Dengan Empat Perkara Ini, Engkau Akan Terhindar dari Kerugian
Kita hidup di dunia ini tidaklah hidup begitu saja. Kita semua diberikan kesempatan hidup oleh Allah subhanahu wata’ala dalam keadaan tidak tahu sampai kapan Allah subhanahu wata’ala memberikan kesempatan ini kepada kita. Kita semua sebagai umat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan sebagai hamba Allah subhanahu wata’ala dalam menjalani kehidupan ini hendaknya benar-benar mempunyai rambu-rambu atau target dan juga prinsip yang harus dijalani. Setiap muslim harus meyakini bahwa hidup ini adalah dalam rangka untuk beribadah dan bertaqarrub hanya kepada Allah subhanahu wata’ala. Dan ini adalah tujuan utama diciptakannya manusia, yaitu untuk beribadah dan bertaqarrub hanya kepada Allah subhanahu wata’ala.
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ.
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah hanya kepada-Ku.” (Adz-Dzariyat: 56)
Hidup kita ini bukanlah untuk sesuatu yang sia-sia belaka, bahkan untuk beribadah hanya kepada Allah subhanahu wata’ala. Ada 4 (empat) perkara yang jika diamalkan dengan sebaik-baiknya akan teraih kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Empat perkara tersebut adalah: (1) al-’ilmu, (2) al-’amal bihi, (3) ad-da’wah fil ‘ilmi, dan (4) ash-shabr (bersabar) atas gangguan yang ada di dalamnya.
Perkara Pertama: Al-’Ilmu.
Maksud ilmu di sini adalah ilmu syar’i yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. ilmu Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, ilmu yang diwariskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada para shahabatnya dan para shahabat beliau menyampaikan ilmu tersebut kepada generasi setelahnya, dan seterusnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
من سلك طريقا يلتمس فيه علما سهل الله به طريقا إلى الجنة.
“Barangsiapa yang menempuh suatu jalan dalam rangka mencari ilmu, maka Allah memudahkan baginya dengan menuntut ilmu tersebut jalan menuju jannah Allah.” (Muttafaqun ‘Alaihi, dari shahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Dengan ilmu, seseorang akan dimudahkan oleh Allah ta’ala jalannya menuju Al-Jannah. Ilmu inilah yang Allah ‘azza wajalla jadikan sebagai tanda kebaikan bagi seseorang, di mana Allah subhanahu wata’ala jika berkehendak untuk memberikan kebaikan kepada seseorang, maka Dia akan memberikan kepahaman kepada orang tersebut tentang ilmu syari’at / agama ini, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
من يرد الله به خيرا يفقهه في الدين.
“Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan, maka Allah akan pahamkan dia terhadap agama ini.” (Muttafaqun ‘Alaihi, dari shahabat Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu ‘anhuma)
Oleh karena itu, sesungguhnya ilmu itu tidak bisa diremehkan atau dianggap ringan. Dengan ilmu pula, seseorang akan terbimbing dalam langkah kehidupannya, dan terarah tingkah lakunya karena dia senantiasa berupaya untuk bersikap dan bertindak sesuai dengan apa yang diwariskan oleh Allah ‘azza wajalla.
Namun perlu diketahui bahwa ilmu itu tidak bisa didapat begitu saja. Ilmu itu didapat dengan ta’allum dan tafaqquh, yaitu berupaya untuk mempelajari dan memahaminya.
Kalau kita lihat sejarah para shahabat, maka sejarah mereka merupakan teladan terbaik bagi kita dalam menuntut ilmu. Seiring dengan kesibukan mereka berperang, mencari ma’isyah, dan lain-lain, mereka tetap bersungguh-sungguh dalam menimba ilmu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bahkan sebagian mereka juga menimba ilmu dari sebagian shahabat yang lain, terutama para shahabat ash-shighar (yang muda) menuntut ilmu kepada para shahabat al-kibar (yang senior) yang masih mereka jumpai. Kehidupan mereka diwarnai dengan ilmu, ta’allum, dan tafaqquh. Dari sinilah Allah subhanahu wata’ala berikan kepada mereka petunjuk di dalam meniti kehidupan mereka.
Ilmu harus diimbangi dengan kesabaran. Ada seseorang yang ketika datang masa rajinnya, dia belajar dan menghafal terus-menerus, namun ketika datang masa fatrah (malas), bisa jadi dia putus asa bahkan tidak lagi menuntut ilmu. Karena tidak diimbangi dengan kesabaran. Al-Imam Yahya bin Abi Katsir Al-Yamami rahimahullah berkata:
لا يستطاع العلم براحة الجسد.
“Ilmu itu tidak bisa diraih dengan santai-santai saja.”
Maka orang yang hendak meraih ilmu, dia harus mempersiapkan diri untuk bersungguh-sungguh dalam menuntutnya, serta bersabar di atas gangguan yang ada. Bersungguh-sungguh dalam menghafal, mencatat, menulis fawa`id (faidah-faidah ilmiah), dan memahami pelajaran. Orang yang bersungguh-sungguh saja terkadang tidak berhasil, apalagi yang tidak bersungguh-sungguh. Datang ke ma’had semata-mata ingin mendapatkan lingkungan yang baik, atau datang ke ma’had semata-mata ingin mendapat siraman qalbu. Tentu ini adalah sesuatu yang bagus, tetapi bukan hanya itu saja tujuan seseorang datang ke ma’had, dia harus berusaha semaksimal mungkin untuk bisa mendapatkan faidah ilmiah. Karena mungkin ada sebagian di antara kita yang datang ke ma’had dengan biaya orang tua yang terbatas, usia yang sudah lanjut, terburu ingin menikah, dan lain-lain. Oleh karena itu kesungguhan dalam menuntut ilmu itu harus dijadikan prinsip. Berapa banyak orang yang hadir di majelis ilmu tetapi tidak mendapatkan faidah karena tidak ada kesungguhan. Pikirannya tidak konsentrasi. Kalaupun Allah subhanahu wata’ala memberi dia kecerdasan sehingga mampu memahami, menerima, dan mendapatkan beberapa faidah ilmiah, namun barakatul ‘ilmi (barakah dari sebuah ilmu)-nya tidak didapatkannya. Barakah itu adalah kebaikan yang berkesinambungan.
Berbeda dengan orang yang bersungguh-sungguh, dia mendapatkan ilmu dan barakahnya di majelis ilmu tersebut sehingga ilmunya bermanfaat dan dia mendapatkan kebaikan yang terus berkesinambungan insya Allah.
Menuntut ilmu harus disertai dengan adab-adab di dalam menuntutnya agar ketika menuntut ilmu benar-benar di atas kemantapan. Seseorang harus merasa bahwa jalan yang dia tempuh ini merupakan jalan menuju kebahagiaan, sebuah jalan yang bisa mengantarkan dia kepada Jannatullah. Berbeda dengan orang yang kurang sungguh-sungguh dalam menuntut ilmu, kurang memahami tentang pentingnya ilmu dan keutamaan ulama di sisi Allah subhanahu wata’ala dan makhluk-Nya, serta kurang memahami adab-adab dalam menuntut ilmu, maka akan mudah goyah pendiriannya, misalnya ketika muncul masalah seperti ketidakcocokan dengan temannya atau dengan pelajarannya, atau memiliki kecenderungan untuk tergesa-gesa dalam menuntut ilmu, maka dia akan pindah-pindah ma’had, akhirnya tidak mendapatkan ilmu yang kokoh.
Seseorang tidak akan bisa bahagia, atau beribadah dengan sebaik-baiknya, serta bermuamalah sesuai dengan syari’at jika tanpa berbekal dengan ilmu. Sehingga ilmu merupakan kebutuhan.
Perkara Kedua: Al-’Amalu Bihi
Yakni beramal dengan ilmu tersebut. Inilah di antara barakah dari sebuah ilmu yang dipelajari oleh seseorang. Kebaikan dari ilmu itu akan tampak dalam keseharian seseorang yang mempelajarinya, apakah dia bisa mengamalkannya ataukah tidak.
Dan mengamalkan ilmu itu tidak sebatas pada hal-hal yang sifatnya zhahir (tampak) saja. Seperti melakukan wudhu’, shalat, dan berpakaian, ini semua bisa diamalkan sesuai dengan sunnah menurut ilmu yang sudah dia pelajari, atau menjaga kondisi tubuh yang sesuai dengan sunnah, seperti memelihara jenggot dan sebagainya, ini juga bisa diamalkan sesuai dengan ilmu yang dia ketahui, dan yang lainnya dari bentuk pengamalan secara zhahir. Ini semuanya bagus dan merupakan bagian dari pengamalan ilmu.
Namun yang juga tidak bisa diremehkan adalah pengamalan ilmu pada hal-hal yang bersifat bathin (tidak tampak) atau yang berkaitan dengan qalbu (hati), maksudnya adalah apakah ilmu yang telah dipelajari itu bisa mewarnai qalbunya ataukah belum. Yang tadinya senantiasa mempunyai sifat hasad, apakah dengan ilmu yang dipelajarinya itu kemudian bisa mengubah diri dari sifat hasad tersebut ataukah tidak. Atau yang sebelumnya memiliki sifat kikir dan sombong -apakah dalam bentuk melecehkan manusia atau dengan bentuk menolak kebenaran ketika disampaikan kepadanya-, su’uzhzhan (mudah berburuk sangka), apakah ilmu yang sudah didapat itu bisa mengubah bathinnya dari penyakit-penyakit qalbunya tadi ataukah belum. Apakah ilmu yang telah dipelajarinya bisa menumbuhkan sikap al-khasyyah, al-khusyu’, at-tawadhu’, dan yang lainnya dari sifat-sifat mulia ataukah belum.
Terkadang seseorang itu ketika menuntut ilmu dan mengamalkannya, yang diperhatikan hanya sebatas hal-hal yang sifatnya zhahir saja. Ini belum cukup. Justru ada yang lebih penting dari itu, yaitu yang terkait dengan bathinnya dan yang tersimpan dalam qalbunya, yang dinyatakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
إذا صلحت صلح الجسد كله وإذا فسدت فسد الجسد كله ألا وهي القلب ألا وهي القلب ألا وهي القلب.
“Ketika qalbu itu baik maka seluruh anggota tubuhnya menjadi baik, namun ketika rusak qalbunya, maka menjadi rusak pula anggota tubuhnya. Ingatlah sesuatu itu adalah qalbu, ingatlah sesuatu itu adalah qalbu, ingatlah sesuatu itu adalah qalbu.” (Muttafaqun ‘Alaihi, dari shahabat An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu)
Terkadang kita dapati orang-orang yang secara ilmu sudah tinggi dan secara zhahir sudah tampak himmatus sunnah (semangat untuk berpegang dengan sunnah) pada dirinya, tetapi mengapa masih saja memiliki sifat rakus harta? Mengapa masih saja berkelit-kelit ketika diingatkan tentang suatu kebenaran? Atau lari dari al-haq? Dan merendahkan orang-orang yang mengingatkannya? Sebabnya di sini adalah pengamalan ilmu secara bathin belum dilakukan secara maksimal. Dan ini jarang sekali orang yang memperhatikannya.
Dan terkadang pula kita dapati yang lain, secara zhahir terlihat dia sudah belajar sekian tahun di ma’had, tetapi ternyata masih mudah untuk berburuk sangka, atau mudah membenci tanpa sebab tertentu. Ketika diperhatikan ternyata disebabkan karena hasad, atau sifat kibr (sombong) yang masih melekat pada dirinya. Ini berarti ketika masa-masa belajar, atau ketika masanya menuntut ilmu kurang memperhatikan sisi tazkiyatun nufus ini pada dirinya. Dan sesungguhnya ini merupakan sisi yang sangat penting bagi thalabatul ‘ilmi (para penuntut ilmu) yang diridhai Allah subhanahu wata’ala. Walaupun ilmunya setinggi langit, kalau jiwanya rusak maka dia akan menjadi seorang yang tidak bermanfaat bagi umat, walaupun telah lama belajar di ma’had atau bahkan belajar di hadapan masyayikh. Ini semua disebabkan dia tidak memperhatikan sisi amalan bathin yang sangat penting ini.
Beramal dengan ilmu, di samping secara zhahir dan bathin sebagaimana yang telah disebutkan di atas, juga yang harus diperhatikan adalah permasalahan lisan. Menggunakan lisan ini juga perlu diterapkan ilmu padanya, sehingga akan terbedakan antara seorang thalibul ‘ilmi dengan seorang yang bukan thalibul ‘ilmi, terbedakan lisan seorang da’i dengan lisan orang pasar. Tidak berbicara kecuali kata-katanya dipertimbangkan, tutur katanya sesuai dengan adab dan akhlak yang mulia. Ini semua membutuhkan mujahadah (kesungguhan) dari kita. Maka beramal dengan ilmu merupakan sesuatu yang penting dalam hidup ini dan sekali lagi, tidak sebatas pengamalan secara zhahir saja, akan tetapi juga tidak kalah pentingnya adalah pengamalan ilmu dalam hal bathin dan juga pengamalan ilmu terkait dengan lisan. Allah subhanahu wata’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا (70) يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا.
“Wahai orang-orang yang beriman bertaqwalah kalian kepada Allah dan ucapkanlah oleh kalian kata-kata yang lurus / baik, niscaya Allah akan memperbaiki amal-amal kalian. Dan Allah akan ampuni dosa-dosa kalian. Barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya maka sungguh dia akan mendapatkan kesuksesan yang besar.” (Al-Ahzab: 70-71)
Menjaga lisan adalah termasuk bentuk sikap menjaga ketaatan kepada Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam yang akan mengantarkan seseorang kepada kesuksesan yang besar. Penjagaan lisan yang merupakan bagian dari penerapan ilmu juga akan menjadikan seseorang terbimbing dalam hidupnya, terarahkan amal perbuatannya dan terampuni dosa-dosanya.
Beramal dengan ilmu, khususnya kita yang berada di ma’had ini, hendaknya yang paling penting dan paling utama adalah kita memperhatikan pribadi dan diri kita terlebih dahulu. Ketika kita mendapatkan ilmu, cobalah kita renungkan bagaimana kemudian upaya kita di dalam mengamalkannya, kita berusaha mengamalkan ilmu itu sebelum mengajak yang lainnya. Dan berikutnya, ketika kita merasa mampu atau bisa mengamalkan ilmu tersebut, jangan kemudian ada pada perasaan kita suatu penilaian buruk terhadap orang yang belum mampu, karena ini akan menimbulkan sifat bangga diri dan merasa bahwa dirinya yang sudah bisa sementara orang lain tidak bisa. Tidak sedikit orang yang jatuh ke dalam sikap seperti ini, merasa dirinya lebih dari yang lainnya.
Adapun ketika kawan kita belum mampu mengamalkannya dan masih kurang dalam penerapan ilmu tersebut, maka yang hendaknya ditempuh adalah saling memberi nasehat dan peringatan agar dia bangkit semangatnya untuk beramal. Jangan merasa bahwa ketika kita mampu mengamalkan ilmu dan menerapkannya, kemudian timbul pada diri kita sikap memvonis bahwa si fulan tidak bisa atau tidak mampu mengamalkan ilmunya. Ini adalah sikap yang berbahaya. Bisa merusak keikhlasan ibadah kita. Ketika mendapati kekurangan pada kawan kita, bukan vonis buruk yang kita voniskan pada dia, tetapi upaya nasehatlah yang penting untuk kita sampaikan kepadanya. Karena posisi kita adalah sama-sama thullab, tugasnya adalah saling menasehati satu terhadap yang lain, bukan tugasnya saling memvonis fulan begini dan begitu. Tugas kita adalah belajar, tugas kita adalah ketika ada kekurangan dan kekeliruan pada suadara kita, untuk at-tawashi bil haq wat tawashi bish shabr, at-tanashuh (saling memberikan nasehat) yang dibangun di atas al-hubbu fillah (kecintaan karena Allah) dan di atas al-ukhuwwah, bukan saling menjatuhkan.
Sikap seperti ini penting untuk diperhatikan, karena terkadang seperti ini menimpa pada orang-orang yang punya kerajinan dalam hal ibadah, rajin dalam belajarnya, dan mempunyai prestasi dalam pelajarannya, terkadang muncul pada dia sifat merendahkan dan memvonis bahwa saudaranya yang memiliki kekurangan tadi tidak mampu untuk mengamalkan ilmunya.
Perkara Ketiga: Ad-Da’wah Ilaihi.
Yakni berdakwah di jalan Allah. Masing-masing dari kita bisa berposisi sebagai da’i, mengajak kepada kebaikan, at-tanashuh, dan at-tawashi (saling memberikan wasiat satu sama lain). Apabila hal ini benar-benar dijaga di ma’had kita ini, maka Allah subhanahu wata’ala akan memberi kita barakah dalam keseharian kita, barakah kepada ilmu kita, dan barakah dalam mu’amalah kita, dan juga ma’had kita ini. Akan tetapi kalau tidak ada upaya at-tanashuh, dan tidak ada upaya al-amr bil ma’ruf wan nahyu ‘anil munkar dengan cara yang baik, maka barakah itu akan dicabut oleh Allah subhanahu wata’ala.
Upaya saling memberikan wasiat dan nasehat ini bisa dalam banyak hal. Mulai terkait dengan pelajaran, sampai terkait dengan keseharian kita. Yang terkait dengan keseharian pun bermacam-macam, contohnya adalah saling menasehati untuk menjaga nikmat Allah subhanahu wata’ala yang berupa pakaian, karena ada hamba-hamba Allah ‘azza wajalla yang dipersempit rizkinya, sedikit dari pakaian yang mereka miliki. Sedangkan kita, Allah subhanahu wata’ala telah memberi kita rizki pakaian, tetapi terkadang kurang kita perhatikan. Pakaian berhamburan dan berserakan tanpa ada yang memperhatikannya. Si pemiliknya pun sudah tidak peduli dengan pakaiannya tadi, padahal pakaian itu masih bagus dan bisa dipakai. Ini adalah bentuk tabdzir terhadap nikmat Allah subhanahu wata’ala.
Kalau kita lihat bagaimana sejarah para shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagian mereka hanya memiliki satu pakaian. Jika pakaiannya sedang dicuci, tidak bisa keluar rumah, karena tidak ada pakaian lain yang bisa dipakai. Bahkan Al-Khalifah Ar-Rasyid ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu ketika memberikan khuthbah kemenangan atas pasukan Nashara di Palestina, pada pakaiannya terdapat bekas sobek yang dijahit dengan tangan. Dan juga Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu ‘anhu yang saat itu sebagai khalifah, berjalan di pasar Dimasyq dalam keadaan memakai pakaian sobek yang dijahit dengan tangan. Mereka mendapatkan kemuliaan di sisi Allah subhanahu wata’ala karena mereka benar-benar menjaga nikmat Allah subhanahu wata’ala.
لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ.
“Jika kalian bersyukur, maka pasti Aku akan tambahkan nikmat-Ku kepada kalian.” (Ibrahim: 7).
Mereka bersyukur kepada Allah subhanahu wata’ala, maka nikmat-nikmat tersebut senantiasa ditambah oleh Allah ‘azza wajalla.
At-tawashi bil haq dan at-tawashi bish shabr adalah sesuatu yang sangat penting dan merupakan bagian dari dakwah di jalan Allah. Dan tentunya kaidah umum yang terkait dengannya adalah bahwa dakwah itu dibangun di atas ilmu dan bashirah, al-hikmah dan al-mau’izhah al-hasanah. Karena at-tawashi dan at-tanashuh tersebut merupakan bagian dari dakwah, maka tidak bisa dilepaskan dari kaidah-kaidah tadi.
Jika kita ingin memberikan wasiat, ingin menasehati dan meluruskan saudaranya, maka harus benar-benar dilakukan di atas bashirah tentang apa yang akan disampaikan dan juga ditunaikan di atas asas al-hikmah, yaitu menempatkan sesuatu pada tempatnya. Dan juga dibangun di atas asas al-mau’izhah al-hasanah, yaitu memberikan bimbingan yang baik.
Seorang muslim bukanlah orang yang suka mencaci dan yang kotor lisannya. Kata ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash radhiyallahu ‘anhuma:
لَمْ يَكُنْ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاحِشًا وَلاَ مُتَفَحِّشًا.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bukanlah orang yang berbuat keji dan bukan pula orang yang suka berbuat keji.” (Muttafaqun ‘Alaihi)
Seorang muslim bukanlah jenis orang yang asal bicara tanpa dipikirkan. Kita berupaya menghidupkan at-tawashi bil haq dan at-tawashi bish shabr, al-amr bil ma’ruf wan nahyu ‘anil munkar di ma’had ini dengan jangan melupakan prinsip-prinsip tadi, yaitu bimbingan yang baik kepada pihak yang salah serta pengarahan yang sesuai dengan porsi dan tempatnya. Yang tua menyayangi yang muda, memberikan nasehat-nasehat dan arahan-arahan yang dibangun di atas dasar kasih sayang, bukan untuk menjatuhkan. Dan adapun yang muda, ketika mengingatkan yang tua, dibangun atas dasar penghormatan, dengan akhlak, adab, dan sopan santun yang baik di dalam memberikan nasehat atau masukan-masukan tersebut. Tidak asal bicara, mengucapkan kata-kata kotor, dan sebagainya. Hal ini sangat penting untuk dijaga, karena syaithan sangat bersemangat untuk memisahkan seorang mu`min dengan mu`min yang lainnya. Sangat bersemangat untuk mencerai-beraikan ukhuwwah antar kaum muslimin, terlebih lagi antar thullabul ‘ilmi.
Ketika di ma’had sudah berselisih satu dengan yang lainnya, dan tidak memahami pentingnya ishlah dan ukhuwwah, maka akibatnya terus berkelanjutan hingga setelah keluar ma’had dan menjadi da’i, masih tersimpan benih-benih perselisihan. Yang satu mempunyai mad’u dan yang lain juga mempunyai mad’u, yang akhirnya membangun prinsip al-wala` wal bara`nya tidak lagi di atas jalur yang benar, tetapi masih diiringi dengan permasalahan-permasalahan pribadi, maka hal ini sangat mengkhawatirkan karena akan merusak dakwah ahlus sunnah wal jama’ah. Sehingga hal ini perlu diperhatikan dengan sebaik-baiknya.
Perkara Keempat: Ash-Shabru ‘Alal Adzaa Fiihi
Yaitu bersabar ketika mendapatkan rintangan dan gangguan di dalam menjalankan ketiga perkara di atas. Tanpa kesabaran, tidak akan bisa seseorang mendapatkan ilmu dan tidak akan bisa seseorang menjadi ‘alim. Para ulama menjadi a’immah karena memang ketika belajar, mereka benar-benar bersungguh-sungguh dan bersabar, dan yakin bahwa jalan yang mereka tempuh adalah jalan yang haq.
وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآَيَاتِنَا يُوقِنُونَ.
“Dan Kami jadikan mereka-mereka itu para pemimpin dalam urusan agama ini, yang membimbing umat manusia dengan apa-apa yang berasal dari Kami, ketika mereka itu bersabar dan mereka termasuk orang-orang yang yakin terhadap ayat-ayat Kami.” (As-Sajdah: 24)
Maka sabar dalam menuntut ilmu ini sangat penting bagi kita. Banyak sekali ujian di dalam menuntut ilmu. Terkadang diuji dengan sakit, kekurangan harta, atau yang lainnya. Diuji dengan mempunyai kawan yang kurang baik, sehingga membuat dia tidak semangat dan malas di dalam belajar. Atau diuji dengan ketidakcocokan terhadap pelajaran, diuji dengan kondisi ustadznya pada pelajaran tertentu, dan setumpuk ujian yang lain. Maka yang bersabar, insya Allah dia yang akan berhasil serta mendapatkan ilmu dengan baik dan barakah.
Kemudian bersabar ketika mengamalkan ilmu. Mengamalkan ilmu itu berat, lebih gampang membaca, mempelajari, dan menghafalnya. Sehingga dibutuhkan kesabaran untuk mengamalkan ilmu tersebut, di samping kesabaran itu disertai dengan do`a. Seorang muslim, apalagi thalibul ‘ilmi, hendaknya menjadikan do`a sebagai salah satu dari senjata hidupnya. Permohonan-permohonan kepada Allah ‘azza wajalla untuk dimudahkan dari berbagai macam kesulitan, permohonan agar diberi barakah dengan ilmunya tersebut, dan sebagainya. Termasuk berdo`a kepada Allah subhanahu wata’ala agar dimudahkan dalam mengamalkan ilmu, dimudahkan dalam berdzikir kepada Allah subhanahu wata’ala, bersyukur, dan beribadah kepada-Nya.
اللهم أعني على ذكرك و شكرك و حسن عبادتك.
“Ya Allah, tolonglah aku untuk berdzikir kepada-Mu, bersyukur kepada-Mu, dan beribadah kepada-Mu dengan baik.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, An-Nasa’i, dari shahabat Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu)
Berikutnya adalah bersabar dalam mendakwahkan ilmu. Misalnya saat memberikan nasehat kapada saudaranya, kemudian tidak didengarkan nasehatnya itu, atau tidak tampak ada perubahan padanya, maka tugas kita adalah menyampaikan nasehat, dan hidayah itu di tangan Allah subhanahu wata’ala. Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Allah subhanahu wata’ala hanya perkenankan bagi beliau hidayatul irsyad, yaitu bimbingan-bimbingan dan pengarahan kepada umat manusia. Adapun hidayatut taufiq, hidayah untuk menerima Islam dan menjalankannya, murni di tangan Allah subhanahu wata’ala. Beliau sebatas sebagai orang yang memberikan tadzkir (peringatan).
فَذَكِّرْ إِنَّمَا أَنْتَ مُذَكِّرٌ (21) لَسْتَ عَلَيْهِمْ بِمُسَيْطِرٍ.
“Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan. Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka.” (Al-Ghasyiyah: 21-22)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah seorang mudzakkir, yaitu pemberi peringatan, bukan mushaithir, yaitu yang menguasai dan memberi hidayah. Maka terlebih kita, ketika menyampaikan nasehat dan arahan kepada kawan-kawan kita, kalau ternyata tidak diamalkan, maka hendaknya kita bersabar. Tugas kita adalah menyampaikan, dan insya Allah kita akan mendapat ajr (pahala) dengan amalan tersebut jika memang dibangun di atas keikhlasan karena Allah subhanahu wata’ala.
Inilah empat perkara yang harus benar-benar kita perhatikan dalam hidup ini, yaitu yang pertama adalah ilmu, dan yang terpenting dari ilmu ini adalah ma’rifatullah, ma’rifatu nabiyyihi, dan ma’rifatu diinil islaam bil adillah. Kemudian yang kedua adalah beramal dengan ilmu tersebut. Yang ketiga adalah berdakwah dengan ilmu tersebut. Dan yang keempat adalah bersabar ketika menuntut ilmu, mengamalkan ilmu dan berdakwah dengan ilmu. Keempat perkara ini merupakan kandungan dari surat Al-’Ashr yang barangsiapa menjalankannya, akan terlepas dari golongan orang-orang yang merugi dalam hidupnya di dunia dan akhirat.
وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلَّا الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ (3)
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (Al-‘Ashr: 1-3)
Menjaga Aqidah Ketika Sakit
Setiap orang yang beriman pasti akan diberikan ujian oleh Allah subhanahu wata’ala. Ujian tersebut beragam bentuknya, sesuai kondisi dan kadar keimanan seseorang. Ujian bisa berupa kesenangan dan bisa pula berupa kesusahan. Dan salah satu dari bentuk ujian tersebut adalah tertimpanya seseorang dengan suatu penyakit yang menggerogoti dirinya.
Sebagaimana yang Allah subhanahu wata’ala sebutkan dalam surat Al-‘Ankabut ayat 1sampai 3, bahwa hikmah diberikannya ujian kepada kaum mukminin adalah untuk mengetahui[1] siapa yang jujur dan siapa yang dusta dalam pengakuan iman mereka tersebut.
Demikian juga ketika sakit, seseorang akan teruji tingkat kejujuran iman dan aqidah dia. Sangat disayangkan, ternyata di sana masih banyak terjadi pelanggaran-pelanggaran syari’at yang dilakukan oleh orang yang sedang tertimpa penyakit. Di antara mereka ada yang tidak menerima bahkan menolak takdir Allah yang sedang dia rasakan tersebut. Bahkan ada yang mengatakan dan mengklaim bahwa Allah tidak adil kepada dirinya, Allah telah berbuat zhalim kepadanya, dan sebagainya, na’udzubillah min dzalik. Ada pula yang tidak sabar dan putus asa dengan keadaannya tersebut sehingga dia sangat berharap ajal segera menjemputnya. Dan bahkan ada pula yang nekad melakukan upaya bunuh diri dengan harapan penderitaannya segera berakhir. Ini semua menunjukkan lemahnya iman dan kurang jujurnya dia dalam ikrar keimanannya tersebut.
Lalu bagaimana bimbingan syari’at yang mulia dan sempurna ini dalam menyikapi permasalahan-permasalahan seperti itu? Solusi apa yang seharusnya dilakukan oleh setiap hamba yang mengaku beriman kepada Allah ‘azza wajalla, Rasul-Nya dan hari akhir jika tertimpa suatu penyakit agar iman dan aqidah ini senantiasa terjaga? Maka kali ini insya Allah akan kami tengahkan kepada anda, bagaimana syari’at membimbing anda tentang sikap yang seharusnya dilakukan oleh seseorang yang sedang mengalami sakit agar dia dikatakan sebagai seorang yang jujur dalam keimanan dan aqidahnya. Di antara sikap tersebut adalah[2]:
1. Hendaknya dia merasa ridha dengan takdir dan ketentuan Allah subhanahu wata’ala tersebut, bersabar dengannya dan berbaik sangka kepada Allah subhanahu wata’ala dengan apa yang sedang dia rasakan. Karena segala yang dia terima adalah merupakan sesuatu terbaik yang Allah subhanahu wata’ala berikan padanya. Ini merupakan sikap seorang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dengan keimanan yang benar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلَّا لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ
“Sungguh sangat menakjubkan urusan seorang mukmin, karena segala urusannya adalah berupa kebaikan. Dan tidaklah didapatkan keadaan yang seperti ini kecuali pada diri seorang mukmin saja. Ketika dia mendapatkan kebahagiaan, dia segera bersyukur. Maka itu menjadi kebaikan baginya. Dan ketika dia mendapatkan kesusahan dia bersabar. Maka itu menjadi kebaikan baginya.” (HR. Muslim dari shahabat Shuhaib bin Sinan radhiyallahu ‘anhu)
Beliau juga bersabda:
لَا يَمُوتَنَّ أَحَدُكُمْ إِلَّا وَهُوَ يُحْسِنُ بِاللَّهِ الظَّنَّ
“Janganlah salah seorang diantara kalian meninggal kecuali dalam keadaan dia berbaik sangka kepada Allah.” (HR. Muslim dari shahabat Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhuma)
2. Hendaknya dia memiliki sikap raja’ (berharap atas rahmat Allah subhanahu wata’ala) dan rasa khauf (takut dan cemas dari adzab Allah subhanahu wata’ala)
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ عَلَى شَابٍّ وَهُوَ فِي الْمَوْتِ فَقَالَ كَيْفَ تَجِدُكَ قَالَ وَاللَّهِ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَنِّي أَرْجُو اللَّهَ وَإِنِّي أَخَافُ ذُنُوبِي فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَجْتَمِعَانِ فِي قَلْبِ عَبْدٍ فِي مِثْلِ هَذَا الْمَوْطِنِ إِلَّا أَعْطَاهُ اللَّهُ مَا يَرْجُو وَآمَنَهُ مِمَّا يَخَافُ
“Suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mendatangi seorang pemuda yang sedang sakit. kemudian beliau bertanya kepadanya: “Bagaimana keadaanmu?” Pemuda itu menjawab: “Demi Allah ya Rasulullah, sungguh saya sangat mengharapkan rahmat Allah dan saya takut akan siksa Allah dikarenakan dosa-dosa saya.” Maka kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidaklah dua sifat tersebut ada pada seorang hamba yang dalam keadaan seperti ini, kecuali Allah akan memberikan apa yang dia harapkan dan akan memberi rasa aman dengan apa yang dia takutkan.” (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah dari shahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu).
3. Tidak diperbolehkan baginya untuk mengharapkan kematian segera menjemputnya ketika penyakitnya ternyata semakin menjadi parah dan memburuk.
أأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ عَلَى الْعَبَّاسِ وَهُوَ يَشْتَكِي فَتَمَنَّى الْمَوْتَ فَقَالَ يَا عَبَّاسُ يَا عَمَّ رَسُولِ اللَّهِ لَا تَتَمَنَّ الْمَوْتَ إِنْ كُنْتَ مُحْسِنًا تَزْدَادُ إِحْسَانًا إِلَى إِحْسَانِكَ خَيْرٌ لَكَ وَإِنْ كُنْتَ مُسِيئًا فَإِنْ تُؤَخَّرْ تَسْتَعْتِبْ خَيْرٌ لَكَ فَلَا تَتَمَنَّ الْمَوْتَ قَالَ يُونُسُ وَإِنْ كُنْتَ مُسِيئًا فَإِنْ تُؤَخَّرْ تَسْتَعْتِبْ مِنْ إِسَاءَتِكَ خَيْرٌ لَكَ
“Suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendatangi pamannya ‘Abbas yang sedang sakit. Dia mengeluh dan berharap kematian segera datang menjemputnya. Maka beliau bersabda kepadanya: “Wahai pamanku, janganlah engkau berharap kematian itu datang. Jika engkau adalah orang baik, maka engkau bisa menambah kebaikanmu, dan itu baik untukmu. Namun jika engkau adalah orang yang banyak melakukan kesalahan, maka engkau dapat mengingkari dan membenahi kesalahanmu itu, dan itu baik bagimu. maka janganlah berharap akan kematian.” (HR. Ahmad dan Al-Hakim dari shahabiyyah Ummul Fadhl radhiyallahu ‘anha)
Namun ketika ternyata dia tidak bisa bersabar dan harus melakukannya, maka hendaknya dia mengucapkan:
اللَّهُمَّ أَحْيِنِي مَا كَانَتْ الْحَيَاةُ خَيْرًا لِي وَتَوَفَّنِي إِذَا كَانَتْ الْوَفَاةُ خَيْرًا لِي
“Ya Allah hidupkanlah aku apabila kehidupan itu lebih baik bagiku. Dan matikanlah aku apabila kematian itu lebih baik bagiku.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari shahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu)
4. Hendaknya dia berwasiat ketika merasa ajalnya telah dekat untuk dipersiapkan dan dilakukan pengurusan jenazahnya nanti sesuai dengan bimbingan syari’at dan tidak melakukan perbuatan-perbuatan bid’ah. Hal ini sebagai bentuk pengamalan firman Allah subhanahu wata’ala :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا
“Wahai orang-orang yang beriman jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka.” (At-Tahrim: 6)
Dan di sana banyak kisah- kisah para sahabat yang mereka berwasiat dengan hal ini ketika merasa ajal segera menjemputnya. Salah satunya adalah kisah shahabat Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu yang pernah berwasiat ketika dia merasa ajal telah dekat. Dia berkata:
إِذَا مِتُّ فَلَا تُؤْذِنُوا بِي إِنِّي أَخَافُ أَنْ يَكُونَ نَعْيًا فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْهَى عَنْ النَّعْيِ
“Jika aku mati, janganlah kalian mengumumkannya. aku takut kalau perbuatan tersebut termasuk na’i (mengumumkan kematian yang dilarang sebagaimana dilakukan orang-orang jahiliyyah), karena sesungguhnya aku mendengar Rasulullah melarang perbuatan na’i tersebut.” (HR. At-Tirmidzi)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata dalam kitabnya Al-Adzkar: “Sangat dianjurkan bagi seorang muslim untuk berwasiat kepada keluarganya agar meninggalkan kebiasaan atau adat yang ada dari berbagai bentuk kebid’ahan dalam penyelenggaraan jenazah. Dan hendaknya dia menekankan permasalahan itu.”
Wallahu A’lam.
Diringkas dari Kitab Ahkamul Jana-iz karya Al-‘Allamah Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah oleh Al-Ustadz Abdullah ImamNasehat Untuk Remaja Muslim
Kami persembahkan nasehat ini untuk saudara-saudara kami terkhusus para pemuda dan remaja muslim. Mudah-mudahan nasehat ini dapat membuka mata hati mereka sehingga mereka lebih tahu tentang siapa dirinya sebenarnya, apa kewajiban yang harus mereka tunaikan sebagai seorang muslim, agar mereka merasa bahwa masa muda ini tidak sepantasnya untuk diisi dengan perkara yang bisa melalaikan mereka dari mengingat Allah subhanahu wata’ala sebagai penciptanya, agar mereka tidak terus-menerus bergelimang ke dalam kehidupan dunia yang fana dan lupa akan negeri akhirat yang kekal abadi.
Wahai para pemuda muslim, tidakkah kalian menginginkan kehidupan yang bahagia selamanya? Tidakkah kalian menginginkan jannah (surga) Allah subhanahu wata’ala yang luasnya seluas langit dan bumi?
Ketahuilah, jannah Allah subhanahu wata’ala itu diraih dengan usaha yang sungguh-sungguh dalam beramal. Jannah itu disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa yang mereka tahu bahwa hidup di dunia ini hanyalah sementara, mereka merasa bahwa gemerlapnya kehidupan dunia ini akan menipu umat manusia dan menyeret mereka kepada kehidupan yang sengsara di negeri akhirat selamanya. Allah subhanahu wata’ala berfirman:
وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ
“Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (Ali ‘Imran: 185)
Untuk Apa Kita Hidup di Dunia?
Wahai para pemuda, ketahuilah, sungguh Allah subhanahu wata’ala telah menciptakan kita bukan tanpa adanya tujuan. Bukan pula memberikan kita kesempatan untuk bersenang-senang saja, tetapi untuk meraih sebuah tujuan mulia. Allah subhanahu wata’ala berfirman:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (Adz Dzariyat: 56)
Beribadah kepada Allah subhanahu wata’ala dengan menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya. Itulah tugas utama yang harus dijalankan oleh setiap hamba Allah.
Dalam beribadah, kita dituntut untuk ikhlas dalam menjalankannya. Yaitu dengan beribadah semata-mata hanya mengharapkan ridha dan pahala dari Allah subhanahu wata’ala. Jangan beribadah karena terpaksa, atau karena gengsi terhadap orang-orang di sekitar kita. Apalagi beribadah dalam rangka agar dikatakan bahwa kita adalah orang-orang yang alim, kita adalah orang-orang shalih atau bentuk pujian dan sanjungan yang lain.
Umurmu Tidak Akan Lama Lagi
Wahai para pemuda, jangan sekali-kali terlintas di benak kalian: beribadah nanti saja kalau sudah tua, atau mumpung masih muda, gunakan untuk foya-foya. Ketahuilah, itu semua merupakan rayuan setan yang mengajak kita untuk menjadi teman mereka di An Nar (neraka).
Tahukah kalian, kapan kalian akan dipanggil oleh Allah subhanahu wata’ala, berapa lama lagi kalian akan hidup di dunia ini? Jawabannya adalah sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala:
وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui apa yang akan dilakukannya besok. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Luqman: 34)
Wahai para pemuda, bertaqwalah kalian kepada Allah subhanahu wata’ala. Mungkin hari ini kalian sedang berada di tengah-tengah orang-orang yang sedang tertawa, berpesta, dan hura-hura menyambut tahun baru dengan berbagai bentuk maksiat kepada Allah subhanahu wata’ala, tetapi keesokan harinya kalian sudah berada di tengah-tengah orang-orang yang sedang menangis menyaksikan jasad-jasad kalian dimasukkan ke liang lahad (kubur) yang sempit dan menyesakkan.
Betapa celaka dan ruginya kita, apabila kita belum sempat beramal shalih. Padahal, pada saat itu amalan diri kita sajalah yang akan menjadi pendamping kita ketika menghadap Allah subhanahu wata’ala. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
يَتْبَعُ الْمَيِّتَ ثَلاَثَةٌ: أَهْلُهُ وَمَالُهُ وَعَمَلُهُ, فَيَرْجِعُ اثْنَانِ وَيَبْقَى وَاحِدٌ, يَرْجِعُ أَهْلُهُ وَمَالُهُ وَيَبْقَى عَمَلُهُ.
“Yang mengiringi jenazah itu ada tiga: keluarganya, hartanya, dan amalannya. Dua dari tiga hal tersebut akan kembali dan tinggal satu saja (yang mengiringinya), keluarga dan hartanya akan kembali, dan tinggal amalannya (yang akan mengiringinya).” (Muttafaqun ‘Alaihi)
Wahai para pemuda, takutlah kalian kepada adzab Allah subhanahu wata’ala. Sudah siapkah kalian dengan timbangan amal yang pasti akan kalian hadapi nanti. Sudah cukupkah amal yang kalian lakukan selama ini untuk menambah berat timbangan amal kebaikan.
Betapa sengsaranya kita, ketika ternyata bobot timbangan kebaikan kita lebih ringan daripada timbangan kejelekan. Ingatlah akan firman Allah subhanahu wata’ala:
فَأَمَّا مَنْ ثَقُلَتْ مَوَازِينُهُ فَهُوَ فِي عِيشَةٍ رَاضِيَةٍ وَأَمَّا مَنْ خَفَّتْ مَوَازِينُهُ فَأُمُّهُ هَاوِيَةٌ وَمَا أَدْرَاكَ مَا هِيَهْ نَارٌ حَامِيَةٌ
“Dan adapun orang-orang yang berat timbangan (kebaikan)nya, maka dia berada dalam kehidupan yang memuaskan. Dan adapun orang-orang yang ringan timbangan (kebaikan)nya, maka tempat kembalinya adalah neraka Hawiyah. Tahukah kamu apakah neraka Hawiyah itu? (Yaitu) api yang sangat panas.” (Al Qari’ah: 6-11)
Bersegeralah dalam Beramal
Wahai para pemuda, bersegeralah untuk beramal kebajikan, dirikanlah shalat dengan sungguh-sungguh, ikhlas dan sesuai tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Karena shalat adalah yang pertama kali akan dihisab nanti pada hari kiamat, sebagaimana sabdanya:
إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ النَّاسُ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ أَعْمَالِهِمْ الصَّلاَةُ
“Sesungguhnya amalan yang pertama kali manusia dihisab dengannya di hari kiamat adalah shalat.” (HR. At Tirmidzi, An Nasa`i, Abu Dawud, Ibnu Majah dan Ahmad. Lafazh hadits riwayat Abu Dawud no.733)
Bagi laki-laki, hendaknya dengan berjama’ah di masjid. Banyaklah berdzikir dan mengingat Allah subhanahu wata’ala. Bacalah Al Qur’an, karena sesungguhnya ia akan memberikan syafaat bagi pembacanya pada hari kiamat nanti.
Banyaklah bertaubat kepada Allah subhanahu wata’ala. Betapa banyak dosa dan kemaksiatan yang telah kalian lakukan selama ini. Mudah-mudahan dengan bertaubat, Allah subhanahu wata’ala akan mengampuni dosa-dosa kalian dan memberi pahala yang dengannya kalian akan memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat.
Wahai para pemuda, banyak-banyaklah beramal shalih, pasti Allah subhanahu wata’ala akan memberi kalian kehidupan yang bahagia, dunia dan akhirat. Allah subhanahu wata’ala berfirman:
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik.” (An Nahl: 97)
Engkau Habiskan untuk Apa Masa Mudamu?
Pertanyaan inilah yang akan diajukan kepada setiap hamba Allah subhanahu wata’ala pada hari kiamat nanti. Sebagaimana yang diberitakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam salah satu haditsnya:
لاَ تَزُوْلُ قَدَمُ ابْنِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ عِنْدِ رَبِّهِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ خَمْسٍ : عَنْ عُمْرِهِ فِيْمَا أَفْنَاهُ وَعَنْ شَبَابِهِ فِيْمَا أَبْلاَهُ وَمَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيْمَا أَنْفَقَهُ وَمَاذَا عَمِلَ فِيْمَا عَلِمَ.
“Tidak akan bergeser kaki anak Adam (manusia) pada hari kiamat nanti di hadapan Rabbnya sampai ditanya tentang lima perkara: umurnya untuk apa dihabiskan, masa mudanya untuk apa dihabiskan, hartanya dari mana dia dapatkan dan dibelanjakan untuk apa harta tersebut, dan sudahkah beramal terhadap ilmu yang telah ia ketahui.” (HR. At Tirmidzi no. 2340)
Sekarang cobalah mengoreksi diri kalian sendiri, sudahkah kalian mengisi masa muda kalian untuk hal-hal yang bermanfaat yang mendatangkan keridhaan Allah subhanahu wata’ala? Ataukah kalian isi masa muda kalian dengan perbuatan maksiat yang mendatangkan kemurkaan-Nya?
Kalau kalian masih saja mengisi waktu muda kalian untuk bersenang-senang dan lupa kepada Allah subhanahu wata’ala, maka jawaban apa yang bisa kalian ucapkan di hadapan Allah subhanahu wata’ala Sang Penguasa Hari Pembalasan? Tidakkah kalian takut akan ancaman Allah subhanahu wata’ala terhadap orang yang banyak berbuat dosa dan maksiat? Padahal Allah subhanahu wata’ala telah mengancam pelaku kejahatan dalam firman-Nya:
مَنْ يَعْمَلْ سُوءًا يُجْزَ بِهِ وَلَا يَجِدْ لَهُ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلِيًّا وَلَا نَصِيرًا
“Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah.” (An Nisa’: 123)
Bukanlah masa tua yang akan ditanyakan oleh Allah subhanahu wata’ala. Oleh karena itu, pergunakanlah kesempatan di masa muda kalian ini untuk kebaikan.
Ingat-ingatlah selalu bahwa setiap amal yang kalian lakukan akan dipertanggungjawabkan kelak di hadapan Allah subhanahu wata’ala.
Jauhi Perbuatan Maksiat
Apa yang menyebabkan Adam dan Hawwa dikeluarkan dari Al Jannah (surga)? Tidak lain adalah kemaksiatan mereka berdua kepada Allah subhanahu wata’ala. Mereka melanggar larangan Allah subhanahu wata’ala karena mendekati sebuah pohon di Al Jannah, mereka terbujuk oleh rayuan iblis yang mengajak mereka untuk bermaksiat kepada Allah subhanahu wata’ala.
Wahai para pemuda, senantiasa iblis, setan, dan bala tentaranya berupaya untuk mengajak umat manusia seluruhnya agar mereka bermaksiat kepada Allah subhanahu wata’ala, mereka mengajak umat manusia seluruhnya untuk menjadi temannya di neraka. Sebagaimana yang Allah subhanahu wata’ala jelaskan dalam firman-Nya (yang artinya):
إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُونُوا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيرِ
“Sesungguhnya setan itu adalah musuh bagimu, maka jadikanlah ia musuh(mu), karena sesungguhnya setan-setan itu mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” (Fathir: 6)
Setiap amalan kejelekan dan maksiat yang engkau lakukan, walaupun kecil pasti akan dicatat dan diperhitungkan di sisi Allah subhanahu wata’ala. Pasti engkau akan melihat akibat buruk dari apa yang telah engkau lakukan itu. Allah subhanahu wata’ala berfirman (yang artinya):
وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ
“Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sekecil apapun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.” (Az Zalzalah: 8)
Setan juga menghendaki dengan kemaksiatan ini, umat manusia menjadi terpecah belah dan saling bermusuhan. Jangan dikira bahwa ketika engkau bersama teman-temanmu melakukan kemaksiatan kepada Allah subhanahu wata’ala, itu merupakan wujud solidaritas dan kekompakan di antara kalian. Sekali-kali tidak, justru cepat atau lambat, teman yang engkau cintai menjadi musuh yang paling engkau benci. Allah subhanahu wata’ala berfirman:
إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلَاةِ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ
“Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu karena (meminum) khamr dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat, maka berhentilah kamu (dari mengerjakan perbuatan itu).” (Al Maidah: 91)
Demikianlah setan menjadikan perbuatan maksiat yang dilakukan manusia sebagai sarana untuk memecah belah dan menimbulkan permusuhan di antara mereka.
Ibadah yang Benar Dibangun di atas Ilmu
Wahai para pemuda, setelah kalian mengetahui bahwa tugas utama kalian hidup di dunia ini adalah untuk beribadah kepada Allah subhanahu wata’ala semata, maka sekarang ketahuilah bahwa Allah subhanahu wata’ala hanya menerima amalan ibadah yang dikerjakan dengan benar. Untuk itulah wajib atas kalian untuk belajar dan menuntut ilmu agama, mengenal Allah subhanahu wata’ala, mengenal Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, dan mengenal agama Islam ini, mengenal mana yang halal dan mana yang haram, mana yang haq (benar) dan mana yang bathil (salah), serta mana yang sunnah dan mana yang bid’ah.
Dengan ilmu agama, kalian akan terbimbing dalam beribadah kepada Allah subhanahu wata’ala, sehingga ibadah yang kalian lakukan benar-benar diterima di sisi Allah subhanahu wata’ala. Betapa banyak orang yang beramal kebajikan tetapi ternyata amalannya tidak diterima di sisi Allah subhanahu wata’ala, karena amalannya tidak dibangun di atas ilmu agama yang benar.
Oleh karena itu, wahai para pemuda muslim, pada kesempatan ini, kami juga menasehatkan kepada kalian untuk banyak mempelajari ilmu agama, duduk di majelis-majelis ilmu, mendengarkan Al Qur’an dan hadits serta nasehat dan penjelasan para ulama. Jangan sibukkan diri kalian dengan hal-hal yang kurang bermanfaat bagi diri kalian, terlebih lagi hal-hal yang mendatangkan murka Allah subhanahu wata’ala.
Ketahuilah, menuntut ilmu agama merupakan kewajiban bagi setiap muslim, maka barangsiapa yang meninggalkannya dia akan mendapatkan dosa, dan setiap dosa pasti akan menyebabkan kecelakaan bagi pelakunya.
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ.
“Menuntut ilmu agama itu merupakan kewajiban bagi setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah no.224)
Akhir Kata
Semoga nasehat yang sedikit ini bisa memberikan manfaat yang banyak kepada kita semua. Sesungguhnya nasehat itu merupakan perkara yang sangat penting dalam agama ini, bahkan saling memberikan nasehat merupakan salah satu sifat orang-orang yang dijauhkan dari kerugian, sebagaimana yang Allah subhanahu wata’ala firmankan dalam surat Al ‘Ashr:
وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلَّا الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dan nasehat- menasehati dalam kebenaran dan nasehat-menasehati supaya menetapi kesabaran.” (Al ‘Ashr: 1-3)
Wallahu ta‘ala a’lam bishshowab.
Obat Penyakit Takabbur
Dan Tips Meraih Tawadhu’
Al-‘Allamah ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah
Tidak diragukan, bahwa kewajiban atas setiap muslim adalah waspada dari takabbur/sombong dan bersikap tawadhu’. ‹‹ Barangsiapa yang bertawadhu’ karena Allah satu derajat, maka akan Allah angkat dia satu derajat ›› [1] dan barangsiapa yang takabbur (sombong) maka dia terancam untuk Allah timpakan musibah/hukuman atasnya — nas`alullah al-‘afiyah – .
Seseorang bertanya : “Wahai Rasulullah, aku suka jika bajuku bagus, sandalku juga bagus, apakah itu termasuk sombong?” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab :
« إن الله جميل يحب الجمال، الكبر بطر الحق وغمط الناس »
‹‹ Sesungguhnya Allah itu indah, cinta kepada keindahan. Sombong adalah menolak al-haq (kebenaran) dan melecehkan manusia. ›› [2]
Batharul Haq yakni menolak al-haq (kebenaran). Apabila kebenaran bertentangan dengan hawa nafsunya maka ia menolaknya.
Ghamthun Nas, yakni merendahkan manusia. Orang lain dalam pandangannya selalu berada di bawahnya. Ia merendahkan mereka. Ia melihat dirinya selalu berada di atas mereka. Bisa jadi karena kefasasihannya berbicara, atau karena kekayaannya, atau karena jabatannya, atau karena sebab-sebab lainya yang ia khayalkan. Dan bisa jadi dilakukan oleh orang yang fakir. Dalam hadits yang shahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
« ثلاثة لا يكلمهم الله يوم القيامة ولا يزكيهم ولا ينظر إليهم ولهم عذاب أليم: شيخ زان، وملك كذاب، وعائل مستكبر. »
‹‹ Tiga golongan yang Allah tidak akan berbicara dengannya kelak pada Hari Kiamat, tidak membersihkan mereka, dan tidak melihat kepada mereka, serta bagi mereka adzab yang pedih : seorang tua yang berzina, penguasa yang pendusta, orang miskin yang sombong. ›› [3]
Yakni orang miskin, dengan kemiskinannya dia sombong, dia mendapat musibah kesombongan. Sombong itu biasanya dilakukan oleh orang berharta dan kaya, namun dalam kondisinya yang miskin tersebut dia masih bersikap sombong. Sombong merupakan watak dan karakternya.
Adapun Tawadhu’ adalah sikap lembut, akhlak yang baik, dan tidak merasa tinggi di hadapan manusia. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
« إن من أحبكم إلي وأقربكم مني مجلسا يوم القيامة أحاسنكم أخلاقا »
‹‹ Sesungguhnya di antara orang yang paling aku cintai dan paling dekat majelisnya denganku pada Hari Kiamat adalah orang yang terbaik akhlaknya di antara kalian. ›› [4]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
« البر حسن الخلق »
‹‹ Kebaikan adalah akhlaq yang baik ›› [5]
Maka hendaknya ingat keagungan Allah, dan ingat bahwa Allah lah yang memberinya harta, memberinya jabatan, memberinya kedudukan, dan wajah yang tampan, atau selain itu. Hendaknya ingat bahwa barangsiapa yang mensyukuri sikap tawadhu’ tersebut dan tidak sombong … dia tidak sombong karena harta, atau karena jabatan, atau karena nasab, ketampanan, kekuatan, atau pun yang lainnya. .. bahkan ia ingat bahwa itu semua merupakan nikmat Allah dan barangsiapa yang mensyukurinya maka ia akan bersikap tawadhu, merendahkan dirinya sendiri, dan tidak akan sombong terhadap saudara-saudadaranya serta tidak akan merasa tinggi di hadapan mereka.
Takabbur/sombong mengantarkan kepada kezhaliman, kedustaan, tidak adil dalam ucapan dan perbuatan. Melihat dirinya berada di atas saudaranya, baik karena harta, ketampanan, jabatan, nasab, atau pun hal-hal yang masih abstrak sifatnya. Oleh karena itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan ‹‹ Sombong adalah menolak al-haq (kebenaran) dan melecehkan manusia. ›› yakni menolak al-haq apabila bertentangan dengan hawa nafsunya ini adalah takabbur/sombong. Dan melecehkan manusia : merendahkan mereka, melihat mereka selalu berada di bawahnya, dan bahwa mereka tidak pantas untuk disikapi dengan adil, atau memulai salam terhadap mereka, atau dipenuhi undangan mereka, dan yang semisalnya.
Apabila seseorang mengingat kelemahan dirinya, dan bahwa dirinya berasal dari air mani yang hina, dirinya butuh kamar mandi untuk buang hajat, dirinya makan dari sini, keluar dari sini, serta dirinya jika tidak istiqamah di atas ketaatan kepada Allah maka dia akan masuk neraka, jika dia menyadari itu semua maka dia akan tahu kelemahan dirinya, dan bahwa dirinya adalah miskin, dan tidak pantas baginya untuk bersikap takabbur/sombong.
(Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah IX/267-268)
Istilah “kuno” ataupun “ketinggalan zaman” merupakan gelar atau julukan yang sering dilontarkan oleh kaum muda mudi zaman ini terhadap seseorang yang mereka anggap sok memperhatikan akhlak atau adab Islami. Sebuah kondisi yang sangat disayangkan jika ini terjadi di negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Keadaan yang seperti ini akan bertambah parah terkhusus pada saat umat Islam sudah tidak lagi memperdulikan lagi akhlak dan adab Islami, terlebih slogan “siapa cepat dia dapat”, “siapa kuat dia yang menang” dijadikan sandaran dalam mencari berbagai macam keuntungan dunia. Tentunya kondisi yang seperti ini tidak akan menjadikan suasana dalam hidup semakin tenang, bahkan keadaan ini justru menjadi sebab keterpurukan sebuah negeri. Wal’iyadzu billah…(kita berlindung kepada Allah)
Akhlak dan adab dalam agama ini memiliki kedudukan yang tinggi dihadapan Allah ‘Azza wa Jalla dan rasul-Nya Shallahu ‘alaihi wa Sallam. Tidaklah Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam diutus ke dunia ini kecuali sebagai penyempurna akhlak atau budi pekerti yang mulia, sebagaimana Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :
»إنما بعثت لأتمم مكارم الأخلاق »
” Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia” (HR. Ahmad dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no.45)
Dengan akhlak dan adab yang mulia inilah Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam menghiasi hidupnya dalam rumah tangganya dan keluarganya, di hadapan shahabatnya, serta di hadapan umat secara umum. Termasuk para pembesar-pembesar Quraisy yang kafir ketika saat itu, beliau menyikapi mereka di atas koridor akhlak dan adab yang mulia.
Sebuah pengakuan yang begitu indah dari shahabat Anas bin Malik Radhiyallah ‘anhu sebagaimana telah disebutkan oleh Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah dalam kitab tafsirnya:
“Aku telah berkhidmat (menjadi pelayan) Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam selama 10 tahun, beliau tidak pernah mengatakan kepadaku “ah” dan tidak pernah bertanya jika aku telah melakukan sesuatu ‘kenapa kamu melakukannya?’, dan pada sesuatu yang tidak pernah aku lakukan beliau tidak mengatakan ‘mengapa kamu tidak melakukannya?’ Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam adalah orang yang paling baik akhlaknya” (HR. Al-Bukhari no. 3561/Muslim no. 2309)
Hal tersebut merupakan rahmat dan karunia dari Allah ‘Azza wa Jalla yang telah diberikan kepada Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam, sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala mengingatkan besarnya rahmat yang telah diberikan-Nya, sebagaimana firman-Nya :
“Maka disebabkan rahmat dari Allah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka, sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar niscaya mereka akan menjauh dari sekelilingmu, maka maafkanlah mereka dan mohonkan ampun untuk mereka serta bermusyawarahlah dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah betekad bulat, maka bertawakallah! Karena sesungguhmya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya (Ali Imran: 159)
Shahabat ‘Abdullah bin ‘Umar bin Al-Khatthab berkata; “Aku menjumpai sifat Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam dalam kitab-kitab terdahulu, bahwa beliau tidak pernah berkata kasar, kotor, dan tidak pula berteriak-teriak di pasar serta tidak membalas perbuatan jelek dengan kejelekan, sebaliknya beliau sangat pemaaf“ ( Tafsir Ibnu Katsir 1/516)
Demikianlah akhlak manusia termulia ini. Tidak ada perkara yang lebih indah dalam sebuah kehidupan jika terwarnai dengan kemuliaan akhlak dan budi pekerti, rasa cinta dan kasih sayang, keharmonisan akan terjalin dalam rumah tangga jika setiap individu atau umat Islam menghiasi dirinya dengan akhlak yang mulia.
Wallahu a’lam bishshawab
WASIAT RASULULLAH SHALALLAHU ‘ALAIHI WASALLAM
KEPADA ABUL ABBAS ‘ABDULLAH BIN ABBAS RADHIALLAHU ‘ANHUMA:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ : كُنْتُ خَلْفَ رَسُولِ اللهِ يَوْمًا، فَقَالَ « يَا غُلاَمُ إِنِّى أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ، احْفَظِ اللهَ يَحْفَظْكَ، احْفَظِ اللهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ، إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللهَ وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللهِ. وَاعْلَمْ أَنَّ الأُمَّةَ لَوِ اجْتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَنْفَعُوكَ بِشَىْءٍ لَمْ يَنْفَعُوكَ إِلاَّ بِشَىْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ لَكَ، وَلَوِ اجْتَمَعُوا عَلَى أَنْ يَضُرُّوكَ بِشَىْءٍ لَمْ يَضُرُّوكَ إِلاَّ بِشَىْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ عَلَيْكَ، رُفِعَتِ الأَقْلاَمُ وَجَفَّتِ الصُّحُفُ ». رواه أحمد والترمذي
Dari shahabat Ibnu ‘Abbas berkata : Dulu suatu hari aku pernah membonceng di belakang Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, kemudian beliau berkata : “Wahai anak, sungguh aku akan mengajarimu beberapa kata : Jagalah Allah niscaya Allah akan menjagamu. Jagalah Allah niscaya engkau akan mendapati-Nya berada di hadapanmu. Apabila engkau meminta maka memintalah kepada Allah, dan apabila engkau minta pertolongan, mintalah pertolongan dari Allah. Ketahuilah, bahwa kalau seandainya umat ini bersatu untuk memberimu manfaat dengan sesuatu, niscaya mereka tidak akan mampu memberikan manfaat kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tuliskan untukmu. Dan kalau seandainya umat bersatu untuk memadharatkan kamu dengan sesuatu, niscaya mereka tidak akan bisa memberikan madharat kepadamu kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tuliskan atasmu. Telah terangkat pena dan telah telah kering lembaran.” Diriwayatkan oleh Ahmad (I/293) dan At-Tirmidzi no. 2516.
v Wasiat 1: “Jagalah Allah Azza wa Jalla niscaya Allah Azza wa Jalla akan menjagamu.”
Sebagian ulama berkata dalam menafsirkan hadits ini, bahwa makna “jagalah Allah” adalah jagalah perintah-perintah Allah untuk kemudian kita laksanakan, dan jagalah larangan-larangan Allah untuk selanjutnya kita tinggalkan. Dengan menjaga itu semua niscaya Allah Tabaraka wa Ta’ala akan memberikan balasan-Nya berupa penjagaan kepada kita dalam hal:
- Penjagaan Allah Tabaraka wa Ta’ala dalam urusan dunianya.
Allah Tabaraka wa Ta’ala akan menjaga badannya dari sakit, juga harta bendanya, serta anak istrinya, dan segala hal yang berkaitan dengan dunianya. Semuanya Allah jaga dengan perlindungan-Nya yang Maha Sempurna yang merupakan bentuk jaza` (pahala) yang dipersiapkan oleh Allah Tabaraka wa Ta’ala disebabkan hamba itu telah menjaga aturan-aturan Allah Azza wa Jalla. Sebaliknya, jika hamba itu tidak mau menjaga aturan-aturan yang telah Allah tetapkan dengan melakukan kemaksiatan, maka Allah tidak akan menjaga hamba tersebut. Karena kemaksiatan itu dapat berpengaruh kepada seorang hamba baik pada badannya, kendaraannya, maupun terhadap anak dan istrinya. Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitabnya Al-Jawabul Kafi Liman Sa’ala ‘anid Dawa`isy Syafi, telah menyebutkan bagaimana pengaruh maksiat terhadap kehidupan pribadi seorang muslim baik pada dirinya, harta bendanya, bahkan pengaruh maksiat tersebut tampak pada istrinya. Allah Tabaraka wa Ta’ala telah berfirman:
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ (97) [النحل/97]
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik.” (An Nahl: 97)
Sebagian ulama menjadikan ayat ini sebagai syahid (penguat) dari sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam : “Jagalah Allah niscaya Allah akan menjagamu”, yaitu Allah Azza wa Jalla akan memberikan kehidupan yang baik apabila seorang hamba benar-benar menjaga bimbingan dan aturan Allah Tabaraka wa Ta’ala.
Maka sungguh sangat keliru jika ada seorang hamba yang sedang mengalami suatu masalah, lalu berfikir untuk mengambil jalan pintas dengan melanggar aturan-aturan Allah, dengan tujuan agar problemnya cepat terselesaikan. Karena problem dan masalah itu semuanya datang dari Allah dan Allah-lah yang akan mengangkatnya jika kita mau melaksanakan segala yang diridhai dan dicintai oleh Allah. Inilah makna dari firman Allah Azza wa Jalla:
وَمَنْ يَتَّقِ اللهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا (4) [الطلاق/4]
“Dan barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.” (Ath Thalaq: 4)
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda:
« اتَّقِ اللَّهَ حَيْثُمَا كُنْتَ … »
“Hendaklah engkau bertaqwa kepada Allah dimana saja engkau berada.” [HR. Ahmad, At-Tirmidzi, Ad-Darimi]
- Penjagaan Allah terhadap agamanya
Meliputi dua hal:
a. Dijaga hatinya dari syubuhat (kerancuan berfikir dan memamahi agama)
Maksudnya yaitu Allah Tabaraka wa Ta’ala akan menjaga dan memelihara hatinya dari pengaruh kerusakan syubuhat yang akan menjatuhkan dirinya kepada kesesatan dan penyimpangan dari agama ini. Bukankah ketika seseorang memilih kesesatan atau cenderung kepada kesesatan Allah kemudian membalikkan hatinya dari kebenaran menuju kesesatan. Inilah balasan Allah Tabaraka wa Ta’ala kepada orang-orang yang mencoba melanggar larangan Allah. Allah Azza wa Jalla tegaskan dalam firman-Nya:
فَلَمَّا زَاغُوا أَزَاغَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ [الصف/5]
“Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka.” (Ash Shaf: 5)
- Termasuk dari nikmat Allah Tabaraka wa Ta’ala yang sangat besar adalah penjagaan-Nya terhadap hati kita dari syubuhat. Kata para ulama;
القلوب ضعيفة، والشبهات خطافة
“Hati kita ini sungguh lemah, sementara syubuhat itu menyambar amat keras.”
- Sungguh tidak ada syubuhat yang paling dahsyat bagi seorang muwahhid (seseorang yang bertauhid) kecuali apa yang dilakukan oleh Iblis dalam mengkaburkan aqidah tauhidnya. Tidak ada kendaraan yang paling berbahaya bagi seorang muslim yang akan ditunggangi oleh Iblis dan bala tentaranya kecuali hawa nafsu yang selalu menyuruh kepada perbuatan maksiat.
- Kata Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah: “Kalaulah bukan karena kehendak Allah, niscaya kita akan termasuk dari orang-orang yang disesatkan oleh Allah.”
b. Dijaga jawarih-nya (anggota tubuhnya) dari segala keinginan syahawat (hawa nafsu)
Allah jaga telinga kita dari mendengar apa-apa yang dimurkai oleh Allah Tabaraka wa Ta’ala, juga mata kita, tangan, dan kaki kita, yang semuanya itu adalah jaza` (balasan) dari Allah Tabaraka wa Ta’ala atas apa yang telah kita korbankan dalam ketaatan kepada-Nya.
v Wasiat 2: “Jagalah Allah niscaya engkau akan menjumpai-Nya di hadapanmu.”
- Kata sebagian ulama ketika men-syarh (menjelaskan) hadits ini, “yaitu pertolongan dan pembelaan Allah akan engkau dapatkan dan engkau jumpai tatkala engkau menjaga batasan-batasan Allah Tabaraka wa Ta’ala.”
- Sehingga tidak ada seorangpun yang taat kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala kemudian Allah lepaskan perlindungan dan pembelaan darinya. Allah tegaskan hal ini dalam sebuah hadits qudsi:
« مَنْ عَادَى لِى وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ! »
“Barangsiapa yang menentang dan melawan wali-Ku, maka Aku akan umumkan peperangan dengannya!” [HR. Al-Bukhari]
Inilah bentuk pembelaan dan pertolongan Allah Tabaraka wa Ta’ala terhadap wali-wali-Nya. Mereka adalah sebagaimana yang Allah jelaskan sendiri dalam kalam-Nya:
أَلا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللهِ لاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ (62) الَّذِينَ آَمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ (63) [يونس/62، 63]
“Ketahuilah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertaqwa.” (Yunus: 62-63)
- Al-Imam Asy-Syafi’I rahimahullah berkata ketika ditanya tentang wali Allah: “Jikalau kalian melihat seseorang bisa berjalan di atas air atau bisa terbang di udara, maka jangan sekali-kali kalian mempercayainya bahwa dia wali Allah. Jangan sampai kalian tertipu dengannya sampai kalian mengetahui bagaimana ittiba’nya (mencontoh-nya) dia terhadap Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam.“
- Allah Tabaraka wa Ta’ala tidak akan membiarkan hamba-Nya yang beriman dan taat mengalami kesulitan dan kesedihan walaupun dia berada di tempat yang paling berbahaya sekalipun. Allah Tabaraka wa Ta’ala tetap akan memberikan barakah-Nya kepada hamba tersebut. Pelajaran yang sangat berharga dapat kita peroleh dari kisah Nabi Ibrahim ‘alaihissalam dan istrinya Hajar, di mana kisah ini telah dishahihkan oleh Al-Muhaddits Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi rahimahullah, yaitu ketika Allah memerintahkan kepada Nabi Ibrahim ‘alaihissalam untuk membawa istri dan anaknya yaitu Isma’il ‘alaihissalam (yang pada waktu itu masih dalam gendongan) ke sebuah kota yang gersang dan tandus tak berpenghuni. Ketika sudah sampai di kota tersebut, Allah memerintahkan Nabi Ibrahim untuk meninggalkan mereka dan kembali ke Palestina. Melihat hal itu, Hajar berteriak: “wahai Ibrahim..!!”, tetapi Nabi Ibrahim tidak menoleh dan terus berjalan. Kemudian Hajar berteriak lagi: “Allah-kah yang memerintahkan engkau berbuat demikian?”, mendengar itu, Nabi Ibrahim menoleh dan berkata: “iya benar”, setelah itu Nabi Ibrahim melanjutkan perjalanannya. Kemudian Hajar berkata: “kalau demikian Allah tidak akan menyia-nyiakan kami.” Inilah dia wanita yang terdidik di atas aqidah yang shahih dan tauhid yang benar dari seorang Abul Muwahhidin (bapak orang-orang yang bertauhid), sehingga ia mempunyai sikap dan keyakinan bahwa Allah Tabaraka wa Ta’ala tidak akan menyia-nyiakan orang yang berbuat taat kepada-Nya.
- Ini adalah nasehat yang agung dari lisan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam kepada shahabat ‘Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma dan bagi kita semuanya, terlebih lagi bagi orang-orang yang mengikuti dakwah yang benar ini sangat membutuhkan segalanya kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala. Tatkala dia mendapatkan caci makian, celaan, bahkan tahdzir (peringatan keras) dalam hidupnya, dia akan mengembalikan urusannya kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala.
- Tersebutlah suatu kisah dari Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah dari penuturan putri beliau hafizhallah bahwa tatkala beliau duduk di majelisnya, datang sebagian ikhwan yang melaporkan bahwa orang-orang sedang membicarakan beliau. Tetapi beliau tidak terus marah atau mencoba bertanya tentang apa yang dibicarakan itu. Kata beliau: “Bahaya dosaku terhadap diriku itu lebih aku khawatirkan dari pada bahaya ucapan mereka tentang diriku.”
- Yakinlah di mana saja engkau berada, selama engkau beriman dan taat kepada Allah, maka Allah subhanahu wata’ala tidak akan menyia-nyiakan hidupmu. Sekecil apapun sumbangsihmu terhadap dakwah ini, selama engkau luruskan niatmu hanya untuk Allah maka Allah subhanahu wata’ala akan mengganti yang kecil tersebut menjadi besar, dan yang ringan akan menjadi berat di sisi Allah Tabaraka wa Ta’ala.
- Nasehat ini mengandung isyarat bahwa setiap hamba harus senantiasa berusaha memperbaiki hubungan dirinya dengan Allah Tabaraka wa Ta’ala untuk kemudian yakin apabila semuanya telah lurus dengan apa yang disyariatkan oleh Allah, jangan putus asa terhadap ujian yang menimpanya, semoga itu menjadi ladang amal shalih untuk mencari amal shalih yang berikutnya. Bukankah dengan ujian itu akan mendatangkan pahala dari sisi Allah Azza wa Jalla jika kita bersabar?
v Wasiat #3: Apabila engkau meminta maka mintalah kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala, dan apabila engkau meminta tolong maka mintalah tolong kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala.
- Kata para ‘ulama, bahwa bimbingan ini dimaksudkan agar seorang hamba selalu menyerahkan seluruh hidupnya kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala. Kita butuh segala-galanya pada-Nya, maka kita minta kepada Allah. Bahkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam tetap meminta kepada Allah walaupun hanya dalam urusan yang sangat kecil yaitu ketika tali sandalnya putus. Tetapi bukan berarti kita tidak diperbolehkan meminta tolong kepada saudara kita. Selama dia memiliki kemampuan untuk melakukannya maka hal itu boleh dalam agama. Hal ini Allah Azza wa Jalla beritakan dalam kalam-Nya yang mulia:
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ [المائدة/2]
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (Al-Ma`idah: 2)
- Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah ketika menyebutkan kandungan ayat dalam firman Allah :
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ (5) [الفاتحة/5]
“Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.” (Al Fatihah: 5)
Beliau berkata: “Aku mempelajari dan merenungi tentang do’a yang paling bermanfaat, ternyata do’a yang paling bermanfaat itu adalah meminta kepada Allah untuk memberikan bantuan dalam mewujudkan ketaatan kepada Allah. Aku kemudian menggali dan mempelajari permintaan yang paling bermanfaat bagi seorang hamba tersebut ternyata terdapat di dalam firman Allah Azza wa Jalla:
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ (5) [الفاتحة/5]
“Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.” (Al Fatihah: 5)
- Wasiat ini mengingatkan kita semua agar selalu bertawakkal atas segala usaha yang kita tempuh kepada Allah Azza wa Jalla. Menyerahkan semua hasil dan nilainya kepada Allah. Terlebih kepada thullabul ilmi (penuntut ilmu agama), dan para huffazh (para penghafal Al Qur’an), untuk senantiasa meminta bantuan kepada Allah karena dia sedang berusaha melakukan suatu amalan yang sangat besar dalam agama, bahkan para ulama menyebutkan; “jihad yang paling besar di masa ini adalah mempelajari agama Allah.” hendaknya selalu meminta bantuan kepada Allah karena ini adalah suatu amalan ketaatan, agar Allah memberi keistiqomahan padanya.
- Semoga wasiat aqidah kepada Ibnu Abbas ini dapat menjadi renungan bagi diri kita bahwa semua yang kita harapkan dari sisi Allah tidak akan bisa didapatkan melainkan dengan usaha yang besar. Hal ini Allah tegaskan di dalam firman-Nya:
وَتِلْكَ الْجَنَّةُ الَّتِي أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ (72) [الزخرف/72]
“Dan itulah al-jannah yang diwariskan kepada kalian disebabkan amal-amal yang dahulu kalian kerjakan.” (Az Zukhruf: 72)
Maka semuanya butuh pengorbanan dan perjuangan yang tidak kecil, ketika seseorang ingin meraih jannah Allah Tabaraka wa Ta’ala. Jembatan yang paling mudah dan memudahkan untuk menuju jannah tersebut adalah thalabul ‘ilmu (menuntut ilmu agama), sebagaimana sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam :
« وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ ».
“Barangsiapa yang menempuh suatu jalan dalam rangka menuntut ilmu, niscaya Allah akan mudahkan baginya dengannya (ilmu tersebut) jalan menuju al-jannah.” [HR. Muslim]
Ilmu-lah jalan yang paling mudah dan memudahkan untuk mencapai jannah Allah Tabaraka wa Ta’ala. Inilah yang telah memudahkan jalan Abu Bakr Ash-Shiddiq, ‘Umar bin Al-Khaththab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib, serta seluruh para shahabat yang lain radhiallahu ‘anhum untuk meraih kemuliaan di dunia dan di akhirat.
Wallahua’lam bish shawab
PRINSIP DAN ADAB DALAM BERDAKWAH
- Salah satu prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah As-Salafiyyin adalah upaya amar ma’ruf nahi munkar yaitu memerintahkan kebaikan kepada segenap manusia dan melarang mereka dari segenap kemungkaran. Allah Tabaraka wa Ta’ala sebutkan hal ini dalam firman-Nya:
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (104) [آل عمران/104]
“Hendaklah ada dikalangan kalian (wahai kaum muslimin) sejumlah orang yang melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Dan merekalah orang-orang yang beruntung.” (Ali Imran: 104)
Telah diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim dalam Shahihnya dari shahabat Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhubahwa Rasulullahshalallahu ‘alaihi wasallambersabda:
« مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَانِ »
“Barangsiapa di antara kalian yang melihat kemungkaran maka hendaklah dia rubah dengan tangannya, jika tidak mampu maka dengan lisannya, jika tidak mampu maka dengan hatinya, dan itulah selemah-lemahnya iman.” [HR. Muslim no. 49]
- Bagian terpenting dari upaya amar ma’ruf nahi munkar ini adalah dengan berdakwah menyeru manusia kepada agama Allah U. Hal ini juga sebagai ciri khas dari setiap nabi dan rasul yang Allah utus. Allah subhanahu wata’ala menyebutkan tugas utama para rasul sebagaimana dalam firman-Nya:
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولاً أَنِ اعْبُدُوا اللهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ [النحل/36]
“Dan sungguhnya Kami telah mengutus seorang Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Beribadahlah kalian kepada Allah (saja), dan jauhilah thaghut itu.” (An-Nahl: 36)
- Upaya dakwah ini haruslah dibangun di atas bashirah (’ilmu dan hujjah yang nyata). Hal ini sebagamana Allah tegaskan dalam kalam-Nya yang mulia:
قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ (108) [يوسف/108]
“Katakanlah: “Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan bashirah (hujjah yang nyata), Maha suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik.” (Yusuf: 108)
Di antara ahli tafsir ada yang menafsirkan ayat ini, bahwa salah satu ciri pengikut rasul adalah : mereka berdakwah/menyeru kepada agama Allah di atas bashirah.
- Fadhilah (keutamaan) berdakwah di jalan Allah Tabaraka wa Ta’ala:
1. Orang-orang yang berdakwah kepada agama Allah (du’at), mereka adalah orang yang paling bagus ucapan, keterangan, dan perbicaraannya jika disertai amal shalih kepada Allah.
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلاً مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ (33) [فصلت/33]
“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang shalih, dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?” (Fushshilat: 33)
2. Dakwah yang menyebabkan hidayah dan taufik untuk satu orang, lebih baik dari pada dunia dan seisinya.
Hal ini ditegaskan oleh Rasulullahshalallahu ‘alaihi wasallamdalam haditsnya yang diriwayatkan dari shahabat Sahl bin Sa’d As-Sa‘idi radhiallahu ‘anhutentang kisah ‘Ali bin Abi Thalib yang diutus ke Khaibar. Pada akhir hadits tersebut Rasulullahshalallahu ‘alaihi wasallambersabda:
« … فَوَاللهِ لأَنْ يَهْدِىَ اللهُ بِكَ رَجُلاً وَاحِدًا خَيْرٌ لَكَ مِنْ أَنْ يَكُونَ لَكَ حُمْرُ النَّعَمِ » .
“….demi Allah kalau seandainya Allah memberi hidayah kepada satu orang lewat perantara kamu, maka itu lebih baik bagimu dari pada engkau memiliki unta merah.” (Muttafaqun’alaihi) [1])
Hal-Hal Yang Harus Diperhatikan Oleh Para Da’i Ketika Berdakwah
1. Talaqqi Ilmi (menimba ilmu) sebelum dan ketika berdakwah
Sebagaimana hadits:
« طَلَبُ العِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ »
“Menuntut ilmu agama adalah wajib bagi setiap pribadi muslim.” [HR. Ibnu Majah] [2])
2. Ushul Talaqqi (hal-hal yang harus diperhatikan oleh para penuntut ilmu ):
a) Niat yang ikhlas karena mengharap ridha Allah
« إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، … »
“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Dan masing-masing orang akan diberi pahala sesuai dengan apa yang dia niatkan.” [Muttafaqun ‘alaih] [3])
Menuntut ilmu dia niatkan untuk menolong agama Allah, menghilangkan kejahilan, dan untuk dia amalkan. Bukan hanya sekedar untuk dikatakan hafizh, da’i, ustadz, atau untuk berbangga-bangga di hadapan orang-orang bodoh, mendebat para ulama, atau untuk mendapatkan sedikit dari urusan dunia ini. Rasulullahshalallahu ‘alaihi wasallambersabda :
« مَنْ طَلَبَ الْعِلْمَ لِيُجَارِىَ بِهِ الْعُلَمَاءَ أَوْ لِيُمَارِىَ بِهِ السُّفَهَاءَ أَوْ يَصْرِفَ بِهِ وُجُوهَ النَّاسِ إِلَيْهِ أَدْخَلَهُ اللهُ النَّارَ »
“Barangsiapa yang menuntut ilmu karena hendak mendebat para ‘ulama, atau berbangga-bangga di hadapan orang-orang bodoh, atau ingin perhatian orang tertuju pada dirinya, maka Allah akan masukkan ia ke dalam an-nar (neraka).” [HR. At-Tirmidzi] [4])
b) Taqdimu al-ahammi fal aham (mendahulukan yang terpenting kemudian yang penting berikutnya) dalam menuntut ilmu. Artinya dalam menimba ilmu tidak bisa langsung loncat tangga. Perlu tahapan demi tahapan, karena ilmu agama ini -sebagaimana yang digambarkan oleh para ulama- bagaikan lautan yang tidak bertepi. Sehingga tidak ada seorang pun yang dapat menguasai semua bidang ilmu. Hal ini Allah tegaskan dalam firman-Nya:
وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلاً (85) [الإسراء/85]
“…dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.” (Al-Isra’: 85)
- Tahapan-tahapan dalam menuntut ilmu yaitu:
- Hifzhul Qur’an khususnya di usia muda.
- Menggali ushulul fan (kaidah masing-masing bidang ilmu). Seperti kata para ulama;
مَنْ حُرِمَ الأُصُولُ حُرِمَ الوُصُولُ
“Barangsiapa yang meninggalkan ushulul ilmi (prinsip-prinsip dasar ilmu), maka dia akan diharamkan untuk sampai pada ilmu tersebut.”
Ushul ilmu ini contohnya; ushul fiqh, ushul hadits, dan sebagainya.
- Berenang di lautan ilmu para ulama dengan pondasi ilmu yang sudah mapan.
- Sabar dan sungguh-sungguh dalam belajar.
- Kata pepatah
مَنْ ثَبَتَ نَبَتَ
“Barangsiapa yang kokoh ilmunya, maka dia akan menghasilkan ilmu tersebut.”
Jangan sampai ilmu kita tadawwuq yaitu hanya sekedar mencicipi ilmu tersebut tanpa mau serius dan sabar. Misalnya, sering pindah-pindah pondok atau berpindah-pindah pelajaran sebelum dia faham benar. Orang yang seperti tidak akan mendapatkan ilmu yang bermanfaat selamanya.
- Mengambil ilmu dari ahlinya.
- Orang yang kamu ambil ilmunya harus shahibus sunnah (orang yang berpegang pada as-sunnah), bukan dari ahlul hawa (pengikut hawa nafsu). Karena ilmu ini adalah agama sebagaimana kata Ibnu Sirin
إِنَّ هَذَا الْعِلْمَ دِينٌ، فَانْظُرُوا عَمَّنْ تَأْخُذُونَ دِينَكُمْ!
“Ilmu ini adalah agama, maka lihatlah dari siapa engkau mengambil agamamu.” [5])
- Orang yang berdakwah tetapi tidak disertai ilmu yang mapan, maka dia akan lebih banyak merusak dakwah dari pada memperbaikinya. Oleh karenanya bagi seseorang yang merasa belum mampu untuk berdakwah karena ilmunya belum mapan dan belum pas, maka hendaknya dia mengetahui kadar dirinya. “Semoga Allah merahmati seseorang yang mengetahui kadar dirinya.”
3. Harus menjadi uswatun hasanah (teladan yang baik) bagi segenap kaum muslimin dan mad’u-nya (orang yang dia dakwahi)
- Jangan sampai ucapan dia menyelisihi amalannya atau sebaliknya amalannya menyelisihi ucapannya. Allah subhanahu wata’ala mengancam orang-orang yang berkata tetapi dia tidak mengamalkan apa yang dia katakan itu, sebagaimana dalam kalam-Nya yang mulia:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لاَ تَفْعَلُونَ (2) كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لاَ تَفْعَلُونَ (3) [الصف/2، 3]
“Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” [Ash-Shaf : 2-3]
- Rasulullahshalallahu ‘alaihi wasallamjuga telah mengabarkan bagaimana kesudahan orang-orang yang mengajak kepada kebaikan tetapi ternyata dia sendiri tidak mau mengerjakan kebaikan tersebut. Sebagaimana dalam hadits yang shahih dari shahabat Abu Usamah bin Zaid radhiallahu ‘anhubahwa Rasulullah menceritakan bahwa nanti di An-Naar ada seseorang yang diadzab oleh Allah dalam keadaan terurai isi perutnya dan dia menarik-nariknya. Kemudian para penduduk An Naar mengerumuninya dan mengatakan; “Wahai fulan, bukankah engkau di dunia dahulu memerintahkan kepada kami perkara kebaikan dan melarang kami dari perkara kejelekan? Jawabnya; “saya dahulu memerintahkan kebaikan tetapi tidak saya kerjakan, dan saya dahulu melarang kalian dari perkara kejelekan, tetapi justru saya yang melaksanakan.”
- Dalam hadits yang mulia di atas terkandung tanbih (peringatan) bagi orang-orang yang melanggar apa yang dia sampaikan sendiri. Oleh karenanya seorang da’i harus menjadi uswatun hasanah bagi kaum muslimin dalam segala aspek.
4. Harus benar-benar mengajari kaum muslimin dakwah yang sesungguhnya yaitu berdakwah kepada Allah, bukan berdakwah kepada kelompoknya atau golongannya.
Sebagaimana dalam firman Allah Tabaraka wa Ta’ala:
قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللهِ عَلَى بَصِيرَةٍ [يوسف/108]
“Katakanlah: “Inilah jalan (agama) ku, aku berdakwah ke jalan Allah di atas bashirah (ilmu).” (Yusuf: 108)
Dan juga firman-Nya:
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ [النحل/125]
“Berdakwahlah ke jalan Rabb-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik.”(An-Nahl: 125)
Perhatikan, Allah memerintahkan untuk berdakwah ke jalan-Nya. Menunjukkan bahwa dakwah ini bukanlah untuk kepentingan dunia, dakwah mengajak kepada kelompok atau golongan, dsb. Dakwah, adalah mengajak orang ke jalan Allah.
5. Harus mendidik umat agar menjadi ummatul ittiba’ (umat yang selalu mengikuti jalannya Rasulullah), bukan menjadi ummatut taqlid wa ta’assub (umat yang hanya membebek tanpa hujjah yang jelas)
Hal ini Allah tegaskan dalam firman-Nya:
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيعًا وَلا تَفَرَّقُوا [آل عمران/103]
“Dan berpegangteguhlah kalian semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai berai.”(Ali Imran:103)
Dan juga firman Allah Azza wa Jalla:
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ [الأنعام/153]
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain) karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kalian dari jalan-Nya.” (Al An’am: 153)
Sehingga seorang da’i haruslah mengajari umat untuk selalu berpegang kepada dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah jika mendapati suatu masalah. Bukan mengajari mereka untuk taqlid dan ta’assub. Karena kita tidak boleh untuk mengikuti seseorang kecuali Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.
6. Senantiasa menghubungkan dan mengenalkan umat dengan para ulama-nya.
Hal ini sebagai perwujudan dari perintah Allah Tabaraka wa Ta’ala :
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ (43) [النحل/43]
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan (ulama) jika kalian tidak mengetahui.” (An Nahl: 43)
- Para ulama adalah para pembawa ilmu yang merupakan warisan dari para anbiya’, sehingga jika umat dipisahkan dari para ulama-nya, maka berarti mereka juga dipisahkan dari ilmu agamanya dan tentunya ini adalah salah satu tanda dari tanda-tanda kehancuran umat.
- Kecintaan kepada para ulama adalah salah satu ciri khas dari Ahlus Sunnah, sedangkan kebencian dan permusuhan kepada para ulama adalah ciri dari para pengekor hawa nafsu.
- Tetapi kecintaan Ahlus Sunnah kepada para ulamanya dibangun di atas tarbiyah ittiba’, bukan dibangun di atas tarbiyah taqlid.
7. Ikhlaskan niat dalam berdakwah hanya untuk mencari ridha Allah semata. Bukan untuk mengharapkan pujian dan balasan dari orang lain.
- Allah Tabaraka wa Ta’ala ceritakan tentang dakwah para nabi dan rasul ketika mereka berkata kepada kaumnya:
وَيَا قَوْمِ لاَ أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مَالاً إِنْ أَجْرِيَ إِلاَّ عَلَى اللهِ [هود/29]
“Dan (dia berkata): “Hai kaumku, aku tiada meminta harta benda kepada kamu (sebagai upah) bagi seruanku. Upahku hanyalah dari Allah.” (Hud: 29)
- Dakwah adalah ibadah dan amanah dari Allah, bukan untuk dijadikan alat mencari dunia.
8. Semua syarat-syarat di atas akan semakin indah jika dibungkus dengan sifat lyn wa rifq (lemah lembut) pada diri setiap da’i.
Allah I berfirman :
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ (159) [آل عمران/159]
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. [Ali ‘Imran : 159]
Rasulullahshalallahu ‘alaihi wasallambersabda :
« إِنَّ الرِّفْقَ لاَ يَكُونُ فِى شَىْءٍ إِلاَّ زَانَهُ وَلاَ يُنْزَعُ مِنْ شَىْءٍ إِلاَّ شَانَهُ »
Sesungguhnya Ar-Rifq (sikap lembut) tidaklah ia ada pada sesuatu kecuali ia akan membuatnya indah, dan tidaklah dicabut Ar-Rifq dari sesuatu kecuali akan menjadikannya jelek. [HR. Muslim] [6])
[1] HR. Al-Bukhari no. 2942, 3009, 3710, 4210; Muslim no. 2406.
[2] HR. Ibnu Majah no. 224, dari shahabat Anas bin Malik. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Ibni Majah no. 224.
[3] HR. Al-Bukhari no. 1, 54, 2529, 3898, 5070, 6953; Muslim no. 1907. dari shahabat ‘Umar bin Al-Khaththab.
[4] HR. At-Tirmidzi no. 2654, dari shahabat Ka’b bin Malik. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani v dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi no. 2654.
[5] Driwayatkan oleh Muslim dalam muqaddimah Shahih-nya.
[6] HR. Muslim no. 2594, dari shahabat ‘Aisyah h.


Tidak ada komentar:
Posting Komentar