RUMUS HADAPI GELOMBANG DAN TANTANGAN
SIAPA di
antara kira yang suka dengan ditimpa kesulitan, kesempitan atau
musibah? Pasti semua orang menolaknya. Namun kesulitan atau penderitaan
hidup tampaknya sudah menjadi 'sunatullah ' kehidupan ini. Tiada
seorang pun di dunia ini yang tak pernah dihinggapi kesulitan atau
penderitaan. Mustahil seseorang sunyi dari kesulitan itu. Yang
berbeda adalah derajat kesulitan itu dan kesanggupan pribadi
seseorang dalam menghadapinya.
Rasulullah saw pernah ditanya,
"Siapakah yang paling berat ujiannya?," Nabi menjawab,"Para nabi,
kemudian yang terbaik, lalu yang terbaik, seseorang mendapatkan
(bala) ujian sesuai dengan kadar agamanya, bila agamanya kuat maka
bertambah berat ujiannya, dan apabila agamanya dangkal, maka Allah
mengujinya sesuai dengan kadar agamanya, seorang hamba tidak akan lepas
dari ujian sampai ia berjalan di bumi dengan keadaan tidak berdosa."
Fakta
telah menunjukkan bahwa manusia yang paling gampang shock, kaget, dan
paling cepat goncang atau galau menghadapi kesulitan-kesulitan hidup
adalah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah, orang-orang yang
ragu dan lemah imannya.
وَمِنَ النَّاسِ مَن يَعْبُدُ اللَّهَ عَلَى حَرْفٍ فَإِنْ أَصَابَهُ
خَيْرٌ اطْمَأَنَّ بِهِ وَإِنْ أَصَابَتْهُ فِتْنَةٌ انقَلَبَ عَلَى
وَجْهِهِ خَسِرَ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةَ ذَلِكَ هُوَ الْخُسْرَانُ
الْمُبِينُ
"Di antara manusia ada yang menyembah Allah dengn
berada di tepi, maka bila ditimpa kebaikan ia merasa tenang, dan jika
ditimpa fitnah ia membalikkan wajahnya (murtad) ia merugi di dunia
dan akirat, itulah kerugian yang nyata." (QS. Al Hajj: 11).
Demikian
itu karena mereka tidak beriman terhadap takdir Allah yang
membuatnya rela, tidak mengimani Tuhan yang membuat tenang. Tidak pula
beriman kepada para nabi sehingga dapat mene mukan keteladanan pada
kehidupannya yang serba sulit, tidak mempercayai kehidupan akhirat
yang menghembuskan udara segarnya yang dapat melegakan nafas, mengusir
kesedihan dan membangkitkan harapan.
Orang yang mudah goyah
dalam menghadapi cobaan dan ujian hidup ibarat perahu retak dan patah
layarnya dihantam gelombang dan angin, sehingga gerakan ombak atau
angin kecil saja, perahu itu akan goncang hebat dan miring, apalagi
dikepung oleh gelombang dari perbagai penjuru tentu saja perahu itu
akan segera tenggelam kedalam lautan yang dalam.
Kita sering
temukan kasus bunuh diri justeru di lingkungan komunitas yang tidak
peduli terhadap makna hidup beragama, dalam lingkungan masyarakat yang
tidak lagi menegakkan norma-norma agama akan lebih banyak lagi
ditemukan kasus-kasus yang mengerikan.
Keteguhan orang Beriman
Orang-orang beriman selalu sabar menghadapi bala
(malapetaka), paling teguh hatinya dan tegar menghadapi kesulitan hidup
dan lapang dada. Dan tabah mengahadapi musibah, karena mereka
tahu persis pendeknya umur untuk hidup di dunia dibandingkan
keabadian di akhirat. Mereka tidak menginginkan surga sebelum surga
yang sebenarnya.
قُلْ مَتَاعُ الدَّنْيَا قَلِيلٌ وَالآخِرَةُ خَيْرٌ لِّمَنِ اتَّقَى وَلاَ تُظْلَمُونَ فَتِي
"Katakanlah
(wahai Muhammad) kesenangan dunia itu sebentar, dan akhirat itu lebih
baik untuk orang-orang yang bertaqwa, dan kamu tidak akan dianiaya
sedikitpun." (QS. Anisa' 77).
"Kehidupan dunia tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu". (QS. Ali 'Imran: 185)
Orang
beriman mengetahui sunatullah (hukum alam) bahwa manusia itu akan
diuji dengan nikmat kebebasan berkehendak dan menjadi kholifah di
bumi sehingga mereka tidak menginginkan menjadi malaikat. Mereka
tahu para nabi dan para rasul adalah manusia-manusia yang paling berat
ujiannya dalam kehidupan dunia, paling sedikit menikmati kehidupan
dunia, sehingga mereka tidak menginginkan lebih baik dari mereka
dan dijadikannya sebagai teladan yang baik.
"Apakah kalian
menyangka masuk surga, padahal kalian belum merasakan musibah yang
telah menimpa orang-orang sebelum kalian, mereka telah ditimpa
malapeteka dan kesengsaraan dan digoncangkan sampai rasul dan
orang-orang yang beriman bersamanya menyatakan, "Kapan pertolongan
Allah tiba?" Katakanlah, "Sesungguhnya pertolongan Allah itu
dekat." QS: Al Baqarah 214)
Nikmat dalam Suka Maupun Duka
Musibah yang menimpa dalam hidup ini bagi orang yang punya iman
bukanlah pukulan ngawur, akan tetapi sesuai dengan takdir dan
qodho' yang telah digariskan, hikmah azali, ketentuan ilahi sehingga
mereka yakin, bahwa apa yang akan ditimpakan tidak akan luput dan apa
yang diluputkannya tidak akan menimpanya. "Musibah yang terjadi di bumi
dan pada diri kalian adalah ditentukan sebelum kami lepaskan,
sesungguhnya hal itu mudah bagi Allah." (QS. Al Hadid 22).
Allah telah mentakdirkan dengan lembut dan halus, menguji dan meringankan. "Sesungguhnya Allah maha halus lembut terhadap sesuatu yang ia kehendaki, sesunggunya ia maha mengetahui dan bijaksana". (QS. Yusuf 100).
Di
antara kelembutan Tuhan ialah bahwa musibah dan kesulitan adalah
pelajaran yang berharga dan pengalaman yang bermanfaat bagi agama
dan dunianya, mematangkan jiwanya, mengasah imannya dan menghilangkan
karat hatinya. Perumpamaan seorang mu'min yang ditimpa malapeteka yang
berat seperti besi yang dimaksukan api hingga hilang kotorannya dan
tinggal yang baik.
Itulah nikmat-nikmat yang terdapat pada
setiap musibah yang menimpa manusia, sehingga seseorang mungkin
perlu bersyukur kepada Allah disamping rela terhadap takdir dan
sabar terhadap ujiannya.
Setiap musibah dunia itu
kadang-kadang diganti dengan yang lebih baik, oleh karena itu sewaktu
Yusuf as disuruh memilih antara dipenjara dan hina dengan wanita
cantik yang menarik ia memilih penjara. "Wahai Tuhanku ! penjara
lebih aku sukai ketimbang dari memenuhi ajakan mereka kepadaku".
Itulah ratapan Yusuf pada Allah ketika menghadapi ujian berupa godaan
wanita.
Di antara ajaran nabi kepada umatnya adalah do'a "Ya
Allah janganlah engkau jadikan musibah pada agama kami dan jangan
menjadikan dunia sebagai cita-cita kami yang terbesar dan akhir
pengetahuan kami." (HR. Turmudzi).
Seorang mukmin selalu melihat
nikmat yang telah diberikan Allah sebelum ia melihat nikmat yang akan
diterimanya. Ia melihat petaka yang akan terjadi (di akhirat)
disamping telah melihat petaka yang telah menimpa. Sikap ini
menimbulkan kelapangan hati dan keridhoan. Bala (peteka) yang terjadi
telah ia hindari dan kenikmatan yang telah diterima cukup banyak dan
menetap.
Urwah ibnu Zubair seorang ahli fiqh dari kalangan
tabi'in adalah teladan yang baik bagi orang mukmin yang sabar,
ridho, menghargai nikmat Allah.
Diriwayatkan bahwa kakinya
sakit kanker dan dokterpun memutuskan untuk diamputasi (dipotong)
supaya tidak menjalar, lalu dokter memberinya obat bius supaya tidak
terasa sakit. Namum ia berkata "Aku tidak yakin seorang mukmin mau
minum obat yang menghilangkan kesabarannya sehingga tidak
mengenali Tuhannya untuk itu potonglah kakiku". Merekapun memotong
kakinya dan iapun diam tidak mengeluh.
Takdir telah menghendaki
untuk menguji hambanya sesuai kadar imannya, di malam ia dipotong
kakinya, seorang anak yang paling ia cintai jatuh dari lantai atas dan
meninggal dunia. Orang-orangpun datang kepadanya dan menghiburnya,
iapun berkata "Ya Allah, segala puji hanya untukmu, anak tujuh, dan
kau ambil satu berarti masih kau sisakan enam. Sungguh bila engkau
mengambilnya, ya memang itu adalah pemberianmu dan jika engkau
menguji dengan sakit/ engkau jualah yang menyembuhkannya.
Begitulah sikap sejati seorang mukmin menghadapi musibah dan ujian
dari Allah Subhanahu Wata’ala. Di manapun dia berapa, dirinya selalu
positive thinking, terutama terhadap Allah Subhanahu Wata’ala
"Menakjubkan
keberadaan seorang mukmin, kebaradaannya semuanya positif, dan itu
tidak dimiliki oleh siapapun selain orang-orang yang beriman. Bila
mendapatkan keberuntungan ia bersyukur, berarti positif baginya, dan
jika ia ditimpa kemalangan ia bersabar, berarti positif baginya." (HR. Musslim).
Semoga tulisan ini mampu menjadi penyemangat pada diri kita masing-masing.*
JANGAN GALAU, ALLAH AKAN SELALU MENYERTAIMU
MENGELUH,
hampir menjadi fenomena di negeri mayoritas Muslim ini. Ironisnya
mengeluh itu menimpa hampir semua tingkatan usia; mulai remaja sampai
dewasa juga pria dan wanita. Akibatnya tidak banyak yang bisa dilakukan
oleh mereka yang suka mengeluh, kecuali hal-hal yang akan semakin
membuat jiwa dan akalnya terus melemah. Sehari-hari waktu yang dilalui
hanya diisi curhat dari satu orang ke orang lain dengan memaparkan
beragam masalah yang sedang membelitnya.
Padahal waktu dan kesempatan datang setiap hari. Bahkan sekiranya
mereka mau membaca firman Allah (Al-Qur’an) tentu mereka akan dapati
jawaban atas setiap masalah yang dihadapinya. Ketika didorong untuk
membaca Al-Qur’an jawabnya tidak mengerti bahasa Arab. Loh bukannya kini
sudah sangat banyak Al-Qur’an terjemah. Mengapa tidak dibaca juga?
Sementara Allah dengan tegas berfirman;
بِهِ مِنَ الأَحْزَابِ فَالنَّارُ مَوْعِدُهُ فَلاَ تَكُ فِي مِرْيَةٍ مِّنْهُ إِنَّهُ الْحَقُّ مِن رَّبِّكَ وَلَـكِنَّ
“Karena itu janganlah kamu ragu-ragu terhadap Al-Qur’an itu.
Sesungguhnya (Al-Qur’an) itu benar-benar dari Tuhanmu, tetapi kebanyakan
manusia tidak beriman. (QS. Huud [11]: 17).
Dalam ayat lain Allah SWT juga tegaskan bahwa Al-Qur’an itu kitab
suci yang tidak ada keragu-raguan di dalamnya petunjuk bagi orang-orang
yang bertaqwa (QS. Al-Baqarah [2]: 2).
Jadi sebenarnya sederhana sekali, masalah apapun yang kita hadapi
solusinya ada di dalam Al-Qur’an. Ibarat manusia ini robot maka
Al-Qur’an ini adalah petunjuk manual bagaimana mengoperasikan robot itu.
Bagaimana tanda-tanda robot yang kekurangan baterai (iman) misalnya.
Lalu apa yang harus dilakukan untuk mengisi dayanya kembali. Bagaimana
jika ada robot yang mati (semangatnya). Apa yang harus dilakukan.
Jawaban semua itu ada di dalam buku manual tadi (Al-Qur’an).
Mari perhatikan pernyataan Nabi Ibrahim di depan orang-orang kafir
ketika menjelaskan siapa Allah SWT. ketika itu Nabi Ibrahim sedang
memberi peringatan kepada penyembah berhala bahwa apa yang mereka anggap
tuhan itu adalah keliru (sesat). Lalu Nabi Ibrahim menjelaskan perihal
Allah SWT yang sebenar-benarnya Tuhan yang harus disembah.
Ibrahim berkata;“(Yaitu Tuhan) Yang telah menciptakan aku, maka
Dialah yang menunjuki aku. Dan Tuhanku, Yang Dia memberi makan dan minum
kepadaku. Dan apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkan aku. Dan Yang
akan mematikan aku. Kemudian akan menghidupkan aku (kembali). Dan yang
amat kuinginkan akan mengampuni kesalahanku pada hari kiamat”. (QS. As
Syu’ara [26] : 78 – 82).
Ayat tadi menggambarkan secara gamblang bagaimana Allah benar-benar
mengerti segala kebutuhan, keresahan, kerisauan, kegalauan, dan seluruh
suasana hati setiap manusia. Hanya saja Allah akan mendatangi jiwa-jiwa
yang diliputi keimanan kuat dan mengabaikan jiwa manusia yang kerdil
lagi tidak pernah memohon kepada-Nya.
Kepada mereka yang imannya kuat Allah berikan satu jaminan agar tidak takut dan bersedih hati.
وَلاَ تَهِنُوا وَلاَ تَحْزَنُوا وَأَنتُمُ الأَعْلَوْنَ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ
“Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih
hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika
kamu orang-orang yang beriman”. (QS. Ali Imran [3]: 139).
Jadi mari kita kembali kepada Allah dengan sungguh-sungguh memahami
ayat-ayat Al-Qur’an. Sungguh Allah menjawab setiap masalah kita.
Ketika kita mengeluh, maka akan selalu ada jawaban dari Allah SWT
untuk kita. Misalnya, “Rasanya aku tidak mampu menghadapi masalah
seperti ini, berat terasa oleh ku. Sungguh aku tak sanggup lagi.”
Sungguh Allah menjawab;
“Jika Allah menghendaki sesuatu, Allah cukup berkata jadi maka jadilah” (QS. 36 : 82).
Ketika kita mengeluh, “Aku terlalu lelah” Allah menjawab, “Aku ciptakan tidurmu untuk istirahatmu.” (QS. 78 : 9).
Ketika kita mengeluh, “Aku tak sanggup lagi, aku tak mampu lagi,
semua sudah tidak mungkin kuhadapi” Allah menjawab, “Allah tidak
membebankan sesuatu kepada hamba-Nya, melainkan sesuai kemampuannya”
(QS. Al Baqarah [2] : 286).
Ketika kita mengeluh, “Berbagai upaya sudah saya lakukan tapi hasilnya nihil. Saya benar-benar stress dibuatnya” Allah menjawab;
الَّذِينَ آمَنُواْ وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ اللّهِ أَلاَ بِذِكْرِ اللّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
“Hanya dengan mengingat Aku maka hati menjadi tenang.” (QS. 13 : 28).
Bahkan ketika kita mengeluh, “Aku sudah tidak ada gunanya lagi, untuk apa aku hidup” sungguh Allah telah menjawab;
“Maka barang siapa mengerjakan kebaikan seberat dzarah, niscaya ia akan melihat balasannya.” (QS. 99 : 7).
Jika demikian untuk apa kita mengeluh, bukankah Allah telah menjawab
semua bakal keluhan umat manusia. Maka dari itu biasakanlah diri untuk
benar-benar mempelajari Al-Qur’an dengan baik. Sungguh Al-Qur’an itu
menjawab setiap masalah. Maka ambillah obat atau madu darinya.
Sebenarnya mengeluh atau tidak itu adalah pilihan hati. Hati yang
senantiasa dihiasi dengan bacaan Al-Qur’an insya Allah terhindar dari
sikap kerdil, lemah, lesu, letih, lunglai, dan tak berdaya. Sementara
hati yang sepi dari bacaan Al-Qur’an akan sangat mudah terganggu oleh
dinamika kehidupan sehingga sulit menjadi hamba Allah yang pandai
bersyukur.
Terhadap orang yang pandai bersyukur Allah berjanji akan menambah
terus-menerus kenikmatan yang diberi dan bagi yang kufur (tidak mau
bersyukur) Allah sediakan siksa yang pedih.
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Se- sungguhnya
jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (ni'mat) kepadamu, dan
jika kamu mengingkari (ni'mat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat
pedih." (QS.ar Ra’d [14] : 7).
Jadi selagi masih ada kesempatan mari berusaha untuk memahami
ayat-ayat Allah dengan sebaik-baiknya. Sungguh apabila hati kita telah
diterangi oleh Al-Qur’an akan muncul semangat, gairah, optimisme, dan
keyakinan kuat bahwa Allah selalu menyertai kita dan karena itu akan
muncul usaha maksimal dari dalam diri kita.
Apabila itu benar-benar dapat kita raih sungguh kebahagiaan,
kemenangan dan kesuksesan sejati telah berada di tangan kita. Sebab
Allah telah berjanji akan memberi jalan-jalan kepada hamba-hamba-Nya
yang bermujahadah (bersungguh-sungguh tidak mengeluh) dan senantiasa
berbuat kebaikan.
Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-
benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan
sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.”
(QS. 29 : 69).
Jika sedemikian rupa Allah telah memberi jawaban atas keluhan setiap
hamba-Nya, masihkah kita akan menjadi manusia kerdil? Sungguh keluhan
itu adalah sesuatu yang mesti kita enyahkan dalam akal dan jiwa kita.
Allah dan Rasul-Nya hanya berpesan satu hal, berjihadlah,
bersungguh-sungguhlah, kelak engkau pasti akan menang. Jadi mari kita
ucapkan,
MARI ISTIQFAR DAN BERTAUBAT, SEBELUM TERLAMBAT
MANUSIA di
manapun, baik mereka yang lebih dulu hadir ke dunia maupun yang akan
datang kemudian, tidak pernah terlepas dari penyakit lalai (alpa). Bagai
peristiwa sambung-menyambung, sifat alpa per-tama telah dilakukan oleh
Nabiyullah Adam as dan Siti Hawa dengan memakan buah Khuldi. Maka
tepatlah sebuah ung-kapan yang berkata: “insan ashluhu nisyan”, asal kata insan adalah `an-nisyan (alpa). Ungkapan lain mengatakan: “insan mahallul khato wan nisyan”, pada diri manusia itu tempatnya salah dan lupa.
Akibat kealpaan itu, manusia dapat terperangkap melakukan kesalahan, pelanggaran, sampai kepada kejahatan.
Tingkat
pelanggaran dalam Islam dikenal dengan istilah `maksiat'. Setiap orang
dengan kealpaannya itu dapat setiap saat terperangkap pada jurang
kemaksiatan. Hanya para Nabi dan Rasul saja yang terpelihara dari sifat
tercela itu,lantaran mereka adalah utusan Allah yang dikenal memiliki
sifat makshum (terpelihara dari kemaksiatan).
Satu hal yang juga fitrah dalam diri manusia adalah adanya kecenderungan mereka pada perasaan kebenaran (recht-gevoel).
Istilah itu bisa pula berarti `perasaan hukum'. Manusia dalam keadaan
bagaimanapun selalu diliputi oleh hukum dan berhajat kepada hukum.
Mereka ingin menegakkannya, walaupun terkadang tuntutan hawa nafsu
bersikeras menolaknya. Kalangan ahli hukum menyebut hal ini sebagai
`hukum ada di mana-mana'.
Oleh karena perasaan ingin tegaknya
hukum itulah, manusia berupaya untuk mewujudkan keamanan, ketenteraman,
dan ketertiban untuk diri, keluarga, dan lingkungannya. Dengan demikian
akan terwujud aturan main kehidupan yang dapat berbeda dengan binatang,
di mana yang kuat dapat dengan sesuka hatinya menguasai dan memakan si
lemah.
Kehadiran utusan Allah yakni para Nabi dan Rasul dengan
dilengkapi kitab suci-Nya tidak lain adalah untuk menjelaskan kepada
manusia agar tidak terjadi hal yang demikian itu. Manusia bukanlah hewan
yang dengan seenaknya bisa saling memangsa satu sama lain.
Mereka
menjelaskan jalan mana yang harus dilakukan dan mana yang tidak boleh.
Di sini agama memberi peringatan `amar makruf nahi munkar' dengan
turunnya utusan-Nya itu. Kepada mereka yang melanggar, Allah Swt memberi
sanksi hukum kepada mereka berupa dosa. Sedang kepada mereka yang
berbuat kebaikan Allah akan diberi ganjaran pahala.
Dosa dan pahala
Tidak
ada salahnya kita mengkaji ulang apa yang dimaksud dosa dan pahala. Ini
bukan perkara sepele. Bukankah keduanya selalu berkaitan dengan
kehidupan kita?
Efek-efeknya senantiasa menyertai kita kapan dan di manapun juga?
Akibat perbuatan dosa, kita menjadi murung, sedih, kecewa, atau
terkadang kehilangan gairah hidup. Jumlah rupiah yang ada di dompet dan
besarnya simpanan uang di bank, rumah yang indah, ladang yang luas,
tidak membuat hidup kita berbahagia akibat dosa yang kita lakukan.
Itulah efek dosa.
Sebaliknya, kita terkadang mendapati hidup
yang penuh ketenteraman, bahagia —meskipun kata orang kita hanya `cukup
hidup dengan nasi dan garam'—tetapi hal itu tidak mengurangi rasa
senang, tenteram, dan bahagia yang ada di hati kita. Hidup pun penuh
optimisme. Hal ini merupakan buah rasa syukur kita terhadap karunia
Allah yang yang telah kita peroleh. Kemudian kita telah berupaya dengan
sekuat tenaga menjauhi perbuatan dosa dan maksiat. Kita berjalan di atas
jalan keridhaan-Nya.
Dampak-dampak dosa dan pahala sangat riil
dalam hidup. Pahala dan dosa bukan sekadar kalimat berita, tapi hal yang
sangat berkaitan dengan kehidupan kita, senang-susah, bahagia atau
menderita.
Allah Swt berfirman:
فَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْراً يَرَهُ
وَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرّاً يَرَهُ
“Barangsiapa mengerjakan perbuatan baik walapun sebesar zarrah,
niscaya Ia akan melihatnya. Dan barangsiapa yang mengerjakan perbuatan
jahat meskipun seberat zarrah, niscaya Ia akan melihatnya.” (QS: Al-Zal-zalah:7-8)
Dalam keterangan salah satu hadits disebutkan bahwa raut wajah para
pendosa akan diselimuti kabut hitam, sehingga pandangannya tidak
bercahaya. Tak ada kesejukan manakala orang memandangnya.
Suatu saat dijumpai seorang yang dalam hidupnya melulu diwarnai
kesenangan. Setiap hari tempat parkirnya di diskotik, minumannya arak,
makanannya barang haram, teman-temannya para perampok, dan hiburannya
wanita pelacur. Suatu saat ketika ajal akan datang menjemputnya, ia
kembali ke kampung halaman. Masyarakat desa yang tidak tahu-menahu
perilaku si Fulan ketika di negeri rantau, heran melihat tabiat
mengenaskan si Fulan.
Di antara rasa sakitnya di pembaringan, ia menangis sejadi-jadinya
sambil bersumpah-serapah. Puluhan orang yang melayat kewalahan memegangi
tubuhnya yang meronta-ronta dengan hebat. Tangisnya melolong-lolong,
diiringi teriakan minta ampun.
Setelah dengan susah payah para pelayat memegangi dan menenangkan,
akhirnya si Fulan berangkat ke alam baka dengan tatapan mata
menyeramkan. Naudzubillah!
Pada saat yang lain, kita dapati si shalih dalam suasana yang
berbeda. Detik-detik menjelang akhir hayatnya (mutadhor), dengan sabar
dia mengikuti talkin yang dibacakan ke dalam telinganya. Raut mukanya
cerah. Dari celah bibirnya selalu terucap kalimat istighfar dan kalimat
tauhid, “La ilaha illah”.
Pada saat-saat terakhir hidupnya ia rasakan akan tiba, segera
dikumpulkan segenap anggota keluarga dan diwasiatkan untuk senantiasa
mentaati perintah agama, tidak saling bermusuhan satu sama lain.
Kemudian dengan damai ia kembali ke haribaan Illahi Rabbi dengan penuh
ikhlas. Wajah jasad itupun tampak berseri-seri di tinggal roh yang
selama ini bersemayam dalam dirinya. Ia pergi dengan khusnul khatimah.
Memohon ampun dan bertaubat
Selagi nafas kita masih ada, pintu ampunan Tuhan dibuka seluas langit dan bumi. Allah Swt berfirman;
وَسَارِعُواْ إِلَى مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ
“Bersegeralah memohon ampunan dari Tuhanmu, dan mohon surga yang
luasnya seluas langit dan bumi, disediakan untuk orang yang bertaqwa”. (QS Ali Imran: 133)
وَلِلّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأَرْضِ يَغْفِرُ لِمَن يَشَاءُ وَيُعَذِّبُ مَن يَشَاءُ وَاللّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Kepunyaan
Allah apa saja yang ada di langit dan di bumi. Diampuni-Nya siapa yang
dikehendaki-Nya, dan disiksa siapa saja yang dikehendaki-Nya. Dia Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS Ali Imran: 129)
Memohon
ampun dan bertaubat hendaknya tidak dilakukan dengan main-main atau
setengah-setengah. Setengahnya insyaf, setengahnya lagi ingin kembali ke
pekerjaan lamanya. Ini sama halnya dengan membiarkan benih penyakit
jahat tumbuh kembali dalam diri. Bagi orang yang bertaubat mesti
menanamkan niat yang kuat dalam dirinya untuk meninggalkan pekerjaan
keliru sejauh-jauhnya. Tutup rapat-rapat lembaran hitam itu dan jangan
coba membukanya kembali.
Taubatan nashuha (taubat yang baik)
laksana seseorang membuang kotoran yang keluar dari perutnya sendiri.
Kendati dia tahu persis asal muasal kotoran itu berasal dari makanan
yang enak, tetapi setelah berbentuk kotoran ia tidak akan mau melihatnya
lagi apalagi disuruh untuk (maaf) memeganginya. Ia bahkan berusaha
menjauhi sejauh-jauhnya. Menengokpun tak sudi lagi.
Di samping
itu, harus benar-benar bersih, ingin kembali ke jalan lurus yang
diridhai Allah. Tidak terpengaruh unsur-unsur lingkungan atau fisik.
Seorang pelacur yang sudah renta, kemampuan badaniahnya lemah, wajah
tidak lagi menarik, yang ingin bertaubat tetapi dalam hatinya masih
tertanam keinginan ke sana, taubat yang seperti ini masih dinodai oleh
kotoran. Ibaratnya, kaki kanan ingin melangkah ke surga sedang kaki
kirinya tetap berdiam di neraka. Taubat seperti ini adalah taubat yang
menggantung, yang urusannya hanya Allah Yang Mahatahu.
Agar kita
selamat, Rasululah menuntun kita untuk selalu mengoreksi diri dengan
beristighfar setiap saat. Beliau saw mengajarkan, “Ya Allah, Engkau
adalah Tuhanku. Tak ada Tuhan kecuali Engkau yang telah menjadikan aku,
dan aku adalah hamba-Mu, dan aku tidak punya kemampuan untuk
melaksanakan janji-Mu. Aku berlindung kepada-Mu dari keburukan/kejahatan
yang telah aku lakukan. Aku mengakui kepada-Mu atas nikmat yang Engkau
berikan kepadaku, dan aku mengakui pula terhadap dosa-dosaku. Maka
ampunilah aku (ya Allah), sesungguhnya tak ada yang dapat memberi
ampunan kecuali Engkau”. (HR Bukhari dari Syaddad bin Aus ra)
Syeikh Imam Nawawi berkata, ”Siapa
yang mengucapkan sayyidul istighfar ini di waktu siang dengan yakin,
bila dia mati pada hari itu sebelum waktu sore, maka dia adalah ahli
surga. Siapa yang mengucapkannya di waktu malam sebelum waktu Shubuh,
lalu meninggal dunia pada malam itu, maka dia adalah ahli surga.” *
JAUHI ADZAB, DENGAN CARA MENOLAK MAKSIAT
SEORANG aktivis Islam Liberal (JIL), menulis di sebuah akun Twitter mempertanyakan
azab Allah Subhanahu Wata’ala kepada kaum Luth. "Kalau memang benar
Kaum Luth diazab, kenapa Allah tidak menurunkan azab yang sama di zaman
ini?”
Dengan kata lain, ia secara ragu mempertanyakan janji Allah Subhanahu
Wata’ala yang tertulis dalam al-Quran Surat Huud tersebut.
Sesungguhnya, jika dia memang benar-benar telah bersaksi sebagai
seorang, Muslim tentu ia wajib mengimani dan meyakini kebenaran
al-Qur’an. Sebab di antara Rukun Islam yang lima, nomor
satu adalah; mengucap dua kalimat syahadat yang inti nya menerima bahwa
Allah itu tunggal dan Nabi Muhammad itu rasul Allah. Menerima Allah
berarti menerima sebua janji Allah yang telah disampaikan melalui
al-Quran, di mana yang jelas-jelas menyatakan kaum Luth benar-benar
diazab.
فَلَمَّا جَاء أَمْرُنَا جَعَلْنَا عَالِيَهَا سَافِلَهَا وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهَا حِجَارَةً مِّن سِجِّيلٍ مَّنضُودٍ
“Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu
yang di atas ke bawah, dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah
yang terbakar dengan bertubi-tubi,” (QS. Huud [11]:82)
وَقَوْمَ نُوحٍ مِّن قَبْلُ إِنَّهُمْ كَانُوا هُمْ أَظْلَمَ وَأَطْغَى
وَالْمُؤْتَفِكَةَ أَهْوَى
“Dan kaum Nuh sebelum itu. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang
yang paling zalim dan paling durhaka. Dan negeri-negeri kaum Luth yang
telah dihancurkan Allah.” (QS. an-Najm [53]:52-53)
إِنَّا أَرْسَلْنَا عَلَيْهِمْ حَاصِباً إِلَّا آلَ لُوطٍ نَّجَّيْنَاهُم بِسَحَرٍ
“Sesungguhnya Kami telah menghembuskan kepada mereka angin yang
membawa batu-batu, kecuali keluarga Luth. Mereka Kami selamatkan sebelum
fajar menyingsing,” (QS. al-Qomar [54]:34).
Pertanyaan tokoh JIL di atas paling tidak mengindikasikan dua hal, pertama dia tidak yakin kaum Luth diazab Allah, dan yang kedua —ini
adalah tujuan dari pertanyaan tersebut— dia menjustifikasi dan
mempromosikan perbuatan menyimpang homoseksual. Sekali lagi jika dia
memang benar-benar Muslim tentu selain meyakini adanya azab terhadap
kaum Luth juga berusaha mencegah azab Allah tidak turun bagi dirinya
sendiri dan orang lain/orang banyak baik di dunia maupun di akhirat
dengan cara tidak menjustifikasi dan mempromosikan perbuatan-perbuatan
maksiat.
Memelihara Keluarga
Tak seorangpun mengharapkan azab menimpa diri, keluarga, masyarakat
dan bangsanya, untuk itu logis jika menjadi kewajiban setiap diri
berusaha menolak dan tidak mendukung dan mempromosikan maksiat agar jauh
dari azab karena siksaan Allah tidak hanya menimpa orang-orang yang
berbuat maksiat tapi juga orang-orang lain yang baik-baik yang tidak
berbuat maksiat.
Karena itulah Allah memerintahkan pada kita menjaga diri agar tidak
tergelincir. Perintah ini disampaikan kepada semua pihak, baik yang
imannya lemah atau yang mengaku imannya kuat sekalipun.
وَاتَّقُواْ فِتْنَةً لاَّ تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُواْ مِنكُمْ خَآصَّةً وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus
menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa
Allah amat keras siksaan-Nya.” (QS. al-Anfaal [8]:25)
Bukannya justru mendukung maksiat seperti memperkuat statement bahkan
mendukung kemaksiatan dengan cara menjaga keamanan dalam acara-acara
maksiat yang sedang berlangsung.
Sebagai seorang Mukmin, kita harus punya keyakinan, bahwa azab yang
ditimpakan Allah kepada manusia tidaklah terbatas berupa bencana-bencana
alam seperti banjir, gempa dan angin kencang, tapi azab Allah juga
berupa penghidupan sempit berupa bencana-bencana dalam bidang ekonomi,
sosial dan politik seperti yang hingga kini masih melilit diri kita
bangsa Indonesia.
وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكاً وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى
“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya
baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada
hari kiamat dalam keadaan buta".” (QS. Thaahaa [20]:124)
Azab Allah juga berupa musibah-musibah dalam bentuk lain seperti kecelakaan kereta api, jatuhnya pesawat, banjir, gempa dll.
Sepatutnya kepedulian untuk menolak maksiat dan kemunkaran guna
menjauhi azab kita jadikan kebiasaan hidup dan menjadi bagian dari gaya
hidup kita. Usaha-usaha kita dalam menolak maksiat dan kemungkaran
dengan segala cara dan media menunjukan kualitas keimanan kita. Tidak
peduli dan mendiamkannya dengan diiringi perasaan benci saja berarti
iman yang kita miliki adalah selemah-lemahnya iman, apatah lagi tidak
peduli dan mendiamkannya tanpa diiringi perasaan benci (biasa-biasa
saja) atau malah menyukainya, bisa-bisa di dalam hati kita sama sekali
tidak ada iman sama sekali. Na’udzubillah min dzalik.
Dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu dia berkata, “Aku
mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barang
siapa di antara kalian yang melihat kemungkaran, hendaklah dia
merubahnya dengan tangannya. Apabila tidak mampu maka hendaknya dengan
lisannya. Dan apabila tidak mampu lagi maka dengan hatinya, sesungguhnya
itulah selemah-lemah iman.’.” (HR. Muslim)
Allah menginformasikan mereka yang memerintahkan kebaikan dan
mencegah kemungkaran adalah orang-orang yang beruntung. Sebaliknya
mereka yang tidak peduli dan tidak melakukan apa-apa adalah orang-orang
yang tidak beruntung.
وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ
بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَأُوْلَـئِكَ هُمُ
الْمُفْلِحُونَ
“Hendaklah di antara kalian ada segolongan umat yang
memerintahkan kebaikan dan mencegah kemunkaran. Dan merekalah termasuk
orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran [3]:104)
Semoga diri dan keluarga kita terhindar dari kemaksiatan dan fitnah zaman ini. Serta dijauhkan dari siksa dan azab Allah.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar