MENGHIDUPKAN KEMBALI WARISAN NABI
RASULULLAH pernah bersabda, “Barangsiapa
menghidup-hidupkan satu diantara sunnah-sunnahku, kemudian diamalkan
oleh orang lain, maka ia mendapatkan pahala sepadan dengan pahala
orang-orang yang mengamalkannya, tanpa dikurangkan sedikitpun dari
pahala mereka. Dan, barangsiapa menciptakan suatu bid’ah, kemudian
diamalkan oleh orang lain, maka ia mendapatkan dosa (sepadan) dengan
dosa orang-orang yang mengamalkannya, tanpa dikurangkan sedikitpun dari
dosa mereka.” (Riwayat Tirmidzi, hadits shahih li-ghairihi).
Alkisah,
pada suatu hari Abu Hurairah berjalan melewati pasar Madinah. Beliau
kemudian berhenti dan berkata, “Hai orang-orang di pasar, betapa
malangnya kalian ini!” Mereka bertanya, “Mengapa demikian, wahai Abu
Hurairah?” Beliau menjawab, “Itu warisan Rasulullah sedang
dibagi-bagikan, sementara kalian tetap disini. Mengapa kalian tidak
pergi kesana dan mengambil bagian kalian?” Mereka bertanya, “Dimana?”
Beliau menjawab, “Di masjid.” Maka, mereka pun bergegas-gegas keluar
menuju masjid. Abu Hurairah sendiri diam di tempatnya, sampai akhirnya
mereka kembali lagi. Beliau bertanya, “Mengapa (kalian kembali)?” Mereka
menjawab, “Hai Abu Hurairah, kami telah mendatangi masjid dan masuk ke
dalamnya. Tapi, kami tidak melihat apapun yang sedang dibagikan.” Beliau
bertanya, “Apa kalian tidak melihat seorang pun disana?” Mereka
menjawab, “Ya, benar. Kami melihat sekelompok orang sedang mengerjakan
shalat, sekelompok yang lain sedang membaca Al-Qur’an, dan sekelompok
lagi sedang mempelajari halal-haram.” Abu Hurairah berkata, “Celaka
kalian ini! Itulah warisan Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam!.”
(Riwayat Thabrani dalam al-Awsath, dengan isnad hasan).
Benar,
para Nabi tidak mewariskan emas, tanah, rumah, atau barang-barang
duniawi untuk dibagi, dilelang dan diperebutkan. Mereka mewariskan ilmu,
keyakinan, dan bimbingan. Oleh karenanya, Rasulullah bersabda, “Sungguh,
ulama’ adalah pewaris para Nabi. Sungguh, para Nabi tidaklah mewariskan
dinar (emas) maupun dirham (perak), namun mereka hanyalah mewariskan
ilmu. Siapa saja yang mengambilnya, sungguh ia telah mengambil bagian
yang sangat banyak.” (Riwayat Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah, dari Abu Darda’. Hadits shahih).
Keinginan
kuat untuk mendapatkan bagian dari “warisan kenabian” inilah yang
mendorong para pelajar di masa silam mengembara ke seluruh penjuru untuk
memburu hadits. Dalam kondisi sarana-prasarana Abad Pertengahan yang
masih serba manual, mereka menempuh jarak ribuan kilometer untuk menemui
para guru yang – kadang – hanya menyimpan satu dua teks hadits saja.
Mereka tidak perduli, sebab “warisan kenabian” itu tidak boleh
terlewatkan satu pun. Dengan tangannya pula mereka mencatat sendiri
ratusan ribu – bahkan, nyaris mencapai sejuta – teks hadits yang
berlain-lainan.
Ahmad
bin Mani’ bercerita: Ahmad bin Hanbal berjumpa dengan kami di jalan,
dan beliau baru datang dari Kufah sementara di tangannya ada sejumlah
kertas yang berisi salinan kitab-kitab. Saya pun meraih tangannya dan
berkata, “Sekali waktu ke Kufah, lalu di lain waktu ke Bashrah, sampai
kapan? Bila seseorang telah mencatat 30.000 hadits, apa tidak cukup?”
Beliau diam. “Apakah 60.000 tidak cukup?” Beliau tetap diam. “Apakah
100.000 tidak cukup?” Beliau menjawab, “Saat itulah dia baru mengerti
‘sesuatu’!” (Dari: al-Madkhal ila Madzhabi al-Imam Ahmad bin Hanbal,
karya Ibnu Badran ad-Dimasyqi).
Apakah
Anda dapat membayangkan kesungguhan dan tekad macam apa yang berkobar
di balik kata-kata: “mencatat seratus ribu hadits dengan tangan
sendiri”? Kita mungkin bisa menyepelekan hal itu di masa sekarang, sebab
pengetikan dengan komputer sudah sangat nyaman dilakukan. Bahkan,
sebagian orang diketahui meng-copy paste karya orang lain, mengganti
judulnya, lalu mengatasnamakannya untuk diri sendiri. Namun, di zaman
Imam Ahmad semua harus ditulis tangan. ‘Amru bin ‘Ashim al-Kilabi
berkata, “Saya mencatat belasan ribu hadits dari Hammad bin Salamah.”
‘Abbas ad-Dury berkata, “Saya mencatat 35.000 hadits dari Musa bin
Isma’il at-Tabudzaki.” Abu Dawud berkata, “Saya mencatat 50.000 hadits
dari Bundar Muhammad bin Basysyar.” Abu Zur’ah berkata, “Saya telah
mencatat 100.000 hadits dari Ibrahim bin Musa ar-Razy.” Abul ‘Abbas
asy-Syirazi berkata, “Saya telah mencatat 300.000 hadits dari
ath-Thabrani.” Pengakuan semacam ini sangat banyak, dan itu baru dari
satu orang guru saja. Bagaimana jika mereka telah mencatat dari ratusan
hingga ribuan guru? Ya’qub al-Fasawi dan Abu Dawud berkata, “Saya telah
mencatat dari 1.000 orang guru.” Abdullah bin al-Mubarak berkata, “Saya
telah mencatat dari 1.100 orang guru…”
Mereka
pun memburu “warisan kenabian” dalam rentang yang panjang, hingga
belasan tahun. Ahmad bin Salamah, teman karib Imam Muslim, mengaku,
“Saya mencatat hadits bersama Muslim – dalam rangka menyusun kitab
Shahih-nya – sebanyak 12.000 hadits selama limabelas tahun.” Dalam hal
ini, Imam Muslim sendiri berkata, “Saya menyusun kitab Shahih saya ini
dari (penyaringan terhadap) 300.000 hadits yang seluruhnya saya dengar
langsung (dari guru-guru saya).”
Generasi
muslim pendahulu kita tahu benar nilai “warisan kenabian” itu, dan rela
membelanjakan seluruh sumberdaya miliknya untuk mendapatkannya. Wajar
jika mereka mendapat kejayaan dan amal jariyahnya abadi sepanjang zaman.
Nama sebagian ahli hadits pernah disebut-sebut di majlis khalifah Harun
ar-Rasyid, maka beliau berkata, “Mereka adalah kaum yang abadi,
nama mereka akan disebut beriringan dengan nama Rasulullah; sementara
kami – para raja – adalah orang-orang yang akan musnah kenangannya.”
Bagaimana dengan kita di zaman ini?
SAATNYA BERGURU PADA "UNIVERSITAS RAMADHAN"
BEBERAPA hari
lagi, bulan Ramadhan akan tiba. Bulan mulia ini karena telah
mendapatkan kehormatan sebagai tuan rumah kehadiran tamu mulia bernama
al-Qur'an.
Untuk turun secara keseluruhan dalam satu kitab atau
turun pertama kalinya dalam lima ayat Surat al-'Alaq --yang pertama
disebut lailatul qadri, dan kedua nuzulul Qur'an-- bulan Ramadhan lah
yang terpilih sehingga di dalamnya menjadi mulia, barakah, dan benih
rahmat.
Soal pilih memilih itu tidak ada hubungannya dengan prestasi atau
amal shalih yang pernah dilakukan oleh bulan Ramadhan. Semua itu
semata-mata atas kehendak Allah swt. Ramadhan memang bernasib baik.
Tentu, kita ingin bernasib seperti itu, yakni dipilih Allah sebagai
tempat turun wahyu al-Qur'an. Kita ingin al-Qur'an turun pada diri dan
sanubari kita dalam bentuk hidayah dan taufiq. Bukan sebatas dalam
bentuk bacaan, hafalan, dan pemahaman, sekalipun ketiganya sebenarnya
penting dalam rangka meraih hidayatullah (petunjuk-Nya). Hanya saja jika
ketiga hal itu mandeg di tengah jalan tanpa melangkah pada jalan Allah,
tingkat kemunafikan kita semakin berbobot dan sulit beralih menjadi
muslim kaffah.
Oleh karena itu sesungguhnya kita mesti banyak berguru kepada bulan
Ramadhan. Berada di bulan itu anggap saja kita berada di sebuah
perguruan tinggi, Universitas Ramadhan. Selama sebulan penuh kaum
Muslimim menjalankan masa pendidikan di 'fakultasnya' masing-masing
sesuai bakat, kemampuan, dan peran yang diemban. Kita memang sama
beriman, tetapi tugas dan kualitas tentu berbeda. Yang sama adalah
semangat dan ambisi kita untuk diwisuda oleh Allah dengan gelar muttaqin.
Lantas kita rayakan kemenangan itu di hari Lebaran, ber-'Idul Fitri.
Sembilan kali Rasulullah dan segenap ummat Islam zaman itu merayakan
hari raya 'Idul Fitri. Dari hari raya ke sembilan, Rasulullah dan kaum
muslimin merasakan puncak kemenangan lahir dan batin.
Menang bukan hanya dalam pengertian individual berupa tunduknya hawa
nafsu dalam kekuasaan dirinya yang fitrah, tetapi juga kemenangan
komunal di kota Makkah berupa tunduknya orang-orang kafir di pusat
kekuasaan mereka sendiri. Kemenangan itu amat mulus dan indah tanpa
sepercik darah pun menetes.
Sudah sejak lama kita merindukan kemenangan 'Idul Fitri sebagaimana
yang pernah dialami ummat Islam di zaman Rasul itu. Selama ini kedukaan
senantiasa mengiringi saat-saat kita ber-'Idul Fitri. Ummat Islam telah
menjadi bulan-bulanan dan maf'ul bih (obyek) bagi kaum kafirin.
Dalam pengertian individual, bisa saja seseorang merayakan 'Idul
Fitri dengan perasaan bahagia tanpa terselip duka. Hal itu agaknya
layak, karena sebulan suntuk sebelumnya ia telah mati-matian bertarung
melawan nafsu iblisiyah, dan bersyukurlah bisa menang.
Yang menjadikannya merasa belum puas adalah, karena ia sebenarnya
masih terus berfikir tentang nasib ummat Islam secara keseluruhan yang
belum menggembirakan. Orang-orang kafir masih leluasa mempermainkan kaum
muslimin sesuka hati. Mentang-mentang mereka sedang unggul di banyak
hal, aspek ekonomi, sosial politik, budaya, dan iptek. Dari Somalia,
Iraq, Afghanistan, China, Myanmar, ummat Islam sedang berada dalam
cobaan.
Menyaksikan kebiadaban anak buah Qabil dan kehinaan
orang Islam menghadapinya, kita bisa menjadi marah luar biasa. Kemarahan
dan kebencian bagitu memuncak, sampai-sampai kita jadi lupa tentang
masalah mendasar yang sebenarnya.
Benarkah derita ummat Islam
selama ini diakibatkan oleh polah tingkah ummat kafirin? Jangan-jangan
kejahatan dan kebejatan orang kafir terhadap orang Islam itu hanya
akibat saja dari ulah perilaku ummat kita sendiri.
Kita
sendirilah yang menyebabkan keadaan layak-hina itu. Justru bila pujian
dan keseganan yang kita peroleh dari kaum kafirin, kita akan merasa
mendapatkan ejekan yang lebih menyakitkan. Sementara harapan Allah
sebenarnya begitu besar kepada ummat Islam yang hidup dengan membawa
nama-Nya.
Tentu seharusnya ummat Islam tampil baik, karena
melangkah di jalan Allah dan dalam petunjuk-Nya. Ya, semestinyalah
penampilan ummat Islam mencerminkan pribadi sebagai orang yang bertaqwa,
sebagai muttaqin.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم
مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوباً وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِي
“Harapan itulah yang hendak dicapai dengan puasa di bulan
Ramadhan sebagaimana sering dititipkan khatib pada setiap khutbah
Jum'at. Jika gelar taqwa teraih, niscaya Allah akan memuliakan jama'ah
muslimin: "Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi
Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu." (Al- Hujurat: 13)
Jika
Allah memuliakan hamba-Nya tak akan mungkin orang-orang kafir
melecehkan. Itulah yang terjadi pada jaman Nabi dan para sahabat. Bukan
saja Allah memuliakan mereka, orang kafir pun dibuat segan. Padahal
ummat Islam saat itu masih ketinggalan di bidang ekonomi dan teknologi.
Tetapi karena memiliki kekayaan di bidang aqidah, istiqamah, dan jihad,
keunggulan pun mereka dapatkan.
Sekarang kekayaan apakah yang
bisa membuat kita berwibawa dan tidak hina di hadapan Allah dan
orang-orang kafir? Jawabannya, al Qur'an.
Tapi apakah arti
al-Qur'an di depan orang-orang yang tidak yakin akan kemukjizatannya?
Ibarat Musa yang menggenggam tongkat mukjizat, tapi ia sendiri masih
ragu-ragu akan khasiatnya. Maka tongkat itu tak bermanfaat apa-apa dalam
menghadapi ular-ular tukang sihir.
Orang yang yakin kebenaran
al-Qur'an akan menampilkan bukti berupa membaca, mempelajari, memahami,
menghayati dan mengamalkannya sesuai contoh perjalanan Nabi Muhammad
saw.
Berguru kepada bulan Ramadhan berarti berguru kepada al-
Qur'an. Akrab dan bercumbu dengan Ramadhan berarti cinta kepada
al-Qur'an. Karena al-Qur'an turun di bulan suci itu sebagaimana
dikisahkan dalam surah al-Baqarah 185 yang telah dikutip di atas
MENUJU KELUARGA MUSLIM IDEOLOGIS
SETIAP
tanggal 27 Juni, bangsa Indonesia memperingatinya sebagai hari
keluarga. Keluarga adalah hasil penyatuan dua insan yang memiliki tujuan
bersama untuk membentuk sebuah institusi pernikahan. Keluarga, tempat
bersemainya generasi suatu bangsa yang kelak akan menerima estafet
perjalanan sebuah Negara. Tidak mengherankan jika ada yang menyatakan
kehancuran keluarga, akan berpengaruh pada kehancuran masyarakat.
Rapuhnya tatanan masyarakat menunjukkan pada rapuhnya
institusi-institusi keluarga yang ada di dalamnya.
Sedangkan
keluarga yang sukses adalah keluarga idaman yang mampu berkontribusi
terhadap perbaikan umat, bangsa dan Negara. Keluarga idaman yang
sama-sama kita harapkan untuk terwujud, tentunya adalah keluarga yang
diwarnai oleh sakinah, mawaddah dan rohmah. Dari keluarga seperti inilah
akan tumbuh benih-benih individu yang sholeh dan bermanfaat untuk
sekitarnya.
Islam sendiri, sebagai sebuah sistem yang mengatur seluruh aspek kehidupan, memiliki konsep mengenai keluarga (al-ahwal asy-syakhshiyyah).
Di mana keluarga dalam Islam, tidak hanya berfungsi ke dalam keluarga
itu sendiri (intern), tapi juga berfungsi keluar (ekstern). Inilah aspek
atau fungsi strategis keluarga dalam Islam. Yang kita kenal dengan
keluarga ideologis.
Fungsi
intern keluarga yang pertama dan utama, adalah menciptakan keharmonisan
pasangan yang akan menjadi cikal bakal keluarga ideologis, bahagia dan
sejahtera. Berangkat dari tujuan, visi dan misi yang dimiliki oleh
pasangan suami istri dalam membina biduk rumah tangga. Dalam Islam,
pernikahan dijalani dengan menjadikan Islam sebagai dasar dan pondasi
bagi institusi kecil ini. Islam menyatakan bahwa, akad pernikahan
merupakan mitsaaqon gholiidzon (ikatan yang kuat). Hal ini
mendorong setiap pasangan untuk berupaya menjaga keutuhan rumah
tangganya semaksimal mungkin, sebab akad ini disaksikan pula oleh
keluarga, karib kerabat bahkan yang utama di hadapan Allah SWT yang
kelak akan meminta pertanggungjawaban atas hal ini.
Pernikahan
dalam Islam pun, adalah dalam rangka ibadah untuk menggenapkan setengah
agama. Di mana, ada ladang-ladang pahala yang tidak tersedia bagi para
pemuda pemudi yang masih lajang. Seorang istri yang menyediakan masakan
bagi suami dan anak-anaknya, serta mencuci dan mensetrikakan bajunya,
akan Allah SWT ganjar dengan surgaNya. Sedangkan bagi seorang suami, ada
dosa-dosa yang tidak bisa terhapus, kecuali dengan bersungguh-sungguh
dalam mencari nafkah. Sakinah, mawaddah dan rohmah pun menjadi tujuan
dan acuan bagi keluarga ini yang akan dicapai bersama.
Fungsi
intern yang kedua adalah keluarga sebagai madrosah atau tempat
pembelajaran anggota-anggotanya, terutama pendidikan yang dilakukan
orangtua kepada putra-putrinya.
Dalam QS. At-Tahrim [66]:6 :
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً
وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ
لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
“Hai
orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api
neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya
malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah
terhadap apa ang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan
apa yang diperintahkan.” [QS. At-Tahrim [66]:6]
Dimaksudkan
dari ayat ini, khususnya bagi para orangtua, untuk memberikan
pembelajaran dan pendidikan agar anggota keluarga menjadi ulama
(orang-orang yang berilmu) dan muttaqien (orang-orang yang
bertakwa). Anak-anak tidak hanya pintar secara intelektual, tapi juga
menjadi pribadi yang sholeh, penyejuk hati orangtua dan masyarakatnya.
Ketakwaan ini sendiri, ditunjukkan dengan semangat seluruh anggota
keluarga untuk taat pada ketentuan dari Allah SWT (Syari’at Islam).
Anggota keluarga saling mendukung dan mengingatkan dalam kebaikan dan
kebenaran. Rasa takut kepada Allah SWT mewarnai kehidupan keluarga ini,
yang menghantarkan pada waro’ (kehati-hatian dalam bertindak apakah
sesuai dengan ridlo Allah SWT atau tidak).
Keluarga pun memiliki
fungsi keluar (fungsi publik dan politis). Hadits yang masyhur di dalam
Islam, adalah tentang buruknya seorang Muslim yang kenyang, sedangkan
tetangganya kelaparan. Islam menjaga hak pertetanggaan, agar saling
mengirim makanan, saling menjaga hak masing-masing, agar tidak ada yang
terdzolimi. Sampai-sampai, tetangga disepertikan saudara kita yang akan
mendapatkan hak waris kita. Konsep-konsep seperti inilah yang sejatinya
ditanamkan pada keluarga-keluarga Muslim.
Kepedulian
terhadap sesama yang senantiasa ditumbuhkan dalam keluarga ideologis,
akan membentuk jiwa-jiwa anggota keluarga yang tidak akan diam
menyaksikan saudara Muslimnya kelaparan, lemah tak berdaya, tertindas
dan terdzolimi. Tidak hanya masyarakat di sekitar rumahnya saja, tapi
hingga ke batas-batas Negara lain yang disana ada saudara seaqidahnya.
Setiap anggota keluarga akan menjadi individu yang berusaha berkarya dan
memberikan manfaat sebanyak mungkin bagi masyarakatnya.
Khilafah
Sebagaimana yang telah kita dapati bersama, gambaran keluarga seperti inilah yang kita dapatkan dalam kehidupan Khilafah Islamiyah (pemerintahan
Islam). Pada zaman ini, telah lahir para ulama dan para pemikir besar
yang menjadi peletak pondasi peradaban dunia. Yang lahir dari seorang
ibu dan ayah, dari keluarga yang sama-sama memiliki cita-cita memajukan
agama dan umatnya. Kita mengenal Imam Bukhari, salah seorang dari ahli
hadits terbesar sepanjang masa, terlahir dalam lingkungan keluarga yang
berilmu, taat beragama dan wara’. Ia lahir dari seorang ayah (Ismail)
yang menjadi ulama besar ahli hadits, berilmu dan wara’. Diceritakan,
bahwa ketika menjelang wafatnya, ia berkata : “Dalam harta yang kumiliki
tidak terdapat sedikitpun uang yang haram maupun yang subhat”. Ibunya
sangat tekun dan perhatian dalam mendidik beliau. Hingga, ibunya
mengajak beliau dan kakak sulungnya, mengunjungi berbagai kota suci,
untuk menemui para tokoh dan ulama, dalam rangka berguru ilmu hadits.
Sedangkan,
Ibnu Sina, dalam posisinya sebagai orangtua, tidak menekankan pada
kecerdasan intelektual semata. Ibnu Sina melihat tiga hal penting dalam
Al Quran, dalam rangka perkembangan anak. Yakni pendidikan moral,
pengembangan fisik dan perilakunya. Tiga hal ini akan menjadi bekal bagi
sang anak dalam menjalani kehidupannya, demi mencapai kebahagiaan dunia
dan akhirat.
Keluarga-keluarga
ideologis yang tercipta di bawah naungan syariat ini, didukung oleh
kuatnya kontrol masyarakat pada saat itu dalam penjagaan tatanan
keluarga dan lingkungan agar sesuai dengan Islam. Negara pun memastikan
agar roda kehidupan keluarga tidak hanya berjalan tapi juga berprestasi,
dengan menjamin lapangan pekerjaan bagi para bapak, membolehkan para
istri untuk menuntut ilmu yang tidak melalaikan aktivitas rumah
tangganya serta menjamin kesehatan dan pendidikan seluruh anggota
keluarga.
Hanya
saja, gambaran indah keluarga ideologis ini sedikit demi sedikit hilang
dari kaum Muslim, pada saat Khilafah Islamiyyah ditumbangkan tahun
1924, sehingga umat Muslim pun kehilangan payung pemersatu dan
penjaganya. Umat Islam dihantam oleh arus liberalisasi yang datang dari
barat. Tidak terkecuali keluarga-keluarga Muslim, yang memang menjadi
sasaran utama dalam arus liberalisasi keluarga. Gambaran keluarga yang
porak poranda pun lebih mewarnai kehidupan kita. Mulai dari pasangan
yang tidak setia, anak-anak yang durhaka pada orangtua sampai kekerasan
antar anggota keluarga, terjadi di hampir setiap belahan dunia.
Timbulnya problem kemiskinan keluarga dan hancurnya nilai-nilai mulia
dan pelalaian tugas dan fungsi keluarga yang berdampak pada hancurnya
peradaban (masyarakat dan generasi) pun tak terelakkan lagi.
Serangan
liberslisasi ini, bermula dari paradigma pendidikan yang sekuler dan
semrawut dari segi kurikulum, fasilitas dan metode pengajaran,
melahirkan output pendidikan yang brutal dan anti sosial. Hal ini tidak
berbanding lurus dengan upaya pendidikan keluarga untuk menciptakan
anak-anak yang taat dan berilmu. Penerapan sistem ekonomi kapitalistik
pun, menciptakan kehidupan serba materialistis, hedonis, individualis
dan konsumtif. Ketinggian aspek ekonomi diagung-agungkan dan menjadi
standar kebahagiaan. Mendorong para ibu berduyun-duyun ’dipaksa’ masuk
bursa kerja, meninggalkan peran strategisnya sebagai ibu dan pengatur
rumah tangga. Hal ini dikuatkan dengan penyebaran ide-ide liberal yang
dikembangkan di tengah masyarakat. Di mana reinterpretasi dan
dekontruksi pemahaman terhadap hukum-hukum Islam, yang dianggap tidak up
to date dan tidak sejalan dengan perkembangan zaman, menjadi jalan
masuk kaum liberal memasukkan ide-idenya. Seperti ide KG (Kesetaraan
Gender), feminisme, Kespro (Kesehatan Reproduksi), KB (Keluarga
Berencana) dan emansipasi, yang menjerat kaum Muslim.
Gagasan
emansipasi dan gender berupaya menggugat setiap pemahaman agama, adat
dan kebiasaan yang bias gender dalam menempatkan laki-laki dan
perempuan. Seperti kewenangan laki-laki sebagai pemimpin keluarga dan
pencari nafkah, harus diberikan pula kewenangan ini pada para perempuan.
Perempuan pun boleh menikahkan dirinya sendiri tanpa wali, tidak perlu
izin suami ketika keluar rumah dan bebas menentukan nasibnya sendiri.
Sedangkan masalah pergaulan dan seks bebas yang melanda remaja,
disolusikan dengan konsep kesehatan reproduksi remaja. Dengan konsep
seperti ini, remaja ditawarkan solusi agar tidak bergonta-ganti
pasangan, memakai kondom dan melakukan ‘seks sehat’, tidak menikah dan
melahirkan dini, untuk menghindari penyakit seperti kanker serviks dan
kerusakan pada rahim. Sedangkan KB, ditujukan untuk menekan laju
penduduk dengan membatasi angka kelahiran menjadi maksimal dua anak,
agar para istri tidak direpotkan oleh anak-anak, sehingga tetap
produktif beraktifitas di luar rumah dalam menjalani dunia kerja.
Ternyata
dengan penegakkan konsep-konsep ini, mendorong kaum perempuan dan para
ibu meninggalkan rumah-rumah mereka, menitipkan anak-anaknya dalam
asuhan para pembantu rumah tangga, penitipan anak atau para orangtuanya.
Dalam keluarga pun tercipta dua kepala rumah tangga. Percekcokan antar
pasangan muncul, dipicu kesenjangan penghasilan antara suami dan istri,
anak-anak yang broken home dan bermasalah. Para suami mencari wanita
idaman lain, para isteri pun berkoar mampu menjadi perempuan kepala
keluarga, mandiri tanpa laki-laki. Perceraian tak terelakkan, menjamur
dan menyebar. Terkait seks bebas remaja, ‘pintunya tetap dibiarkan
terbuka’ dengan dilegalisasinya kondom dan seks sehat, sedangkan pintu
pernikahan ditutup sedini mungkin. Negara pun terancam kehilangan
generasi yang mumpuni, bertakwa dan berperan dalam kemajuan bangsa dan
Negara.
Kondisi
ini menggambarkan jungkir baliknya peran dan fungsi keluarga dalam
Islam. Keluarga tidak lagi menjadi wujud harmonisnya pasangan suami
istri menciptakan rumah bak surga (baytii jannatii). Tidak lagi menjadi
madrosah pencetak generasi sholeh. Dan tidak lagi menjadi institusi yang
melahirkan cahaya petunjuk dan keberkahan. Jika hal ini terus
berlanjut, akan terbayang kehidupan seperti apa yang akan kita dan
generasi kita jalani. Rumah tidak lagi menjadi tempat mencurahkan keluh
kesah dan menghilangkan penat. Tapi menjadi tempat yang dihindari dan
menyesakkan. Rumah tidak lagi menjadi tempat pulang dan mengadukan
seluruh beban kehidupan. Tetapi menjadi beban baru yang harus
ditanggung. Tingkat stress akhirnya bertambah, tingkat keamanan akibat
generasi yang amburadul, semakin memprihatinkan, dan yang terpenting
adalah keselamatan ‘aqidah keluarga benar-benar ada dalam ancaman
liberalisasi.
Peran
dan fungsi keluarga Muslim akan kembali pada treknya, jika kita
sama-sama menyadari bahwa ada yang salah dengan visi misi
keluarga-keluarga Muslim saat ini. Yang utama adalah pengaturan Negara
yang tidak sesuai dengan Islam sehingga menghasilkan kesemrawutan.
Negara adalah tempat bernaungnya beribu-ribu keluarga. Di mana semuanya
terikat dengan kebijakan-kebijakan yang ditetapkan, yang sekuler,
liberal dan kapitalistik. Disinilah peran kita bersama dalam
mengembalikan institusi Khilafah Islamiyah sebagai penjamin
diterapkannya hukum-hukum Islam yang akan menaungi seluruh keluarga,
baik Muslim maupun non Muslim. Sebab teguhnya keluarga-keluarga yang ada
dibutuhkan dukungan dari masyarakat dan Negara, sebagai institusi
tertinggi yang memiliki kewenangan yang sangat besar. Dalam hal ini,
Khilafah Islamiyah akan mengcounter masuknya ide-ide yang
merusak kaum Muslim. Khilafah akan menerapkan sanksi yang tegas bagi
berbagai kejahatan yang datang dari rapuhnya suatu keluarga. Seperti
pembunuhan, penganiayaan, pemerkosaan, tawuran, dsb.
Di
bawah syariat Islam, akan meringankan beban orangtua dengan menyediakan
pendidikan Islami yang berkualitas, semurah mungkin bahkan hingga
gratis. Pelayanan kesehatan yang tidak diskriminatif dan murah akan
diberikan kepada seluruh warga Negara. Oleh karenanya, mari seluruh kaum
Muslim, khususnya keluarga-keluarga Muslim yang Allah SWT berkahi,
untuk menguatkan tekad dan bergandeng bersama mengembalikan tegaknya
aturan Islam, sehingga tercapai kebahagiaan hakiki dalam kehidupan
keluarga, masyarakat dan negara.*
DAPATKAN YANG HALAL DAN BERKAH
SYU’AIB bin Harb – seorang atba’ tabi’in yunior – berkata, “Jangan
menyepelekan uang receh (fulus) yang engkau dapatkan melalui suatu cara
di mana engkau menaati Allah Subhanahu Wata'ala di dalamnya. Bukan uang
receh itu yang akan digiring (menuju Allah), akan tetapi ketaatanmu.
Bisa jadi dengan uang receh itu engkau membeli sayur-mayur, dan tidaklah
ia berdiam di dalam rongga tubuhmu hingga akhirnya dosa-dosamu
diampuni.” (Dari: al-Hatstsu ‘ala at-Tijarah wa ash-Shina’ah, karya Abu Bakr al-Khallal).
Demikianlah,
sebuah perkerjaan tidaklah dinilai dari besar kecilnya gaji yang
diperoleh, akan tetapi dari cara kita melakukannya. Pertanyaan mendasar
yang harus dicamkan adalah, “Apakah Allah ridha dengan pekerjaanku ini?”
Inilah
cara berpikir seorang Muslim, sebagaimana diajarkan Nabinya; bukan
menuruti logika materialis-atheis yang hanya mengedepankan pragmatisme.
Cara berpikir pragmatis tak bertuhan inilah yang membuat sebagian orang
dengan berani menyebut perzinaan sebagai “pekerjaan”, seolah-olah hendak
menyamakannya dengan guru, petani, pedagang, advokat atau birokrat.
Bukankah sebagian besar kita telah terbiasa melafalkan PSK (Pekerja Seks
Komersial), dan bukannya pelacur atau pezina? Astaghfirullah.
Bekerja
mendapatkan rezeki yang halal adalah kebajikan, apapun bentuk dan
derajatnya di mata manusia. Bahkan, Rasulullah menjadikannya sebagai
salah satu kewajiban bagi umatnya. Beliau bersabda, “Mencari yang halal adalah kewajiban setiap Muslim.” (Riwayat Thabrani dalam al-Awsath, dari Anas bin Malik. Menurut al-Haitsami: isnad-nya hasan).
Itu
artinya, pekerjaan yang halal bisa bermakna ibadah. Setiap tetes
keringat akan dihargai dengan pahala berlipat ganda. Apapun yang
dihasilkannya menjadi berkah, dan semakin menguatkan tali perhubungan
dengan Sang Pencipta. Rasulullah bersabda, “Sungguh, tidaklah engkau
memberikan nafkah yang dengan itu engkau mengharapkan wajah Allah,
melainkan engkau pasti diberi pahala, bahkan terhadap (sesuap makanan)
yang engkau suapkan ke mulut istrimu.” (Riwayat Bukhari dan Muslim, dari Sa’ad bin Abi Waqqash).
Pekerjaan
kasar yang mengandalkan otot sama mulianya dengan pekerjaan
intelektual, asalkan halal. Dan, tentu saja bekerja jauh lebih baik
dibanding mengemis, bagaimana pun caranya.
Anas
bin Malik bercerita, bahwa seseorang dari kaum Anshar datang kepada
Nabi untuk meminta-minta. Beliau pun bertanya, "Tidak adakah sesuatu apa
pun di rumahmu?" Ia menjawab, “Ya, ada. Kain alas pelana yang sebagian
kami buat pakaian dan sebagian lagi kami hamparkan (untuk tikar), serta
gelas besar yang kami gunakan untuk minum.” Beliau bersabda, "Bawalah
keduanya kepadaku." Ia kemudian membawanya. Beliau mengambilnya dengan
tangan beliau dan berkata, "Siapa yang mau membeli kedua barang ini?"
Seorang laki-laki berkata, “Saya membelinya dengan satu dirham.” Beliau
berkata, "Siapa yang menambah lebih dari satu dirham?" Beliau
mengatakannya dua atau tiga kali. Seorang laki-laki berkata, “Saya
membelinya dengan dua dirham.” Kemudian beliau memberikannya kepada
orang tersebut, dan mengambil uang dua dirham. Beliau memberikan uangnya
kepada orang Anshar itu dan bersabda, "Belilah makanan dengan satu
dirham kemudian berikan kepada keluargamu, dan belilah (mata) kapak lalu
bawalah kepadaku." Orang itu membawa (mata) kapaknya kepada Nabi, lalu
mengikatkan sebatang kayu padanya dengan tangan beliau sendiri. Beliau
bersabda, "Pergilah, kemudian carilah kayu dan juallah. Jangan sampai
aku melihatmu selama lima belas hari." Orang itu pun pergi mencari kayu
serta menjualnya, lalu datang lagi dan telah memperoleh uang sepuluh
dirham. Sebagian ia belikan pakaian, sebagian lagi makanan. Kemudian
Rasulullah bersabda, "Ini lebih baik bagimu daripada sikap meminta-minta
itu kelak berubah menjadi noktah di wajahmu pada Hari Kiamat. Sungguh,
meminta-minta itu tidak layak kecuali bagi tiga (jenis) orang, yaitu:
orang fakir yang sangat melarat, atau orang yang terbebani hutang sangat
berat, atau orang yang menanggung diyat (biaya tebusan atas pembunuhan)
sementara ia tidak mampu membayarnya." (Riwayat Abu Dawud dan Ibnu
Majah. Sanad-nya dha’if).
Sebaliknya,
pekerjaan yang terkesan mentereng dan bergaji besar, sangat boleh jadi
hanya akan menjadi beban dosa dan kehinaan jika tidak diridhai Allah.
Dari waktu ke waktu hanya akan memicu kegersangan, kekacauan, dan
berakhir sebagai siksa tak terperikan. Semakin digeluti semakin
menggelisahkan, sebab dosa-dosanya semakin menumpuk. Dalam Tafsir Zaadul
Masir dikatakan bahwa pekerjaan yang haram adalah bagian dari siksa
Allah, yaitu “kehidupan yang sempit” sebagai akibat dari kelalaian,
keberpalingan dan meninggalkan tuntunan Allah. Sebagaimana firman-Nya
وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكاً وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى
قَالَ رَبِّ لِمَ حَشَرْتَنِي أَعْمَى وَقَدْ كُنتُ بَصِيراً
قَالَ كَذَلِكَ أَتَتْكَ آيَاتُنَا فَنَسِيتَهَا وَكَذَلِكَ الْيَوْمَ تُنسَى
“Dan
barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya
penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada Hari Kiamat
dalam keadaan buta. Berkatalah ia: "Ya Tuhanku, mengapa Engkau
menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya bisa
melihat?" Allah berfirman: "Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat
Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini kamu pun
dilupakan." (QS. Thaha: 124-126).
Dengan
kata lain, menurut Islam, kehidupan yang lapang – pertama-tama – bukan
diukur dari lapangnya materi, namun dari aspek keselarasan kehidupan itu
dengan tuntunan Allah. Baru setelahnya, aspek-aspek lain mengikuti.
Entah melarat atau kaya-raya, jika kehidupan seseorang tidak sejalan
syari’at, maka layak disebut sebagai “kehidupan yang sempit”.
Sama
juga, apakah fakir atau serba berkecukupan, kehidupan yang mengikuti
aturan Allah adalah “kehidupan yang lapang” itulah yang namanya berkah. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar