Powered By Blogger

Senin, 26 Desember 2011

SEJARAH

KISAH " KIAI SANDRACH "

Gagalnya Usaha "Menghapus" Islam dari Jawa


MASIH ingat, nama Mbah Petruk yang mendadak menjadi sangat populer ketika Gunung Merapi kembali bergejolak? Di samping Mbah Petruk, ada juga Nyai Rara Kidul. Berkait dengan dua tokoh jagading lelembut tadi, diadakanlah ritual sedekah gunung dan sedekah laut yang menjadi ritual rutin masyarakat Jawa. Kebanyakan, citra sinkretik seperti ini menjadi wajah tunggal ketika seseorang berbicara tentang Jawa.

Juga, apabila kita mengamati buku-buku mengenai kebudayaan Jawa, maka istilah seperti larung sesaji, kejawen, pusaka keramat, adalah tema-tema dominan ketika berbicara kebudayaan Jawa.

Pandangan seperti itulah sebenarnya yang diinginkan dari gerakan jangka panjang orientalisme dan missionarisme di Jawa di masa kolonial. Di mana mereka berusaha menghapus identitas Islam di tanah itu dengan selalu mengkait-kaitkan antara Jawa dengan Hindu atau Budha.

Namun, data sejarah justru menunjukkan hal yang sebaliknya, Jawa dan Islam adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Upaya ”pengkerdilan” identitas Islam tidak lain bertujuan untuk memuluskan misi kristenisasi di Jawa. Tulisan ini merupakan ringkasan dari tesis Arif Wibowo di Program Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta, yang berhasil ia pertahankan di hadapan para penguji. Selamat menikmati.

***

Berkaca dari Kiai Sadrach

Para misionaris dan orientalis berupaya memisahkan identitas Islam dari Jawa untuk melancarkan misi kristenisasi.

Islam pada abad XIX menjadi inspirasi utama perlawanan rakyat Indonesia terhadap pemerintah kolonial Belanda. Baik yang berskala besar seperti Perang Diponegoro, Perang Padri, Perang Aceh sampai perlawanan yang berskala kecil dalam pemberontakan petani di Cilegon. Kejadian ini menyebabkan Belanda mengubah gaya politik kolonialnya, dengan melakukan politik etis yang meliputi educatie, emigratie dan irrigatie (pendidikan, perpindahan dan pengairan).

Kerstening politiek (politik pengkristenan) merupakan bagian tidak terpisahkan dari politik etis. Sehingga kaum etisi mendapat sokongan penuh dari partai-partai agama di Belanda. Pengkristenan Nusantara tetap merupakan panggilan rakyat Kristen Eropa (Belanda).

Kisah yang Gagal

Setidaknya, ada dua macam penetrasi Kristen ke dalam masyarakat Jawa, yakni penerjemahan Alkitab dan pemakaian kebudayaan Jawa. Penerjemahan pertama kali dilakukan oleh Johannes Emde pada 1811. Sedangkan yang memelopori pemakaian budaya Jawa dalam penginjilan adalah Coenraad Laurens Colen. Konsep Colen inilah yang kemudian berkembang dan disebut inkulturasi. Nama-nama seperti Paulus Tosari, Matius Niep, Kiai Sadrach, Ngibrahim Tunggul Wulung adalah buah dari inkulturasi dalam penginjilan.

Dari deretan nama tadi, Kiai Sadrach merupakan sosok yang paling populer. Ia seorang guru ngelmu (pinisepuh). Dalam mengenalkan Kristen kepada masyarakat, Sadrach menyebut gerejanya dengan masjid. Dan memang gereja itu gaya bangunannya mirip masjid pada umumnya. Sebelum upacara peribadatan dimulai, sebuah bedhug dipukul dan diakhiri dengan ritual slametan.

Bagi Kiai Sadrach, Bible adalah norma hidup yang mirip dengan pitutur (nasehat) dan wewaler (larangan, pantangan) orang Jawa dan syariat dalam pandangan Islam.

Sadrach bukan fenomena tunggal, sebab di Jawa Timur juga ada Ngibrahim Tunggul Wulung, yang memaknai kekristenannya menyerupai Muslim dan akhirnya dikafirkan oleh para pendeta Calvinis yang membaptisnya.

Kegagalan Kristen versi Sadrach dan Tunggul Wulung yang dianggap berkepercayaan ganda, separo kristen dan separo Islam, disebabkan integrasi yang sangat kuat pandangan metafisika Islam ke dalam masyarakat Jawa. Selain itu, menjadi Kristen saat itu, bagi orang Jawa adalah aib terbesar dalam hidupmenjadi Kristen saat itu, bagi orang Jawa adalah aib terbesar dalam hidup. Di masyarakat, ia akan menyandang gelar "wong jawa ilang jawane" (orang jawa hilang jawanya), atau "jawa wurung landa durung" (hilang jawanya, tapi Belanda juga belum).

Karena itu, apa yang dilakukan Sadrach maupun Ngabdullah Tunggul Wulung, bisa jadi untuk menghindari resistensi sosial masyarakat sekitar




Orientalisme dan Usaha Kudeta Kebudayaan

SEPERTINYA, Van Lith, misionaris Katolik ordo Yesuit, belajar dari kasus Sadrach. Setelah korespondensi panjang dengan Sadrach, dan pengamatan mendalam di lapangan, Van Lith mengubah pola penginjilannya. Dari individu menjadi penginjilan kolektif dalam bentuk sekolah. Dengan mendidik anak-anak Jawa sejak kecil, diharapkan akan menghasilkan kekatolikan/kekristenan yang murni. Seiring dicanangkannya politik etis di bidang pendidikan di kalangan pribumi, Van Lith lalu mendirikan sekolah calon guru.

Dalam mencari murid yang berkualitas, Van Lith aktif melakukan kunjungan kepada para bangsawan kraton dan priyayi, agar menyekolahkan anaknya di Kolese Xaverius (sekolah yang didirikan Van Lith). Semua murid yang masuk awalnya adalah Muslim, lalu menjadi Katolik ketika lulus. Tidak cukup menjadi guru, beberapa murid Kolese Xaverius melanjutkan pendidikannya ke jenjang imamat. Sehingga bila dilihat dari banyaknya jumlah imam pribumi yang dihasilkan, menurut Steenbrink, usaha Van Lith ini paling sukses di dunia untuk kegiatan serupa.

Dalam Kolese Xaverius, identitas kejawaan sangat ditekankan, sedangkan segala hal yang berbau Islam dihilangkan. Bahasa Melayu, yang dianggap identik dengan Islam tidak diajarkan, cukup dua bahasa: bahasa Jawa dan bahasa Belanda. Dengan demikian diharapkan proses integrasi kekatolikan dan kejawaan dapat berjalan sempurna.

Van Lith juga mendidik para muridnya untuk serius mengkaji budaya Jawa. Hasil kajian dari para muridnya itu diterbitkan dalam jurnal St Claverbond, yang diterbitkan di Belanda.

Satu karya tulis dari pastur Jesuit yang dianggap mampu menangkap inti dari kebudayaan Jawa adalah disertasi dari Petrus Joshepus Zoetmulder yang terbit pada 1935. Dalam disertasinya yang berjudul Pantheisme en Monisme In de Javaansche Soeloek-Litteratuur, Zoetmulder dianggap mampu mengungkap inti pandangan ketuhanan masyarakat Jawa, melalui telaahnya terhadap Serat Centhini dan pelbagai karya sastra suluk Jawa. Menurut Dick Hartoko, meskipun penelitian ilmiah (mengenai kebudayaan Jawa) tidak pernah berhenti, tetapi itu tidak menggoyahkan patokan-patokan yang ditancapkan oleh Dr Zoetmulder setengah abad yang lalu.

Dalam pandangan Zoetmoelder, doktrin manunggaling kawula gusti sama sekali tidak terkait dengan konsep wihdatul wujud yang menjadi diskursus kontroversial kalangan ahli tasawuf Islam. Menurutnya, manunggaling kawula gusti dalam budaya Jawa adalah suatu bentuk pandangan monistis yang berasal dari ajaran Atman Hindu. Bahkan pada karya sastra yang eksplisit, corak ke Islamannya pun akan dianggap sebagai Islam yang telah terpengaruh alam religius India maupun lewat alam religius Hindu Jawa.

Tetap Berlangsung Hingga Kini

Inkulturasi, pada perkembangannya tidak hanya untuk kalangan internal, tapi juga untuk membentuk konsep tentang Jawa. Sehingga dapat dilihat, saat ini pandangan Zoetmulder menjadi mainstream dalam banyak penelitian mengenai agama Jawa atau kebudayaan Jawa.

Beberapa buku tentang Jawa pada periode berikutnya, masih mengacu pada kerangka berpikir Zoetmulder, bahkan lebih menspesifikkan lagi tentang apa yang disebut sebagai agama Jawa.

Dan keseriusan ini terbukti mampu menghasilkan nama-nama besar yang dalam berbagai sisi kebudayaan Jawa, seperti Bagong Kusudiharjo di bidang tari Jawa, SH Mintarja dengan novelnya, Api di Bukit Menoreh, YB Mangunwijaya di bidang arsitektur dan pemberdayaan masyarakat.

Di kalangan antropolog ada nama Niels Mulder, penulis buku Mistisisme Jawa; Frans Magnis Suseno, “Etika Jawa, Sebuah Analisa Falsafi” tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Juga ada Sindhunata, “Anak Bajang Menggiring Angin”. Di tingkat nasional kita mengenal Prof Drijarkara, yang terkenal dengan konsep ’Indonesia bukan negara agama tapi juga bukan negara sekuler,’ WJS Poerwadarminto dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Karena itu, jika wajah sinkretik menjadi wajah utama Muslim Jawa, Wali Sanga ”tertutupi” Siti Jenar dan munculnya anggapan bahwa aqidah kejawen “Manunggaling Kawulo Gusti” versi kebatinan dianggap sebagai wakil resmi Muslim Jawa, tidak lain dan tidak bukan adalah buah dari gerakan jangka panjang orientalisme dan misionarisme di Jawa. Setidaknya, bila masyarakat tidak berhasil “ter-kristenkan”, paling tidak, mereka akan jauh dari agamanya, sebuah wasiat suci Samuel Zwemmer untuk para penginjil. Wallahu ’alam bish showab.





Islam Sebagai Landasan Budaya Jawa

Eksodus masyarakat Jawa dari pusat-pusat kerajaan Hindu dan Budha yang tidak memberinya kehidupan yang aman, ke daerah-daerah pelabuhan mengantarkan mereka bersentuhan dengan para pedagang Muslim dan para ulama.

Egalitarianisme Islam dan struktur keimanan mudah dimengerti menyebabkan rakyat Jawa berbondong-bondong masuk Islam. Periode ini merupakan gelombang pertama Islamisasi di Pulau Jawa.

Dalam pandangan Zamakhsyari Dhofier, ada dua tahap penyebaran Islam di Pulau Jawa. Pertama, di mana orang menjadi Islam sekadarnya, yang selesai pada abad ke 16.

Kedua, tahap pemantapan untuk betul-betul menjadi orang Islam yang taat secara pelan-pelan menggantikan kehidupan keagamaan yang lama.

Sultan Agung Hanyokrokusumo, penguasa Mataram (1613-1645) mengawali tahap pemantapan melalui pendidikan Islam secara massal kepada masyarakat Jawa. Di setiap kampung diadakan tempat untuk belajar membaca al-Qur`an, tata cara beribadah dan tentang ajaran Islam: rukun iman dan rukun Islam.

Saat itu, apabila ada anak berusia 7 tahun belum bisa membaca al-Qur`an, ia akan malu bergaul dengan teman-temannya. Para guru agama ini diberi gelar Kyahi Anom oleh pihak kraton. Di tingkat kadipaten didirikan pesantren yang dipimpin oleh Kyahi Sepuh.

Saat itu juga dilakukan penerjemahan kitab-kitab besar berbahasa Arab dalam kajian yang bersistem bandungan (halaqah). Kitab-kitab itu meliputi kitab fikih, tafsir, Hadits, ilmu kalam dan tasawuf. Juga nahwu, sharaf dan falaq.

Sistem kalender juga disesuaikan dengan sistem Islam. Sehingga budaya ilmu tidak hanya menjadi milik elit tapi menjadi milik masyarakat secara keseluruhan.

Akselerasi pemahaman Islam melalui sistem pendidikan massal inilah yang menyebabkan Islamisasi di segala sisi kehidupan masyarakat. Konsep-konsep Islam telah menjadi landasan kegiatan kemasyarakatan. Istilah upawasa (poso) sembahyang, suwargo dan neroko hanya bisa ditafsirkan dengan pengertian shaum, shalat, jannah dan naar.

Islam juga menancapkan budaya baru seperti adil, mikir yang tidak bisa dicari padanannya dalam akar kata asli bahasa Jawa. Taawun yang dijabarkan dalam budaya gotong royong adalah ciri khas masyarakat asli Jawa, juga tasamuh yang diwujudkan dalam budaya tepa salira.

Ritus-ritus penting dalam masyarakat Jawa seperti kelahiran, perkawinan dan kematian juga didasarkan pada prinsip-prinsip Islam. Masyarakat Jawa sudah tidak mengenal bagaimana cara ijab qabul ala agama asli Jawa ataupun merawat jenazah ala kejawen.

Oleh karena itu, dikotomi antara Islam dengan abangan yang dipropagandakan anak didik orientalis maupun kalangan misionaris tidak pernah mendapatkan pijakan teoritis yang kuat. Sebab, yang berlaku di Jawa kata Andrey Moller adalah ortopraks Islam, yakni meski pelan namun pasti terus bergerak menuju Islam.

Oleh karena itu, orang Jawa, baik itu dari kalangan priyayi maupun abangan di masa tuanya akan berubah menjadi santri yang rajin ke masjid, yasinan dan khataman. Wallahu a’lam bish shawab










Al-Qadhi al-Fadhil, Sosok Penting dalam Perang Salib



Banyak orang yang memiliki peranan besar dalam sejarah, tetapi kisah mereka cenderung terlupakan. Di antara orang-orang semacam ini adalah seorang negarawan bernama Abdul Rahim al-Basyani (1131-1199/1200), atau yang lebih dikenal dengan sebutan al-Qadhi al-Fadhil.

Saat membahas tentang Shalahuddin dan keberhasilannya dalam Perang Salib, banyak yang lupa bahwa sebenarnya ada banyak orang di sekitar Shalahuddin yang memiliki peranan sangat besar dalam perjalanan karirnya serta pencapaian keberhasilannya. Di antara orang-orang itu, al-Qadhi al-Fadhil termasuk yang berada di posisi teratas.
Al-Qadhi al-Fadhil dilahirkan di kota Ascalon (Asqalan) di tengah pergolakan konflik dan Perang Salib di wilayah itu. Ia pindah ke Kairo beberapa waktu sebelum Ascalon jatuh ke tangan pasukan salib pada pertengahan tahun 1153.

Tubuh al-Qadhi al-Fadhil memiliki cacat, yaitu tulang punggungnya bongkok (humpback), sehingga ia terpaksa menutupinya dengan sejenis kain penutup yang terjulur dari kepala hingga melewati punggungnya (kain taylasan). Kekurangannya ini kadang menjadi sumber celaan orang lain serta menjadikannya seorang yang sangat sensitif. Ia juga digambarkan oleh orang-orang yang hidup pada masanya sebagai seorang yang berwajah buruk.

Seorang penyair dari Maroko pernah menulis kepada temannya seperti ini: ”Saya berada di pemandian umum al-Fayyum dan tiba-tiba saya melihat ... seseorang yang sangat aneh muncul (dan ia) tidak memiliki kepala ataupun leher. Wajahnya tenggelam ke dalam dadanya dan jenggotnya berada di perutnya. Dia tampak seperti seseorang yang kita kenal.” Yang ia maksud dengan kalimat terakhir adalah al-Qadhi al-Fadhil.

Pernah suatu kali al-Qadhi al-Fadhil diutus ke Mosul. Ketika buah-buahan dihidangkan, beberapa penguasa menyindirnya dengan mengatakan, ”Buah mentimunmu bengkok.” Al-Qadi al-Fadhil segera menjawabnya dengan mengatakan, ”Kubis kami lebih baik dari buah mentimunmu.”

Terlepas dari itu semua semua ia tidak pernah berputus asa dalam menjalani hidupnya dan tidak mundur dalam meraih kecemerlangan. Ia bahkan mencapai sebuah keberhasilan yang tidak mampu diraih oleh kebanyakan orang yang memiliki kesempurnaan wajah dan tubuh.

Al-Qadhi al-Fadhil memiliki kemauan yang kuat serta karir yang sangat menonjol. Ia merupakan seorang yang shalih, taat beribadah, memiliki ilmu agama yang mendalam, serta menguasai seni menulis yang sangat indah. Kehebatannya dalam menulis dan menggunakan bahasa yang indah diakui oleh banyak sejarawan. Al-Dzahabi di dalam Siyar A’lam Nubala menyatakan, ”Kelihaian seni menulis surat dan keindahan menyusun redaksi telah terhenti pada al-Qadhi al-Fadhil.”

Ia bekerja pada pemerintahan Dinasti Fatimiyah di Kairo. Ia meniti karir di kerajaan itu hingga ia memegang kedudukan sebagai pemimpin administrasi kerajaan. Karena ketika itu Dinasti Fatimiyah sedang berada dalam pergolakan internal yang parah dan terancam oleh invasi pasukan Salib, al-Qadhi al-Fadhil, atas persetujuan dan perintah Khalifah Fathimiyah, berperan dalam membangun komunikasi serta surat menyurat dengan Khalifah Abbasiyah di Baghdad dan Nuruddin Zanki di Suriah. Hal ini berdampak pada masuknya pasukan Suriah dibawah kepemimpinan Shirkuh dan Shalahuddin ke Mesir serta penguasaan atas negeri itu pada tahun 1169.

Ketika Shalahuddin ditetapkan sebagai wazir di Mesir, ia menghadapi tantangan yang serius dalam upaya mengubah Dinasti Fatimiyah yang berhaluan Syiah menjadi Sunni serta dalam mengalihkan loyalitasnya ke Baghdad. Ia tidak bisa serta merta mengubah haluan negeri itu, karena masih banyaknya pendukung Ismailiyah yang berada di pemerintahan Mesir. Namun berkat bantuan dan nasihat al-Qadhi al-Fadhil, proses perubahan itu bisa dilakukan dalam waktu kurang dari tiga tahun. Setelah beberapa pemberontakan kecil yang dapat segera diketahui dan ditindak, pada tahun 1171 doa shalat Jum’at di Mesir dibacakan untuk Khalifah Abbasiyah. Pada waktu yang bersamaan, khalifah terakhir Fatimiyah meninggal dunia.

Tentang ini, Shalahuddin berkomentar dengan nada simpati, ”Kalau saja kami mengetahui bahwa ia akan meninggal pada hari Jum’at ini (10 Muharram 567H; 1171), kami tidak akan membuatnya sedih dengan menghapuskan namanya pada khutbah Jum’at.” Al-Qadhi al-Fadhil langsung meresponsnya dengan kata-kata berikut, ”Tetapi kalau ia mengetahui Anda tidak menghapus namanya dari khutbah Jum’at, mungkin dia tidak akan (jadi) meninggal dunia.”



Hadia Ragheb Dajani-Shakeel dalam disertasinya, Al-Qadi al-Fadil: His Life and Political Career, menyebutkan bahwa proses eliminasi kerajaan Fatimyah dan peralihannya menjadi sebuah kesultanan Sunni dilakukan dalam tiga tahap:

Pertama, membersihkan administrasi pemerintahan serta kekuatan militer Mesir dari para pendukung Ismailiyah.

Kedua, mempersiapkan masyarakat melalui propaganda dan pendidikan yang mengkritisi keyakinan dan kebijakan Fatimiyah.

Ketiga, membangun dan mengokohkan administrasi serta militer yang mendukung kepemimpinan Shalahuddin.

Semua itu tidak mungkin dijalankan Shalahuddin tanpa adanya bantuan orang dalam di pemerintahan Mesir, dalam hal ini al-Qadhi al-Fadhil. Karena itu tidak salah jika seorang penulis, Muhammad al-Abdah, menyebutnya sebagai “among those who revived the Sunnah.”

Sejak masa itu, al-Qadhi al-Fadhil menjadi orang kepercayaan Shalahuddin al-Ayyubi.

Nasihatnya selalu didengar oleh sang Sultan, baik dalam masalah administrasi pemerintahan, ekonomi, maupun militer. Ia juga menjadi penasihat yang baik bagi Shalahuddin dan mengingatkannya terhadap hal-hal yang dituntun dalam agama. Ketika Shalahuddin sibuk berperang dan berusaha mengambil alih wilayah Mosul, sebuah kota Muslim di Irak yang belum mau tunduk pada kekuasaannya, ia tiba-tiba jatuh sakit.

Al-Qadhi al-Fadhil kemudian menasihatinya agar fokus dalam memerangi pasukan Salib. “Anda sebaiknya tidak lagi memerangi sesama Muslim setelah Allah memberikan kesembuhan,” katanya kepada Shalahuddin. “Anda sekarang mesti mengarahkan seluruh perhatian untuk memerangi pasukan salib.” Shalahuddin menerima nasihatnya itu.

Kedudukannya pada kesultanan yang dipimpin oleh Shalahuddin digambarkan dengan sangat baik oleh seorang penulis:

Al-Qadhi al-Fadhil, semoga Allah merahmatinya, merupakan (seorang petinggi) kesultanan Shalahuddin (al-dawla al-Shalahiyya). Ia merupakan sekretarisnya, wazirnya, tuannya, penasihatnya, serta penyuplai tentaranya. Ia menanggung seluruh bebannya, memerintah seluruh wilayahnya ... ketika sang Sultan sedang pergi (dari Mesir atau dari Suriah), ia memerintah sebagai wakilnya, atau membantu deputinya, baik deputinya itu merupakan salah satu adik atau anak Sultan.

Ia menerima kepercayaan itu hingga Shalahuddin meninggal dunia pada tahun 1193. Setelah itu, ia menarik diri dari dunia politik hingga ia meninggal dunia sekitar enam tahun kemudian. Kelihatannya, ia tidak merasa cocok dengan situasi politik selepas wafatnya Shalahuddin al-Ayyubi.

Di samping peranan politik, al-Qadhi al-Fadhil mempunyai banyak peranan penting lainnya. Ia mencatat berbagai peristiwa yang terjadi pada masa ia menjabat di pemerintahan dan catatannya itu berjumlah banyak dan menjadi rujukan bagi para sejarawan yang hidup setelahnya. Ia juga dikatakan mendirikan sebuah perguruan tinggi, Darb al-Mulukhiyah, di Kairo, dan tampaknya Abul Qasim al-Shatibi, seorang qari terkenal, menjadi salah satu pengajar utama di lembaga pendidikannya itu. Selain itu ia juga menerjuni bidang bisnis dan memiliki perniagaan di Hindia dan Maroko. Wallahu a’lam bis showab.









Shuhaib bin Sinan, Sang Pendamping Setia Rasulullah



RASULULLAH Shalallahu 'alaihi wa sallam pernah berkata bahwa orang-orang yang paling pertama dan utama masuk Islam ada empat. Pertama, Rasullulah sendiri, sebagai tokoh dari Arab. Kedua, Shuhaib bin Sinan sebagai tokoh dari Romawi. Ketiga, Bilal sebagai tokoh dari Abyssina. Dan keempat, Salman al-Farisi sebagai tokoh dari Farsi.

Shuhaib bin Sinan memang berasal dari Romawi. Bahkan, nama al-Rumi yang kerap digandengkan kepada namanya berasal dari kata Romawi. Namun, catatan sejarah menunjukkan, nenek moyang Shuhaib sebetulnya berasal dari Arab, dan merupakan keluarga terhormat.

Nenek moyang Shuhaib pindah ke Iraq jauh sebelum datangnya Islam. Di negeri ini, ayah Shuhaib diangkat menjadi hakim dan walikota oleh Kisra, Raja Persia . Shuhaib dan orangtuanya tinggal di istana yang terletak di pinggir sungai Eufrat ke arah hilir Jazirah dan Mosul . Mereka hidup dalam keadaan senang dan bahagia.

Suatu ketika datang orang-orang Romawi menyerbu dan menawan sejumlah penduduk, termasuk Shuhaib. Setelah ditawan, Shuhaib dijualbelikan sebagai budak dari satu saudagar ke saudagar lain. Ia menghabiskan masa kanak-kanak dan permulaan masa remaja di Romawi sebagai budak. Akibatnya, dialeknya pun sudah seperti orang Romawi.

Pengembaraannya yang panjang sebagai budak akhirnya berakhir di Makkah. Majikannya yang terakhir membebaskan Shuhaib karena melihat kecerdasan, kerajinan, dan kejujuran Shuhaib. Bahkan, sang majikan memberikan kesempatan kepadanya untuk berniaga bersama.

Memeluk Islam

Perihal keislaman Shuhaib, diceritakan oleh sahabatnya, 'Ammar bin Yasir. Suatu ketika, 'Ammar berjumpa Shuhaib di muka pintu rumah Arqam bin Abu Arqam. Saat itu Rasulullah masih berdakwah secara sembunyi-sembunyi di rumah tersebut.

“Kamu mau kemana?” tanya `Amar.

Shuhaib balik bertanya, “Dan kamu hendak kemana?”

“Aku mau menjumpai Rasulullah untuk mendengarkan ucapannya,” jawab 'Ammar.

“Aku juga mau menjumpainya,” ujar Shuhaib pula.

Lalu mereka masuk ke dalam rumah Arqam menemui Rasulullah. Keduanya mendengar secara khidmat penjelasan tentang aqidah Islam hingga petang hari. Setelah itu, keduanya menyatakan diri memeluk Islam. Secara sembunyi-sembunyi mereka kemudian keluar dari rumah itu.

Hijrah

Ketika Rasulullah hendak berhijrah ke Madinah, Shuhaib ikut serta. Ada yang mencatat bahwa Shuhaib telah menyembunyikan segala emas, perak, dan kekayaan yang dimilikinya sebagai hasil perniagaan bertahun-tahun di Makkah sebelum pergi hijrah. Catatan lain menyebutkan bahwa harta tersebut hendak ia bawa ke Madinah.

Rencananya, Shuhaib akan menjadi orang ketiga yang akan berangkat ke Madinah setelah Rasulullah dan Abu Bakar. Namun, orang-orang Quraisy telah mengetahui rencana tersebut. Mereka mengatur segala persiapan guna menggagalkannya.

Ketika hijrah akan dilakukan, pasukan Quraisy menyerbu. Malang nasib Shuhaib. Ia masuk perangkap dan tertawan. Akibatnya, kepergian Shuhaib ke Madinah tertunda, sementara para sahabat yang lain bisa meloloskan diri.

Saat orang-orang Quraisy lengah, Shuhaib langsung naik ke punggung unta dan memacu sekencang-kencangnya menuju gurun yang luas. Tentara Quraisy segera memburu dan hampir berhasil menyusulnya. Tiba-tiba Shuhaib berhenti dan berteriak:

“Hai orang-orang Quraisy, kalian mengetahui bahwa aku adalah ahli panah yang paling mahir. Demi Allah, kalian tak akan berhasil mendekatiku sebelum kulepaskan semua anak panah yang berada dalam kantong ini. Dan setelah itu aku akan menggunakan pedang untuk menebas kalian sampai senjata di tangan ini habis semua. Nah, majulah ke sini kalau kalian berani! Tetapi kalau kalian setuju, aku akan tunjukkan tempat penyimpanan harta benda milikku asal kalian membiarkan aku pergi.”

Ibnu Mardaweh meriwayatkan dari Utsman an-Nahdiy dari Shuhaib bahwa pasukan Quraisy saat itu berkata, “Hai Shuhaib, dulu kamu datang kepada kami tanpa harta. Sekarang kamu hendak pergi hijrah sambil membawa pergi hartamu? Hal ini tidak boleh terjadi.”

“Apakah kalian menerima tawaranku?”

Tentara Quraisy akhirnya tertarik dan sepakat untuk melepaskan Shuhaib sekaligus menerima imbalan harta. Reputasi Shuhaib sebagai orang jujur selama ini telah membuat tentara Quraisy itu percaya bahwa Shuhaib tak akan berbohong.

Setelah kaum Quraisy balik arah, lalu melanjutkan perjalanan seorang diri hingga menyusul Rasulullah yang sedang berada di Quba’.

Waktu itu Rasulullah sedang duduk dikelilingi para sahabat. Ketika mendengar salam dari Shuhaib, Nabi langsung berseru gembira, “Beruntung perdaganganmu, hai Abu Yahya!” Ucapan itu diulangnya sampai dua kali.

Beberapa saat kemudian turunlah Surat Al-Baqarah ayat 207. Ibnu Abbas, Anas bin Musayyab, Abu Utsman an-Nahdiy, Ikrimah, dan yang lain berkata, ayat ini diturunkan Allah Subhanahu wa Ta’ala berkenaan dengan peristiwa yang menimpa Shuhaib. Sementara kebanyakan ulama berpendapat, ayat ini umum untuk setiap mujahid yang berperang di jalan Allah, seperti halnya fiman Allah dalam Surat at-Taubah ayat 111: “Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji benar Allah dalam Taurat, Injil, dan Al-Qur`an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain Allah)? Maka bergembiralah dengan jual-beli yang kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.”

Sebuah catatan menunjukkan, Shuhaib baru mengetahui turunnya ayat mengenai dirinya setelah bertemu Umar bin Khattab dan kawan-kawannya di Tharf al-Hurrah. Mereka berkata pada Shuhaib, “Perniagaanmu beruntung.”

“Kalian sendiri bagaimana? Saya tidak merugikan perniagaanmu di jalan Allah. Apa yang kalian maksud dengan perniagaanku beruntung?” tanya Shuhaib.

Para sahabat kemudian memberitahu bahwa Allah telah menurunkan ayat yang berkaitan dengan dia.

Pendamping Setia

Setelah hijrah, Shuhaib menjadi pendamping setia Rasulullah. Ia dikenal berani dan andal menggunakan lembing dan panah.

Shuhaib pernah berkata, “Tidak ada sesuatu peperangan yang dilakukan Rasulullah dengan pihak lain yang aku tidak ada di sampingnya. Tidak pernah suatu perjanjian yang dibuat Rasulullah dengan pihak lain yang aku tidak ada di sampingnya. Tidak pernah suatu angkatan perang yang disiapkan oleh Rasulullah untuk pergi bertempur yang aku tidak ada di dalamnya. Tidak ada sesuatu peperangan yang sedang berkecamuk yang aku tidak ada di kanan kiri baginda. Tidak pernah terjadi sesuatu persiapan untuk mengirim bantuan yang aku tidak hadir di tempat itu. Pendek kata, aku adalah orang yang berdiri di tengah-tengah antara musuh dan Rasulullah.”

Setelah Rasulullah wafat, Shuhaib menyumbangkan baktinya kepada Sayyidina Abu Bakar dan Sayyidina Umar bin Khaththab ketika keduanya menjadi khalifah. Ketika Umar ditikam dari belakang saat memimpin shalat Shubuh, Shuhaib langsung ditunjuk sebagai pengganti imam.

Kata Umar, “Shalatlah kalian bersama Shuhaib.” Padahal saat itu kaum Muslimin belum memutuskan siapakah yang bakal menggantikan Umar sebagai khalifah.

Selanjutnya, Umar berkata, “Jangan kalian takut kepada Shuhaib karena dia seorang maula (hamba yang dimerdekakan). Dia tidak akan memperebutkan jabatan khalifah ini.”

*









Syeikh Jamil Jambek, Sang Penentang Hukum Adat


KETIKA usia belasan tahun, Muhammad Jamil Jambek dikenal sebagai parewa (preman) di kampunghalamannya, Nagari Kurai, Bukittinggi, Sumatera Barat. Ia keluar masuk kampung sebagai jagoan dengan keahlian pencak silat. Banyak pemuda yang takut berkelahi dengannya.

Menyabung ayam, bagian dari tradisi masyarakat Minangkabau kala itu, adalah kebiasaannya. Ia juga pernah mengisap candu. Saking gemarnya mengisap barang haram ini, ia dapat membedakan mana bau rokok dengan bau candu dari kejauhan. Keahlian ini juga yang membuat anak muridnya sering katahuan saat usai mengisap candu.

Sejarah kemudian mencatat Muhammad Jamil Jambek, yang juga dikenal dengan sebutan Inyiak Jambek, menjadi ulama terkemuka Minangkabau. Ia paling kritis terhadap adat istiadat dan ajaran tarikat. Dia juga ahli ilmu falak dan pembuat imsyakiah pertama. Dialah yang pertama kali memperkenalkan metode dakwah dengan bertabligh di depan massa.

Insyaf dan ke Makkah

Jamil Jambek lahir di kota Bukittinggi, Sumatera Barat, pada tahun 1863. Nama kecilnya Muhammad Jamil. Ia anak sulung dari Muhammad Saleh Datuk Maleka, seorang Kepala Nagari di Kurai, Bukittinggi.

Meski putra seorang pemimpin adat, perangai Jamil saat remaja sering dicibir masyarakat. Ia anak pemimpin adat yang sungguh tak beradat.

Pada usia 22 tahun, tepatnya tahun 1885, atas nasehat seorang ulama, Tuanku Kayo Mandiangin, Jamil mulai sadar dan meninggalkan dunia parewa. Ia kemudian belajar agama dan bahasa Arab.

Setahun berlalu, Jamil dikirim ayahnya belajar pada Syeikh Ahmad Khatib di Makkah. Ahmad Khatib adalah ulama asal Nagari Balai Gurah, Bukittinggi, yang termasyur sebagai guru besar di Mekkah dan menjadi Imam Besar di Masjidil Haram, sebuah posisi yang sebelumnya tak pernah diisi oleh mereka yang berasal dari luar tanah Hijaz.

Ada beberapa murid Syeikh Ahmad Khatib di Makkah yang kemudian terkenal sebagai motor pembaharu sekembalinya ke tanah air. Di antara mereka adalah KH Ahmad Dahlan, H Abdul Karim Amrullah, H Abdullah Ahmad, Syeikh Taher Jalaluddin, H Agoes Salim, H Muhamad Basyuni Imran, H Abdul Halim, KH Hasyim Asy'ari, dan Syeikh Daud Rasyidi.

Cukup lama Jamil Jambek berguru di Makkah, sejak tahun 1886 hingga pulang ke Ranah Minang pada tahun 1903.

Benturan pertama dan terberat yang dihadapai Jamil Jambek sekembali dari Makkah adalah masalah adat Minangkabau, khususnya hukum waris. Menurut ajaran Islam yang diterimanya dari Syeikh Ahmad Khatib, harta pusaka diwariskan kepada anak sendiri dengan ketentuan anak laki-laki memperloleh bagian yang lebih besar dari anak perempuan. Sedangkan adat Minangkabau menggariskan bahwa harta pusaka diwariskan kepada kemenakan perempuan, bukan kepada anak laki-laki.

Jamil Jambek tak bergeming dengan beratnya tantangan adat Minangkabau tersebut. Apa lagi ia tahu bahwa gurunya, Syeikh Ahmad Khatib, telah menulis dua buku berbahasa Arab tentang hukum waris.

Beberapa karyanya tertulis dalam bahasa Arab dan Melayu, salah satunya adalah al-Jauhar al-Naqiyah fi al-A'mali al-Jaibiyah. Kitab tentang ilmu Miqat ini diselesaikan pada hari Senin 28 Dzulhijjah 1303 H.

Karya lainnya adalah Hasyiyatun Nafahat ala Syarh al-Waraqat. Syeikh Ahmad Khatib menyelesaikan penulisan kitab ini pada hari Kamis, 20 Ramadhan 1306 H, isinya tentang usul fiqih. Karyanya yang membahas ilmu matematika dan al-Jabar adalah Raudhatul Hussab fi A'mali Ilmil Hisab yang selesai dirulis pada hari Ahad 19 Dzulqaedah 1307 H di Makkah. Kitab-kitab lainnya adalah al-Da'il Masmu'fi al-Raddi ala man Yurist al-Ikhwah wa Aulad al-Akhawat ma'a Wujud al-Ushl wa al-Manhaj al-Masyru', Dhau al-Siraj dan Shulh al-Jama'atain bi Jawazi Ta'addud al-Jum'atain.

Ahmad Khatib membuat pernyataan keras terhadap mereka yang menolak hukum Islam. Mereka harus diputuskan hubungannya dan tidak punya hak untuk mendapat pemakaman secara Islami.

Sedangkan tentang praktik tarekat Naqsyabandi di Minangkabau, Syeikh Ahmad Khatib menulis buku berjudul Izhhar Zughal al-Kadzibin (Menjelaskan Kekeliruan Para Pendusta).

Cukup berat tantangan yang dihadapi Syeikh Jamil Jambek dalam meluruskan masalah hukum waris dan ajaran tarikat yang sudah lebih dulu mentradisi di pelosok Ranah Minang. Namun metode dakwah dangan bertabligh, atau berpidato di hadapan massa, membuat masyarakat di kampung halamannya cepat mahami apa yang disampaikannya.

Jamil Jambek adalah ulama pertama yang memperkenalkan metode dakwah ini. Sebelumnya, masyarakat hanya mengenal metode berhalaqoh, pengajian dengan duduk melingkar menghadap guru di rumah dan surau-surau.

Ulama Kritis

Syeikh Jamil Jambek juga meninggalkan kebiasaan lama dimana ulama sangat terikat kepada kitab Jawi. Semuapelajaran diberikan dengan cara berdiri di muka umum, diberi keterangan selengkap-lengkapnya dengan metode yang mudah dimengerti.

Dengan metode baru tersebut, Syeikh Jamil Jambek cepat sekali menebar pengaruhnya. Bahkan begitu cepat merangkul banyak pengikut. Dalam waktu singkat ia sudah bisa mendirikan sebuah surau yang digunakan sebagai pusat pergerakan di kawasan Tengah Sawah, Bukittinggi.

Di surau ini Syeikh Jamil secara rutin memberikan pelajaran agama dengan berdiri di hadapan murid-muridnya, dilengkapi papan tulis. Umumnya murid Syeikh M Jamil Jambek adalah orang-orang berpangkat, tuanku, lebai, fakih/orang yang mengerti agama, dan guru.

Selain berdakwah di Surau Tengah Sawah, Jamil Jambek secara rutin turun ke kampung-kampung hingga ke Gadut, Pakan Kamis, dan Tilatangkamang yang pernah menjadi pusat pergerakan kaum Paderi.

Perubahan yang dibawa Syeikh Jamil Jambek tak hanya dalam cara mengajar namun juga dalam hal pemanfaatan ilmu pengetahuan umum untuk kepentingan Islam dan kaum Muslim. Ia sendiri telah membuktikannya dengan menguasai ilmu falak. Bahkan, Syeikh Jamil Jambek telah menyusun jadwal waktu shalat. Tak sekadar itu, ia juga telah menerbitkan Imsyakiah Ramadhan pada tahun 1911. Inilah imsyakiah pertama yang beredar di Indonesia.

Dalam setiap tabilqh akbar, Syeikh Jamil Jambek sering mengkritisi amalan suluk dalam tarekat Naqsyabandi dan segala macam bid’ahnya. Menurut Jamil Jambek, suluk jika tidak hati-hati bisa membuat orang malas.

Awalnya, Syeikh Jamil Jambek lebih suka berdakwah langsung ketimbang berdakwah lewat tulisan. Hanya sekali dia menulis di Majalah Al-Munir yang diterbitkan H Abdullah Ahmad di Padang.

Barulah pada awal tahun 1905, Syeikh Jamil Jambek mulai menulis buku. Di antaranya, buku berjudul "Penerangan Tentang Asal Usul Thariqatu al-Naksyabandiyyah dan Segala yang Berhubungan dengan Dia. Buku ini diilhami dari pertemuan ulama guna membahas keabsahan tarekat di Bukit Surungan, Padangpanjang. Saat itu Syeikh Jamil secara terbuka menyampailkan kritiknya soal tarekat.

Buku ini terdiri atas dua jilid. Salah satu penjelasan dalam buku ini kenyatakan bahwa tarekat Naksyabandiyyah diciptakan oleh orang dari Persia dan India. Syeikh Jamil Jambek menyebut orang-orang dari kedua negeri itu penuh takhayul dan khurafat yang makin lama makin jauh dari ajaran Islam.

Sikap kritis Syeikh Jamil Jambek juga tertuang dalam buku berjudul "Memahami Tasawuf dan Tarekat yang ditujukan sebagai upaya mewujudkan pembaruan pemikiran Islam.

Pada tahun 1913 Syeikh Jamil Jambek merangkul sahabatnya sesasama murid Syeikh Ahmad Khatib, yakni Syeikh Daud Rasyidi, mendirikan Majelis Islam Tinggi (MIT). Ia juga mendirikan Barisan Sabilillah untuk melatih kaum muda mengusir penjajahan kafir Belanda.

Namun, belum genap dua tahun Syeikh Jamil Jambek mengecap era kemerdekaan yang ikut diperjuangkannya, pada 16 Safar 1367 H, bertepatan 30 Desember 1947, Syeikh Muhammad Jamil Jambek dipanggil oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. Makamnya masih menjadi saksi sejarah di pekarangan masjid yang pernah menjadi basis perjuangnya.

Masjid yang terletak di jantung kota Bukittinggi itu hingga kini masih bernama Surau Inyiak Jambek.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar