Powered By Blogger

Jumat, 20 September 2013

GAYA HIDUP


Raih Rizki dengan Perkuat Doa, Ibadah dan Ikhtiar


Carilah kekayaan dunia untuk kebahagiaan akhirat. Jangan terbalik, mencari kekayaan dunia dengan melupakan akhirat, yang pada akhirnya hanya akan mengundang laknat. Seperti Tsa’labah dan Qarun
null
Kunci mencari rizki: Berdoa lalu berikhtiar
RIZKI adalah bahasan yang sangat menarik. Selain karena menjadi kebutuhan hidup di dunia, rizki juga satu bentuk karunia Allah Subhanahu Wata’ala kepada manusia, baik yang beriman maupun yang kufur. Dan, karena itu, setiap jiwa telah dipastikan rizkinya sejak di dalam kandungan.
Namun demikian, tidak berarti rizki itu bisa hadir tanpa upaya. Harus ada upaya untuk mendapatkannya. Dan, yang paling penting dari upaya tersebut adalah caranya. Apakah sesuai dengan syariat Islam atau justru menghalalkan segala cara.
Dalam pandangan paham materialisme, rizki selalu diartikan sebagai kapital, berupa modal atau uang. Oleh karena itu, di era modernisme ini semua orang berlomba-lomba mengumpulkan harta (uang). Sampai-sampai, ada dari sebagian umat Islam yang rela menanggalkan kewajiban beribadah kepada-Nya demi apa yang mereka sebut sebagai rizki (baik dalam bentuk uang atau materi lain).
Betapa banyak kita menyaksikan, orang yang siang dan malamnya selalu sibuk bekerja, sehingga tidak sempat sholat berjama’ah, tidak sempat membaca al-Qur’an, dan tidak sempat silaturrahim. Bahkan tidak sempat memberi kasih sayang kepada keluarga serta putra dan putrinya.
Rizki yang sejatinya adalah anugerah untuk semakin taat beribadah bagi seorang Muslim telah bergeser menjadi penyebab lunturnya ketajaman iman. Dalam konteks inilah, kita semua patut waspada dan bertanya. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan rizki itu. Dan, yang terpenting adalah bagaimana kita menyikapi rizki.
Apakah dengan serta merta meninggalkan kewajiban agama yang ternyata ‘dipandang’ sebagai penghambat waktu kerja, produktivitas dan efisiensi waktu dalam peraihan modal berupa uang. Atau justru sebaliknya, rizki itu diraih justru dengan meningkatkan kualitas ibadah kepada Allah Subhanahu Wata’ala.
Dalam sebuah hadits Qudsi, Allah berfirman, “Wahai anak Adam, luangkanlah waktumu untuk beribadah kepada-Ku, niscaya Aku akan memenuhi dadamu dengan kekayaan dan menutup (menyingkirkan) kefakiranmu. Jika engkau tidak melakukan, maka Aku akan memenuhi dadamu dengan kesempitan (kegelisahan) dan Aku tidak akan menyingkirkan kefakiranmu.
Hadits tersebut selaras dengan apa yang Allah tegaskan dalam al-Qur’an.
وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكاً وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى
“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (QS. Thaha [20]: 124).
Artinya, rizki itu sejatinya adalah anugerah yang jika cara mendapatkannya benar, seesuai tuntunan syariat Islam, maka kebahagiaan akan menjadi akhir hidupnya. Sebaliknya, jika dalam mendapat rizki dilakukan dengan cara-cara curang, syubhat dan haram, maka baginya kesengsaraan. Bahkan kebutaan di hari kiamat.
Arti Luas Rizki
Oleh karena itu, tidak sepatutnya seorang Muslim melihat rizki sebatas pada uang atau kekayaan belaka. Ust. Yusuf Mansur dalam bukunya “Doa-Doa Kunci Rezeki” menuliskan bahwa yang dimaksud rizki itu bukan semata uang.
Rizki dalam bentuk lainnya bisa berupa sifat istiqomah (kekonsistenan) dalam kebenaran dan jujur dalam hidupnya. Misalnya, tidak mau mengambil hak orang lain dengan zalim. Secara kasat mata, orang yang seperti itu memang tidak mendapatkan uang atau keuntungan materi apapun. Namun demikian, sesungguhnya ia telah mendapat rizki yang tak ternilai harganya. Yakni sifat mulia yang dicintai Allah Ta’ala.
Hal itu tidak lain, karena Muslim yang seperti itu adalah Muslim yang mampu mempertahankan kebenaran yang diyakni dalam dirinya. Jadi, kemampuan berpegang teguh pada kebenaran dan kejujuran hakikatnya adalah rizki yang sangat besar dan tak ternilai harganya. Dibanding kaya harta namun menanggalkan nilai-nilai kebenaran dan kejujuran.
Rizki juga bisa berupa ketenangan dan kedamaian hidup. Yakni, berupa keluarga yang sakinah, anak yang saleh dan harta yang bermanfaat lagi berkah. Bisa juga berupa kemampuan bekerja dengan baik dan benar, memiliki jiwa optimisme, positif thinking, dan memiliki teman baik. Atau kemampuan untuk bisa berbagi dan peduli terhadap orang lain. Semua itu adalah bentuk rizki yang dahsyat.
Rizki juga bisa berbentuk kemampuan untuk bisa berdoa dengan khusu’, taat beribadah dan bertakwa. Atau juga berupaya mampu melakukan ibadah secara konsisten. Bahkan, yang paling spektakuler, kata Ustad Yusuf Mansur adalah kita diberi ‘akhir hidup yang baik’ (khusnul khotimah).
Semua itu adalah bentuk rizki Allah dalam arti yang sangat luas. Yang mustahil bisa dibayar dengan uang berapapun. Dan, juga sebagai manifestasi bimbingan, petunjuk, berkah dan rahmat-Nya yang diberikan kepada umat Islam.
Perkuat Do’a, Ibadah dan Upaya
Namun demikian, Islam sama sekali tidak pernah memarginalkan arti rizki dalam bentuk materi. Materi juga bagian penting dalam kehidupan umat Islam. Maka tidak sepatutnya seorang Muslim hidup miskin apalagi papa.
Di zaman Rasulullah kita mengenal Utsman bin Affan. Saudagar kaya raya yang sholeh dan dermawan. Begitu pula Abdurrahman bin Auf. Saudagar kaya raya yang sholeh dan dermawan. Bahkan jauh sebelum itu, ada Siti Khadijah, istri Nabi yang kaya raya, sholehah dan dermawan.
Artinya, kekayaan itu penting. Oleh karena itu sangat dibutuhkan dari sebagian Umat Islam yang  berusaha menjadi orang kaya, yang dengan kekayaannya itu ia berhak atas karunia-Nya yang lebih besar di akhirat kelak, persis seperti Siti Khadijah, Abdurrahman bin Auf atau pun Utsman bin Affan.
Carilah kekayaan dunia untuk kebahagiaan akhirat. Jangan terbalik, mencari kekayaan dunia dengan melupakan akhirat, yang pada akhirnya hanya akan mengundang laknat. Seperti Tsa’labah dan Qarun.
Maka, perbanyaklah do’a karena Allah pasti mengabulkan do’a hamba-Nya (QS. 2: 186). Atau seperti dalam firman lainnya;
وَيَسْتَجِيبُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَيَزِيدُهُم مِّن فَضْلِهِ وَالْكَافِرُونَ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ
“Dan Dia memperkenankan (doa) orang-orang yang beriman serta mengerjakan amal yang saleh dan menambah (pahala) kepada mereka dari karunia-Nya.” (QS: Asy Syuura [42]: 26).
Berikutnya perbanyaklah ibadah. Seperti sholat Dhuha, sholat Tahajjud atau pun bersedekah kepada sesama. Karena Allah sangat menyukai hamba-hamba-Nya yang teguh dalam ibadah dan bermanfaat bagi banyak manusia.
Terakhir, sempurnakanlah dalam berupaya. Islam adalah agama yang dinamis dan progressif. Artinya, Islam tidak menyukai umatnya yang pasif dan berpangku tangan. Bergeraklah mencari rizki untuk kemuliaan diri, keluarga dan umat Islam. Sebagaimana dicontohkan oleh Abdurrahman bin Auf.
Ia rela hijrah demi iman ke Madinah. Setiba di Madinah ia rela memulai usahanya dari pasar. Hingga kemudian, berbekal skill dan kekonsistenan, ia tumbuh menjadi sahabat Nabi yang super kaya. Namun demikian, rizki dalam bentuk harta yang demikian melimpah itu, justru semakin membuat hatinya semakin tunduk, taat dan takwa kepada Allah Ta’ala.
Jadi, mari kita ikhtiar mencari rizki dengan semangat iman. Jika kita hidup dalam kekurangan harta, tapi memiliki kekuatan ilmu, kesabaran, keluarga yang iman dan taat beribadah, syukurilah. Itu adalah rizki yang dahsyat.
Jika semua itu kita miliki dan harta juga berlebih, maka syukurilah dengan bersegera menebarkan bagi yang membutuhkan. Tauladanilah Siti Khadijah, Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf. Agar kekayaan berupa materi itu semakin melapangkan jalan untuk menjadi hamba yang mendapat ridha Ilahi.







Muslim Sejati Gemar Muhasabah Diri


 Seyogyanya bagi seorang Muslim itu menyisihkan waktunya pada pagi hari dan sore hari untuk muhasabah diri”
null
Merugilah Muslim yang menghabiskan umurnya tanpa muhasabah
MUHASABAH secara sedehana bisa dipahami sama dengan intropeksi, yaitu seseorang bertanya kepada dirinya sendiri tentang perbuatan yang dia lakukan agar jiwa menjadi tenang, dan memastikan secara gamblang apakah perbuatan yang dilakukan dalam kehidupannya sesuai dengan perintah-perintah Allah Ta'ala.
Demikianlah yang dilakukan oleh para sahabat Nabi. Mereka tidak pernah menutup malam harinya kecuali telah melakukan muhasabah. Bahkan seorang Abu Bakar mampu menghisab dirinya sendiri sedemikian rupa.
Menjelang akhir wafatnya, Abu Bakar memanggil putrinya Aisyah radhiyallahu anha. Abu Bakar berkata, "Sesungguhnya semenjak kita menangani urusan kaum Muslimin, tidak pernah makan (dari dinar dan dirham mereka). Yang kita makan adalah makanan yang keras dan sudah rusak." (HR. Ahmad).
Demikianlah Abu Bakar menghisab dirinya sendiri. Bahkan sahabat utama Nabi itu tidak memperkenankan Aisyah mengambil apa yang dimiliki Abu Bakar. Semuanya diminta untuk diserahkan kepada Umar bin Khaththab. Tentu, langkah Abu Bakar ini sagat berat. Tetapi tatkala muhasabah telah menjadi gaya hidup maka tidak ada yang lebih penting selain menyucikan diri demi ridha Ilahi.
Abu Bakar dan sahabat Nabi yang lainnya benar-benar serius menghisab dirinya. Hal tersebut tidak lain karena hadits Nabi yang berbunyi; "Kedua kaki seorang hamba tidak akan bergeser pada hari kiamat sehingga ditanya tentang empat perkara: tentang umurnya, untuk apa dihabiskannya, tentang masa mudanya, digunakan untuk apa, tentang hartanya, dari mana diperoleh dan kemana dihabiskan, dan tentang ilmunya, apa yang dilakukan dengan ilmunya itu." (HR. Tirmidzi).
Jadi, sebagai apa pun dan di masa apa pun seorang Muslim wajib melakukan muhasabah.
Sebelum hari perhitungan benar-benar kita hadapi.  Pantas jika Umar bin Khaththab sering mengingatkan umat Islam untuk selalu melakukan muhasabah diri. "Hasibu qobla an tuhasabu," artinya hitunglah diri kalian sebelum datang hari perhitungan.
Dalam pandangan Hasan Al-Bashri muhasabah akan meringankan hisab di hari akhir. Sebab Allah tidak pernah melewatkan satu perbuatan pun melainkan telah tercatat di sisi-Nya.
  اللَّهُ وَنَسُوهُ وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ
"Allah mengumpulkan (mencatat) amal perbuatan itu, padahal mereka telah melupakannya." (QS. Al-Mujadilah: 6).
Jadi tidak sepatutnya jika seorang Muslim melewati hari-harinya tanpa melakukan muhasabah diri. Karena hanya dengan muhasabah itulah hati kita terjaga dari kelalaian, mulut terhindar dari mengucapkan keburukan dan perbuatan kita akan terpelihara dari segala maksiat dan kemunkaran.
Waktu Muhasabah
Dengan demikian muhasabah berarti perlu kita lakukan setiap hari. Mengenai waktunya, Ibnu Qayyim berkata, "Muhasabah itu dilakukan sebelum melakukan perbuatan dan setelah melakukan perbuatan." Demikian beliau terangkan dalam kitabnya Mukhtashar Minhajul Qashidin.
Muhasabah sebelum melakukan perbuatan seorang Muslim berhenti pada awal keinginan dan kehendaknya serta tidak bersegera melakukan perbuatan sampai jelas statusnya. Setidaknya ada tiga pertanyaan yang harus dijawab.
Pertama, apakah perbuatan yang diiginkan mampu dilakukan atau tidak. Kedua, apakah perbuatan itu sesuai syariat. Ketiga, apakah perbuatan itu akan dilakukan ikhlas karena Allah.
Sementara itu, untuk muhasabah setelah melakukan perbuatan dapat dicek melalui apakah perbuatannya sesuai syariat dan apakah dilakukan ikhlas karena Allah. Meurut Ibnu Qayyim muhasabah setelah melakukan perbuatan ini ada tiga macam.
Pertama, muhasabah atas ketaatan yang diabaikan. Kedua, muhasabah atas setiap perbuatan yang apabila ditinggalkan lebih baik daripada dilakukan. Ketiga, muhasabah atas perbuatan yang mubah yang tidak dilakukannya.
Lebih jauh Ibnu Qudamah berkata, "Seyogyanya bagi seorang Muslim itu menyisihkan waktunya pada pagi hari dan sore hari untuk muhasabah diri. Dan ia menghitungnya sebagaimana para pedagang dengan rekan-rekannya menghitung keuntungan dan kerugian transaksi mereka setiap akhir penjualan."
Keuntungan Melakukan Muhasabah
Dengan gemar,rutin dan terus-menerus melakukan Muhasabah diri maka kita akan memperoleh banyak manfaat atau keuntungan.
Pertama, mendorong diri sendiri semakin antusias dan konsisten melakukan amal-amal sholeh, sehinnga lahir kesadaran dan harapan akan kepada Allah hingga lahir kekhusyuk'an dalam setiap ibadah.
فَاسْتَجَبْنَا لَهُ وَوَهَبْنَا لَهُ يَحْيَى وَأَصْلَحْنَا لَهُ زَوْجَهُ إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَباً وَرَهَباً وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ
"Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyuk kepada Kami." (QS. Al-Anbiya: 90).
Kedua, tidak akan pernah lupa apalagi memandang salah karunia dan nikmat-nikat Allah yang telah dianugerahkan. Dengan kata lain akan memantik rasa syukur yang mendalam atas segala karunia Allah Ta'ala.
Ketiga, akan terhindar dari melakukan ghibah, fitnah dan namimah yang akan berakibat pada hangusnya pahala dari amalan sholeh yang disusun selama hidup. Sebab, orang yang bicaranya buruk adalah orang yang pasti tidak pernah me-muhasabah dirinya sendiri, sehingga berlaku kata pepatah: "Semut di seberang jauh kelihatan sedangkan gajah di depan mata tidak terlihat."
Dengan demikian merugilah Muslim yang menghabiskan umurnya tanpa muhasabah, sehingga keras hatinya dan buruk perangainya. Padahal, hanya dengan muhasabah semata, iman seorang Muslim akan terpelihara dan takwa menjadi nyata. Mumpung belum berpisah jauh dengan Ramadhan, yuk kita bangun budaya muhasabah diri sendiri






Yuk! Biasakan Berkata Positif Setiap Hari


Jangankan kepada manusia, bahkan mencela makanan saja Rasulullah melarang.
null
ilustrasi
Berkatalah yang baik-baik saja atau diam!
 JIKA diperhatikan secara seksasama, kata-kata kurang positif yang tidak layak belakangan ini sering sekali mewarnai media massa tanah air. Entah itu di televisi maupun media cetak. Ironisnya, mereka yang mengeluarkan kata kurang pantas itu kadang-kadang justru orang-orang terpandang.
Tidak saja itu, saling ‘serang’ pun sering terjadi di media. Satu dengan pihak lainnya saling menyudutkan dan saling menjatuhkan.
Boleh jadi, cerminan  buruk semacam itu tidak saja terjadi di media, tetapi dalam kehidupan sehari-hari dalam tubuh masyarakat. Ada banyak faktor penyebabnya, boleh jadi karena emosi, benci atau rasa kesal yang membelit hati. Akan tetapi, bagaimanapun berkata tidak positif adalah kerugian.
Oleh karena itu, Islam memberikan panduan praktis, bahwa siapa yang tidak bisa berkata baik, maka diperintahkan untuk diam. “Berkatalah yang baik atau diam.” (HR. Bukhari).
Rasulullah pun memberikan keteladanan konkrit akan hal ini. Jangankan kepada manusia, bahkan mencela makanan saja Rasulullah melarang.
Abu Hurairah bertutur, “Rasulullah itu tidak pernah mencela samasekali pada sesuatu makanan. Jika beliau ingin pada makanan itu beliau pun memakannya dan jika tidak menyukainya, maka beliau tinggalkan – tanpa mengucapkan celaan padanya.” (Muttafaq ‘alaih).
Rasulullah mengajarkan umatnya  menjaga diri dari berkata yang tidak baik. Tidak saja kepada manusia, kepada benda atau makanan pun beliau benar-benar menjaga diri dari berkata buruk. Artinya, kita sebagai umatnya juga harus bersikap yang sama seperti beliau, yakni tidak mengeluarkan kata-kata buruk kepada apa pun, lebih-lebih kepada manusia.
Haram Berkata Buruk
Dalam al-Qur’an Allah Ta’ala malah cantumkan secara gamblang bahwa tidak boleh seorang Muslim berkata buruk terhadap Muslim lainnya. Dalam konteks ini adalah mengolok-olok atau menghina saudara Muslim lainnya.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَومٌ مِّن قَوْمٍ عَسَى أَن يَكُونُوا خَيْراً مِّنْهُمْ وَلَا نِسَاء مِّن نِّسَاء عَسَى أَن يَكُنَّ خَيْراً مِّنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُوا أَنفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الاِسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ وَمَن لَّمْ يَتُبْ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman[ dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim” (QS. Al-Hujurat [49]: 11).
Dalam tafsirnya, Ibn Katsir menguraikan bahwa haram bagi seorang Muslim berkata buruk, menghina, mengolok atau apa pun yang negatif terhadap Muslim lainnya. Dan, siapa yang sering berkata buruk, maka ia termasuk kelompok pengumpat lagi pencela yang pasti akan menerima kecelakaan (QS. Al-Humazah: 1).
Dengan demikian, berkata positif adalah kewajiban. Karena pada hakikatnya di dunia ini tidak ada kesempurnaan. Oleh karena itu Basyar bin Burd (Wafat 167 H) memberikan nasehat penting bagi seluruh Muslim.
“Kalau kau selalu melihat cela pada diri sahabatmu, maka kau tak akan menemui seorang sahabat pun yang tanpa cela. Dan manusia manakah yang sama sekali bersih dari kesalahan? Adakah orang yang semua perangainya bisa engkau terima? Seseorang cukup disebut mulia bila aibnya bisa dihitung.”
Artinya, dalam pergaulan, termasuk dalam kehidupan rumah tangga, kekurangan dan cela atau aib pada diri saudara, istri, anak, orang tua dan siapa pun, pasti akan selalu ada. Pun, demikian jangan jadikan itu sebagai ejekan, olokan atau hinaan. Hal itu haram, sekali lagi haram. Selain dosa juga akan menumbuhkan bibit kebencian hingga permusuhan.
Pepatah Arab mengatakan, “Janganlah meremehkan sesuatu yang kecil dan terhina, mungkin saja jarum itu menumpahkan darah.” Artinya, tidak jarang, perkataan buruk menjadi sebab terjadinya perkelahian hingga pembunuhan. Maka dari itu, biasakanlah diam dan jangan berkata keji. Hormatilah siapa pun dan jangan merendahkan martabatnya.
Ahli hikmah berkata, “Janganlah ada ucapan kotor ketika engkau marah, sebab itu hanyalah menambah cela dan kekurangan, dan menimpuki kenegatifan dan kejelekanmu, serta mendatangkan dosa dan siksa atasmu.”
Bukti Kesempurnaan Iman
Perkataan positif hanya bisa keluar dari orang-orang yang kuat imannya, jernih hatinya dan panjang visinya. Mustahil oang yang lemah imannya, kotor hatinya dan pendek visinya bisa membiasakan diri berkata baik (positif). Sebaliknya, akan sangat mudah berkata negatif.
Jika mengacu pada matan hadits secara utuh dari perintah berkata baik atau diam ini akan kita dapati bahwa ternayta berkata baik atau diam itu adalah bukti dari kualitas keimanan seorang Muslim. “Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah dia berkata baik atau diam” (HR. Bukhari).
Dengan kata lain, orang yang suka mengumpat, mencaci, menghina atau pun perkataan buruk lainnya adalah orang yang imannya kurang sempurna bahkan mungkin sudah tak berdaya. Dengan demikian, membiasakan diri berkata positif, menjaga lisan dari berkata keji adalah bagian penting dari kehidupan, karena semua itu secara keseluruhan merupakan bukti kesempurnaan iman.
Dalam rangka menyempurnakan iman ini Abdullah bin Mas’ud sampai berkata, “Tidak ada yang lebih perlu untuk lebih lama dipenjara daripada lidahku.” Lidah memang tidak bertulang, tapi seringkali iman jadi berantakan karena lidah yang tidak terkendali.
Lebih lanjut Abdullah bin Mas’ud berkata, “Jika kau lihat temanmu melakukan dosa, jangan engkau malah menjadi teman setan mengalahkan dirinya. Maksudnya kau katakan, ‘Ya Allah, hinkanlah dia, laknatilah dia.’ Tetapi, mintalah kepada Allah agar dia peroleh ampunan.”
Bahkan, Fudhail bin Iyadh berkata, “Usahakanlah engkau pertahankan saudaramu, meski ia mempunyai tujuh puluh kesalahan. Artinya, kekurangan teman, atau siapa pun, termasuk diri sendiri, hendaknya tidak menjadi perangkap hati berkata buruk. Tetapi sebaliknya, jadikanlah semua itu sebagai bank kebaikan.
Oleh karena itu, mari senantiasa berupaya untuk mampu berkata baik (positif) dan menjauhi perkataan keji (negatif). Kalau pun ada kekurangan pada orang lain kita temukan, jangan terjebak setan untuk memperolok-olokkannya, tapi mari jadikan sebagai cara untuk meningkatkan rasa persaudaraan, cinta serta rasa kasih dan sayang.
Karena Rasulullah berpesan bahwa, “Seorang hamba tidak beriman hingga mencintai kebaikan untuk saudaranya seperti mencintai untuk dirinya sendiri” (HR. Ahmad). Sebagaimana kita senang dengan perkataan yang baik, demikian pula saudara Muslim kita seluruhnya, mereka juga mendamba perkataan positif dari mulut atau lidah kita. Dan Muslim yang baik seharusnya banyak berbuat baik daripada banyak bicara.






Mari Belajar dari Sifat Besi


Sesunnguhnya, besi memiliki sifat istimewa. Sekeras apapun ia, pada dasarnya ia patuh pada keadaan tertentu yang mengharuskannya lebur dan mencair.
null
Meski sifat besi itu ulet/kuat. ia tetap mudah dibentuk dan dikekolala
APAKAH sifat-sifat besi yang paling menonjol?” Semua orang pasti sepakat,  besi memiliki kekokohan dan keuletan materialnya. Karena logam ini  sering disebut besi tuang ulet (ductile cast iron). Menariknya, meski kuat dan ulet, ia mudah dibentuk. Dan salah satu kelemahan besi adalah mudah mengalami korosi.
Lantas, bagaimana bias benda ini bida dijadikan pelajaran (ibrah) bagi manusia?
Sesunnguhnya, besi memiliki sifat istimewa. Sekeras apapun ia, pada dasarnya ia patuh pada keadaan tertentu yang mengharuskannya lebur dan mencair. Ketika itulah ia akan tunduk kepada siapa pun yang membentuknya. Namun, ia juga memiliki sifat lemah, yakni mudah berkarat, sehingga rapuh dan kehilangan kekuatannya. Inilah Sunnatullah yang telah Allah tanamkan kepada besi, agar menjadi ibrah (pelajaran) bagi kita, sebagaimana dinyatakan-Nya dalam surah Ali ‘Imran: 190.
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَاخْتِلاَفِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لآيَاتٍ لِّأُوْلِي الألْبَابِ
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.” Kali ini, kita akan menarik ibrahnya ke dalam dunia pendidikan, baik dalam konteks sekolah maupun dakwah umum.”
Pelajaran pertama. Syarat awal seseorang bisa dididik dan diluruskan adalah jika dia telah bersedia patuh dan tunduk kepada pembentuknya.
Manakala dia telah tunduk, maka segala pemberian gurunya akan diserap seperti spons. Sebagaimana besi yang mudah dibentuk manakala telah mencair, maka hati manusia juga akan mudah diarahkan jika telah melunak. Selama masih keras, selalu timbul perlawanan dan penolakan. Jika dipaksa, hasilnya mungkin patah, mau tunduk namun tidak terlihat indah, atau kedua belah pihak sama-sama penyok.
Mendidik manusia pada dasarnya adalah perjuangan memenangkan hati, yakni melunakkannya agar bersedia lebur ke dalam kebaikan yang ditunjukkan. Oleh karenanya, dalam adab belajar yang diajarkan Islam, seorang murid harus hormat, percaya, dan tunduk kepada gurunya. Para ulama sangat menyadari bahwa tidak ada pendidikan yang berfungsi selama murid tidak bersedia mematuhi gurunya, sebagaimana sulitnya pasien untuk sembuh jika ia tidak mau menuruti nasehat dokternya.
Dalam skala luas, manusia tidak akan mendapatkan manfaat dari pendidikan Allah Subhanahu Wata’ala (yakni, al-Qur’an dan as Sunnah) selama mereka tidak bersedia tunduk kepada Allah dan Rasul-Nya. Maka, syarat pertama berproses menjadi muslim adalah mengucapkan dua kalimat syahadat, yakni bersaksi dan menerima sepenuh hati Allah sebagai satu-satunya Tuhan, dan Muhammad sebagai Rasul-Nya. Inilah awal kepasrahan diri, yakni menyerahkan seluruh otoritas kepada Allah dan Rasul-Nya, alias menyatakan kesiapan diri untuk patut tanpa syarat.
Dalam konteks inilah Allah berfirman, “Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan pena. Dia mengajari manusia apa yang tidak diketahuinya. Ketahuilah, sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas. Karena dia melihat dirinya serba cukup. (QS. al-‘Alaq: 3-7).
Menurut al-Qur’an, ketika manusia merasa serba cukup dengan dirinya sendiri dan tidak membutuhkan Tuhannya, maka mereka tidak akan bisa dididik! Karena ia sudah berpotensi sombong.
Pelajaran kedua dari sifat besi yang bias jadi pelajaran kita semua adalah; dalam pendidikan, manusia harus dikondisikan dan diantarkan agar hatinya luluh, sampai melunak dan baru siap dibimbing.
Dalam kitab al-Ghunyah, ketika membahas bagaimana seyogyanya seorang guru mendidik murid, atau juru dakwah membimbing umat, Syeikh ‘Abdul Qadir al-Jilani menulis;
“Pergaulilah murid dengan nasihat yang paling bijak. Perhatikan mereka dengan tatapan mata penuh kasih-sayang. Bersikaplah lunak dan lemah-lembut ketika mereka belum mampu menyelesaikan tugas dan latihan yang diberikan. Didik mereka seperti seorang ibu yang mengasuh anaknya; seperti seorang ayah yang penyayang, bijak dan cerdik ketika menghadapi anak-anak dan para pembantunya. Awalnya, berikan kepada mereka beban tugas yang paling mudah, dan jangan memikulkan kepada mereka sesuatu yang tidak mereka mampui; setelah itu baru berikan kepada mereka beban tugas yang lebih berat. Pertama-tama, suruh mereka untuk meninggalkan kecenderungan menuruti kebiasaan dan tabiatnya dalam segala hal. Mulailah dengan kewajiban-kewajiban syar’i yang ringan-ringan, sehingga mereka bisa keluar dari belenggu dan dominasi kebiasaan serta tabiatnya itu, dan akhirnya bisa beralih menjadi di bawah ikatan syari’at dan pengabdian di dalamnya. Kemudian, pindahkan mereka dari yang bersifat ringan-ringan itu kepada yang bersifat lebih berat sedikit demi sedikit. Hapuskan sesuatu bagian yang bersifat ringan tadi, dan tempatkan sebagai gantinya sesuatu bagian lain yang bersifat berat.”
Pelajaran ketiga dari besi adalah; jiwa manusia harus selalu dirawat dan dijaga, agar tidak berkarat dan kehilangan kekuatannya.
Sebagian ulama berkata, “Sebagaimana besi, bila tidak dipergunakan ia akan diselubungi karat sampai akhirnya hancur, demikian pula ketika hati kosong dari hikmah, ia akan didominasi oleh kejahilan sampai akhirnya mati.” (Diriwayatkan al-Khara’ithy dalam I’tilalu al-Qulub, no. 49).
Apakah “hikmah” itu? Dalam kitab At-Tafsir Al-Hadits, Syeikh Izzat Darwazah menjelaskan, “Ia (yakni, istilah hikmah) dipakai untuk menunjuk setiap perkataan, perbuatan dan sesuatu yang mengandung kebenaran, ketepatan, haqq, petunjuk, kebajikan, ma’ruf, kestabilan, dan kemantapan; yang jauh dari sifat-sifat sembrono, tolol, keras, kasar, melampaui batas, membahayakan, dan batil.”
Dengan kata lain, ketika manusia memenuhi hidupnya dengan kebalikan dari hikmah – dalam pengertiannya yang luas ini – maka sebentar lagi hatinya akan diselimuti karat, sebelum akhirnya hancur samasekali. Na’udzu billah!
Semoga kita bisa belajar dari sifat-sifat besi dan menjadikan kehidupan kita lebih baik di masa datang.






Muslim Sejati Pantang Pikirkan Diri Sendiri


null
Nikmatnya saling bersaudara dalam Islam
DI sebuah desa yang subur, hiduplah dua lelaki bersaudara. Sang kakak telah berkeluarga dengan dua orang anak, sedangkan si adik masih melajang. Mereka memiliki warisan sepetak sawah yang digarap berdua. Ketika panen tiba, hasilnya mereka bagi sama rata.
Di suatu malam usai panen, si adik duduk sendiri dan berfikir. "Pembagian ini sungguh tidak adil, seharusnya kakakku lah yang mendapat bagian lebih banyak karena dia hidup dengan istri dan kedua anaknya.
Maka di malam yang sunyi itu diam-diam dia menggotong satu karung padi miliknya dan meletakkanya di lumbung padi milik kakaknya.
Di tempat yang lain, sang kakak juga berfikir sama, "Pembagian ini adil jika adikku mendapat bagian yang lebih banyak, karena ia hidup sendiri, jika terjadi apa-apa dengannya tak ada yang mengurus, sedangkan aku ada anak dan istri yang kelak merawatku," begitu pikir sang kakak.
Maka sang kakakpun bergegas mengambil satu karung dari lumbungnya dan mengantarkan dengan diam-diam ke lumbung milik sang adik.
Kejadian ini terjadi bertahun-tahun. Namun diam-dia di benak mereka ada tanda tanya, kenapa lumbung padi mereka seperti tak berkurang meski telah menguranginya setiap kali panen?
Hingga suatu malam yang lengang setelah panen, mereka berdua tiba-tiba bertemu di tengah jalan. Masing-masing mereka sedang menggotong satu karung padi.
Akhirnya tanda tanya dalam benak mereka terjawab sudah, seketika itu juga mereka saling memeluk erat, terharu dan berurai air mata. Mereka menyadari betapa sesungguhnya mereka saling menyayangi.
Entah dari mana kisah ini berawal. Namun cerita inspiratif ini beredar luas di jejaring social Facebook dan Twitter.
***
Insan senantiasa berkeinginan membuktikan ketakwaannya dengan peduli untuk berbagi terhadap saudara Muslim lainnya. Saling membina persahabatan, persaudaraan dan persatuan dan berbagi pada sesama umat Islam cukup banyak disampaikan dalam al-Quran.
الَّذِينَ يُنفِقُونَ فِي السَّرَّاء وَالضَّرَّاء وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
“(Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Ali Imron [3]: 134).
Ayat ini panduan strategis Muslim untuk menjadi pribadi yang memiliki arti bagi agama dan kehidupan. Allah memberikan panduan praktis terkait apa yang mesti dilakukan setiap Muslim untuk menjadi insan takwa, yakni tidak hanya memikirkan diri sendiri, tetapi juga saudaranya yang lain.
Sebaliknya berupaya memberikan yang terbaik bagi sesama, baik dalam kondisi lapang maupun sempit, suka maupun terpaksa, sehat maupun sakit dan dalam seluruh keadaan.
Ibn Katsir dalam tafsirnya mengatakan, orang yang bertakwa adalah orang yang tidak hanya memikirkan diri sendiri. Tetapi orang yang disibukkkan oleh perkara-perkara yang membuatnya tunduk dan taat kepada Allah Ta’ala, berinfak di jalan-Nya dan juga berbuat baik dengan segala macam kebajikan, kepada kerabat maupun kepada saudara seiman lainnya.
Dengan demikian, maka akan terbina kerukunan sesama Muslim yang persaudaraan, pemaafan dan hubungan baik lebih diutamakan daripada keegoisan dan kesombongan serta gengsi pribadi, sehingga terciptalah persatuan dan kesatuan umat Islam. Suatu modal paling penting bagi setiap Muslim untuk menjadi pribadi yang bertakwa.
Kepedulian dan Kebersamaan
Seperti kita ketahui, Ramadhan di tahun ini, sebagian umat Islam di negara-negara lain, menjalani puasa dengan situasi yang sangat buruk. Ada yang harus menderita karena pembantaian Zionis di Palestina, pembantaian Suku Rohingya serta kesewenang-wenangan penguasa tangan besi di Suriah.
Keberadaan mereka memang cukup jauh dari negeri kita. Tetapi, adalah kewajiban umat Islam Indonesia juga untuk turut serta membantu saudara seiman kita yang sedang mengalami kesulitan dan penderitaan?
Sesungguhnya umat Islam satu dengan umat Islam lainnya ibarat satu tubuh atau satu bangunan, kata Nabi. Sudah semestinya saling membantu dan saling melindungi. Karena setiap Muslim hakikatnya adalah bersuadara.
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. (QS. Al Hujurat [49]: 10).
Oleh karena itu Allah sangat suka kepada Muslim yang mau membina persahabatan, persaudaraan dan persatuan layaknya bangunan yang kokoh, lebih-lebih dalam upaya membela agama Allah (QS. 61: 4).
Apabila hal itu terwujud, maka jaminan Allah akan menyertai kehidupan umat Islam. Rasul bersabda, “Allah akan terus menolong seorang hamba selama hamba itu senantiasa menolong saudaranya. (HR. Bukhari).
Dalam hadits Nabi lain disebutkan,  “Jika seorang Muslim mendoakan saudaranya dari kejauhan, maka malaikat akan mengucapkan: ‘Amin, dan bagimu sepertinya,” (HR. Muslim).
Rasulullah mengecam umat Islam yang tidak peduli nasib saudara seiman.
من لا يهتم بأمر المسلمين فليس منهم
Barangsiapa yang tidak peduli urusan kaum Muslimin, Maka Dia bukan golonganku.” (Al-Hadits).
“Barangsiapa yang pada pagi harinya hasrat dunianya lebih besar maka itu tidak ada apa-apanya di sisi Allah, dan barangsiapa yang tidak takut kepada Allah maka itu tidak ada apa-apanya di sisi Allah, dan barang siapa yang tidak perhatian dengan urusan kaum muslimin semuanya maka dia bukan golongan mereka” (HR. Al-Hakim dan Baihaqi).
Untuk itu mari kita tata kembali hati dan hidup kita untuk bermanfaat dan bermakna bagi sesama. Sungguh tidak artinya hidup ini, manakala hanya untuk kesenangan pribadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar