Powered By Blogger

Senin, 28 Mei 2012

KELUARGA ISLAMI

 KELUARGA SAKINAH, MODAL UNTUK REUNI DISURGA


MAHA SUCI Allah Subhanahu Wata’ala yang telah menciptakan makhluk-Nya berpasang-pasangan. Berjenis laki-laki dan perempuan. Ada kutub positif dan kutub negatif. Ada siang dan malam. Suka dan duka. Sedih dan gembira. Jika bisa dikelola dengan baik, perputaran dan pergiliran dua keadaan yang saling kontradiktif, kehidupan manusia menjadi dinamis dan romantis.

Allah Subhanahu Wata’ala juga telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui. (QS. Yasin (36) : 36)

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan kamu dari tanah, kemudian tiba-tiba kamu (menjadi) manusia yang berkembang biak. Di antara tanda-tanda keagungan Allah ialah, Dia menciptakan bagimu, dari jenismu sendiri, pasangan-pasangannya, supaya kamu hidup tenteram bersamanya, dan dijadikan Allah bagimu cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya dalam hal itu ada tanda-tanda bagi orang-orang yang mau berfikir.” (QS. Ar Rum (30) : 20-21).

Mitsaqan Ghalizha

Ayat ini ditempatkan Allah Subhanahu Wata’ala pada rangkaian ayat tentang tanda-tanda kebesaranNYA di alam semesta -  tegaknya langit, terhamparnya bumi, turunnya air hujan, gemuruhnya suara halilintar, dan keajaiban penciptaan manusia. Dengan ayat di atas Allah Subhanahu Wata’ala ingin menegaskan dan mengajarkan kepada kita betapa Ia dengan sengaja menciptakan kekasih yang menjadi pasangan/pendamping setia hidup manusia.

Diciptakan Allah Subhanahu Wata’ala bumi dengan segala yang ada di atasnya – samudera luas, bukit tinggi, rimba belantara – untuk kebahagiaan manusia. Diedarkan Allah Subhanahu Wata’ala mentari, rembulan, gugusan bintang-gemintang, dijatuhkan-Nya hujan, ditumbuhkan-Nya pepohonan, dan disirami-Nya tetanaman, semua karunia itu untuk kebahagiaan manusia.
Tetapi, Allah Subhanahu Wata’ala Yang Maha Mengetahui memberikan lebih daripada itu. Diketahui-Nya getar dada kerinduan hati. Yaitu bersanding sehidup semati dengan si jantung hati. Betapa sering kita memerlukan seseorang yang mau mendengar bukan saja kata yang diucapkan, melainkan juga jeritan hati yang tidak terungkapkan, yang bersedia menerima segala perasaan – tanpa pura-pura, prasangka, dan pamrih. Karena itu diciptkan-Nya seorang kekasih. Allah Subhanahu Wata’ala tahu, pada saat kita diharu biru, diempas ombak, diguncang badai, dan dilanda duka, kita memerlukan seseorang yang mampu meniupkan kedamaian, mengobati luka, menopang tubuh yang lemah, dan memperkuat hati – tanpa pura-pura, prasamgka, dan pamrih. Karena itu diciptakan-Nya seorang kekasih. Allah Subhanahu Wata’ala tahu, kadang-kadang kita berdiri sendirian lantaran keyakinan atau mengejar impian. Kita memerlukan seseorang yang bersedia berdiri di samping kita tanpa pura-pura, prasangka dan pamrih. Karena itu diciptakan-Nya seorang kekasih.
Supaya hubungan antara pencinta dan kekasihnya itu menyuburkan ketentraman, cinta, dan kasih sayang, Allah Subhanahu Wata’ala menetapkan suatu ikatan suci, yaitu aqad nikah. Dengan ijab (penyerahan) dan qobul (penerimaan) terjadilah perubahan besar: yang haram menjadi halal, yang masiat menjadi ibadat, kekejian menjadi kesucian, dan kebebasan menjadi tanggung jawab. Nafsu pun berubah menjadi cinta (mawaddah) dan kasih (rahmah) dan ulfah (hubungan yang jinak).
Begitu besarnya perubahan itu sehingga Al Quran menyebut aqad nikah sebagai mitsaqan ghalizha (perjanjian yang berat). Hanya tiga kali kata ini disebut di dalam Al Quran.
Pertama, ketika Allah Subhanahu Wata’ala membuat perjanjian dengan para Nabi – Nabi Nuh, Ibrahim, Musa, Isa dan Muhammad saw.

وَإِذْ أَخَذْنَا مِنَ النَّبِيِّينَ مِيثَاقَهُمْ وَمِنكَ وَمِن نُّوحٍ وَإِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ وَأَخَذْنَا مِنْهُم مِّيثَاقاً غَلِيظاً
“Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil perjanjian dari nabi-nabi dan dari kamu (sendiri), dari Nuh, Ibrahim, musa, dan Isa putera Maryam, dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang berat.” (QS: Al Ahzab (33): 7).

Kedua, ketika Allah Subhanahu Wata’ala mengangkat Bukit Thur di atas kepala bani Israil dan menyuruh mereka bersumpah setia di hadapan Allah Subhanahu Wata’ala

وَرَفَعْنَا فَوْقَهُمُ الطُّورَ بِمِيثَاقِهِمْ وَقُلْنَا لَهُمُ ادْخُلُواْ الْبَابَ سُجَّداً وَقُلْنَا لَهُمْ لاَ تَعْدُواْ فِي السَّبْتِ وَأَخَذْنَا مِنْهُم مِّيثَاقاً غَلِيظاً
“Dan telah Kami angkat ke atas (kepala) mereka bukit Thursina karena (mengingkari) perjanjian (yang telah Kami ambil dari) mereka. Dan Kami perintahkan kepada mereka : Masukilah pintu gerbang itu sambil bersujud, dan Kami perintahkan (pula) kepada mereka : Janganlah kamu melanggar peraturan mengenai hari Sabtu, dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang berat.” (QS: An Nisa (4) : 154).

Ketiga, ketika Allah Subhanahu Wata’ala menyatakan hubungan pernikahan (QS. An Nisa (4) : 21).

وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَى بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنكُم مِّيثَاقاً غَلِيظاً
“Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.”

Mitsaqan ghalizha
berarti kita sepakat untuk menegakkan dinul islam dalam rumah, sepakat untuk membina rumah tangga sakinah, mawaddah dan rahmah serta ulfah. Sepakat meninggalkan masiat. Sepakat saling mencintai karena Allah Subhanahu Wata’ala. Menghormati dan menghargai. Saling menerima kelebihan dan kekurangan masing-masing. Saling menguatkan keimanan. Saling menasihati dalam menetapi kebenaran dan saling memberi nasihat dengan kasih sayang. Saling setia dalam suka dan duka, kefakiran dan kekayaan, sakit dan sehat.
Pernikahan juga bermakna sepakat meniti hari demi hari dengan kebersamaan. Sepakat untuk saling melindungi dan menjaga. Saling memberikan rasa aman. Saling mempercayai dan menutup aib. Saling mencurahkan dan menerima keluhan dan perasaan. Saling berlomba dalam beramal. Saling memaafkan kesalahan. Saling menyimpan dendam dan amarah.

Pernikahan berarti pula sepakat untuk tidak melakukan penyimpangan. Tidak saling menyakiti perasaan dan pisik. Juga sepakat untuk mengedepankan sikap lemah lembut dalam ucapan, santun dalam pergaulan, indah dalam penampilan, mesra dalam mengungkapkan keinginan. 

Ijab Qabul, Bukan Peristiwa Kecil

Karena itu peristiwa aqad nikah bukanlah kejadian kecil di hadapan Allah Subhanahu Wata’ala. Akad nikah sama tingginya dengan perjanjian para rasul, sama dahsyatnya dengan perjanjian bani Israil di bawah bukit Thursina yang bergantung diatas kepala mereka.

Peristiwa aqad nikah tidak saja disaksikan oleh kedua orangtua, sudara-saudara, dan sahabat-sahabat, sanak famili, handai taulan, tetangga, tetapi juga disaksikan oleh para malaikat di langit yang tinggi, dan terutama sekali disaksikan oleh Allah Subhanahu Wata’ala Penguasa alam semesta.
Bila perjanjian ini disia-siakan, diceraikan ikatan tali hubungan yang sudah terbuhul, diputuskan janji setia yang telah terpatri, kita tidak saja harus bertanggung jawab kepada semua yang hadir menyaksikan peristiwa yang berkesan itu, tetapi juga bertanggung jawab di hadapan Allah Subhanahu Wata’ala Swt.

وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلىَ بَيْتِ زَوْجِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُوْلَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا (رواه البخاري ومسلم)
“Laki-laki adalah pemimpin di tengah keluarganya, dan ia harus mempertanggungjawabkan kepemimpinannya. Wanita adalah pemimpin di rumah suaminya, dan ia harus mempertanggungjawabkan kepemimpinannya.” (HR. Bukhari Muslim).

Kata Rasulullah, “Yang paling baik di antara kamu adalah yang paling baik dan paling lembut terhadap keluarganya.” (Al Hadits).

Mengapa Kita Memelihara Ikatan Itu ?

Mengapa Allah Subhanahu Wata’ala dan Rasul-Nya mewasiatkan agar kita memelihara aqad nikah yang sakral ini? Mengapa kebaikan manusia diukur dari cara dia memperlakukan keluarganya? Mengapa suami dan isteri harus mempertanggungjawabkan peran yang dilaksanakan di hadapan Allah Subhanahu Wata’ala?
Jawabannya sederhana: Karena Allah Subhanahu Wata’ala Maha Mengetahui bahwa kebahagiaan dan penderitaan manusia sangat tergantung pada hubungan mereka dengan orang-orang yang dicintai mereka, yakni dengan keluarganya. Bila di dunia ini ada surga, kata Marie von Ebner Eschenbach, surga itu adalah pernikahan yang bahagia. Tetapi, bila di dunia ini ada neraka, neraka itu adalah pernikahan yang gagal. Para psikolog menyebutkan persoalan rumah tangga sebagai penyebab stress yang paling besar dalam kehidupan manusia.
Karena itulah, Islam dengan penuh perhatian mengatur urusan rumah tangga. Sebuah ayat pernah diturunkan dari langit hanya untuk mengatur urusan pernikahan antara Zainab dan Zaid bin Haritsah. Sebuah surat turun untuk mengatur urusan rumah tangga seluruh kaum muslimin. Ribuan tahun yang silam, di Padang Arafah, di hadapan ratusan ribu ummat islam yang pertama, Rasulullah saw. menyampaikan khotbah perpisahan.

اَيُّهَا النَّاسُ فَا تَّقُوا اللهَ فِي النِّسَاءِ فَاِنَّكُمْ اَخَذْتُمُوْهُنَّ بِأَمَانَةِ اللهِ وَاسْتَحْلَلْكُمْ فُرُوْجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللهِ , اِنَّ لَكُمْ عَلىَ نِسَائِكُمْ حَقًّا , وَلِنِسَائِكُمْ عَلَيْكُمْ حَقًّا أَلاَ وَاسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا فَاِنَّهُنَّ عَوَانٌ عِنْدَكُمْ , لاَ يَمْلِكُنَّ ِلاَنْفُسِهِنَّ شَيْئًا وَلَيْسَ تَمْلِكُوْنَ مِنْهُنَّ شَيْئًا غَيْرَ ذَلِكَ فَاِنْ اَطَعْنَكُمْ فَلاَ تَبْغُوْا عَلَيْهِنَّ سَبِيْلاً

“Wahai manusia, takutlah kepada Allah Subhanahu Wata’ala akan urusan wanita. Sesungguhnya kamu telah mengambil mereka sebagai istri dengan amanat Allah Subhanahu Wata’ala. Kami halalkan kehormatan mereka dengan kalimah Allah Subhanahu Wata’ala. Sesungguhnya kamu mempunyai hak atas istrimu, dan istrimu pun mempunyai hak atasmu. Ketahuilah, aku wasiatkan kepada kalian untuk berbuat baik terhadap istri kalian. Mereka adalah penolong kalian. Mereka tidak memilih apa-apa untuk dirinya, dan kamu pun tidak memilih apa-apa dari diri mereka selain itu. Jika mereka patuh kepadamu, janganlah kamu berbuat aniaya terhadap mereka.” (HR. Muslim dan Turmudzi).*




menjadi imam yang adil

 Saudaraku, dengan izin Allah Subhanahu Wata’ala jualah Anda sampai pada saat yang paling indah, paling bahagia, tetapi juga paling mendebarkan dalam kehidupan Anda. Saat paling indah, sebab mulai sejak sekarang cinta tidak lagi berbentuk khayalan dan impian. Saat yang paling bahagia, sebab akhirnya Anda berhasil mendampingi wanita yang Anda cintai. Saat yang paling mendebarkan, sebab mulai saat ini Anda memikul amanat untuk menjadi pemimpin (qowwam) keluarga.

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاء بِمَا فَضَّلَ اللّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُواْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللّهُ وَاللاَّتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلاَ تَبْغُواْ عَلَيْهِنَّ سَبِيلاً إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلِيّاً كَبِيراً

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah Subhanahu Wata’ala telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu maka wanita yang salehah, ialah yang taat kepada Allah Subhanahu Wata’ala lagi memelihara diri [tidak berlaku curang serta memelihara rahasia dan harta suaminya] ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah Subhanahu Wata’ala telah memelihara (mereka) [mempergauli istrinya dengan baik]. wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya [meninggalkan rumah tanpa izin suami], maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Subhanahu Wata’ala Maha Tinggi lagi Maha besar.” (QS. An Nisa (4) : 34)

Menyusahkannya, maksudnya  untuk memberi peljaran kepada isteri yang dikhawatirkan pembangkangannya haruslah mula-mula diberi nasehat, bila nasehat tidak bermanfaat barulah dipisahkan dari tempat tidur mereka, bila tidak bermanfaat juga barulah dibolehkan memukul mereka dengan pukulan yang tidak meninggalkan bekas. bila cara pertama telah ada manfaatnya janganlah dijalankan cara yang lain dan seterusnya.

Kalau pada saat ini dada Anda berguncang, darah Anda berdebur, dan suara Anda bergetar, itu adalah pertanda Anda tengah memasuki babak baru dalam kehidupan Anda. Dahulu Anda adalah manusia bebas yang boleh pergi sesuka Anda. Tetapi sejak hari ini Anda belum juga pulang setelah larut malam, di rumah Anda ada seorang wanita yang tidak bisa tidur karena mencemaskan Anda. Kini, bila berhari-hari Anda tidak pulang tanpa berita, di kamar Anda ada seorang perempuan lembut yang akan membasahi bantalnya dengan linangan air mata. Dahulu bila Anda mendapat musibah, Anda hanya mendapat ucapan ‘turut berduka cita’ dari sahabat-sahabat Anda. Tetapi kini, seorang istri akan bersedia mengorbankan apa saja agar Anda meraih kembali kebahagiaan Anda. Anda sekarang mempunyai kekasih yang diciptakan Allah Subhanahu Wata’ala untuk berbagi suka dan duka, berbagi rasa dan empati dengan Anda.

Saudaraku, wanita yang duduk di samping Anda bukanlah segumpal daging yang dapat Anda kerat dengan tidak semena-mena, dan bukan pula budakm belian yang dapat Anda perlakukan sewenang-wenang. Ia adalah wanita yang dianugerahkan Allah Subhanahu Wata’ala untuk membuat hidup Anda lebih indah dan lebih bermakna. Ia adalah amanat Allah Subhanahu Wata’ala yang akan Anda pertanggungjawabkan di hadapan-Nya.

اِثْنَانِ يُعَجِّلُهُمَا اللهُ فِي الدُّنْيَا اَلْبَغْيُ وَعُقُوْقُ الْوَالِدَيْنِ

“Ada dua dosa yang akan didahulukan Allah Subhanahu Wata’ala siksanya di dunia ini juga, yaitu al baghyu dan durhaka kepada orangtua.” (HR. Turmudzi, Bukhari dan Thabrani).

Al baghyu adalah berbuat sewenang-sewenang, berbuat zalim dan menganiaya orang lain. Dan al-baghyu yang paling dimurkai Allah Subhanahu Wata’ala ialah berbuat zalim terhadap istri sendiri. Termasuk al-baghyu ialah menterlantarkan istri, menyakiti hatinya, merampas kehangatan cintanya, merendahkan kehormatannya, mengabaikannya dalam mengambil keputusan, dan mencabut haknya untuk memperoleh kebahagiaan hidup bersama Anda. Karena itulah Rasulullah Saw. mengukur tinggi rendahnya martabat seorang laki-laki dilihat dari cara ia bergaul dengan istrinya.

مَا أَكْرَمَ النِّسَاءَ اِلاَّ كَرِيْمٌ وَمَاأَهَانَهُنَّ اِلاَّ لَئِيْمٌ

“Tidak memuliakan wanita kecuali laki-laki yang mulia. Tidak merendahkan wanita kecuali laki-laki yang rendah juga.”

“Laki-laki yang tidak sukses dalam mengendalikan keluarganya, membiarkannya berbuat maksiat, ia termasuk dayyus (bencong). Tidak akan masuk surga orang yang bencong (la yadkhulul jannata dayyusan).”
(al-Hadits).

Rasulullah Muhammad adalah manusia yang paling mulia. Ia melayani keperluan istrinya, memasak, menyapu lantai, memerah susu, dan membersihkan pakaian, cerita Aisyah. Dia memanggil istrinya dengan gelaran yang baik. Ya humaira (wahai yang memiliki pipi kemerah-merahan).

Sepeninggal Rasulullah ada beberapa orang menemui Aisyah, memintanya agar menceritakan perilaku Rasulullah saw. Aisyah sesaat tidak menjawab pertanyaan itu. Air matanya berderai, kemudian dengan nafas panjang, Ia berkata :

كَانَ كُلُّ أَمْرِهِ عَجَبًا

(semua perilakunya mengagumkan).
Ketika didesak untuk menceritakan perilaku Rasul yang paling mempesona, Aisyah kemudian mengisahkan bagaimana Rasulullah yang mulia bangun di tengah malam dan meminta izin kepada Aisyah untuk shalat malam. Izinkan aku menyembah Tuhanku, ujar Rasulullah kepada Aisyah. Bayangkan, sampai shalat malam saja diperlukan izin istrinya. Disitu terhimpun kemesraan, kesucian, kesetiaan dan penghormatan.

Muliakan istri saudara sedemikian rupa sehingga kelak, bila Allah Subhanahu Wata’ala menakdirkan Anda meninggal dahulu, lalu kami tanyai istri Anda tentang perilaku Anda, ia akan menjawab seperti Aisyah : Ah ………… semua perilakunya indah, mengagumkan.

Menjadi Makmum Yang Taat

Saudariku, Rasulullah saw pernah bersabda :

وَلَوْ كُنْتُ اَ مِرًا اَحَدًا اَنْ يَسْجُدَ ِلاَحَدٍ لَاَمَرْتُ النِّسَاءَ اَنْ يَسْجُدْنَ لِاَزْوَاجِهِنَّ لِمَا جَعَلَ اللهُ لَهُمْ عَلَيْهِنَّ مِنَ الْحَقِّ
   
“Seandainya aku boleh memerintahkan manusia bersujud kepada manusia lain, akan aku perintahkan istri untu bersujud kepada suaminya karena besarnya hak suami yang dianugerahkan Allah Subhanahu Wata’ala atas mereka.” (HR. Abu Daud, Al Hakim, dan At Turmudzi)

Banyak istri yang menuntut agar suaminya membahagiakan mereka. Jarang terpikirkan bagaimana ia berupaya membahagiakan suami. Mawaddah dan rahmah tumbuh berkembang dalam suasana memberi bukan mengambil. Cinta adalah sharing – saling berbagi.

Saudariku, Anda boleh memberi apa saja yang Anda miliki kepada pasangan Anda. Tetapi, bagi suami, tiada suatu pemberian istri yang paling membahagiakan selain hati yang selalu siap berbagi rasa, berbagi kesenangan dan penderitaan.

Di luar rumah ia menemukan wajah-wajah tegar, mata-mata tajam, ucapan kasar, pergumulan hidup yang berat, digoncangkan dengan berbagai kesulitan. Ia ingin kembali ke rumah, disitu ditemukan wajah yang ceria, penerimaan yang tulus, ucapan yang lembut, pAndangan mata yang sejuk, yang bersumber dari keteduhan kasih sayang Anda. Suami saudari ingin mencairkan seluruh beban jiwanya dengan kehangatan air mata yang keluar dari telaga kasih sayang Anda.

خَيْرُ النِّسَاءِ الَّتِيْ اِذَا نَظَرْتَ اِلَيْهَا سَرَّتْكَ وَاِذَا اَمَرْتَهَا اَطَاعَتْكَ وَاِذَا غِبْتَ عَنْهَا حَفِظَتْكَ فِي نَفْسِهَا وَمَالِكَ

“Istri yang paling baik ialah yang membahagiakanmu bila kamu memandangnya, yang mematuhimu bila kamu menyuruhnya, dan memelihara kehormatan dirinya dan hartamu bila kamu tidak ada.” (HR. Thabrani).

Allah Subhanahu Wata’ala membuat isteri Nuh dan isteri Luth sebagai perumpamaan bagi orang-orang kafir. keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua isteri itu berkhianat kepada suaminya (masing-masing), Maka suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikitpun dari (siksa) Allah Subhanahu Wata’ala; dan dikatakan (kepada keduanya): "Masuklah ke dalam Jahannam bersama orang-orang yang masuk (jahannam)." (QS. At-Tahrim (66) : 10).

Artinya, nabi-nabi sekalipun tidak dapat membela isteri-isterinya atas azab Allah Subhanahu Wata’ala apabila mereka menentang agama.

وَضَرَبَ اللَّهُ مَثَلاً لِّلَّذِينَ آمَنُوا اِمْرَأَةَ فِرْعَوْنَ إِذْ قَالَتْ رَبِّ ابْنِ لِي عِندَكَ بَيْتاً فِي الْجَنَّةِ وَنَجِّنِي مِن فِرْعَوْنَ وَعَمَلِهِ وَنَجِّنِي مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ
وَمَرْيَمَ ابْنَتَ عِمْرَانَ الَّتِي أَحْصَنَتْ فَرْجَهَا فَنَفَخْنَا فِيهِ مِن رُّوحِنَا وَصَدَّقَتْ بِكَلِمَاتِ رَبِّهَا وَكُتُبِهِ وَكَانَتْ مِنَ الْقَانِتِينَ

“Dan Allah Subhanahu Wata’ala membuat isteri Fir'aun perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, ketika ia berkata: "Ya Rabbku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam firdaus, dan selamatkanlah Aku dari Fir'aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah Aku dari kaum yang zhalim. Dan (Ingatlah) Maryam binti Imran yang memelihara kehormatannya, Maka kami tiupkan ke dalam rahimnya sebagian dari ruh (ciptaan) kami, dan dia membenarkan kalimat Rabbnya dan Kitab-KitabNya, dan dia adalah termasuk orang-orang yang taat.” (QS. At-Tahrim (66) : 11-12).

Surga itu terletak di bawah telapak kaki kaum ibu, kata Rasulullah. Apakah rumah tangga yang Anda bangun hari ini akan menjadi surga dan neraka tergantung Anda sebagai ratu rumah tangga (rabbatul bait). Rumah tangga akan menjadi surga (baitii jannatii) bila di dalamnya ada hiasan kesabaran, kesetiaan dan kesucian.

“(Wahai kaum wanita), ingatlah ayat-ayat Allah Subhanahu Wata’ala dan al-hikmah yang dibacakan di rumah-rumah kamu. Sesungguhnya Allah Subhanahu Wata’ala Maha Penyayang dan Maha Mengetahui.” (QS. Al Ahzab (33) : 34).

Saudariku, kelak bila perahu rumah tangga Anda bertubrukan dengan kerikil tajam, bila impian ketika remaja menjelma menjadi kenyataan yang pahit, bila bukit-bukit pulau idaman di guncang badai, kami ingin melihat Anda tetap teguh, tegar di samping suami Anda. Anda tetap tersenyum walaupun langit berawan tebal. Sedotlah haul dan kekuatan Allah Subhanahu Wata’ala, dengan bangun malam. Jika pada saat yang bersamaan suami Anda mengaminkan doa yang Anda panjatkan, insya Allah Subhanahu Wata’ala harapan Anda akan segera dikabulkan oleh Allah Subhanahu Wata’ala Swt. Tiada pemAndangan yang terindah bagi suami Anda kecuali Anda berdoa dengan suara lirih untuk kebahagiaannya.

Aisyah pernah cemburu kepada kepada Khadijah, dan berkata :

مَا غِرْتُ مِنِ امْرَاَةٍ مَا غِرْتُ مِنْ خَدِ يْجَةَ

“Aku tidak pernah menaruh cemburu terhadap seorang perempuan sebagaimana aku cemburu terhadap Khadijah.” Rasulullah senantiasa terkenang dengan istri pertamanya itu, sekalipun secara fisik telah berpisah. Beliau bersabda :

اَمَنَتْ بِيْ اِذْ كَذِبَنِي النَّاسُ , وَوَاسَتْنِيْ بِمَا لِهَا اِذَ حَرَمَنِي النَّاسُ

“Khadijah beriman kepadaku pada saat orang mendustakan daku. Dan Khadijah membantuku dengan harta kekayaannya pada saat orang menghentikan pertolongan kepadaku.”
Saudariku, seandainya ditakdirkan Allah Subhanahu Wata’ala Anda meninggal dunia lebih dahulu, lalu kami menemui suami Anda dan kami tawarkan pengganti Anda, pada saat itu suami Anda akan marah seperti Rasulullah yang mulia berkata, ketika Aisyah merasa cemburu dengan Khadijah. Ia berkata: “Demi Allah Subhanahu Wata’ala, tidak ada yang dapat menggantikan dia. Dia yang memperkuat hatiku ketika aku hampir berputus asa. Dia mempercayaiku ketiak semua orang menjauhiku. Dia memberikan ketulusan hati ketika semua orang mengkhianatiku.”

اَيُّمَا امْرَاَةٍ مَاتَتْ وَزَوْجُهَا عَنْهَا رَاضٍ دَخَلَتْ اَلْجَنَّةَ

“Bila seorang wanita meninggal dunia, sedangkan suaminya ridha sekali dengan tingkah lakunya ketika ia masih hidup, maka wanita itu masuk surga.”
Jika suami dalam keluarga berhasil menjadi pemimpin yang adil dan bijaksana, disupport dengan sami’na wa ‘atha’na istri (sendiko dhawuh), dan diteladani oleh anak keturunannya, mereka akan reuni di surga, kelak.

وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُم بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُم مِّنْ عَمَلِهِم مِّن شَيْءٍ كُلُّ امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ
“dan orang-oranng yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.” (QS. Ath Thur (52) : 21)

Alhasil,  anak cucu mereka yang beriman itu ditinggikan Allah Subhanahu Wata’ala derajatnya sebagai derajat bapak- bapak mereka, dan dikumpulkan dengan bapak-bapak mereka dalam surga. Itulah sebaik-baiknya reuni di surga.

Marilah arahkan pasangan kita atau kita antarkan pernikahan kita untuk mengayuh kapal rumah tangga dengan bekal taqwa. Semoga dengan tiket dari Allah Subhanahu Wata’ala ini akan menyelamatkan keduanya dari gelombang yang akan menerpa dinding-dinding kapal (QS. Al Baqoroh : 197).


Selamat berlabuh untuk menempuh batera kehidupan baru, semoga selamat dan bahagia sampai pulau idaman.*









MERAIH HARMONI  DAN KESUCIAN HATI


 

“Orang yang benar butuh permulaan yang benar, permulaan yang benar butuh keikhlasan dan keikhlasan itu ada pada niatan yang suci, sementara kesucian niat ada pada hati yang bersih.” (kalam hikmah)
IBARAT orang yang berazam ingin ke Surabaya, tentu ia hanya akan sampai ke tujuan kalau sedari awal ia naik bus jurusan Surabaya. Apapun kalau yang ia pilih adalah bus jurusan Jakarta, tentu sampai kapanpun ia tak akan sampai ke tujuan. Pohon mangga hanya akan tumbuh dari biji mangga, dan biji salak pastilah akan menumbuhkan pohon yang sama. Tidak akan mungkin pohon mangga membuahkan pohon salak, begitu pula sebaliknya.
Demikianlah saudaraku, sebuah kebenaran dalam bentuk apapun, hanya akan tumbuh dari biji kebenaran. Bagaimana mungkin pohon kebenaran bisa tumbuh berkembang dari sebuah biji bernama kesalahan.
Terus bagaimana “pohon” kebenaran ini bisa tumbuh dengan baik pada diri seseorang? Kalam hikmah diatas mengatakan; “butuh keikhlasan!”
Keikhlasan adalah saudara kembar kebenaran, keduanya lahir dari rahim yang sama, pada waktu yang bersamaan dimana ada kebenaran disitua ada keikhlasan, begitu pula sebaliknya. Antara keduanya tidak bisa dipisahkan oleh apapun dan siapapun. Kebenaran tanpa keikhlasan adalah fatamorgana, dan keikhlasan tanpa kebenaran adalah utopia bahkan tipu daya.
Keikhlasan adalah teman perjalanan kebenaran. Selamanya kita tidak pernah menjumpai kebenaran berjalan sendirian tanpa ditemani sang “kekasih” tercinta bernama keikhlasan.
Seandainya kita membiarkan kebenaran yang ada pada diri kita tumbuh sendirian, maka pastilah ia akan menjadi kebenaran yang kering bahkan mati, yang tidak bisa memberikan manfaat sedikitpun untuk kita bahkan keberadaannya akan menjadi beban berat, yang membuat perjalanan hidup ini semakin tertatih-tatih.
Tidak demikian halnya bila keihlasan ikut menyertai, kebenaran akan memancarkan “keceriaan” hakiki, yang dirasakan tidak hanya oleh siempunya kebenaran, tapi juga oleh orang-orang yang ada disekitarnya.
Kebenaran akan berubah menjadi embun penyejuk yang akan menetes-basahi setiapa diri yang kerontang dalam keringnya jiwa.
Lantas, dari manakah kita akan memperoleh keikhlasan ini? Jawabnya adalah dari niat yang suci. Niat adalah kesengajaan melakukan amal, dan “suci” tiada lain adalah Allah, karena di alam semesta ini tidak ada yang “suci” dalam arti yang hakiki kecuali Dia Rabbul ‘Izati. Subahaanallah. Maha Suci Engkau ya Allah.
Niat suci akan dimiliki manakala kita menyengaja melakukan amal semata-mata karena ingin memperoleh ridha Allah Yang Maha Suci, lepas sama sekali dari tujuan dan harapan sesaat, yaitu kesengan duniawi.
Terus, di mana kita bisa menemukan kesucian niat ini?
Kesucian niat bisa kita temukan di sela-sela sebongkah daging bernama hati, dengan catatan jenis hati tersebut adalah hati yang betul-betul bersih dari berbagai kotoran.
Dari yang bersih akan tumbuh niat-niat yang suci lagi bersih, yang mendorong kita beramal dengan ikhlas semata-mata karena Allah. Saat keikhlasan ini bertemu dengan kebenaran, maka akan lahirlah sosok manusia baru dalam diri kita, yakni manusia yang seluruh lintasan pikiran, perasaan, keinginan, kata dan perbuatannya menyatu dalam satu senyawa, senyawa kebenaran.
Kalam hikmah diatas memberikan kesimpulan kepada kita, bahwa cita-cita menjadi orang yang benar itu harus diawali dengan memiliki hati yang bersih.
Cukupkah dengan hati yang bersih?
Tentu belum, gambaranya seperti ketika kita haus, kemudian ada orang yang memberikan sebuah gelas yang sangat bersih kepasda kita, akan tetapi didalam gelas bersih teersebut tak terdapat air bersih setetespun.
Apalah artinya gelas bersih tanpa isi bagi orang yang haus? Tetap saja ia kehausan.
Berarti kita harus mengisi “air” kedalam “gelas” hati kita ? Ya,air kehidupan, yaitu ilmu pengetahuan.
Hati bersih tanpa ilmu adalah gelas bersih tanpa isi. Tapi ilmu yang berada di hati yang kotor adalah air yang kita tuangkan ke dalam gelas kotor. Keduanya tidak bisa memberikan manfaaat sedikitpun di saat kita kehausan. Lantas, mana yang harus kita dahulukan ? membersihkan hati terlebih dahulu atau menigisinya? Ibarat gelas kotor yang ingin kita isi air, tentu kita harus membersihkannya terlebih dahulu baru setelah itu mengisinya dengan air.
Allah Ta’ala berfirman;
هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولاً مِّنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِن كَانُوا مِن قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ
“Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka yang membacakan ayat-ayatNya kepada mereka, mesucikan (hati) mereka dan mengajarkan kepada mereka kitab dan hikmah. Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (QS: Al Jumu’ah: 2).
Semoga kita memperoleh hati bersih degan ilmu, layaknya gelas bersih dengan isinya.







SENI MEMIMPIN ALA ROSULULLAH



 NABI Muhammad merupakan sosok pemimpin yang hingga hari ini diakuai dan dihormati banyak manusia. Bahkan kepempinan manusia sempurkan ini telah banyak diakui para peneliti Barat. Sebut saja Will Durant, Gustav Lebon, La Martin, Thomas Carlyle dan masih banyak yang lain.

La Martin yang setelah meneliti kehidupan Nabi menyatakan, “Muhammad adalah manusia di atas manusia dan di bawah Tuhan. Tak dapat diragukan bahwa ia adalah utusan Tuhan.”

Bahkan Thomas Carlyle, cendekiawan Inggris, mengritik orang Barat yang begitu saja meyakini kampanye buruk terhadap nama besar Muhammad. “Diantara aib terbesar yang ada hari ini ialah bahwa seorang cendekiawan menerima begitu saja ucapan seseorang yang mengatakan bahwa Islam adalah bohong dan Muhammad adalah penipu.”

“Pandangan yang kokoh, pemikiran-pemikiran yang lurus, kecerdasan, kecermatan, dan pengetahuannya akan kemaslahatan umum, merupakan bukti-bukti nyata kepandaiannya. Kebutahurufannya justru memberikan nilai positif yang sangat mengagumkan. Ia tidak pernah menukil pandangan orang lain, dan ia tak pernah memperoleh setetes pun informasi dari selain-Nya. Allah-lah yang telah mencurahkan pengetahuan dan hikmah kepada manusia agung ini. Sejak-sejak hari-hari pertamanya, ia sudah dikenal sebagai seorang pemuda yang cerdas, terpercaya dan jujur. Tak akan keluar dari mulutnya suatu ucapan kecuali memberikan manfaat dan hikmah yang amat luas,” katanya.

Sementara itu Gustav Lebon, cendekiawan Prancis, dalam bukunya “Peradaban Islam dan Arab”, menulis, “Jika kita ingin kita ingin mengukur kehebatan tokoh-tokoh besar dengan karya-karya dan hasil kerjanya, maka harus kita katakan bahwa diantara seluruh tokoh sejarah, Nabi Islam adalah manusia yang sangat agung dan ternama. Meskipun selama 20 tahun, penduduk Makkah memusuhi Nabi sedemikian kerasnya, dan tak pernah berhenti mengganggu dan menyakiti beliau, namun pada saat Fathu Makkah (penaklukan kota Makkah), beliau menunjukkan puncak nilai kemanusiaan dan kepahlawanan dalam memperlakukan warga Makkah. Beliau hanya memerintahkan agar patung-patung di sekitar dan di dalam Ka’bah dibersihkan. Hal yang patut diperhatikan dalam kepribadian beliau ialah bahwa sebagaimana tidak pernah takut menghadapi kegagalan, ketika memperoleh kemenangan pun beliau tidak pernah menyombong dan tetap menunjukkan sikapnya yang lurus.”


Bahkan Allah Subhanahu Wata’ala sendiri secara langsung memuji dan mengatakan dalam Surah Al Ahzab ayat 21 yang artinya, “Sungguh telah ada pada diri Rasulullah teladan yang baik…”

Sayangnya, kita lebih sosok Rasululah dari aspek ruhaniyaah dan spiritual belum menyentuh sosok beliau sebagai pengelola pemerintahan dan suatu negara hingga akhirnya beliau berhasil membangun bangunan negara  yang baldatun tayyibatun wa rabbun ghafuur. Surat Al Ahzab ayat 21 membuat kita kembali teringat betapa keteladanan beliau meliputi semua aspek kehidupan. Semua tindak tanduk dan tutur kata beliau merupakan teladan dan warisan yang teramat berharga.

Rahasia keteladan Nabi dalam memimpin tentu saja karena ditopang oleh empat sifat yang sudah tidak asing lagi:

Pertama, shidiq yang artinya jujur. Kejujuran merupakan sikap utama dan harus mendapat tempat semestinya pada diri seorang pemimpin. Dan Nabi Muhammad SAW dikenal oleh masyarakatnya sebagai sosok yang jujur, jauh dari dusta. Kejujuran membawa kepada kebaikan, kebaikan dalam segala hal, utamanya dalam memimpin suatu bangsa dan masyarakat.

Kedua, amanah yang artinya mampu menjalankan kepercayaan yang diemban di pundak secara profesional tanpa mencederai kepercayaan yang sudah diberikan. Sikap amanah telah mengakar kuat pada diri Rasululah bahkan semenjak di usia belia. Tidak ada yang menyangsikan kejujuran seorang Muhammad kecil. Gelar amin (orang yang layak dipercaya) disandingkan di belakang nama beliau, Muhammad Al-Amin.

Ketiga, tabligh yang berarti menyampaikan kebenaran dan berani mengungkap kebatilan. Kepemimpinan beliau ditopang oleh sikap transaparansi, keterbukaan, dan selalu bersuara dengan tuntunan Ilahi. Tak ayal sikap terang-terangan beliau dalam mendakwahkan ajaran kebenaran dan memberangus kemunkaran mengundang murka pentolan-pentolan Kaum Quraish.

Sebuah delegasi datang menemui paman Nabi, Abu Thalib, untuk memberi tawaran menggiurkan khusus untuk Nabi asal beliau menghentikan dakwahnya. Mereka, pentolan Qurasih ini dicekam rasa ketakutan bahwa kedudukan, kewibawaan, dan kekuasaannya akan tamat seiring laju perkembangan dakwah sang Nabi.
“Jika keponakanmu menginginkan kerajaan, kami siap mengangkatnya menjadi raja; jika menginginkan harta, kami siap mengumpulkan harta sehingga tidak ada yang terkaya kecuali Nabi; jika ia terkena gangguan jin, kami siap mencarikan obat untuk menyembuhkanya; asalkan ia berhenti mendakwahkan Islam,” demikian pernyataan tawaran itu.

Aspirasi delegasi Quraish disampikan oleh Abu Thalib kepada Nabi. Nabi menyampaikan sebuah pernyataan tegas sembari memberi ilustrasi indah yang memupuskan “mimpi” delegasi Quraish, “Demi Allah, jika mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku, aku tidak akan meninggalkan (dakwah) ini, sampai Allah memenangkannya atau aku hancur karenanya.”

Sifat Nabi berikutnya yang menjadi penopang kepemimpinan beliau adalah fathanah. Fathanah adalah cerdas. Kecerdasan atau berilmu mutlak dimiliki oleh seorang pemimpin. Pemimpin harus tahu bahwa setiap keputusan dan arahannya sesuai sasaran yang dituju. Karenanya, dalam berdialog, berdiskusi, menyampaikan ajaran Allah, beliau selalu mendasarkannya pada ilmu.

Tiga Nilai Moral

Empat penopang kepemimpinan Nabi di atas melahirkan nilai-nilai moral yang adiluhung. Pijakan moral sangat penting diunggah sebelum memutuskan suatu perkara. Dr. A. Ilyas Ismail dalam sebuah tulisannya  menyebutkan ada Tiga Sifat Moral yang harus ada pada diri seorang pemimpin, seperti yang telah diajarakan sendiri oleh Rasul.
Sumber sifat moral itu merupakan intisari dari firman Allah Surah At-Taubah 128, “Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.”

Kata Ilyas Ismail, ayat tersebut mengandung tiga ajaran moral bagi seseorang dalam memimpin yaitu, memiliki sense of crisis, sense of achievement, dan kasih sayang.
sense of crisis merupakan penjabaran dari ayat di atas, “a`zizun a`laihi ma a`nittum.” Seorang pemimpin harus tahu apa yang dirasakan oleh rakyatnya. Rasa sakit seorang warganya menjadi rasa sakit bagi diri sosok pemimpin yang punya sifat empati.

Kebahagiaan rakyatnya menjadi kebahagiaan bagi dirinya. Empati, bisa mengetahui keadaan masyarakat yang dipimpin menjadi idaman setiap penduduk di negeri ini.
Akan tetapi, empati itu sering mampir pada momen tertentu: Pilkada, Pileg, Pilpres. Setelah semuanya berakhir, rakyat hanya terhibur oleh mimpi dan angan kosong belaka. Himpitan ekonomi, perut yang keroncongan, biaya sekolah yang melangit tak terjangkau, orang miskin yang “dilarang” sakit, menjadi pemandangan yang dengan mudah kita saksikan.

Suatu saat Sayidina Umar bin Khaththab pernah berujar yang ditujukan kepada semua orang yang diberi amanah sebuah jabatan, “Jika rakyatku kelaparan, Umar orang yang harus pertama kali merasakannya; jika rakyatku merasa kenyang, Umar orang yang harus terakhir merasakannya.” Sosok umar merupakan penerus sikap moral seorang pemimpin sejati, Nabi Muhammad.

Nabi Muhammad merupakan sosok pemimpin yang manakala ada bahaya mengancam atau segala hal yang tidak  nyaman, beliau siap pasang badan dan berdiri di garis terdepan. Misalnya, setiap kali peperangan beliau selalu maju lebih dulu ketimbang sahabat-sahabat yang lain.
Tetapi, bila ada kenikmatan beliau mendahulukan orang lain. Contohnya, suatu kali beliau diundang oleh salah seorang sahabat untuk makan bersama. Yang diundang hanya beliau seorang karena si pengundang melihat Nabi dalam keadaan sangat lapar. Namun Nabi mengajak sahabat-sahabat yang duduk bersama beliau.
Tiba di rumah pengundang, Nabi mempersilakan para sahabat makan terlebih dahulu. Satu per satu sahabat melahap hidangan yang tersaji. Setelah itu barulah beliau yang makan. Berkat mukjizat beliau, makanan yang seharusnya hanya cukup satu orang bisa mencukupi banyak perut orang lain.
Sementara sifat moral berikutnya adalah sense of achievement. Menurut Ilyas Ismail, sifat ini merupakan penjabaran dari bunyi ayat Allah dalam surat yang sama, “harisyun a`laikum.” Artinya seorang pemimpin dalam mengemban ide dan gagasan harus benar-benar bertujuan memajukan masyarakat dan warga negaranya.
Pemimpin yang harisyun a`laikum adalah pemimpin yang mendahulukan kepentingan orang banyak jauh mengalahkan kepentingan pribadi, partai, dan kelompoknya. Salah satu potret indahnya  ada pada seorang sahabat, sepupu sekaligus menantu Nabi, Imam Ali bin Abi Thalib.
Suatu hari, Aqil, saudara Ali, meminta harta lebih dari haknya karena anak-anaknya sedang menderita. Kata Ali, “Datanglah nanti malam, engkau akan kuberi sesuatu.” Malam itu Aqil datang. Lalu Ali berkata: “Hanya ini saja untukmu.” Aqil segera mengulurkan tangannya untuk menerima pemberian Ali. Tiba-tiba ia menjerit. Ternyata ia sedang memegang besi yang menyala. Dengan tenang Ali berkata, “Itu besi yang dibakar api dunia, bagaimana kelak aku dan engkau dibelenggu dengan rantai jahannam?”
Sayangnya, di negeri berharap adanya pemimpin berjiwa sense of achievement  belum menjelma menjadi sebuah kenyataan. Tengok saja kasus busung lapar, bunuh diri karena kemiskinan, memakan nasi aking, padahal negeri kita kaya akan sumber daya alam. Dalam UU pasal 34 disebutkan bahwa orang miskin dan anak-anak terlantar dipelihara negara. Mungkinkah hal itu terjadi karena bunyi pasalnya telah berubah menjadi “Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran segelintir orang“?
Keberpihakan pada masyarakat dari pemimpin negeri ini laksana jauh panggang dari api. Sumber daya alam diekslploitasi sedemikian rupa, perusahaan-perusahaan menjadi tuan di negeri kita sementara kita menjadi pelayan di negeri sendiri. Akibatnya, angka kemiskinan merangkak naik, rakyat menjerit, sementara pejabatanya asyik dengan tingkah pola yang menjijikkan: biaya dinas yang dimanipulasi, korupsi yang merajai bumi pertiwi, arah pembangunan yang tidak jelas juntrungannya.
Ketiga, masih kata Ilyas, adalah pengasih dan penyayang yang merupakan penjabaran dari ra`ufun rahiim. Kasih sayang perlu dimiliki oleh semua orang, dalam hal ini, seorang pemimpin. Dengan kasih sayangnya, pemimpin mampu bersimpati dan memberikan empati, dan mengulurkan tangan.
Dengan kasih sayang, seorang pemimpin akan berkeliling untuk melihat satu per satu keadaan rakyatnya. Adakah di antara mereka yang kekurangan gizi, sakit tapi tak mampu berobat, terlilit hutan yang tak sanggup dibayar, sehingga pemimpin itu menjadi orang pertama yang selalu merasakan apa yang dirasakan oleh rakyatnya.
Seorang pemimpin hendaknya menjadi pengembala yang melayani rakyatnya untuk mencapai tujuan mereka dan memenuhi kebutuhannya. Dia harus bisa melayani bukan minta dilayani. Mari kita simak kata-kata seorang penyair tentang junjungan kita, Nabi Muhammad SAW:
“Jika engkau menyayang, maka engkau (laksana) ibu dan ayah.”
Dengan melihat sejarah dan cacatan masa lalu Nabiullah Muhammad, pempin seperti SBY tentunya tidak perlu memasang iklan besar-besar di pelbagai media untuk meningkatkan elaktibilitas, popularitas, dan memperbaiki citranya yang belakangan sangat terpuruk karena hantaman kasus korupsi di tubuh partai yang telah mengantarkannya menjadi RI 1 dua kali berturut-turut. Cukuplah beliau meneladani ajaran moral Nabi dalam memimpin, rakyat dan kita semua akan mencintai dan mendukungnya. Akankah sejarah berulang dengan SBY bertindak layaknya Umar bin Khathtab, Ali bin Abi Thalib, atau pemimpin yang malah tumbang di tangan rakyatnya sendiri? Sejarah akan menjawab.
Keteladanan Rasulullah Muhammad menjadi referensi yang sejalan dengan ruang dan waktu, dimanapun seseorang berada pada sebuah zaman. Uswah, keteladanan beliau adalah sebuah jalan yang terang, bersih dari dusta, pengkhianatan, kebodohan, jauh dari sikap hiprokit. Siapa saja yang memimpin suatu negeri tanpa bersendikan teladan nabi, pasti jauh dari kebaikan dan kesejahteraan.*







BIARKAN ANAK KITA TUMBUH DAN BERKEMBANG



 
KITA sering dipaksa mengurut dada, melihat femonena kehidupan ini. Beberapa saat yang lalu, dalam siara berita di telivisi, seorang anak babak belur dihajar ayahnya. Seorang anak disiksa ibunya sendiri. Padahal penyebabnya hanyalah sepele,  sang anak tidak membawakan makanan yang dipesan si ayah. 
Beberapa hari kemudian, kita juga dibuat melinangkan air mata, menyaksikan anak bonyok sampai penglihatannya terganggu karena dianiaya ibu tirinya.
Di Papua, seorang bocah berusia 4 tahun meninggal karena dianiaya ayah angkatnya. Anak piatu yang semestinya mendapat belaian kasih sayang, malah merenggang nyawa di tangan ayah angkatnya.
Masih terngiang dalam ingatan kita puluhan tahun lalu, kasus Arie Hanggara yang meninggal karena dianiaya ibu tiri dan ayah kandungnya. Hati kita dibuat miris mengingatnya.
Sebagaimana kekerasan yang menimpa para wanita, maka kasus kekerasan pada anak yang muncul itu, hanyalah sebagian kecil dari banyak kasus yang belum terungkap.
Rumah yang  semestinya menjadi tempat paling aman bagi anak, justru bagai neraka. Dengan dalih mendidik dan mendisiplinkan anak, tanpa disadari orangtua telah melakukan kekerasan pada anak sendiri.
idak sedikit, anak menjadi sasaran pelampiasan kekesalan atau masalah yang membelit orangtuanya. Baik secara fisik maupun psikis. Itu berupa kata-kata kasar, cemooh ataupun ungkapan yang mengintimidasi anak. Atau orangtua tidak bisa menerima kondisi anak yang punya kelemahan fisik ataupun psikis.        
Apapun alasannya,  kekerasan tidak hanya membekas pada fisik anak saja. Tapi juga psikis. Menurut para ahli psikologi, luka psikislah yang justru sulit untuk disembuhkan.
Kekerasan yang menimpa anak, menyebabkan terganggunya perkembangan kepribadian dan perilaku anak. Misalnya, seperti rasa trauma, konsep diri yang negatif, kesulitan menyesuaikan diri dan kecenderungan berperilaku balas dendam.
Adalah benar, teguran Rasulullah yang di tujukan kepada seseorang yang merenggut bayi dengan kasar karena mengompol di pangkuan beliau. Perbuatan kasar yang dilakukan orangtuanya, bakal membekas pada jiwa anak, sehingga anak akan mempunyai jiwa yang kasar.
Anak Kita adalah Amanah
Anak adalah karunia-Nya yang terlahir fitrah. Kitalah yang akan menjadikannya Muslim, Yahudi atau Nasrani. Kita pulalah yang membentuknya menjadi apa kelak, melalui pendidikan.
Jika anak banyak dicela, ia akan terbiasa menyalahkan. Jika anak banyak di musuhi, ia akan terbiasa menentang.      Jika anak dihantui ketakutan, ia akan terbiasa merasa cemas.      Jika anak banyak dikasihani, ia akan terbiasa meratapi nasibnya. Jika anak dikelilingi olok-olok, ia akan terbiasa menjadi pemalu.
Nukilan sebagian ungkapan Dorothy Law Nolte dalam Children Learn What They Live With  di atas, perlu kita renungkan dalam upaya mendidik dan memperlakukan anak. Bisa dipastikan, perlakuan keras pada anak akan membuat anak tersiksa dan menjauhi kita.
Adalah Mu’awiyah marah kepada anaknya Yazid, lalu mengasingkannya. Ahnaf penasihatnya berkata, ”Ya Amirul Mukminin, anak-anak kita adalah buah hati dan tulang punggung kita. Kita ini bagaikan langit yang teduh bagi mereka dan bagaikan bumi yang rata. Dengan keberadaan mereka, kita dapat memperoleh kejayaan.
Kalau mereka marah, hiburlah dengan sabar. Kalau mereka meminta, berilah. Jika tidak meminta sesuatu, tawarilah. Jangan engkau perlakukan mereka dengan kasar dan kejam, sehingga mereka tidak betah bersanding denganmu, bahkan mendo’akan kematianmu.”
Sejak mendengar nasihat bijak itu, Mu’awiyah memperbaiki sikapnya terhadap anak-anaknya.
Maka salah satu solusi paling tepat, untuk menghindari kekerasan pada anak adalah memperkuat fungsi keluarga. Ayah sebagai pemimpin keluarga dan ibu sebagai pengasuh dan pengelola keluarga. Dan sebagai orangtua, sepantasnya kita memenuhi hak-hak anak.
Orangtua, selain memberikan makanan bergizi untuk pertumbuhan kecerdasan dan fisik anak, juga memenuhi kebutuhan non fisik anak. Berupa kasih sayang, perhatian, pendidikan dan pembinanan yang bersifat religius secara terus menerus dalam kehidupan sehari-hari.
Pada suatu kesempatan, para sahabat Rasulullah mengajukan pertanyaan, ”Ya Rasulullah, kami telah mengetahui hak orangtua, kemudian apakah hak kami padanya?” Jawab Rasulullah, ”Hendaklah orangtua memberikan nama yang bagus dan mendidik dengan baik,”(Riwayat Baihaqi).
Pada riwayat lain, Rasulullah bersabda, “Tidak ada pemberian orangtua yang paling berharga kepada anaknya dari pada pendidikan akhlak mulia,”(Riwayat Bukhari).  
Keluarga Kokoh
Islam begitu memperhatikan institusi keluarga. Keluarga yang kokoh mampu membentengi seluruh anggota keluarga dari semua hal yang bisa membahayakan anggotanya, fisik maupun psikis. Baik yang datangnya dari luar maupun dalam keluarga itu.
Rasulullah banyak mencontohkan bagaimana hidup berkeluarga yang baik. Rasulullah adalah pribadi yang penyayang, apalagi terhadap anak-anak. Banyak riwayat yang melukiskan betapa sayangnya beliau terhadap anak-anak.
Selain pendidikan dan pengasuhan, keutuhan keluargapun sangat berpengaruh terhadap anak-anak. Sehingga Allah menegaskan, perbuatan halal yang dibenci Allah adalah perceraian.
Karena itu, jika terjadi sesuatu  maka fungsi keluarga perlu diperkuat sehingga keluarga kembali menjadi kokoh. Generasi yang terlahir dari keluarga-keluarga seperti ini, menjadi generasi yang kuat dan mempunyai militansi yang tinggi.
Mengingat begitu esensinya keluarga dalam mengubah peradaban, maka musuh-musuh Islam berusaha sekuat tenaga membuat keluarga-keluarga Muslim hancur, keluar dari agamanya.
Dengan bersembunyi di belakang para feminis dan aktivis kesetaraan gender, mereka berusaha menggolkan berbagai UU yang mendukung kebebasan perempuan dan anak. Tentunya dengan tujuan meliberalkan keluarga dan menjauhkan dari tuntunan syariat Islam.
Contohnya, aktivis perempuan yang mengajukan Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (CLD-KHI).  Di dalam draf tersebut, disebutkan bahwa pernikahan bukan ibadah, perempuan boleh menikahkan dirinya sendiri, poligmi haram, boleh nikah beda agama, boleh kawin kontrak, ijab kabul bukan rukun nikah dan anak kecil bebas memilih agamanya sendiri.
Yang memprihatinkan, draf itu justru keluar dari Departemen Agama.  Tapi alhamdulillah, Menteri Agama Maftuh Basyuni membatalkan langsung CLD-KHI dan melarang penyebarluasannya pada masyarakat.
Bagaimana jadinya kalau anak di suruh memilih agamanya sendiri, sedang  Islam secara tegas memerintahkan agar kita mencegah diri, anak dan istri dari api neraka. Karena itu,  sebagai orangtua kita harus selalu menjaga amanah yang telah dititipkan Allah SWT pada kita. Bukankah di yaumil akhir nanti kita akan dimintai pertanggung jawaban tentang anak-anak yang berada dalam naungan kita?







MENDONGENG ERATKAN EMOSIONAL IBU DAN ANAK

Kegiatan mendongeng membuat keterikatan emosional antara ibu dan anak menjadi semakin erat, kata psikolog anak Efnie Indrianie.
"Mendongeng sebagai kegiatan sehari-hari sangatlah penting untuk menciptakan manusia yang memiliki kecerdasan emosional dan intelektual," katanya dalam siaran pers di Jakarta dikutip Antara belum lama ini.
Selain itu, cerita dongeng yang disampaikan sebaiknya terkandung nilai-nilai moral sehingga akan terekam oleh anak-anak hingga dewasa, kata Efnie.
Namun, lanjut Efnie, untuk menarik perhatian anak-anak, seorang ibu harus mencari cara mendongeng yang efektif agar anak-anak dapat fokus mendengarkan.
"Anak-anak usia balita masih mengandalkan indera pengecap sehingga untuk memulai satu kegiatan, termasuk mendongeng, dapat diawali dengan memberikan cemilan, misalnya es krim, yang dapat membuat mereka tertarik perhatiannya," katanya.
Awam Prakoso, seorang pendongeng dari Kampung Dongeng mengungkapkan masih banyak orang tua yang merasa kesulitan mendongeng untuk anaknya dengan alasan tidak bisa bercerita, padahal semua orang punya kemampuan bercerita.
"Mendongeng itu mudah, ceritanya bisa diambil dari kejadian sehari-hari atau hal-hal yang menarik di sekitar kita. Yang penting orang tua harus pandai mengkreasikan cerita tersebut dan membuat cerita dongeng dengan hubungan sebab-akibat, sehingga lebih mudah dicerna oleh anak," ujar Awam yang dapat meniru banyak bunyi-bunyian binatang.
Sementara itu, Nuning Wahyuningsih, Senior Brand Manager Wall's in Home, mengatakan menciptakan momen kebersamaan bersama anak menjadi nilai yang sangat berarti bagi perkembangan jiwa anak.
Sejalan dengan peluncuran produk terbarunya yang diluncurkan Rabu lalu, Wall's Dreamy Creamy juga menginisiasi kegiatan mendongeng untuk para ibu lewat kampanye "Ibu adalah Pendongeng Terbaik untuk Anaknya".
Hal itu dikuatkan oleh sebuah survei yang dilakukan pada 500 anak usia 3--8 tahun di Inggris, dimana terungkap hampir 2/3 anak menginginkan orang tuanya dapat meluangkan waktu membacakan mereka cerita sebelum tidur, terutama ibu ketimbang ayahnya.
"Survei ini menyimpulkan bahwa ibu adalah pendongeng terbaik untuk anaknya," kata Nuning.
"Wall's mengerti bahwa kedekatan antara ibu dan anak sangatlah penting dan hal itu bisa didapatkan melalui mendongeng. Mendongeng juga memiliki banyak manfaat bagi perkembangan anak," ujar Nuning

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar