Hidup Mulia dengan Mengikuti Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (artinya): “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam suri tauladan yang baik bagi kalian (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari akhir dan dia banyak menyebut Allah.” (Al Ahzab: 21)
Para pembaca yang mulia, semoga Allah subhanahu wa ta’ala senantiasa mencurahkan rahmat dan taufiq-Nya kepada kita semua. Sibuk dengan ritual keagamaan belum menjadi jaminan seseorang telah shalih, alim, atau ahli ketaatan. Penampilan seseorang dalam beragama hendaknya diukur sejauh mana dirinya menerapkan amal shalih yang didasari keikhlasan dan mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Tanpa dua prinsip dasar yang harus selalu beriringan ini, maka amaliah seseorang akan menjadi sia-sia. Ia akan mendapatkan kehampaan pahala dan terseret ke arah amaliah yang jauh dari agama Islam itu sendiri.
Tentu merupakan sebuah kewajiban setiap muslim untuk beramal dalam agama Islam ini dengan mengikuti segala apa yang diperintahkan dan dicontohkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Beragama yang baik dan benar bukanlah dengan dasar mengikuti amal perbuatan kebanyakan orang, bukan pula dengan mengikuti semangat yang menggebu semata atau karena kagum dengan figur tokoh tertentu. Akan tetapi menjalankan agama secara baik dan benar haruslah selaras dengan landasan keikhlasan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan amaliahnya (prakteknya) mengikuti apa yang telah dituntunkan oleh rasul-Nya.
Kewajiban Mengikuti Sunnah Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam dan Mengagungkannya
Mengagungkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam merupakan perkara yang besar dan agung. Yang membutuhkan bukti dan praktek nyata dalam kehidupan sehari-hari. Ironisnya keadaan pada saat ini justru terjadi sebaliknya, fenomena yang ada pada sebagian kaum muslimin enggan menerima, mengabaikannya, bahkan mengolok-oloknya. Padahal Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (artinya):
“Dan apa yang diperintahkan Rasul kepada kalian maka lakukanlah sedang apa yang beliau larang darinya maka tinggalkanlah.” (Al Hasyr: 7)
“Barangsiapa yang menaati Rasul berarti ia telah menaati Allah.” (An Nisa’: 80)
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukminah, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguhlah ia telah sesat, dengan kesesatan yang nyata.” (Al Ahzab: 36)
Ketiga ayat di atas menunjukkan secara tegas bagaimana semestinya sikap seorang muslim menempatkan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu wajib mengambilnya. Hal ini merupakan keharusan yang tidak ada tawar-menawar lagi. Kemudian menjadikan sunnah tersebut sebagai pedoman dalam melangkah dan melakukan ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Oleh karena itu, Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai penjelas Al-Qur’an bukan sekedar menyampaikan atau membacakannya secara lafazh saja, sebagaimana dalam firman-Nya (artinya):
“Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur’an agar engkau terangkan kepada manusia apa yang diturunkan kepada mereka.” (An Nahl: 44)
Demikian pula Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Saya mewasiatkan bagi kalian untuk bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat kepada pimpinan, walaupun yang memimpin kalian adalah seorang budak. Karena sesungguhnya barangsiapa yang hidup sepeninggalku ia akan melihat perbedaan yang banyak, maka di saat seperti itu wajib atas kalian bepegang teguh dengan Sunnahku dan Sunnah para Al Khulafa’ Ar Rasyidin. Gigitlah dengan gigi-gigi geraham kalian! Jauhilah perkara-perkara yang baru (bid’ah) karena sesungguhnya semua bid’ah itu sesat!” (Shahih, HR. Ahmad, Abu Dawud dan At Tirmidzi dari hadits Al Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu, dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’, no. 2549)
Barakah Mengikuti Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
Ketahuilah! Siapa saja dari umat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang berupaya untuk senantiasa mengikuti dan menaati beliau shallallahu ‘alaihi wasallam dengan ikhlas serta menjadikannya sebagai suri tauladan dalam kehidupan sehari-hari, maka sungguh ia akan mendapatkan sekian banyak keutamaan yang dijanjikan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam di antaranya adalah sebagaimana keterangan berikut ini:
1. Mengikuti Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam Merupakan Sebab Diterimanya Suatu Amalan
Telah kita ketahui bersama bahwa dua prinsip dasar yang harus selalu beriringan dalam melandasi suatu amal agar diterima oleh Allah subhanahu wa ta’ala adalah keikhlasan dan mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebaliknya, apabila hilang salah satu dari keduanya, maka amalan itu tidak akan diterima oleh Allah subhanahu wa ta’ala, dan hendaknya kita khawatir suatu amal shalih yang kita kerjakan akan ditolak atau tidak diterima oleh Allah subhanahu wa ta’ala.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Barangsiapa yang beramal dengan suatu amalan yang tidak pernah kami tuntunkan, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim)
Dari hadits di atas dapat diambil kesimpulan bahwa salah satu keutamaan terbesar dalam Ittiba’us Sunnah (mengikuti Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam) adalah diterimanya suatu amalan.
Al Imam Ibnu Qudamah rahimahullah berkata: “Dalam mengikuti Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terdapat keberkahan dalam mengikuti syari’at, meraih keridhoan Allah subhanahu wa ta’ala, meninggikan derajat, menentramkan hati, menenangkan badan, membuat marah syaithan, dan berjalan di atas jalan yang lurus.” (Dharuratul Ihtimam, hal. 43)
2. Mengikuti Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam Membuahkan Persatuan Kaum Muslimin
Para pembaca yang mulia, setiap muslim tentu sangat merindukan terwujudnya persatuan kaum muslimin. Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama, bahwa persatuan merupakan perkara yang diridhoi dan diperintahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala, sedangkan perpecahan merupakan perkara yang dibenci dan dilarang oleh-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (artinya): “Dan berpegang-teguhlah kalian semua dengan tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai-berai.” (Ali Imran: 103)
Al Imam Al Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Allah telah memerintahkan kepada mereka (umat Islam, red) untuk bersatu dan melarang mereka dari perpecahan. Di dalam banyak hadits juga terdapat larangan dari perpecahan dan perintah untuk bersatu dan berkumpul.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/367)
Adapun asas bagi persatuan yang diridhoi dan diperintahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala bukan berasaskan kesukuan, organisasi, kelompok, daerah, partai, dan sebagainya. Akan tetapi asasnya adalah: Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan pemahaman As-Salafush Shalih (para shahabat Rasulullah, para tabi’in, dan tabi’ut tabi’in).
Al Imam Al Qurthubi rahimahullah ketika menjelaskan ayat 103 surat Ali Imran di atas menyatakan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala mewajibkan kepada kita agar berpegang teguh dengan kitab-Nya (Al Qur’an) dan sunnah nabi-Nya, serta merujuk kepada keduanya di saat terjadi perselisihan. Allah subhanahu wa ta’ala juga memerintahkan kepada kita agar bersatu di atas Al Qur’an dan As Sunnah dalam hal keyakinan dan amalan. Hal ini agar kaum muslimin bersatu dan tidak tercerai-berai, sehingga akan meraih kemaslahatan dunia dan agama, serta selamat dari perselisihan. (Lihat Tafsir Al Qurthubi, 4/105)
Mengapa harus dengan pemahaman As Salafus Shalih (para shahabat Rasulullah, para tabi’in, dan tabi’ut tabi’in)?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Sebagaimana tidak ada generasi yang lebih sempurna dari generasi para shahabat, maka tidak ada pula kelompok setelah mereka yang lebih sempurna dari para pengikut mereka. Maka dari itu, siapa saja yang lebih kuat dalam mengikuti hadits Rasulullah dan sunnahnya, serta jejak para shahabat, maka ia lebih sempurna. Kelompok yang seperti ini keadaannya, akan lebih utama dalam hal persatuan, petunjuk, berpegang teguh dengan tali (agama) Allah, dan lebih terjauhkan dari perpecahan, perselisihan, dan fitnah. Dan barangsiapa yang menyimpang jauh dari itu (Sunnah Rasulullah dan jejak para sahabat), maka ia akan semakin jauh dari rahmat Allah dan semakin terjerumus ke dalam fitnah.” (Minhajus Sunnah, 6/368)
3. Pahala Besar Bagi Orang Yang Berpegang Teguh Dengan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
Dari shahabat Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Sesungguhnya di belakang kalian ada hari-hari kesabaran, kesabaran di hari itu seperti menggenggam bara api, bagi yang beramal (dengan Sunnah Nabi) pada saat itu akan mendapatkan pahala lima puluh.” Ada seseorang yang bertanya: “Lima puluh dari mereka, wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab: “Pahala lima puluh dari kalian.” (Shahih, HR. Abu Dawud dan At Tirmidzi, lihat Silsilah Ash Shahihah, no. 494)
4. Jaminan Istiqomah dan Hidayah Bagi Orang Yang Berpegang Teguh dengan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
Selama seseorang berada di atas Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka ia akan tetap berada di atas jalan istiqomah. Sebaliknya, jika tidak demikian, berarti ia telah menyimpang dari jalan yang lurus. Sebagaimana yang dikatakan oleh shahabat Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu:
“Manusia akan senantiasa berada di atas jalan yang lurus selama mereka mengikuti jejak Nabi.” (HR. Al Baihaqi, Miftahul Jannah, no. 197).
Shahabat ‘Urwah radhiyallahu ‘anhu berkata: “Mengikuti sunnah-sunnah Nabi adalah tonggak penegak agama.” (HR. Al Baihaqi, Miftahul Jannah, no. 198).
Salah seorang tabi’in bernama Ibnu Sirin mengatakan: “Dahulu mereka mengatakan: selama seseorang berada di atas jejak Nabi, maka ia berada di atas jalan yang lurus.” (HR. Al Baihaqi, Miftahul Jannah, no. 200)
Oleh karena itu, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (artinya): “Dan jika kalian menaatinya niscaya kalian akan mendapatkan hidayah.” (An Nur: 54)
Asy Syaikh Abdurrahman As Sa’di rahimahullah berkata: “Jika kalian menaati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam niscaya kalian akan mendapatkan petunjuk ke jalan yang lurus, baik ucapan maupun perbuatan. Dan tidak ada jalan untuk mendapatkan hidayah melainkan dengan menaatinya, dan tanpa (menaatinya) tidak mungkin (akan mendapatkan hidayah) bahkan mustahil.” (Tafsir As Sa’di, hal. 521)
5. Mendapatkan Cinta dari Allah subhanahu wa ta’ala dan akan masuk Al Jannah (surga)
Para pembaca yang mulia, bukankah kita semua ingin mendapatkan cinta dari Allah? Ketahuilah! Bahwa cinta dari Allah subhanahu wa ta’ala hanya akan diperoleh dengan mengikuti dan mentaati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala (artinya):
“Katakanlah (wahai Muhammad!): “Jika kalian mencintai Allah, maka ikutilah aku! Niscaya Allah pasti akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian.” (Ali Imran: 31)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda: “Setiap umatku akan masuk Al Jannah (surga) kecuali orang yang enggan.” Para shahabat bertanya: “Siapakah orang yang enggan itu wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Barangsiapa yang menaatiku, ia akan masuk Al Jannah dan barangsiapa yang bermaksiat kepadaku, maka sungguh ia telah enggan.” (HR. Al Bukhari)
Wahai saudaraku sesama muslim! Sepatutnya bagi kita semua selalu berupaya dengan sungguh-sungguh untuk menyesuaikan segala amal ibadah kita dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang berdasarkan dalil-dalil shahih. Dan kita tidak akan dapat mengetahuinya melainkan dengan belajar ilmu syar’i (agama).
Penutup
Semoga Allah subhanahu wa ta’ala menolong kita untuk senantiasa mempelajari ilmu agama Islam ini yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah sesuai dengan pemahaman para shahabat nabi radhiyallahu ‘anhum di bawah bimbingan ulama` pewaris Nabi. Dan memberikan kekuatan serta keistiqomahan dalam menjalankan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam agar tergapai kemuliaan hidup yang hakiki di dunia maupun akhirat.
Amin Ya Rabbal ‘Alamin.
TEMPUH JALAN MENUJU KEBAHAGIAAN!
WASPADAI JALAN MENUJU KEBINASAAN!
(Nasehat dari Samahatul Imam Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah)
Perhatikanlah -wahai saudaraku- bimbingan ini! Takutlah engkau akan ringannya timbangan amalanmu! Takutlah engkau akan diberikannya catatan amalan engkau dari arah kiri, karena sesungguhnya itu semua adalah musibah yang besar, maka bersemangatlah engkau untuk menjalani sebab-sebab (amalan) yang bisa mengantarkan kepada kebahagiaan dan keberhasilan, yang bisa memberatkan timbangan amalanmu, dan diberikannya catatan amalanmu dari arah kanan, sehingga engkau menjadi orang yang sukses dan berhasil.
Kehidupan dunia ini adalah tempat untuk mengkoreksi diri, maka koreksilah diri engkau, lihatlah senantiasa amalan-amalan engkau siang dan malam sampai engkau meninggal, jika seandainya engkau adalah orang yang terus istiqamah, maka panjatkanlah puji kepada Allah dan bersyukurlah kepada-Nya, bersabarlah dan kuatkanlah kesabaranmu, mohonlah taufiq dan tsabat kepada Rabb engkau. Adapun jika engkau telah mengurangi dan menghilangkan sebagian amalan ketaatan engkau, maka koreksilah diri engkau, bertaubatlah kepada Allah dan istiqamahlah di atasnya, kembalilah kepada amalan-amalan kebajikan yang dulu engkau menyepelekannya, beristiqamahlah untuk menjalankan perintah-perintah Allah, jauhilah larangan-larangan-Nya dengan bersumber dari niatan yang jujur, keikhlasan kepada Allah, dan dengan mengharap keutamaan yang ada di sisi Allah, serta sikap yang jujur.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ.
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang jujur.” (At-Taubah: 119)
Maka kejujuran itu adalah suatu keharusan.
فَلَوْ صَدَقُوا اللهَ لَكَانَ خَيْراً لَهُمْ.
“Jikalau mereka jujur (imannya) kepada Allah, niscaya yang demikian itu lebih baik bagi mereka.” (Muhammad: 21)
Dan Allah subhanahu wata’ala juga berfirman di akhir surat Al-Ma’idah:
هَذَا يَوْمُ يَنْفَعُ الصَّادِقِينَ صِدْقُهُمْ لَهُمْ جَنَّاتٌ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ.
“Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang jujur kejujuran mereka, bagi mereka surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya, Allah ridha terhadap-Nya. Itulah keberuntungan yang paling besar.” (Al-Ma’idah: 119)
Inilah keadaan orang-orang yang jujur, orang-orang yang jujur kepada Allah dalam menunaikan kewajiban yang dibebankan kepadanya dan meninggalkan sesuatu yang dilarang oleh-Nya, jujur dalam kesungguhannya untuk berbuat kebajikan dan bersegeranya dalam mengerjakan kebajikan tersebut, jujur dalam beramar ma’ruf nahi munkar, saling menasehati dalam kebenaran dan menjalankan nasihat Lillah (dengan cara menunaikan hak-hak Allah ‘azza wajalla, pent) dan menjalankan nasihat bagi hamba-hamba Allah (dengan cara menunjukkan kepada mereka jalan-jalan kebaikan, pent).
Barangsiapa yang bersungguh-sungguh untuk berjihad melawan hawa nafsunya, dia akan mendapatkan kesudahan yang baik, akhir yang terpuji, serta keberuntungan di dunia dan di akhirat. Dan barangsiapa yang telah menyia-nyiakan dan tidak mempedulikannya, maka dia akan menyesal di kemudian hari.
Maka wajib bagi engkau untuk selalu mengingat dan mengkoreksi diri setiap malam dan siang: Apa saja yang telah engkau perbuat!? Apa saja kekurangan engkau!? Sehingga engkau mengetahui apa yang menjadi hak dan kewajibanmu.
Berhati-hatilah dari teman bergaul yang jelek yang bisa menjauhkan engkau dari kebaikan dan membantu engkau untuk berbuat kejelekan. Wajib bagi engkau untuk bergaul dengan orang-orang baik yang jika engkau ingat, mereka akan membantumu, dan jika engkau lupa mereka akan mengingatkanmu dengan kebaikan dan bersungguh-sungguh di dalamnya bersamamu, mereka akan menabahkan hati engkau, membantu, dan memberi semangat kepada engkau untuk selalu berbuat baik.
Wajib bagi engkau untuk berteman dengan orang-orang yang baik, karena seseorang itu dinilai dari agama teman duduknya dan teman karibnya, maka bersemangatlah untuk berteman dengan orang-orang baik yang akan membantu engkau dalam kebaikan dan mengingatkan engkau jika lupa, serta akan memberikan semangat jika engkau malas.
Wajib bagi engkau untuk berteman dengan orang-orang baik, berhati-hatilah dari bergaul dengan orang-orang jelek yang akan menjauhkan engkau dari kebaikan dan menyeret engkau kepada kejelekan. Berhati-hatilah dari berteman dengan mereka.
Seorang mukmin itu sesuai dengan keadaannya, jika dia memberikan nasehat lillah (untuk menunaikan hak-hak Allah) dan li’ibadihi (menunjukkan jalan-jalan kebaikan kepada hamba-hamba Allah), serta berteman dengan orang-orang yang baik, maka dia akan bahagia dengan kebahagiaan yang sangat, dan jika dia menyepelekannya dan bahkan membuang itu semua, maka dia menyesal dengan penyesalan yang sangat. Dan engkau -wahai hamba Allah-, berakhlaklah dengan akhlak mukminin dan senantiasalah engkau untuk berakhlak demikian.
Allah subhanahu wata’ala berfirman:
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللهُ إِنَّ اللهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ.
“Dan adalah orang-orang yang beriman baik dari kalangan laki-laki maupun perempuan sebagian mereka adalah pelindung bagi sebagian yang lain, mereka memerintahkan kepada yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar dan menegakkan shalat dan menunaikan zakat, dan menaati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan mendapatkan rahmat dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (At-Taubah: 71)
Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
كل أمتي يدخلون الجنة إلا من أبى ، قيل : يا رسول الله ! من يأبى !؟ قال : من أطاعني دخل الجنة ، ومن عصاني فقد أبى.
“Seluruh ummatku akan masuk al-jannah kecuali orang-orang yang enggan. Maka dikatakan kepada beliau: Wahai Rasulullah siapa orang-orang yang enggan itu? Beliau bersabda: Barangsiapa yang taat kepadaku, maka dia akan masuk al-jannah dan barangsiapa yang bermaksiat kepadaku, maka sungguh dia telah enggan.”
Barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, maka dia akan masuk al-jannah dan sukses meraih kebahagiaan. Dan barangsiapa yang bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya maka sungguh dia telah enggan (untuk masuk al-jannah) dan menyebabkan kemurkaan Allah dan adzab-Nya.
Maka yang wajib adalah berhati-hati dan bersungguh-sungguh berjihad melawan hawa nafsunya. Allah ta’ala berfirman:
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ.
“Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh dalam ketaatan kepada Kami, maka sungguh-sungguh akan Kami tunjukkan jalan-jalan kami. Dan sesungguhnya Allah bersama-sama orang yang berbuat baik.” (Al-’Ankabut: 69).
Dan Allah subhanahu wata’ala juga berfirman:
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ حَتَّى نَعْلَمَ الْمُجَاهِدِينَ مِنْكُمْ وَالصَّابِرِينَ وَنَبْلُوَ أَخْبَارَكُمْ.
“Dan benar-benar Kami akan menguji kalian sampai Kami tahu siapa yang benar-benar berjihad dan sabar di antara kalian dan akan Kami kabarkan keadaan kalian.” (Muhammad: 31).
Maka sudah seharusnya seseorang itu untuk selalu bersungguh-sungguh dan bersabar. Allah ta’ala berfirman:
وَمَنْ جَاهَدَ فَإِنَّمَا يُجَاهِدُ لِنَفْسِهِ إِنَّ اللهَ لَغَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ.
“Barangsiapa bersungguh-sungguh maka sesungguhya dia telah bersungguh-sungguh untuk dirinya sendiri. Sesungguhnya Allah tidak membutuhkan sesuatupun dari alam semesta ini.” (Al-’Ankabut: 6).
Bersungguh-sungguhlah untuk berjihad melawan hawa nafsu engkau sendiri, semoga engkau mendapatkan keberuntungan. Posisi engkau dalam keadaan terancam bahaya karena dunia ini adalah negeri (tempat) yang membahayakan, negeri penuh dengan tipuan dan fitnah.
وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلا مَتَاعُ الْغُرُورِ.
“Dan tidaklah dunia itu kecuali hanyalah kesenangan yang menipu.” (Ali ‘Imran: 185)
إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلادُكُمْ فِتْنَةٌ.
“Sesungguhnya harta dan anak-anakmu adalah ujian bagimu.” (At-Taghabun: 15).
Sesungguhnya engkau berada di negeri (tempat) yang menipu, penuh dengan fitnah (ujian), syahwat, negeri yang mengajak manusia untuk mengerjakan sesuatu yang diharamkan oleh Allah ‘azza wajalla, maka wajib bagi engkau untuk berhati-hati selama engkau masih hidup di dunia ini, bersungguh-sungguhlah untuk berjihad melawan hawa nafsu engkau, bersabarlah dalam menjalankan ketaatan kepada Rabb engkau, jauhilah segala bentuk maksiat kepada-Nya, tetaplah bersama dengan orang-orang yang baik dan jauhilah teman bergaul yang jelek. Inilah jalan menuju kebahagiaan, jalan menuju keberhasilan, jalan menuju kebaikan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
من يرد الله به خيرًا يفقهه في الدين.
“Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan bagi seseorang, maka Allah akan memberikan kepahaman dalam agama kepadanya.”
Maka wajib bagi engkau untuk mempelajari ilmu syar’i serta berupaya untuk memahami dan berilmu tentang agama ini.
Secercah Nasehat ‘Tuk Para Pemuda
Para pembaca, semoga Allah ‘azza wajalla selalu mencurahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua. Tidak diragukan lagi bahwa manusia yang memiliki fitrah yang suci pasti mencita-citakan kebahagiaan dan ketentraman dalam kehidupannya, terkhusus pada zaman sekarang yang penuh dengan fitnah. Sesuatu yang diharamkan Allah ‘azza wajalla dianggap sebagai sesuatu yang halal, perbuatan yang melanggar norma-norma agama dianggap sebagai hal yang lumrah dan wajar. Masyarakat pun bertambah hari semakin jauh dari bimbingan Allah ‘azza wajalla dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam. Sungguh dalam kondisi seperti ini seorang hamba sangat butuh dengan pertolongan Allah ‘azza wajalla.
Saudaraku seiman…
Merupakan fitrah yang telah Allah jadikan pada diri manusia bahwa kaum lelaki memiliki ketertarikan (kecintaan) kepada kaum wanita dan juga sebaliknya, Allah ‘azza wajalla dalam Al-Qur’an menyatakan (artinya);
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada sesuatu yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (Ali Imran: 14)
Allah ‘azza wajalla memberitakan bahwa kecintaan kepada kenikmatan-kenikmatan dunia tersebut ditampakkan indah dan menarik di mata manusia. Allah ‘azza wajalla menyebutkan beberapa jenis kenikmatan dunia secara khusus, karena ia merupakan ujian yang paling dahsyat, sedangkan yang selainnya mengikuti. Tatkala ia ditampakkan indah dan menarik kepada manusia, kemudian disertai faktor lain yang menghiasinya, maka jiwa-jiwa mereka akan bergantung dengannya. Hati-hati mereka pun akan cenderung kepadanya. (Lihat Taisir Al Karimirrahman, hal. 124)
Dengan demikian Allah ‘azza wajalla telah menjadikan kecenderungan atau kecintaan kepada wanita dalam hati para lelaki dan tertarik ketika melihatnya.
Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyatakan dalam sebuah haditsnya;
مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً هِيَ أَضَرُّ عَلىَ الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ
“Tidaklah aku tinggalkan setelahku fitnah yang lebih berbahaya bagi laki-laki daripada (fitnahnya) wanita.” (HR. Al Bukhari no. 5096 dan Muslim no. 6880)
Akan tetapi Allah ‘azza wajalla dengan hikmah-Nya memiliki syari’at yang mengatur hubungan keduanya (laki-laki dan wanita). Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh shahabat Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda;
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ البَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَر وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لمَ ْيَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
“Wahai para pemuda, barangsiapa diantara kalian telah mampu untuk menikah, hendaknya bersegera menikah, karena yang demikian itu lebih menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Barangsiapa yang tidak mampu hendaknya dia bershaum (puasa) karena itu adalah pemutus syahwatnya.” (HR. Al Bukhari no. 1905 dan Muslim no. 1400)
Asy Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Alu Bassam hafizhahullah menjelaskan bahwa pengkhususan para pemuda dalam hadits diatas karena kebanyakan yang memiliki syahwat kuat adalah para pemuda, dibanding orang lanjut usia. (Taudhihul Ahkam hal. 214)
Adapun yang dimaksud dengan البَاءَةَ (kemampuan) disini adalah kemampuan untuk menikah baik fisik, maupun harta, berupa pemberian mahar dan nafkah. (Lihat Syarh Bulughul Maram Ibnu ‘Utsaimin)
Sungguh mulianya agama ini, dengan bimbingan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam manusia termulia dan paling bertaqwa yang senantiasa membimbing umatnya agar selamat dari makar syaithan yang berupaya menjerumuskan anak manusia kepada kemaksiatan. Dengan menikah, seseorang dapat meraih ketenangan jiwa serta melahirkan kasih sayang antara laki-laki dan wanita dengan penuh keridhaan Ilahi.
DEFINISI NIKAH
Asy Syaikh Al ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa nikah secara bahasa artinya berkumpul. Adapun secara istilah syari’at adalah berkumpulnya antara laki-laki dan wanita yang dibangun diatas aturan syari’at yang khusus, berupa akad nikah dan syarat-syarat yang sudah diketahui bersama. (Syarh Bulughul Maram, Kitabun Nikah hal. 419)
Nikah juga bisa diistilahkan dengan sebuah ikatan (akad) antara seorang laki-laki dan wanita yang apabila terpenuhi segala rukun dan syaratnya, maka halal bagi keduanya (untuk bersentuhan atau yang selainnya) dari apa yang dibolehkan dan dihalalkan dalam ketentuan syari’at. Adapun sebelum adanya akad, maka tidak diperbolehkan. Sebagaimana yang dijelaskan Asy Syaikh Abdullah Al Bukhari hafizhahullah.
DISYARI’ATKANNYA NIKAH
Menikah, wahai saudaraku muslim merupakan sunnah yang diajarkan dan ditekankan dalam agama ini. Bahkan, ketika seseorang telah menikah, maka ia telah menyempurnakan separuh dari agamanya. (Lihat Ash Shahihah 2/199). Menikah juga merupakan sunnah para rasul ‘alaihimussalam terdahulu. Allah ‘azza wajalla berfirman (artinya);
“Sungguh Kami telah mengutus para rasul sebelummu dan Kami jadikan untuk mereka istri-istri dan anak keturunan.” (Ar-Ra’d: 38)
Dalam ayat-Nya yang lain pula Allah ‘azza wajalla memerintahkan para wali (orang tua/wali) untuk menikahkan putra-putrinya yang telah mampu untuk menikah. Allah ‘azza wajalla berfirman (artinya);
“Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian diantara kalian, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahaya (budak) kalian yang lelaki dan hamba-hamba sahaya yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberikan kecukupan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (An-Nur: 32)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai penyampai dan penjelas wahyu ilahi, telah menyampaikan dan menjelaskan tentang sunnah (nikah) tersebut kepada umat ini. Suatu hari datang 3 (tiga) orang kepada istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan bertanya tentang ibadah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ketika diberi kabar bagaimana ibadah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sepertinya mereka menganggap sedikit apa yang mereka amalkan. Maka diantara mereka berkata, “Adapun saya, akan shalat malam dan tak akan tidur.” Yang lain berkata, “Aku akan puasa terus menerus dan tak akan berbuka.” Yang lainnya lagi berkata, “Aku tak akan menikahi wanita.” Tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam datang dan diberitahu tentang ucapan mereka ini, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda;
أَنْتُمُ الَّذِينَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا، أَمَا وَاللهِ إِنِّي لأَخْشَاكُمْ ِللهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ لَكِنِّي أَصُومُ وَأُفْطِرُ وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِيْ فَلَيْسَ مِنِّيْ
“Kalian yang berkata demikian dan demikian, ketahuilah aku adalah orang yang paling takut kepada Allah ‘azza wajalla daripada kalian dan yang paling bertaqwa. Akan tetapi aku sholat malam dan tidur, aku berpuasa serta berbuka, dan aku menikahi wanita. Barangsiapa yang membenci sunnahku maka dia bukan golonganku (bukan berada diatas sunnahku dan jalanku).” (HR. Al Bukhari dan Muslim)
MANFAAT PERNIKAHAN
Merupakan suatu yang mustahil jika Allah ‘azza wajalla Yang Maha Pencipta, Pengatur dan Pemelihara alam semesta ini dan juga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai pengemban risalah agama ini memerintahkan sebuah amalan ibadah tanpa ada hikmah dan tujuan. Tidak ada amalan ibadah yang diperintahkan dalam syari’at ini melainkan dibalik itu mengandung manfaat yang besar, termasuk pernikahan. Diantara hikmah dan manfaat pernikahan adalah kesempatan menjalankan perintah Allah ‘azza wajalla dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, yang hakekatnya merupakan puncak kebahagiaan seorang hamba di dunia dan di akhirat. Selain itu akan terjalin kasih sayang antara suami dan istri yang diridhoi oleh Allah ‘azza wajalla, sebagaimana firman-Nya (artinya);
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untuk kalian istri-istri dari jenis kalian sendiri, supaya kalian cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikannya diantara kalian rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.” (Ar-Rum: 21)
Asy Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah berkata ketika menafsirkan ayat diatas, “Maka dengan adanya istri tersebut dapat diraih kenikmatan dan kelezatan dalam hidup, diperoleh kemanfaatan yang besar berupa (lahirnya) anak-anak, adanya pendidikan terhadap mereka, dan diperoleh juga ketenangan hidup bersamanya (istri). Maka tidaklah engkau dapati pada diri seseorang secara umum seperti yang didapati pada sepasang suami istri dalam hal kasih sayang.” (Taisir Al Karimirrahman hal. 639).
Islam telah menjadikan pernikahan sebagai ibadah, sebab dengan pernikahan tersebut seseorang dapat menjaga dirinya dari keburukan fitnah, membatasi pandangan dari hal-hal yang diharamkan. Pernikahan juga dapat menjaga dan membentengi diri seseorang dari syaithan yang selalu mengajak dan menjerumuskan anak adam ke dalam perbuatan keji (zina).
NASEHAT
Wahai para pemuda rahimakumullah…
Ketahuilah, seseorang tidak akan menemukan kekecewaan bila ia menjadikan bimbingan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai prinsip dalam meniti sebuah kehidupan. Karena dengan mengikuti bimbingannya seseorang akan terbimbing untuk menempuh jalan yang lurus, dan tidak akan tersesat. Allah ‘azza wajalla menyatakan (artinya);
“Dan jika kalian menaatinya (Rasulullah) niscaya kalian akan mendapatkan petunjuk” (An-Nur: 54)
Jika engkau sudah mampu untuk menikah, menikahlah karena menikah merupakan perintah Allah ‘azza wajalla dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam. Janganlah seseorang takut dan tidak menikah karena terpengaruh dengan bisikan syaithan dengan dibayangi kesulitan ekonomi dan kemiskinan. Hati-hatilah dari membujang (menahan diri dari menikah) hanya karena khawatir tidak mampu menanggung beban hidup. Bertawakallah kepada Allah ‘azza wajalla dengan disertai ikhtiar, niscaya Allah ‘azza wajalla akan mewujudkan janji-Nya. Sebagaimana dalam firman-Nya (artinya);
“Dan barangsiapa yang bertawakkal (menyandarkan dirinya) kepada Allah niscaya Allah akan cukupkan keperluannya.” (At-Thalaq: 3)
Juga Allah ‘azza wajalla berjanji dalam firman-Nya:
“Jika mereka miskin, Allah akan memberikan kecukupan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (An-Nuur: 32)
Dalam sebuah hadits, sebagaimana diriwayatkan dari shahabat yang mulia Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda;
ثَلاَثَةٌ حَقٌّ عَلَى اللهِ عزَّ وَجَلَّ عَوْنُهُمْ: اَلْمُكَاتَبُ الَّذِيْ يُرِيْدُ الأَدَاءَ، وَالنَّاكِحُ الَّذِي يُرِيْدُ العَفَافَ، وَالْمُجَاهِدُ فِي سَبِيْلِ اللهِ.
“Tiga golongan yang Allah pasti akan menolong mereka: budak yang hendak menebus dirinya, seorang yang menikah dengan tujuan menjaga kehormatanya dari perkara-perkara yang diharamkan, dan seorang yang berjihad di jalan Allah.” (HR. An-Nasa’i, Kitabun Nikah, Bab Ma’unatullah An-Nakih Al ladzi Yuridul ‘Afaf, no. 3218, 3120).
Hilangkan bayangan kemiskinan dan kesengsaraan, sebab semua urusan di tangan Allah ‘azza wajalla, Allah akan bukakan jalan keluar dari berbagai kesulitan dalam hidup ini jika kita berusaha sekuat tenaga untuk bertaqwa kepada-Nya. Allah ‘azza wajalla berfirman (artinya);
“Barangsiapa bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan jadikan untuknya jalan keluar. Dan memberi rizqi dari arah yang tidak disangka-sangka.” (At-Thalaq: 2-3)
Para pemuda, semoga Allah ‘azza wajalla merahmati kita semua. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga telah memberi solusi bagi pemuda yang belum mampu untuk menikah agar ia berpuasa. Dengan berpuasa ia lebih mampu untuk mengendalikan hawa nafsunya, lebih menjaga kehormatan dan pandangannya dari perkara yang diharamkan, sebagaimana disebutkan dalam hadits diatas. Bukan dengan cara-cara yang tidak syar’i, seperti onani, karena yang demikian juga diharamkan.
PENUTUP
Para pembaca yang kami cintai, dengan ini marilah kita bersama-sama berusaha menjadikan petunjuk Allah ‘azza wajalla dan bimbingan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana yang telah di pahami dan dipraktekkan para shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagai jalan satu-satunya meraih keselamatan dan kebahagiaan dalam hidup ini. Dengan mengamalkannya, hidup kita akan senantiasa terjaga dan diliputi ridha dari Yang Maha Pencipta, Pemilik, Pengatur dan Pemelihara alam ini.
Wallahu a’lam bish shawaab.
Simpanan yang Tak Akan Sirna
Manusia umumnya gemar menumpuk atau menimbun harta. Namun mungkin tak pernah disadari bahwa harta mereka yang hakiki adalah yang disuguhkan pada kebaikan.
Banyak orang berlomba-lomba mencari harta dan menabungnya untuk simpanan di hari tuanya. Menyimpan harta tentunya tidak dilarang selagi ia mencarinya dari jalan yang halal dan menunaikan apa yang menjadi kewajibannya atas harta tersebut, seperti zakat dan nafkah yang wajib.
Namun ada simpanan yang jauh lebih baik dari itu, yaitu amal ketaatan dengan berbagai bentuknya yang ia suguhkan untuk hari akhir. Suatu hari yang tidak lagi bermanfaat harta, anak, dan kedudukan. Harta memang membuat silau para pecintanya dan membius mereka sehingga seolah harta segala-galanya. Tak heran jika banyak orang menempuh cara yang tidak dibenarkan oleh syariat dan fitrah kesucian seperti korupsi, mencuri, dan menipu. Padahal betapa banyak orang bekerja namun ia tidak bisa mengenyam hasilnya. Tidak sedikit pula orang menumpuk harta namun belum sempat ia merasakannya, kematian telah menjemputnya sehingga hartanya berpindah kepada orang lain. Orang seperti ini jika tidak memiliki amal kebaikan maka ia rugi di dunia dan di akhirat. Sungguh betapa sengsaranya.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلاً
“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, tetapi amalan-amalan yang kekal lagi shalih adalah lebih baik pahalanya di sisi Rabbmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (Al-Kahfi: 46)
Dan firman-Nya:
مَا عِنْدَكُمْ يَنْفَدُ وَمَا عِنْدَ اللهِ بَاقٍ
“Apa yang di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal.” (An-Nahl: 96)
Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullah meriwayatkan dengan sanadnya dari sahabat Tsauban radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Tatkala turun ayat:
وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ
“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak…” (At-Taubah: 34)
Tsauban radhiyallahu ‘anhu berkata:
Dahulu kami bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada sebagian safarnya. Lalu sebagian sahabat berkata: “Telah diturunkan ayat mengenai emas dan perak seperti apa yang diturunkan. Kalau seandainya kita tahu harta apa yang terbaik yang kita akan mengambilnya?” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَفْضَلُهُ لِسَانٌ ذَاكِرٌ وَقَلْبٌ شَاكِرٌ وَزَوْجَةٌ مُؤْمِنَةٌ تُعِينُهُ عَلىَ إِيْمَانِهِ
“Yang utama adalah lisan yang berdzikir, hati yang syukur dan istri mukminah yang membantunya (dalam melaksanakan) agamanya.” (Shahih Sunan At-Tirmidzi, 3/246-247, no. 3094, cet. Al-Ma’arif)
Tingkatan-tingkatan Amalan
Amal ketaatan yang dijadikan sebagai simpanan memiliki tingkatan keutamaan dari sisi penekanan dalam pelaksanaannya dan dari sisi pengaruh yang muncul darinya. Adapun dari sisi penekanan, amal-amal yang wajib didahulukan dari yang sunnah. Disebutkan dalam hadits qudsi bahwa Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيِءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُهُ عَلَيْهِ
“Dan tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang paling Aku cintai dari apa yang Aku wajibkan atasnya.” (HR. Al-Bukhari, no. 6502)
Demikian pula, sesuatu yang maslahatnya lebih besar didahulukan dari yang lebih kecil. Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata: “Menimba ilmu lebih utama daripada shalat sunnah.” (Mawa’izh Al-Imam Asy-Syafi’i, hal. 53)
Hal itu karena manfaat dari ilmu sangat luas, yaitu untuk dia dan orang lain. Demikian pula suatu amalan lebih mulia dari yang lainnya karena kondisi, waktu, tempat, dan orang yang melakukannya. Suatu contoh, shadaqah yang dikeluarkan oleh sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, walaupun sebesar dua cakupan tangan tidak bisa tertandingi nilainya dengan shadaqah kita, meskipun sebesar gunung Uhud. Dalam kondisi seorang tidak bisa menggabungkan antara amalan yang mulia dengan yang di bawahnya, maka dia mendahulukan yang lebih mulia. Termasuk kesalahan jika seorang mementingkan amalan yang sunnah sehingga meninggalkan yang wajib.
Luasnya Rahmat Allah subhanahu wa ta’ala
Kasih sayang Allah subhanahu wa ta’ala terhadap hamba-Nya begitu luas. Kalau saja orang kafir dan ahli maksiat di dunia ini masih selalu diberi rizki oleh Allah subhanahu wa ta’ala, padahal mereka berada di atas kesesatannya, maka tentunya orang yang beriman dan beramal shalih akan mendapatkan berbagai limpahan nikmat dan karunia-Nya di dunia ini, serta terus bersambung hingga di hari kiamat nanti. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (An-Nahl: 97)
Orang yang menggabungkan antara iman dan amal shalih akan Allah subhanahu wa ta’ala beri kehidupan yang baik di dunia ini, berupa tentramnya jiwa dan rizki yang halal lagi baik. Adapun di akhirat kelak, dia akan memperoleh berbagai kelezatan yang mata belum pernah melihatnya, telinga belum pernah mendengarnya, dan belum pernah terbetik dalam hati manusia.
Termasuk bentuk luasnya rahmat Allah subhanahu wa ta’ala adalah dilipatgandakannya pahala amalan, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala:
مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا وَمَنْ جَاءَ بِالسَّيِّئَةِ فَلاَ يُجْزَى إِلاَّ مِثْلَهَا وَهُمْ لاَ يُظْلَمُونَ
“Barangsiapa membawa amal yang baik maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan barangsiapa yang membawa perbuatan yang jahat maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya(dirugikan).” (Al-An’am: 160)
Demikian pula, amal kebaikan akan mengangkat derajat pelakunya dan menghapus dosa yang dilakukannya.
Barakah Keikhlasan
Tidak akan pernah merugi orang yang mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan amalan yang sesuai petunjuk syariat dan dibarengi dengan keikhlasan hati. Orang yang memiliki sifat tersebut akan mendapat barakah pada hartanya, anak keturunannya, dirinya, serta akan diselamatkan dari marabahaya. Dahulu, di zaman Bani Israil ada seorang lelaki yang shalih lalu wafat dan meninggalkan dua anaknya sebagai anak yatim. Kedua anak tersebut, karena kecil dan lemahnya, Allah subhanahu wa ta’ala jaga harta warisan dari orangtuanya sehingga tidak hilang atau rusak, seperti dalam surat Al-Kahfi ayat 82.
Suatu ketika ada tiga orang dari umat sebelum Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bermalam di suatu goa. Ketika mereka berada di dalamnya, tiba-tiba jatuh batu besar hingga menutupi pintunya. Mereka yakin bahwa mereka tidak akan bisa keluar kecuali dengan ber-tawassul (menjadikan amal sebagai perantara) kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Masing-masing menyebutkan amalannya yang ia pandang paling ikhlas. Allah subhanahu wa ta’ala kabulkan permohonan mereka. Batu tersebut bergeser sehingga mereka bisa keluar dari goa.
Perhatikanlah wahai saudaraku, bahwa orang yang mengenal Allah subhanahu wa ta’ala dengan melakukan berbagai ketaatan di saat lapang maka Allah subhanahu wa ta’ala akan mengenalnya di saat dia susah. Sungguh manusia mendambakan kedamaian hidup dan terhindar dari berbagai bencana, tetapi mereka tidak mendapatkannya kecuali ketika mereka tunduk terhadap aturan Allah subhanahu wa ta’ala dan bersimpuh di hadapan-Nya.
Tidak Meremehkan Kebaikan Sekecil Apapun
Allah Maha Adil dan tidak mendzalimi hamba-Nya. Barangsiapa yang melakukan kebaikan sekecil apapun pasti dia akan melihat balasan kebaikannya. Sebagaimana kalau ia berbuat dosa selembut apapun niscaya dia melihat pembalasannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يِا نِسَاءَ الْـمُسْلِمَاتِ، لاَ تَحْقِرْنَ جَارَةٌ لِجَارَتِهَا وَلَوْ فِرْسِنَ شَاةٍ
“Wahai wanita muslimah, janganlah seorang tetangga menganggap remeh (pemberian) tetangganya, walaupun sekadar kaki kambing.” (HR. Al-Bukhari dalam Kitabul Adab dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Hadits ini adalah larangan bagi yang akan memberikan hadiah untuk menganggap remeh apa yang akan ia berikan kepada tetangganya, walaupun sesuatu yang sedikit. Karena yang dinilai adalah keikhlasan dan kepedulian terhadap tetangganya. Juga, karena memberi sesuatu yang banyak tidak bisa dimampu setiap saat. Demikian pula, hadits ini melarang orang yang diberi hadiah dari meremehkan pemberian tetangganya. (Lihat Fadhlullah Ash-Shamad, 1/215-216)
Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya):
“Tatkala ada seekor anjing berputar-putar di sekitar sumur yang hampir mati karena haus, tiba-tiba ada seorang wanita pezina dari para pezina Bani Israil. Lalu ia melepas khuf (sepatu dari kulit yang menutupi mata kaki) miliknya, kemudian ia mengambil air dengannya dan memberi minum anjing tersebut. Maka ia diampuni (oleh Allah subhanahu wa ta’ala) karenanya.” (Riyadhush Shalihin, Bab ke-13, hadits no. 126)
Lihatlah wahai saudaraku, karena memberi minum seekor binatang yang kehausan, dia mendapatkan ampunan dari Allah subhanahu wa ta’ala. Maka, orang yang memberi minum manusia, baik dengan cara menggali sumur atau mengalirkan parit dan semisalnya, tentunya sangat besar pahalanya di sisi Allah subhanahu wa ta’ala. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya): “Tujuh (perkara) yang pahalanya mengalir bagi hamba sedangkan dia berada di kuburannya setelah matinya: (yaitu) orang yang mengajarkan ilmu, atau mengalirkan sungai, atau menggali sumur, atau menanam pohon kurma, atau membangun masjid atau mewariskan (meninggalkan) mushaf (Al-Qur`an) atau meninggalkan anak yang memintakan ampunan baginya setelah matinya.” (HR. Al-Bazzar dan dihasankan oleh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Al-Jami’, no. 3602)
Dan tersebut dalam hadits:
مَرَّ رَجُلٌ بِغُصْنِ شَجَرَةٍ عَلَى ظَهْرِ طَرِيقٍ فَقَالَ: وَاللهِ لَأُنْحِيَنَّ هَذَا عَنِ الْمُسْلِمِينَ لاَ يُؤْذِيْهِمْ. فَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ
“Ada seorang lelaki melewati suatu dahan pohon di tengah jalan, lalu dia mengatakan: ‘Demi Allah, aku akan menyingkirkan dahan ini dari kaum muslimin sehingga tidak mengganggu mereka.’ Maka orang tersebut dimasukkan (oleh Allah subhanahu wa ta’ala) ke dalam jannah (surga).” (HR. Muslim, Riyadhus Shalihin Bab Fi Bayani Katsrati Thuruqil Khair)
Coba renungkan hadits tadi dengan baik. Bagaimana orang tersebut dimasukkan ke dalam jannah karena melakukan cabang keimanan yang terendah, yaitu menyingkirkan gangguan dari jalan. Bagaimana kiranya orang yang melakukan cabang iman yang lebih tinggi dari itu?
Inti dari ini semua, lapangan untuk kita beramal shalih sangatlah banyak. Jika kita tidak mampu mengamalkan suatu kebaikan, maka ada pintu lain yang bisa kita masuki. Juga, terkadang seseorang menganggap suatu amalan itu remeh padahal di sisi Allah subhanahu wa ta’ala itu besar. Kemudian yang terpenting pula dari itu, bahwa pahala akhirat itu tidak bisa dibandingkan dengan kenikmatan dunia. Inilah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam haditsnya:
رَكْعَتَا الْفَجْرِ خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيْهَا
“Dua rakaat fajar lebih baik dari dunia dan seisinya.” (HR. Muslim dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha)
Shalat sunnah sebelum shalat subuh lebih baik daripada dunia dan seisinya, karena apa yang ditujukan kepada Allah subhanahu wa ta’ala akan kekal. Sedangkan dunia, seberapapun seorang mendapatkannya maka ia akan lenyap.
Harta Kita yang Sesungguhnya
Umumnya, kita menganggap bahwa harta yang disimpan itulah harta kita yang sesungguhnya. Padahal sebenarnya harta kita adalah yang telah kita suguhkan untuk kebaikan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَيُّكُمْ مَالُ وَارِثِهُ أَحَبُّ إِلَيْهِ مِنْ مَالِهِ؟ قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، مَا مِنَّا أَحَدٌ إِلَّا مَالُهُ أَحَبُّ إِلَيْهِ. قَالَ: فَإِنَّ مَالَهُ مَا قَدَّمَ وَمَالُ وَارِثِهِ مَا أَخَّرَ
“Siapa di antara kalian yang harta ahli warisnya lebih dia cintai dari hartanya (sendiri)?” Mereka (sahabat) menjawab: “Wahai Rasulullah, tidak ada dari kita seorangpun kecuali hartanya lebih ia cintai.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya hartanya adalah yang ia telah suguhkan, sedangkan harta ahli warisnya adalah yang dia akhirkan.” (HR. Al-Bukhari)
Ibnu Baththal rahimahullah berkata:
“Dalam hadits ini ada anjuran untuk menyuguhkan apa yang mungkin bisa disuguhkan dari harta pada sisi-sisi taqarrub kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan kebaikan. Supaya ia nantinya bisa mengambil manfaat darinya di akhirat. Karena segala sesuatu yang ditinggalkan oleh seseorang, maka akan menjadi hak milik ahli warisnya. Jika nantinya ahli waris menggunakan harta itu dalam ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala, maka hanya ahli warisnya yang dapat pahala dari itu. Sedangkan yang mewariskannya hanya dia yang lelah mengumpulkannya….” (Fathul Bari, 11/260)
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah menuturkan bahwa dahulu sahabat menyembelih kambing, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: “Apa yang masih tersisa dari kambing itu?” ‘Aisyah berkata: “Tidak tersisa darinya kecuali tulang bahunya.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Semuanya tersisa, kecuali tulang bahunya.” (Shahih Sunan At-Tirmidzi no. 2470)
Maksudnya, apa yang kamu sedekahkan maka itu sebenarnya yang kekal di sisi Allah subhanahu wa ta’ala dan yang belum disedekahkan maka itu tidak kekal di sisi-Nya.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Waktu, Nikmat Yang Terlalaikan
Detik demi detik waktu terus berlalu, tidak terasa umur kita sudah 10 tahun, kemudian 20 tahun, kemudian 50 tahun, dan seterusnya. Hari berganti hari, tanpa mampu kita mencegahnya. Sebagai insan yang beriman dan berakal, selayaknyalah kita mengevaluasi dan mengintrospeksi diri apakah waktu yang telah kita lalui, kita gunakan untuk hal-hal yang bermanfaat di dunia dan di akhirat, ataukah waktu itu kita buang sia-sia belaka, berlalu bak angin yang berhembus dan awan yang melintas.
Allah subhanahu wata’ala menyebutkan dalam ayat-Nya yang mulia:
وَهُوَ الَّذِي جَعَلَ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ خِلْفَةً لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يَذَّكَّرَ أَوْ أَرَادَ شُكُورًا.
“Dan Dia (pula) yang menjadikan malam dan siang silih berganti bagi orang yang ingin mengambil pelajaran atau orang yang ingin bersyukur.” (Al-Furqan: 62)
Dari ayat ini, kita mendapatkan pelajaran bahwa Allah subhanahu wata’ala telah menjadikan malam dan siang agar kita dapat mengisi waktu dan kesempatan yang kita miliki dengan sesuatu yang bermanfaat.
Waktu, betapa penting dan agungnya perkara yang satu ini sampai-sampai Allah subhanahu wata’ala bersumpah dengannya sebagaimana termaktub dalam surat Al-’Ashr:
وَالْعَصْرِ إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ.
“Demi masa (waktu), sesungguhnya manusia benar-benar dalam berada dalam kerugian.” (Al-’Ashr: 1-2)
Dan dalam surat Al-Fajr:
وَالْفَجْرِ وَلَيَالٍ عَشْرٍ.
“Demi (waktu) fajar dan (demi) malam yang sepuluh.” (Al-Fajr: 1-2)
Dan juga surat Adh-Dhuha:
وَالضُّحَى وَاللَّيْلِ إِذَا سَجَى.
“Demi waktu dhuha dan (demi) malam apabila sunyi.” (Adh-Dhuha: 1-2)
Dan ayat-ayat lain yang semakna dengan itu. Asy-Syaikh ‘Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah, seorang ulama ahli tafsir menjelaskan bahwa bilamana Allah subhanahu wata’ala bersumpah dengan makhluq-Nya, maka ini menandakan mulia dan agungnya makhluq tersebut. Dan Allah subhanahu wata’ala bersumpah dengan waktu, yang berarti waktu itu adalah sesuatu yang sangat penting bagi kehidupan kita. Lebih jelasnya, waktu adalah sebuah kenikmatan yang diberikan oleh Allah subhanahu wata’ala kepada manusia agar digunakan semaksimal mungkin untuk beribadah kepada-Nya.
Bila sebuah kenikmatan yang ada pada seorang hamba tidak digunakan untuk bertaqarrub kepada Allah subhanahu wata’ala, maka ini akan mendatangkan musibah, sebagaimana perkataan seorang alim rabbani Abu Hazim Salamah bin Dinar rahimahullah
كل نعمة لا تقرب من الله عز وجل فهي بلية
“Segala kenikatan yang telah diberikan Alloh kepada kita tapi justru tidak membuat kita lebih dekat dengan Alloh maka kenikmatan tersebut akan mendatangkan musibah.” (Dikeluarkan oleh Ibnu Abid Dunya di dalam ‘Asy-Syukr‘, Abu Nu’aim di dalam ‘Hilyatul Auliya’‘, dan Al-Baihaqi di dalam ‘Syu’abul Iman‘)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri telah memperingatkan bahwa dua kenikmatan yang banyak dilalaikan manusia adalah nikmat kesehatan dan waktu luang sebagaimana dalam sabdanya
نعمتا نمغبون فيهما كثير من الناس الصحة والفراغ.
“Ada dua kenikmatan yang kebanyakan manusia melalaikannya, yaitu kesehatan dan waktu luang.” (HR. Al-Bukhari dari shahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma)
Dalam sabdanya yang lain beliau bersabda:
اغتنم خمسا قبل خمس.
“Lakukanlah lima perkara sebelum datangnya lima penghalang,”
Dan salah satunya adalah kata beliau:
وفراغك قبل شغلك
“Waktu luangmu sebelum datang waktu sibukmu.” (HR. Al-Hakim, Al-Baihaqi, dan yang lainnya dari shahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma)
Dan merupakan karakteristik waktu adalah dia tidak bisa kembali walau sedetik pun dan tidak pula bisa diputar balik lagi. Rela atau tidaknya kita, bukan menjadi penghalang akan terus berjalannya waktu sesuai dengan apa yang ditaqdirkan oleh Allah subhanahu wata’ala. Seorang ulama besar yang bernama Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah pernah berkata:
ابن آدم إنما أنت أيام وكما ذهب يوم ذهب بعضك
“Wahai anak Adam sesungguhnya dirimu adalah hari-harimu. Jika satu hari telah berlalu, maka sebagain dari dirimu telah lenyap” (Kitab Az-Zuhd Al-Imam Ahmad, hal. 339)
Dan juga janganlah kita termasuk orang yang disebutkan dalam sebuah sya’ir Arab:
ألا ليتَ الشبابَ يعودُ يوما فأخبره بما فعل المشيبُ
“Duhai kiranya masa muda bisa kembali walau sehari
maka akan kukisahkan penyesalan orang-orang tua?”
Alhamdulillah, Allah ‘azza wajalla masih memberikan kesempatan kepada kita untuk beribadah dan beramal shalih di dunia ini. Oleh karena itu, hendaknya kita tanamakan tekad yang kuat dan niat yang ikhlas untuk memanfaatkan waktu ini sebaik-baiknya dan tidak menggunakannya untuk hal-hal yang sia-sia. Karena bila kita gunakan untuk hal yang sia-sia, maka akan datang penyesalan. Dan penyesalan itu tiadalah berarti. Air mata tangisan tidaklah bisa untuk mengembalikan waktu yang telah berlalu. Bila kita tidak memanfaatkan waktu dengan baik, sama halnya kita telah menghancurkan diri sendiri. Amalan yang bisa kita lakukan, agar waktu lampau yang telah terlewatkan dengan sia-sia tidak menjadi boomerang kelak, adalah dengan bertaubat dan memperbanyak istighfar.
Waktu erat kaitannya dengan usia, yang ia merupakan pinjaman dari Allah subhanahu wata’ala dan Dia pula yang akan mengambilnya. Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:
“Waktu sesorang pada hakikatnya adalah umur. Ia adalah unsur terpenting untuk mengantarkan dia kepada kehidupan abadi di al-jannah, atau (bahkan sebaliknya) menjadi unsur terpenting yang mengantarkannya ke kehidupan di an-nar yang pedih. Waktu berlalu laksana awan. Waktu yang digunakan untuk Allah ‘azza wajalla itulah kehidupan dan umurnya yang hakiki, dan selain itu (selain untuk Allah), maka tidak temasuk waktu hidupnya. Meski dia hidup, layaknya seperti kehidupan binatang. Apabila dia menghabiskan waktunya dalam kelalaian dan kealpaan serta keinginan-keinginan yang batil, dan dia merasa sebaik-baik pengisi waktu baginya adalah tidur atau menganggur, maka kematian orang seperti ini lebih baik daripada hidupnya.” (Al-Jawabul Kafi)
Dari perkataan Al-Imam Ibnul Qayyim tersebut, kita bisa mengambil faidah bahwa hidup kita yang hakiki adalah hidup yang kita gunakan untuk beribadah dan beramal shalih. Hal sebagaimana yang telah Allah subhanahu wata’ala siratkan di dalam ayat-Nya yang mulia dalam surat Adz-Dzariyat ayat 56
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ.
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (Adz-Dzariyat: 56)
Setelah kita menyadari betapa berharganya waktu, dan bahkan lebih berharga dari harta benda yang kita miliki, ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan.
Pertama, jangan sampai kita lalai dalam setiap nafas yang kita hembuskan untuk beribadah kepada Allah subhanahu wata’ala.
Kedua, mengatur waktu, jangan sampai agenda ibadah yang kita rencanakan saling tumpang tindih sehingga akan menimbulkan kejenuhan dan kemalasan.
Ketiga, jangan menunda-nunda pekerjaan atau amalan yang akan kita lakukan selama kita mampu melakukannya saat itu juga. “Nanti…. nanti… ” adalah kata yang harus dihindari, “sekarang” adalah kata yang harus terpatri.
Keempat, prioritaskan hal yang lebih penting terlebih dahulu, jangan tergoda dengan hal-hal yang sifatnya sekunder.
Sebagai muhasabah (koreksi diri) dan introspeksi, kita tanyakan pada hati kita
Sudahkah kita membaca Al-Quran hari ini?
Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
اقرؤوا القرآن فإنه يأتي يوم القيامة شفيعا لأصحابه. رواه مسلم
Bacalah Al-Qur’an karena sesunggunya dia (Al-Qur’an) akan datang pada hari kiamat sebagai pemberi syafaat kepada yang membacanya? (HR. Muslim, dari shahabat Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu)
Sudahkan kita shalat malam?
Padahal kita telah mengetahui sebuah hadits:
وعن ابن مسعود رضي الله عنه قال ذكر عند النبي صلى الله عليه وسلم رجل نام ليلة حتى أصبح قال : [ ذاك رجل بال الشيطان في أذنيه أو قال أذنه ] متفق عليه
Dari sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau berkata: Disebutkan di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sorang laki-laki yang dia tidur semalaman hingga waktu pagi, maka beliau bersabda: “Laki-laki itu telah dikencingi setan di kedua telinganya atau salah satu telinganya.” (Muttafaqun ‘Alaihi)
Sudahkah kita shalat dhuha hari ini?
Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
يصبح على كل سلامى من أحدكم صدقة : فكل تسبيحة صدقة وأمر بالمعروف صدقة ونهي عن المنكر صدقة ويجزئ من ذلك ركعتان يركعهما من الضحى. رواه مسلم
“Pada setiap pagi, masing-masing anggota badan kalian hendaknya mengeluarkan sedekahnya. Dan setiap tasbih adalah sedekah, dan memerintahkan yang baik dan mencegah yang munkar adalah sedekah dan kesemuanya itu dapat diganti dengan dua rakaat shalat dhuha.” (HR. Muslim, dari shahabat Abu Dzarr radhiyallahu ‘anhu)
Sudahkah kita bersedekah untuk orang-orang yang kelaparan?
Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
عودوا المريض وأطعموا الجائع وفكوا العاني. رواه البخاري
Jenguklah orang-orang yang sakit, berilah makan orang-orang yang kelaparan, dan bebaskanlah tawanan.” (HR. Al-Bukhari, dari shahabat Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu)
Sudahkah kita membantu saudara kita yang sedang kesulitan?
Padahal Allah subhanahu wata’ala berfirman:
وتعاونوا على البر والتقوى
“Tolong menolonglah kalian dalam perkara kebaikan dan ketakwaan.” (Al-Ma’idah: 2)
Sudahkah kita menunaikan hak keluarga kita yang belum tertunaikan?
Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
أفضل دينار ينفقه الرجل دينار ينفقه على عياله ودينار ينفقه على دابته في سبيل الله ودينار ينفقه على أصحابه في سبيل الله. رواه مسلم
“Sebaik-baik dinar yang dinafkahkan seorang laki-laki adalah dinar yang dia infakan kepada keluarganya dan dinar yang diinfakan untuk tunggangan berperang di jalan Allah, dan dinar yang diinfakan untuk kawannya untuk berperang di jalan Allah.” (HR. Muslim, dari shahabat Abu Abdirrahman Tsauban maula Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam)
Sudahkah kita berbakti kepada orang tua kita?
Padahal Allah subhanahu wata’ala berfirman:
واعبدوا الله ولا تشركوا به شيئا وبالوالدين إحسانا.
“Beribadahlah kalian kepada Allah dan jangan sekali-kali kalian menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun dan berbaktilah kalian kepada kedua orang tua kalian.” (An-Nisa’: 36)
Sudahkah kita meminta maaf kepada saudara atau tetangga yang telah kita sakiti?
Padahal Allah subhanahu wata’ala berfirman:
ما للظالمين من حميم ولا شفيع يطاع
“Dan orang-orang yang zhalim tidak mempunyai teman setia seorangpun dan tidak pula mempunyai seorang pemberi syafaat yang diterima syafaatnya.” (Ghafir: 18)
Sudahkah kita membaca buku-buku para ulama sebagai media untuk menambah ilmu agama kita?
Padahal Allah subhanahu wata’ala berfirman
يرفع الله الذين آمنوا منكم والذين أوتوا العلم درجات
“Dan Allah akan mengangakat orang-orang yang beriman dianatara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (Al-Mujadilah: 11)
Sudahkah kita menjenguk saudara kita yang sakit?
Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
حق المسلم على المسلم خمس : رد السلام وعيادة المريض واتباع الجنائز وإجابة الدعوة وتشميت العاطس. متفق عليه
“Hak muslim atas muslim lainnya ada lima, yaitu menjawab salamnya, menjenguknya manakala sakit, mengantarkan jenazahnya, memenuhi undangannya dan mendo’akan ketika dia bersin.” (Muttafaqun ‘Alaihi, dari shahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Dari amalan yang telah disebutkan di atas, secara jujur mungkin belum semuanya kita lakukan. Pada hakikatnya amalan shalih dalam agama Islam ini tidak terbatas hanya yang disebutkan di atas, akan tetapi masih banyak sekali yang belum disebutkan. Sehingga kalau kita bersungguh-sungguh beramal shalih sesuai dengan syari’at Islam, maka tidak ada waktu luang bagi kita untuk berbuat kemaksiatan.
Bertutur Yang Baik dan Berwajah Yang Manis
Sekedar menampakkan yang berseri-seri serta bertutur yang baik sesungguhnya merupakan perkara ringan. Namun demikian, bagi sebagian besar kita hal itu seolah demikian berkat untuk diperhatikan. Yang memprihatinkan, gejala yang menimpa sebagian para penuntut ilmu agama di mana sikap mereka demikian kaku terhadap orang-orang awam.
Berjumpa dengan orang lain adalah perkara yang biasa dalam keseharian kita sebagai makhluk sosial. Karena tak mungkin kita hidup menyendiri dari orang lain.Kita butuh saudara, butuh teman, dan kita butuh orang lain. Yang tak biasa alias luar biasa, bila kita dapat mengamalkan tuntunan Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam kala berjumpa dan berkata. Kenapa demikian? Karena di zaman kita sekarang, adad-adad islam sudah banyak di tinggalkan oleh kaum muslimin. Mungkin karena kebodohan ataupun ketidak pedulian mereka.
Adapula yang berdalil dengan tabiat, yakni ada sebagian daerah di negeri kita ini di mana orang-orangnya bertabiat kaku, cuek, dan sok tak peduli. Sehingga bila bertemu dengan orang yang mereka kenal sekalipun, sikap mereka seperti tidak kenal, tak ada kenal, tak ada senyum, tak ada sapaan. Lebih-lebih bila berjumpa dengan orang yang tak mereka kenal walaupun duduk bersama-sama dalam satu majelis. Ibaratnya kalau kita tidak menegur dan menyapa terlebih dahulu, mereka pun tidak akan menegur dan menyapa, benar-benar cuek dan kaku. Orang-orang seperti ini dijumpai sendiri oleh penulis. Awalnya penulis merasa mungkin punya salah terhadap mereka atau ada sikap yang tidak berkenan di hati mereka sehingga mereka berlaku demikian. Tetapi akhirnya penulis mengerti bahwa memang demikian tabiat umumnya mereka yang tinggal di daerah tersebut. Wallahu al-musta’an.
Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala telah memerintahkan kaum muslimin untuk berlaku baik kepada sesamanya, rendahhati kepada saudara dan penuh tawadhu’. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya, (yang artinya):
“Rendahkanlah sayapmu kepada kaum mukminin” (Al-Hijr:88)
Maksudnya: bersikap lunaklah terhadap mereka dan perbaiki akhlakmu terhadap mereka karena mencintaimu, memuliakan, dan mengasihi mereka. (Taisir Al-Karimir Rahman, hal.435)
Dalam ayat lain, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (yang artinya):
“Sekiranya engkau bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (Ali ‘Imran:159)
Bersikap ramah kepada saudara dan bertutur yang baik jelas merupkan amalan kebaikan, bahkan bila seseorang tidak mendapatkan harta untuk disedekahkannya di jalan Allah subhanahu wa ta’ala maka mengucapkan kalimat yang baik dapat menggantikannya.
‘Adi bin Hatim radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah bersabda:
اتَّقُوا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فَبِكَلِمَةٍ طَيِّبَةٍ
“Jagalah kalian dari api neraka, walaupun dengan bersedekah sepotong kurma. Namun barangsiapa yang tidak mendapatkan sesuatu yang bisa disedekahkannya, maka dengan (berucap) kata-kata yang baik.” (HR. Al-Bukhari no. 1347 dan Muslim no.2346)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata, “Hadits ini menunjukkan bahwa kalimat thayyibah merupakan sesab selamat dari neraka. Yang dimaksud kalimat thayyibah adalah ucapan yang menyenangkan hati seseorang jika ucapan itu mubah atau mengandung ketaatan.” (Al-Minhaj.7/103)
Ibnu Baththal rahimahullah berkata, “Kalimat thayyibah teranggap sebagai sedekah, dari sisi dimana pemberian harta akan membahagiakan hati orang yang menerimanya dan menghilangkan rasa tidak senang dari hatinya. Demikian pula kalimat-kalimat yang baik, maka keduanya (pemberian harta dan ucapan yang baik) serupa dari sisi ini.” (Fathul Bari, 10/551)
Dalam hadits yang lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الْكَلِمَةُ الطَّيِّبَةُ صَدَقَةٌ
“Kata-kata yang baik adalah sedekah.” (HR. Al-Bukhari no.2707 dan Muslim no.2332)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berpesan kepada shahabatnya Abu Dzar Al-Ghifari radhiyallahu ‘anhu:
لاَ تَحْقِرَنَّ مِنْ الْمَعْرُوفِ شَيْئًا وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلْقٍ
“Jangan sekali-kali engkau meremehkan perkara kebaikan walaupun hanya berwajah cerah ketika engkau bertemu dengan saudaramu.” (HR. Muslim no.6633)
Hadits di atas diberi judul oleh Al-Imam An-Nawawi rahimahullah dalam syarahnya terhadap Shahih Muslim: “Disenanginya berwajah cerah ketika bertemu.”
Al-Qadhi Iyadh rahimahullah berkata,”Hadits ini menunjukkan bahwa berwajah cerah/berseri-seri kepada kaum muslimin dan menunjukkan rasa senang kepada mereka merupakan perkara yang terpuji, disyariatkan, dan diberikan pahala bagi pelakunya.”
Beliau rahimahullah juga mengatakan, “Cukuplah bagi kita akhlak Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal ini dan sifat beliau yang Allah subhanahu wa ta’ala sebutkan dalam Al-Qur’an, dan Allah subhanahu wa ta’ala bersihkan beliau dari sifat yang sebaliknya seperti dalam tersebut dalam firman-Nya (yang artinya): “Sekiranya engkau bersikap keras, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (Ali ‘Imran:159) [Ikmalul Mu’allim bi Fawa’id Muslim, 8/106]
Masih dalam hadits yang disampaikan oleh Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Senyumanmu di wajah saudaramu (seagama) adalah sedekah.” (HR. At-Tirmidzi no.1956, dishahihkan Asy-Syaikh Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi dan Ash-Shahihah no.572)
Maksud hadits di atas, engkau menampakkan wajah cerah, berseri-seri dan penuh senyuman ketika bertemu dengan saudaramu akan dibalas dengan pahala sebagaimana engkau diberi pahala karena mengeluarkan sedekah. (Tuhfatul Ahwadzi, kitab Al-Birr wash Shilah, bab Ma Ja’a fi Shana’I Al-Ma’ruf, ketika membahas hadits diatas)
Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah berkata, “Sepantasnya ketika seseorang bertemu saudaranya ia menunjukkan rasa senang dan menampakkan wajah yang manis/cerah serta bertutur kata yang baik, karena yang demikian ini merupakan akhlak Nabi. Tentunya, sikap seperti ini tidak merendahkan martabat seseorang bahkan justru mengangkatnya. Ia pun mendapatkan pahala di sisi Allah subhanahu wa ta’ala dan mengikuti Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena beliau selalu cerah wajahnya, tidak kusut ketika bertemu orang lain dan beliau banyak melempar senyuman. Karena, itu sepantasnya seseorang berjumpa saudaranya dengan wajah yang cerah dan mengucapkan ucapan yang baik. Sehingga dengannya ia dapat meraih pahala, rasa cinta dan kedekatan hati, disamping jauh dari sikap takabbur dan merasa tinggi dari hamba-hamba Allah subhanahu wa ta’ala yang lain. (Syarhu Riyadhis Shalihin, 2/500)
Sungguh wajah yang cemberut ataupun tanpa ekspresi, dingin dan kaku, tidak pantas diberikan kepada sesama muslim, karena hal itu yang menyelisihi apa yang dititahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yang seperti itu seharusnya ditujukan kepada orang-orang kafir dan munafiq karena Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (yang artinya):
“Wahai Nabi, perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik serta bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat kembali mereka adalah jahannam sebagai sejelek-jelek tempat kembali.” (At-Taubah:73)
Meskipun begitu, bila si orang kafir diharapkan mau masuk Islam, kita sepantasnya menampakkan wajah yang manis ketika berjumpa. Namun bila sikap baik kita ini justru menambah kesombongannya dan merasa tinggi daripada kaum muslimin, maka wajah cerah tidak boleh diberikan kepadanya. (Syarhu Riyadhis Shalihin, 2/500-501)
Asy-Syaikh Al-’Utsaimin rahimahullah juga menyatakan, “Wajah yang cerah/manis termasuk perkara kebaikan, karena akan memasukkan kebahagiaan pada saudaramu dan melapangkan dadanya. Kemudian bila dengan tutur kata yang baik, akan tercapai dua mashlahat, yaitu wajah yang berseri-seri dan tutur kata yang baik. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan dalam sabdanya:
“Takutlah kalian dari api neraka, walaupun dengan bersedekah sepotong kurma.” Maksudnya jadikanlah pelindung antara kalian dan neraka walaupun kalian bersedekah hanya dengan sepotong kurma. Karena, hal itu akan dapat melindungimu dari neraka jika memang Allah subhanahu wa ta’ala menerima sedekah tersebut.
Namun jika kalian tidak mendapatkan sesuatupun yang dapat kalian sedekahkan, maka ucapkan kata-kata yang baik ketika berjumpa dengan saudara seiman. Misalnya engkau berkata kepadanya,
“Bagaimana kabarmu?”
“Bagaimana keadaanmu?”
“Bagaimana kabar saudara-saudaramu?”
“Bagaimana dengan keluargamu?”
dan yang semisalnya. Karena kalimat-kalimat seperti ini akan meresapkan kebahagiaan di hati saudaramu. Setiap kata-kata yang baik adalah sedekah di sisi Allah subhanahu wa ta’ala . Dengannya akan diperoleh ganjaran dan pahala. Sungguh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: “Kebaikan itu adalah akhlak yang mulia.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga besabda: “Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya di antara mereka.” (Syarhu Riyadhis Shalihin, 2/501)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Tulisan Ayat Al-Qur`an atau Basmalah
Tanya:
ِSebagian orang menuliskan ayat Al-Qur`an atau ucapan bismillahir rahmanir rahim di kartu undangan pernikahan atau yang lainnya. Padahal kartu ini bisa saja dibuang di tempat sampah setelah dibaca, terinjak, atau menjadi mainan anak kecil. Lalu apa nasihat anda dalam hal ini?
Jawab:
Fadhilatusy Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah menjawab:
“Si penulis telah melakukan perkara yang disyariatkan yakni menuliskan ucapan tasmiyah (bismillah). Bila ia menyebutkan ayat Al-Qur`an yang sesuai di kartu/surat undangan tersebut maka tidak menjadi masalah. Orang yang menerima kartu/surat undangan tersebut wajib untuk memuliakannya, karena di dalamnya ada ayat-ayat Allah subhanahu wa ta’ala . Jangan dibuang di tempat sampah atau di tempat hina lainnya. Kalau sampai kartu/surat undangan bertuliskan ayat Al-Qur`an itu ia hinakan, maka ia berdosa. Adapun si penulisnya tidaklah berdosa. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri memerintahkan sahabatnya untuk menuliskan ‘Bismillahir rahmanir rahim’ pada surat-surat yang beliau kirimkan. Dan terkadang beliau memerintahkan untuk menulis beberapa ayat Al-Qur`an dalam surat tersebut.
Dengan demikian, orang yang menulis hendaklah menuliskan tasmiyah sesuai dengan yang disyariatkan, dan ia menyebutkan beberapa ayat berikut hadits-hadits ketika dibutuhkan. Sedangkan orang yang menghinakan tulisan tersebut atau surat tersebut, ia berdosa. Semestinya ia menjaganya, atau bila ingin membuangnya (karena sudah tidak terpakai) hendaknya ia bakar atau dipendam. Bila dibuang begitu saja di tempat sampah, menjadi mainan anak-anak, menjadi pembungkus barang atau yang semisalnya, ini tidaklah diperbolehkan.
Sebagian orang menjadikan surat kabar dan lembaran (yang di dalamnya ada ucapan basmalah atau ayat-ayat Al-Qur`an) sebagai alas untuk makanan atau pembungkus barang yang dibawa ke rumah. Semua ini tidak diperbolehkan karena ada unsur penghinaan terhadap surat kabar/majalah/lembaran tersebut sementara di dalamnya tertulis ayat-ayat Al-Qur`an dan hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam . Semestinya lembaran tersebut disimpan di perpustakaannya, atau di tempat mana saja, dibakar atau dipendam di tempat yang baik. Demikian pula mushaf Al-Qur`an bila telah sobek tidak bisa lagi digunakan, maka mushaf tersebut dipendam di tanah yang bersih atau dibakar, sebagaimana dahulu ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu membakar mushaf-mushaf yang tidak lagi diperlukan.
Kebanyakan manusia tidak memerhatikan perkara ini, sehingga harus diberi peringatan. Sekali lagi untuk diingat, lembaran dan surat-surat (yang ada ayat Al-Qur`an) yang tidak lagi dibutuhkan, hendaknya dipendam dalam tanah yang bersih atau dibakar. Tidak boleh digunakan sebagai pembungkus barang atau yang lainnya, dijadikan alas makan, atau dibuang di tempat sampah. Semuanya ini merupakan kemungkaran yang harus dicegah. Wallahul musta’an.”


Tidak ada komentar:
Posting Komentar