Powered By Blogger

Sabtu, 13 November 2010

renungan

Liburan Cibodas 10 Picture

Salam adalah sapaan Nabi Adam ‘alaihis salam dan anak turunannya

Ucapan salam “السلام عليكم” adalah ucapan selamat yang telah diajarkan sejak nabi Adam ‘alaihis salam diciptakan. Kemudian ucapan salam ini menjadi kalimat sapaan bagi seluruh anak turunannya. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لَمَّا خَلَقَ اللهُ آدَمَ قَالَ: اِذْهَبْ فَسَلِّمْ عَلَى أُولـَٰئِكَ النَّفَرِ- وَهُمْ نَفَرٌ مِنَ المْلآئِكَةِ جُلُوسٌ - فَاسْتَمِعْ مَا يُجِيْبُوْنَكَ فَإِنَّهَا تَحِيَّتُكَ وَ تَحِيَّةُ ذُرِّيَّتِكَ، قَالَ: فَذَهَبَ. فَقَالَ: السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ. فَقَالُوْا: السَّلاَمُ عَلَيْكَ وَرَحْمَةُ اللهِ. قَالَ: فَزَادُوْهُ وَرَحْمَةُ اللهِ. (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ)

“Ketika Allah subhanahu wata’ala menciptakan Adam ‘alahis salam, Allah subhanahu wata’ala berfirman kepadanya: “Pergilah engkau dan berikanlah salam kepada mereka -yakni para malaikat yang ada disana- dengarkanlah apa jawaban mereka, karena itu adalah sapaanmu dan sapaan anak turunanmu.” Maka Adam ‘alaihis salam mengucapkan kepada para malaikat: “Assalamu’alaikum.” Mereka menjawab: “Assalamu’alaika Warahmatullah.” Yakni mereka menambah dalam jawaban salamnya dengan kalimat “Warahmatullah.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)

Dalam hadits ini kita mendapatkan pelajaran bahwa sapaan dengan ucapan السلام عليكم adalah sapaan yang diajarkan oleh Allah subhanahu wata’ala secara langsung kepada Adam ‘alahis salam, kemudian ucapan ini dijadikan sebagai sapaan untuk seluruh anak turunannya.

Salam adalah sapaan khas umat Islam

Sapaan ini merupakan sapaan umat Islam yang beriman kepada Allah dan seluruh para Rasul-Nya.

Diriwayatkan dari Ibnu Umar رضي الله عنهما, bahwa seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam:

أَيُّ إِسْلاَمٍ أَفْضَلُ؟

“Bagaimanakah keislaman yang terbaik?”

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab:

تُطْعِمُ الطَّعَامَ لِلْمَسَاكِيْنَ وَ تَقْرَأُ السَّلاَمَ عَلَى مَنْ عَرَفْتَ وَ مَنْ لَمْ تَعْرِفْ (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ)

“Engkau memberi makan orang miskin dan memberi salam kepada orang yang kau kenal maupun tidak kau kenal.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)

Salam mempererat ukhuwah

Dengan sapaan salam yang mengandung doa keselamatan, ikatan ukhuwah kaum muslimin akan semakin erat dan tumbuh rasa saling cinta sesama mereka.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لاَ تَدْخُلُوْا الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوْا وَلاَ تُؤْمِنُوْا حَتَّى تَحَابُّوْا. أَوَلاَ أَدُلُّكُمْ عَلَى شَيْءٍ إِذَا فَعَلْتُمْ تَحَابَبْتُمْ؟ أَفْشُوْا السَّلاَمَ بَيْنَكُمْ (رَوَاهُ مُسْلِمٌ)

“Kalian tidak akan masuk surga hingga kalian beriman. Dan kalian tidak akan beriman hingga kalian saling cinta-mencintai. Maukah aku tunjukkan kepada kalian sesuatu yang jika kalian kerjakan maka kalian akan saling cinta-mencintai? Sebarkanlah salam diantara kalian.” (HR. Muslim)

Dengan hadits ini kita ketahui betapa besarnya peranan salam dalam membantu seseorang untuk masuk kedalam surga. Demikian juga dapat kita ketahui betapa besarnya peranan salam dalam mempererat ukhuwah islamiyah.

Tata cara salam

Dalam memberikan salam, kita diperintahkan untuk mengucapkan kalimat yang paling sempurna, yang akan mendapatkan nilai lebih sempurna pula di sisi Allah subhanahu wata’ala, yaitu السلام عليكم ورحمة الله وبركاته (“Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh”).

Dalam satu hadits yang diriwayatkan oleh Imran bin Hushain رضي الله عنهما, disebutkan bahwa ketika seorang shahabat datang mengucapkan Assalamu’alaikum, beliau shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab salamnya seraya berkata: “sepuluh.” Ketika ada shahabat lain datang dan mengucapkan Assalamu’alaikum Warahmatullah, beliau shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab salamnya dan berkata: “duapuluh.” Kemudian ketika datang shahabat yang ketiga dan mengucapkan Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, beliau shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab salamnya dan berkata: “tigapuluh.” (HR. Abu Dawud dan At Tirmidzi, dan ia berkata: “Hadits ini hasan.” Asy Syaikh Al Albani menshahihkannya dalam Jami’ At Tirmidzi, hadits no. 2689)

Sedangkan ketika menjawab salam, kita diperintahkan untuk menjawabnya dengan yang lebih baik, Allah subhanahu wata’ala berfirman:

وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ حَسِيبًا (النساء: ٨٦)

“Apabila kalian disapa dengan suatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungkan segala sesuatu.” (An Nisaa`: 86)

Memberi salam ketika masuk rumah

Diantara waktu diperintahkannya mengucapkan salam adalah ketika masuk rumah. Allah subhanahu wata’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَدْخُلُوا بُيُوتًا غَيْرَ بُيُوتِكُمْ حَتَّى تَسْتَأْنِسُوا وَتُسَلِّمُوا عَلَى أَهْلِهَا ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ (النور: ٢٧)

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memasuki rumah-rumah selain rumah kalian sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagi kalian, agar kalian (selalu) ingat.” (An Nuur: 27)

Memberi salam tidak terlalu keras dan tidak pula terlalu pelan

Karena memberi salam adalah adab dan akhlak yang mulia, maka janganlah ucapan ini justru menjadi pengganggu orang yang sedang tidur. Oleh karena itu, ketika kita memberi salam jangan terlalu keras dan jangan pula terlalu pelan hingga tidak terdengar.

Diriwayatkan dari Miqdad radhiallahu ‘anhudalam hadits yang panjang, diantaranya, ia berkata:

كُنَّا نَرْفَعُ لِلنَّبِيِّ نَصِيْبَهُ مِنَ اللَّبَنِ. فَيَجِيْءُ مِنَ اللَّيْلِ فَيُسَلِّمُ تَسْلِيْمًا لاَيُوْقِظُ نَائِمًا وَيُسْمِعُ اليَقْظَانَ. فَجَاءَ النَّبِيُّ فَسَلَّمَ كَمَا كَانَ يُسَلِّمُ. (رَوَاهُ مُسْلِمٌ)

“Kami membawakan susu untuk Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, kemudian datanglah seseorang ke rumah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam pada waktu malam dan memberi salam dengan suara yang tidak membangunkan orang tidur tapi didengar oleh orang yang terjaga. Maka datanglah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dengan menjawab salam dengan suara yang sama.” (HR. Muslim)

Dengan cara salam yang seperti ini kita tidak mengganggu tuan rumah. Apabila tidak mendapatkan jawaban sampai tiga kali, maka pulanglah, sesungguhnya yang demikian lebih mulia buat kita dan lebih baik buat mereka.

Memberi salam kepada kaum wanita

Jika tidak dikhawatirkan timbulnya fitnah atau kesalahpahaman, disunnahkan pula memberi salam kepada para wanita. Misalnya jika wanita tadi tidak sendirian -yakni sekelompok wanita- maka disunnahkan untuk mengucapkan salam kepada mereka.

Diriwayatkan oleh Asma` binti Yazid رضي الله عنها:

أَنَّ رَسُولَ اللهِ مَرَّ فِي الْمَسْجِدِ يَوْمًا وَعُصْبَةٌ مِنَ النِّسَاءِ قُعُودٌ فَأَلْوَى بِيَدِهِ بِالتَّسْلِيْمِ. (رَوَاهُ التِّرْمِذِي)

“Pada suatu hari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berangkat ke masjid dan melewati sekelompok wanita, maka beliau memberi salam kepada mereka.” (HR. At Tirmidzi; Asy Syaikh Al Albani menghasankannya dalam Jami’ At Tirmidzi, hadits no.2697)

Siapa yang memulai salam

Ketika bertemu dengan seorang muslim terkadang kita mengucapkan salam bersamaan pada saat ia mengucapkan salam. Atau sebaliknya kita menunggu ia memberi salam, ternyata ia pun menunggu kita memberi salam.

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan kepada kita siapa yang hendaknya memulai salam dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

يُسَلِّمُ الرَّاكِبُ عَلَى الْمَاشِيِّ وَالْمَاشِيُّ عَلَى القَاعِدِ وَالْقَلِيْلُ عَلَى الْكَثِيرِ. (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ)

“Seseorang yang berkendaraan memberi salam kepada yang berjalan kaki, yang berjalan kaki memberi salam kepada yang duduk, kelompok sedikit memberi salam kepada kelompok yang banyak.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)

Dalam riwayat Al Bukhari disebutkan:

وَ الصَّغِيْرِ عَلَى الْكَبِيْرِ

“Yang lebih muda memberi salam kepada yang lebih tua.”

Namun jika keadaan, jumlah dan umurnya sama, maka semulia-mulia manusia di hadapan Allah adalah mereka yang memulai salam. Sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Umamah bin ‘Ajlan radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ أَوْلَى النَّاسِ بِاللهِ مَنْ بَدَأَهُمْ بِالسَّلاَمِ (روَاهُ أَبُو دَاوُدَ)

“Sesungguhnya semulia-mulianya manusia di hadapan Allah adalah barangsiapa yang memulai dengan salam.” (HR. Abu Dawud; Asy Syaikh Al Albani menshahihkannya dalam Sunan Abi Dawud, hadits no. 5197)

Diperbolehkannya mengirim salam kepada yang lain

Diriwayatkan oleh Aisyah رضي الله عنها, ia berkata: Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadaku:

إِنَّ جِبْرِيْلَ يَقْرَأُ عَلَيْكِ السَّلاَمَ. قَالَتْ: قُلْتُ: وَعَلَيْهِ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللهِ (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ)

“Sesungguhnya Jibril menyampaikan salam untukmu. Aku berkata: Aku menjawab wa’alaihissalam warahmatullahi (dan baginya keselamatan dan rahmat Allah).” (HR. Al Bukhari dan Muslim)

Diharamkannya memulai salam kepada orang kafir

Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لاَتَبْدَءُوْا الْيَهُودَ وَلاَ الْنْصَارَى بِالسَّلاَمِ فَإِذَا لَقِيْتُمْ أَحَدَهُمْ فِي طَرِيْقٍ فَاضْطَرُّوهُ إِلَى أَضْيَقِهِ. (رَوَاهُ مُسْلِمٌ)

“Janganlah kalian mendahului salam kepada Yahudi dan Nashara. Jika salah seorang dari kalian bertemu dengan mereka dalam satu jalan, maka paksalah oleh kalian ke jalan yang paling sempit.” (HR. Muslim)

Adapun jika mereka (ahlul kitab) memulai salam -baik berupa doa keselamatan maupun doa kecelakaan- kepada kaum muslimin, maka jawablah wa’alaikum. Sebagaimana diriwayatkan dari Anas radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِذَا سَلَّمَ عَلَيْكُمْ أَهْلُ الْكِتَابِ فَقُوْلُوْا وَعَلَيْكٌمْ. (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ)

“Jika ahlul kitab mengucapkan salam kepada kalian, maka jawablah: Wa’alaikum.”

Dalam riwayat lain dari Abdullah bin Umar رضي الله عنهما, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِذَا سَلَّمَ عَلَيْكُمُ الْيَهُودُ فَإِنَّمَا يَقُولُ أَحَدُهُمْ السَّامُ عَلَيْكَ فَقُلْ وَعَلَيْكَ. (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ)

“Jika seorang Yahudi menucapkan salam kepada kalian dengan ucapan assaamu’alaika (semoga kecelakaan atas engkau), maka jawablah: Wa’alaika (dan atasmu pula).” (HR. Al Bukhari dan Muslim)

Wallahu a’lam.





TINGGINYA HAK SEORANG TAMU DALAM SYARI’AT ISLAM

Pembaca yang mulia, semoga Allah senantiasa membimbing kita ke jalan yang diridloi-Nya dan menjaga kita dari segala kejelekan. Tamu memiliki hak yang tinggi dalam syari’at agama Islam. Menyambut, memuliakan dan menjamunya merupakan syiar Islam yang harus dijaga. Demikianlah dakwah yang diemban oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam untuk menyempurnakan akhlaq dan adab umat manusia. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلاَقِ

“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq (umat manusia).”

Para pembaca, semoga rahmat Allah senantiasa tercurah kepada kita semua, syi’ar ini merupakan bukti kesempurnaan dan rahmat Islam terhadap umat manusia. Sampai-sampai dikatakan oleh shahabat Abu Dzar Al Ghifari t (artinya):

“Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam telah meninggalkan kita dalam keadaan tiada seekor burung pun yang mengepakkan sayapnya di udara melainkan pasti telah dijelaskan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam ilmunya kepada kita. Karena Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَا بَقِيَ شَيْءٌ يُقَرِّبُ مِنَ الْجَنَّةِ وَيُبَاعِدُ مِنَ النَّارِ إِلاَّ وَقَدْ بُيِّنَ لَكُمْ

“Tidak ada suatu perkara yang dapat mendekatkan kepada Al Jannah (surga) dan menjauhkan dari An Naar (neraka) kecuali telah dijelaskan kepada kalian semuanya.” (HR. Ath Thabrani, dalam Al Kabir 2/211)

Makna perkataan shahabat Abu Dzar radhiallahu ‘anhu adalah bahwa seluruh perkara agama ini telah dijelaskan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dengan sempurna sampai perkara yang sekecil-kecilnya. Apalagi perkara tamu, tentunya Islam merupakan agama yang terdepan dan paling sempurna dalam memuliakannya.

Anjuran Memuliakan Tamu

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

وَ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَ الْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ وَ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَ الْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ

“Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaknya memuliakan tetangganya, dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaknya memuliakan tamunya.” (Muttafaqun ‘Alaihi, dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)

Al Imam Al Qadhi ‘Iyadh mengatakan: “Makna hadits tersebut adalah bahwa barangsiapa yang berupaya untuk menjalankan syari’at Islam, maka wajib bagi dia untuk memuliakan tetangga dan tamunya, serta berbuat baik kepada keduanya.”

Dari hadits di atas terdapat beberapa kandungan yang mulia, diantaranya:

1. Memuliakan Tamu merupakan bentuk kewajiban

Di dalam hadits di atas memuliakan tamu merupakan sunnah (jalan/tuntunan) Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Bahkan, ia merupakan perintah dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam yang sudah sepantasnya seorang muslim yang mengaku cinta kepadanya untuk menjalankannya. Allah subhanahu wata’ala berfirman: “Dan segala apa yang diperintah Rasulullah maka kerjakanlah, dan segala yang dilarang darinya maka tinggalkanlah.” (Al Hasyr: 7)

2. Penyempurna Iman

Allah subhanahu wata’ala memberitakan lewat lisan Rasul-Nya yang mulia, bahwa perkara memuliakan tamu berkaitan dengan kesempurnaan iman seseorang kepada Allah subhanahu wata’ala dan hari akhir yang keduanya merupakan bagian dari rukun iman yang enam yang wajib diyakini oleh setiap pribadi muslim. Sehingga salah satu tanda kesempurnaan iman seseorang bisa diketahui dari sikapnya kepada tamunya. Semakin baik ia menyambut dan menjamu tamu semakin tinggi pula nilai keimanannya kepada Allah subhanahu wata’ala. Dan sebaliknya, manakala ia kurang perhatian (meremehkan) terhadap tamunya, maka ini pertanda kurang sempurnanya nilai keimanannya kepada Allah subhanahu wata’ala.

Memuliakan Tamu adalah Akhlaq Para Nabi dan Orang-Orang Shalih

Para pembaca yang mulia, sungguh Allah subhanahu wata’ala telah menyebutkan kisah-kisah mulia di dalam Al Qur’an, yang demikian itu tidak lain sebagai pelajaran bagi kita semua. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya): “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal.” (Yusuf: 111)

Allah subhanahu wata’ala telah menyebutkan kisah Nabi Ibrahim ‘alaihis salam bersama tamunya. Ketika Allah subhanahu wata’ala hendak mengaruniakan kepadanya seorang anak yang ‘alim yang bernama Ishaq, Allah subhanahu wata’ala mengutus para Malaikat untuk menyampaikan kabar gembira ini kepada beliau ‘alaihi salam. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):

“Sudahkah sampai kepadamu (Muhammad) cerita tentang tamu Nabi Ibrahim (para Malaikat) yang dimuliakan? (Ingatlah) ketika mereka masuk ke tempatnya lalu mengucapkan salam, Nabi Ibrahim menjawab: salamun, (kalian) adalah orang-orang yang tidak dikenal. Maka dia pergi dengan diam-diam menemui keluarganya, kemudian dibawanya daging anak sapi yang gemuk. Lalu dihidangkannya kepada mereka. Nabi Ibrahim berkata: Silahkan kalian makan…” (Adz Dzariyat: 24-27)

Dari kisah yang mulia tersebut, kita bisa memetik beberapa pelajaran yang sangat berharga, di antaranya:

1. Menjamu dan memuliakan tamu merupakan millah (agama, petunjuk) Nabi Ibrahim ‘alaihi salam

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan umatnya diperintahkan untuk mengikuti millah-nya tersebut. Sebagaimana firman-Nya (artinya): “Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam); Ikutilah millah Nabi Ibrahim yang lurus, dan dia bukanlah termasuk orang-orang yang berbuat syirik.” (An Nahl: 123)

2. Bersegera dalam menyambut dan menjamu tamu

Sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim ‘alaihi salam, dia bersegera untuk mendatangi keluarganya (فَرَاغَ إِلَى أَهْلِهِ) dan mempersiapkan hidangan untuk menjamu tamunya tersebut, tanpa harus menawari dulu kepada tamunya.

3. Menjawab salam dengan yang terbaik

Dalam ayat di atas juga terdapat tuntunan dalam menjawab salam, yaitu dengan yang serupa atau yang lebih baik. sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala (artinya):

“Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan (salam), maka balaslah penghormatan (salam) itu dengan yang lebih baik, atau balaslah (dengan yang serupa).” (An Nisa’: 86)

4. Menghidangkan kepada tamu dengan hidangan yang paling baik

Sebagaimana yang dicontohkan Nabi Ibrahim ‘alaihi salam ketika menghidangkan daging anak sapi yang gemuk (عِجْلٍ سَمِيْنٍ) kepada para tamunya. Dan dalam ayat yang lain di dalam surat Hud dengan lafazh (عِجْلٍ حَنِيْذٍ ), yakni daging anak sapi yang dipanggang. Makanan ini (daging anak sapi yang dipanggang) merupakan makanan yang sangat lezat dan paling baik pada waktu itu.

5. Meletakkan hidangan tersebut di dekat tamunya

Allah subhanahu wata’ala menyatakan فَقَرَّبَه إِلَيْهِمْ (Kemudian Nabi Ibrahim ‘alaihi salam mendekatkan hidangan itu kepada mereka). Tidaklah Nabi Ibrahim meletakkan hidangan tersebut jauh dari tempat para tamunya, dan tentunya hal ini lebih memudahkan bagi para tamu untuk menikmati hidangan tersebut.

6. Menyambut/mengajak bicara dengan bahasa yang sopan dan baik

Nabi Ibrahim ‘alaihi salam mengatakan ketika menghidangkan makanannya:

أَلاَ تَأْكُلُوْنَ (Silahkan kalian makan) dan tidak mengatakan: كُلُوْا (makanlah). Menggunakan lafadz “Silahkan” atau yang semisalnya itu lebih sopan dan lebih baik pula daripada kalimat yang kedua.

Dan termasuk adab terhadap tamu adalah menjaga dan melindungi tamunya tersebut dari hal-hal yang bisa memudharatkannya. Hal ini sebagaimana dilakukan oleh Nabi Luth ‘alaihi salam ketika datang kepada beliau para Malaikat yang menjelma sebagai tamu yang sangat tampan wajahnya. Kedatangan tamu-tamu tersebut mengundang fitnah terhadap kaum beliau ‘alaihi salam dan mereka hendak berbuat Liwath (homoseks) terhadapnya, karena kaum Nabi Luth ‘alaihi salam adalah kaum yang telah biasa melakukan kemungkaran ini (Liwath). Suatu kemungkaran yang tidak pernah dilakukan oleh seorang manusia pun di muka bumi ini sebelumnya.

Maka Nabi Luth ‘alaihi salam pun berupaya untuk menjaga dan melindungi tamunya tersebut dari kekejian yang hendak dilakukan oleh kaumnya tersebut. Kisah ini bisa dilihat dalam surat Hud ayat 77-83 dan surat Al Hijr ayat 67-71.

Demikian pula praktek para shahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dalam menyambut dan menjamu tamu sangatlah patut dijadikan uswah (suri tauladan) bagi umat Islam.

Tahukah anda siapakah shahabat Anshar? Shahabat Anshar adalah para shahabat yang tinggal di negeri Madinah yang siap membela dakwah nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam. Mereka pulalah orang-orang yang dijadikan Allah subhanahu wata’ala sebagai uswah dalam menyambut/menjamu tamu. Ketika para Muhajirin (para shahabat yang berhijrah/pindah dari Makkah dan yang lainnya menuju Madinah) telah sampai di kota Madinah, para shahabat Anshar berlomba-lomba untuk menyambut dan menjamu mereka dengan sebaik-baiknya. Bahkan kaum Anshar lebih mengutamakan kebutuhan kaum Muhajirin daripada kebutuhan diri mereka sendiri, walaupun sebenarnya mereka sendiri pun sangat membutuhkannya. Sehingga kisah ini Allah subhanahu wata’ala abadikan di dalam Al Qur’an sebagai tanda kebersihan dan kejujuran iman para shahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan sekaligus sebagai uswah (suri tauladan) bagi generasi sesudahnya. Sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala (artinya):

“… Dan mereka lebih mengutamakan kaum Muhajirin atas diri mereka sendiri walaupun mereka sendiri sangat membutuhkannya.” (Al Hasyr: 9)

Sehingga benarlah apa yang dikatakan oleh Al Imam An Nawawi: “Menjamu dan memuliakan tamu adalah termasuk adab dalam Islam dan merupakan akhlaq para nabi dan orang-orang shalih.” (Syarh Shahih Muslim)

Beberapa Hal Penting yang Perlu Diperhatikan dalam Menjamu Tamu

Para pembaca yang semoga dimuliakan oleh Allah, agama Islam menganjurkan kepada pemeluknya agar menjamu tamunya sesuai dengan petunjuk Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Diantaranya adalah:

1. Anjuran untuk menjamu tamu selama tiga hari, jamuan hari pertama lebih istimewa daripada hari sesudahnya

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَ الْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ جَائِزَتَهُ . قَالُوا: وَمَا جَائِزَتُهُ يَارَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: يَوْمٌ وَلَيْلَتُهُ وَالضِّيَافَةُ ثَلاَثَةُ أَيَّامٍ فَمَا كَانَ وَرَاءَ ذَالِكَ فَهُوَ صَدَقَةٌ عَلَيْهِ

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaknya memuliakan tamunya yaitu jaizah-nya.” Para shahabat bertanya, “Apa yang dimaksud dengan jaizah itu, wahai Rasulullah?” Beliau shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Jaizah itu adalah menjamu satu hari satu malam (dengan jamuan yang lebih istimewa dibanding hari yang setelahnya). Sedangkan penjamuan itu adalah tiga hari adapun selebihnya adalah shadaqah.” (HR. Al Bukhari no. 6135 dan Muslim no. 1726, hadits dari Abu Syuraih Al ‘Adawi, lihat Fathul Bari hadits no. 6135)

2. Menjamu tamu sesuai dengan kemampuan

Dari Sulaiman radhiallahu ‘anhu, beliau berkata:

نَهَانَا رَسُوْلُ اللهِ r أَنْ نَتَكَلَّفَ لِلضَّيْفِ مَا لَيْسَ عِنْدَنَا

“Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam melarang kami memaksakan diri dalam menjamu tamu dengan sesuatu yang diluar kemampuan.” (HR. Al Bukhari, Ahmad, dan lainnya)

Akhir kata, semoga tulisan yang sederhana ini dapat memberikan tambahan ilmu yang bermanfaat bagi kita semua.





UNTUKMU, WAHAI KAUM HAWA

Pembaca, mudah-mudahan Allah subhanahu wata’ala memberikan keberkahan pada kita semua, adalah merupakan suatu ketetapan dari Allah subhanahu wata’ala ketika Allah telah menetapkan bagi kaum hawa untuk mengalami apa yang dinamakan haid (menstruasi). Pasti setiap wanita akan mengalami masa haid sebagai salah satu tanda dari baligh baginya.

Maka pada pembahasan kali ini akan kami sajikan untuk anda beberapa hal yang berhubungan dengan haid dikarenakan begitu peliknya permasalahan ini. Demikian pula permasalahan haid sangat berhubungan erat dengan permasalahan ibadah lainnya, bahkan dalam permasalahan halal dan haramnya suatu ibadah tertentu.

Pengertian Haid

Haid ditinjau secara bahasa bermakna mengalir. Adapun jika ditinjau secara pengertian dalam syari’at islam bermakna darah yang mengalir yang merupakan tabiat dari seorang wanita yang keluar dari dasar rahim dan akan berulang pada periode (waktu) tertentu.

Terjadi perbedaan pendapat dikalangan para ulama apakah ada batasan umur tertentu pada pemulaan haid dan batasan umur berhenti dari masa haid (menopause). Namun yang benar dalam masalah ini bahwa tidak ada batasan umur tertentu untuk seorang wanita mulai haid dan tidak mengalami haid lagi. Hal ini berdasarkan keumuman dalil pada surat Al Baqarah ayat ke-222 (artinya):

“Dan mereka bertanya padamu tentang haid, (maka) katakan bahwa dia (haid) merupakan suatu gangguan, maka jauhilah para wanita ketika mereka sedang haid.”

Demikian pula dalam permasalahan waktu berlangsungnya haid, maka tidak ada batasan tertentu. Hanya saja kebanyakan (mayoritas) para wanita mengalami masa haidnya selama 6 sampai 7 hari.

Ciri-ciri Darah Haid

1. Berwarna kehitam-hitaman dan mudah dikenali. Hal ini sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan An Nasa’i dari shahabiyyah Fatimah Bintu Abi Hubais ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya:

“Adapun darah haid, maka berwarna hitam yang dikenal…”

2. Memiliki bau yang tidak sedap, sebagaimana dijelaskan pada hadits di atas dengan lafazh:

يُعْرِِِفُ namun dengan

3. Kekuning-kuningan dan keruh. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Malik ketika ibu dari Alqamah Bin Abi Alqamah berkata: “Para wanita diutus kepada ‘Aisyah Ummul Mu’minin dengan membawa sebuah dirojah (wadah kecil) yang di dalamnya terdapat kursuf (pembalut) yang terdapat warna kekuning-kuningan bekas darah haid, mereka bertanya tentang shalat, maka ‘Aisyah menjawab: “Janganlah kalian shalat sampai kalian melihat pembalut tadi berwarna putih yang diinginkan dengan itu telah suci dari haid.”

Namun cairan keruh dan kekuning-kuningan tidaklah menunjukkan seorang wanita haid kecuali pada hari-hari yang memang sedang haid. Adapun jika keluar selain pada hari-hari haid, maka tidak dianggap haid, sebagaimana dalam hadits Ummu ‘Atiyah yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibnu Majah ketika dia berkata:

كُنَّا لاَ نَعُدُّ الْكُدْرَةَ وَالصُّفْرَةَ بَعْدَ الطُّهْرِ شَيْئًا

“Kami tidak menganggap warna kekuning-kuningan dan keruh sedikitpun setelah suci sebagai haid.”

Beberapa Keadaan Wanita Haid

1. Wanita yang mengetahui kebiasaan waktu-waktu datangnya haid. Wanita jenis ini menjalankan haidnya sesuai dengan bilangan hari yang biasa dialaminya. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari shahabiyyah Ummu Habibbah bintu Jahsyin ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadanya:

اُمْكُثِي قَدْرَ مَا كَانَتْ تَحْبِسُكِ حَيْضَتُكِ ثُمَّ اغْتَسِلِي وَصَلِّي

“Berdiamlah sebagaimana kebiasaan haid menahanmu, kemudian mandi dan shalatlah.”

2. Wanita yang tidak mengetahui dan tidak mempunyai kebiasaan waktu-waktu haidnya namun bisa membedakan darah yang keluar apakah darah haid atau bukan. Maka dia menjalankan haid ketika mengetahui bahwa yang keluar adalah darah haid. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan An Nasa’i dari shahabiyyah Fatimah Bintu Abi Hubais ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadanya:

إِذَا كَانَ دَمُ الْحَيْضِ فَإِنَّهُ دَمٌ أَسْوَدُ يُعْرَفُ فَأَمْسِكِي عَنْ الصَّلاَةِ فَإِذَا كَانَ الآخَرُ فَتَوَضَّئِي فَإِنَّمَا هُوَ عِرْقٌ

“Apabila darah haid, maka berwarna hitam yang sudah dikenal, jika demikian berhentilah shalat, namun jika selain itu berwudhulah dan shalatlah karena itu adalah darah penyakit.”

3. Wanita yang tidak mempunyai kebiasaan waktu-waktu haid yang dia ketahui dan tidak bisa membedakan antara darah haid atau bukan. Maka baginya untuk bersandar kepada kebiasaan waktu-waktu haid kebanyakan wanita pada umumnya. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ashabus Sunan kecuali An Nasa’i dari shahabiyyah Hamnah Bintu Jahsyin ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadanya:

إِنَّمَا هِيَ رَكْضَةٌ مِنْ الشَّيْطَانِ فَتَحَيَّضِي سِتَّةَ أَيَّامٍ أَوْ سَبْعَةَ أَيَّامٍ فِي عِلْمِ اللَّهِ ثُمَّ اغْتَسِلِي فَإِذَا رَأَيْتِ أَنَّكِ قَدْ طَهُرْتِ وَاسْتَنْقَأْتِ فَصَلِّي أَرْبَعًا وَعِشْرِينَ لَيْلَةً أَوْ ثَلاَثًا وَعِشْرِينَ لَيْلَةً وَأَيَّامَهَا وَصُومِي وَصَلِّي فَإِنَّ ذَلِكِ يُجْزِئُكِ وَكَذَلِكِ فَافْعَلِي كَمَا تَحِيضُ النِّسَاءُ

“Sesungguhnya itu adalah dorongan dari syaithan, maka laksanakanlah haid selama enam atau tujuh hari, kemudian mandilah. Apabila kamu telah suci, maka shalatlah dua puluh empat atau dua puluh tiga hari. Lakukanlah shalat dan puasa, sesungguhnya hal itu cukup bagimu. Dan demikian itulah hendaknya kamu kerjakan sebagaimana para wanita mengalami haid.”

Beberapa hukum yang berkaitan dengan permasalahan haid

1. Bagi wanita haid baginya untuk tidak mengerjakan shalat dan juga tidak berpuasa, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Al Bukhari dan juga Muslim ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Fatimah bintu Abi Hubais:

“Jika haid menimpamu, maka tinggalkan (jangan kerjakan) shalat…”

Maka jika ada wanita yang sedang mengalami haid kemudian berpuasa atau mengerjakan shalat, maka tidak sah puasa atau shalatnya tersebut bahkan dia telah melakukan suatu kemaksiaatan kepada Allah dan rasulNya karena telah dilarang oleh syari’at.

2. Jika wanita tersebut sudah selesai dari masa haidnya, maka dibebankan baginya untuk mengqada’ (mengganti) puasa dan tidak dibebankan baginya untuk mengqada’ shalat. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Al Bukhari dan juga Muslim, dari Aisyah ketika ia berkata:

“Kami mengalami haid, maka kami diperintah untuk mengqada’ puasa dan kami tidak diperintah untuk mengqada’ shalat.”

3. Tidak boleh bagi seorang suami menggauli yang sedang haid, namun boleh untuk bersenang-senang dengannya selain senggama seperti mencium, mengusap dan sebagainya. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Muslim, Abu Dawud, Al Imam At Tirmidzi dan lainnya dari Anas bin Malik ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

اصْنَعُوا كُلَّ شَيْءٍ إِلاَّ النِّكَاحَ

“Kerjakan semuanya (pada wanita haid) kecuali nikah (jima’).”

Dan dalam lafazh lain:

اصْنَعُوا كُلَّ شَيْءٍ إِلاَّ الْجِمَاعَ

“Kerjakan semuanya (pada wanita haid) kecuali jima’.”

Barang siapa yang menjima’-i wanita yang sedang haid, maka dia telah melakukan suatu dosa besar karena dia telah jatuh pada suatu hal yang telah diharamkan syari’at. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh At Al Imam At Tirmidzi, Abu Dawud dan lainnya: “Barang siapa yang mendatangi wanita haid (senggama) atau mendatangi wanita pada duburnya atau mendatangi dukun, maka sungguh dia telah kafir dengan apa yang telah diturunkan kepada Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam .”

Adapun bagi orang yang menjima’-i wanita haid terjadi perbedaan pendapat apakah baginya kafarat atau tidak ada kafarat namun dia mendapatkan dosa. Namun yang benar dia mendapatkan kafarat dengan bersedekah satu atau setengah dinar berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ashabus Sunan dari sahabat Abdullah bin Abbas. Ia berkata: “Dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam , tentang seseorang yang mendatangi istrinya yang haid, beliau bersabda:

يَتَصَدَّقُ بِدِينَارٍ أَوْ نِصْفِ دِينَارٍ

“Baginya untuk bersedekah satu atau setengah dinar.”

Barangsiapa ingin mendapatkan kesempurnaan dari kaffarah-nya hendaknya dia bersedekah satu dinar. Namun bagi yang bersedekah setengah dinar, maka cukup untuk membayar kaffarah-nya tersebut. Beberapa ulama ada yang berpendapat ukuran satu dinar 4,25 gram emas. Namun tidak mengapa bagi seseorang untuk menilai kadar dinar sesuai dengan ukuran daerahnya masing-masing.

4. Dilarang bagi seorang suami untuk menceraikan istrinya yang sedang haid. Hal ini berdasarkan firman Allah subhanahu wata’ala dalam surat Ath Thalaq ayat ke-1 (artinya):

“Wahai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu, maka hendaklah kamu ceraikan mereka mendapati masa ‘iddahnya (yang wajar).”

Yakni ketika mereka suci dan belum digauli. Dan juga Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam pernah memerintahkan orang yang menceraikan istrinya yang sedang haid untuk rujuk, kemudian menceraikannya kembali ketika istrinya suci apabila dia kehendaki.

5. Hukum menyentuh Al Qur’an bagi wanita haid. Terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama’ tentang hal ini. Namun pendapat yang benar insya Allah adalah tidak bolehnya wanita haid untuk menyentuh Al Qur’an. Ini adalah pendapat mayoritas ulama, dan juga pendapat Asy Syaikh Shalih Al Fauzan, Asy Syaikh Muhammad Bin Shalih Al Utsaimin serta ulama yang lainnya. Dalil dari pendapat ini:

1) firman Allah subhanahu wata’ala dalam surat Al Waqi’ah ayat ke-79 (artinya):

“Tidaklah menyentuhnya (Al Qur’an) kecuali orang-orang yang suci.”

2) Hadits ‘Amr Bin Hazm yang diriwayatkan oleh Al Imam Malik, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidaklah seseorang menyentuh Al Qur’an kecuali dia dalam keadaan suci.”

Dalam riwayat At Thabarani dan juga Ad Daruquthni, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Janganlah engkau menyentuh al qur’an kecuali engkau dalam keadaan suci.”

Namun dibolehkan bagi wanita haid untuk melafazhkan atau membaca ayat-ayat Al Qur’an, wallahu a’lam.

6. Bagi wanita haid dilarang untuk thawaf di Ka’bah. Hal ini berdasarkan hadits Aisyah yang diriwayatkan oleh Al Bukhari dan Muslim, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Kerjakan apa yang dikerjakan orang yang berhaji selain engkau thawaf di Bait (Ka’bah).”

7. Dibolehkan bagi wanita haid masuk ke masjid apabila ada kepentingan yang mendesak tanpa ditinggal/di dalam masjid. Dalam hadits yang diriwayatkan Muslim ketika Aisyah berkata: “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam pernah memerintahkan aku untuk mengambil khumrah (sejenis sajadah) di dalam masjid, kemudian aku berkata: “Aku sedang haid”, maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Ambillah khumrah tersebut karena haid itu tidak berada pada tanganmu.”

Kapan dibolehkan untuk mendatangi istri yang telah berhenti haid

Terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama tentang prmasalahan ini. Diantara mereka ada yang berpendapat bolehnya digauli ketika darah telah berhenti walaupun belum mandi besar serta beberapa rincian lainnya. Namun sebagian yang lain mensyaratkan bolehnya digauli ketika darah telah berhenti dan telah mandi besar. Maka yang benar, wallahu a’lam, adalah pendapat yang kedua. Hal ini berdasarkan firman Allah subhanahu wata’ala dalam surat Al Baqarah ayat ke-222 (artinya):

وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ البقرة: ٢٢٢

“Dan janganlah kalian mendekati mereka sampai mereka suci.”

حَتَّى يَطْهُرْنَ

maksudnya adalah terhentinya darah dan telah mandi besar. Al Imam Mujahid berkata: “Ayat ini juga telah ditafsirkan oleh Ibnu Abbas semakna dengan tafsir Mujahid di atas.”

Di dalam Majmu’ Fatawa (21/624) disebutkan: “Adapun wanita yang haid apabila telah berhenti darahnya, maka tidak boleh suaminya untuk menggaulinya sampai wanita tersebut mandi besar apabila dia mampu mandi. Apabila tidak mampu mandi, maka bertayammum, sebagaimana pendapat jumhur ‘ulama seperti Al Imam Malik, Al Imam Ahmad dan Al Imam Asy Syafi’i.

Demikianlah sekelumit pembahasan tentang haid. Mudah-mudahan dengan ini kita bisa menjalankan ibadah di atas bimbingan ilmu dan bukan di atas bimbingan hawa nafsu dan perasaan belaka. Allahul Musta’an. Wallahu a’lam bishshawab






1. Hendaknya kita selalu bertaqwa kepada Allah subhanahu wata’ala baik ketika kita sedang sendiri atau

Di hadapan orang banyak.

ü Wasiat taqwa ini adalah wasiat terhadap setiap umat, sebagaimana firman Allah Tabaraka wa Ta’ala :

وَلَقَدْ وَصَّيْنَا الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَإِيَّاكُمْ أَنِ اتَّقُوا اللَّهَ [النساء/131]

“Dan sungguh telah kami wasiatkan kepada orang-orang sebelum mereka dan kepada kalian yaitu untuk bertaqwa kepada Allah.” [An-Nisa` : 131]

ü Dengan taqwa, Allah akan mudahkan kita dalam menuntut ilmu dan akan dibuka pintu-pintu ilmu untuk kita, sebagaimana firman-Nya:

وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ [البقرة/282]

“Dan bertaqwalah kalian kepada Allah, niscaya Allah akan ajarkan kepada kalian ilmu.” [Al-Baqarah : 282]

ü Dengan taqwa, Allah Tabaraka wa Ta’ala akan berikan kepada kita Al-Furqan yaitu pembeda antara al-haq dan al-bathil, sehingga ia akan tetap berjalan di atas jalan yang lurus ini. Sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنْ تَتَّقُوا اللَّهَ يَجْعَلْ لَكُمْ فُرْقَانًا [الأنفال/29]

Wahai orang-orang yang beriman, jika kalian bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepada kalian Al-Furqan.” [Al-Anfal : 29]

2. Sudah seharusnya bagi kita untuk mensyukuri nikmat-nikmat Allah Tabaraka wa Ta’ala yang begitu banyak ini dengan selalu beramal di atas ilmu yang kita miliki.

Karena hanya dengan memiliki ilmu semata tanpa beramal dengan ilmu tersebut maka ilmunya tidak akan bermanfaat, sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla:

إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ [فاطر/28]

” Hanyalah yang takut kepada Allah dari hamba-hamba-Nya adalah para ulama.” [Fathir : 28]

ü Allah subhanahu wata’ala meingatkan Nabi Dawud ‘alaihis salam dan kaumnya untuk beramal dengan ilmunya sebagai bentuk syukur atas kenikmatan yang telah Allah subhanahu wata’ala berikan kepada mereka, seperti dalam firman-Nya:

اعْمَلُوا آَلَ دَاوُودَ شُكْرًا وَقَلِيلٌ مِنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ [سبأ/13]

Beramallah wahai keluarga Dawud sebagai bentuk rasa syukur. Sungguh sedikit dari hamba-hambaku yang mau bersyukur.” [Saba` : 13]

ü Hendaknya kita takut ketika nanti di Hari Kiamat Allah Tabaraka wa Ta’ala akan bertanya kepada kita tentang nikmat ilmu yang telah kita dapatkan, tetapi kita tidak bisa menjawabnya. Diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Khathib Al-Baghdadi dalam Iqtidha`ul ‘Ilmi wal ‘Amal, yang dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

(( لا تزول قدما عبد يوم القيامة حتى يسأل عن أربع : عن عمره فيما أفناه، وعن علمه ماذا عمل فيه، وعن ماله من أين اكتسبه وفيما أنفقه، وعن جسمه فيما أبلاه ))

“Tidak akan bergeser dua kaki seorang hamba pada Hari Kiamat sampai dia ditanya tentang empat hal : Tentang umurnya untuk apa ia habiskan? Tentang ilmunya, apa yang telah ia amalkan? Tentang hartanya, dari mana ia memperolehnya dan kemana ia belanjakan? Dan tentang fisiknya, untuk apa ia gunakan?”

3. Ikhlaskan niat kita dalam menuntut ilmu hanya untuk mengharap wajah Allah Tabaraka wa Ta’ala, bukan karena manusia, kedudukan, atau untuk mengais rizki dengannya.

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ [البينة/5]

“Dan tidaklah mereka itu diperintahkan kecuali untuk mengikhlaskan agama ini bagi Allah semata.” [Al-Bayyinah : 5]

ü Penyakit yang sering menjangkiti para penuntut ilmu adalah rasa ingin dipuji oleh orang lain karena ketinggian ilmunya, riya’, untuk dikatakan sebagai seorang yang hafizh, dan senang untuk menjadi orang yang terkenal. Hal ini karena tidak adanya keikhlasan dalam menuntut ilmu.

ü Penting untuk ditanamkan pada diri kita bahwa tidaklah ilmu itu hanya karena banyaknya riwayat, tetapi ilmu adalah yang dapat mendatangkan rasa takut pada Allah, khusyu’, dan tawadhu’.

ü Jangan merasa tinggi di hadapan manusia, karena bisa jadi ketika kita merasa tinggi di hadapan manusia, ternyata di hadapan Allah kita rendah. Sesungguhnya orang yang tinggi (derajatnya) adalah orang yang ditinggikan oleh Allah.

4. Hendaknya senantiasa kita waspada dari berbagai macam kemaksiatan. Karena kemaksiatan akan menghalangi datangnya ilmu pada kita.

Al-Imam Asy-Syafi’i suatu ketika pernah berkata kepada gurunya yaitu Al-Imam Waqi’ Ibnu Jarrah;

شكوت إلى وكيع سوء حفظي … فأرشدني إلى ترك المعاصي

وقال اعلم بأن العلم نور … ونور الله لا يؤتاه عاصي

“Aku pernah mengadukan pada Waqi’ tentang jeleknya hafalanku.

Maka beliau membimbingku untuk meninggalkan kemaksiatan.

Beliau berkata : sesungguhnya ilmu ini adalah cahaya,

dan cahaya Allah tidak akan diberikan kepada orang yang bermaksiat.”




JAUHI SIFAT TAKABBUR, GAPAI RIDHA ILAHI


Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ قَالَ رَجُلٌ إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا وَنَعْلُهُ

حَسَنَةً قَالَ إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ

“Tidak akan masuk jannah (surga) barang siapa di dalam hatinya terdapat setitik kesombongan. Ada seseorang yang berkata: “Sesungguhnya orang itu menyukai pakaian yang bagus, sandal yang bagus.” Maka Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah itu indah menyukai keindahan, sombong itu adalah menolak kebenaran dan merendahkan orang lain.”

Riwayat Hadits

Hadits dari shahabat Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhuyang diriwayatkan Al Imam Muslim dalam Bab Tahrimul Kibr wa Bayanuhu no. 131, At Tirmidzi Kitab Al Birru wash Shillah ‘an Rasulillah no. 1921-1922, Abu Dawud Kitab Al Libas no. 3598, Ibnu Majah Kitab Az Zuhud no. 4163, Ahmad no. 3600.

Kandungan Hadits

Hadits di atas mengandung mutiara-mutiara faedah yang sangat berharga. Mari kita simak mutiara-mutiara faedah dari hadits tersebut:

لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ

“Tidak akan masuk al jannah (surga) barang siapa di dalam hatinya terdapat setitik kesombongan.

Penggalan hadits di atas menunjukkan bahwa agama Islam melarang umatnya dari sifat sombong meski sekecil apapun. Barang siapa yang memiliki sifat sombong dalam hatinya meski sekecil apapun maka ia tidak akan masuk jannatullah (surga). Karena jannah itu benar-benar bukan disediakan oleh Allah subhanahu wata’ala bagi orang-orang orang-orang yang memiliki sifat sombong.

Demikian juga dalam Al Qur’anul Karim Allah subhanahu wata’ala juga menegaskan tentang perkara ini, sebagaimana firman-Nya (artinya): “Negeri akhirat (al jannah) itu, kami sediakan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di muka bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (Al Qashash: 83)

Para pembaca yang mulia, bila kita perhatikan kandungan ayat di atas, Allah subhanahu wata’ala menegaskan bahwa kehidupan yang bahagia di masa depan yang kekal nanti disediakan hanya untuk orang-orang yang bertaqwa bukan untuk orang-orang yang sombong. Sehingga dapat dipetik dari kandungan ayat di atas bahwa sifat sombong itu bukan sifat orang-orang yang bertaqwa.

Apakah yang dimaksud sombong itu adalah orang yang berpenampilan bagus, seperti berpakaian bagus atau bersandal bagus?

Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam sebagai utusan pembawa rahmat bagi seluruh alam ini memberikan jawaban yang sempurna. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ

“Sesungguhnya Allah itu Maha Indah menyukai keindahan.”

Allah subhanahu wata’ala itu adalah Maha Indah. Sifat-sifat-Nya adalah indah, dan semua yang berkaitan dengan Allah subhanahu wata’ala adalah indah. Sehingga Allah subhanahu wata’ala pun mencintai sesuatu yang indah. Sebagaimana juga Allah subhanahu wata’ala mencintai kebersihan dan kesucian. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):

“Sesungguhnya Allah subhanahu wata’ala itu mencintai orang-orang yang bertaubat dan orang-orang yang mensucikan diri.” (Al Baqarah: 222)

Bahkan kebersihan itu merupakan bagian dari keimanan. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

الطُّهُوْرُ شَطْرُ الإِيْمَانِ

“Kebersihan (kesucian) itu merupakan bagian dari keimanan.” (HR. Muslim)

Atas dasar itu agama Islam adalah agama yang cinta akan kebersihan, kesucian, kerapian, dan keindahan. Sebaliknya agama Islam itu benci kepada sesuatu yang jelek, kotor, dan kumuh. Berpenampilan yang baik, indah, dan rapi itu akan mendapatkan kecintaan dari Allah subhanahu wata’ala, mendapat pahala, dan menambah keimanan kita kepada-Nya. Tapi tentunya bukan karena didasari sifat takabbur (sombong) dan meremehkan orang lain. Karena sifat ini bertentangan dengan sifat orang-orang yang bertaqwa. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):

“Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan takabbur (sombong), karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung. “(Al Isra’: 37)

Lalu apa yang dimaksud dengan sifat takabbur (sombong) itu?

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab:

الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ

“Takabbur itu adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain.”

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab dengan jawaban yang sempurna. Bukanlah takabbur itu adalah orang yang memakai sesuatu yang indah tetapi takabbur itu ada dua macam:

Pertama, takabbur yang berkaitan dengan hak Allah subhanahu wata’ala yaitu takabbur karena menolak kebenaran.

Kebenaran itu adalah segala sesuatu yang datang dari Allah subhanahu wata’ala dan termasuk segala apa yang dibawa oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Allah subhanahu wata’ala adalah Rabb kita (sebagai pencipta, pemilik dan pengatur alam semesta ini) yang memiliki sifat-sifat yang sempurna. Sedangkan hamba-Nya subhanahu wata’ala adalah makhluk yang serba memiliki kekurangan dan kelemahan. Akal, daya pikir dan kekuatan manusia itu sangatlah terbatas. Terbukti manusia itu tidak bisa hidup sendiri dan pasti butuh bantuan orang lain. Sehingga sumber kebenaran itu hanya dari Allah subhanahu wata’ala. Sebagaimana firman-Nya (artinya):

“Kebenaran itu adalah sesuatu yang datang dari Allah, maka janganlah kamu termasuk orang-orang yang ragu.” (Al Baqarah: 147)

Sehingga barang siapa yang menolak kebenaran yang datang dari Al Qur’an atau sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam maka dia itu telah terjangkiti penyakit takabbur (sombong) dalam hatinya. Oleh karena itu Allah subhanahu wata’ala mengecap iblis sebagai makhuk yang takabbur karena ia menolak perintah Allah subhanahu wata’ala untuk bersujud kepada Nabi Adam u. Allah subhanahu wata’ala kisahkan hal itu dalam Al Qur’an (artinya): “Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: “Sujudlah kamu kepada Adam,” Maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabbur (sombong) dan ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.” (Al Baqarah: 34)

Demikian pula Rasulullah I pernah mensifati seseorang dengan sombong, disebabkan orang itu menolak kebenaran yang beliau shalallahu ‘alaihi wasallam sampaikan. Shahabat Salamah bin Al Akwa’ radhiallahu ‘anhumengisahkan tentang seseorang yang makan disamping Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dengan tangan kirinya. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Makanlah dengan tangan kananmu. Ia menjawab: “Aku tidak bisa (enggan) mengangkat tangan kananku.” Seraya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Niscaya kamu tidak akan bisa. Tidak ada yang mencegahmu kecuali takabbur .” Akhirnya orang ini benar-benar tidak mampu mengangkat tangan kanannya disebabkan menentang sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Bukankah Allah subhanahu wata’ala telah berfirman (artinya): “Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih.” (An Nuur: 63)

Kedua, takabbur karena meremehkan orang lain.

Takabbur itu bermula manakala seseorang itu merasa dirinya lebih dibanding lainnya dari sisi harta, ilmu atau, kedudukan. Lalu ia memandang orang lain dengan mata sebelah (meremehkannya). Biasanya orang yang sombong itu tampak dari gaya perkataannya yang selalu memakai kata-kata perendahan atau penghinaan kepada orang lain. Atau dari gaya penampilannya yang angkuh dan sinis, gengsi untuk menyapa orang lain atau bila disapa ia pun gengsi untuk menjawabnya bahkan ia palingkan mukanya atau ia jawab dengan muka yang masam. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):

“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang takabbur lagi membanggakan diri.” (Luqman: 18)

Para pembaca mulia, sehingga takabbur itu bukanlah identik dengan sesuatu yang bagus dan menawan. Bila diantara kita diberi reziqi dari Allah subhanahu wata’ala, lalu ia belanjakan untuk membeli kendaraan, pakaian, atau tempat tinggal yang bagus nan menawan, maka tidak boleh orang itu divonis memiliki sifat takabbur. Ketahuilah, bahkan Rabb kita Allah subhanahu wata’ala itu mencintai sesuatu yang indah dan bagus. Sedangkan takabbur itu adalah sikap meremehkan dan merendahkan manusia. Karena sifat takabbur itu tidak hanya muncul dari orang-orang kaya saja tetapi juga bisa muncul dari orang-orang miskin. Bahkan sifat takabbur yang muncul dari orang miskin itu akan mendapat ancaman siksa yang lebih keras. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

ثَلاَثَةٌ لاَ يُكَلِّمُهُمُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَ لاَيُزَكِّيهِمْ وَلاَ يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيْمٌ : شَيْخٌ زَانٍ وَمَلِكٌ كَذَّابٌ وَ

عَائِلٌ مُسْتَكْبِرٌ

“Tiga golongan yang Allah tidak berbicara kepada mereka pada hari kiamat, tidak pula mensucikan (dosa-dosa) mereka, tidak memandang mereka, dan bahkan mereka akan mendapat siksa yang pedih yaitu: orang tua yang berzina, penguasa yang pendusta, dan orang miskin yang takabbur.” (HR. Muslim dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)

Yang jelas sikap takabbur itu pada dasarnya tercela dan diharamkan dalam agama ini, baik yang muncul dari orang kaya atau orang miskin dan demikian juga yang muncul dari orang berilmu ataupun orang bodoh. Sesungguhnya rizki, ilmu, dan kedudukan itu berasal dari anugerah dari Allah subhanahu wata’ala. Barang siapa yang Allah anugerahkan kepadanya nikmat maka hendaknya ia bersyukur, niscaya Allah subhanahu wata’ala akan menambah nikmat-Nya subhanahu wata’ala kepadanya. Sebaliknya barang siapa yang kufur (menginkari) nikmat Allah subhanahu wata’ala, niscaya Allah subhanahu wata’ala akan menyiksanya. Dan siksa Allah subhanahu wata’ala itu amatlah pedih. (Lihat QS. Ibrahim: 7)

Sedangkan sifat takabbur (sombong) itu adalah hak Allah subhanahu wata’ala semata. Karena Dia-lah Rabbul ‘alamin (pencipta, pemberi rizki, pemilik dan pengatur alam semesta ini) dan Dia-lah yang memilki sifat-sifat sempurna. Seorang hamba tidak berhak memiliki sifat sombong ini karena kelemahan dan kekurangan yang ada padanya. Siapa yang bersikap sombong berarti dia telah menandingi dan menaggalkan sifat kesombongan dari Allah subhanahu wata’ala. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda dalam hadits qudsi, Allah subhanahu wata’ala berfriman:

العزُّ إِزَاِري وَ الْكِبْرِيَاءُ رِدَاءِي فَمَنْ يُنَازِعُنِي عَذَّبْتُهُ

“Keperkasaan adalah sarungku dan kesombongan adalah selendangku, dan barang siapa yang menanggalkan (sifat-Ku) niscaya Aku akan menyiksanya.” (HR. Muslim no. 2620)

Wahai saudaraku, ingatlah Karun dengan nasibnya yang malang. Karun adalah salah seorang Bani Isra’il yang Allah subhanahu wata’ala limpahkan rizki kepadanya. Harta kekayaan melimpah ruah yang kunci-kunci gudang perbendaharaannya masih terlalu berat dipikul oleh sejumlah orang kuat. Ternyata dia bukan termasuk orang yang bersyukur. Tapi sebaliknya ia malah menjadi orang yang angkuh lagi sombong. Sungguh malang nasibnya, ketika Allah subhanahu wata’ala mengakhiri kehidupannya dengan dibenamkan dirinya dalam bumi dan tiada seorangpun yang bisa menolongnya. Kisah ini bisa saudara baca dan renungi dalam surat Al Qashash ayat ke 76 - 83.

Akhir kata, semoga kajian hadits di atas dapatlah menyejukkan dan melembutkan hati kita. Dengan harapan semoga Allah subhanahu wata’ala selalu membersihkan hati kita dari penyakit takabbur dan menggolongkan kita sebagai hamba-hamba-Nya yang bertaqwa. Amien, Ya Rabbal ‘alamin.





BAHAYA RIYA DAN CARA PENGOBATANNYA


Para pembaca yang mulia…, Riya’, suatu penyakit hati yang tidak asing lagi kita dengar. Bahaya riya’ selalu menyerang kepada seseorang yang melakukan ibadah atau aktifitas tertentu.
Penyakit ini termasuk jenis penyakit yang sangat berbahaya karena bersifat lembut (samar-samar) tapi berdampak luar biasa. Bersifat lembut karena masuk dalam hati secara halus sehingga kebanyakan orang tak merasa kalau telah terserang penyakit ini. Dan berdampak luar biasa, karena bila suatu amalan dijangkiti penyakit riya’ maka amalan itu tidak akan diterima oleh Allah subhanahu wata’ala dan pelakunya mendapat ancaman keras dari Allah subhanahu wata’ala. Oleh karena itu Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam sangat khawatir bila penyakit ini menimpa umatnya. Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ الشِّرْكُ الأَصْغَرُ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا الشِّرْكُ الأَصْغَرُ قَالَ الرِّيَاءُ

“Sesungguhnya yang paling ditakutkan dari apa yang saya takutkan menimpa kalian adalah asy syirkul ashghar (syirik kecil), maka para shahabat bertanya, apa yang dimaksud dengan asy syirkul ashghar? Beliau shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Ar Riya’.” (HR. Ahmad dari shahabat Mahmud bin Labid no. 27742)

Arriya’ (الرياء) berasal dari kata kerja raâ ( راءى) yang bermakna memperlihatkan. Sedangkan yang dimaksud dengan riya’ adalah memperlihatkan (memperbagus) suatu amalan ibadah tertentu seperti shalat, shaum (puasa), atau lainnya dengan tujuan agar mendapat perhatian dan pujian manusia. Semakna dengan riya’ adalah Sum’ah yaitu memperdengarkan suatu amalan ibadah tertentu yang sama tujuannya dengan riya’ yaitu supaya mendapat perhatian dan pujian manusia.
Para pembaca yang mulia, perlu diketahui bahwa segala amalan itu tergantung pada niatnya. Bila suatu amalan itu diniatkan lkhlas karena Allah subhanahu wata’ala maka amalan itu akan diterima oleh Allah subhanahu wata’ala. Begitu juga sebaliknya, bila amalan itu diniatkan agar mendapat perhatian, pujian, atau ingin meraih sesuatu dari urusan duniawi, maka amalan itu tidak akan diterima oleh Allah subhanahu wata’ala. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

“Sesungguhnya amalan itu tergantung pada niatnya, dan sesungguhnya amalan seseorang itu akan dibalas sesuai dengan apa yang ia niatkan.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Ibadah merupakan hak Allah subhanahu wata’ala yang bersifat mutlak. Bahwa ibadah itu murni untuk Allah subhanahu wata’ala, tidak boleh dicampuri dengan niatan lain selain untuk-Nya. Sebagaimana peringatan Allah subhanahu wata’ala dalam firman-Nya (artinya):
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan (ikhlas) ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus.” (Al Bayyinah: 5)

BENTUK-BENTUK RIYA’
Bentuk-bentuk riya’ beraneka ragam warnanya dan coraknya. Bisa berupa perbuatan, perkataan, atau pun penampilan yang diniatkan sekedar mencari popularitas dan sanjungan orang lain, maka ini semua tergolong dari bentuk-bentuk perbuatan riya’ yang dilarang dalam agama Islam.

HUKUM RIYA’
Riya’ merupakan dosa besar. Karena riya’ termasuk perbuatan syirik kecil. Sebagaimana hadits di atas dari shahabat Mahmud bin Labid, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Sesungguhnya yang paling ditakutkan dari apa yang saya takutkan menimpa kalian adalah asy syirkul ashghar (syirik kecil), maka para shahabat bertanya, apa yang dimaksud dengan asy syirkul ashghar? Beliau shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Ar Riya’.”
Selain riya’ merupakan syirik kecil, ia pun mendatangkan berbagai macam mara bahaya.

BAHAYA RIYA’
Penyakit riya’ merupakan penyakit yang sangat berbahaya, karena memilki dampak negatif yang luar biasa.
Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya): “Hai orang-orang yang beriman janganlah kalian menghilangkan pahala sedekahmu dengan selalu menyebut-nyebut dan dengan menyakiti perasaan si penerima, seperti orang-orang yang menafkahkan hartanya karena riya’ kepada manusia dan tidak beriman kepada Allah dan hari akhir”. (Al Baqarah: 264)
Dalam konteks ayat di atas, Allah subhanahu wata’ala memberitakan akibat amalan sedekah yang selalu disebut-sebut atau menyakiti perasaan si penerima maka akan berakibat sebagaimana akibat dari perbuatan riya’ yaitu amalan itu tiada berarti karena tertolak di sisi Allah subhanahu wata’ala.
Ayat di atas tidak hanya mencela perbuatanya saja (riya’), tentu celaan ini pun tertuju kepada pelakunya. Bahkan dalam ayat yang lain, Allah subhanahu wata’ala mengancam bahwa kesudahan yang akan dialami orang-orang yang berbuat riya’ adalah kecelakaan (kebinasaan) di akhirat kelak. Sebagaimana firman-Nya:
“Wail (Kecelakaanlah) bagi orang-orang yang shalat, yaitu orang-orang yang lalai dari shalatnya, dan orang-orang yang berbuat riya’, … ” (Al Maa’uun: 4-7)
Diperkuat lagi, adanya penafsiran dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, makna Al Wail adalah ungkapan dari dasyatnya adzab di akhirat kelak. (Tafsir Ibnu Katsir 1/118)

Sedangkan dalam hadits yang shahih, Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan bahwa ancaman bagi orang yang berbuat riya’ yaitu Allah subhanahu wata’ala akan meninggalkannya. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Al Imam Muslim dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwasannya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Allah subhanahu wata’ala berfirman:

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيهِ مَعِي غَيْرِي تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ

“Barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan dengan mencampurkan kesyirikan bersama-Ku, niscaya Aku tinggalkan dia dan amal kesyirikannya itu”.
Bila Allah subhanahu wata’ala meninggalkannya siapa lagi yang dapat menyelamatkan dia baik di dunia dan di akhirat kelak?
Dalam hadits lain, Allah subhanahu wata’ala benar-benar akan mencampakkan pelaku perbuatan riya’ ke dalam An Naar. Sebagaimana hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan Al Imam Muslim, bahwa yang pertama kali dihisab di hari kiamat tiga golongan manusia: pertama; seseorang yang mati di medan jihad, kedua; pembaca Al Qur’an, dan yang ketiga; seseorang yang suka berinfaq. Jenis golongan manusia ini Allah subhanahu wata’ala campakkan dalam An Naar karena mereka beramal bukan karena Allah subhanahu wata’ala namun sekedar mencari popularitas. (Lihat HR. Muslim no. 1678)
Perlu diketahui, bahwa riya’ yang dapat membatalkan sebuah amalan adalah bila riya’ itu menjadi asal (dasar) suatu niatan. Bila riya’ itu muncul secara tiba-tiba tanpa disangka dan tidak terus menerus, maka hal ini tidak membatalkan sebuah amalan.

BAGAIMANA CARA MENGOBATINYA?
Di antara cara untuk mencegah dan mengobati perbuatan riya’ adalah:
1. Mengetahui dan memahami keagungan Allah subhanahu wata’ala, yang memiliki nama-nama dan sifat-sifat yang tinggi dan sempurna.
Ketahuilah, Allah subhanahu wata’ala adalah Maha Mendengar dan Maha Melihat serta Maha Mengetahui apa-apa yang nampak ataupun yang tersembunyi. Maka akankah kita merasa diperhatikan dan diawasi oleh manusia sementara kita tidak merasa diawasi oleh Allah subhanahu wata’ala?
Bukankah Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):”Katakanlah: “Jika kamu menyembunyikan apa yang ada dalam hatimu atau kamu menampakkannya, pasti Allah mengetahuinya”, …” (Ali Imran: 29)
2. Selalu mengingat akan kematian.
Ketahuilah, bahwa setiap jiwa akan merasakan kematian. Ketika seseorang selalu mengingat kematian maka ia akan berusaha mengikhlaskan setiap ibadah yang ia kerjakan. Ia merasa khawatir ketika ia berbuat riya’ sementara ajal siap menjemputnya tanpa minta izin /permisi terlebih dahulu. Sehingga ia khawatir meninggalkan dunia bukan dalam keadaan husnul khatimah (baik akhirnya) tapi su’ul khatimah (jelek akhirnya).
3. Banyak berdo’a dan merasa takut dari perbuatan riya’.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam telah mengajarkan kepada kita do’a yang dapat menjauhkan kita dari perbuatan syirik besar dan syirik kecil. Diriwayatkan oleh Al Imam Ahmad dan At Thabrani dari shahabat Abu Musa Al Asy’ari bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Wahai manusia takutlah akan As Syirik ini, sesungguhnya ia lebih tersamar dari pada semut. Maka berkata padanya: “Bagaimana kami merasa takut dengannya sementara ia lebih tersamar daripada semut? Maka berkata Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam :” Ucapkanlah:

اللَّهُمَّ إناَّ نَعُوذُ بِكَ مِنْ أَنْ نُشْرِكَ بِكَ شَيْئًا نَعْلَمُهُ, وَ نَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لاَ نَعْلَمُه

“Ya, Allah! Sesungguhnya kami berlindung kepada-Mu dari perbuatan syirik yang kami ketahui. Dan kami memohon ampunan kepada-Mu dari dosa (syirik) yang kami tidak mengetahuinya.”
4. Terus memperbanyak mengerjakan amalan shalih.
Berusahalah terus memperbanyak amalan shalih, baik dalam keadaan sendirian atau pun dihadapan orang lain. Karena tidaklah dibenarkan seseorang meninggalkan suatu amalan yang mulia karena takut riya’. Dan Islam menganjurkan umat untuk berlomba-lomba memperbanyak amalan shalih. Bila riya’ itu muncul maka segeralah ditepis dan jangan dibiarkan terus menerus karena itu adalah bisikan setan.
Apa yang kita amalkan ini belum seberapa dibandingkan amalan, ibadah, ilmu dan perjuangan para shahabat dan para ulama’. Lalu apa yang akan kita banggakan? Ibadah dan ilmu kita amatlah jauh dan jauh sekali bila dibandingkan dengan ilmu dan ibadah mereka.
Berusaha untuk tidak menceritakan kebaikan yang kita amalkan kepada orang lain, kecuali dalam keadaan darurat. Seperti, bila orang berpuasa yang bertamu, kemudian dijamu. Boleh baginya mengatakan bahwa ia dalam keadaan berpuasa. (Lihat HR. Al Imam Muslim dari sahabat Zuhair bin Harb no. 1150)
Namun boleh pula baginya berbuka (membatalkan puasa selama bukan puasa yang wajib) untuk menghormati jamuan tuan rumah.

BEBERAPA PERKARA YANG BUKAN TERMASUK RIYA’
1. Seseorang yang beramal dengan ikhlas, namun mendapatkan pujian dari manusia tanpa ia kehendaki.
Diriwayatkan oleh Al Imam Muslim dari shahabat Abu Dzar, bahwa ada seorang shahabat bertanya kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam : “Apa pendapatmu tentang seseorang yang beramal (secara ikhlas) dengan amal kebaikan yang kemudian manusia memujinya?” Maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Itu adalah kabar gembira yang disegerakan bagi seorang mukmin”.
2. Seseorang yang memperindah penampilan karena keindahan Islam.
Diriwayatkan oleh Al Imam Muslim dari shahabat Ibnu Mas’ud, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda: “Tidaklah masuk Al Jannah seseorang yang di dalam hatinya ada seberat dzarrah (setitik) dari kesombongan.” Berkata seseorang: “(Bagaimana jika) seseorang menyukai untuk memperindah pakaian dan sandal yang ia kenakan? Seraya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Sesungguhnya Allah subhanahu wata’ala itu indah dan menyukai keindahan, kesombongan itu adalah menolak kebenaran dan merendahkan orang lain”.
3. Beramal karena memberikan teladan bagi orang lain.
Hal ini sering dilakukan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Seperti Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam shalat diatas mimbar bertujuan supaya para shahabat bisa mencontohnya. Demikian pula seorang pendidik, hendaknya dia memberikan dan menampakkan suri tauladan atau figur yang baik agar dapat diteladani oleh anak didiknya. Ini bukanlah bagian dari riya’, bahkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ سَنَّ فِي الإِْسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ

“Barangsiapa yang memberikan teladan yang baik dalam Islam, kemudian ada yang mengamalkannya, maka dicatat baginya kebaikan seperti orang yang mengamalkannya tanpa mengurangi sedikitpun dari kebaikannya.” (HR. Muslim no. 1017)
4. Bukan termasuk riya’ pula bila ia semangat beramal ketika berada ditengah orang-orang yang lagi semangat beramal. Karena ia merasa terpacu dan terdorong untuk beramal shalih. Namun hendaknya orang ini selalu mewaspadai niat dalam hatinya dan berusaha untuk selalu semangat beramal meskipun tidak ada orang yang mendorongnya.
Semoga risalah ini mendorong kita untuk memperbanyak ibadah dan selalu waspada dari bahaya perbuatan riya’. Amin ya Rabbal ‘alamin.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar