Powered By Blogger

Sabtu, 13 November 2010

renungan


Tabarruk Yang Syar’i


Para pembaca -rahimakumullah- tidak jarang kita mendengar kata “barokah” dan “tabarruk“. Pun kita sering mendengar seseorang atau kita sendiri mendoakan kepada yang lain atau bahkan kita sendiri didoakan oleh orang lain dengan ucapan doa “Semoga anda diberkahi”, atau ucapan-ucapan semakna yang intinya mendoakan orang tersebut agar mendapatkan barokah (atau berkat). Demikian pula banyak kita dapatkan sabda-sabda Nabi kita Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa Sallam yang menggunakan kata-kata barokah.

Lalu apa sebenarnya makna kata “Barokah” itu sendiri?

Barokah, secara etimologi (bahasa) dalam bahasa arab, diambil dari kata البركة (baca: al-birkah) yaitu tempat berkumpulnya air. Tentunya, air yang berada pada tempat tersebut banyak karena air tersebut diam dan tidak mengalir. Berangkat dari makna ini, kata barokah, secara istilah, dimaknai suatu kebaikan yang banyak dan selalu terus-menerus ada. Oleh karenanya, doa “Semoga anda diberkahi” bermakna “Semoga anda mendapatkan kebaikan yang banyak dan tetap.”

Sehingga semua yang mengandung kebaikan yang banyak dan tetap adalah termasuk barokah. Walaupun tidak secara langsung disebutkan dengan kata (lafazh) “barokah”.

Adapun istilah “Tabarruk”, yang juga sering kita dengar, bermakna meminta barokah.

Para pembaca -rahimakumullah- tabarruk dengan perkara yang syar’i memiliki beberapa jenis, diantaranya:

Tabarruk dengan ucapan, perbuatan, dan suatu bentuk keadaan.

Ada beberapa ucapan, perbuatan dan suatu bentuk keadaan yang jika diamalkan dengan niat mengharapkan barokah dan kebaikan, dilakukan dengan ikhlas, sesuai dengan bimbingan sunnah, serta tidak adanya penghalang terkabulnya harapan tersebut, maka akan didapatkan sesuai dengan yang dimaukan.

  1. Tabarruk dengan ucapan (amalan lisan)
  • Dzikrullah

Diantara bentuk ucapan yang ber-barokah adalah dzikrullah (berdzikir kepada Allah), sebagaimana disebutkan dalam hadits qudsi dari Abu Hurairah a yang diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

“Sesungguhnya Allah memiliki para malaikat yang berkeliling di jalan-jalan mencari ahlu dzikir (orang-orang yang berdzikir-red).”

dan di akhir hadits, tersebut firman Allah Allah Subhanallahu wa Ta’ala (artinya):

“Maka Aku menjadikan kalian {para malaikat} sebagai saksi bahwa Aku mengampuni mereka {para ahlu dzikir}.”

  • Membaca Al-Qur`an

Demikian juga tabarruk dengan membaca Al-Qur`an, sebagaimana tersebut dalam hadits Abu Umamah Al-Bahili radliyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim rahimahullah, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

“Bacalah Al-Qur`an karena sesungguhnya ia akan datang nanti pada hari kiamat sebagai pemberi syafaat bagi pembacanya.”

Demikian juga tersebut dalam firman Allah Allah Subhanallahu wa Ta’ala (artinya):

“Dan Kami turunkan dari Al-Qur`an suatu yang menjadi obat dan rahmat bagi orang-orang yang beriman…” [Q.S. Al Isra`: 82]

“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadaMu yang dibarokahi…” [Q.S. Shaad: 29]

  1. Tabarruk dengan perbuatan (amalan anggota badan)
  • Tholabul ilmi

Adapun bentuk perbuatan yang bisa mendatangkan barokah diantaranya adalah tholabul ilmi {mencari dan mempelajari ilmu agama}, sebagaimana tersebut dalam hadits Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

“Barangsiapa yang menempuh sebuah jalan dalam rangka menuntut ilmu agama, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju Al-Jannah (surga).”

Demikian juga firman Allah (artinya):

“…Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman diantara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat…” [Q.S. Al Mujadilah: 11]

  • Melaksanakan shalat berjama’ah

Demikian pula seseorang yang berwudhu dengan sempurna kemudian shalat. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

لَا يَتَوَضَّأُ رَجُلٌ مُسْلِمٌ فَيُحْسِنُ الْوُضُوءَ فَيُصَلِّي صَلَاةً إِلَّا غَفَرَ اللهُ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الصَّلَاةِ الَّتِي تَلِيهَا

“Tidaklah seseorang berwudhu, kemudian menyempurnakan wudhunya, kemudian shalat, kecuali Allah akan mengampuni dosanya sejak dia shalat sampai shalat berikutnya.” [H.R. Muslim dari sahabat ‘Utsman Ibn ‘Affan radliyallahu ‘anhu]

  1. Tabarruk dengan keadaan
  • Makan secara berjama’ah

Adapun bentuk keadaan yang bisa mendatangkan barokah diantaranya adalah makan bersama dalam satu tempat, mengambil makanan dari pinggir tempat makan {seperti piring dan yang semisalnya}, dan menjilat jari-jemari setelah makan. Diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah, dan hadits ini dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani, dari Wahsyi bin Harb radliyallahu ‘anhu dari ayahnya dari kakeknya bahwasanya para shahabat radliyallahu ‘anhum mengadu kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam. Mereka berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami makan tapi tidak kenyang.” Beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Mungkin kalian makan dalam keadaan terpencar-pencar?” Mereka menjawab: “Iya, benar.” Maka beliau bersabda:

“Makanlah secara berjama’ah, dan ucapkanlah ‘bismillah’, maka kalian akan diberkati dengannya.”

Demikian pula dari sahabat Abdullah Ibn Abbas radliyallahu ‘anhuma, dan hadits ini dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

“Barokah itu turun di tengah makanan, maka makanlah dari pinggir, dan jangan makan dari tengah!”

Juga hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad dari shahabat Jabir Ibn Abdillah radliyallahu ‘anhu, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

“Jika salah seorang dari kalian telah memakan makanan, maka janganlah ia mengusap {membersihkan} tangannya dengan sapu tangan sampai ia menjilat tangannya tersebut, karena ia tidak tahu dimana adanya barokah makanan yang ia makan tersebut.”

  1. Tabarruk dengan makanan tertentu
  • Minyak Zaitun

Dan diantara makanan yang dengannya bisa mendapatkan barokah adalah minyak zaitun. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

“Makanlah zaitun dan berminyaklah dengannya karena ia merupakan salah satu dari pohon yang diberkahi.” [H.R. Ahmad dan Al Hakim, serta dishahihkan olehnya, dari sahabat Usaid Ibn Tsabit radliyallahu ‘anhu]

Demikian pula susu, habbatus sauda’ (jinten hitam, nigella sativa), dan pohon kurma.

  • Susu

‘Aisyah radliyallahu ‘anha pernah bercerita bahwa tatkala dihidangkan susu kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam, beliau bersabda:

“Di dalam rumah ada sebuah barokah atau dua barokah.” [H.R. Ahmad]

  • Habbatus Sauda`

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

“Sesungguhnya pada habbatus sauda’ itu ada obat untuk segala penyakit, kecuali kematian.” [H.R. Muslim dari sahabat Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu]

  • Kurma

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

“Sesungguhnya pada sebuah pohon {yakni pohon kurma} terkandung barokah seperti barokahnya seorang muslim.” [H.R. Al Bukhari dari sahabat Abdullah ibn Umar radliyallahu ‘anhuma]

5. Tabarruk dengan tempat-tempat tertentu.

Disana ada tempat-tempat mengandung barokah yang jika seorang muslim beramal di tempat tersebut ia akan mendapatkan barokah.

  • Semua Masjid
    • Masjidil Haram

Diantara tempat-tempat tersebut adalah Masjidil Haram yang pahala bagi seorang muslim yang shalat di dalamnya mencapai seratus ribu.

  • Masjid Nabawi

Demikian pula Masjid Nabawi yang pahalanya dihitung seribu shalat.

  • Masjidil Aqsha

Serta Masjid Al-Aqsha yang mencapai lima ratus shalat. Bahkan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad, An-Nasa’i dan Ibn Majah, dan hadits ini dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani, dari sahabat Sahl bin Hanif radliyallahu ‘anhuma dari ayahnya dengan lafazh:

“Barangsiapa yang ber-thaharah (bersuci-red) di rumahnya, kemudian mendatangi Masjid Quba`, kemudian ia shalat di dalamnya, maka baginya pahala sebagaimana pahala umrah.”

  • Kota Makkah (Mekah) dan Madinah

Demikian pula kota Madinah, Makkah dan Syam. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

“Sesungguhnya Ibrahim telah mengharamkan Mekkah dan mendoakan penduduknya. Dan seseungguhnya aku mengharamkan Madinah sebagaimana Ibrahim mengharamkan Mekkah. Dan aku berdoa di setiap sha’ dan mud Madinah semisal apa yang telah Ibrahim doakan untuk penduduk Mekkah.” [H.R. Muslim dari sahabat Abdullah Ibn Zaid Ibn ‘Ashim radliyallahu ‘anhu]

Dari sahabat Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

“Barangsiapa yang menginginkan kejelekan bagi penduduk Madinah, maka Allah akan melelehkannya sebagaimana melelehnya garam di dalam air.” [H.R. Muslim]

  • Negeri Syam (Syiria, Palestina)

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam juga bersabda:

“Beruntunglah negeri Syam.” Para sahabat bertanya: “Bagaimana bisa yang demikian itu?” Rasulullah bersabda: “Yang demkian itu dikarenakan malaikat rahmat membentangkan sayapnya di atas negeri Syam.” [H.R. Ahmad dan Al-Hakim dari sahabat Zaid Ibn Tsabit radliyallahu ‘anhu dan dishahihkan oleh Al-Hakim rahimahullah]

Oleh karena itu, barangsiapa tinggal di Mekkah, Madinah, atau Syam dalam rangka mencari barokah sebagaimana yang Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam sebutkan, maka sungguh ia telah mendapatkan taufik yang banyak. Berbeda halnya dengan orang-orang yang mencari barokah di negeri-negeri tersebut dengan cara-cara yang menyelisihi syariat, seperi ber-tabarruk dengan mengambil sebagian tanah atau pepohonan yang ada di sana atau yang lainnya yang tidak ada bimbingannya dalam syariat. Maka hal-hal seperti ini tidak akan bisa mendatangkan barokah, bahkan bisa terjatuh dalam perbuatan bid’ah, bahkan syirik.

6. Tabarruk dengan waktu-waktu tertentu.

Ada beberapa waktu yang Allah Allah Subhanallahu wa Ta’ala jadikan pada waktu-waktu tersebut sebagai waktu menuai barokah. Diantaranya adalah bulan Ramadhan yang didalamnya penuh dengan barokah, ampunan, serta rahmat dari Allah Subhanallahu wa Ta’ala.

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

“Barangsiapa berpuasa Ramadhan dengan penuh keimanan dan dengan penuh harapan untuk mendapatkan pahala maka dosanya yang telah lalu akan diampuni.” [H.R. Muslim dari sahabat Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu]

Demikian juga malam Lailatul Qadar. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
“Barangsiapa yang shalat pada malam lailatul qadar dengan penuh keimanan dan dengan penuh harapan untuk mendapatkan pahala, maka dosanya yang telah lalu akan diampuni.” [H.R. Muslim dari sahabat Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu]

Begitu pula waktu-waktu yang lainnya, seperti hari Jum’at, sepertiga malam yang akhir, sepuluh hari yang awal pada bulan Dzul Hijjah dan yang semisalnya.

Para pembaca -rahimakumullah- inilah beberapa hal yang berkaitan dengan penjelasan dan beberapa rangkaian didapatkannya barokah. Yang perlu untuk diingat adalah bahwa barokah tersebut tidak akan dapat diraih seorang muslim, kecuali jika ia mengamalkan dan menjalankan amalan-amalan yang bisa mendatangkan barokah tersebut dengan penuh keikhlasan, mencontoh apa yang telah dibimbingkan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam, serta menghilangkan penghalang-penghalang yang menyebabkan barokah itu tidak datang. Tidak sampai berlebih-lebihan atau bermudah-mudahan sehingga melewati batasan-batasan yang ada. Dikhawatirkan bukannya kebaikan yang akan datang, namun kejelekan yang akan diterima.

Kita berdoa kepada Allah Allah Subhanallahu wa Ta’ala agar terus diberi hidayah dan kelapangan hati untuk bisa menerima kebenaran, serta beramal dengan apa yang telah kita ketahui. Dan kita berharap hidup kita selama di dunia dibarokahi oleh-Nya.

Doa Barokah Untuk Kedua Mempelai

بَارَكَ اللهُ لَكَ وَبَارَكَ عَلَيْكَ وَجَامَعَ بينكما في خَيْر

“Semoga Allah memberkahimu dan melimpahkan berkah atasmu, dan mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan.”

[H.R. Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa`i (dalam “‘Amal Al-Yaum wa Al-Lailah“), Ibnu Majah, Ahmad, dan yang selainnya]




Menyelisik Kehidupan di Alam Kubur

Para pembaca, semoga Allah Subhanallahu wa Ta’ala merahmati kita semua. Kehidupan yang dialami oleh seorang manusia di dunia ini bukanlah sebuah kehidupan yang terus-menerus tiada berujung dan tiada penghabisan. Ia adalah sebuah kehidupan yang terbatas, berujung dan akan ada pertanggungjawabannya. Allah Subhanallahu wa Ta’ala berfirman (artinya):

“Setiap jiwa yang bernyawa pasti akan merasakan kematian.” (Ali ‘Imran: 185)

Maha Benar Allah Subhanallahu wa Ta’ala dengan segala firman-Nya! Kita dengar dan saksikan kilas kehidupan yang silih berganti dari masa ke masa. Perjalanan hidup umat manusia merupakan bukti bahwa seorang manusia, setinggi apapun kedudukannya dan sebanyak apapun hartanya, akan mengalami kematian dan akan meninggalkan kehidupan yang fana ini menuju kehidupan setelah kematian. Allah Subhanallahu wa Ta’ala berfirman tentang Rasul-Nya Shalallahu ‘alahi wa Sallam dan manusia yang lainnya dari generasi pertama sampai yang terakhir (artinya):

“Sesungguhnya engkau (wahai Muhammad) akan mati dan mereka juga akan mati.” (Az Zumar: 30)

Bukanlah berarti dengan kedudukan sebagai Rasulullah (utusan Allah) kemudian mendapatkan keistimewaan dengan hidup selamanya, akan tetapi sudah merupakan ketetapan dari Allah Subhanallahu wa Ta’ala atas seluruh makhluk-Nya yang bernyawa mereka akan menemui ajalnya.

Para pembaca, semoga Allah Subhanallahu wa Ta’ala merahmati kita semua. Pernahkah sejenak saja kita merenungkan bagaimana ketika maut sudah di hadapan kita? Ketika malaikat yang Allah Subhanallahu wa Ta’ala utus untuk mencabut nyawa sudah berada dihadapan kita. Tidak ada tempat bagi kita untuk menghindar walaupun ke dalam benteng berlapis baja, walaupun banyak penjaga yang siap melindungi kita. Sungguh tidak bisa dibayangkan kengerian dan dahsyatnya peristiwa yang bisa datang dengan tiba-tiba itu. Saat terakhir bertemu dengan orang-orang yang kita cintai, saat terakhir untuk beramal kebaikan, dan saat terakhir untuk melakukan berbagai kegiatan di dunia ini. Saat itu dan detik itu juga telah tegak kiamat kecil bagi seorang manusia yaitu dengan dicabut ruhnya dan meninggalkan dunia yang fana ini. Allahul Musta’an (hanya Allah Subhanallahu wa Ta’ala tempat meminta pertolongan).

Manusia yang beriman kepada Allah Subhanallahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya akan mendapatkan tanda-tanda kebahagiaan kelak di akhirat dengan akan diberi berbagai kemudahan ketika meninggal. Adapun orang-orang kafir yang ingkar, mendustakan Allah Subhanallahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya, maka ia akan mendapatkan tanda-tanda kejelekan ketika meninggal dunia dan bahkan akan ditimpakan adzab di alam kubur.

Alam Kubur

Setelah seorang hamba meregang nyawa dan terbujur kaku, maka ia akan diantarkan oleh sanak saudara dan teman-temannya menuju “tempat peristirahatan sementara” dan akan ditinggal sendirian di sebuah lubang yang gelap sendirian. Sebuah tempat penantian menuju hari dibangkitkan dan dikumpulkannya manusia di hari kiamat kelak, pembatas antara alam dunia dan akhirat, Allah Subhanallahu wa Ta’ala berfirman (artinya):

“Dan dihadapan mereka ada dinding (alam kubur/barzakh) sampai mereka dibangkitkan.” (Al-Mukminun: 100)

Di antara peristiwa yang akan dialami oleh setiap manusia di alam kubur adalah:

1. Fitnah kubur

Pertanyaan dua malaikat kepada mayit tentang siapa Rabbmu (Tuhanmu)?, apa agamamu?, dan siapa Nabimu? Rasulullah Shalallahu ‘alahi wa Sallam bersabda:

« إِذَا قُبِرَ الْمَيِّتُ - أَوْ قَالَ أَحَدُكُمْ - أَتَاهُ مَلَكَانِ أَسْوَدَانِ أَزْرَقَانِ يُقَالُ لأَحَدِهِمَا الْمُنْكَرُ وَالآخَرُ النَّكِيرُ »

“Apabila mayit telah dikuburkan -atau beliau bersabda: (apabila) salah seorang dari kalian (dikuburkan)- dua malaikat yang berwarna hitam kebiru-biruan akan mendatanginya salah satunya disebut Al-Munkar dan yang lainnya An-Nakir.” (At-Tirmidzi no. 1092)

Adapun seorang hamba yang mukmin, maka ia akan menjawab pertanyaan tersebut sebagaimana dalam potongan hadits Al-Barra’ bin ‘Azib radliyallahu ‘anhu yang panjang: “Maka dua malaikat mendatanginya (hamba yang mukmin) kemudian mendudukkannya dan bertanya: “Siapa Rabbmu (Tuhanmu)? Ia menjawab: “Allah Rabbku; kemudian kedua malaikat itu bertanya lagi: “Apa agamamu? Ia menjawab: “Islam agamaku; kemudian keduanya bertanya lagi: “Siapa laki-laki yang diutus kepada kalian ini? Ia menjawab: “Dia Rasulullah Shalallahu ‘alahi wa Sallam; Maka itu adalah firman Allah Subhanallahu wa Ta’ala (artinya):

“Allah meneguhkan orang-orang yang beriman dengan perkataan yang kokoh..” (Ibrahim: 27)

Perkataan yang kokoh dalam ayat di atas adalah kalimat tauhid (Laa ilaaha illallaah) yang menghunjam dalam dada seorang mukmin. Allah Subhanallahu wa Ta’ala meneguhkan seorang mukmin dengan kalimat tersebut di dunia dengan segala konsekuensinya, walaupun diuji dengan berbagai halangan dan rintangan. Adapun di akhirat, Allah Subhanallahu wa Ta’ala akan meneguhkannya dengan kemudahan menjawab pertanyaan dua malaikat di alam kubur.

Sedangkan seorang kafir dan munafik, ketika ditanya oleh dua malaikat: “Siapa Rabbmu (Tuhanmu)? Ia menjawab: “Ha…Ha, saya tidak tahu; kemudian ia ditanya: “Apa agamamu? Ia menjawab: “Ha…Ha, saya tidak tahu, kemudian ia ditanya: “Siapa laki-laki yang telah diutus kepada kalian ini? Ia menjawab: “Ha…Ha, saya tidak tahu. Kemudian terdengar suara dari langit: “Dia telah berdusta! Bentangkan baginya alas dari neraka! Bukakan baginya pintu yang menuju neraka!; Kemudian panasnya neraka mendatanginya, dipersempit kuburnya hingga terjalin tulang-tulang rusuknya karena terhimpit kubur.”

Itulah akibat mendustakan Allah dan Rasul-Nya. Walaupun di dunia ia adalah orang yang paling fasih dan pintar bicara, namun jika ia tidak beriman, maka ia tidak akan dapat menjawab pertanyaan dua malaikat tersebut. Kemudian ia akan dipukul dengan pemukul besi sehingga ia menjerit dengan jeritan yang keras yang didengar oleh semua makhluk, kecuali jin dan manusia.

Para pembaca, semoga Allah Subhanallahu wa Ta’ala merahmati kita semua. Kejadian di atas mempunyai hikmah besar tentang keimanan kepada yang gaib, yang tidak kasat mata dan tidak dapat ditangkap oleh pancaindra kita. Apabila jin dan manusia bisa mendengar dan melihatnya, niscaya mereka akan beriman dengan sebenar-benar keimanan. Oleh karena itu, Allah Subhanallahu wa Ta’ala menjelaskan ciri-ciri orang yang bertakwa diantaranya adalah beriman dengan yang gaib. Allah Subhanallahu wa Ta’ala berfirman (artinya):

“Alif Lam Mim, Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib…” (Al-Baqarah: 1-3)

2. Adzab dan nikmat kubur

Setelah mayit mengalami ujian dengan menjawab pertanyaan dua malaikat di alam kubur, jika berhasil, ia akan mendapatkan kenikmatan di alam kubur; dan jika tidak bisa, ia akan mendapatkan siksa kubur.

Bagi yang bisa menjawab pertanyaan kedua malaikat tersebut, ia akan mendapatkan kenikmatan di kuburnya. Rasulullah Shalallahu ‘alahi wa Sallam melanjutkan sabdanya: “Kemudian terdengar suara dari langit: “Telah benar hamba-Ku! Maka bentangkan baginya kasur dari surga! Pakaikan padanya pakaian dari surga! Bukakan baginya pintu yang menuju surga!; Kemudian aroma wangi surga mendatanginya, diperluas kuburnya sampai sejauh mata memandang, dan seorang laki-laki yang bagus wajah dan bajunya serta wangi aroma tubuhnya mendatanginya dan berkata: “Bergembiralah dengan apa yang menyenangkanmu! Ini adalah hari yang telah dijanjikan bagimu. Maka ia berkata: “Siapa engkau? Wajahmu mendatangkan kebaikan. Laki-laki itu menjawab: “Saya adalah amalan sholihmu. Kemudian dibukakan pintu surga dan pintu neraka, dan dikatakan: “Ini adalah tempatmu jika engkau bermaksiat kepada Allah, Allah akan mengganti dengannya. Ketika melihat segala sesuatu yang ada di surga, ia berkata: “Wahai Rabb-ku, segerakan hari kiamat! Agar aku bisa kembali kepada keluarga dan hartaku.”

Adapun orang yang tidak bisa menjawab pertanyaan dua malaikat, maka ia akan mendapatkan siksa kubur, sebagaimana kelanjutan dari hadits di atas: “Kemudian terdengar suara dari langit: “Dia telah berdusta! Bentangkanlah baginya alas dari neraka! Bukakanlah baginya pintu menuju neraka!; Kemudian panasnya neraka mendatanginya, dipersempit kuburnya hingga terjalin tulang-tulang rusuknya karena terhimpit kuburnya. Kemudian seorang laki-laki yang buruk wajah dan bajunya, serta busuk aroma tubuhnya mendatanginya dan mengatakan: “Bersedihlah dengan segala sesuatu yang menyusahkanmu! Ini adalah hari yang telah dijanjikan bagimu. Maka ia berkata: “Siapa engkau? Wajahmu mendatangkan keburukan. Laki-laki itu menjawab: “Saya adalah amalan jelekmu, Allah membalasmu dengan kejelekan, kemudian Allah mendatangkan baginya seorang yang buta, tuli, bisu, dengan memegang sebuah pemukul, yang jika dipukulkan ke gunung niscaya akan hancur menjadi debu. Kemudian ia dipukul dengan sekali pukulan sampai menjadi debu. Kemudian Allah mengembalikan tubuhnya utuh seperti semula, dan dipukul lagi dan ia menjerit hingga didengar seluruh makhluk kecuali jin dan manusia. Kemudian dibukakan pintu neraka baginya, sehingga ia berkata: “Wahai Rabb-ku, jangan tegakkan hari kiamat!” (HR. Abu Dawud, Al-Hakim, Ath-Thayalisi, dan Ahmad)

Hadits Al-Barra’ bin ‘Azib radliyallahu ‘anhu di atas dengan gamblang menjelaskan tentang segala sesuatu yang akan dialami oleh manusia di alam kuburnya. Wajib bagi kita untuk beriman dengan berita tersebut dengan tidak menanyakan tata cara, bentuk, dan yang lainnya, karena hal tersebut tidak terjangkau oleh akal-akal manusia dan merupakan hal gaib yang hanya diketahui oleh Allah Subhanallahu wa Ta’ala. Sangat sedikit dari hal gaib tersebut yang diperlihatkan kepada para Nabi ‘alaihimussalam. Allah Subhanallahu wa Ta’ala berfirman (artinya):

“(Dialah Tuhan) Yang Mengetahui yang gaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang gaib itu. Kecuali pada Rasul yang diridhai-Nya.” (Al-Jin: 26-27)

Maka dari itu, apa yang diyakini oleh kaum Mu’tazilah dan yang bersamanya, bahwa adzab kubur dan nikmat kubur tidak ada, merupakan kesalahan dalam hal aqidah, karena hadits tentang masalah ini sampai pada tingkatan mutawatir (bukan ahad). Bahkan dalam Al-Qur`an telah disebutkan ayat-ayat tentangnya, seperti firman Allah Subhanallahu wa Ta’ala (artinya):

“Kepada mereka ditampakkan neraka pada pagi dan petang, dan pada hari terjadinya kiamat (dikatakan kepada malaikat): “Masukkanlah Fir’aun dan kaumnya ke dalam azdab yang sangat keras.” (Al-Mu’min: 46),

Kemudian firman Allah Subhanallahu wa Ta’ala (artinya):

“Dan sesungguhya Kami merasakan kepada mereka sebagian adzab yang dekat sebelum adzab yang lebih besar.” (As-Sajdah: 21).

Sebagian ulama menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan adzab yang dekat dalam ayat tersebut adalah adzab kubur.

Penutup

Para pembaca, semoga Allah Subhanallahu wa Ta’ala merahmati kita semua. Penjelasan di atas hanyalah sekelumit dari apa yang akan dialami manusia di alam kubur nanti. Pastilah seorang hamba yang beriman dan cerdas akan bersiap-siap dengan berbagai amalan sholih sebagai bekal di akhirat kelak, termasuk ketika di alam kubur. Dan memperbanyak do’a memohon perlindungan dari adzab kubur dengan do’a:

اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ، وَمِنْ عَذَابِ النَّارِ، وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ، وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ

“Ya Allah sesungguhnya aku meminta perlindungan dari adzab kubur, dari adzab neraka, dari fitnah kehidupan dan kematian, dan dari fitnah Al-Masih Ad-Dajjal.” (HR. Al-Bukhari no.1377)

Semoga Allah Subhanallahu wa Ta’ala senantiasa melindungi kita dari berbagai ujian, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, hingga kita menghadap-Nya, dan memberikan kepada kita kecintaan untuk bertemu dengan-Nya ketika kita akan meninggalkan kehidupan yang fana ini menuju kehidupan kekal abadi. Amin Ya Rabbal ‘Alamin.

MUTIARA HADITS SHAHIH

Pernah Rasulullah Shalallahu ‘alahi wa Sallam ketika melewati dua buah kuburan bersabda:

«أَمَا إِنَّهُمَا لَيُعَذَّبَانِ وَمَا يُعَذَّبَانِ فِى كَبِيرٍ أَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ يَمْشِى بِالنَّمِيمَةِ وَأَمَّا الآخَرُ فَكَانَ لاَ يَسْتَتِرُ مِنْ بَوْلِهِ»

و ﰲ رواية: لاَ يَسْتَنزِهُ مِن بَوْلِهِ

“Ingatlah! Sesungguhnya kedua orang ini sedang diadzab; dan tidaklah mereka diadzab disebabkan dosa besar (menurut persangkaan mereka). Adapun salah satunya, semasa hidupnya ia melakukan namimah (mengadu domba); sedangkan yang satunya, semasa hidupnya ia tidak menjaga auratnya ketika buang air kecil.” (HR. Muslim no.703 dari shahabat Ibnu Abbas radliyallahu ‘anhuma)

Dalam riwayat lain: “tidak bersih saat bersuci dari buang air kecil.”




Meningkatkan Ketakwaan kepada Allah

‘azza wajalla

Para pembaca rahimakumullah semoga Allah menerima amalan-amalan kita dan mengampuni dosa-dosa kita dengan ibadah puasa Ramadhan yang telah kita laksanakan serta mengabulkan doa-doa kita.

Takwa, suatu istilah yang pendengaran kita kerap mendengarnya, karena kata takwa merupakan istilah yang pendek akan tetapi sangat besar kandungannya dan orang yang bertakwa akan meraih kebaikan dunia dan akhirat. Untuk lebih memahami kandungannya mari kita ikuti pembahasan berikut ini.

Makna Takwa

Para ulama telah banyak yang memberikan pengertian tentang takwa diantaranya adalah perkataan Thalq bin Habib rahimahullah, beliau mengatakan: “Takwa yaitu melakukan ketaatan kepada Allah berdasarkan ilmu yang datang dari Allah semata-mata mengharap pahala dari-Nya. Dan meninggalkan kemaksiatan kepada Allah berdasarkan ilmu yang datang dari Allah karena takut akan adzab-Nya.”

Jika demikian, begitu tingginya nilai ketakwaan disisi Allah ‘azza wa jalla. Bahkan tujuan diwajibkannya puasa Ramadhan yang baru saja kaum muslimin melaksanakannya adalah agar mereka bertakwa kepada Allah ‘azza wa jalla, sebagaimana firman-Nya (yang artinya):

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa.” (Al-Baqarah: 183)

Ketakwaan yang dimaksud bukan hanya di bulan Ramadhan saja namun juga di selain bulan Ramadhan. Oleh karenanya, tidak benar anggapan bahwa bertakwa kepada Allah cukup di bulan Ramadhan, sementara setelah keluar dari bulan itu merasa bebas sehingga kembali melakukan berbagai dosa dan kemaksiatan dengan anggapan dosanya akan diampuni dengan melaksanakan puasa Ramadhan di tahun yang akan datang. Hal ini karena Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:

« مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ »

“Barangsiapa puasa Ramadhan karena iman dan mengharap pahala hanya dari Allah, niscaya akan diampuni dosanya yang lalu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Perlu diketahui bahwa ampunan yang dimaksud dalam hadits di atas adalah ampunan bagi dosa-dosa kecil, bukan dosa besar. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam:

الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ وَالْجُمُعَةُ إِلَى الْجُمُعَةِ وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتَنَبَ الْكَبَائِرَ .

“Shalat lima waktu, Jum’at ke Jum’at berikutnya, Ramadhan ke Ramadhan berikutnya sebagai penebus dosa yang terjadi diantara keduanya apabila dijauhi dosa-dosa besar.” (HR. Muslim no.233)

Sedangkan dosa besar tidak akan diampuni, kecuali pelakunya bertaubat dengan taubat yang tulus (taubatan nashuhan). Perintah untuk bertakwa kepada Allah azza wa jalla sangat banyak dalam Al-Qur’an. Diantaranya firman Allah azza wa jalla (yang artinya): “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kalian mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (Ali ‘Imran: 102)

Dan juga firman-Nya (yang artinya):

“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Rabb-kalian yang telah menciptakan kalian dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kalian saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kalian.” (An-Nisa’: 1)

Dan firman-Nya pula (yang artinya):

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki amalan-amalan kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian. Dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” (Al-Ahzab: 70-71)

Para pembaca yang semoga dirahmati Allah, ketiga ayat di atas sering dibaca Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam pembukaan khuthbahnya yang dikenal dengan KHUTHBATUL HAAJAH. Hal ini menunjukkan pentingnya takwa sehingga beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam sering kali mengingatkan kaum muslimin untuk senantiasa bertakwa kepada Allah azza wa jalla.

Kedudukan Takwa

- Takwa adalah sebaik-sebaik bekal

Para pembaca rahimakumullah, ketahuilah! Bekal yang terbaik bagi seorang hamba untuk meraih kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat kelak adalah bekal ketakwaan kepada Allah. Sebagaimana telah Allah azza wa jalla jelaskan dalam firman-Nya (yang artinya): “Dan Sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku Hai orang-orang yang berakal.” (Al-Baqaroh: 197)

Al-Imam As-Sa’di rahimahullah ketika menafsirkan ayat tersebut mengatakan: “Adapun bekal yang sebenarnya yang manfaatnya terus berlanjut bagi pelakunya di dunia maupun di akhirat adalah bekal ketakwaan (kepada Allah azza wa jalla), yaitu bekal untuk kampung akhirat yang kekal yang mengantarkan kepada kelezatan yang sempurna dan kepada kenikmatan yang terus-menerus. Barangsiapa yang meninggalkan bekal ini, maka dia akan terputus dengannya yang berarti ini menjadi peluang bagi setiap kejelekan (untuk menjangkitinya), dan dia tercegah untuk sampai ke kampung orang-orang yang bertakwa (Al-Jannah/surga-red). Ini adalah pujian bagi sifat takwa.” (lihat Taisiru Al-Karimi Ar-Rahman, halaman 91)

- Kemuliaan hanya akan dapat diraih dengan ketakwaan

Para pembaca semoga Allah memuliakan kita semua, setiap orang pasti menginginkan kemuliaan dan tidak menyukai kehinaan. Lalu dengan apa seseorang menjadi mulia? Kemuliaan hanya dapat diraih dengan ketakwaan yang sebenar-benarnya, dan bukan dengan banyaknya harta atau dengan tingginya kedudukan. Hanya dengan ketakwaan seseorang akan mulia disisi Allah, sebagaimana telah Allah azza wa jalla jelaskan dalam Al-Qur’an (yang artinya):

“Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kalian disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kalian. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Al-Hujurat: 13)

Kapan dan dimana kita bertakwa?

Saudaraku, ketahuilah! bahwa Allah azza wa jalla Maha Mengetahui dan Maha Melihat, baik yang kecil maupun yang besar, yang jauh maupun yang dekat, yang tampak maupun yang tersembunyi. Semua itu dilihat dan diketahui oleh Allah azza wa jalla. Diantara sifat-sifat-Nya yang lain adalah bahwa Allah azza wa jalla Maha Mendengar, baik suara itu pelan ataupun keras. Allah azza wa jalla berfiman (yang artinya):

“Dan jika kamu mengeraskan ucapanmu, Maka Sesungguhnya Dia mengetahui rahasia dan yang lebih tersembunyi.” (Thaha: 7)

Bahkan Allah azza wa jalla Mengetahui apa yang terlintas dalam hati seseorang, sebagaimana firman-Nya (yang artinya):

“Sesungguhnya Allah mengetahui yang tersembunyi di langit dan di bumi. Sesungguhnya Dia Maha mengetahui segala isi hati.” (Faathir: 38)

Oleh karena itu, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam berwasiat agar kita bertakwa kepada Allah azza wa jalla dimanapun dan kapanpun kita berada. Beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

« اتَّقِ اللَّهَ حَيْثُمَا كُنْتَ، وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمحُهَا، وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ »

“Bertakwalah engkau kepada Allah dimana saja kamu berada, ikutilah kejelekan dengan kebaikan, niscaya kebaikan (amal sholih) tersebut akan menghapuskannya (perbuatan jelek-red); dan bergaullah dengan orang lain dengan akhlak yang baik.” (HR. At-Tirmidzi no.1987)

Kita diperintahkan untuk bertakwa kepada Allah dimana saja kita berada, baik dalam keadaan sendirian ataupun ditengah orang banyak, karena Allah azza wa jalla Melihat dan Mengawasi kita dimana dan kapanpun kita berada.

Janji Allah Bagi Orang Yang Bertakwa

Allah azza wa jalla telah banyak menyebutkan janji-janji-Nya dalam Al-Qur’an bagi orang-orang yang bertakwa, dan Allah azza wa jalla tidak akan pernah mengingkari janji-Nya. Diantara janji-janji-Nya adalah:

1. Akan diberi jalan keluar dari kesulitan yang dia alami dan diberi rizki dari arah yang tidak disangka-sangka. Allah azza wa jalla berfirman (yang artinya):

“Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan (Dia akan) memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (Ath-Thalaq: 2-3)

2. Akan dimudahkan segala urusannya. Hal tersebut sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Allah azza wa jalla dalam firman-Nya (yang artinya):

“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.” (Ath-Thalaq: 4)

3. Akan diampuni dosanya dan diberi pahala yang besar. Sebagaimana firman Allah azza wa jalla (yang artinya):

“Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya dia akan menghapus kesalahan-kesalahannya dan akan melipat gandakan pahala baginya.” (Ath-Thalaq: 5)

4. Akan dimasukkan ke dalam surga yang penuh dengan kenikmatan dan kelezatan serta penuh dengan ampunan. Allah azza wa jalla telah menjelaskan dalam firman-Nya (yang artinya):

“(Apakah) perumpamaan (penghuni) jannah yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertakwa yang di dalamnya ada sungai-sungai dari air yang tiada berubah rasa dan baunya, sungai-sungai dari air susu yang tidak berubah rasanya, sungai-sungai dari khamar yang lezat rasanya bagi peminumnya dan sungai-sungai dari madu yang disaring; dan mereka memperoleh di dalamnya segala macam buah-buahan dan ampunan dari Rabb mereka sama dengan orang yang kekal dalam Jahannam dan diberi minuman dengan air yang mendidih sehingga memotong-motong ususnya?” (Muhammad: 15)

Penutup

Para pembaca semoga Allah senantiasa mencurahkan rahmat-Nya bagi kita semua. Itulah sekilas pembahasan tentang takwa. Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat bagi kita semua, dan semoga dapat mendorong kita untuk meningkatkan ketakwaan kepada Allah azza wa jalla. Semoga Allah azza wa jalla memberi kemampuan kepada kita untuk melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya, serta menggolongkan kita ke dalam golongan orang-orang yang bertakwa yang akan meraih Al-Jannah (surga) yang penuh dengan kenikmatan. Amiin Ya Rabbal ‘alamiin.





SIKAP SYAIKHUL ISLAM IBNU TAIMIYAH DAN ‘ULAMA ISLAM DARI SERUAN KEBEBASAN BERAGAMA

Sikap Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan ulama islam dari seruan kebebasan beragama, persaudaraan dan persamaan agama

بسم الله الرحمن الرحيم

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن اتبع هداه .

أما بعد :

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam majmu’ fatawa (28:523-525) tatkala Beliau berbicara tentang agama dan keyakinan bangsa Tatar Dan persamaan mereka terhadap semua agama:

Mereka mengaku beragama Islam namun mereka memuliakan agama orang- orang kafir diatas agama kaum muslimin, mereka taat dan bersikap loyal kepada orang- orang kafir itu melebihi ketaatan mereka kepada Allah Dan Rasul-Nya Dan sikap loyalnya kepada kaum musimin. Mereka berhukum dengan hukum jahiliah terhadap perselisihan yang terjadi diantara mereka dan bukan dengan hukum Allah. Demikian pula para pembesar dari para menteri dan yang lainnya yang menjadikan agama Islam seperti agama yahudi dan Nashara dan bahwa itu semua merupakan jalan menuju Allah yang kedudukannya seperti empat mazhab dikalangan kaum muslimin.

Kemudian diantara mereka ada yang Lebih menguatkan agama yahudi atau agama nashara Dan diantara mereka pula Ada yang menguatkan agama kaum muslimin. Ucapan ini menyebar Dan mendominasi mereka sampai dikalangan para fuqaha dan ahli ibadahnya, lebih terkhusus lagi kaum jahmiyah Dari kalangan wihdatul wujud, atau fir’auniyah Dan yang semisalnya , dimana keyakinan filsafat lebih mendominasi mereka.Ini merupakan pendapat kebanyakan kaum filsafat atau mayoritas mereka, dan ini merupakan pendapat kebanyakan kaum nashara atau mayoritas mereka Dan juga kaum yahudi. Bahkan jika seseorang berkata: bahwa mayoritas tokoh mereka dari kalangan ahli fikih Dan ahli ibadahnya mereka diatas prinsip ini, hal itu tidak jauh dari kebenaran.

Dan sungguh aku telah melihat dan mendengar Hal itu yang tidak mencukupi tempat ini untuk menjelaskannya.

Merupakan hal yang telah dimaklumi secara pasti dalam agama islam dan berdasarkan kesepakatan seluruh kaum muslimin bahwa siapa yang membenarkan untuk mengikuti selain agama islam atau mengikuti syari’at selain syari’at Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam maka dia kafir, dan kekafirannya seperti orang yang beriman kepada sebagian al- kitab dan mengingkari sebagian lainnya , sebagaimana firman Allah Ta’la:

{ إنَّ الَّذِينَ يَكْفُرُونَ بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ وَيُرِيدُونَ أَنْ يُفَرِّقُوا بَيْنَ اللَّهِ وَرُسُلِهِ وَيَقُولُونَ نُؤْمِنُ بِبَعْضٍ وَنَكْفُرُ بِبَعْضٍ وَيُرِيدُونَ أَنْ يَتَّخِذُوا بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلًا } { أُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ حَقًّا وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا مُهِينًا } .

“sesungguhnya orang- orang kafir terhadap Allah dan para rasul-Nya dan mereka ingin membedakan antara Allah dan para rasul-Nya dan mengatakan: kami beriman kepada sebagian dan mengingkari sebagian dan mereka ingin menjadikan diantaranya sebagai jalan. Mereka itulah orang kafir sebenar- benarnya dan Kami telah menyiapkan bagi orang- orang kafir tersebut azab yang pedih.”

Kaum Yahudi dan Nashara termasuk didalamnya, demikian pula kaum filosof yang beriman kepada sebagian dan mengkufuri sebagian. Siapa yang menjadi filosof dari kalangan yahudi dan nashara maka dia menjadi kafir dari dua arah.

Mereka ini mayoritas para menteri mereka yang menuangkan pendapatnya adalah orang yang berasal dari jenis ini, dimana dia sebelumnya seorang yahudi filosofi kemudian menisbatkan dirinya kepada islam sementara masih terdapat karakter yahudi dan filsafat pada dirinya, ditambah lagi adanya pemikiran rafidhah pada diri mereka.

Inilah yang paling mulia menurut mereka dari kalangan ilmuwannya dan yang paling ditokohkan dari para pejuangnya, maka hendaklah seorang mukmin mengambil pelajaran dari hal ini.

Kesimpulannya, tidaklah muncul kemunafikan, zindiq, dan penyelewengan syariat melainkan bagian dari mengikuti kaum Tatar, sebab mereka adalah makhluk yang paling jahil dan paling sedikit ilmunya dalam agama dan paling jauh dari mengikuti Rasul Shallallahu Alaihi Wasallam, dan makhluk yang paling suka mengikuti prasangka dan hawa nafsu .







PEMBAGIAN TAUHID dan Penyimpangan-Penyimpangannya

Para pembaca semoga Allah ‘Azza wa Jalla senantiasa mencurahkan rahmat-Nya kepada kita semua.

Para ulama Ahlus Sunnah Wal Jama’ah baik dari kalangan salaf maupun khalaf setelah meneliti dalil-dalil baik dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah tentang Tauhid mereka menyimpulkan bahwa Tauhid itu dibagi menjadi tiga, yaitu Tauhid Rububiyyah, Tauhid Uluhiyyah dan Tauhid Al-Asma’ Wa Ash Shifat.

Diantara Pernyataan Ulama Salaf Tentang Pembagian Tauhid

1. Al-Imam Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad Ath-Thahawi rahimahullah (wafat tahun 321 H).

Dalam salah satu karya monumentalnya, Al-’Aqidah Ath-Thahawiyyah, Al-Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi menegaskan:

“Kita katakan tentang tauhidullah dalam keadaan meyakini dengan taufiq Allah, bahwa sesungguhnya Allah adalah Esa tidak ada sekutu bagi-Nya, tidak ada sesuatupun yang semisal dengan-Nya, tidak ada sesuatupun yang bisa mengalahkannya, tidak ada ilah selain Dia.”

Penjelasan tentang pernyataan Al-Imam Ath-Thahawi rahimahullah

Allah adalah Esa tidak ada sekutu bagi-Nya” meliputi tiga jenis tauhid sekaligus, karena Allah Esa dalam Rububiyyah-Nya, dalam Uluhiyyah, dan dalam Al-Asma wa Ash-Shifat -Nya.

Tidak ada sesuatupun yang semisal dengan-Nya” ini adalah Tauhid Al-Asma` wa Ash-Shifat

Tidak ada sesuatupun yang bisa mengalahkannya“, ini adalah Tauhid Ar-Rububiyyah.

Tidak ada ilah selain Dia” ini adalah Tauhid Al-Uluhiyyah.

2. Al-Imam ‘Ubaidullah bin Muhammad bin Baththah Al-’Ukbari rahimahullah (wafat tahun 387 H) dalam karya besarnya yang berjudu l-Ibanatul Kubra, beliau mengatakan: “Bahwa dasar iman kepada Allah yang wajib atas makhluk (manusia dan jin) untuk meyakininya dalam menetapkan keimanan kepada-Nya, ada tiga hal:

Pertama: Seorang hamba harus meyakini Rububiyyah-Nya, yang dengan itu dia menjadi berbeda dengan atheis yang tidak menetapkan adanya pencipta.

Kedua: Seorang hamba harus meyakini Wahdaniyyah-Nya, yang dengan itu dia menjadi berbeda dengan jalannya orang-orang musyrik yang mengakui sang Pencipta namun menyekutukan-Nya dengan beribadah kepada selain-Nya.

Ketiga: Meyakini bahwa Dia bersifat dengan sifat-sifat yang Dia harus bersifat dengannya, berupa sifat Ilmu, Qudrah, Hikmah, dan semua sifat yang Dia menyifati diri-Nya dalam kitab-Nya.”

Penjelasan Tentang Makna Tiga Macam Tauhid tersebut

1. Tauhid Ar-Rububiyyah, adalah keyakinan bahwa Allah Azza wa Jalla adalah satu-satunya Rabb. Makna Rabb adalah Dzat yang Maha Menciptakan, yang Maha Memiliki dan Menguasai, serta Maha Mengatur seluruh ciptaan-Nya. Ayat-ayat yang menunjukkan tauhid Ar-Rububiyyah sangat banyak, di antaranya (artinya):

“Sesungguhnya Rabb kalian hanyalah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam hari, lalu Dia beristiwa` di atas ‘Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat. (Diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (semuanya) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, hak mencipta dan memerintah hanyalah milik Allah. Maha Suci Allah, Rabb semesta alam. [Al-A’raf: 54]

Kaum musyrikin Quraisy juga mengakui Tauhid Rububiyyah berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla (artinya):

Dan Sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: “Siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?” tentu mereka akan menjawab: “Allah”, Maka betapakah mereka (dapat) dipalingkan (dari jalan yang benar).[Al-’Ankabut: 61]

Dari ayat diatas bisa disimpulkan bahwa kaum musyrikin mengakui bahwa hanya Allah-lah satu-satunya Yang Maha Menciptakan, Maha Mengatur, dan Maha Memberi Rizki. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 6/294)

Penyimpangan Dalam Tauhid Rububiyyah

Penyimpangan dalam tauhid rububiyyah yaitu dengan meyakini adanya yang menciptakan, menguasai, dan mengatur alam semesta ini selain Allah Azza wa Jalla dalam hal yang hanya dimampui oleh Allah Azza wa Jalla.

Seperti keyakinan bahwa penguasa dan pengatur Laut Selatan adalah Nyi Roro Kidul. Ini suatu keyakinan yang bathil. Barangsiapa meyakini bahwa penguasa dan pengatur laut selatan adalah Nyi Roro Kidul maka dia telah berbuat syirik (menyekutukan Allah Azza wa Jalla) dalam Rububiyyah-Nya. Karena hanya Allah-lah Yang Menguasai dan Mengatur alam semesta ini.

Begitu juga barangsiapa meyakini bahwa yang mengatur padi-padian adalah Dewi Sri, berarti ia telah syirik dalam hal Rububiyyah-Nya, karena hanya Allah-lah Yang Maha Menciptakan dan Mengatur alam semesta ini.

Meyakini bahwa benda tertentu bisa memberi perlindungan dan pertolongan terhadap dirinya seperti jimat, keris, cincin, batu, pohon, dan lain-lain.

Serta keyakinan bahwa sebagian para wali bisa memberi rizki, dan bisa pula memberi barokah, juga termasuk kesyirikan dalam Rububiyyah-Nya.

2. Tauhid Al-Uluhiyyah, adalah keyakinan bahwa Allah Azza wa Jalla adalah satu-satu-Nya Dzat yang berhak diibadahi dengan penuh ketundukan, pengagungan, dan kecintaan. Dinamakan juga dengan Tauhidul ‘Ibadah atau Tauhidul ‘Ubudiyyah, karena hamba wajib memurnikan ibadahnya hanya kepada Allah Azza wa Jalla semata. Ayat-ayat Al-Qur`an yang menunjukkan tauhid jenis ini sangat banyak, diantaranya:

“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah yang berhak diibadahi kecuali Allah.” [Muhammad: 19]

Juga firman Allah Azza wa Jalla:

“Beribadahlah kalian hanya kepada Allah dan jangan menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.” [An-Nisa`: 36]

Rabbul ‘Alamin adalah satu-satu-Nya Dzat yang berhak dan pantas untuk diibadahi. Oleh karena itu, Allah Azza wa Jalla memerintahkan umat manusia untuk beribadah hanya kepada-Nya, karena Dia adalah Rabb. Termasuk juga Allah Azza wa Jalla memerintahkan kepada kaum musyrikin arab, yang mengakui bahwa Allah Azza wa Jalla sebagai Rabb satu-satunya, untuk mereka beribadah hanya kepada-Nya. Allah Azza wa Jalla berfirman:

“Wahai umat manusia, beribadahlah kalian kepada Rabb kalian.” [Al-Baqarah: 21]

Penyimpangan-penyimpangan dalam tauhid uluhiyyah.

Penyimpangan dalam tauhid jenis ini yaitu dengan memalingkan ibadah kepada selain Allah Azza wa Jalla seperti berdoa kepada kuburan atau ahli kubur, meminta pertolongan kepada jin, meminta barokah kepada orang tertentu, menyandarkan nasibnya (bertawakkal) kepada benda tertentu, seperti batu, jimat, cincin, keris, dan semacamnya. Karena do’a dan tawakkal termasuk ibadah, maka harus ditujukan hanya kepada Allah Azza wa Jalla semata.

3. Tauhid Al-Asma` wa Ash-Shifat, adalah keyakinan bahwa Allah Azza wa Jalla memiliki nama-nama yang indah (al-asma`ul husna) dan sifat-sifat yang mulia sesuai dengan keagungan dan kemuliaan-Nya, sebagaimana yang Allah Azza wa Jalla beritakan dalam Al-Qur`an, atau sebagaimana yang diberitakan oleh Rasulullah r dalam hadits-haditsnya yang shahih. Sekaligus meyakini dan beriman bahwa tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Allah Azza wa Jalla.

Di antara sekian banyak ayat Al-Qur`an yang menunjukkan tauhid ini, firman Allah Azza wa Jalla:

“Hanya milik Allah al-asma`ul husna, maka berdo’alah kalian kepada-Nya dengan menyebutnya (al-asma`ul husna) dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (mengimani) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” [Al-A’raf: 180]

Allah Azza wa Jalla berfirman:

“Tidak ada sesuatupun yang menyerupai Allah dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” [Asy Syura: 11]

Penyimpangan dalam tauhid Al-Asma’ wa Ash Shifat:

- Tidak meyakini bahwa Allah Azza wa Jalla mempunyai sifat-sifat yang sempurna tersebut. Padahal telah disebutkan dalam Al-Qur’an atau dalam hadits Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam yang shahih.

- Menyerupakan sifat-sifat Allah Azza wa Jalla dengan sifat-sifat makhluk-Nya. Padahal Allah Azza wa Jalla telah berfiman (artinya):

“Tidak ada sesuatupun yang menyerupai Allah dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” [Asy Syura: 11].

- Menyelewengkan atau menta’wil makna Al-Asma’ul Husna, yang berujung pada peniadaan sifat-sifat Allah Azza wa Jalla.

- Menentukan cara dari sifat-sifat Allah Azza wa Jalla, yang bermuara pada penyerupaan dengan makhluk-Nya.

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab







Jin itu berbentuk hawa atau jasad?

Faidah dari Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam hafizhahullah.

بسم الله الرحمن الرحيم

Pertanyaan: Jin itu berbentuk hawa atau jasad?

Jawaban: Jin itu berbentuk jasad dengan berbagai macam jenisnya. Diriwayatkan oleh Ath-Thabrany (22/214-215) no. 573, Al-Baihaqy dalam Al-Asma’ wa Ash-Shifat no. 827 dan Al-Hakim (2/456) dari Abu Tsa’labah, dan dishahihkan oleh Al-Albany dalam ta’liqnya terhadap Al-Misykah no. 4148 dan Syaikh kami Al-Wadi’y dalam Ash-Shahih Al-Musnad Mimma Laisa Fii Ash-Shahihain no. 1213, bahwa Rasulullah ‘alaihi shalatu wa salam bersabda;

الْجِن عَلى َثلاَثةِ أصنافٍ : صِنف لهم أجنِحةٌ يطِيرون فِي الْهواءِ، وصِنف حيات، وصِنف يحِلُّون ويظعنون.

“Jin itu ada tiga jenis. Satu jenis yang memiliki sayap yang terbang di udara, jenis yang berbentuk ular, dan jenis yang menetap dan pergi”.

Hadits ini adalah nash yang menunjukkan bahwa jin itu berupa jasad, dan tidaklah terpahami dari lafazh “jenis yang memiliki sayap yang terbang di udara” bahwa mereka itu tidak berbentuk jasad, karena sayap itu berbentuk jasad dan tidaklah ada kecuali pada jasad pula. Dan begitulah malaikat yang memiliki sayap dua atau tiga atau empat, terbang ke langit yang tinggi dan dia berbentuk jasad. Demikian pula Al-Qur’an Al-karim menerangkan bahwa jin yang terbang itu berbentuk jasad. Allah berfirman mengabarkan apa yang diucapkan oleh Al-’Ifrit kepada Nabi Sulaiman ‘alaihi shalatu wa salam;

قَالَ عِفْريتٌ مِنَ الْجِنِّ أَنَا آَتِيكَ بِهِ قَبْلَ أَنْ تَقُومَ مِنْ مَقَامِكَ وَإِنِّي عَلَيْهِ لَقَوِيٌّ أَمِينٌ. النمل: ٣٩

“Berkatalah ‘Ifrit dari bangsa jin: “Aku akan datngkan ia padamu sebelum engkau berdiri dari tempatmu, dan aku sungguh kuat lagi terpercaya atasnya” An-Naml: 39

Kalaulah tidak berbentuk jasad niscaya tidak akan bisa memegang benda yang dibawa, dan tidak pula mampu untuk menjaganya. Demikian pula jin-jin yang terbang tersebut diciptakan dalam bentuk jasad yang berkeliaran di muka bumi. Jika mereka ingin terbang maka mereka berupah wujud kemudian mereka terbang. Maka jin dan syaithan yang merasuki kepada manusia untuk memberikan was-was dan selainnya mengubah wujudnya menjadi hawa. Ini adalah perkara yang sudah diketahui dan ini merupakan dalil bahwa mereka itu berbentuk jasad.

Kebanyakan ulama menyatakan bahwa jin itu berbentuk jasad. Adapun yang mengatakan bahwa “mereka itu berbentuk hawa” mereka tidak memiliki dalil dari alkitab dan as-sunnah, dan yang paling puncak dari apa yang mereka miliki adalah; Diriwayakan dari Wahb bin Munabbih sebagaimana disebutkan oleh Asy-Syibly dalam Akam Al-Marjan Fii Ahkam Al-Jan halaman 31 bahwa dia berkata: “Jin itu berjenis-jenis, adapun jin yang murni itu berbentuk udara mereka tidak makan tidak minum dan tidak pula beranak. Dan diantara mereka ada yang makan, minum, beranak dan nikah. Diantara mereka: As-Sa’aly (tukang sihir dari bangsa jin), AlGhaul (raksasa atau sebangsa penghancur) dan Al-Quthrub (laki-lakinya al-ghaul)[1] dan yang semisal dengan hal itu. Saya berkata: Jika ini shahih darinya, merupakan sesuatu yang diketahui bahwa Wahb dulunya adalah seorang rahib, dan dia mengambil dari buku-buku ahlul kitab, sementara buku-buku ahlul kitab itu penuh dengan penyimpangan dan penipuan.

Sebagian mereka berdalil bahwa jin itu hawa yaitu udara dengan sabda Nabi;

إِنَّ الشَّيْطَانَ يَجْرِى مِنِ ابْنِ آدَمَ مَجْرَى الدَّمِ

“Sesungguhnya syaithan berjalan pada diri anak Adam selayaknya peredaran darah”

Hadits diriwayatkan oleh Al-Bukhary (6219) dan Muslim (2175) dari Shafiyah. Hadits ini, tidak ada padanya dalil akan perkara yang pemiliki pendapat ini berdalil dengannya. Karena mereka berjalan pada diri kita selayaknya peredaran darah bukan karena mereka itu hawa. Akan tetapi dikarenakan apa yang diberikan oleh Allah Ta’ala pada mereka berupa kemampuan untuk berubah bentuk. Maka pendapat yang menyatakan jin itu ruh bukan jasad adalah pendapat yang keliru dengan kekeliruan yang nyata. Karena hal itu bertentangan dan bertabrakan dengan dalil-dalil yang banyak dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahihah diketahui dari islam secara fitrah, ijma’, akal dan panca indra. Dan berikut saya sebutkan dalil-dalilnya secara umum:

1. Para jin itu makan dan minum.

2. Para jin itu saling menikah dan berketurunan.

3. Para jin itu berubah bentuk dan menyamar ke dalam bentuk manusia dan hewan.

4. Para jin itu melakukan perbuatan yang banyak, berupa pembangunan, perindustrian, membawa barang berat dan selain dari itu.

5. Para jin itu tertimpa beberapa keadaan seperti sakit, takut, kuat, lemah, hidup, mati dan selain dari hal itu.

6. Para jin itu terkadang sebagian makhluk melihat mereka, seperti keledai. Rasulullah bersabda;

إِذَا سَمِعْتُمْ نَهِيقَ الْحِمَارِ فَتَعَوَّذُوا بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ ، فَإِنَّهُ رَأَى شَيْطَانًا

“Jika kalian mendengar ringkikan keledai maka berlindunglah kalian kepada Allah dari syaithan, sesungguhnya dia melihat syaithan.”

Diriwayatkan oleh Al-Bukhary no. 3303 dan Muslim no. 2729.

7. Ketika jin itu menyamar dalam bentuk manusia maka dia mampu untuk mengganggu manusia dengan memukulnya, membunuhnya dan menahannya dari bergerak. Dan selain dari hal itu.

Pembahasan ini telah dipaparkan dali-dalilnya oleh para ulama dalam karya tulis yang banyak yang khusus dalam masalah jin dan syaithan. Seperti kitab “Akam Al-Marjan Fii Ahkam Al-Jan” karya Asy-Syibly dan kitab “Luqath Al-Marjan Fii Ahkam Al-Jan” karya As-Suyuthy, dan selain dari itu.

Orang yang mengatakan bahwa jin itu ruh, mereka melihat bahwa jin itu masuk pada diri manusia dan berjalan padanya selayaknya peredaran darah, maka mereka menyangka bahwa jin itu ruh, padahal tidak demikian.

Hanya saja yang diambil faedah dari pernyataan bahwa jin itu berjalan pada diri kita selayaknya peredaran darah adalah bahwa Allah memberikan kepada mereka kemampuan untuk mengubah diri mereka menjadi seperti hawa. Karena jin yang berada pada jasad manusia mampu untuk menjadi besar sedang dia berada dalam jasad sehingga nampaklah pembesarannya pada badan manusia.

Sesuai dengan hal yang telah lewat penjelasannya, jelaslah bagi para pembaca bahwasannya peniadaan jasad dari jin itu tidak benar.

Pertanyaan: Bagaimana jin dan syaithan masuk ke dalam badan manusia sedangkan mereka berbentuk jasad?

Jawaban: Jin dan syaithan itu berbentuk jasad. Dan ini adalah kenyataan yang tiada mengingkarinya kecuali orang yang bodoh atau orang yang sombong. Adapun bagaimana caranya jin mendapatkan kemampuan untuk masuk pada dalam badan manusia dan binatang sedangkan dia adalah jasad maka kita katakan; Hal itu terjadi dan terwujud dan tiada yang menolaknya. Dan sebab akan hal itu adalah bahwa Allah Ta’ala telah memberikan kepada jin dan syaithan kemampuan untuk mengubah diri dari bentuk ciptaannya yang asli. Dan perubahan ini terjadi kepada bentuk jasad yang lain, seperti jin berubah menjadi bentuk manusia dan terkadang berubah menjadi angin udara dan hawa. Jika jin itu berubah ke dalam bentuk udara dan hawa -dan ini mampu mereka lakukan dengan izin Allah- mereka mampu masuk ke dalam diri manusia dan mampu untuk berjalan pada setiap pembuluh darah dari embuluh darah manusia, sebagaimana air mengalir pada tempat mengalirnya. Dan dalil akan hal ini adalah sabda Rasulullah ‘alaihi shalatu wa salam;

إِنَّ الشَّيْطَانَ يَجْرِى مِنِ ابْنِ آدَمَ مَجْرَى الدَّمِ

“Sesungguhnya syaithan berjalan pada diri anak Adam selayaknya peredaran darah”

Hadits diriwayatkan oleh Al-Bukhary (6219) dan Muslim (2175) dari Shafiyah.

Dan dari hadits Anas diriwayatkan oleh Muslim (2611), Ahmad (3/229) dan selain keduanya, bahwa Rasulullah bersabda;

لَمَّا صَوَّرَ اللَّهُ آدَمَ فِى الْجَنَّةِ تَرَكَهُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَتْرُكَهُ فَجَعَلَ إِبْلِيسُ يُطِيفُ بِهِ يَنْظُرُ مَا هُوَ فَلَمَّا رَآهُ أَجْوَفَ عَرَفَ أَنَّهُ خُلِقَ خَلْقًا لاَ يَتَمَالَكُ

“Ketika Allah membentuk Adam di dalam surga Allah meninggalkannya sebagaimana Allah kehendaki untuk meninggalkannya. Maka datanglah Iblis mengitarinya dan melihat apakah itu. Maka ketika dia melihat bahwa dia itu berongga dia tahu bahwa telah diciptakan makhluk yang tidak memiliki penolak was-was.”

Akal tidaklah mengingkari hal ini, dan orang yang kesurupan adalah bukti akan hal ini. Ketika seorang manusia menemukan was-was pada dadanya bersama jiwanya sesuatu yang tidak diinginkan oleh jiwa. Bahkan ada sebagian orang dipengaruhi oleh syaithan dengan was-was sampai-sampai dia memaksanya untuk melakukan perbuatan yang mencelakakan dirinya, berupa pemukulan, pembunuhan dan sebagainya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar