Powered By Blogger

Selasa, 28 Februari 2012

GAYA HIDUP MUSLIM

Berkarya dan Beramal: Rahasia ‘Hidup’ Sepanjang Masa


“GAJAH mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, ” demikian sebuah pepata masyhur mengatakan. Pribahasa yang mencoba menjelaskan betapa mahluk dan seseorang akan dikenang semasa ketika mereka hidup. Kematian tidak serta merta menghapus eksistensi mereka di muka bumi ini, masuknya jasad di liang lahat setelah itu ia akan dikenal orang atas amal perbuatannya.

Pelajaran yang bisa kita petik dari pribahasa ini, kalau makhluk semacam gajah dan harimau saja mampu mewariskan jejak sepeninggalnya mereka, lalu, bagaimana dengan kita manusia yang notabene jauh lebih mulia dengan dua binatang tersebut?
***

Kalau yang dijadika barometer lamanya hidup di dunia adalah umur, maka sungguh sangat singkat kehidupan di dunia ini. Untuk manusia di akhir zaman, paling lama umur mereka berkisar 100 hingga 120 tahunan. Itu pun hanya segelintir orang. Pada umumnya, manusia saat ini berumur 60-75 tahunan. Jadi relatif sangat singkat, terlebih kalau kita bandingkan dengan umat-umat terdahulu (sebelum Nabi Muhammad), yang hidupnya mencapai ratusan bahkan ribuan tahun lamanya.

Namun ada cara yang alegan bagaimana mengebadikan ‘kehidupan’ kita di dunia ini, sekali pun jasad telah ditelan bumi. Caranya adalah berkarya (beramal). Hanya dengan cara demikian, kita bisa hidup “abadi”. Abadi bukan berarti hidup selama-lamanya tanpa menjumpai kematian. Tapi “abadi” dikenal karena amal baik kita semasa hidup.

Hal ini lah yang dilakukan oleh orang-orang besar terdahulu. Mereka tetap dikenang hingga hari ini, karena mereka mampu mengukir karya (amal) yang fenomenal serta menumental, sehingga usaha mereka tetap dirasakan bahkan dikembangkan oleh generasi-gerasi selanjutnya.

Contoh paling nyata adalah ulama empat madzhab (Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hambal), betapa mereka telah mampu mengabadikan ‘kehidupan’ mereka di dunia ini dengan karya (beramal)-karya (beramal) kitab yang mereka karang.

Sekali pun mereka telah meninggal ratusan tahun yang silam, namun hingga hari ini, ratusan juta umat Islam di dunia masih mengkaji dan mendalami kitab-kitab yang mereka karang, termasuk di Indonesia.

Panglima Thariq bin Ziyad yang mempu menyi’arkan Islam hingga ke negeri Matador, Spanyol. Panglima AL-Fatih yang mampu mendobrak benteng kokoh konstantinopel, Turki, dan Panglima Shalahuddin Al-Ayyubi, yang mampu merebut Yerussalem, Paletina, dari pasukan Salib, adalah di antara tokoh-tokoh yang tidak akan pernah mati ditelan masa, dikarena begitu besarnya karya (amal) mereka bagi umat ini.

Bahkan, mereka akan selalu menjadi inspirator/motivator bagi kaum selanjutnya untuk melakukan kebaikkan-kebaikkan sebagaimana yang telah mereka lakukan.

Jadi, hanya dengan cara demikian lah, amal nyata, kita bisa melanggengkan keeksistensian kita di muka bumi ini, sekali pun jasad telah di liang lahat. Dan yang perlu menjadi catatan, yang dimaksud dengan karya (beramal) di sini adalah yang bernuansa positif, bukan sebaliknya.

Investasi Akhirat

Selain mampu mengabadikan keeksistensian kita, sebuah amal juga bisa menjadi investasi masa depan kita di akhirat kelak. Dalam salah satu sabdanya, Rasulullah Muhammad Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam menjelaskan, bahwa kitika ada bani adam, manusia, meninggal dunia, maka terputus lah segala hal yang berkaitan dengan dunia ini, kecuali tiga perkara.

Pertama adalah ilmu yang bermanfaat. Kedua adalah shadaqah jariyah. Dan ketiga, anak yang sholeh/sholehah yang selalu mendo’akan kedua orangtuanya.

Yang jelas amal kita di muka bumi ini, bisa saja menduduki posisi sebagai shadaqah jariyah, karena banyaknya orang mengambil manfaat dari apa yang kita ciptakan.

Sering kita dengar obrolan atau bahkan dalam sering pula kita dapati orang-orang non Muslim, orang yang tidak beribadah, tidak shalat bisa kaya-raya, berlaku baik pada orang, dan memiliki etos kerja tinggi serta bisa berlaku dermawan kepada tetangga. Sehingga mereka dipuji karena kebaikan-kebaikan itu.

“Mereka tidak shalat, tapi mereka bisa kaya dan membantu banyak orang. Kita tiap hari shalat, tetapi tidak bisa beramal, “ begitu kata orang melihat kasus seperti ini. Apakah benar demikian? Jelas tidak.

Allah Subhanahu Wata’ala menjelaskan dengan rinci sekali masalah ini. Allah tidak membeda-bedakan pemberian harta kepada orang Muslim atau kafir sekalipun. Allah hanya memberi kepada yang IA mau. Terserah siapa, itu hak Allah semata. Tak perduli dia atheis sekalipun.

Hanya saja, kata Allah, harta yang diberikan kepada orang-orang kafir, semuanya tidak dinilai alias sia-siapa. Berapapun amal dan jumalah mereka keluarkan sebagai bantua. Sebab yang mereka lakukan itu bukan dikarenakan Allah Subhanahu Wata’ala. Dalam ayat ke-39 surat An-Nur, Allah menyatakan bahwa amal-amal baik orang kafir itu laksana fatamorgana di tanah datar yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu, dia tidak mendapatinya sesuatu apapun.


وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَعْمَالُهُمْ كَسَرَابٍ بِقِيعَةٍ يَحْسَبُهُ الظَّمْآنُ مَاء حَتَّى إِذَا جَاءهُ لَمْ يَجِدْهُ شَيْئاً وَوَجَدَ اللَّهَ عِندَهُ فَوَفَّاهُ حِسَابَهُ وَاللَّهُ سَرِيعُ الْحِسَابِ

"Dan orang-orang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apapun. dan didapatinya (ketetapan) Allah disisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya." (QS An-Nur: 39)

Dalam surat lain Allah berfirman;

لَا يَغُرَّنَّكَ تَقَلُّبُ الَّذِينَ كَفَرُوا فِي الْبِلَادِ مَتَاعٌ قَلِيلٌ ثُمَّ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمِهَادُ

“Janganlah sekali-kali kamu terperdaya oleh kebebasan orang-orang kafir bergerak di dalam negeri.Itu hanyalah kesenangan sementara, Kemudian tempat tinggal mereka ialah jahannam; dan Jahannam itu adalah tempat yang seburuk-buruknya.” (QS. Ali Imran : 196-197)

Jadi sesungguhnya, semua yang telah diberikan Allah kepada orang-orang kafir hanyalah semu. Sedang yang dihuting adalah amal kaum Muslim yang disarakan kepada Allah Subhanahu Wata’ala.

Pondasinya Ikhlas

Sekali pun demikian, yang perlu kita waspadai adalah menjaga niat. Kita harus ikhlas dalam berkarya (beramal). Artinya, setiap ramal yang kita, bukan untuk mendapatkan pujian atau sanjungan, lebih-lebih materi dari orang lain. Namun semata-mata hanya mengharap ridha Allah semata.

Ketika kita tidak mampu menjaga hati sedemikian rupa, maka sungguh kecelakaan lah bagi kita, karena Allah tidak akan pernah menerima amal hamba-Nya yang diniatkan untuk memperoleh ridha manusia, bukan ridha-Nya.

Katakanlah, قُلْ إِنَّ صَلاَتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (QS: al-Anfal [6]: 162).

Dijelaskan dalam salah satu sabda Rosulullah, bahwa ada beberapa orang di akhirat kelak akan dicap oleh Allah sebagai pendusta sejati, dikarenakan niat mereka yang salah dalam melakukan suatu amalan.

Mereka adalah para ulama yang mengajarkan ilmu pada suatu kaum, namun dalam hatinya bercongkol niat, bahwa dia melakukan hal tersebut agar dipuji oleh manusia sebagai pribadi yang fakih, alim, ahli agama, dan sebaginya.

Selanjutnya, yaitu mereka yang masa hidupnya menggunakan waktunya untuk berperang melawan musuh-musuh Allah. Sayang sekali sayang, dorongan yang menggerakkannya melakukan hal yang paling mulia dalam urusan agama tersebut, bukan ingin mencari cinta Allah, namun lebih kepada kehausan akan gelar pahlawan di mata manusia.

Walhadil niat dan ikhlas (iman) adalah pondasi dari amal dan karya akhir kita. Jika fondasi tersebut kokoh, maka bangunan-pun akan tegak kuat menjulang, sebaliknya kalau fondasinya lemah atau rapuh, maka bangunan pun akan runtuh.Wallahu a’lam. *







Ayo Menuntut Ilmu, Jangan Bangga Sebut Awam!


RUTINITAS keseharian kadangkala membuat sebagian dari kita menjadi terhadap pentingnya menuntut ilmu. Hari demi hari pun dilalui tanpa adanya peningkatan kualitas ilmu. Akhirnya, banyak di antara umat Islam yang tingkah lakunya tidak lagi sesuai dengan ajaran Islam.

Pada saat yang sama umat Islam harus berhadapan dengan gelombang jahiliyah modern, yang menjadikan kebanyakan umat Islam kian jauh dari ajaran agamanya. Bahkan ada (karena ilmunya yang sangat minim) yang enjoy saja meninggalkan sholat. Tak nampak sedikit pun rasa gelisah apalagi merasa salah dan berdosa.

Hal ini tentu bukan perkara remeh, justru sangat serius. Sebab sholat merupakan rukun Islam yang menjadi pilar utama tegaknya keimanan dalam diri seorang Muslim. Dalam hadis disebutkan bahwa sholat adalah tiang agama. Siapa yang tidak mendirikan sholat maka ia telah merobohkan agama.

Belum lagi fenomena generasi muda yang kini boleh dikatakan cukup asing dengan al-Qur’an. Jangankan memahami kandungan al-Qur’an, membacanya pun jarang bahkan ada yang tidak bisa membaca al-Qur’an.

Hal inilah yang menjadikan mayoritas umat Islam terseret dalam arus materialisme-kapitalisme. Pergaulan bebas merajalela, kemaksiatan tak terkendali, dan tipu-menipu membudaya. Sampai akhirnya sampailah mereka pada kesimpulan sesat dengan mengatakan, “Mencari yang haram saja susah apalagi yang halal.” Mengapa pikiran itu tidak kita rubah dengan mengatakan, “Lebih baik mencari sedikit asal halal dan berkah.”

Ada pula pemahaman agak menyesatkan yang menjadi penyakit banyak orang. Sering di antara kita mengatakan, “Saya ini orang awam, tidak paham agama.” Atau “Saya bukan mahasiswa IAIN dan lulusan pesantren. Jadi biarlah ini diurusi anak IAIN.”

Pernyataanya, sejak kapan kita menjadi Muslim? Jika kita menjadi muslim baru satu-dua tahun, layaknya para muallaf (orang yang baru memeluk Islam), maka, istilah awam menjadi benar.

Sebaliknya sangat ironis, kita telah Islam semenjak lahir. Tetapi hingga usia kita di atas 30 tahun, kita masih juga menyebut diri awam (maaf, bodoh, red). Jadilah kita menjadi awam seumur hidup.

Fenomena semacam ini sangat lazim kita jumpai. Bagaimana banyak orang berbanggga menjadi awam terhadap agamanya sendiri.

Dalam pengertian Islam, istilah awam yang benar, seharusnya seorang Muslim sudah mengerti dasar-dasar dan hukum agama. Namun dalam pengertian masyarakat saat ini, awam yang dimaksud adalah jahil, di mana ia justru tidak mengerti sama sekali hukum-hukum agamanya sendiri dan tidak ada usaha dan keinginan untuk belajar menuju lebih baik agar lebih mengerti. Yang terakhir inilah yang banyak kita dapati.

Mereka menjadi awam dalam ilmu-ilmu agama bukan karena otaknya bodoh, tetapi bisa karena ia tak mau dan tak ada usaha untuk mempelajari agamanya secara sungguh-sungguh. Selain itu juga karena mereka tidak memahami konsepsi ilmu dalam Islam.

Pemahaman sesat seperti itu adalah dampak dari kurangnya kepedulian umat Islam terhadap ilmu, sehingga iman terpenjara oleh kepentingan nafsu. Seorang Muslim yang imannya terpenjara oleh hawa nafsunya, maka akal dan pikirannya akan mendorong dia semakin jauh dari keberkahan hidup dunia dan akhirat. Dan itulah yang dilarang oleh Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و تعالى‎).

Imam Al- Ghazali dalam Kitab Ihya’ Ulumuddin menjelaskan masalah-masalah aqidah dan ibadah wajib, termasuk ilmu yang fardhu ‘ain (ilmu yang wajib dipelajari). Ilmu yang fardhu ‘ain adalah ilmu yang diperlukan untuk mengamalkan kewajiban sebagai orang Islam (individu). Contohnya mempelajari ilmu wajib, sunnah, makruh, mubah dan subhat dan hal-hal berkaitan dengan syariat Islam adalah wajib.

Sedang ilmu yang fardhu kifâyah dibebankan sebagai kewajiban kelompok. Ilmu seperti ini contohnya ilmu kedokteran, ilmu ekonomi dan ilmu-ilmu lain yang berkembang di masyarakat. Jika sebagian kaum Muslimin sudah menguasai ilmu itu, maka gugurlah kewajiban sebagian kaum Muslimin lainnya.

Shalat yang benar, mengerti halal dan haram, benar dalam thaharah adalah kewajiban setiap orang Muslim.

Dengan ilmu seorang Muslim bisa mengenal Allah dengan benar. Dan, tanpa ilmu seorang Muslim bisa terseret pada bujuk rayu syetan. Oleh karena itu, ilmu adalah perkara pokok yang wajib bagi setiap Muslim.

Seorang Muslim, menurut Fakhruddin al-Razi (544 – 606 H), wajib memiliki ilmu sebelum memohon ampun kepada Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و تعالى‎).

Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, tuhan) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. (QS. 47: 19).

Coba perhatikan ayat di atas, perintah berilmu (mengenal ketauhidan Allah dalam bahasa Al-Razi) Allah dahulukan daripada perintah memohon ampunan. Hal ini menunjukkan bahwa, seorang Muslim hanya akan mampu taat, tunduk, dan patuh kepada Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و تعالى‎)manakala ia benar-benar mengetahui dengan sebenar-benarnya siapa Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و تعالى‎).

Seperti yang telah dilakukan oleh Nabi Ibrahim as, pertama yang diminta olehnya kepada Allah adalah ilmu baru kemudian kesholehan.

(Ibrahim berdoa): "Ya Tuhanku, berikanlah kepadaku hikmah dan masukkanlah aku ke dalam golongan orang-orang yang sholeh.” (QS. 26: 83).

Hikmah menurut Al-Razi adalah kesempurnaan pemahaman akan hakikat segala sesuatu. Jadi, nabi Ibrahim memohon kepada Allah agar dikuatkan kesempurnaan ilmu yang dimiliki, dan diberikan kekuatan untuk mampu mengamalkan ilmu tersebut, sebagaimana hamba-hamba Allah yang sholeh.

Dua ayat tersebut, cukup menjadi bukti bahwa menuntut ilmu (mengenal Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و تعالى‎) secara haq) adalah hal yang utama. Dengan demikian maka, setiap Muslim hendaknya setiap hari berupaya mempertajam keimanannya dengan berusaha secara serius mengenal Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و تعالى‎) dengan benar.

Di mana Menuntut Ilmu?

Secara umum, menuntut ilmu itu bisa dilakukan di mana saja, dan kapan saja. Tentu menuntut ilmu yang paling baik adalah ketika kita berusaha memahami, menggali, mengkaji, meneliti kandungan-kandungan firman-Nya di dalam al-Qur’an.

Atau bisa juga dilakukan dengan cara mengamalkan perintah-perintah Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و تعالى‎). Tentang sabar misalnya, maka praktikkan saja sabar itu, walau berat terasa. Sebab dengan cara mengamalkan itulah kita akan sampai pada satu pemahaman haqqul yakin bahwa sabar itu memang bermanfaat besar bagi kehidupan kita.

Perilaku kita harus berbeda dengan para orientalis. Di mana mereka mengkaji al-Qur’an dan Hadits namun tidak pernah mengimaninya. Hanya menjadi obyek penelitian semata.

Karenanya, siapapun seorang Muslim yang banyak mengerti tentang Islam namun tidak atau jarang mengamalkannya, maka dia juga tidak akan sampai pada kenikmatan menjadi seorang Muslim yang sesungguhnya.

Budayakan Menuntut Ilmu

Sungguh kita tidak boleh lengah terhadap pentingnya ilmu. Imam Ghazali menyatakan secara tegas bahwa jika ada seorang Muslim yang selama tiga hari tidak mengisi hatinya dengan ilmu, maka ia akan menjadi bangkai berjalan. Ini menjadi bukti nyata bahwa ilmu benar-benar perkara utama.

Bagaimana kita membudayakan menuntut ilmu? Bisa dengan cara menghadiri majlis taklim, pengajian, majelis-majelis ilmu atau sengaja sungguh-sungguh kembali belajar al-Quran dan isi kandungannya, tafsirnya, dan hukum-hukum Islam secara teratur agar bisa mengamalkannya?

Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) bersabda, “Menuntut ilmu wajib setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah).

Dalam hadits lain Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) bersabda, “Menuntut ilmu adalah wajib bagi Muslim dan Muslimah mulai dari dalam kandungan hingga liang lahat.” (HR. Bukhari).

Tentu pengertiannya tak terbatas dengan umur kita saat ini. Kapanpun ada kesempatan, kita wajib meraihnya.

Ilmu yang dimaksud Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) dalam hadits ini adalah ilmu yang berkaitan dengan pelaksanaan ibadah yang Allah wajibkan kepada setiap hambanya yang Muslim. Setiap muslim wajib mempelajari ilmu tersebut; karena sah atau tidaknya ibadah yang dilakukannya tergantung dengan pengetahuannya. Jangan sampai ketika usia kita sudah di atas 35 tahun dan telah memiliki banyak keturunan, kita masih tidak mengerti hal-hal dasar dan hukum-hukum dalam agama kita sendiri. Apalagi tetap bangga mengaku “awam”. Wallahu a’lam bish-shawab







Hiasi Diri Dengan Budi Pekerti Islami

DARI status sosial, pemuda itu bukan lah dari golongan kolomerat, atau tokoh dari kaumnya. Dia tak ubahnya pemuda biasa, yang tidak memiliki sesuatu yang pantas dibanggakan dari segi materi. Masa kecilnya, ia lalui sebagai tukang pengembala kambing. Dan sejak di dalam kandungan, dia telah ditinggal mati bapaknya. Ketika menginjak usia anak-anak, giliran sang-bunda yang pergi meninggalkannya. Jadi, sejak berusia dini, dia telah memegang status yatim piatu.

Sekali pun demikian, ketika anak tersebut beranjak dewasa, ia sangat dikagumi oleh masyarakat sekitar. Dia sangat dipercaya oleh kaumnya, sebagai sosok yang amanah. Tidak sedikit orang, yang menitipkan barang-barang berharga ke padanya. Bahkan, terhadap perkara yang nyaris menumpahkan darah antar mereka (kaumnya), mereka percayakan kepada pemuda tersebut untuk menengahinya.

Karena begitu percayanya mereka ke pada pemuda ini, gelar sebagai orang yang amanah ‘al-Amiin’ pun mereka sematkan ke padanya. Ini lah satu-satunya gelar yang paling mulia yang pernah direngguh oleh salah satu anak Adam, dan tidak pernah disandang oleh orang-orang sebelumnya atau pun sesudahnya.

Siapakah pemuda tersebut?, beliau tidak lain adalah Muhammad Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم). Lalu, pertanyaan selanjutnya, rahasia apakah yang membuat posisi beliau begitu agung di hadapan kaumnya?

Modalnya Akhlak

Akhlak merupakan modal utama Nabi Muhammad menarik perhatian kaumnya. Akhlak yang beliau tunjukkan, bukan lah lahir dari tindakkan yang diada-adakan agar orang lain menilai bahwa beliau sosok yang luhur budi pekertinya, namun, akhlak tersebut benar-benar menjadi karakter hidupnya.

Di mana pun dia berada, beliau tetap menjunjung tinggi akhlak mulia ini. Sikap jujur, amanah, yang menjadi simbol kenyamanan seseorang dalam bergaul, benar-benar telah terpatri dalam dirinya. Sebab itu, dalam segala hal, sikap macam ini selalu beliau kedepankan, termasuk dalam dunia bisnis.

Dalam berbisnis, beliau tidak hanya mengejar keuntungan. Akan tetapi lebih dari itu, beliau menanamkan nilai-nilai kejujuran. Ketika didapatkan kecacatan pada barang yang dijualnya, maka dengan lapang dada, beliau akan mnjelaskannya dengan jujur tentang aib yang tesembunyi dalam barangnya tersebut. Terbukti dengan digenggamnya gelar ‘al-Amiin’ dari kaumnya, termasuk terpincutnya Khadijah, yang notabene ‘bos’ beliau dalam berbisnis, untuk melamarnya menjadi bakal suami, adalah di antara bukti keberkahan tersebut.

Jadi, Khadijah menyukai Muhammad, bukan semata beliau pemuda yang tampan, gagah, golongan bangsawan, atau sebagainya. Namun, lebih karena Muhammad memiliki budi pekerti yang luhur, sebagaimana yang diberitakan oleh salah satu budaknya, yang mendampingi Muhammad dalam ber-tijarah.

Hiasan Paling Mulia Lagi Murah

Akhlak bagi manusia bagaikan hiasan. Siapapun yang ‘mengenakan’nya pasti akan disenangi dan disegani oleh orang lain. Untuk menjadi pribadi yang terhormat dan bermartabat, sejatinya tidak membutuhkan modal besar. Dengan berperilaku luhur, berbuat baik pada orang lain, maka orang lain pun akan berbuat demikian.

Dalam pribahasa Arab dikatakan “Laisa al-jamaalu bi atswaabin tuzaiyunaa inna al-jamaala jamaalu al-ilmi wa al-adabi”. Artinya, bukanlah kebaikkan/ketampanan itu terletak pada baju-baju yang menghiasi kita. akan tetapi kebaikkan itu terletak pada ilmu dan budi pekerti.

Terhadap permasalahan ini ada sutu kisah tentang prilaku umar yang menolak mengganti pakaiaannya yang telah lusuh dengan yang lebih baik, agar lebih bermartabat dengan memimpin-pemimpin yang lain.

Kisahnya, pada suatu hari Umar akan mengadakan jamuan dengan salah satu raja. Karena yang akan dijamu adalah raja, ada beberapa orang mengusulkan agar Umar berkenan untuk mengganti pakaiannya yang lebih baik dari apa dikenakannya, guna membangun kewibawaan di hadapan raja tersebut. Dengan tegas kemudian Umar menolak gagasan itu, seraya berujar, “Cukup lah dengan Islam aku menjadi mulia.”

Ya, hanya dengan ber-akhlaku al-islamiyah lah kita akan hidup mulia. Dan kemuliaan yang digapai dengan demikian adalah kemuliaan sejati, yang tidak akan pernah usang dimakan waktu, atau dikarenakan turun jabatan. Semakin kita berakhlak mulia, maka sepakin kuat lah pesona kita di hadapan orang-orang di sekitar kita. “Kullu syai’in idza katsuraa rakhushaa illaa al-adabi” (Setiap sesuatu apa bila jumlahnya melimpah akan menjadi murah harganya, kecuali budi pekerti).

Lalu kenapa acuannya adalah akhlak Islami?, hal itu tidak lain karena Islam telah menepatkan posisinya sebagai agama yang mulia dan tidak ada yang mampu mengalahkan kemuliaannya. Selain itu, Akhlak yang diajarkan Islam sudah sangat sempurna. Ia tidak hanya mengatur tentang tata-cara bergaul dengan Tuhan dan sesama manusia, bahkan dengan makhluk-makhluk hidup yang lain pun, binatang-binatang/tumbuhan-tumbuhan telah diatur sedemikian rupa.

Dalam salah satu sabdanya, Rosulullah menjelaskan, bahwa tidak lah dia diutus di muka bumi ini, kecuali untuk menyempurnakan akhlak. (Wamaa bu’itstu liutammimaa makaarima al-akhlaaki).

Dalam al-Quran, Allah memuji akhlaq yang dibawa Muhammad sebagai budi pekerti agung.

وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ

“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (QS; Al-Qalam:4)

Dari Anas ra berkata: Aku telah berkhidmah kepada Nabi saw selama sepuluh tahun, maka belia tidak pernah mengatakan kata "cih" kepadaku, beliau tidak pernah mengatakan "mengapa kamu melakukan ini" terhadap apa yang aku telah perbuat, dan mengecam dengan mengatakan: "Kenapa engkau meninggalkan ini", terhadap apa yang aku tinggalkan.” (Sunan Tirmidzi: no: 2015)

Berakhlak yang baik harus meliputi berbagai aspek kehidupan seorang Muslim baik dalam perkataan, perbuatan dan ibadahnya kepada Tuahannya dan m'amalahnya dengan sesama makhluk.

Firman Allah Ta'ala:

وَقُل لِّعِبَادِي يَقُولُواْ الَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنزَغُ بَيْنَهُمْ إِنَّ الشَّيْطَانَ كَانَ لِلإِنْسَانِ عَدُوّاً مُّبِين

"Dan Katakanlah kepada hamha-hamba-Ku: "Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sesungguhnya syaitan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia." (QS: al-Isra’:53)

Hadits dan ayat ini menunjukkan, bahwa masalah akhlak adalah masalah ushul/pokok yang memang harus diindahkan oleh setiap orang yang mengaku sebagai Muslim. Di mana pun kita berada, dan dengan siapa pun kita bergaul, Islam telah mengajarkan kita untuk senantiasa bermu’amalah dan mengedepankan sikap yang baik.

Yakin lah, dengan ber-akhlaku al-karimah wa al-islamiyah, kita akan menjadi pribadi-pribadi yang mulia, yang dihormati, dimuliakan kedudukkannya oleh orang-orang lain. Kenapa demikian? Jawabnya adalah karena “Al-Adabu asaasun al-najaahi” (Adab adalah pondasi kesuksesan). Wallahu ‘alam bish-shawaab.





Seorang Muslim Mestinya Dapat Dipercaya



TIDAK bisa kita pungkiri bahwa sifat amanah (kejujuran) adalah hal yang mulai langka saat ini. Padahal sifat amanah itu adalah syarat menuju kebangkitan dan kejayaan. Tidak akan ada orang yang tampil menjadi pemimpin besar tanpa memiliki sifat amanah. Karena keadilan tidak akan tegak kecuali di tangan orang-orang yang dapat dipercaya.

Hari ini, tidak sedikit orang yang mengutamakan cara berpikir pragmatis dalam bekerja juga termasuk dalam berdakwah. Inilah yang menjadikan kondisi umat Islam secara keseluruhan belum mampu tampil ke permukaan sebagai umat terbaik.

Akhirnya muncul logika, “Apa yang bisa saya dapatkan”. Padahal motto hakiki yang mesti dimiliki setiap Muslim adalah, “Apa yang bisa saya bantu, apa yang bisa saya berikan,” bukan sebaliknya. Apalagi ikut-ikutan pakai jurus ‘aji mumpung’. “Yah, mumpung masih menjabatlah, cepat-cepat kumpulin kekayaan. Lima tahun lagi kalau gak kepilih kan gak bisa menikmati!”

Kalau kita data, ada cukup banyak anggota DPR, pejabat negara yang tersandung kasus korupsi dan harus mendekam dalam bui. Sementara itu, mereka juga orang Islam yang dari namanya saja sudah bisa diketahui.

Dalam dunia dakwah juga mulai banyak praktik pragmatisme ini. Ketika seorang aktivis ditunjuk sebagai ketua misalnya. Logika yang terbangun adalah, “Wah untuk apa saya susah-susah mengerjakan hal-hal begini. Belum tentu nanti kalau bagus hasilnya saya bisa menikmati.”

Logika itulah yang menjadi sebab utama, mengapa umat Islam miskin produktivitas, miskin prestasi. Bekerja tidak lagi murni karena Allah, tidak lagi murni karena memperjuangkan umat Islam.

Tengoklah bagaimana sikap kaum Anshor tatkala menerima kedatangan kaum Muhajirin yang datang ke Madinah. Kaum Muhajirin datang ke Madinah tanpa perbendaharaan harta (istilah sekarang MADESU alias masa depan suram).

Akan tetapi kaum Anshor tak ragu untuk berbagi dengan kaum Anshor. Seluruh milik mereka dipersilakan separuhnya untuk kaum Muhajirin.

Apa pasal kaum Muhajirin berani bersikap seperti itu? Karena kaum Anshor mengenal dengan pasti bahwa kaum Muhajirin adalah para pengikut utama rasulullah saw yang tentu jika diberi kepercayaan akan memiliki komitmen, punya etos kerja yang bagus, juga memiliki dedikasi yang tinggi.

Kunci Sukses Nabi

Amanah adalah senjata utama rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. Sejak kecil beliau telah dikenal oleh penduduk Makkah sebagai al-amin (orang yang jujur, dapat dipercaya). Perangainya yang jujur tersebut membuat saudagar kaya-raya, Khadijah tertarik merekrut beliau sebagai direktur pemasaran dalam perniagaan yang diusahakannya.

Bahkan karena kekagumannya yang tak terbendung akan kejujuran Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam, Khadijah pun yakin dengan sepenuh hati, bahwa dirinya tidak akan merugi bila melamar rasulullah saw sebagai suaminya. Artinya sikap amanah nabi kala itu telah mengantarkan beliau sukses menjadi figur di tengah masyarakat, sukses sebagai pedagang, sebagai pemimpin dan sebagai utusan Allah SWT.

Jadi pantaslah jika Rasulullah menegaskan bahwa amanah adalah cermin keimanan seorang Muslim. “Rasulullah tidak pernah berkhutbah untuk kami kecuali ia mengatakan : “Tidak adakeimanan bagi orang yang tidak memiliki amanah, dan tidak ada agama bagi orang yang tidak pandai memeliharanya.” (HR Imam Ahmad bin Hambal).

Etos Kerja dan Keuntungan Besar

Sikap amanah akan mendorong seorang Muslim memiliki etos kerja yang baik. Baginya, segala aktivitas adalah dalam rangka mendapat ridho Allah, termasuk dalam hal bekerja. Oleh karena itu, dia akan menjaga dirinya dari berbuat curang, korup, dan beragam tindak tercela lainnya yang dapat merusak kualitas keimanannya.

Seperti yang populer diriwayatkan dalam sejarah kekhalifahan Umar bin Khattab mengenai seorang gadis yang dipaksa oleh ibunya agar mencampur susu yang hendak dijual esok hari agar dicampur dengan air.

“Campurlah susu itu dengan air wahai putriku,” ujar si ibu. “Tidak ibu, aku tidak akan pernah melakukan hal itu,” tegas sang anak. “Bukankah tidak ada orang yang melihat kita, tidak ada khalifah di sini,” timpal sang ibu. Sang anak langsung menjawab dengan tegas, “Apakah ibu lupa bahwa Allah melihat segala sesuatu.”

Mendengar jawaban sang gadis, Umar yang ketika itu sedang dalam perjalanan patroli, langsung membuat satu keputusan besar. Khalifah kedua itu langsung menikahkan putranya dengan putri penjual susu itu. Apa pasal, tidak akan merugi selamanya orang yang menjadikan amanah sebagai perangai dalam hidupnya.

Keuntungan dunia tak membuatnya tergoda untuk bertindak dosa. Justru sebaliknya, kesusahan hidup yang dirasa, justru membuatnya kian semangat bekerja dengan mematuhi sepenuh hati syariah Allah Subhanahu Wata’ala.

Luar biasa, atas kehendak Allah, akhirnya dari keturunan putra Umar dan gadis penjual susu itu lahirlah khalifah terbaik pasca khulafaur rasydin, yaitu Umar bin Abdul Azis. Sungguh satu keuntungan yang sangat besar.

Setiap Kita Mengemban Amanah

Dalam sebuah riwayat, Rasulullah bersabda; “Masing-masing kalian adalah pemimpin, dan masing-masing kalian akan ditanya tentang kepemimpinannya, seorang imam adalah pemimpin dan akan ditanya tentang kepemimpinannya, seorang laki-laki adalah pemimpin dalam keluarganya, dan dia akan ditanya tentang kepemimpinannya, seorang wanita adalah pemimpin di rumah suaminya dan akan ditanya tentang kepemimpinannya, dan seorang pembantu adalah pemimpin dalam memelihara harta tuannya dan ia akan ditanya pula tentang kepemimpinannya”, (HR Imam Bukhori).

Oleh karena itu, marilah kita berupaya menumbuhkan sikap amanah dalam diri kita. Yaitu dengan sungguh-sungguh memelihara iman. Kaya jangan membuat kita kikir, apalagi sombong, semena-mena, karena harta benda itu hakikatnya hanyalah titipan bahkan boleh jadi justru sebuah ujian.

“Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (QS. 8 : 29).

Sebaliknya Allah melarang setiap Muslim menjadi pengkhianat atau pengabai amanah. Sebagaimana Allah SWT tegaskan;

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” (QS. Al-Anfal : 27).

Ringkasnya sebagai apapun, kita wajib menjadi Muslim yang amanah. Jika anda guru, maka mengajarlah dengan penuh semangat dan keteladanan. Jika anda pejabat, maka bekerjalah dengan penuh semangat untuk kepentingan ummat. Jika anda pelajar, maka belajarlah dengan sungguh-sungguh demi mendapat ilmu yang bermanfaat untuk menegakkan agama AllahSubhanahu Wat’ala.

Jika bukan amanah Allah yang kita perjuangkan lantas kebahagiaan dari siapa yang bisa kita harapkan? Tanpa mentalitas amanah yang baik, mustahil kebangkitan umat Islam akan tegak di muka bumi. Wallahu a’lam.







Tawakkal, Bekal Hadapi Cobaan


SETIAP orang memiliki cita-cita, jangka pendek maupun jangka panjang. Akan tetapi jalan untuk mencapainya tidak selalu mulus. Penuh dengan onak dan duri, kesulitan dan hambatan yang beraneka ragam. Hambatan-hambatan itu tidak hanya berasal dari hukum alam tapi juga dari dirinya sendiri. Dengan demikian ia selalu berjuang, berbuat dan bekerja tanpa henti untuk menghilangkan, menyingkirkan kesulitan dan rintangan itu demi tercapainya cita-cita. Dalam keadaan seperti ini betapa butuhnya ia terhadap kekuatan yang dapat membantunya, dan mengantarkannya, menyelesaikan kesulitannya, menyingkirkan penghalang yang dapat menerangi jalannya.

Kekuatan yang diharapkan itu hanya berada pada naungan akidah (iman) dan taman iman kepada Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و تعالى‎).

Iman kepada Allah inilah yang dapat mendatangkan kekuatan ruhani, kekuatan jiwa, karena seseorang yang beriman hanya berharap pada kelebihan, dan karunia Allah, hanya takut kepada siksa Allah tidak peduli kepada selain Allah.

Sehingga ia menjadi orang kuat walaupun tidak memegang senjata, ia kaya walaupun tidak punya gudang emas dan perak, ia perkasa walaupun tidak punya keluarga dan massa, ia teguh walaupun perahu kehidupannya goyah dan dikepung ombak bahkan lebih kuat walaupun dibandingkan dengan lautan, gelombang dan angin.

Rasulullah bersabda, "Seandainya kalian mengetahui Allah (makrifat) dengan sebenar-benarnya, niscaya gunung-gunung itu hilang sirna karena doa kalian."

Orang yang beriman mempunyai kekuatan spiritual, karena ia mengambil kekuatan dari Allah dzat yang maha tinggi dan besar yang ia jadikan tempat bergantung (tawakkal). Ia berkeyakinan bahwa Allah selalu bersamanya di mana saja ia berada, ia penolong orang-orang yang beriman, penghancur orang-orang yang jahil.

"Barang siapa yang bertawakkal kepada Allah maka sesungguhnya Allah itu maha perkasa dan bijaksana". (QS. 8:49).Ia maha perkasa tidak akan merendahkan mereka yang bertawakkal kepada-Nya, bijaksana tidak akan menelantarkan mereka yang berpegang teguh kepada hikmah dan pengaturannya.

Firman Allah "Jika Allah menolong kalian, maka tiada orang yang dapat mengalahkanmu, dan jika Allah menghinakanmu, maka siapa yang dapat menolongmu setelah itu dan hanya kepada Allah hendaknya orang-orang yang beriman itu bertawakkal."

Tawakkal kepada Allah, bukan menyerah dan kemalasan, namun bertawakkal adalah pendorong, perangsang, pendorong jiwa yang mendatangkan kekuatan melawan dan membangkitkan tekad. Dampak dari tawakkal yang bersemi dalam jiwa, akan melahirkan kekuatan yang luar biasa dahsyatnya.

Nabi Hud as dalam pertikaiannya dengan kaumnya 'Ad, ia dapatkan tawakkal sebagai benteng kokoh yang dapat melindunginya. Firman Allah QS. Hud 53-56:"Kaum 'Ad berkata, 'Hai Hud, kamu tidak mendatangkan kepada kami sesuatu bukti yang nyata. Dan kami sekali-kali tidak akan meninggalkan sembahan-sembahan kami karena perkataanmu, dan kami sekali-kali tidak akan mempercayai kamu. Kami tidak mengatakan melainkan bahwa sebagian sembahan kami tidak menimpakan penyakit gila pada dirimu.' Hud menjawab: 'Sesungguhnya aku bersaksi kepada Allah, dan saksikanlah olehmu sekalian bahwa sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan dari selain-Nya, sebab itu jalankan tipu dayamu semuanya terhadapku dan janganlah kamu memberi tangguh kepadaku. Sesungguhnya aku bertawakkal kepada Allah Tuhanku dan Tuhanmu. Tidak ada suatu binatang melatapun melainkan Dialah yang memegang ubun-ubunnya. Sesungguhnya Tuhanku di atas jalan yang lurus'."

Dari ayat tersebut kita dapat melihat para Rasul Allah selalu menjadikan tawakkal (bergantung kepada Allah) sebagai bekal untuk menghadapi pembangkangan dan gangguannya.

Kebenaran. Orang yang beriman memperoleh kekuatan dari kebenaran (haq) yang ia yakininya. Ia tidak berbuat dan berjuang untuk kesenangan sementara, intres pribadi, fanatisme atau perbuatan dzalim kepada sesama. Akan tetapi ia berbuat memperjuangkan kebenaran yang karenanya alam ini ditegakkan demi kebenaran yang harus dimenangkan.

Tersebutlah dalam sejarah Islam, Rob'i Ibnu utusan Saad ibnu Abi Waqos menghadap Rustam panglima perang Parsi dalam perang Qodisiyah, saat itu ia diiringi bala tentaranya, sementara sekelilingnya penuh emas dan perak, namun ia tidak mempedulikannya. Ia masih menemui mereka dengan kudanya yang pendek, tameng yang keras, dan pakaian yang kasar. "Siapa Anda dan untuk apa kalian?" tanya Rustam.

"Kami adalah suatu kaum yang diutus Allah untuk melepaskan siapa saja yang Ia kehendaki dari menyembah sesama hamba, untuk menyembah Allah yang Esa, dari kepicikan dunia ke kelapangan dan dari agama yang sesat pada agama yang benar (Islam)."

Seorang yang beriman kepada Allah dan kebenaran tidak akan takut atau minder karena ia telah berpegang teguh pada tali yang kuat dan berlindung ketiang yang kokoh.

Ia bukanlah manusia tanpa makna dan cita-cita, akan tetapi ia khalifah Allah di bumi walaupun ia dimusuhi oleh kebathilan, Allah dan Jibril dan orang orang shaleh berikut malaikat akan selalu membantunya.

Bagaimana mungkin seorang beriman akan lemah dan takut menghadapi manusia betapapun besarnya, sementara di belakangnya para malaikat yang siap membantunya? Mana mungkin ia akan tunduk kepada makhluk sementara ia bersama kholiknya?

"Sesungguhnya manusia-manusia telah berkumpul untuk menyerangmu maka takutlah kepada mereka." Maka bertambahlah iman mereka dan berkata "Allah yang mencukupi kami dan ia adalah sebaik-baik dzat yang menjadi wakil, maka berubahlah mereka berkat nikmat karunia dari Allah dan tidak tersentuh oleh kejahatan sedikitpun." (Qs Ali imron 174)

Iman seperti inilah yang dapat membuat beberapa anak muda seperti sahabat-sahabat kahfi (gua) mampu melawan raja yang lalim serta kaumnya yang sangat fanatik, keras kepala, walaupun mereka (ashabul kahfi) tidak ada daya dan kekuatan materi yang memadai. Firman Allah swt dalam surat Al Kahfi ayat 14-15, "Dan kami telah meneguhkan hati mereka berdiri lalu mereka berkata: 'Tuhan kami adalah Tuhan langit dan bumi, kami sekali-sekali tidak menyeru Tuhan selain Dia, sesungguhnya kami kalau demikian telah mengucapkan perkataan yang amat jauh dari kebenaran'. Kaum kami ini telah menjadikan selain Dia sebagai tuhan-tuhan (untuk disembah). Mengapa mereka tidak mengemukakan alasan yang terang (tentang kepercayaan mereka)? Siapakah yang lebih lazim dari orang-orang yang mengada-adakan kebohongan kepada Allah?".

Keyakinan.Seorang yang beriman memperoleh kekuatan dari keyakinannya akan kebahagiaan abadi kelak. Masa hidupnya bukan masa yang terbatas dan tempat dan ruang terbatas, namun kehidupan abadi, kehidupan akhirat.

Maut adalah proses perjalanan dari dunia yang fana ini menuju alam baqa. Umair ibnu Hammam al Anshori mendengar Rasulullah saw bersabda kepada para sahabatnya pada perang badar: "Demi dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, tiada seorang pun yang hari ini berperang melawan orang-orang musyrik, kemudian terbunuh dengan hati yang sabar, ikhlas, maju pantang mundur kecuali Allah akan memasukkannya ke dalam surga".

Mendengar itu Umair berkata: "Bagus, bagus!!!"

"Kenapa Anda kagum wahai anak Hammam?" tanya Nabi saw.

Lalu Umair menjawab "Bukankah antara aku dan surga hanya berjarak maju memerangi mereka kemudian aku terbunuh?". "Ya" jawab Nabi. Sementara di tangan Umair beberapa biji kurma yang sedang ia makan lalu ia berkata: "Apakah saya perlu hidup sehingga aku dapat memakan beberapa biji korma ini? Padahal akhirat adalah kehidupan yang panjang!" Ia pun melemparkan buah biji kurma itu dan maju berperang seraya tersenyum.

Berangkat menuju Allah tanpa bekal selain taqwa dan amal untuk akhirat dan bersabar berjuang karena Allah semua bekal akan habis sirna, selain taqwa dan amal kebajikan dan petunjuk.

Ini, Anas ibnu Nadlir ia berperang, laksana pahlawan dalam perang Uhud. Ia bertemu dalam perang itu dengan Saad Ibnu Muad dan berkata kepadanya, "Wahai Saadz! Demi Tuhan pemilik keindahan, surga telah kudapatkan baunya di balik Uhud"







Percaya Firasat Orang Mukmin Boleh, Dukun Jangan


QADHI Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim –salah seorang murid Imam Abu Hanifah– bercerita: “Saya biasa duduk bersama khalifah Harun ar-Rasyid dan makan dari hidangannya. Suatu hari, disajikan kepadanya faludzaj (sejenis makanan mewah), maka khalifah berkata, “Hai Ya’qub, makanlah ini, sebab makanan seperti ini tidak dibuat setiap hari untuk kami.” Saya bertanya, “Apa ini, wahai Amirul Mu’minin?” Dijawab, “Ini adalah faludzaj yang disiram dengan minyak fustuq.” Saya pun tertawa. Khalifah bertanya, “Mengapa engkau tertawa?” Saya jawab, “Tidak apa-apa. Semoga Allah mengekalkan Amirul Mu’minin.” Khalifah berkata, dan benar-benar mendesak saya, “Sungguh, ceritakan kepadaku!”

Saya pun menceritakan sebabnya: “Ayah saya – Ibrahim bin Habib – meninggal dunia, sedang saya masih kecil dan diasuh ibu. Saya pun diserahkan kepada tukang binatu untuk magang bekerja padanya. Suatu hari, saya meninggalkan tukang binatu dan melewati halaqah Abu Hanifah. Saya pun duduk mendengarkan. Ibu menyusul saya ke halaqah itu, menarik tangan saya dan membawa saya kembali kepada tukang binatu. Abu Hanifah sangat memperhatikan saya, sebab beliau melihat keinginan kuat saya untuk belajar. Karena peristiwa itu terus berulang dan ibu merasa bosan dengan “pelarian” saya ke majlis Abu Hanifah.” Ibu pun berkata kepada beliau, “Anak ini tidak memiliki kekurangan selain kamu! Ia anak yatim yang tidak punya apa-apa. Aku memberinya makan dari alat pemintal benangku. Aku berharap ia bisa bekerja mendapatkan uang satu daniq untuk menghidupi dirinya sendiri.” Beliau pun menjawab, “Pulanglah, bu. Anak ini sebenarnya sedang belajar makan faludzaj yang disiram dengan minyak fustuq.” Ibu pun pergi sambil berkata, “Engkau ini orang tua yang sinting dan tidak waras!”

Khalifah Harun ar-Rasyid sangat takjub mendengar kisah itu, lalu berkata, “Sungguh, aku bersumpah, ilmu itu benar-benar mengangkat derajat seseorang dan bermanfaat baginya, baik bagi agamanya maupun kehidupan dunianya. ”Khalifah kemudian mendoakan Abu Hanifah, dan berkata, “Beliau melihat dengan mata hatinya, sesuatu yang sebenarnya tidak bisa dilihat dengan mata kepalanya.”

Inilah yang – dalam Islam– disebut firasat, yakni lintasan pikiran yang terbit dari kekuatan iman dan kedekatan dengan Allah. Dengannya seseorang bisa menyaksikan apa yang tersembunyi dari mata kepala. Sejenis dengannya adalah karamah, yaitu tampilnya hal-hal ajaib dari seseorang yang bukan Nabi. Akan tetapi, perlu diingat bahwa firasat dan karamah adalah karunia Allah; bukan hasil latihan, belajar maupun warisan. Ia muncul begitu saja sesuai kehendak-Nya, bukan karena permintaan yang bisa terjadi setiap saat. Maka, kekuatan firasat maupun karamah tidak bisa dipertontonkan di panggung-panggung hiburan, apalagi menjadi profesi.

Di zaman ini, ternyata “kemampuan” seperti itu tetap menggoda manusia. Sulap, magic, hipnotis, kekuatan supranatural, atau entah apapun itu namanya, selalu menarik perhatian. Terselip kekaguman, rasa ingin tahu, sekaligus kengerian dan misteri. Kita sering mendapati orang-orang yang dengan “kemampuannya” bisa memberitahukan apa yang tertutup dan tersembunyi, mengetahui penyakit tanpa memeriksa pasien, atau “mengobati” dari jarak jauh.

Bisa kita saksikan, banyak orang di zaman seperti ini “bersandar” pada kekuatan supra-natural. Ingin menjadi presiden, direktur BUMN, gubernur, bupati, walikota lari kepada orang-orang yang dianggap memiliki kemampuan lebih.

Umumnya, yang seperti ini kebanyakan adalah para dukun.Padalah, Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) bersabda :

“Barangsiapa mendatangi tukang ramal (dukun dan sejenisnya) menanyakan sesuatu maka tidak diterima sholatnya selama empat puluh malam.” (HR. Muslim ).

Firasatnya orang beriman

Bagaimana cara kita memastikan bahwa semua itu benar dan identik dengan firasat serta karamah? Untuk memastikan, sebenarnya kita – terlebih dahulu – harus memeriksa siapa orang itu; agar diketahui dari mana “kemampuannya” bersumber.

Rasulullah bersabda, “Berhati-hatilah kamu terhadap firasat seorang mukmin, sebab ia melihat dengan (diterangi) cahaya Allah.” (Riwayat Tirmidzi, dari Abu Sa’id al-Khudry).

Hadits ini, memang diperselisihkan ulama. Sebagian mereka bahkan mengkategorikannya sebagai hadits maudhu (palsu), seperti Ibnul Jauzi dan ash-Shaghani. Namun, Ibnu Hajar, al-Haitsami, as-Suyuthi dan asy-Syaukani menyatakannya sebagai hadits hasan (baik), karena maknanya memiliki penguat dari sumber lain. Jadi, ia bisa dijadikan pegangan.

Yunus bin Abdul A’la pernah berkata kepada Imam Syafi’i, “Tahukan Anda, wahai Abu ‘Abdillah, apa yang dikatakan oleh teman kami?” Maksudnya, al-Laits bin Sa’ad atau lainnya. Bahwa ia berkata, “Andaikan engkau melihat dia (penganut bid’ah) bisa berjalan di atas air, maka jangan percaya, jangan perdulikan, dan jangan pula berbicara dengannya.” Beliau pun menanggapi, “Sungguh, demi Allah, dia telah berkata dengan ringkas dan padat.” (lihat: Syarh I’tiqadi Ahlis Sunnah wal Jama’ah, karya al-Lalika’iy).

Artinya, “kemampuan” semacam itu takkan Allah berikan kepada pelaku bid’ah, apalagi ahli maksiat dan orang kafir. Menurut Syarif Ali al-Jurjani dalam at-Ta’rifat, jika saja hal itu muncul dari mereka, maka namanya istidraj, yakni kemuliaan semu yang akan menyeret mereka ke dalam kehinaan dan siksa-Nya perlahan-lahan. Benar bahwa tebakan-tebakan mereka adakalanya tepat, namun bangsa jin suka mencuri dengar berita dari langit, lalu dibisikkannya ke telinga orang-orang fasik atau kafir yang bekerjasama dengannya, setelah dicampur dengan sejuta kebohongan.

Dalam kitab “Bariqah Mahmudiyah” dikatakan bahwa firasat hanya bisa dicapai dengan komitmen yang kuat kepada Allah, seperti menundukkan pandangan (ghaddhul bashar), menahan diri dari syahwat, memakmurkan jiwa dengan muraqabah (senantiasa merasa diawasi oleh Allah), dan membiasakan diri memakan yang halal.

Artinya, hal-hal ajaib yang keluar dari sosok yang terjauh dari jalan Allah (apalagi pelakukan keluar dari syariah), pasti merupakan bagian dari tipuan syetan untuk menyesatkan manusia. Biasanya, setelah itu syetan akan menggiring kepada kemaksiatan yang sesungguhnya. Syetan punya maksud-maksud lain di balik itu, yang tidak selalu kita tahu. Oleh karenanya, waspadalah serta jauhilah!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar