulullah sebelum meninggal banyak mengucapkan:
سُبْحَانَ اللهِ وَ بِحَمْدِهِ أَسْتَغْفِرُ اللهَ وَ أَتُوْبُ إِلَيْهِ
“Maha Suci Allah dan dengan memuji-Nya aku memohon ampun dan aku bertaubat kepada-Nya.” (Muttafaqun ‘Alaihi)
Demikian pula para nabi sebelumnya, walaupun mempunyai kedudukan yang tinggi di sisi Allah mereka pun bertaubat dan mengajak umatnya pula untuk segera bertaubat. Seperti Nabi Adam dan Hawa, keduanya berdo’a (artinya):
“Wahai Rabb-kami, kami adalah orang-orang yang berbuat zhalim pada diri-diri kami, kalau sekiranya Engkau tidak mengampuni (dosa-dosa) dan merahmati kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang celaka.” (Al A’raf: 23)
Nabi Ibrahim juga berdo’a (artinya):
“Wahai Rabb kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada-Mu dan (jadikanlah) diantara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadah haji kami, dan terimalah taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (Al Baqarah: 128)
Nabi Hud mengajak kepada umatnya (artinya): “Hai kaumku, mohonlah ampun kepada Tuhanmu lalu bertaubatlah kepada-Nya. niscaya Dia menurunkan hujan yang lebat bagi kalian, dan Dia menambahkan kekuatan kepada kekuatan kalian, dan janganlah kalian berpaling dengan berbuat dosa.” (Hud: 52)
Nabi Shalih juga mengajak umatnya (artinya): “Maka mohonlah ampun kepada Allah, kemudian bertaubatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Rabb-ku Maha Dekat lagi Maha Mengabulkan (do’a hamba-Nya).” (Hud: 90)

Larangan Putus Asa Dari Rahmat Allah
Wahai saudaraku ketahuilah, sesungguhnya rahmat Allah itu sangat luas sekali. Allah berfirman (artinya):
“Sesungguhnya rahmat-Ku mencakup segala sesuatu.” (Al A’raf: 156)
Sehingga tidak sepantasnya bagi seorang hamba untuk berputus asa dari rahmat Allah yaitu berupa maghfirah (ampunan) dari-Nya, walaupun dia merasa telah terjatuh dalam sekian banyak dosa dan kesalahan. Siapa yang berputus asa dari rahmat Allah, berarti ia telah menyempitkan rahmat Allah . Padahal rahmat Allah itu amat luas, dan Allah akan mengampuni semua dosa hambanya, bila ia mau bertaubat kepada-Nya . Mari kita perhatikan dengan seksama firman Allah (artinya): “Katakanlah: “Wahai hamba-hamba-Ku, yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.” (Az Zumar: 53)
Al Imam Muslim di dalam kitabnya Shahih Muslim no. 2766 meriwayatkan hadits dari sahabat Abu Sa’id Al Khudri , sesungguhnya Rasululah pernah menceritakan tentang kisah seorang laki-laki di zaman dahulu (sebelum diutusnya beliau ), yang telah membunuh 99 jiwa manusia dan ingin bertaubat. kemudian orang itu bertanya kepada seorang ahli ibadah, apakah taubatku bisa diterima? Ternyata ahli ibadah itu menjawab: Tidak mungkin diterima. Kemudian dibunuhlah ahli ibadah itu sehingga genaplah 100 jiwa manusia yang telah ia bunuh. Kemudian dia datang kepada seorang ulama’, apakah bisa diterima taubatku? Seorang ulama’ tersebut menjawab: Ya, (tentu taubatmu masih bisa diterima). Pada akhir kisahnya, Allah pun mencabut nyawa orang tersebut dalam keadaan diterima taubatnya.
Sehingga maha benar firman Allah , sebagaimana yang terdapat dalam hadits Qudsi, Allah berfirman:
سَبَقَتْ رَحْمَتِي غَضَبِي
“Sungguh rahmat-Ku telah mendahului kemurkaan-Ku.” (H.R. Muslim no. 2751)
Dan sungguh benar pula berita dari sabda Rasulullah :
لَوْ أَخْطَأْتُمْ حَتَّى تَبْلُغَ السَّمَاءَ ثُمَّ تُبْتُمْ لَتَابَ اللهُ عَلَيْكُمْ
“Kalau sekiranya kalian mempunyai dosa atau kesalahan sampai memenuhi langit kemudian kalian bertaubat, niscaya Allah akan menerima taubat kalian.” (H.R. Ibnu Majah no. 4248, lihat Ash Shahihah no. 903, 1951)

Hakekat Taubat
Taubat itu tidaklah sekedar diucapkan secara lisan saja tanpa disertai hati yang tulus penu penyesalan dan tanpa upaya untuk beri’tikad baik. Karena taubat itu akan diterima oleh Allah bila telah memenuhi syarat-syaratnya.
Hal ini sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Al Imam An Nawawi rahimahumullah dalam kitabnya Riyadhush Shalihin: “Para ulama mengatakan: Bertaubat dari setiap dosa hukumnya wajib, jika maksiat (dosa) itu antara hamba dengan Allah, yang tidak ada sangkut pautnya dengan hak manusia, maka syaratnya ada tiga:
Petama; hendaknya dia menjauhi maksiat tersebut,
kedua; hendaknya dia menyesali perbuatan tersebut,
ketiga; hendaknya dia bertekad untuk tidak mengulangi perbuatan tersebut selama-lamanya. Jika hilang salah satu syarat-syarat tersebut di atas, maka tidak sah taubatnya.
Jika maksiat tadi berkaitan dengan manusia, maka syaratnya ada empat. Yaitu ketiga syarat di atas dan ditambah yang keempat; hendaknya dia membebaskan diri (mengembalikan) hak orang tersebut. Jika berupa harta atau sejenisnya, maka dia harus mengembalikannya ….”
Asy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin menambahkan syarat berikutnya, yakni hendaknya taubat itu dilakukan pada waktu-waktu masih diterimanya taubat. Yaitu selama nyawa masih belum sampai di kerongkongan (sakratul maut) dan selama matahari belum terbit dari barat (menjelang hari kiamat).
Allah berfirman (artinya):
“Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang melakukan kejelekan yang hingga apabila datang ajal kepada salah seorang di antara mereka, ia mengatakan: Sesungguhnya aku bertaubat sekarang.” (An Nisa’ : 18)
Rasulullah bersabda:
إِنَّ اللهَ يَقْبَلُ تَوْبَةَ الْعَبْدِ مَا لَمْ يُغَرْغِرْ
“Sesungguhnya Allah menerima taubat seorang hamba selama nyawa belum sampai kerongkongan.” (HR. At Tirmidzi no. 3537, dari sahabat Ibnu umar )
Dan sabdanya:
مَنْ تَابَ قَبْلَ أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا تَابَ اللهُ عَلَيْهِ
“Barangsiapa yang bertaubat sebelum matahari terbit dari barat, maka Allah akan menerima taubatnya.”(HR. Muslim no. 2703)
Wahai saudaraku, sebenarnya hakekat taubat itu dapat mendorong orang yang bertaubat untuk memulai dan memperbanyak amalan-amalan shalih. Oleh karena itulah, Allah banyak menggandengkan taubat dengan amal shalih di dalam Al Qur’an. Diantaranya firman Allah (artinya): “Dan orang yang bertaubat dan mengerjakan amalan shalih, maka sesungguhnya dia itulah yang bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya.” (Al Furqan: 71)

Keutamaan Taubat
Sesungguhnya Allah telah menjanjikan keutamaan yang sangat besar kepada siapa saja dari hamba-Nya yang mau bertaubat dan kembali kepada kebenaran, di antaranya:
1. Penghapus dosa dan diganti dengan kebaikan
Allah berfirman (artinya): “Wahai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya. Maka pasti Rabb kalian menghapuskan kesalahan-kesalahanmu.” (At Tahrim: 8)
“Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman, dan mengerjakan amalan yang shalih, maka kejahatan mereka diganti oleh Allah dengan kebajikan. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al Furqan: 70)
2. Mendapat keberuntungan di dunia dan akhirat
Sebagaimana firman Allah (artinya): “Bertaubatlah kalian sekalian kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman supaya kamu mendapatkan kemenangan.” (An Nur: 31)
3. Mendapat kecintaan dari Allah
Allah telah menegaskan dalam firman-Nya (artinya): “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (Al Baqarah: 222)
4. Diturunkannya rizki dan barakah
Sebagaimana yang ditegaskan dalam firman Allah (artinya): “Dan hendaknya kalian memohon ampunan dari Rabb kalian dan bertaubatlah kepada-Nya. Niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu sampai waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberi kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (memperoleh balasan) keutamaannya.” (Hud: 3)
5. Penghalang dari adzab Allah
Allah berfirman (artinya): “Dan tidaklah Allah mengadzab mereka, sedang mereka terus beristighfar (memohon ampun).” (Al Anfal: 33)
Sebaliknya, Allah mengancam bagi siapa yang enggan untuk bertaubat kepada-Nya, dengan firman-Nya (artinya): “Maka jika mereka bertaubat, itu adalah lebih baik bagi mereka, dan jika mereka berpaling, niscaya Allah akan mengadzab mereka dengan adzab yang pedih di dunia dan di akhirat.” (At Taubah: 74)




PEDULI TETANGGA, WASILAH MERAIH AL JANNAH

Fenomena kehidupan bertetangga selalu berubah seiring dengan bergulirnya zaman. Dewasa ini, suasana sosial yang sesuai kaidah syariat Islam semakin susah didapatkan, apalagi hidup di lingkungan kota. Pada umumnya manusia cenderung dan asyik dengan kepentingannya masing-masing.
Di pagi hari, masing-masing pihak persiapan untuk menuju tempat aktivitasnya, kemudian pulang di waktu sore harinya. Begitulah seterusnya, tak terasa masing-masing pihak saling menutup diri, saling tidak mengenal, yang pada akhirnya melahirkan sikap individualisme “acuh” terhadap kondisi tetangganya. Tak jarang, ada tetangga yang sakit parah untuk segera dirawat di rumah sakit, tapi karena kurang kepedulian dari tetangga, akhirnya orang tersebut meninggal (disamping Qadha’ dan Qadar Allah). Juga, kita melihat banyak anak kecil yang terlantar, mereka dengan terpaksa untuk memenuhi kebutuhannya harus minta-minta “ngencleng” dipinggir jalan, lalu dikemanakan nasib pendidikan mereka? Kemana mereka harus mengadu?
Sikap indiuvidualisme “acuh” juga mengakibatkan masing-masing pihak merasa tidak dilindungi antara satu dengan lainnya. Bila ada sebuah keluarga kecurian atau kerampokan atau tindak kriminal lainnya, terkadang pihak tetangganya merasa tidak mengetahuinya. Kalaupun tahu, terkandang pula bingung apa yang mesti dia bantu atau ia perbuat.
Di sisi lain, tidak jarang terjadi interaksi aktif antara satu dengan lainnya. Namun sayang terkadang (baca: banyak) interaksi itu bersifat negatif yang merugikan pihak lain, baik dari tutur kata yang buruk, tingkah laku yang jelek atau sesuatu lainnya yang dapat mengganggu pihak lain. Bahkan, tega berbuat zhalim (menganiaya) dan memeras pihak lain. Fenomena ini bukanlah sekedar wacana belaka, bahkan anda bisa melihat dan merasakannya sendiri.
Masyarakat Indonesia mayoritas penduduknya adalah beragama Islam. Sehingga semua kejadian ini terkait dengan keberadaan umat Islam. Oleh karena itu baik buruknya pergaulan masyarakat Indonesia tergantung dengan baik buruknya akhlak umat Islam. Apakah memang Islam tidak peduli dengan kondisi umatnya? Ataukah sebaliknya, umat Islam sendiri yang tidak peduli dengan adab-adab bertetangga yang dituntunkan oleh Islam (Al Qur’an dan As Sunnah)?!!!

Islam Rahmat Bagi Semesta Alam
Islam adalah agama yang Allah sempurnakan, yang mencakup dan menjawab seluruh permasalahan umat manusia dengan tepat dan sempurna, termasuk di dalamnya adab-adab dalam bertetangga. Hal ini telah diabadikan di dalam Al Qur’an, sebagaimana firman-Nya: “Pada hari ini Aku sempurnakan Islam sebagai agama bagi kalian, dan Aku lengkapkan pula nikmat-Ku atas kalian, serta Aku ridha Islam menjadi agama kailan.” (Al Ma’idah: 3)
Para pembaca, demikianlah ikrar penegasan dari sang Al Khaliq (Pencipta) Allah tentang kesempurnaan ajaran-ajaran yang dibawa oleh Rasul-Nya . Sehingga ajaran-ajaran Islam, bila dipelajari oleh umatnya kemudian dipraktekkan niscaya benar-benar dapat mendatangkan kedamaian dan ketentraman, baik sesama umat Islam atau umat lainnya serta seluruh alam semesta ini. Allah berfirman (artinya): “Dan tiadalah Kami mengutus kamu melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam.” (Al Anbiyaa’: 107)
Demikian pula, Nabi Muhammad diutus ke muka bumi dalam rangka untuk memperbaiki dan menyempurnakan akhlak manusia. Rasulullah bersabda:
وَلَقَدْ بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلاَقِ
“Dan sungguh aku diutus (sebagai seorang rasul -pent) dalam rangka untuk menyempurnakan akhlak manusia.”

Wasiat Islam
Para pembaca, ketahuilah permasalahan “tetangga” bukanlah remeh, bahkan sangat diperhitungkan di dalam agama Islam. Terlebih lagi, Islam mewasiatkan untuk selalu menjaga dan memuliakan tetangga. Simaklah firman Allah :
“Sembahlah Allah dan janganlah kalian mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun, dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang miskin, tetangga dekat maupun tetangga jauh, teman sejawat, ibnu sabil (orang yang mengadakan perjalanan) dan hamba sahaya. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.” (An Nisaa’: 36)
Di dalam ayat yang mulia ini, terdapat perintah dari Allah untuk berbuat baik kepada tetangga dan Allah membenci sifat sombong dan tidak mau peduli dengan keadaan tetangganya.
Demikian pula, Nabi Muhammad senantiasa mendapatkan wasiat dari malaikat Jibril u tentang perihal tetangga. Sebagaimana sabda beliau :
مَازَالَ جِبْرِيْلُ يُوْصِيْنِي بِالْجَارِ حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُوَرِّثُهُ
“Senantiasa Jibril memberikan wasiat kapadaku perihal tetangga, sampai aku mengira bahwa tetangga juga berhak mendapatkan harta waris.” (H.R. Al Bukhari no. 6014-6015 dan Muslim no. 2624-2615, dari sahabat Aisyah dan Ibnu Umar )

Keutamaan Memuliakan Tetangga Dan Ancaman Mengganggu Tetangga
Para pembaca, telah kita ketahui bersama bahwa peduli dengan tetangga merupakan perkara yang urgen di dalam Islam. Sehingga Islam juga memberikan kedudukan mulia bagi orang yang memuliakan tetangganya dan sebaliknya, Islam memberikan ancaman keras terhadap siapa saja yang tidak mau peduli dengannya.
Berikut ini akan disebutkan beberapa keutamaan memuliakan tetangga beserta ancaman yang melalaikannya. Diantaranya sebagai berikut:
a. Wasilah meraih iman yang sempurna.
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلاَ يُؤْذِي جَارَهُ
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari kiamat maka janganlah ia menggangu tetangganya.” (H.R. Al Bukhari no. 6136 dan Muslim no. 48, dari sahabat Abu Hurairah )
Bisa disimpulkan dari hadits di atas, bahwa perbuatan buruk terhadap tetangga dapat mengurangi nilai iman dia kepada Allah dan hari kiamat. Bila ia menyakini perbuatan mengganggu tetangga adalah halal (boleh), maka bisa menyebabkan batalnya nilai iman dia secara total (kufur).
b. Menjadi sebaik-baik tetangga di sisi Allah
خَيْرُ الأَصْحَابِ عِنْدَ اللهِ خَيْرُهُمْ لِصَاحِبهِ، وَخَيْرُ الْجِيْرَانِ عِنْدَ اللهِ خَيْرُهُمْ لِجَارِهِ
“Sebaik-baik teman di sisi Allah adalah orang yang paling baik terhadap temannya, dan sebaik-baik tetangga di sisi Allah adalah orang yang paling baik terhadap tetangganya.” (H.R. At Tirmidzi, dari sahabat Ibu Umar, dishahihkan Asy Syaikh Al Albani dalam Al Adabul Mufrad no. 115 )
Dapat disimpulkan pula dari hadits diatas, barang siapa yang tidak memuliakan (peduli) tetangganya maka ia akan menjadi calon tetangga yang paling buruk di sisi Allah .
c. Wasilah untuk meraih Al Jannah.
Rasulullah bersabda:
لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ لاَيَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ “Tidak akan masuk Al Jannah, barang siapa yang tetangganya tidak merasa aman dari gangguannya. (H.R. Muslim), juga dalam riwayat Al Bukhari, Rasulullah bersumpah: “Tidaklah beriman kepada Allah” (sebanyak tiga kali).” Salah seorang sahabatnya bertanya: “Siapa itu wahai Rasulullah ? Beliau menjawab: “Barangsiapa yang tetangganya tidak merasa aman dari gangguannya.”
Sungguh ada seorang wanita di jaman Rasulullah yang rajin shalat malam dan shaum di siang harinya, namun tetangganya tidak merasa aman dari kejelekan lisannya. Kabar itupun terdengar oleh Rasulullah , maka beliau bersabda: “Tidak ada kebaikan bagi dirinya. Dan ia kelak masuk dalam An Naar (neraka).” (Al Adabul Mufrad no. 119, dishahihkan Asy Syaikh Al Albani)

Apa yang harus kita perbuat?
Islam sangat peduli dengan keberadaan tetangga. Sehingga seharusnya seorang muslim harus peka dan tanggap dengan kondisi tetangganya. Bila tetangganya membutuhkan atau memerlukan sesuatu, seharusnya ia tanggap untuk bermurah tangan kepadanya sesuai kemampuannya tanpa diminta. Pintunya selalu terbuka bagi siapa saja yang perlu dan butuh darinya.
Konsekuensi dari berbuat baik kepada tetangga adalah tidak berbuat atau bertindak semena-mena yang menyebabkan tetangga itu merasa terganggu atau teraniya. Sehingga membutuhkan kejelian dan kehati-hatian dari masing-masing pihak untuk tidak berkata dan berbuat kecuali setelah dipertimbangkan dengan matang antara maslahat dan mudharatnya.
Sahabat Ibnu umar berkata: “Telah datang kepada kita suatu zaman, dimana dahulu tidak ada seorang pun yang mengutamakan dinar dan dirhamnya (jenis mata uang -pen) dibandingkan saudaranya muslim, namun sekarang dinar dan dirham lebih kita cintai dibanding saudaranya yang muslim. Padahal aku mendengar Rasulullah bersabda: “Betapa banyak kelak pada hari kiamat seseorang yang nasibnya bergantung dengan tetangganya. Ia berkata kepada Rabb-nya: “Yaa Rabb-ku!, orang ini telah menutup pintu bagiku, sehingga mencegahnya untuk berbuat baik.” (Al Adabul Mufrad no. 111, dishahihkan Asy Syaikh Al Albani)
Ada beberapa contoh hubungan bertetangga yang telah dipraktekkan di masa Rasulullah , dan para sahabatnya, sebagaimana hadits-hadits berikut ini:
1. Aisyah bertanya kepada Rasulullah : “Yaa Rasulullah! Sesungguhnya aku memilki dua tetangga. Mana yang paling berhak untuk aku berikan hadiah?” Rasulullah menjawab: “Pintu yang paling dekat denganmu.” (Al Adabul Mufrad no. 107, dishahihkan Asy Syaikh Al Albani)
2. Sahabat Abu Dzar meriwayatkan dari Rasulullah , beliau bersabda:
يَا أَبَا ذَرٍّ إِذَا طَبَخْتَ مَرَقَةً فَأَكْثِرْ مَاءَهَا وَتُعَاهِدَ جِيْرَانَكَ
“Wahai Abu Dzar, bila engkau memasak maka perbanyaklah kuahnya, kemudian engkau bagikan kepada tetanggamu.” (H.R. Muslim)
Rasulullah juga bersabda:
لَيْسَ المُؤْمِنُ الَّذِي يُشْبِعُ وَجَائِرُهُ جَائِعٌ
“Tidaklah beriman seseorang, bila ia dalam keadaan kenyang sementara tetangganya kelaparan.” (Al Adabul Mufrad no. 112, dishahihkan Asy Syaikh Al Albani)
3. Sahabat Abu Hurairah juga meriwayatkan dari Rasulullah :
لاَيَمْنَعُ جَارٌ جَارَهُ أَنْ يَغْرِزَ خَشْبَةً فِيْ جِدَارِهِ
“Tidaklah pantas seseorang menghalangi bagi tetangganya untuk menumpangkan kayu/ papan pada dinding rumahnya. (H.R. Al Bukhari no. 2463 dan Muslim no. 1609, dari sahabat Abu Hurairah).
Telah datang pula riwayat dari sahabat Abdullah bin Amr . Ketika putranya menyembelih seekor kambing dan ingin dibagikan ke tetangganya, maka beliau menyuruhnya untuk memulai dari tetangga yang beragama Yahudi. Tiba-tiba ada seseorang yang mengingkarinya. Maka beliau berkata: “Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah senantiasa mendapat wasiat (dari Jibril) tentang tetangga, sampai dikhawatirkan tetangga juga berhak mendapatkan harta waris.” (Al Adabul Mufrad no. 128, dishahihkan Asy Syaikh Al Albani)
Dan juga hadits-hadits lainnya, sehingga Islam telah memberikan pengajaran tentang sikap yang harus dimiliki oleh setiap umat Muhammad untuk selalu tanggap dan peduli dengan tetangganya, walaupun ia seorang kafir.
Akhir kata, mudah-mudahan nasehat ini dapat menggugah kaum muslimin untuk peduli dengan tetangganya, Amin ya Rabbal ‘alamin.




WAHAI AYAH BUNDA, TERIMALAH BAKTIKU!

Mengenal Jerih Payah Ayah Bunda
Anak merupakan dambaan setiap orang. Kehadirannya menjadi penyejuk pandangan orang tua, menjadi penggembira ketika susah, dan menjadi penghibur qalbu ketika gundah gulana. Kalimat “Anakku sayang”, akan senantiasa terucap meski sang ibu atau bapak sedang mengalami sakit yang parah. “Biar bapakmu susah asal kamu tetap senang”, demikian ucapan seorang bapak yang sangat sayang pada anaknya. Seraya bermunajat dengan penuh harap kepada Allah Rabbul ‘alamin:
“Wahai Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami) dan jadikanlah kami sebagai imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (Al Furqan: 74)
Sosok anak tidak akan dapat terlepas dari ayah dan ibunya. Bagaimanapun keadaannya, ia adalah bagian dari keduanya. Dia adalah darah daging keduanya. Rahim ibu adalah tempat buaiannya yang pertama di dunia ini. Air susunya sebagai sumber makanan yang menumbuhkan jasadnya. Kasih sayang ibu adalah ketenangan yang ia selalu rindukan. Kerelaan ibu untuk berjaga membuat nyenyak tidur. Kegelisahan ibu menyisakan kebahagian untuknya. Timangan ayah dirasakan sebagai kekokohan. Perasan keringat ayah memberikan rasa kenyang dan hangat bagi dirinya. Allah berfirman (artinya): “Dan Kami wasiatkan kepada manusia untuk berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan payah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada-Ku-lah kembalimu. (Luqman: 14)

Berbakti Kepada Orang Tua Adalah Petunjuk Para Nabi Dan Rasul
Allah mengabadikan di dalam Al Qur’an tentang kisah-kisah bakti mereka kepada orang tua, supaya dapat diambil pelajaran bagi umat manusia bahwa ini merupakan petunjuk dan jalan seluruh para nabi dan rasul. Diantaranya adalah firman Allah (artinya):
“Dan aku (yaitu Nabi Isa u) adalah orang yang berbakti kepada ibuku dan dia tidak menjadikanku sebagai orang yang sombong dan celaka.” (Maryam:32).
“Dan dia (yaitu Nabi Yahya u) adalah orang yang berbakti kepada orang tuanya dan dia bukanlah orang yang sombong dan yang maksiat.” (Maryam:14).

Perintah Berbakti Kepada Orang Tua Adalah Pasangan Perintah Bertauhid
Tujuan paling agung dari dakwah para nabi dan rasul adalah tauhid. Dirangkaikannya antara kewajiban bertauhid dengan berbuat baik kepada orang tua di dalam Al Qur’an maupun As Sunnah menunjukkan bahwa berbakti kepada orang tua merupakan ibadah agung di sisi Allah . Diantaranya firman Allah :
“Katakanlah kemarilah aku akan membacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Robbmu janganlah kamu menyekutukannya dengan sesuatupun dan berbuat baiklah kepada orang tua.” (Al An’am:151).
“Beribadahlah kepada Allah dan janganlah menyekutukan-Nya dengan sesuatupun dan berbuat baiklah kepada orang tua.” (An Nisa’: 36).
Di dalam As Sunnah, Abu Bakrah meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda artinya):
“Maukah kuberitakan kepada kamu tentang dosa-dosa besar yang terbesar?” Kami menjawab: “Ya, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda: “Syirik kepada Allah dan durhaka kepada kedua orang tua…” Muttafaqun ‘alaihi)

Bentuk-Bentuk Berbakti Kepada Orang Tua
1. Mentaati perintah keduanya dan menjauhi larangannya selama tidak dalam rangka bermaksiat kepada Allah
Allah berfirman artinya): “Jika keduanya memaksamu untuk kamu menyekutukan Aku dan kamu tidak memiliki ilmu tentangnya maka janganlah kamu menaati keduanya dan pergaulilah mereka di dunia dengan cara yang baik.” Luqman: 15)
2. Memuliakan keduanya dan merendah di hadapannya, berucap dengan ucapan yang baik serta tidak menghardiknya
Allah berfirman artinya): “Jika salah seorang dari keduanya atau kedua-duanya telah lanjut usia dalam pemeliharaanmu) maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu menghardik mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik, dan rendahkan dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan.” Al Isra’: 23-24)
3. Tidak melakukan safar perjalanan) jauh melainkan dengan seijin keduanya begitu juga jihad yang hukumnya fardhu kifayah
‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash berkata: “Seseorang menghadap Nabi Allah lalu berkata: ‘Aku membai’atmu di atas hijrah dan jihad untuk mencari pahala dari Allah . Rasulullah bersabda: ‘Apakah salah seorang dari kedua orang tuamu masih hidup?’ Dia menjawab: ‘Ya, bahkan keduanya’ masih hidup). Dan beliau bersabda: ‘Kamu ingin mencari pahala dari Allah?’ Dia menjawab: ‘Ya’. Rasulullah bersabda: ‘Kembalilah kepada kedua orang tuamu dan berbaktilah kepada keduanya’. Muttafaqun ‘alaihi)
4. Mendahulukan hak kedua orang tua atas hak istri dan anak
Hal ini berdasarkan hadits tentang tiga orang yang masuk ke dalam gua lalu gua tersebut tertutup dengan batu sehingga tidak bisa keluar darinya. Lalu ketiga orang tersebut berdoa kepada Allah dengan cara tawassul dengan amal-amal mereka yang shalih. Salah satu di antara mereka bertawassul dengan amal mengutamakan hak kedua orang tuanya dari hak anak-anak dan istrinya. H.R. Al Bukhari no. 2272 dan Muslim no. 2743)
5. Bersyukur terhadap segala bentuk pengorbanannya
Direalisasikan dengan cara berkhidmat terhadap segala sesuatu yang dibutuhkan keduanya baik harta, tenaga ataupun pikiran ataupun berusaha menghilangkan segala sesuatu yang dapat mengganggu keduanya. Allah berfirman artinya): “Dan Kami telah memerintahkan kepada manusia untuk berbuat baik) kepada kedua orang tuanya, karena ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah di atas kelemahan dan menyapihnya selama dua tahun maka bersyukurlah kamu kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu.” Luqman: 14)

Hakekat Kecintaan Dan Berbakti Kepada Orang Tua
Hakekat seorang anak yang cinta dan berbakti kepada orang tua manakala ia menjadi sebab orang tua tetap tsabat kokoh) memegang prinsip-prinsip agama, atau sabar membimbing keduanya supaya masuk ke dalam agama Islam bila keduanya masih kafir. Sebaliknya hakekat kedurhakaan seorang anak manakala ia menjadi fitnah sehingga menyebabkan orang tuanya terjatuh dalam perbuatan maksiat atau bahkan kekufuran.
Jadikanlah kedua orang tuamu sebagai ladang bercocok tanam untuk akhiratmu dan sebagai jembatan pengantar menuju al jannah surga)! Nabi bersabda artinya): “Nista dan hinanya, nista dan hinanya, nista dan hinanya.” Lalu ditanyakan: “Siapa wahai Rasulullah ? “Beliau bersabda: “Yaitu yang menjumpai kedua orang tuanya lalu tidak menyebabkan dia masuk ke dalam surga.” HR. Muslim no. 2551)

Berbakti Kepada Orang Tua Tetap Berlangsung Walupun Keduanya Sudah Wafat
Ikatan batin dari fitrah seorang anak kepada kedua orang tuanya tidak akan hilang walaupun keduanya telah wafat. Agama Islam tetap mensyari’atkan untuk berbakti kepada orang tua walaupun keduanya telah tiada. Beberapa amalan mulia yang dapat dilakukan sepeninggal keduanya adalah:
1. Mendo’akan kebaikan, memintakan maghfirah dan rahmat bagi keduanya. Rasulullah bersabda:
تُرْفَعُ للْمَيْتِ بَعْدَ مَوْتِهِ دَرَجَتُهُ فَيَقُوْلُ : أَيْ رَبِّي أَيُّ شَيْءٍ هذَا ؟ فَيُقَالُ لَهُ : وَلَدُكَ اسْتَغْفَرَ لَكَ
“Ada seseorang yang dinaikkan derajatnya setelah ia mati, maka ia bertanya: “Wahai Rabbku, ada apa ini?” Dikatakan kepadanya: “Anakmu memohonkan ampun untukmu.” Shahih Ibnu Majah no. 3660, karya Asy Syaikh Al Abani).
2. Memperbanyak amalan shalih. Sesungguhnya orang tua akan mendapat balasan dari amalan shalih yang dilakukan oleh anaknya, karena anak itu termasuk dari usahanya dan harapannya. Allah berfirman artinya):
“Dan sesungguhnya manusia tidak memperoleh selain apa yang telah ia usahakan sendiri.” An Najm: 39)
Rasulullah bersabda:
إِنَّ أَطْيَبَ مَا أَكَلَ الرَّجُلُ مِنْ كَسْبِهِ وَإِنَّ وَلَدَهُ مِنْ كَسْبِهِ
“Sesungguhnya sebaik-baik yang dimakan oleh seseorang adalah hasil dari usahanya sendiri, dan sesungguhnya seorang anak termasuk dari usahanya orang tua).” HR. Abu Dawud, lihat Ahkamul Jana’iz karya Asy Syaikh Al Albani hal. 216)
3. Menyambung silaturahmi kekerabatan) yang berasal dari keduanya.
4. Menyambung persaudaraan keluarga kawan orang tuanya. Rasulullah bersabda artinya): “Sesungguhnya kebaikan yang terbaik adalah menyambung persaudaraan dari keluarga kawan bapaknya.” HR. Muslim).
5. Memenuhi wasiat keduanya, selama wasiat tersebut dalam hal ma’ruf bukan dalam rangka untuk bermaksiat kepada Allah .

Sikap Terhadap Orang Tua Yang Kafir
Kekufuran orang tua bukan penghalang untuk berbakti dan menggauli keduanya dengan baik. Allah berfirman artinya): “Jika keduanya memaksamu untuk kamu menyekutukan Aku dan kamu tidak memiliki ilmu tentangnya maka janganlah kamu mentaati keduanya dan pergaulilah mereka di dunia dengan cara yang baik.” Luqman: 15).
Asma’ binti Abi Bakr berkata: “Pada masa perjanjian damai antara Quraisy dengan Nabi ibuku datang, padahal dia seorang wanita musyrik. Maka aku bertanya kepada Nabi : “Sesungguhnya ibuku datang, namun dia seorang wanita yang musyrik dan memintaku untuk berbuat baik kepadanya. Maka apakah aku boleh menyambung hubungan) dengannya?” Beliau menjawab: “Ya, sambunglah ibumu.” HR. Al Bukhari)

Hikmah Berbakti Kepada Kedua Orang Tua
Sesungguhnya keutamaan dan buah dari berbakti kepada orang tua sangatlah agung dan besar, di antaranya:
1. Diterima amalan shalih dan dihapuskan dosa-dosa baginya. Al Ahqaf: 15-16)
2. Terkabulnya do’a. HR. Al Bukhari no. 2272 dan Muslim no. 2743)
3. Lapang dada dan kebaikan hidup.
Dari Anas bin Malik berkata: “Saya mendengar Rasulullah bersabda:
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ وَيُنْشَأَ لَهُ فِي أثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
“Barangsiapa yang suka diluaskan rizkinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah dia menyambung persaudaraan keluarganya).” HR. Al Bukhari)

Kemalangan Mendurhakai Orang Tua
Durhaka kepada orang tua merupakan lawan dari berbakti kepada keduanya. Diantara bentuk durhaka kepada orang tua adalah: tidak peduli dengan penderitaan yang dialami orang tua, tidak mau mengakui keberadaan orang tuanya karena jauhnya perbedaan status antara ia dengan keduanya, mencaci maki keduanya, membentak dan menghardik, memukul, memperbudak, mengkhianati, mendustakannya, menipu, tidak taat kepada perintah keduanya dan sebagainya dari bentuk kedurhakaan kepada kedua orang tua. Rasulullah bersabda:
ثَلاَثَةٌ لاَ يَقْبَلُ اللهُ مِنْهُمْ يَوْمَ الْقِيَامِةِ صَرْفًا وَلاَ عَدْلاً : عَاقٌ ، مَنَّانٌ ، وَمُكَذِّبٌ بِالْقَدَرِ
“Tiga orang yang tidak akan diterima amalan wajib maupun sunnah oleh Allah pada hari kiamat yaitu: orang yang durhaka kepada orang tuanya, orang yang mengungkit-ungkit pemberiannya, dan orang yang mendustakan takdir.” Shahihul Jami’, karya Asy Syaikh Al Albani no. 3060).
Akhir kata, semoga bahasan kali ini dapat menjadikan kita selalu berbakti kepada kedua orang tua dan menjauhkan dari sikap durhaka kepada keduanya. Amiin, Yaa Rabbal ‘Aalamiin..




BERHIAS DENGAN AKHLAK MULIA

Di dalam Al Qur’an banyak dijumpai ayat-ayat yang memerintahkan agar manusia memiliki akhlak mulia. Akhlak mulia (akhlakul karimah) sangat diperlukan dalam menjalani kehidupan yang kadang harus menghadapi cobaan-cobaan. Dengan akhlak mulia berbagai bentuk cobaan hidup bisa dijalani sehingga kita senantiasa diridhai Allah
Terkadang dalam kehidupan sehari-hari, kita harus dihadapkan dengan tantangan dan gesekan-gesekan hidup. Gesekan itu bisa datang dari diri kita sendiri atau dari orang lain. Tidak jarang kita dihadapkan dengan orang- orang terdekat seperti kedua orang tua, sanak famili, teman-teman, dan bahkan dari seluruh masyarakat.

Ini adalah suatu keniscayaan, terlebih kalau kita hidup bersama dengan orang lain. Yang demikian itu terjadi karena kita tidak memiliki hati yang satu dan tujuan yang sama. Itulah yang mengakibatkan terjadinya gesekan- gesekan dalam hidup. Sebagai individu saja, kita sering menghadapi problema, maka terlebih lagi kalau terkait dengan orang lain. Dari itu Islam telah mengajarkan akhlak yang mulia untuk menghadapi semua itu dan bergaul bersama orang lain dengan pergaulan yang baik.
Sudahkah Anda berbakti kepada kedua orang tua dan tahukah hukumnya? Allah berfirman, yang artinya: “Dan Rabb-mu telah memerintahkan kepadamu (agar kamu mengatakan kepada mereka) janganlah kalian menyembah kecuali hanya kepada-Nya dan agar kalian berbuat baik kepada kedua orang tua.” (Al Isra’: 23)
Pernahkah Anda merasa kasihan kepada orang yang mendapatkan musibah dan terdorong untuk segera membantunya? Allah berfirman, yang artinya: “Dan tolong menolonglah kalian dalam kebaikan dan ketakwaan, dan janganlah kalian tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan.” (Al Maidah : 2)
Rasulullah bersabda :
مَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَهُ اللهُ فِي الدُنْيَا وَالآخِرَةِ
“Barang siapa memberikan kemudahan terhadap kesulitan saudaranya niscaya Allah akan memberikan kemudahan baginya di dunia dan Akhirat.” (HR. Muslim)
Bisakah anda tawadhu’ (merendahkan diri) di hadapan saudara anda? Padahal Allah berfirman, yang artinya: “Dan rendahkanlah dirimu di hadapan orang-orang yang mengikutimu dari orang-orang yang beriman.” (Asy Syu’ara: 215).
Bisakah Anda menahan marah ketika melihat kekurangan pada diri saudara anda? Padahal telah datang seseorang kepada Rasulullah lalu mengatakan: “Wahai Rasulullah!! Nasehatilah Aku”. Rasulullah bersabda: “Janganlah kamu marah.” Orang tersebut mengulangi (pertanyaannya), Rasulullah tetap mengatakan: “Janganlah kamu marah”. (HR. Al Bukhari).
Bisakah anda menjadi orang pemaaf ketika saudaramu bersalah dan berkeinginan untuk meminta maaf? Allah berfirman, yang artinya: “Jadilah engkau pemaaf dan serulah kepada kebajikan dan berpalinglah dari orang-orang jahil.” ( Al A’raf: 199).
Bisakah Anda menebarkan salam dan tersenyum di hadapan saudaramu? Rasulullah bersabda :
حَقُّ المُسْلِمِ عَلَى المُسْلِمِ خَمْسٌ : رَدُّ السَّلاََمِِ وَعِيَادَةُ المَِريْضِ وَاتِّبَاعُ الجَنَائِزِ وَإِجَابَةُ الدَّعْوَةِ وَ تَشمِيْتُ العَاطِشِ
“Hak orang muslim terhadap muslim lainnya ada lima: Menjawab salam, menjenguk orang sakit, mengantar jenazah, menjawab undangan dan menjawab orang yang bersin.” (Muttafaqun ‘Alaihi).
Bisakah Anda lemah lembut di hadapan saudaramu? Padahal Allah berfirman, yang artinya: “Maka dengan rahmat Allah-lah kamu menjadi lemah lembut kepada mereka dan jika kamu berlaku kasar terhadap mereka niscaya mereka akan menyingkir dari sisimu.” (Ali Imran: 159).
Pernahkah anda sadar membaca Bismillah ketika ingin makan dan minum? Sadarkah pula bahwa makan dan minum dengan tangan kanan adalah wajib, sementara dengan tangan kiri adalah haram? Rasulullah bersabda :
يَا غُلاَمُ سَمِّ اللهَ وَكُلْ بِيَمِيْنِك وَ كُلْ مِمَّا يَلِيْك
“Hai anak, bacalah Bismillah dan makanlah dengan tangan kanan dan makanlah yang ada di sekitarmu.” (HR. Al Bukhari dan Muslim).
Dan pernahkah anda sadar bahwa makan dan minum dengan tangan kiri adalah cara syaitan? Rasulullah bersabda:
فَإِنَّ الشَّيْطانَ كَان يَأْكُلُ وَيَشْرَبُ بِالشِّمَالِ
“Maka sesungguhnya syaitan makan dan minum dengan tangan kiri.” (HR. Muslim).
Masuk ke dalam rumah dengan mengucapkan salam? Allah berfirman, yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman janganlah kalian masuk ke dalam rumah-rumah yang bukan rumah kalian sehingga kalian meminta izin dan mengucapkan salam atas penghuninya.” (An Nuur: 28).
Sayangkah Anda kepada saudaramu sesama muslim? Rasulullah bersabda:
مَنْ لاَ يَرْحَمُ النَّاسَ لاَ يَرْحَمُهُ اللهَُ
“Barang siapa yang tidak menyayangi manusia maka Allah tidak akan menyayanginya. ” (HR. Muslim).
Pertanyaan-pertanyaan ini merupakan sebagian dari akhlak yang harus diperhatikan seorang muslim di dalam hidup bermasyarakat.

Berakhlak Yang Baik
Kita menginginkan semua orang baik dengan kita dan menginginkan agar mereka cinta dan sayang. Berharap memiliki teman yang mengetahui jati diri kita, keluarga kita, dan berusaha meringankan beban hidup kita. Mencari teman yang bisa kita ajak menuju segala bentuk kebajikan. Kita ingin memiliki teman yang tawadhu’, lapang dada, penyayang, ramah tamah, ringan tangan, penyabar, yang suka mengingatkan ketika kita lupa dan yang menasehati ketika bersalah, selalu bermuka manis dan ceria, memiliki tutur kata yang baik, lemah lembut, dermawan, menerima kekurangan orang lain, pemaaf dan akhlak-akhlak baik lainnya. Untuk mendapatkan hal yang demikian, tentu memiliki sebab-sebab dan syarat-syarat yang harus dilakukan yaitu
“berakhlak dengan akhlak yang baik”. Rasulullah bersabda:
اتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ
“Bertakwalah dimana saja kamu berada dan iringilah perbuatan jelek dengan perbuatan baik, niscaya akan menghapus perbuatan jelek tersebut dan berakhlaklah kepada manusia dengan akhlak yang baik.” (HR. At Tirmidzi)
Dalam hadits ini ada beberapa pelajaran penting, diantaranya anjuran untuk selalu memberikan wasiat kepada saudaranya dan mengingatkan kewajiban- kewajibannya, setiap orang harus merasa diawasi oleh Allah, perbuatan baik akan menghapus perbuatan jelek, dan bergaul dengan setiap orang dengan akhlak yang baik.
Wallahu a’lam (oleh: Ust. Abdurahman Lombok) HAKEKAT HATI MANUSIA Sesuatu yang paling mulia pada manusia adalah hati. Karena sesungguhnya hatilah yang mengetahui Allah, yang beramal untuk-Nya, dan yang berusaha menuju kepada-Nya. Anggota badan hanya sebagai pengikut dan pembantu hati, layaknya seorang budak yang membantu raja. Barangsiapa mengetahui hakekat hatinya, ia akan mengetahui hakekat Rabb-Nya. Namun mayoritas manusia tidak tahu hati dan jiwanya. Ketahuilah, bahwa hati pada tabiat fitrahnya mau menerima petunjuk. Tetapi tetap ada syahwat dan hawa nafsu yang melekat padanya dimana hati juga akan cenderung kepadanya. Akan saling mengusir antara malaikat dan setan padanya, terus berlangsung sampai hati itu membuka untuk salah satunya dan akhirnya menetap padanya. Sehingga ketika hati telah membuka untuk pihak pertama (malaikat) maka pihak kedua (setan) tidak melewati hati itu kecuali sembunyi-sembunyi sebagaimana firman Allah , yang artinya: “Dari kejahatan bisikan-bisikan yang tersembunyi.” (An Naas: 4). Yaitu yang jika disebut Allah dia sembunyi, tetapi jika lalai ia merasa lega. Dan tidak ada yang mengusir setan dari hati kecuali dzikir kepada Allah. Setan tidak akan tenang bersama dzikir. Ketahuilah, permisalan hati seperti sebuah benteng, sedang setan adalah musuh yang hendak memasuki benteng itu lalu menguasainya. Tidak mungkin benteng itu terjaga kecuali dengan menjaga pintu-pintunya dan orang tidak mengetahuinya tidak mungkin mampu menjaganya, begitu juga tidak mungkin menghalangi setan kecuali dengan mengetahui jalan masuknya. Jalan-jalan masuk setan banyak jumlahnya, di antaranya hasad (dengki), ambisi duniawi, marah, syahwat, cinta berhias, kenyang, tamak, terburu-buru, cinta harta, fanatik madzhab, berpikir yang tidak rasional, buruk sangka dengan kaum muslimin, dan lain-lain. Seyogyanya seorang manusia menjaga dirinya dari sesuatu yang akan menjadikan orang berprasangka buruk kepadanya. Untuk mengobati kerusakan-kerusakan ini adalah dengan menutup pintu-pintu setan tersebut dengan membersihkan hati dan sifat-sifat jelek itu sehingga dengan bersihnya hati dari sifat-sifat itu berarti setan hanya bisa lewat, tidak bisa tetap padanya. Untuk menghalangi lewatnya dengan berdzikir kepada Allah dan memenuhi hati dengan takwa. Perumpamaan setan seperti anjing lapar yang mendekatimu. Kalau kamu tidak punya makanan dia akan pergi hanya diusir dengan kata-kata. Tapi kalau kamu punya makanan sedang dia lapar dia tidak akan pergi hanya dengan ucapan. Begitulah hati yang tidak memiliki makanan untuk setan, setan itu akan pergi hanya dengan dzikir. Sebaliknya hati yang dikalahkan oleh hawa nafsunya dia menjadikan dzikir itu hanya sebagai sambilan sehingga tidak mapan di tengahnya. Maka setanlah yang akhirnya menetap ditengahnya. Jika kamu ingin tahu kebenarannya, perhatikan yang demikian itu pada shalatmu. Lihatlah bagaimana setan mengajak bincang-bincang dengan hatimu disaat semacam ini, dengan mengingatkan pasar, gaji pegawai, mengatur urusan dunia, dan lain- lain. Wallahu ta’ala A’lam



Tidak ada komentar:

Posting Komentar