Powered By Blogger

Selasa, 28 Februari 2012

SEJARAH

Shuhaib bin Sinan, Sang Pendamping Setia Rasulullah


RASULULLAH Shalallahu 'alaihi wa sallam pernah berkata bahwa orang-orang yang paling pertama dan utama masuk Islam ada empat. Pertama, Rasullulah sendiri, sebagai tokoh dari Arab. Kedua, Shuhaib bin Sinan sebagai tokoh dari Romawi. Ketiga, Bilal sebagai tokoh dari Abyssina. Dan keempat, Salman al-Farisi sebagai tokoh dari Farsi.

Shuhaib bin Sinan memang berasal dari Romawi. Bahkan, nama al-Rumi yang kerap digandengkan kepada namanya berasal dari kata Romawi. Namun, catatan sejarah menunjukkan, nenek moyang Shuhaib sebetulnya berasal dari Arab, dan merupakan keluarga terhormat.

Nenek moyang Shuhaib pindah ke Iraq jauh sebelum datangnya Islam. Di negeri ini, ayah Shuhaib diangkat menjadi hakim dan walikota oleh Kisra, Raja Persia . Shuhaib dan orangtuanya tinggal di istana yang terletak di pinggir sungai Eufrat ke arah hilir Jazirah dan Mosul . Mereka hidup dalam keadaan senang dan bahagia.

Suatu ketika datang orang-orang Romawi menyerbu dan menawan sejumlah penduduk, termasuk Shuhaib. Setelah ditawan, Shuhaib dijualbelikan sebagai budak dari satu saudagar ke saudagar lain. Ia menghabiskan masa kanak-kanak dan permulaan masa remaja di Romawi sebagai budak. Akibatnya, dialeknya pun sudah seperti orang Romawi.

Pengembaraannya yang panjang sebagai budak akhirnya berakhir di Makkah. Majikannya yang terakhir membebaskan Shuhaib karena melihat kecerdasan, kerajinan, dan kejujuran Shuhaib. Bahkan, sang majikan memberikan kesempatan kepadanya untuk berniaga bersama.

Memeluk Islam

Perihal keislaman Shuhaib, diceritakan oleh sahabatnya, 'Ammar bin Yasir. Suatu ketika, 'Ammar berjumpa Shuhaib di muka pintu rumah Arqam bin Abu Arqam. Saat itu Rasulullah masih berdakwah secara sembunyi-sembunyi di rumah tersebut.

“Kamu mau kemana?” tanya `Amar.

Shuhaib balik bertanya, “Dan kamu hendak kemana?”

“Aku mau menjumpai Rasulullah untuk mendengarkan ucapannya,” jawab 'Ammar.

“Aku juga mau menjumpainya,” ujar Shuhaib pula.

Lalu mereka masuk ke dalam rumah Arqam menemui Rasulullah. Keduanya mendengar secara khidmat penjelasan tentang aqidah Islam hingga petang hari. Setelah itu, keduanya menyatakan diri memeluk Islam. Secara sembunyi-sembunyi mereka kemudian keluar dari rumah itu.

Hijrah

Ketika Rasulullah hendak berhijrah ke Madinah, Shuhaib ikut serta. Ada yang mencatat bahwa Shuhaib telah menyembunyikan segala emas, perak, dan kekayaan yang dimilikinya sebagai hasil perniagaan bertahun-tahun di Makkah sebelum pergi hijrah. Catatan lain menyebutkan bahwa harta tersebut hendak ia bawa ke Madinah.

Rencananya, Shuhaib akan menjadi orang ketiga yang akan berangkat ke Madinah setelah Rasulullah dan Abu Bakar. Namun, orang-orang Quraisy telah mengetahui rencana tersebut. Mereka mengatur segala persiapan guna menggagalkannya.

Ketika hijrah akan dilakukan, pasukan Quraisy menyerbu. Malang nasib Shuhaib. Ia masuk perangkap dan tertawan. Akibatnya, kepergian Shuhaib ke Madinah tertunda, sementara para sahabat yang lain bisa meloloskan diri.

Saat orang-orang Quraisy lengah, Shuhaib langsung naik ke punggung unta dan memacu sekencang-kencangnya menuju gurun yang luas. Tentara Quraisy segera memburu dan hampir berhasil menyusulnya. Tiba-tiba Shuhaib berhenti dan berteriak:

“Hai orang-orang Quraisy, kalian mengetahui bahwa aku adalah ahli panah yang paling mahir. Demi Allah, kalian tak akan berhasil mendekatiku sebelum kulepaskan semua anak panah yang berada dalam kantong ini. Dan setelah itu aku akan menggunakan pedang untuk menebas kalian sampai senjata di tangan ini habis semua. Nah, majulah ke sini kalau kalian berani! Tetapi kalau kalian setuju, aku akan tunjukkan tempat penyimpanan harta benda milikku asal kalian membiarkan aku pergi.”

Ibnu Mardaweh meriwayatkan dari Utsman an-Nahdiy dari Shuhaib bahwa pasukan Quraisy saat itu berkata, “Hai Shuhaib, dulu kamu datang kepada kami tanpa harta. Sekarang kamu hendak pergi hijrah sambil membawa pergi hartamu? Hal ini tidak boleh terjadi.”

“Apakah kalian menerima tawaranku?”

Tentara Quraisy akhirnya tertarik dan sepakat untuk melepaskan Shuhaib sekaligus menerima imbalan harta. Reputasi Shuhaib sebagai orang jujur selama ini telah membuat tentara Quraisy itu percaya bahwa Shuhaib tak akan berbohong.

Setelah kaum Quraisy balik arah, lalu melanjutkan perjalanan seorang diri hingga menyusul Rasulullah yang sedang berada di Quba’.

Waktu itu Rasulullah sedang duduk dikelilingi para sahabat. Ketika mendengar salam dari Shuhaib, Nabi langsung berseru gembira, “Beruntung perdaganganmu, hai Abu Yahya!” Ucapan itu diulangnya sampai dua kali.

Beberapa saat kemudian turunlah Surat Al-Baqarah ayat 207. Ibnu Abbas, Anas bin Musayyab, Abu Utsman an-Nahdiy, Ikrimah, dan yang lain berkata, ayat ini diturunkan Allah Subhanahu wa Ta’ala berkenaan dengan peristiwa yang menimpa Shuhaib. Sementara kebanyakan ulama berpendapat, ayat ini umum untuk setiap mujahid yang berperang di jalan Allah, seperti halnya fiman Allah dalam Surat at-Taubah ayat 111: “Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji benar Allah dalam Taurat, Injil, dan Al-Qur`an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain Allah)? Maka bergembiralah dengan jual-beli yang kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.”

Sebuah catatan menunjukkan, Shuhaib baru mengetahui turunnya ayat mengenai dirinya setelah bertemu Umar bin Khattab dan kawan-kawannya di Tharf al-Hurrah. Mereka berkata pada Shuhaib, “Perniagaanmu beruntung.”

“Kalian sendiri bagaimana? Saya tidak merugikan perniagaanmu di jalan Allah. Apa yang kalian maksud dengan perniagaanku beruntung?” tanya Shuhaib.

Para sahabat kemudian memberitahu bahwa Allah telah menurunkan ayat yang berkaitan dengan dia.

Pendamping Setia

Setelah hijrah, Shuhaib menjadi pendamping setia Rasulullah. Ia dikenal berani dan andal menggunakan lembing dan panah.

Shuhaib pernah berkata, “Tidak ada sesuatu peperangan yang dilakukan Rasulullah dengan pihak lain yang aku tidak ada di sampingnya. Tidak pernah suatu perjanjian yang dibuat Rasulullah dengan pihak lain yang aku tidak ada di sampingnya. Tidak pernah suatu angkatan perang yang disiapkan oleh Rasulullah untuk pergi bertempur yang aku tidak ada di dalamnya. Tidak ada sesuatu peperangan yang sedang berkecamuk yang aku tidak ada di kanan kiri baginda. Tidak pernah terjadi sesuatu persiapan untuk mengirim bantuan yang aku tidak hadir di tempat itu. Pendek kata, aku adalah orang yang berdiri di tengah-tengah antara musuh dan Rasulullah.”

Setelah Rasulullah wafat, Shuhaib menyumbangkan baktinya kepada Sayyidina Abu Bakar dan Sayyidina Umar bin Khaththab ketika keduanya menjadi khalifah. Ketika Umar ditikam dari belakang saat memimpin shalat Shubuh, Shuhaib langsung ditunjuk sebagai pengganti imam.

Kata Umar, “Shalatlah kalian bersama Shuhaib.” Padahal saat itu kaum Muslimin belum memutuskan siapakah yang bakal menggantikan Umar sebagai khalifah.

Selanjutnya, Umar berkata, “Jangan kalian takut kepada Shuhaib karena dia seorang maula (hamba yang dimerdekakan). Dia tidak akan memperebutkan jabatan khalifah ini.”*








Syeikh Jamil Jambek, Sang Penentang Hukum Adat

KETIKA usia belasan tahun, Muhammad Jamil Jambek dikenal sebagai parewa (preman) di kampunghalamannya, Nagari Kurai, Bukittinggi, Sumatera Barat. Ia keluar masuk kampung sebagai jagoan dengan keahlian pencak silat. Banyak pemuda yang takut berkelahi dengannya.

Menyabung ayam, bagian dari tradisi masyarakat Minangkabau kala itu, adalah kebiasaannya. Ia juga pernah mengisap candu. Saking gemarnya mengisap barang haram ini, ia dapat membedakan mana bau rokok dengan bau candu dari kejauhan. Keahlian ini juga yang membuat anak muridnya sering katahuan saat usai mengisap candu.

Sejarah kemudian mencatat Muhammad Jamil Jambek, yang juga dikenal dengan sebutan Inyiak Jambek, menjadi ulama terkemuka Minangkabau. Ia paling kritis terhadap adat istiadat dan ajaran tarikat. Dia juga ahli ilmu falak dan pembuat imsyakiah pertama. Dialah yang pertama kali memperkenalkan metode dakwah dengan bertabligh di depan massa.

Insyaf dan ke Makkah

Jamil Jambek lahir di kota Bukittinggi, Sumatera Barat, pada tahun 1863. Nama kecilnya Muhammad Jamil. Ia anak sulung dari Muhammad Saleh Datuk Maleka, seorang Kepala Nagari di Kurai, Bukittinggi.

Meski putra seorang pemimpin adat, perangai Jamil saat remaja sering dicibir masyarakat. Ia anak pemimpin adat yang sungguh tak beradat.

Pada usia 22 tahun, tepatnya tahun 1885, atas nasehat seorang ulama, Tuanku Kayo Mandiangin, Jamil mulai sadar dan meninggalkan dunia parewa. Ia kemudian belajar agama dan bahasa Arab.

Setahun berlalu, Jamil dikirim ayahnya belajar pada Syeikh Ahmad Khatib di Makkah. Ahmad Khatib adalah ulama asal Nagari Balai Gurah, Bukittinggi, yang termasyur sebagai guru besar di Mekkah dan menjadi Imam Besar di Masjidil Haram, sebuah posisi yang sebelumnya tak pernah diisi oleh mereka yang berasal dari luar tanah Hijaz.

Ada beberapa murid Syeikh Ahmad Khatib di Makkah yang kemudian terkenal sebagai motor pembaharu sekembalinya ke tanah air. Di antara mereka adalah KH Ahmad Dahlan, H Abdul Karim Amrullah, H Abdullah Ahmad, Syeikh Taher Jalaluddin, H Agoes Salim, H Muhamad Basyuni Imran, H Abdul Halim, KH Hasyim Asy'ari, dan Syeikh Daud Rasyidi.

Cukup lama Jamil Jambek berguru di Makkah, sejak tahun 1886 hingga pulang ke Ranah Minang pada tahun 1903.

Benturan pertama dan terberat yang dihadapai Jamil Jambek sekembali dari Makkah adalah masalah adat Minangkabau, khususnya hukum waris. Menurut ajaran Islam yang diterimanya dari Syeikh Ahmad Khatib, harta pusaka diwariskan kepada anak sendiri dengan ketentuan anak laki-laki memperloleh bagian yang lebih besar dari anak perempuan. Sedangkan adat Minangkabau menggariskan bahwa harta pusaka diwariskan kepada kemenakan perempuan, bukan kepada anak laki-laki.

Jamil Jambek tak bergeming dengan beratnya tantangan adat Minangkabau tersebut. Apa lagi ia tahu bahwa gurunya, Syeikh Ahmad Khatib, telah menulis dua buku berbahasa Arab tentang hukum waris.

Beberapa karyanya tertulis dalam bahasa Arab dan Melayu, salah satunya adalah al-Jauhar al-Naqiyah fi al-A'mali al-Jaibiyah. Kitab tentang ilmu Miqat ini diselesaikan pada hari Senin 28 Dzulhijjah 1303 H.

Karya lainnya adalah Hasyiyatun Nafahat ala Syarh al-Waraqat. Syeikh Ahmad Khatib menyelesaikan penulisan kitab ini pada hari Kamis, 20 Ramadhan 1306 H, isinya tentang usul fiqih. Karyanya yang membahas ilmu matematika dan al-Jabar adalah Raudhatul Hussab fi A'mali Ilmil Hisab yang selesai dirulis pada hari Ahad 19 Dzulqaedah 1307 H di Makkah. Kitab-kitab lainnya adalah al-Da'il Masmu'fi al-Raddi ala man Yurist al-Ikhwah wa Aulad al-Akhawat ma'a Wujud al-Ushl wa al-Manhaj al-Masyru', Dhau al-Siraj dan Shulh al-Jama'atain bi Jawazi Ta'addud al-Jum'atain.

Ahmad Khatib membuat pernyataan keras terhadap mereka yang menolak hukum Islam. Mereka harus diputuskan hubungannya dan tidak punya hak untuk mendapat pemakaman secara Islami.

Sedangkan tentang praktik tarekat Naqsyabandi di Minangkabau, Syeikh Ahmad Khatib menulis buku berjudul Izhhar Zughal al-Kadzibin (Menjelaskan Kekeliruan Para Pendusta).

Cukup berat tantangan yang dihadapi Syeikh Jamil Jambek dalam meluruskan masalah hukum waris dan ajaran tarikat yang sudah lebih dulu mentradisi di pelosok Ranah Minang. Namun metode dakwah dangan bertabligh, atau berpidato di hadapan massa, membuat masyarakat di kampung halamannya cepat mahami apa yang disampaikannya.

Jamil Jambek adalah ulama pertama yang memperkenalkan metode dakwah ini. Sebelumnya, masyarakat hanya mengenal metode berhalaqoh, pengajian dengan duduk melingkar menghadap guru di rumah dan surau-surau.

Ulama Kritis

Syeikh Jamil Jambek juga meninggalkan kebiasaan lama dimana ulama sangat terikat kepada kitab Jawi. Semuapelajaran diberikan dengan cara berdiri di muka umum, diberi keterangan selengkap-lengkapnya dengan metode yang mudah dimengerti.

Dengan metode baru tersebut, Syeikh Jamil Jambek cepat sekali menebar pengaruhnya. Bahkan begitu cepat merangkul banyak pengikut. Dalam waktu singkat ia sudah bisa mendirikan sebuah surau yang digunakan sebagai pusat pergerakan di kawasan Tengah Sawah, Bukittinggi.

Di surau ini Syeikh Jamil secara rutin memberikan pelajaran agama dengan berdiri di hadapan murid-muridnya, dilengkapi papan tulis. Umumnya murid Syeikh M Jamil Jambek adalah orang-orang berpangkat, tuanku, lebai, fakih/orang yang mengerti agama, dan guru.

Selain berdakwah di Surau Tengah Sawah, Jamil Jambek secara rutin turun ke kampung-kampung hingga ke Gadut, Pakan Kamis, dan Tilatangkamang yang pernah menjadi pusat pergerakan kaum Paderi.

Perubahan yang dibawa Syeikh Jamil Jambek tak hanya dalam cara mengajar namun juga dalam hal pemanfaatan ilmu pengetahuan umum untuk kepentingan Islam dan kaum Muslim. Ia sendiri telah membuktikannya dengan menguasai ilmu falak. Bahkan, Syeikh Jamil Jambek telah menyusun jadwal waktu shalat. Tak sekadar itu, ia juga telah menerbitkan Imsyakiah Ramadhan pada tahun 1911. Inilah imsyakiah pertama yang beredar di Indonesia.

Dalam setiap tabilqh akbar, Syeikh Jamil Jambek sering mengkritisi amalan suluk dalam tarekat Naqsyabandi dan segala macam bid’ahnya. Menurut Jamil Jambek, suluk jika tidak hati-hati bisa membuat orang malas.

Awalnya, Syeikh Jamil Jambek lebih suka berdakwah langsung ketimbang berdakwah lewat tulisan. Hanya sekali dia menulis di Majalah Al-Munir yang diterbitkan H Abdullah Ahmad di Padang.

Barulah pada awal tahun 1905, Syeikh Jamil Jambek mulai menulis buku. Di antaranya, buku berjudul "Penerangan Tentang Asal Usul Thariqatu al-Naksyabandiyyah dan Segala yang Berhubungan dengan Dia. Buku ini diilhami dari pertemuan ulama guna membahas keabsahan tarekat di Bukit Surungan, Padangpanjang. Saat itu Syeikh Jamil secara terbuka menyampailkan kritiknya soal tarekat.

Buku ini terdiri atas dua jilid. Salah satu penjelasan dalam buku ini kenyatakan bahwa tarekat Naksyabandiyyah diciptakan oleh orang dari Persia dan India. Syeikh Jamil Jambek menyebut orang-orang dari kedua negeri itu penuh takhayul dan khurafat yang makin lama makin jauh dari ajaran Islam.

Sikap kritis Syeikh Jamil Jambek juga tertuang dalam buku berjudul "Memahami Tasawuf dan Tarekat yang ditujukan sebagai upaya mewujudkan pembaruan pemikiran Islam.

Pada tahun 1913 Syeikh Jamil Jambek merangkul sahabatnya sesasama murid Syeikh Ahmad Khatib, yakni Syeikh Daud Rasyidi, mendirikan Majelis Islam Tinggi (MIT). Ia juga mendirikan Barisan Sabilillah untuk melatih kaum muda mengusir penjajahan kafir Belanda.

Namun, belum genap dua tahun Syeikh Jamil Jambek mengecap era kemerdekaan yang ikut diperjuangkannya, pada 16 Safar 1367 H, bertepatan 30 Desember 1947, Syeikh Muhammad Jamil Jambek dipanggil oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. Makamnya masih menjadi saksi sejarah di pekarangan masjid yang pernah menjadi basis perjuangnya.

Masjid yang terletak di jantung kota Bukittinggi itu hingga kini masih bernama Surau Inyiak Jambek.









Sejarah dan Interpretasi Aliran yang Menyimpang dalam Islam


SEBUAH hadits menyatakan bahwa umat Islam tidak akan pernah
tersesat selama ia berpegang teguh kepada Kitabullah dan Sunnah Nabi.1

Terdapat hadits yang menyatakan bahwa umat Islam akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, hanya satu golongan yang selamat 2. Hadits ini masih diperselisihkan tentang kesahihannya, jadi bersifat zhanni
(nisbi), bukan qath’i (mutlak) (3).

Sejak dari timbul fitnah (kisruh) di akhir masa pemerintahan Utsman
bin ‘Affan ra, umat Islam pecah menjadi berbagai firqah (kelompok). Golongan Syi’ah sebagai pendukung Ali bin Abi Thalib, golongan Khawarij sebagai penantang Ali dan Mu’awiyah serta golongan Jumhur (Sunni). Selain itu timbullah pemalsuan hadits karena berbagai alasan, motif. Antara lain karena alasan politik (siasah), karena anti Islam yang terpendam (zanadaqah), karena fanatik (‘ashabiyah), karena gemar mendongeng (qushshah), karena perbedaan penapat/pandangan, karena kesalahan pendapat/pandangan (logika yang keliru), karena menjilat penguasa (M Hasbi AshShidieqy : “Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Bulan Bintang, Djakarta, 1953).

Timbulnya perpecahan, firqah, kelompok, golongan, aliran paham sesat
dalam Islam semata-mta karena tak sepenuhnya berpegang pada al-Quran dan hadits. Bisa karena sudah dicemari oleh paham Yahudi, Nasrani, Majusi, Yunani, Hindu, China, dan lain-lain. Juga pengaruh talbis, dansinkretisme. Paham-paham ini bisa masuk, menyelundup ke dalam Islam melalui kaum Munafik, yaitu kaum kafir (Yahudi, Nasrani, Majusi) yang tampil sebagai orang Islam.

Namun sebagian bisa pula dipungut secara aktif oleh orang Islam sendiri dari filsafat Yunani, Hindu, China, dan lain.lain.

Perpecahan, perbedaan paham bisa direduksi diminimalisir dengan
membuang seluruh paham yang telah mencemari ajaran Quran dan Hadits.

Di dalam politik, pemerintahan, kenegaraan, kepemimpinan, yang
mula-mula muncul adalah paham Khawarij, kemudian muncul paham Syi’ah.

Khawarij lebih dulu memberontak kepada Khalifah Ali bin Abi Thalib,
kemudian baru berusaha mencari alasan begi pembenaran pemberontakannya.

Sedangkan Syi’ah, pahamnya yang lebih dulu terbentuk, kemudian baru
mulai mengadakan pemberontakan 4. Jadi Khawarij, lebih dulu melancarkan aksi pemberontakannya, kemudian baru menyusun teori bagi pembenaran aksinya.

Perbedaan kepercayaan

Di dalam akidah, kepercayaan muncul dengan lahirnya paham Qadariah, Jabariah, Asy’ariah, Maturidiah, dan lain-lain. Masing-masingnya menyusun teorinya berdasar pemahaman, interpretasinya pada Qur:an dan Hadits 5.

Di dalam ibadah, fikih muncul paham Hanafiah, Malikiah, Syafi’iah, Hanabilah, Zhahiriah, dan lain-lain. Masing-masing juga menyusun teori, paham, mazdhab dan metodenya berdasar interpretasinya pada Qur’an dan Hadits.

Di dalam tasawuf juga muncul berbagai macam paham, seperti Naqsyqabandiah, Qadiriah, Samaniah, Syatariah, Tijaniah yang menurut Mohammad Natsir lebih bertolak pada rasa dan intuisi katimbang interpretasi, pemahaman akan Kitabullah dan Sunnah Rasul (6). Interpretasinya lebih cenderung pada signal, isyarat.

Ibnu Khaldun dalam “Muqaddamah”-nya menyebutkan bahwa ketika orang-orang sudah mulai cenderung dan terlena dengan urusan duniawi pada abd ke dua hijrah dan sesudahnya, maka muncullah sebagian orang yang khusus beribadah saja yang dikenal dengan nama sufi (Abdul Qadir Isa : “Hakekat Tasawwuf”, Qisthi Press, Jakarta, 2005, hal 10).

Haji Khalifah dalam “Kasyf azh-Zhannun” menyebutkan bahwa orang yang
pertama kali dikenal dengan sufi adalah Abu hasyim ash-Shufi (w150)
(Idem, hal 11).

Doktor Kamil Musthafa dalam kitabnya “Ash-Shilah baina at-Tashawuf wat Tasyri” (Kaitan anytara Tasawul dan Aliran Syi’ah) bahwa orang yang pertama dijuluki dengan sebutah shufi di dalam Islam adalah Jabin bin Hayyan (ahli filsafat dan kimia), Abu Hasyim al Kufi (pembangun padepokan shufiyah di Ramlah) dan Abduk as-Shufi (campuran syi’ah dan shufiyah).

Dalam khazanah sufi terdapat terminolgi; Hulul, Ittihad, Wihdatul Wujud. Hulul adalah paham yang beri’tiqad, meyakini bahwa Allah, berada, bersemayam di setiap bagian bumi, di lautan, di pegununga, di bukit, di pepohonan, pada manusai, pada hwan. Ittihad adalah paaham yang beri’tiqad, meyakini bahwa Khaliq (Allah) bersatu (manunggal) dengan makhluq (manusia). Sihdatul Wujud adalah paham yangberi’tiqad bahwa wujud (ada) hanyalah satu, tidak berbilang. Tak ada yang wujud (ada) kecuali Allah swt. Sedangkan yang maujud (yang diadakan) boleh
berbilang.Adanya (maujud) alam adalah karena adanya wujud (ada) yang
wajib berdiri sendiri. (Dalam “Madarijus Salikin” Ibnu Qayyim terdapat
pembahasan “Wujud” tanpa “Wihdatul”).

Pimpinan Yayasan Al-Qalam, Pasar Rumput, Jakarta Selatan (M Amin
Djamaluddin, menyebutkan bahwa inti sari ajaran Ibnu Arabi (tokoh
Tasawwuf Falsafi) didasarkan atas teori/paham Wihdatul Wujud yang
menghasilkan teori/paham Wihdatul Adyan (Kesatuan Agama) sebagai hasil dari gabungan teori/paham Al-Ittihad (Manunggal) dan mengadakan
Al-Ittishal (Emanasi, nyambung, tasalsul ath-thuruq?). (“Siapa Ibnu
Arabi? Tanggapan atas pernyataan Dr Nurcholish Madjid”).

‘Abdul Qadir Isa dalam bukunya “Hakekat Tasawuf” menyatakan bahwa
sebutan/predikat Hulul dan Ittihad itu adalah tuduhan bohong yang
dilontarkan oleh orang-orang yang menentang kaum sufi bahwa kaum susfi
meyakini Hulul dan Ittihad. Kaum sufi bebas dari tuduhan bohong itu.
Tidak mungkin kaum sufi yang mengamalkan islam, iman dan ihsan akan
terjerumus pada paham sesat tersebut.

SA al-Hamdany memandang, bahwa Tasawuf itu adalah merupakan campuran dari ajaran-ajaran Brahma, Budha, falsafah Yunani, kepadrian kaum Nasrani dan ajaran baru Plato. Karenanya Tashawuf bukanlah dari Islam dan Islam sendiri suci/bersih daripadanya” (“Sanggahan terhadap Tashawuf & Ahli Sufi”, Al-Ma’arif, Bandung, 1986, hal 15, 33) (Aqidah/keimanan, Ibadah/keislaman, Akhlaq/keihsanan Sufi menyimpang dari Aqidah/keimanan, Ibadah/keislaman, Akhlaq/keihsanan Islam ?).

Hulul, Itihad dan Wihdatul Wujud tidak terdapat dalam Islam (idem, hal 17). Abdul Qadir Isa dalam bukunya “Hakekat Tasawuf” mengemukkan bahwa dari data historis dapat disimpulkan bahwa tasawuf bukanlah sesuatu yang baru dalam Islam. Dasar dari ajran tasawuf diserap dari sejarah dan peri kehidupan Rasulullah dan para shahabatnya. Mengacu pada hadits yang menjelaskan Rukun Iman, Rukun Islam dan Rukun Ihsan.

Abul A’la al-Maududi menyebutkan bahwa ia adalah penantang tasawwuf yang selalu digembar-gemborkan oleh mereka yang hatinya berselubung tasawwuf yang menampakkan salah satu cermin/maqam “ihsan”, Pemakaian simbol/lambang tasawuf dan istilah/terminology, pemilihan ungkapan bahsa dan uslubnya serta penetapan metoda/kaifiat thariqat sufi perlu untuk dihindari (“Sejarah Pembaruan dan Pembangunan Kembali Alam Pikiran Agama”, Bina Ilmu, Surabaya, 1984, hal 111).

Madzhab shufiyah dan madzhaf syi’ah dipandang sebagai saudara sepupu yang berasal/muncul dari sumber yang sama dan yang saling berdekatan dan memiliki tujuan yang mirip sama. Dua kelompok ini bersekutu, mirip dalam akidah secara umum dan juga mirip dalam syari’at yang diterapkan.

Syahrastani (479-584H) mengarang “Al Milal wan Nihal” yang menerangkan berbagai paham agama dan aliran-aliran kepercayaan samapai masa hidupnya 7. Syahrastani menyebut empat golonga besar, yaitu Qadariah, Shifatiah, Khawarij dan Syi’ah 8.

Berdasar dalal zhanni, bukan dalil qath’I, Ibnul Jauzi (wafat 597H) melihat ada enam golongan pokok yang masing-masing terpecah menjadi dua belas golongan, sehingga seluruhnya berjumlah tujuh puluh dua golongan. Keenam golongan pokok itu ialah: Haruriah, Qadariah, Jahmiah, Murjiah, Rafidhah, Jabariah 9.

Muhammad Ahmad Abu Zahrah dalam bukunya “Al-Madzahib al- Islamiyah” (Madzhab-madzhab dalam Islam) membicarakan aliran-aliran politik dan aliran-aliran kepercayaan dalam Islam, antara lain : Syi’ah, Khawarij, Murjiah, Mu’tazilah, Asy’ariyah, maturidiyah, Salafiyah, Bahaiyah, Qadianiyah.

Dalam Sahih Bukhari pada “Kitab al Fitan” terdapat hadits-hadits tentang tanda-tanda hari kiamat 10 dan sifat-sifat dajjal 11.

Dalam Sahih Bukhari pada “Kitab al Iman” terdapat hadits tentang testing, pengujian untuk membedakan antara Nabi dan yang bukan, menurut versi Heraklius (Herkules?).

MUI Pusat merinci sepuluh kriteria untuk membedakan paham aliran
yang sesat dan yang bukan sesat 12.

Aliran sesat dan klaim Rujukan

Di Indonesia kini marak muncul paham aliran baru. Masing-masing menyusun teori berdasar interpretasinya terhadap Qur:an untuk pembenaran pahamnya.

HM Amin Djamaluddin, Hartono Ahmad Jaiz dengan LPPI nya (Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam) aktif menyoroti, mengkaji, menggugat paham aliran sesat.

Ahmadiyah, al Qadiyah menggunakan hadits tentang turunnya Nabi Isa, turunnya Imam Mahdi, dan ayat Qur:an tentang naaiknya Nabi Isa (QS 3:55) menurut interpretasinya dalam menyusun teorinya, bahwa kedatangan al Masuh al Mau’ud itu sudah disebutkan dalam Kitab Suci terdahulu, dan dialah alMasih alMau’ud itu (al masih ad Dajjal).

Syi’ah menggunakan hadits tentaang turunnya Imam Mahdi, serta mengarang-ngarang tentang kesuperan Ali bin Abi Thalib dalam mengembangkan teori imamahnya. Inkarus Sunnah, al Qur’an Suci menggunakan interpretasinya terhadap
Qur’an dalam menyusun teori, pahamnya.

Islam Jama’ah juga menggunakan interpretasinya terhadap Qur:an dan
Hadits dalam menyusun teori, paham manqul nya.

Mahaesa Kurung al Mukarramah juga menggunakan interpretasinya terhadap Qur’ an dan Hadits dalam menyusun, mendukung teori, paham spiritualnya. Ia punya website, situs sendiri.

Wahidiah juga menyusun teori, paham spiritualnya menggunakan interpretasinya terhadap Qur:an dan Hadits. Menurut teorinya, olah batin (spiritual) itu mengacu dan mengikuti ungkapan, slogan, semboyan “Lillah-Billah, LirRasul-BirRasul, LilGhauts-BilGhauts”. (Tunduk, patuh, setia pada alGhauts, karena ia punya wewenang memberikan syafa’at) (13). Wahidiah juga punya situs sendiri.

Berpegang Islam

Khalifah Abubakar Siddiq ra pernah memperingatkan umat Islam bahwa suatu masa nanti umat Islam akan berada di persimpangan jalan (maghraqi mahajjah), dibawah penguasa kejam (tiran), umat terpecah-belah, darah mudah tertumpah. Pada masa itu umat Islam hatruslah kembali menjadikan masjid sebagai pusat aktivitas jama’ah, kembali menjadikan Quran sebagai sumper petunjuk, melakukan
konsolidasi (Simak M Natsir : “Fiqud dakwah”, amadhani, Semarang, 1984, hal 88-89; Risalah Da’wah AL-MUNAWWARAH, Tanah Abang, Djakarta,

Rasulullah memperingatkan bahwa suatu masa nanti umat Islam akan mengalami situasi dimana umat Islam tidak diperintah sesuai dengan sunnah Rasulullah. Pada masa itu umat Islam haruslah kembali berada dalam jama’ah kaum Muslimin beserta pimpinannya. Jika tak ada ada jama’ah kaum Muslimin beserta pimpinannya, maka bersabarlah.

"Lakukanlah dan tunaikanlah kewajiban dan mohonlah hak yang menjadi bagian kepada Allah." (Simak HR Bukhari, Muslim dalam “Al-Lukluk wal-Marjan”, pasal “Anjuran Supaya Tetap Dalam Jama’ah Kaum Muslimin.” */Asrir Sutanmaradjo. Penulis adalah peminat masalah agama, tinggal di Bekasi.

Sumber rujukan

1.“Muwaththa’” Imam Malik.
2.“Manhaj alFirqah an Najiah” oleh Muhammad bin Jamil Zinu.
3.PANJI MASYARAKAT, No.498, 21 Maret 1986, “Tentang sabda Nabi saw : “Umatku akan pecah 73 golongan,” oleh Muhammad Baqir.
4.“Sejarah dan Kebudayaan Islam” oleh Prof Dr A Syalabi, jilid II, 1982:308.
5.“Pedoman Pokok dalam Kehidupan Keagamaan Berdasarkan Ahlus Sunnah wal Jama’ah” oleh KH Tb M Amin Abdullah alBantani, 1984.
6.“Sanggahan terhadap Tasauf dan Ahli Sufi” oleh SA alHamdany, 1982.
7. “Ulama Syafi’I” oleh KH Sirajuddin Abbas, 1975:157-162.
8.“AlMilal wan Nihal” oleh Syahrastani.
9.“Godaan Sytan” oleh Md Ali alHamidy, 1984:128-136.
10.“Jalan Menuju Iman” oleh Abdul Madjid azZaidan.
11.“Tafsir alAzhar” oleh Prof Dr Hamka, juzuk IX, 1982:191-197, re
ayat QS 7:187.
12.RAKYAT MERDEKA, Rabu, 7 November, 2007.
13.“Pedoman Pembinaan Wanita Wahidiyah” oleh Penyiaran Shalawat
Wahidiyah Kedunglo, Kediri, Jatim.
14.“Sanggahan terhadap Tasauf”, 1982:20-23.








Ulama Masyhur yang Dituduh “Penghianat” Rezim Soekarno


BULAN Februari ini, adalah hari kelahiran seorang tokoh ulama besar Nusantara yaitu Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan sebutan HAMKA. Beliau dilahirkan di Maninjau Sumatera Barat pada 17 Februari 1908. Jadi sehingga kini sudah seabad lebih lamanya. Untuk itu bagi kita generasi sekarang ini perlu mengenal lebih dekat sosok ulama besar tersebut sekaligus mengenang jasa yang telah diberikan kepada bangsa dan agama di tanah air.

Ayah Hamka adalah H. Abdul Karim Amrullah atau Haji Rasul seorang tokoh ulama Sumatera. Dikenal sebagai pelopor “golongan muda”, murid Syekh Ahmad Khatib yang bermukim di Makkah. Ibunya bernama Syafiyah istri kedua ayahnya.

Pendidikan awal buya Hamka di sekolah Diniyah 1916 kemudian di sekolah Sumatera Thawalib 1918. Diantara gurunya disana ialah Zainuddin Labai El Yunusi, H.Rasul Hamidi, H. Jalaluddin Thaib, Angku Mudo Abdulhamid dan lain-lain. Selain itu Hamka mengaji kepada Syekh Ibrahim Musa Parabek pada tahun 1922.

Beliau belajar Tafsir Al Qur'an dan Fikih dengan kitab Al Muhazzab dari Angku Mudo Abdulhamid. (Ayahku hal 318) Setelah itu beliau merantau ke Jawa. Disana beliau belajar kepada HOS. Cokroaminoto tentang islam dan sosialisme, kepada Soeryopranoto tentang sosiologi dan kepada H. Fakhruddin dalam ilmu Tauhid. Selanjutnya beliau banyak belajar kepada A.R.St. Mansur.

Guru yang memiliki pengaruh besar pada dirinya ialah ayahnya sendiri dan A.R.St. Mansur yang tak lain adalah iparnya. Dari ayahnya Hamka belajar langsung tentang Ushul Fiqh dan Mantiq. Selama enam bulan beliau belajar kepada ayahnya di kutub khanah sampai kedua ilmu tersebut beliau kuasai. Alasan ayahnya mengajarkan dua ilmu tersebut ialah kegemaran Hamka berfilsafat dan membawa sejarah ketika berceramah, sehingga dengan menguasai kedua ilmu tersebut tidak dikuatirkan akan tersesat.

Buya Hamka banyak berperan dalam gerakan dakwah. Beliau tidak memaknai dakwah secara sempit. Banyak bidang yang telah beliau lakukan dalam memperjuangkan agama Islam.

Dalam bidang organisasi beliau aktif di Muhammadiyah. Dalam bidang pendidikan selama hidupnya beliau banyak mengajar kepada masyarakat. Baik di sekolah, masjid, surau, universitas dan lainnya. Ketika mudanya beliau pernah mendirikan sekolah Tarbiyatul Muballighin sekaligus menjadi direkturnya. Beliau juga mengajar masyarakat Indonesia melalui kuliah di Radio Republik Indonesia (RRI) selama lebih dari tiga puluh tahun.

Dalam bidang keilmuan dan penulisan beliau telah menulis buku-buku dari berbagai bidang. Mulai dari pendidikan, tasawuf, filsafat, tafsir, akhlak, sejarah roman dan lainnya. Diantara judul-judul bukunya yang banyak tersebut antara lain: Tasauf Modern, Filsafat Hidup, Lembaga hidup, Tafsir Al Azhar, Lembaga Budi, Ayahku, Sejarah Umat Islam, Revolusi Agama, Revolusi Pemikiran, Studi Islam, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Dibawah Lindungan Ka’bah dan Pandangan Hidup Muslim.

Metode dakwah yang dibawakan oleh Buya Hamka sangat bijaksana sehingga diterima banyak kalangan. Misalnya beliau menulis roman islami yang pada masa itu sangat “aneh” bagi seorang ulama menulis roman. Namun cara tersebut justru sangat digemari masyarakat.

Beliau sangat mahir dalam menulis dan bahasanya sangat sederhana sehingga mudah difahami. Meskipun menjelaskan sesuatu pembahasan yang sulit seperti filsafat. Namun melalui sentuhannya filsafat menjadi mudah dimengerti oleh banyak orang. Beliau juga diantara tokoh yang yang turut meningkatkan seni kesusasteraan di tanah air. kemahirannya dalam menulis diawali dengan menulis ringkasan pidato dan diskusi bersama rekan-rekannya pada masa mudanya.

Dalam bidang penerbitan beliau menjadi editor sekaligus pimpinan majalah Pedoman Manyarakat dan Panji Masyarakat (Panjimas). Melalui majalah tersebut beliau menyampaikan pemikirannya.

Disegani Dunia

Atas keluasan ilmu yang dimiliki serta kontribusinya yang besar dalam berdakwah di Indonesia beliau di anugerahi Doktor Honoris Causa dari Universitas Al Azhar Kairo pada tahun 1958. Surat pengakuan gelar tersebut ditanda-tangani langsung oleh Syeikh Al Azhar ketika itu yaitu Syeikh Mahmud Syaltut. Hal ini mengulang sejarah ayahnya yang diberikan gelar yang sama pada tahun 1926 ketika kongres yang dianjurkan oleh ulama Al Azhar. Ketika itu ayahnya bersama H. Abdulllah Ahmad, masing-masing mendapat gelar kehormatan melalui kesepakatan ulama yang hadir.

Hamka juga memperoleh gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM) pada tahun 1974. Pada tahun 1977 beliau diangkat sebagai Ketua Majlis Ulama Indonesia (MUI) kemudian mengundurkan diri pada tahun 1981 dikarenakan tekanan pemerintah yang tidak sesuai dengan pendiriannya.

Pada zaman Soekarno, beliau pernah dipenjarakan selama dua tahun karena dituduh “pengkhianat” dan menjual negara kepada Malaysia. Tentu beliau sangat sakit hati atas tuduhan keji rezim yang pernah bertangan besi kepada tokoh-tokoh Islam tersebut. Namun beliau bersabar dan memanfaatkan waktu tersebut untuk menyelesaikan karyanya yang monumental bernama Tafsir Al Azhar (30 jilid).

Selama hidupnya beliau menjadi panutan masyarakat dan tempat banyak orang bertanya tentang masalah agama. Atas usaha beliaulah masjid Al Azhar selesai dibangun dan beliau menjadi imam masjid tersebut hingga akhir hayatnya.

Beliau menutup usia pada 24 Juli 1981. Dengan meninggalkan warisan karya-karya penting yang masih selalu dipelajari orang sehingga hari ini. Ketokohan beliau bukan saja diakui oleh masyarakat Indonesia namun di Malaysia dan Singapura kedudukan beliau dangat dihormati. Mereka juga turut bangga kepada buya Hamka. Buku-buku karangan beliau banyak dipelajari dan diterbitkan di kedua Negara tersebut. Di Singapura misalnya, maka Pustaka Nasional yang banyak menerbitkan. Di Malaysia terdapat beberapa tesis dalam bahasa Melayu, Arab atau pun Inggris yang membahas pandangan beliau dalam berbagai disiplin ilmu.

Demikianlah sedikit kisah tentang sosok buya Hamka. Tujuan ditulisnya kisah ini, selain untuk memperingati masa kelahirannya juga untuk memberikan semangat kepada generasi baru muslim di Negara ini agar mengikuti jejak beliau. Dengan cara menguasai ilmu serta beramal untuk memajukan bangsa dan agama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar