Powered By Blogger

Sabtu, 13 November 2010

renungan



Tips Membina Rumah Tangga yang Sakinah

Setiap insan yang hidup pasti menginginkan dan mendambakan suatu kehidupan yang bahagia, tentram, sejahtera, penuh dengan keamanan dan ketenangan atau bisa dikatakan kehidupan yang sakinah, karena memang sifat dasar manusia adalah senantiasa condong kepada hal-hal yang bisa menentramkan jiwa serta membahagiakan anggota badannya, sehingga berbagai cara dan usaha ditempuh untuk meraih kehidupan yang sakinah tersebut.
Pembaca yang budiman, sesungguhnya sebuah kehidupan yang sakinah, yang dibangun diatas rasa cinta dan kasih sayang, tentu sangat berarti dan bernilai dalam sebuah rumah tangga. Betapa tidak, bagi seorang pria atau seorang wanita yang akan membangun sebuah rumah tangga melalui tali pernikahan, pasti berharap dan bercita-cita bisa membentuk sebuah rumah tangga yang sakinah, ataupun bagi yang telah menjalani kehidupan berumah tangga senantiasa berupaya untuk meraih kehidupan yang sakinah tersebut. HAKEKAT KEHIDUPAN RUMAH TANGGA YANG SAKINAH
Pembaca yang budiman, telah disebutkan tadi bahwasanya setiap pribadi, terkhusus mereka yang telah berumah tangga, pasti dan sangat berkeinginan untuk merasakan kehidupan yang sakinah, sehingga kita menyaksikan berbagai macam cara dan usaha serta berbagai jenis metode ditempuh, yang mana semuanya itu dibangun diatas presepsi yang berbeda dalam mencapai tujuan kehidupan yang sakinah tadi. Maka nampak di pandangan kita sebagian orang ada yang berusaha mencari dan menumpuk harta kekayaan sebanyak-banyaknya, karena mereka menganggap bahwa dengan harta itulah akan diraih kehidupan yang sakinah. Ada pula yang senantiasa berupaya untuk menyehatkan dan memperindah tubuhnya, karena memang di benak mereka kehidupan yang sakinah itu terletak pada kesehatan fisik dan keindahan bentuk tubuh. Disana ada juga yang berpandangan bahwa kehidupan yang sakinah bisa diperoleh semata-mata pada makanan yang lezat dan beraneka ragam, tempat tinggal yang luas dan megah, serta pasangan hidup yang rupawan, sehingga mereka berupaya dengan sekuat tenaga untuk mendapatkan itu semua. Akan tetapi, pembaca yang budiman, perlu kita ketahui dan pahami terlebih dahulu apa sebenarnya hakekat kehidupan yang sakinah dalam sebuah kehidupan rumah tangga.

Sesungguhnya hakekat kehidupan yang sakinah adalah suatu kehidupan yang dilandasi mawaddah warohmah (cinta dan kasih sayang) dari Allah subhanahu wata’ala Pencipta alam semesta ini. Yakni sebuah kehidupan yang dirihdoi Allah, yang mana para pelakunya/orang yang menjalani kehidupan tersebut senantiasa berusaha dan mencari keridhoan Allah dan rasulNya, dengan cara melakukan setiap apa yang diperintahkan dan meninggalkan segala apa yang dilarang oleh Allah dan rasulNya.
Maka kesimpulannya, bahwa hakekat sebuah kehidupan rumah tangga yang sakinah adalah terletak pada realisasi/penerapan nilai-nilai agama dalam kehidupan berumah tangga yang bertujuan mencari ridho Allah subhanahu wata’ala. Karena memang hakekat ketenangan jiwa (sakinah) itu adalah ketenangan yang terbimbing dengan agama dan datang dari sisi Allah subhanahu wata’ala, sebagaimana firman Allah (artinya):
“Dia-lah yang telah menurunkan sakinah (ketenangan) ke dalam hati orang-orang yang beriman agar keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada).” (Al Fath: 4)

BIMBINGAN RASULULLAH DALAM KEHiDUPAN BERUMAH TANGGA
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam selaku uswatun hasanah (suri tauladan yang baik) yang patut dicontoh telah membimbing umatnya dalam hidup berumah tangga agar tercapai sebuah kehidupan rumah tangga yang sakinah mawaddah warohmah. Bimbingan tersebut baik secara lisan melalui sabda beliau shalallahu ‘alaihi wasallam maupun secara amaliah, yakni dengan perbuatan/contoh yang beliau shalallahu ‘alaihi wasallam lakukan. Diantaranya adalah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam senantiasa menghasung seorang suami dan isteri untuk saling ta’awun (tolong menolong, bahu membahu, bantu membantu) dan bekerja sama dalam bentuk saling menasehati dan saling mengingatkan dalam kebaikan dan ketakwaan, sebagaimana sabda beliau shalallahu ‘alaihi wasallam:

اسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ فَإِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلَعِ أَعْلَاهُ فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيمُهُ كَسَرْتَهُ وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ فَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ

“Nasehatilah isteri-isteri kalian dengan cara yang baik, karena sesungguhnya para wanita diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok dan yang paling bengkok dari tulang rusuk adalah bagian atasnya (paling atas), maka jika kalian (para suami) keras dalam meluruskannya (membimbingnya), pasti kalian akan mematahkannya. Dan jika kalian membiarkannya (yakni tidak membimbingnya), maka tetap akan bengkok. Nasehatilah isteri-isteri (para wanita) dengan cara yang baik.” (Muttafaqun ‘alaihi. Hadits shohih, dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
Dalam hadits tersebut, kita melihat bagaimana Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam membimbing para suami untuk senantiasa mendidik dan menasehati isteri-isteri mereka dengan cara yang baik, lembut dan terus-menerus atau berkesinambungan dalam menasehatinya. Hal ini ditunjukkan dengan sabda beliau shalallahu ‘alaihi wasallam:

وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ

yakni “jika kalian para suami tidak menasehati mereka (para isteri), maka mereka tetap dalam keadaan bengkok,” artinya tetap dalam keadaan salah dan keliru. Karena memang wanita itu lemah dan kurang akal dan agamanya, serta mempunyai sifat kebengkokan karena diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok sebagaimana disebutkan dalam hadits tadi, sehingga senantiasa butuh terhadap nasehat.

Akan tetapi tidak menutup kemungkinan juga bahkan ini dianjurkan bagi seorang isteri untuk memberikan nasehat kepada suaminya dengan cara yang baik pula, karena nasehat sangat dibutuhkan bagi siapa saja. Dan bagi siapa saja yang mampu hendaklah dilakukan. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):
“Dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (Al ‘Ashr: 3)

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ

“Agama itu nasehat.” (HR. Muslim no. 55)
Maka sebuah rumah tangga akan tetap kokoh dan akan meraih suatu kehidupan yang sakinah, insya Allah, dengan adanya sikap saling menasehati dalam kebaikan dan ketakwaan.

DIANTARA TIPS/CARA MERAIH KEHIDUPAN YANG SAKINAH

1. Berdzikir
Ketahuilah, dengan berdzikir dan memperbanyak dzikir kepada Allah, maka seseorang akan memperoleh ketenangan dalam hidup (sakinah). Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):
“Ketahuilah, dengan berdzikir kepada Allah, (maka) hati (jiwa) akan (menjadi) tenang.” (Ar Ra’d:28)
Baik dzikir dengan makna khusus, yaitu dengan melafazhkan dzikir-dzikir tertentu yang telah disyariatkan, misal:

أَسْتَغْفِرُالله ,

dan lain-lain, maupun dzikir dengan makna umum, yaitu mengingat, sehingga mencakup/meliputi segala jenis ibadah atau kekuatan yang dilakukan seorang hamba dalam rangka mengingat Allah subhanahu wata’ala, seperti sholat, shoum (puasa), shodaqoh, dan lain-lain.

2. Menuntut ilmu agama
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلاَّ نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِيْنَةُ

“Tidaklah berkumpul suatu kaum/kelompok disalah satu rumah dari rumah-rumah Allah (masjid), (yang mana) mereka membaca Al Qur`an dan mengkajinya diantara mereka, kecuali akan turun (dari sisi Allah subhanahu wata’ala) kepada mereka as sakinah (ketenangan).” (Muttafaqun ‘alaihi. Hadits shohih, dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
Dalam hadits diatas, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam memberikan kabar gembira bagi mereka yang mempelajari Al Qur`an (ilmu agama), baik dengan mempelajari cara membaca maupun dengan membaca sekaligus mengaji makna serta tafsirnya, yaitu bahwasanya Allah akan menurunkan as sakinah (ketenangan jiwa) pada mereka.

Pembaca yang budiman, demikianlah diantara beberapa hal yang bisa dijadikan tips untuk meraih dan membina rumah tangga yang sakinah. Wallahu a’lam. Semoga kajian ringkas ini dapat kita terapkan dalam hidup berkeluarga sehingga Allah menjadikan keluarga kita keluarga yang sakinah mawaddah warohmah. Amiin, Ya Rabbal alamiin






sifat-sifat penghuni Al Jannah


Sungguh kenikmatan-kenikmatan dalam al jannah tidak akan dicapai oleh indera manusia. Belum pernah dilihat oleh penglihatan siapa pun, belum pernah didengar oleh pendengaran siapa pun, dan belum pula terbetik dalam hati siapa pun. Demikianlah yang dikhabarkan Baginda Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits yang diriwayatkan shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu:
“Allah berfirman (artinya): ”Aku telah sediakan bagi hamba-hamba-Ku yang shalih (kenikmatan Al jannah) yang belum pernah dilihat mata, didengar telinga, serta terlintas di hati manusia. (HR. Muslim no. 2824)

Kenikmatan-kenikmatan itu menggambarkan, rahmat Allah subhanahu wata’ala itu betapa luas tanpa batas, bagaikan hamparan tiada bertepi. Yang Allah subhanahu wata’ala sedialam bagi hamban-hamba-Nya yang shalih. Tapi itu bukan semata-mata hasil amal shalih yang dilakukan oleh seorang hamba, sekalipun ia seorang nabi. Bahkan Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam sebagai Imamul Anbiya’ (pemimpin para nabi), ia adalah orang yang pertama kali mengetuk pintu al jannah, hal itu bukan semata disebabkan amal shalih yang ia usahakan, namun berkat rahmat Allah subhanahu wata’ala.

فَإِنَّهُ لَنْ يُدْخِلَ الْجَنَّةَ أَحَدًا عَمَلُهُ قَالُوا وَلاَ أَنْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ ؟ قَالَ: وَلاَ أَنَا إِلاَّ أَنْ يَتَغَمَّدَنِيَ اللَّهُ مِنْهُ بِرَحْمَةٍ

“Sungguh bukanlah seseorang itu masuk al jannah karena amalannya. Para shahabat bertanya: “Demikian juga engkau wahai Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam Beliau berkata: “Demikian juga saya, melainkan Allah subhanahu wata’ala melimpahkan rahmat-Nya kepadaku. (HR. Al Bukhari no. 6463 dan Muslim no. 2816)

Ciri Fisik Penghuni Al Jannah
Penghuni al jannah memiliki ciri-ciri khusus. Diantaranya;
Berperawakan seperti Adam. Dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

فَكُلُّ مَنْ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ عَلَى صُورَةِ آدَمَ وَطُولُهُ سِتُّونَ ذِرَاعًا فَلَمْ يَزَلْ الْخَلْقُ يَنْقُصُ بَعْدَهُ حَتَّى اْلآنَ

“Maka setiap orang yang masuk al jannah wajahnya seperti Adam dan tingginya 60 hasta, setelah Adam manusia terus mengecil hingga sampai sekarang.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Berusia masih muda. Dari shahabat Syahr bin Husyab radhiallahu ‘anhu, Rasulullah bersabda:

يَدْخُلُ أَهْلُ الْجَنَّةِ الْجَنَّةَ جُرْدًا مُرْدًا مُكَحَّلِينَ أَبْنَاءَ ثَلاَثِينَ أَوْ ثَلاَثٍ وَثَلاَثِينَ سَنَةً

“Penghuni al jannah akan masuk ke dalam al jannah dengan keadaan rambut pendek, jenggot belum tumbuh, mata bercelak, dan berusia tiga puluh tahun atau tiga pulu tiga tahun.” (HR. At Tirmidzi no. 2468, dihasankan Asy Syaikh Al Albani. Keraguan ini berasal dari perawi, namun dalam riwayat Ahmad, Ibnu Abi Dunya, Ath Thabarani dan Al Baihaqi dengan riwayat tegas tanpa ada keraguan yaitu berusia 33 tahun. Lihat Tuhfatul Ahwadzi 7/215)

Orang Yang Pertama Mengetuk Pintu Al Jannah
Orang pertama kali yang mengetuk pintu al jannah, lalu membukanya dan kemudian memasukinya adalah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Dari shahabat Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

أَنَا أَكْثَرُ اْلأَنْبِيَاءِ تَبَعًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَنَا أَوَّلُ مَنْ يَقْرَعُ بَابَ الْجَنَّةِ

“Saya adalah orang yang paling banyak pengikutnya pada Hari Kiamat dan saya adalah orang yang pertama kali mengetuk pintu Al Jannah.” (HR. Muslim no. 196)
Masih dari shahabat Anas bin Malik namun dalam riwayat At Tirmidzi, dengan lafadz:
“Saya adalah orang yang pertama kali keluar jika mereka dibangkitkan. Saya adalah orang pertama kali bicara, jika mereka diam. Saya adalah pemimpin mereka, jika mereka dikirim. Saya adalah pemberi syafaat kepada mereka, jika mereka tertahan. Saya adalah pemberi berita gembira, jika mereka putus asa. Panji pujian ada digenggaman tanganku. Kunci-kunci al jannah ada ditanganku. Saya adalah keturunan Adam yang paling mulia di sisi Rabb-ku dan tidak ada kebanggaan melebihi hal ini. Saya dikelilingi seribu pelayan setia laksana mutiara yang tersimpan.”

Umat Yang Pertama Kali Masuk Al Jannah Dan Ciri-Cirinya
Sekalipun umat Islam ini adalah umat terakhir, namun Allah subhanahu wata’ala (dengan rahmat-Nya yang luas) memilihnya sebagai umat yang pertama kali masuk al jannah. Dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

نَحْنُ اْلآخِرُونَ اْلأَوَّلُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَنَحْنُ أَوَّلُ مَنْ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ بَيْدَ أَنَّهُمْ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِنَا وَأُوتِينَاهُ مِنْ بَعْدِهِمْ

“Kita adalah umat terakhir namun paling awal pada hari kiamat. Kita adalah umat yang pertama kali masuk al jannah, meskipun mereka diberi kitab sebelum kita, dan kita diberi kitab sesudah mereka.” (HR. Muslim no. 855)

Selain itu, Allah subhanahu wata’ala pun menampilkan umat Islam dengan penampilan yang amat indah. Masih dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ أَوَّلَ زُمْرَةٍ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ عَلَى صُورَةِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ عَلَى أَشَدِّ كَوْكَبٍ دُرِّيٍّ فِي السَّمَاءِ إِضَاءَةً

“Rombongan pertama yang masuk Al Jannah laksana bulan purnama, sedangkan rombongan berikutnya bagaikan bintang yang paling berkilau di langit.”
(HR. Al Bukhari no. 3327, Muslim no. 2824)

Orang Fakir Miskin Lebih Dahulu Masuk Al Jannah
Lalu siapakah diantara umat Islam yang pertama kali masuk al jannah? Hal yang sama pernah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam tanyakan kepada para shahabatnya. Seraya mereka menjawab: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Barulah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan: “Mereka adalah kaum faqir Muhajirin yang terlindungi dari hal-hal yang dibenci. Salah seorang dari mereka meninggal dunia sementara kebutuhannya masih ada di dadanya namun ia tidak mampu menunaikannya. Para Malaikat berkata: ” Ya Rabb-kami, kami adalah para malaikat-Mu, penjaga-Mu, dan penghuni langit-Mu, janganlah Engkau dahulukan mereka daripada kami memasuki jannah-Mu! Allah subhanahu wata’ala berfirman: “Mereka adalah hamba-hamba-Ku yang tidak menyekutukan-Ku dengan sesuatu apapun. Mereka terlindungi dari hal-hal yang dibenci. Ada salah seorang diantara mereka meninggal dunia sementara kebutuhannya masih ada di dadanya yang tidak mampu ia tunaikan. Mendengar jawaban Allah seperti itu, para malaikat segera masuk ketempat mereka dari semua pintu seraya berkata,” Salam sejahtera untuk kalian atas kesabaran kalian. Ini adalah sebaik-baik tempat tinggal.” (HR. Ahmad dan At Thabarabi, dari shahabat Abdullah bin Umar)

Sementara dalam riwayat Al Imam Muslim dan At Tirmidzi menjelaskan selisih waktu antara rombongan orang-orang fakir dengan orang-orang kaya masuk ke dalam al jannah. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ فُقَرَاءَ الْمُهَاجِرِينَ يَسْبِقُونَ اْلأَغْنِيَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَى الْجَنَّةِ بِأَرْبَعِينَ خَرِيفًا

“Orang-orang fakir kaum Muhajirin masuk Al Jannah mendahului orang-orang kaya dari mereka, dengan selisih waktu 40 tahun.” (HR. Muslim no. 2979)

Istri-istri Penghuni Al Jannah, Pesona, Ciri-Ciri Dan Kecantikannya
Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):
“Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezeki buah-buahan dalam surga-surga itu, mereka mengatakan: “Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu.” Mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di dalamnya ada isteri-isteri yang suci dan mereka kekal di dalamnya”. (Al Baqarah: 25)
Pada ayat di atas Allah subhanahu wata’ala memadukan antara kenikmatan fisik berupa al jannah beserta taman-taman dan sungai-sungai di dalamnya, dengan kebahagian jiwa berupa bidadari-bidadari sebagai istri-istri yang suci lagi penyejuk mata bagi mereka. Dan Allah subhanahu wata’ala memastikan bagi mereka keberlangsungan kehidupan yang abadi tiada pernah terputus sedikitpun.
Mereka dipingit di kemah-kemah dalam keadaan putih bersih nan jelita. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya): “(Bidadari-bidadari) yang jelita, putih bersih, dipingit dalam kemah.” (Ar Rahman: 72)

Mereka memiliki akhlak yang bagus nan indah sebagaimana kecantikan pesona wajah-wajah mereka. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya): “Di dalam surga itu ada bidadari-bidadari yang (berakhlak) baik-baik lagi cantik-cantik.” (Ar Rahman: 70)
Mereka berusia sebaya, selalu tampil dalam keadaan perawan, penuh pesona dan cinta. Allah subhanahu wata’ala berifirman (artinya): “Dan Kami jadikan bidadari-bidadari itu perawan. Penuh cinta kasih lagi sebaya umurnya. Kami ciptakan mereka untuk golongan kanan.” (Al Waqi’ah: 36-38)

Penghuni Yang Masuk Al Jannah Paling Akhir
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Sesungguhnya aku tahu penghuni neraka yang paling akhir keluar dari neraka dan penghuni al jannah yang paling akhir masuk al jannah. Dia keluar dari neraka dengan merangkak. Allah berfirman kepadanya, ‘Pergilah ke al jannah (surga) dan masuklah ke dalamnya!’ Orang tersebut bergegas pergi ke jannah dan tergambar dalam pikirannya bahwa al jannah itu telah penuh sesak. Maka ia pun kembali dan berkata kepada Allah, ‘Wahai Rabbku, aku dapati al jannah telah penuh!’ Allah pun berfirman kepadanya, ‘Pergilah ke al jannah dan masuklah ke dalamnya! Sesungguhnya engkau berhak atas nikmat sebesar dunia dan sepuluh kali lipatnya.’ Orang tersebut berkata, ‘Wahai Rabbku, apakah Engkau mengejekku dan menertawakanku, karena Engkau Sang Raja Penguasa?”
Abdullah bin Mas’ud berkata: “Kulihat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam tertawa hingga terlihat gigi gerahamnya.” Beliau bersabda: “Itulah derajat penghuni al jannah yang paling rendah.” (HR. Al Bukhari no. 6571 dan Muslim no. 186)

Penghuni Al Jannah Melihat Rabb Mereka Dengan Mata Kepalanya
Kenikmatan tertinggi di dalam al jannah adalah melihat wajah Rabbul ‘alamin. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):
“Allah menyeru (manusia) ke darussalam (surga), dan menunjuki orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus (Islam). Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaikb berupa surga dan ada tambahannya. Dan wajah mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula) dengan kehinaan. Mereka Itulah penghuni syurga, mereka kekal di dalamnya.” (Yunus: 25-26)

Yang dimaksud dengan ada tambahannya pada ayat di atas yaitu berupa kenikmatan melihat Allah subhanahu wata’ala. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dalam sabdanya: “Jika telah masuk penduduk al jannah ke dalam al jannah. Allah subhanahu wata’ala berkata: “Apakah kalian ingin tambahan dari-Ku. Mereka seraya menjawab: “Bukankah Engkau telah menjadikan wajah-wajah kami bercahaya? Bukankah Engkau telah memasukkan kami ke dalam al jannah (surga) dan menyelamatkan dari an nar (neraka). Kemudian Allah subhanahu wata’ala membuka hijab-Nya. Maka tidaklah mereka diberi nikmat yang lebih mereka sukai dibanding dengan melihat Allah subhanahu wata’ala. (HR. Muslim no. 181)

Akhir kata, demikianlah tamasya kita untuk menengok sebagian keindahan para penghuni al jannah. Dengan sebuah harapan dapat mendorong kita untuk selalu berpacu dalam beramal shalih. Tuk meraih tamasya yang hakiki yang penuh dengan kenikmatan yang abadi. Amien, Ya Rabbal ‘alamin.

Do’a Mohon Dimasukkan Al Jannah dan Dijauhkan dari An Naar
Diriwayatkan dari Ummul Mukminin ‘Aisyah, bahwasanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berdo’a:

اللهم إِنِّي أَسْأَلُكَ الْجَنَّةَ وَمَا يُقَرِّبُ إِلَيْهَا مِنْ قَوْلٍ وَعَمَلٍ, وَأَعُوذُبِكَ مِنَ النَّارِ وَمَا يُقَرِّبُ إِلَيْهَا مِنْ قَوْلٍ وَعَمَلٍ

“Ya Allah sesungguhnya aku memohon kepada-Mu al jannah (surga) beserta segala sesuatu yang bisa mendekatkan kepadanya dari perkataan dan perbuatan, dan aku berlindung kepada-Mu dari an nar (neraka) beserta segala sesuatu yang bisa mendekatkan kepadanya dari perkataan dan perbuatan”. (HR. Ahmad, dishahihkan Asy Syaikh Al Albani dalam Ash Shahihah no.1542)




Kedudukan dan Keutamaan Shabar

Bahwa ujian dan cobaan di dunia merupakan sebuah keharusan yang (siapa pun) tidak bisa terlepas darinya. Bahkan, itulah warna-warni kehidupan. Kesabaran dalam menghadapi ujian dan cobaan merupakan tanda kebenaran dan kejujuran iman seseorang kepada Allah subhanahu wata’la.

ASH-SHABR DAN IMAN
Al Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah menyatakan bahwa lafazh ash-shabr dalam Al Qur’an disebutkan di sembilan puluh tempat (ayat). Hal ini menunjukkan sabar memiliki kedudukan tinggi nan mulia dalam agama Islam. Oleh karena itu, Al Imam Ibnul Qayyim mengatakan bahwa sabar setengah dari keimanan dan setengahnya lagi adalah syukur. Lebih jelasnya, akan kami sebutkan beberapa penyebutan ash-shabr dalam Al Qur’an dengan uraian yang ringkas sebagai berikut:

1. Sabar Merupakan Perintah Mulia Dari Rabb Yang Maha Mulia
Allah subhanahu wata’la berfirman (artinya):
“Wahai orang-orang yang beriman mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat,..” (Al-Baqarah: 153)
dalam ayat yang lain (artinya):
“Wahai orang-orang yang beriman bersabarlah dan kuatkanlah kesabaranmu,…” (Ali Imran: 200)
Konteks (kandungan) dari kedua ayat diatas menerangkan bahwa sabar merupakan perintah dari Allah subhanahu wata’la. Sabar termasuk ibadah dari ibadah-ibadah yang Allah subhanahu wata’la wajibkan kepada hamba-Nya. Terlebih lagi, Allah subhanahu wata’la kuatkan perintah sabar tersebut dalam ayat yang kedua. Barangsiapa yang memenuhi kewajiban itu, berarti ia telah menduduki derajat yang tinggi di sisi Allah subhanahu wata’la.
Tidak terkecuali Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, Allah subhanahu wata’la juga memerintah beliau shalallahu ‘alaihi wasallam untuk memenuhi kewajiban ini, sebagaimana firman-Nya (artinya):
“Dan bersabarlah engkau bersama orang-orang yang menyeru Rabb mereka di waktu pagi dan senja dengan mengharap Wajah-Nya, dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka karena mengharapkan perhiasan kehidupan dunia.” (Al Kahfi: 28)
dalam ayat lainnya (artinya):
“Dan bersabarlah engkau dan tidaklah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah bersedih terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah merasa sempit terhadap apa yang mereka tipu dayakan.” (An Nahl: 127)
Jika nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam sebagai makhluk yang paling mulia dan sempurna masih diperintah untuk bersabar, maka terlebih lagi bagi umatnya.

2. Larangan dari lawan Kesabaran
Allah subhanahu wata’la juga melarang dari perbuatan yang meniadakan kesabaran. Sebagaimana firman-Nya subhanahu wata’ala (artinya):
“Dan janganlah kamu bersikap lemah dan jangan pula kamu bersedih, padahal kamulah orang-orang yang tinggi (derajatnya), jika kamu benar-benar orang beriman.” (Ali Imran: 139)
Tidak terkecuali Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, beliau shalallahu ‘alaihi wasallam pun juga dilarang dari perbuatan yang meniadakan kesabaran, sebagaimana pada ayat di atas (An Nahl: 127).
Adanya larangan dari perbuatan-perbuatan yang bisa mengurangi atau menghilangkan kesabaran menguatkan sifat perintah untuk bersabar. Sehingga sabar itu benar-benar merupakan ibadah yang bersifat wajib bukan sebatas mustahab (anjuran saja).

3. Pujian Allah subhanahu wata’la Terhadap Orang-Orang Yang Bersabar
Allah subhanahu wata’la memuji mereka sebagai orang-orang yang kejujuran dalam keimanannya. Sebagaimana firman-Nya subhanahu wata’ala: “…, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang yang benar (imannya). Dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (Al-Baqarah: 177)
Dalam kitab Madarijus Salikin 2/152 karya Al Imam Ibnul Qayyim, beliau mengutarakan bahwa ayat yang semisal ini banyak dalam Al Qur’an. Sehingga keberadaan sabar dalam mengahadapi ujian dan cobaan dari Allah subhanahu wata’la itu benar-benar menjadi barometer keimanan dan ketaqwaan kepada Allah subhanahu wata’la.

4. Mendapat Kecintaan Dari Allah subhanahu wata’la
Semua orang yang beriman berharap menjadi golongan orang-orang yang dicintai oleh Allah subhanahu wata’la. Allah subhanahu wata’la mengabarkan kepada hamba-Nya bahwa golongan yang mendapatkan kecintaan-Nya subhanahu wata’ala adalah orang-orang yang sabar terhadap ujian dan cobaan dari Allah subhanahu wata’la. Sebagaimana Allah subhanahu wata’la tegaskan dalam firman-Nya radhiallahu ‘anhu(artinya):
“…, dan Allah itu mencintai orang-orang yang sabar.” (Ali Imran: 146)

5. Allah subhanahu wata’la Bersama Orang-Orang Yang Sabar
Allah subhanahu wata’la berfirman (artinya):
“Bersabarlah kalian, sesungguhnya Allah bersama dengan orang-orang yang sabar.” (Al-Anfal: 46)
Yang dimaksud dengan Allah subhanahu wata’la bersama orang-orang yang sabar adalah penjagaan dan pertolongan Allah subhanahu wata’la selalu menyertai mereka. Bahkan dalam ayat yang lain, Allah subhanahu wata’la benar-benar menjamin penjagaan dan pertolongan-Nya itu selalu bersama dengan orang-orang yang sabar. Sebagaimana firman-Nya subhanahu wata’ala (artinya):
“Ya, jika kamu bersabar dan bertaqwa, dan jika mereka menyerang kamu dengan seketika itu juga, niscaya Allah menolong kamu dengan lima ribu Malaikat yang memakai tanda.” (Ali Imran: 125)
Sebagaimana pula diterangkan dalam hadits berikut ini:

وَاعْلَمْ أَنَّ النَّصْرَ مَعَ الصَبْرِ

“Ketahuilah olehmu! Bahwasannya datangnya pertolongan itu bersama dengan kesabaran.” (HR. At Tirmidzi, dari shahabat Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma)

6. Shalawat, Rahmat dan Hidayah Bersama Orang Yang Sabar
Allah subhanahu wata’la senantiasa mencurahkan shalawat, rahmat dan hidayah-Nya subhanahu wata’ala kepada orang-orang yang sabar. Karena jika mereka ditimpa ujian dan cobaan dari Allah subhanahu wata’la mereka kembalikan urusannya kepada Sang Pencipta dan sekaligusnya Pemiliknya. Sehingga mereka berkata:

إِنَّا لِلّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُوْنَ

Sifat mulia yang dimiliki orang yang sabar ini dikisahkan oleh Allah subhanahu wata’la dalam firman-Nya (artinya):
“(Orang-orang yang sabar itu) adalah bila mereka ditimpakan musibah, seraya mereka berkata: ‘Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan hanya kepada-Nya-lah kami kembali.’ Mereka itulah yang mendapat shalawat dan rahmat dari Rabb mereka. Dan mereka itulah orang-orang yang mendapat hidayah (petunjuk).” (Al-Baqarah: 156-157)
Atas dasar ini, bila kita ditimpa musibah baik besar maupun kecil, dianjurkan mengucapkan kalimat ini, yang dinamakan dengan kalimat istirja’ (pernyataan kembali kepada Allah subhanahu wata’la). Kalimat istirja’ akan lebih sempurna lagi jika ditambah setelahnya dengan do’a yang diajarkan oleh baginda nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam:

اللَّهُمَّ أَجِرْنِي فِي مُصِيْبَتِي وَاخْلُفْ لِي خَيْرًا مِنْهَا

“Ya Allah, berilah ganjaran atas musibah yang menimpaku dan gantilah musibah itu yang lebih baik bagiku.”
Barangsiapa yang membaca kalimat istirja’ dan berdo’a dengan do’a di atas niscaya Allah subhanahu wata’la akan menggantikan musibah yang menimpanya dengan sesuatu yang lebih baik. Sebagaimana hadits riwayat Al Imam Muslim 3/918 dari shahabiyah Ummu Salamah.
Suatu ketika Ummu Salamah ditinggal suaminya Abu Salamah yang mati syahid di medan perang (jihad). Kemudian beliau mengucapkan do’a ini, sehingga Allah subhanahu wata’la memenuhi janji-Nya dengan memberikan pendamping (jodoh) baginya dengan sebaik-baik pendamping yaitu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Sesungguhnya Allah subhanahu wata’la tidak akan mengingkari janji-Nya.

7. Mendapatkan Ganjaran Yang Lebih Baik Dari Amalannya
Allah subhanahu wata’la memberikan ganjaran bagi orang yang sabar melebihi usaha atau amalan yang ia lakukan. Sebagaimana firman-Nya subhanahu wata’ala (artinya):
“Dan sesungguhnya Kami memberi balasan bagi orang-orang yang sabar dengan ganjaran yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (An Nahl: 126)
Dalam ayat lainnya, Allah subhanahu wata’la menjanjikan akan memberikan jaminan kepada orang yang sabar dengan ganjaran tanpa hisab (tanpa batas). Sebagaimana firman-Nya radhiallahu ‘anhu (artinya):
“Sesungguhnya orang-orang yang bersabarlah yang akan dipenuhi ganjaran mereka tanpa batas.” (Az Zumar: 10)

8. Mendapat Ampunan Dari Allah subhanahu wata’la
Selain Allah subhanahu wata’la memberikan ganjaran yang lebih baik dari amalannya kepada orang yang sabar, Allah subhanahu wata’la juga memberikan ampunan kepada mereka. Allah subhanahu wata’la berfirman (artinya):
“…, kecuali orang-orang yang bersabar dan beramal shalih, mereka itulah yang akan mendapatkan ampunan dan ganjaran yang besar.” (Hud: 11)
Dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha Ummul Mu’minin, beliau berkata: “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda:

مَا مِنْ مُصِيْبَةٍ تُصِيْبُ الْمُسْلِمَ إِلاَّ كَفَّرَ اللهُ بِهَا عَنْهُ حَتَّى الشَّوْكَةُ يُشِيْكُهَا

“Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seorang muslim, melainkan Allah subhanahu wata’la telah menghapus dengan musibah itu dosanya. Meskipun musibah itu adalah duri yang menusuk dirinya.” (HR. Al-Bukhari no. 3405 dan Muslim 140-141/1062)

9. Mendapat Martabat Tinggi Di Dalam Al-Jannah
Anugerah yang lebih besar bagi orang-orang yang sabar adalah berhak mendapatkan martabat yang tinggi dalam al-jannah. Allah subhanahu wata’la berfirman (artinya):
“Mereka (orang-orang yang sabar) itulah yang akan dibalas dengan martabat yang tinggi (dalam al-jannah) dikarenakan kesabaran mereka, dan mereka disambut dengan penghormatan dan ucapan selamat di dalamnya.“ (Al Furqaan: 75)

10. Sabar Adalah Jalan Terbaik
Para pembaca yang mulia –semoga Allah subhanahu wata’la merahmati kita semua–, semua uraian di atas menunjukkan bahwa sabar ialah jalan terbaik bagi siapa yang menginginkan kebaikan dunia dan akhiratnya. Hal ini sebagaimana yang Allah subhanahu wata’la tandaskan dalam firman-Nya subhanahu wata’ala (artinya):
“…, kalau seandainya kalian mau bersabar, sungguh itu berakibat lebih baik bagi orang-orang yang sabar.” (An-Nisaa’: 25)
Dari shahabat Shuhaib bin Sinan, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

عَجَباً ِلإَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنََّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَلِكَ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ فَإِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهَ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ

“Sungguh mengagumkan urusan orang mukmin, sungguh semua urusannya baik baginya, yang demikian itu tidaklah dimiliki seorang pun kecuali hanya orang yang beriman. Jika mendapat kebaikan (kemudian) ia bersyukur, maka itu merupakan kebaikan baginya, dan jika keburukan menimpanya (kemudian) ia bersabar, maka itu merupakan kebaikan baginya.” (HR. Muslim)

Untaian Permata Salaf
‘Umar bin Al Khattab radhiallahu ‘anhu berkata: “Tidaklah seseorang dikaruniai sesuatu yang lebih luas dan baik dibandingkan kesabaran”.
Beliau juga berkata: “Sebaik-baik kehidupan yang kami rasakan adalah dengan kesabaran. Kalau sekiranya sabar itu ada pada salah seorang niscaya ia akan menjadi orang mulia.”
‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu berkata: “Posisi kesabaran dalam iman seperti posisi kepala dalam tubuh”. ungkapan ini cukup jelas maknanya yaitu orang yang tidak punya kesabaran ibarat orang yang tidak punya kepala, sehingga tidak ada iman bagi orang yang tidak punya kesabaran, sebagaimana ia tidak punya kepala dalam tubuhnya.
Al Hasan Al Bashri berkata: “Sabar adalah satu kekayaan dari kekayaan yang baik, Allah subhanahu wata’la tidaklah memberikan kecuali kepada hamba-hamba-Nya yang mulia di sisi-Nya.”
Sulaiman Ibnul Qasim berkata: “Setiap amalan akan diketahui ganjarannya kecuali kesabaran. Allah subhanahu wata’la berfirman (artinya): “Sesungguhnya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan ganjaran mereka tanpa batas.” (Az Zumar: 10)

Itulah diantara keutaamaan besar yang Allah subhanahu wata’la janjikan bagi hamba-Nya yang bersabar. Setelah kita mengetahui beberapa keutamaan sabar, kedudukannya dalam agama Islam, serta dalil-dalil yang memerintahkannya, maka sudah sepantasnya bagi kita berupaya dan berdo’a agar dapat mengamalkannya. Semoga Allah subhanahu wata’la memberi taufiq kepada kita untuk beramal dengan ilmu yang kita ketahui. Amin, Ya Rabbal ‘Alamin





ARTI SEBUAH KEJUJURAN


Para pembaca yang mulia, menyoal kejujuran adalah suatu topik pembicaraan yang mahal. Tak ubahnya ibarat barang langka, namun banyak konsumen yang mengincarnya. Terasa susah sekali mencari orang yang jujur atau yang bisa dipercaya. Tak urung, orang kepercayaan pun bisa jadi musuh dalam selimut.

Seiring dengan kemajuan media informasi dan tehnologi yang semakin canggih, peran kejujuran merupakan modal yang paling urgen (mendasar). Keakuratan dalam memberikan informasi, berita, data, fakta, dan segala yang terkait dengan pernyataan, sikap dan tindakan, itu tergantung kepada faktor kejujuran.

Demi mengejar persaingan bisnis, persaingan posisi (jabatan), kesenjangan sosial, kesulitan ekonomi atau pun kepentingan lainnya tak jarang dapat membutakan prinsip kejujuran. Tak luput juga dalam dunia pendidikan, adanya persaingan pendidikan yang kurang sehat juga dapat mengugurkan akan kejujuran. kalau dalam dunia pendidikan saja sudah terlepas dari prinsip kejujuran, bagaimana lagi bila meningkat pada jenjang berikutnya?

Demikian pula dalam lembaga kecil rumah tangga sangat perlu ditanamkan dan diterapkan prinsip kejujuran yang mulia ini. Betapa menyesalnya orang tua, bila sang anak sudah tidak bisa dipegang kejujurannya lagi? Betapa retaknya hubungan suami istri bila keduanya tidak saling menaruh kepercayaan? Dalam lembaga yang kecil saja ketidakjujuran itu membawa dampak negatif yang luar biasa, bagaimana lagi dampak yang terjadi dalam lembaga yang lebih besar?

Sangat tragis bila image (praduga) “siapa yang jujur ajur”, “siapa yang polos gak lolos”, ini semakin semarak. Apakah wabah ini bisa terobati? Jawabannya, tentu karena Allah subhanahu wata’ala tidak akan menurunkan sebuah penyakit melainkan pasti ada obatnya. Kembali kepada Islam, mempelajari ajaran-ajarannya dan mengamalkannya adalah obat yang tepat.

Jujur adalah Tanda Orang Yang Beriman
Wahai saudaraku kaum muslimin, sesungguhnya agama Islam yang dibawa oleh baginda Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam adalah agama yang menjunjung tinggi prinsip kejujuran. Beliau sendiri adalah seorang yang mendapat gelar al amin (orang yang dapat dipercaya) dimasa itu. Karena beliau shalallahu ‘alaihi wasallam melandasi setiap tindakannya diatas prinsip kejujuran.
Dalam beberapa ayat Al Qur’an, Allah subhanahu wata’ala telah menyeru orang-orang yang beriman agar bersikap jujur. Diantara firman-Nya: (artinya):
“Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang jujur.” (At Taubah: 119)
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dan Katakanlah perkataan yang benar (diantara perkataan yang benar adalah jujur -pent).” (Al Ahzab: 70)

Kandungan kedua ayat di atas, Allah subhanahu wata’ala memanggil kepada orang-orang yang beriman, agar mereka bertaqwa dan berjalan bersama orang-orang yang jujur. Mengisyaratkan bahwa konsekuensi orang yang mengikrarkan dirinya beriman kepada Allah subhanahu wata’ala, hendaknya dia bertaqwa. Dan salah satu bentuk taqwa dia kepada Allah subhanahu wata’ala adalah berjalan bersama orang-orang yang jujur. Berpijak diatas pijakan mereka, yaitu melandasi semua perkataan dan perbuatan diatas prinsip kejujuran. Karena kejujuran itu merupakan tanda kesempurnaan iman dan taqwa dia kepada Allah subhanahu wata’ala.

Hal ini juga ditegaskan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dalam sebuah haditsnya yang diriwayatkan dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu:

وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah subhanahu wata’ala dan hari kiamat, hendaklah dia berkata baik atau hendaknya dia diam (bila tidak bisa berkata baik).” (HR. Al Bukhari no. 6018 dan Muslim no. 48)
Diantara perkataan yang baik adalah perkataan yang jujur. Bahkan kejujuran itu adalah sumber segala kebaikan.

Arti Sebuah Kejujuran
Para pembaca, setiap yang menabur biji kebaikan pasti ia akan menuai kebaikan dan demikian pula setiap yang menabur biji kejelekan pasti ia akan menuai kejelekan pula. Ini merupakan sunnatullah (ketetapan Allah subhanahu wata’ala) yang sejalan dengan fitrah yang suci.
Al Imam Al Bukhari dan Al Imam Muslim meriwayatkan dari shahabat Abdullah bin Mas’ud, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَصْدُقُ حَتَّى يَكُونَ يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا وَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَكْذِبُ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا

“Sesungguhnya kejujuran itu akan mengantarkan kepada jalan kebaikan, dan sesungguhnya kebaikan itu akan mengantarkan kedalam al jannah (surga), sesungguhnya orang yang benar-benar jujur akan dicacat disisi Allah sebagai ash shidiq (orang yang jujur). Dan sesungguhnya orang yang dusta akan mengantarkan ke jalan kejelekan, dan sesungguhnya kejelekan itu akan mengantarkan kedalam an naar (neraka), sesungguhnya orang yang benar-benar dusta akan dicatat disisi Allah sebagai pendusta.” (HR. Al Bukhari no. 6094 dan Muslim no. 2606)
Dalam hadits diatas menunjukkan bahwa jujur merupakan amalan yang amat terpuji. Dari sebuah kejujuran akan tegak kebenaran, keadilan, dan sekian banyak kebaikan dibaliknya. Hati akan menjadi tenang dan tentram. Karena orang yang jujur itu tidak mengurangi atau menzhalimi hak orang lain. Sehingga semakin menambah kepercayaan dari orang lain.

Cobalah perhatikan, bila seseorang berkata atau bertindak jujur, maka orang lain akan merasa dirinya dihormati, diperlakukan adil, tidak dizhalimi atau tidak dikhianati. Sehingga menumbuhkan rasa saling percaya, menambah rajutan ukhuwah (persaudaran), dan mahabbah (kasih sayang). Namun sebaliknya, dari ketidakjujuran akan menyebabkan terjatuh dalam perbuatan zhalim, curang atau berdusta kepada orang lain. Yang berakibat memudarnya sikap saling percaya, bahkan akan timbul kedengkian, permusuhan, dan sikap jelek lainnya.

Sehingga jujur itu benar-benar akan mendatangkan kebaikan dan sebaliknya dibalik ketidakjujuran itu terdapat sekian malapetaka. Demikianlah janji Allah subhanahu wata’ala dalam firman-Nya (artinya):
“… Tetapi jikalau mereka jujur terhadap Allah, niscaya yang demikian itu lebih baik bagi mereka.” (Muhammad: 21)

Sebenarnya segala perbuatan itu bisa dinilai sendiri, apakah perbuatan itu didasari dengan jujur ataukah tidak? Bila perbuatan itu didasari dengan kejujuran maka hati itu akan menjadi tentram dan tenang. Berbeda dengan perbuatan yang didasari dengan ketidakjujuran maka hati itu akan selalu gundah gulana dan bimbang. Maka sesuatu yang masih ragu atau bimbang hendaknya ditinggalkan. Sebagaimana Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيبُكَ فَإِنَّ الصِّدْقَ طُمَأْنِينَةٌ وَإِنَّ الْكَذِبَ رَيبَةٌ

“Tinggalkan sesuatu yang meragukanmu kepada sesuatu yang tidak meragukanmu. Karena kejujuran itu adalah sesuatu yang menenangkan sedangkan dusta itu adalah sesuatu yang membimbangkan.” (HR. At Tirmidzi no. 2518, An Nasa’i 8/327-328, dan Ahmad 1/200, dari shahabat Al Hasan bin Ali bin Abi Thalib)

Para pembaca, sehingga image bahwa “jujur itu ajur” itu tidaklah benar. Bahkan sikap jujur itu pasti berakibat “mujur” (baik) dan “ma’jur” (mendapat pahala dari Allah subhanahu wata’ala). Diantara dampak yang baik dari perbutan jujur adalah:

1. Sebab mendapat barakah dari Allah subhanahu wata’ala.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِي بَيْعِهِمَا وَإِنْ كَذَبَا وَكَتَمَا مُحِقَ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا

“Penjual dan pembeli itu memiliki hak untuk meneruskan atau membatalkan akad jual belinya selama keduanya belum berpisah. Jika keduanya jujur menjelaskan keadaan barangnya maka akan diberkahi jual belinya dan jika keduanya dusta maka akan dihapus keberkahan dalam jual belinya.”
Ini adalah suatu gambaran dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam tentang usaha dagang (bisnis) yang didasari dengan prinsip kejujuran. Jujur dalam memberikan sifat barang, jujur dalam timbangan, atau jujur dalam segala hal yang terkait dengan jual beli. Maka bisnis itu akan diberkahi oleh Allah subhanahu wata’ala. Sebaliknya bila berlaku culas (menipu) dalam bisnisnya maka akan menjauhkan dia dari barakah-Nya ?, bahkan Allah subhanahu wata’ala akan mendatangkan siksaan baginya. Seperti curang dalam timbangan maka Allah subhanahu wata’ala mengancam dengan ancaman yang keras, sebagaimana firman-Nya (artinya):
“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang (yaitu curang dalam menakar dan menimbang).” (Al Muthaffifin: 1)

2. Jujur sebagai sebab akan diperbaiki dan diterima amalan-amalan lainnya oleh Allah subhanahu wata’ala.

3. Jujur sebagai sebab datangnya maghfirah (ampunan) Allah subhanahu wata’ala.
Sebagaimana Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan Katakanlah perkataan yang benar (jujur), niscaya Allah akan memperbaiki amalan-amalanmu dan akan mengampuni dosa-dosamu, …” (Al Ahzab: 70-71)

4. Mendapat pahala yang besar.
Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):
“(Sesungguhnya), … laki-laki dan perempuan yang benar (jujur), … maka Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (Al Ahzab: 35)
Diantara pahala yang besar yang Allah subhanahu wata’ala janjikan, yaitu barangsiapa yang memohon derajat syahid disisi Allah subhanahu wata’ala dengan jujur, niscaya Allah subhanahu wata’ala akan memenuhi permohanannya, meskipun ia mati diatas ranjangnya. Sebagaiamana hadits Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam

مَنْ سَأَلَ اللَّهَ الشَّهَادَةَ بِصِدْقٍ بَلَّغَهُ اللَّهُ مَنَازِلَ الشُّهَدَاءِ وَإِنْ مَاتَ عَلَى فِرَاشِهِ

“Barangsiapa memohon kepada Allah derajat syahid dengan jujur niscaya Allah akan menyampaikannya ke derajat para syuhada’, meskipun ia meninggal diatas ranjangnya.” (HR. Muslim no. 1909)
Demikian pula, pedagang (bisnisman) yang jujur akan diberikan pahala tinggal bersama para nabi, orang-orang yang jujur, dan para syuhada’ (orang-orang yang mati di medan jihad). Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda

التَّاجِرُ الصَّدُوقُ الأَمِينُ مَعَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ

“Pedagang yang jujur lagi dapat dipercaya bersama para nabi, ash shiddiqi, dan asy syuhada’.” (At Tiermidzi: 1130)
Akhir kata, semoga kajian yang ringkas ini sebagai koreksi bagi kita semua. Tiada seorang pun yang bersih dari noda dosa dan kesalahan. Namun seyogyanya kita selalu berusaha untuk berjalan diatas prinsip kejujuran, bila ada kelalain dari kita, hendaknya segera kita bertaubat kepada Allah subhanahu wata’ala. Semoga Allah subhanahu wata’ala menggolongkan kita termasuk hamba-hambanya yang jujur. Amien, ya Rabbal ‘alamin.

MUTIARA HADITS

Do’a Berlindung Dari Empat Perkara Sebelum Salam
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, sesungguhnya Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Bila salah seorang diantara kalian selesai dari tasyahud akhir hendaklah berlindung kepada Allah dari empat perkara:

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ وَمِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ وَمِنْ شَرِّ فِتْنَةِ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ

“Ya, Allah sesungguhnya aku memohon perlindungan kepada-Mu dari adzab neraka jahannam, adzab kubur, fitnah kehidupan dan kematian, dari jeleknya fitnah Dajjal.” (HR. Al Bukhari no. 1377, Muslim no. 588, Abu Dawud no. 833, At Tirmidzi no. 3528, An Nasa’i no. 1293, Ibnu Majah no. 899, Ahmad no. 7110, dan Ad Darimi no. 1310)




MERAIH KEMULIAAN HAKIKI DENGAN ILMU SYAR’I “Berilmu Sebelum Berkata dan Beramal”

Sejarah mencatat, kehidupan umat manusia sebelum diutusnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam sangatlah jauh dari petunjuk ilahi. Norma-norma kebenaran dan akhlak mulia nyaris terkikis oleh kerasnya kehidupan. Tidak heran bila masa itu dikenal dengan masa jahiliah (kebodohan). Ketika kehidupan umat manusia telah mencapai puncak kebobrokannya, Allah subhanahu wata’ala mengutus Rasul pilihan-Nya Muhammad bin Abdillah shalallahu ‘alaihi wasallam dengan membawa petunjuk ilahi dan agama yang benar, untuk mengentaskan umat manusia dari jurang kejahiliahan yang gelap gulita menuju kehidupan islami yang terang benderang. Islam adalah agama yang sarat (penuh) dengan ilmu pengetahuan, bahkan sumber ilmu yang terdapat di dalamnya adalah wahyu yang Allah subhanahu wata’ala turunkan kepada Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam dengan perantara malaikat jibril ‘alaihi salam . Allah subhanahu wata’ala Berfirman: “Dan tiadalah yang diucapkannya (Muhammad) itu menurut hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan.” (An-Najm: 3-4 ) Dengan ilmu inilah Beliau shalallahu ‘alaihi wasallam tunjukkan semua jalan kebaikan, dan beliau peringatkan tentang jalan-jalan kebatilan. Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam adalah seorang Nabi yang terakhir dan sekaligus Rasul yang diutus kepada umat manusia dan jin. Dan para nabi tidaklah meninggalkan warisan kepada umatnya berupa dinar ataupun dirham, akan tetapi yang mereka wariskan adalah “ilmu agama/ilmu syar’i”. Sebagaimana yang telah dimaklumi bahwasanya Ulama adalah pewaris para Nabi. Mereka adalah manusia yang memiliki kedudukan demikian mulia, pembimbing bagi segenap manusia menuju jalan yang lurus, dan juga penerang disaat manusia berada dalam kegelapan.

Salah seorang Ulama terkemuka bernama Al-Imam Al-Bukhari berkata: “Al-Ilmu Sebelum Berkata dan Beramal” dandalilnyaadalah firman Allah subhanahu wata’ala:“Maka ilmuilah! Bahwasanya tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu” (Muhammad: 19). Maka dimulailah (perintah-Nya tersebut) dengan Al-ilmu.” Ucapan ini beliau katakan ketika memberi judul suatu Bab di dalam “Shahihul Bukhari”(kitab Al-Ilmu).

Sudah barang tentu di dalam perkataan beliau ini terkandung kaidah penting yang sangat bermanfaat dan perlu untuk kita ketahui bersama. Semoga dengan mengetahuinya bisa bermanfat bagi kita semua. Berikut kajian ringkasnya:
Pentingnya Ilmu Agama

Berikut ini adalah penjelasan singkat dari sebagian Ulama berkaitan dengan perkataan Al-Imam Al-Bukhari di atas.

Asy-Syaikh Sholeh bin ‘Abdul ‘Aziz Alu Syaikh berkata:

“Ilmu itu jika ditegakkan sebelum ucapan dan amal, maka akan diberkahi pelakunya biarpun perkaranya itu kecil. Adapun jika ucapan dan amal didahulukan sebelum ilmu dan bisa jadi perkaranya itu sebesar gunung, namun itu semua tidaklah di atas jalan keselamatan…Dan sungguh! Amalan yang sebesar dzarah (setitik) namun didasari ilmu, maka ini lebih besar nilainya daripada amalan laksana gunung tanpa ilmu. Dan Bahwasanya ilmu itu tujuan puncak yang terpenting dan harus diutamakan dari segala sesuatu. Khususnya ilmu yang dapat memperbaiki ibadah, meluruskan aqidah, memperbaiki hati, dan yang bisa menjadikan seseorang itu mudah dalam kehidupannya untuk meniti jalan di atas bukti nyata yang mencocoki Sunnah Rasul, bukan hidup di atas kebodohan.” (Syarh Kitab Tsalatsatul Ushul: 11-12)

Asy-Syaikh Ibnul ‘Utsaimin berkata:

“Al-Imam Al-Bukhari berdalil dengan ayat ini (Muhammad: 16) atas wajibnya mengawali dengan ilmu sebelum berkata dan beramal. Dan ini merupakan dalil atsari (yang berdasarkan periwayatan) yang menunjukkan atas insan bahwa berilmu terlebih dahulu baru kemudian beramal setelahnya sebagai langkah kedua.

Dan juga di sana ada dalil ‘aqliyah (yang telah diteliti) yang menunjukkan atas ‘ilmu sebelum berkata dan beramal’. Hal itu karena perkataan dan amalan tidak akan benar dan diterima sehingga perkataan dan amalan tersebut mencocoki syariat, dan manusia tidaklah mungkin mengetahui bahwa amalnya mencocoki syariat kecuali dengan ilmu.” (Syarh Kitab Tsalatsatul Ushul: 27-28)

Ibnu Munir/Munayyir di dalam Fathul Bari berkata:

“Mengapa Al-Imam Al-Bukhari membuat Bab Khusus ini? Karena “Al-Imam Al-Bukhari memaksudkan dengan kesimpulannya itu, bahwa ilmu merupakan syarat atas kebenaran suatu perkataan dan amalan. Maka suatu perkataan dan amalan itu tidak akan teranggap kecuali dengan ilmu. Oleh sebab itulah ilmu didahulukan atas ucapan dan perbuatan.”

Kemudian mengapa ilmu itu harus didahulukan? Karena ilmu itu pelurus niat. Dimana niat itu akan memperbaiki amalan. Hal ini diingatkan oleh Al-imam Al-Bukhari agar tidak ada pemikiran yang muncul “ilmu itu tidak berguna kalau tidak diamalkan”.

Kesimpulannya adalah bahwa kita hendaknya “berilmu sebelum berkata dan beramal” karena ucapan dan perbuatan kita tidak akan berharga bila tanpa ilmu.
B. Anjuran Berilmu Agama

Di dalam Al-Qur’an dan hadits terdapat begitu banyak anjuran yang memerintahkan agar kita berilmu agama. Bahkan sesungguhnya Allah subhanahu wata’ala telah memuji ilmu dan pemiliknya. Menyiapkan bagi siapa saja yang berjalan di atas titian ilmu tersebut, balasan yang baik, pahala, ganjaran, dan Dia subhanahu wata’ala mengangkat derajat kedudukan mereka di dunia dan akhirat.

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

طَلَبُ اْلعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

Artinya: “Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim”.{HR. Al Baihaqi dan lainnya dari Anas dan lainnya. Shahih. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-AlBani ِ dalam Shahihul jami’ no.3913}

Al-imam Ahmad rahimahullah berkata: “Ilmu yang wajib (‘ain) untuk dituntut adalah yang akan menegakkan agama seseorang. Beliau ditanya: Contohnya seperti apa? Jawabnya: yaitu yang seseorang tidak boleh jahil (bodoh/tidak tahu) dalam urusan shalatnya, puasanya, dan sejenisnya .” (Hasyiah Ushul Ats Tsalatsah: 10 dan Adab Syar’iyah: 2/35)

Berarti yang wajib atas manusia untuk beramal dengannya adalah ilmu yang berkaitan dengan dasar-dasar iman, syari’at-syari’at islam, perkara yang wajib ditinggalkan dari hal-hal yang haram, lalu yang dibutuhkan dari muamalat dan yang lainnya. Sebab sesuatu yang wajib itu tidak akan bisa sempurna kecuali dengannya, maka hal itu wajib atasnya untuk dipelajari. Hal ini sebagaimana yang telah diterangkan oleh Asy-Syaikh Abdurrahman An-Najdirahimahullah ketika menjelaskan perkataan Al-Imam Ahmadrahimahullah tersebut di atas.

C. Keutamaan Ilmu Agama, Pencarinya, dan Ulama

Para pembaca yang mulia, sudah suatu kepastian bahwa setiap insan itu pada asalnya dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu apapun.

Allah subhanahu wata’ala berfirman: “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun. Dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.”(An-Nahl: 78)

Namun hendaknya setiap pribadi muslim tidak membiarkan dirinya terus menerus dalam keadaan jahil (tidak tahu) akan ilmu agamanya sendiri. Sebab kejahilan itu apabila terus menerus dipelihara dapat mengantarkannya kepada kehinaan dan kerugian yang besar. Sebaliknya ilmu agama (ilmu syar’i) ini adalah satu-satunya ilmu yang dapat mengantarkan seseorang meraih kemuliaan hidup yang hakiki di dunia dan akhiratnya.

Diantara dalil-dalil yang menerangkan keutamaan ilmu agama, pencarinya dan kemuliaan Ulama adalah sebagai berikut:

1. Pencarinya dimudahkan jalan menuju ke Jannah (surga)

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ سَلَكَ طَِريْقًا يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا,سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَِريْقًاإِلَى الْجَنَّةِ

“Siapa yang menempuh sebuah jalan dalam rangka untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju Jannah (surga).” (HR. Muslim no.2699)

2. Orang yang berilmu agama akan diangkat derajatnya

Allah subhanahu wata’ala berfirman:

“Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang berilmu beberapa derajat.” (Al-Mujadilah: 11)

3. Orang yang dikaruniai ilmu agama merupakan tanda kebaikan dari Allah subhanahu wata’ala baginya

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ يُرِيْدِاللَّهُ بِهِ خًيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ

“Siapa yang Allah kehendaki kebaikan baginya, Allah akan memfaqihkannya (memahamkan) dalam agama.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Hadits ini menunjukkan, barangsiapa yang tidak dijadikan oleh Allah faqih (faham) dalam agama-Nya, menunjukkan bahwa Allah tidak mengijinkan kepadanya kebaikan.”(Miftah Dar As-Sa’adah, 2/246)

4. Ulama adalah Pewaris para Nabi

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

العُلَمَاءُ وَرَ ثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ

“Ulama adalah pewaris para nabi.” (HR. At-Tirmidzi dari Shahabat Abu Darda t )

Badruddin Al-Kinani rahimahullah berkata: “Cukup derajat ini menunjukkan satu kebanggaan dan kemuliaan. Dan martabat ini adalah martabat yang tinggi dan agung. Sebagaimana tidak ada kedudukan yang tinggi daripada kedudukan nubuwwah (kenabian), begitu juga tidak ada kemuliaan di atas kemuliaan pewaris nabi.” (Tadzkiratus Sami’ hal.29)

5. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam Berdoa kepada Allah subhanahu wata’ala agar ditambahkan ilmu agama

Cukuplah kemuliaan bagi ilmu, dengan Allah subhanahu wata’ala memerintahkan Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam sebagai nabi pilihan untuk berdoa meminta tambahan ilmu, bukan meminta tambahan harta atau yang selainnya dari perkara dunia.:

َوقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا

“Katakanlah (ya Muhammad): “Wahai Rabbku, tambahkanlah ilmu bagiku.” (Thaha: 114)

Masih banyak lagi dalil-dalil yang menyebutkan tentang keutamaan ilmu dan ucapan para Ulama dalam hal ini, yang apabila kami cantumkan akan membutuhkan berlembar-lembar kertas, sehingga cukuplah apa yang telah kami sebutkan di atas dari dalil-dalil yang ada. Semoga menjadi dorongan bagi kami pribadi maupun pembaca untuk meraih kemuliaan hakiki tersebut.

D. Menghindari Bahaya Kejahilan

Pembaca yang mulia, demikianlah beberapa bentuk kemuliaan yang Allah subhanahu wata’ala berikan terhadap para pemilik ilmu sehingga tidak sama kedudukannya dengan mereka yang tidak memiliki ilmu. Allah subhanahu wata’ala berfirman: “Katakanlah (ya Muhammad) apakah sama orang-orang yang mengetahui (berilmu) dengan orang yang tidak mengetahui (jahil)?.”(Az-Zumar: 9)

Sebaliknya orang yang jahil akan ilmu agama-Nya disebutkan oleh Allah subhanahu wata’ala sebagai seorang yang buta yang tidak bisa melihat kebenaran dan kebaikan. Allah subhanahu wata’ala berfirman:

“Apakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu adalah al-haq (kebenaran) sama dengan orang yang buta? (tidak mengetahui al-haq).” (Ar-Ra’d: 19)

Hal ini menunjukkan bahwa yang sebenarnya memiliki penglihatan dan pandangan yang hakiki hanyalah orang-orang yang berilmu. Adapun selain mereka hakikatnya adalah orang yang buta yang berjalan di muka bumi tanpa dapat melihat.

Ibnul Qoyyim Al-Jauziyyah rahimahullah berkata: “ Allah subhanahu wata’ala menolak disamakannya ahlul ilmi dengan selain mereka, sama halnya sebagaimana Allah subhanahu wata’ala menolak persamaan penghuni Al-jannah (surga) dengan penghuni An-nar (neraka):

Allah subhanahu wata’ala berfirman: “Tidak sama antara penghuni an-nar dengan penghuni al-jannah.” (Al-Hasyr: 20) Miftah Daris Sa’adah, 1/51.

Akhirnya namun bukan yang terakhir, semoga Allah subhanahu wata’ala memberi taufik kepada kita semua untuk senantiasa berilmu sebelum berkata dan beramal. Dan menolong kita untuk meraih kemuliaan hidup yang hakiki di dunia dan akhirat dengan mempelajari ilmu agama islam ini yang bersumberkan dari Al-Qur’an dan As-Sunnah sesuai dengan pemahaman para Shahabat Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam di bawah bimbingan Ulama Pewaris Nabi. Amin Ya Rabbal ‘Alamin




Syukur Nikmat, Sebab Dibukanya Pintu-Pintu Barakah

Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam pernah menceritakan (artinya):
“Ada tiga orang dari Bani Israil menderita penyakit belang, botak, dan buta. Allah hendak menguji mereka, maka Allah pun utus kepada mereka Malaikat.

Malaikat itu datang kepada si belang dan bertanya: Apakah yang paling kamu dambakan? Si belang menjawab: Saya mendambakan paras yang tampan dan kulit yang bagus serta hilang penyakit yang menjadikan orang-orang jijik kepadaku. Malaikat itu pun mengusap si belang, maka hilanglah penyakit yang menjijikkannya itu, bahkan ia diberi paras yang tampan. Malaikat itu bertanya lagi: Harta apakah yang paling kamu senangi? Si belang menjawab: Unta. Kemudian ia diberi unta yang bunting sepuluh bulan. Dan malaikat tadi berkata: Semoga Allah memberi barakah atas apa yang kamu dapatkan ini.
Kemudian Malaikat itu datang kepada si botak dan bertanya: Apakah yang paling kamu dambakan? Si botak menjawab: Saya mendambakan rambut yang bagus dan hilangnya penyakit yang menjadikan orang-orang jijik kepadaku ini. Malaikat itu pun mengusap si botak, maka hilanglah penyakitnya itu, serta diberilah ia rambut yang bagus. Malaikat itu bertanya lagi: Harta apakah yang paling kamu senangi? Si botak menjawab: Sapi. Kemudian ia diberi sapi yang bunting. Dan malaikat tadi berkata: Semoga Allah memberi barakah atas apa yang kamu dapatkan ini.
Kemudian Malaikat itu datang kepada si buta dan bertanya: Apakah yang paling kamu dambakan? Si buta menjawab: Saya mendambakan agar Allah mengembalikan penglihatanku sehingga aku dapat melihat. Malaikat itu pun mengusap si buta, dan Allah mengembalikan penglihatannya. Malaikat itu bertanya lagi: Harta apakah yang paling kamu senangi? Si buta menjawab: Kambing. Kemudian ia diberi kambing yang bunting.
Selang beberapa waktu kemudian, unta, sapi, dan kambing tersebut berkembang biak yang akhirnya si belang tadi memiliki unta yang memenuhi suatu lembah, demikian juga dengan si botak dan si buta, masing-masing memiliki sapi dan kambing yang memenuhi suatu lembah.
Kemudian Malaikat tadi datang kepada si belang dengan menyerupai orang yang berpenyakit belang seperti keadaan si belang waktu itu, dan berkata: Saya adalah orang miskin yang kehabisan bekal di tengah perjalanan. Sampai hari ini tidak ada yang mau memberi pertolongan kecuali Allah kemudian engkau. Saya meminta kepadamu -dengan menyebut Dzat Yang telah memberi engkau paras yang tampan dan kulit yang bagus serta harta kekayaan- seekor unta untuk bekal dalam perjalanan saya. Si belang berkata: Hak-hak yang harus saya berikan masih banyak.
Malaikat itu berkata: Kalau tidak salah saya sudah mengenalimu. Bukankah kamu dahulu orang yang berpenyakit belang sehingga orang lain merasa jijik kepadamu? Bukankah kamu dahulu orang yang miskin kemudian Allah memberi kekayaan kepadamu? Si belang berkata: Harta kekayaanku ini adalah warisan dari nenek moyangku. Malaikat itu berkata: Jika kamu berdusta, semoga Allah mengembalikanmu seperti keadaan semula.
Kemudian Malaikat itu datang kepada si botak seperti keadaan si botak waktu itu. Dan berkata kepadanya seperti apa yang dikatakan kepada si belang. Si botak juga menjawab seperti jawaban si belang tadi. Kemudian Malaikat tadi berkata: Jika kamu berdusta, semoga Allah ? mengembalikanmu seperti keadaan semula.
Kemudian Malaikat tadi mendatangi si buta dengan menyerupai orang buta seperti keadaan si buta waktu itu dan berkata: Saya adalah orang miskin yang kehabisan bekal di tengah perjalanan. Sampai hari ini tidak ada yang mau memberi pertolongan kecuali Allah ? kemudian engkau. Saya meminta kepadamu -dengan menyebut Dzat Yang telah mengembalikan penglihatanmu- seekor kambing untuk bekal dalam perjalanan saya. Si buta berkata: Saya dahulu adalah orang yang buta kemudian Allah mengembalikan penglihatan saya. Maka ambillah apa yang kamu inginkan dan tinggalkanlah apa yang tidak kamu senangi. Demi Allah, sekarang saya tidak akan memberatkan sesuatu kepadamu yang kamu ambil karena Allah Yang Maha Mulia. Malaikat itu berkata: Peliharalah harta kekayaanmu, sebenarnya kamu itu diuji dan Allah telah ridha kepadamu dan murka kepada kedua temanmu (si belang dan si botak).” (HR. Al Bukhari dan Muslim, hadits ini juga disebutkan oleh Al Imam An Nawawi dalam Riyadhush Shalihin hadits no. 65)
Di dalam sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam yang mulia tersebut banyak terkandung faedah dan pelajaran beharga bagi kaum muslimin. Tidaklah Rasulullah menceritakan kisah kejadian umat terdahulu melainkan untuk menjadi pelajaran bagi umat yang datang setelahnya.
“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal.” (Yusuf: 111)

Tanda Kebesaran Allah subhanahu wata’ala
Allah subhanahu eata’la adalah Dzat Yang Maha Mampu untuk berbuat apa saja sesuai dengan kehendak-Nya. Disebutkan dalam hadits ini bahwa Allah subhanahu wata’ala mampu untuk menyembuhkan penyakit yang diderita oleh ketiga orang tadi dan memberinya kekayaan serta Allah subhanahu wata’ala pun mampu mencabutnya kembali seperti dua orang tadi yang tidak mau bersyukur.
Segala apa yang ada di langit dan di bumi ini merupakan milik Allah subhanahu wata’ala Seseorang yang memiliki harta yang melimpah, tidaklah kepemilikan itu ada padanya kecuali hanya kepemilikan yang sifatnya nisbi, kepemilikan yang mutlak hanya di tangan Allah subhanahu wata’ala. Sewaktu-waktu Allah subhanahu wata’ala berkehendak untuk mengambilnya, pasti Dia akan lakukan.
Manusia ini adalah makhluk yang sangat lemah, Allah subhanahu wata’ala mampu untuk membalik keadaan seseorang yang semula kaya menjadi miskin, yang tadinya sehat dan kuat menjadi sakit dan lemah tak berdaya. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):
“Katakanlah: Ya Allah Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki, dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan, sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Ali ‘Imran: 36)

Syukur Nikmat, Sebab Dibukanya Pintu Barakah
Seluruh nikmat yang kita rasakan ini datangnya dari Allah subhanahu wata’ala. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):
“Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah lah (datangnya).” (An Nahl: 53)
Oleh karena itulah, kita diwajibkan untuk bersyukur kepada-Nya sebagaimana firman-Nya (artinya):
“Dan syukurilah nikmat Allah jika kamu hanya kepada-Nya saja beribadah.” (An Nahl: 114)
Wujud syukur kepada Allah subhanahu wata’ala sebagaimana diterangkan oleh para ulama adalah dengan meyakini bahwa nikmat tersebut datangnya dari Allah subhanahu wata’ala yang kemudian dia memuji-Nya, menyebut-nyebut nikmat tersebut, serta memanfaatkan nikmat tersebut untuk hal-hal yang dicintai dan diridhai-Nya.
Dalam hadits tersebut kita melihat bagaimana si buta ketika dia bersyukur kepada Allah subhanahu wata’ala. Dia menegaskan bahwa kenikmatan berupa disembuhkannya dia dari kebutaan dan diberinya harta kekayaan itu datangnya dari Allah subhanahu wata’ala. Kemudian dia menginfakkan hartanya tersebut untuk membantu saudaranya yang membutuhkan. Maka Allah subhanahu wata’ala pun berikan barakah kepadanya dengan ditetapkannya harta tersebut kepadanya dan dia pun mendapatkan ridha Allah subhanahu wata’ala.
Dari sini kita bisa mengambil faedah bahwasanya syukur nikmat merupakan sebab ditetapkan bahkan ditambahkannya kenikmatan tersebut. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):
“Jika kalian bersyukur, pasti Aku (Allah) akan tambah (kenikmatan) untuk kalian, dan jika kalian ingkar, sesunggahnya adzab-Ku sangatlah pedih.” (Ibrahim: 7)

Syukur Nikmat, Benteng dari Adzab Allah subhanahu wata’ala
Ini merupakan janji Allah subhanahu wata’ala sebagaimana firman-Nya (artinya):
“Mengapa Allah akan mengadzabmu sementara kamu bersyukur dan beriman?” (An Nisa’: 147)

Mengingkari Nikmat, Sebab Mendapatkan Murka Allah subhanahu wata’ala
Berbeda dengan si buta, si belang dan si botak justru mengingkari nikmat yang Allah subhanahu wata’ala berikan kepada mereka itu dengan menyatakan: Harta kekayaanku ini adalah warisan dari nenek moyangku. Mereka mengingkari bahwa harta yang mereka miliki itu merupakan pemberian dari Allah subhanahu wata’ala. Lebih dari itu mereka enggan untuk menginfakkan hartanya untuk membantu saudaranya yang membutuhkan.
Maka mereka pun mendapatkan do’a kejelekan dari Malaikat dan mendapatkan murka dari Allah subhanahu wata’ala.
Demikianlah, barangsiapa yang tidak mau bersyukur kepada Allah subhanahu wata’ala dan menyombongkan diri bahwa harta yang dimilikinya itu merupakan hasil usahanya sendiri dan bukan pemberian Allah subhanahu wata’ala, maka Allah subhanahu wata’ala mengancamnya dengan adzab yang pedih.
Para pembaca, tidakkah kita ingat akan perkataan Qarun yang diabadikan di dalam Al Qur’an (artinya):
“Sesunguhnya aku diberi harta itu karena ilmu yang ada padaku.” (Al Qashash: 78)
Apa yang terjadi kemudian? Allah subhanahu wata’ala tenggelamkan dia beserta hartanya ke perut bumi. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):
“Maka Kami membenamkan Qarun beserta rumahnya ke dalam bumi.” (Al Qashash: 81)

Anjuran Bershadaqah
Hadits tersebut juga menunjukkan kepada kita tentang anjuran untuk bershadaqah. Tidaklah harta itu berkurang karena shadaqah, dan tidaklah orang kaya itu menjadi miskin karena dia rajin bershadaqah. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ

“Tidaklah shadaqah itu mengurangi harta.” (HR. Muslim)
Justru dengan bershadaqah, harta seseorang akan semakin bertambah, barakahnya maupun jumlah harta itu sendiri. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):
“Dan apa saja yang kamu infakkan, maka Dia (Allah) akan menggantinya dan Dialah sebaik-baik pemberi rizki.” (Saba’: 39)
Dalam sebuah hadits Qudsi, Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

قَالَ اللهُ تَعَالَى : أَنْفِقْ يَا ابْنَ آدَمَ يُنْفَقْ عَلَيْكَ

“Allah Ta’ala berfirman: Berinfaklah wahai anak Adam (manusia), pasti kamu akan diberi gantinya.” (HR. Al Bukhari, Muslim)
Orang-orang yang rajin bershadaqah dan jauh dari sifat kikir itulah yang akan mendapatkan kemenangan. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):
“Dan barangsiapa yang terbebas dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang mendapatkan kemenangan.” (Al Hasyr: 9)
Namun yang perlu diingat adalah bahwa keutamaan seperti ini tidaklah didapat kecuali oleh orang-orang yang ikhlas dalam shadaqahnya dan tidak mengungkit-ungkit shadaqah yang sudah diberikannya tersebut karena hal itu dapat menghapus pahala dan keutamaan bershadaqah. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) shadaqahmu dengan mengungkit-ungkitnya dan menyakiti (perasaan si penerima).” (Al Baqarah: 264)

Peringatan dari Perbuatan Kikir
Sifat kikir yang ditunjukkan oleh si belang dan si botak tersebut justru berakibat buruk bagi diri mereka sendiri. Allah subhanahu wata’ala murka kepada mereka. Orang-orang seperti inilah yang Allah subhanahu wata’ala nyatakan dalam Al Qur’an (artinya):
“Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri. (Yaitu) orang-orang yang kikir dan menyuruh orang untuk berbuat kikir dan menyembunyikan karunia Allah yang diberikan kepada mereka.” (An Nisa’: 36-37)
Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):
“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya dijalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka dengan adzab yang pedih.” (At Taubah: 34)
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

وَاتَّقُوا الشُّحَّ, فَإِنَّ الشُّحَّ أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ

“Dan hati-hatilah kalian dari kikir, karena kekikiran itu telah membinasakan orang-orang sebelum kalian.” (HR. Muslim)
Para pembaca, dari kisah tersebut kita bisa melihat langsung, apa yang didapat oleh orang yang dermawan, dan apa pula yang dirasakan oleh orang yang kikir. Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَا مِنْ يَوْمٍ يُصْبِحُ الْعِبَادُ فِيْهِ إِلاَّّ مَلَكَانِ يَنْزِلاَنِ, فَيَقُوْلُ أَحَدُهُمَا : اللهُمَّ أَعْطِ مُنْفِقًا خَلَفًا, وَيَقُولُ اْلآخَرُ : اللهُمَّ أَعْطِ مُمْسِكًا تَلَفًا

“Tidaklah seorang hamba berada di pagi hari kecuali dua Malaikat turun kepadanya, yang salah satunya berkata: Ya Allah, berilah orang yang berinfak gantinya. Dan yang lain berkata: Ya Allah, berilah orang yang kikir kerusakan.” (HR. Al Bukhari, Muslim)
Demikianlah beberapa faedah yang terkandung dalam hadits ini. Semoga Allah ? menjadikan kita semua sebagai hamba-Nya yang bisa mengambil pelajaran darinya. Amin, Ya Rabbal ‘Alamin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar