Powered By Blogger

Senin, 26 Desember 2011

RENUNGAN

Pentingnya Merawat dan Memperbaiki Batin



DALAM sebuah kisah sufi yang terkenal, tersebutlah sebuah kisah tentang seorang pemuda ahli ibadah dan seorang pecinta dunia. Suatu hari, si ahli ibadah memasuki hutan yang penuh dengan singa. Melihat kedatangan pemuda ahli ibadah tadi, singa-singa di hutan itu merasa senang dan menyambutnya. Sementara itu, si pecinta dunia yang tatkala itu sedang berburu, baru saja memasuki hutan yang sama. Melihat kedatangan si pecinta dunia dan rombongannya, singa-singa itu mengaum siap menerkam sehingga membuat mereka merasa ketakutan.

Si ahli ibadah melihat kejadian itu dan dia berusaha menenangkan singa-singa tersebut. Maka berkatalah si ahli ibadah kepada si pecinta dunia dan orang-orangnya setelah menenangkan singa-singa ini, “Kalian hanya memperbagus dan memperindah penampilan luar saja, maka kalian takut kepada singa. Adapun kami, kami selalu memperbaiki dan memperbagus batin kami, sehingga singa pun takut kepada kami.”

Kisah di atas memuat pelajaran penting tentang hati sebagai pusat kebaikan. Hati adalah ibarat Raja yang punya hak veto dalam memerintah seluruh anggota jasmani menuju perbuatan baik atau jahat. Untuk merawat dan memperindah hati agar bercahaya, maka seseorang perlu terus-menerus mempertahankan dan mengamalkan kebaikan. Hati akan terus bersih, bening dan bercahaya jika kejahatan terus dihindari, jauh dari debu-debu dengki, riya`, takabbur, dan cobaan dijalani dengan ikhlas.

Memelihara hati bukanlah tugas yang sulit. Ini merupakan tugas yang wajib dilakukan setiap Muslim. Andaikata pun sulit atau mudah, itu harus dilakukan agar hati yang bersih berpendar dengan sinar kebaikan. Hati adalah wajahnya jiwa. Orang yang jiwanya baik, hatinya akan baik. Cara memperbaiki jiwa dengan memperbaiki hati.

Hati, dalam pandangan Imam Abdullah Al-Haddad adalah tempat penglihatan Allah. Sebelum yang lain, Allah melihat hati seseorang terlebih dahulu. Di sisi berbeda, anggota lahir badan kita menjadi tempat perhatian sesama makhluk yang acap dipandang dengan pandangan kekaguman.

Dalam sebuah doanya, Rasulullah SAW mengatakan :

"Allahummaj`al Sariiratiy Khairan Min `Alaaniyatiy Waj`al `Alaaniyatiy Shaalihah." (Ya Allah, jadikanlah keadaan batinku lebih baik dari keadaan lahirku dan jadikanlah keadaan lahirku baik). Inilah salah satu doa yang sering dipanjatkan oleh Nabi kepada Allah. Di dalamnya terkandung permintaan agar menjadikan suasana hati lebih bagus ketimbang keadaan lahir.

Pertanyaanya, mengapa nabi menitikberatkan pada batin atau hati? Imam Abdullah menjawab: “Ketika hati baik, maka keadaan lahir akan mengikuti kebaikan itu pula. Ini merupakan sebuah kepastian.” Keyakinan ini didasarkan pada peringatan sabda Nabi Muhammad SAW sendiri: “Di dalam jasad ada sekerat daging jika ia baik maka baiklah seluruh jasadnya dan jika ia rusak maka rusaklah seluruh jasadnya. Ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati.” (HR. Bukhari-Muslim)

Hati Sebagai Pusat Segalanya

Setiap orang pasti menyukai keindahan. Banyak orang yang memandang keindahan sebagai sumber pujian. Ribuan kilometer pun akan ditempuh demi mencari suasana dan pemandangan yang indah. Uang berjuta-juta akan dirogoh untuk memperindah pakaian. Waktu akan disediakan demi membentuk tubuh yang indah.

Perhatikan bagaimana Rasulullah SAW yang meski pakaiannya tidak bertabur bintang penghargaan, tanda jasa dan pangkat, tapi tidak berkurang kemuliaannya sepanjang waktu. Rasulullah SAW tidak menempuh ribuan kilo, merogoh harta demi singgasana dari emas yang gemerlap, ataupun memiliki rumah yang megah dan indah. Akan tetapi, penghargaan terhadap beliau tidak luntur dan menyusut ditelan masa. Beliau adalah orang yang sangat menjaga mutu keindahan dan kesucian hatinya. Kunci keindahan yang sesungguhnya adalah ketika kita mampu merawat serta memperhatikan kecantikan dan keindahan hati. Inilah pangkal kemuliaan sebenarnya.

Hati adalah penggerak, raja, poros, dan pusat segala ibadah. Hati yang thuma`ninah (tenang) akan dapat membuat orang ringan bangun malam, membaca Al-Qur`an, datang ke masjid, dan semua amal shalih lainnya. Hati bisa mengajak kepada kebaikan sekaligus di saat yang sama bisa mengajak kepada kejahatan.

Kita melihat tidak sedikit orang yang mempunyai anggapan bahwa melakukan maksiat tidaklah mengapa asal hati kita baik. Anggapan dan keyakinan seperti ini jelas merupakan kesalahan besar. Menurut Imam Abdullah, orang yang berpendirian semacam ini adalah pendusta besar. Lahir dan batin haruslah berimbang dan sama-sama baik. Seumpama makanan, ia akan diminati orang jika isi dan bungkusnya baik.

Kebaikan yang dibuat-buat juga harus dihindari. Ada orang yang berjalan membungkuk, mengenakan tasbih, pakaiannya pakaian orang saleh. Di balik semua ini, kita melihat dalam batinnya orang seperti ini tertanam cinta dunia mengakar kuat, keangkuhan, kebanggaan pada diri sendiri, serta kegilaan pada pujian. Menurut Imam Abdullah, orang semacam ini adalah orang yang berpaling dari Allah.

Dalam sebuah peristiwa, Sayidina Umar ra. melihat seorang yang berjalan di hadapannya dengan membungkuk sebagai bentuk ke-tawadhu-an. Melihat ini, Sayidina Umar berkata, “Takwa itu bukan dengan cara membungkukkan badanmu. Takwa itu ada di dalam hati.”

Bagaimana jika seseorang tidak mampu memperbaiki batin lebih dari keadaan lahirnya? Menurut Imam Abdullah Al-Haddad, hendaknya ia menyamakan kebaikan lahir dan batin meski idealnya meningkatkan kebaikan batin lebih diutamakan dan disukai.

Orang yang memiliki hati yang bersih, tak pernah absen bersyukur kepada Allah, Penguasa jagat alam raya ini. Pribadinya menyimpan mutu dan pesona. Tak mudah jatuh dalam kesombongan dan kepongahan di kala merebut sesuatu namun tetap istiqamah tunduk pada Allah.

Orang yang mempunyai hati yang baik akan terus bersikap rendah hati walaupun berpangkat tinggi dan harta melimpah.

Mari bersihkanlah hati ini, beningkanlah dari segala kotoran, isilah dengan sifat-sifat yang baik agar ia tetap terang benderang, bersinar dan bercahaya serta selalu cenderung kepada kebaikan dan takwa.*









Menuju Totalitas Penyucian Diri


TARGET inti seluruh rangkaian ibadah kepada Allah SWT baik ibadah fardhu agar terbangun kedekatan dengan-Nya (taqarrub) dan ibadah sunnah agar terbangun kecintaan dengan-Nya secara timbal balik (mahabbah) adalah tazkiyatun nafs (membersihkan jiwa). Syahadat membersihkan pikiran dan hati dari kerusakan kepercayaan, kotoran syirik, kufur, nifaq, fasiq. Sedang shalat membersihkan diri dari perbuatan keji dan mungkar. Puasa membersihkan diri kita dari tarikan hawa nafsu perut, nafsu kelamin dan nafsu panca indra. Zakat membersihkan harta pemilik harta dan kekayaannya dari perangai buruk dan campuran barang yang syubhat dan haram. Haji membersihkan pikiran, hati, dan anggota badan secara keseluruhan untuk menuju dan fokus serta all out untuk Allah SWT (tawajjuh dan tajarrud).

Rasulullah SAW sendiri dibangkitkan untuk meluruskan pikiran yang jumud (beku) dan bengkok dengan dibacakan ayat-ayat-Nya, membersihan hati dari kontaminasi lingkungan social yang didominasi hukmul jahiliyah, dhannul jahiliyah, hamiyyatul jahiliyah, tabarrujul jahiliyah, da’wal jahiliyah, serta diajarkan kitab, sunnah dan hikmah. Agar bangkit dari kesesatan dan kehinaan.

Syeikh Hasyim Asy’ari mengutip pendapat sebagian ulama:

التَوْحِيْدُ يُوْجِبُ الاِيْماَنَ فَمَنْ لاَ اِيْماَنَ لَهُ لاَ تَوْحِيْدَ لَهُ , وَالاِيْماَنُ يُوْجِبُ الشَرِيْعَةَ فَمَنْ لاَ شَرِيْعَةَ لَهُ لاَ اِيْماَنَ لَهُ وَلاَ تَوْحِيْدَ لَهُ
الشَرِيْعَةُ يُوْجِبُ الأَدَبَ فَمَنْ لاَ أَدَبَ لَهُ
لاَ شَرِيْعَةَ لَهُ وَلاَ اِيْماَنَ لَهُ وَلاَ تَوْحِيْدَ لَه

“Tauhid mewajibkan wujudnya iman. Barangsiapa tidak beriman, maka dia tidak bertauhid, dan iman mewajibkan keterikatan yang kuat untuk menegakkan syariat (al Iltizam bi asy Syari’at), maka barangsiapa yang tidak ada syariat padanya, maka dia tidak memiliki iman dan tidak bertauhid, dan syariat mewajibkan adanya adab, maka barangsiapa yang tidak beradab maka (pada hakekatnya) tiada syariat, tiada iman, dan tiada tauhid padanya.” (Hasyim Asy’ari, adabul ‘Alim wal-Muta’allim, Jombang: Maktabah Turats Islamiy, 1415 H). hal. 11)..

Ibadah yang tidak melahirkan perubahan menuju kemuliaan adab sama jeleknya dengan amal yang tidak dilandasi oleh iman. Itiqad dan amal, aqidah dan syariah, ruhani dan jasmani, tidak bisa dipisah-pisahkan untuk selama-lamanya. Laksana dua sayap burung. Karena, Allah SWT tidak melihat performen kita, tetapi menilai amal shalih dan kemurnian hati kita. Hati yang jernih dari kekeruhan motivasi adalah modal utama untuk bertemu dengan Allah SWT.

Selama satu bulan Ramadhan lalu kita dilatih untuk berusaha membersihkan diri kita, kalbu kita dari niat yang buruk, dendam, benci, serakah, sombong, iri hati dan virus ruhani yang lain, membersihkan kehormatan kita dari maksiat. Dan pada akhir bulan kita diperintahkan mensucikan harta kita dari kontaminasi haram, syubhat dengan mengeluarkan zakat fitrah. Jadi, puasa adalah latihan spiritual (riyadhah, mujahadah) penyucian diri, proses tazkiyatun nafs.

Demikian pentingnya tashfiyatu wa tazkiyatun nafs, maka tidak ada peluang yang paling berharga dalam kehidupan ini melebihi dari membuka ruang yang seluas-luasnya untuk pemberdayaan struktur ruhani kita. Dengan cara demikian, akan membuka kesadaran dan pencerahan baru.

“Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (QS. Asy Syams (91) : 9-10)

Ada empat bidang garap “tazkiyah” (pembersihan) yang dijadikan prioritas oleh Rasulullah SAW. Dan proyek immaterial tersebut yang berhasil digulirkan dengan gemilang dalam waktu kurang dari ½ abad.

Pertama: Tazkiyatun Nafs (penyucian diri)

Dahulu, bangsa Arab adalah bangsa yang kotor. Kepercayaan kepada Allah SWT dicemari dengan pemujaan kepada berhala dan benda-benda alam. Ekonomi masyarakatnya telah dikotori dengan penindasan yang kuat (the have) terhadap yang lemah (grass root), kesewenang-wenangan yang kaya dan berada terhadap yang tidak beruntung, dan keserakahan yang berharta kepada yang melarat. Kebudayaan mereka dinistai dengan kerendahan akhlak penghinaan wanita.

Peradilan mereka adalah peradilan rimba – yang kuat selalu benar dan kebal hukum, yang lemah selalu salah. Hukum mereka bagaikan gegraji. Tumpul untuk kalangan elitis dan tajam untuk kaum dhu’afa.

Lahirlah manusia yang terbelah jiwanya. Di masjid rajin berdoa. Keluar dari masjid ia tidak segan-segan melakukan perbuatan yang kontradiktif dengan isi doanya. Ibadah ritual seolah-olah tidak berefek pada keshalihan social. Itulah kehidupan yang skuler.

Kemudian, Allah SWT membangkitkan Muhammad bin Abdullah. Ia sendiri manusia pilihan, paling suci (al Musthofa). Bisa dipercaya (al Amin). Ia dilahirkan dari keluarga terhormat. Keluarga yang shalih, pengurus, pemelihara dan penjaga Baitul ‘Atiq – rumah Allah yang suci. Kepada masyarakat jahiliyah yang kotor beliau meniupkan angin kesucian. Ia mengajak dan memanggil bangsanya untuk mengingat kembali nama Allah yang selama ini sudah disebut-sebut dan memuji-Nya dengan makna dan spirit baru. Berbeda dengan “Allah” yang dipahami oleh masyarakat jahiliyah selama ini.

Sedikit demi sedikit, satu demi satu, thobaqon ‘an thobaq (secara gradual) berubahlah bangsa Arab. Mereka memilih kesucian sekalipun beresiko bergelimang dengan darah atau kehilangan nyawa. Lihatlah Sumayyah, misalnya, bersama suaminya Yasir dan anaknya ‘Ammar. Sumayyah memeluk Islam. Ia bersihkan akidahnya dari kemusyrikan. Ia dianiaya, dipukuli, dipanaskan di tengah padang pasir yang membakar.

وَكاَنَتْ عَجُوْزا كَبيرةَ ضَعيْفَةَ

“Padahal Sumayyah wanita tua yang renta dan lemah (kanat ‘ajuzah kabirah dha’ifah).”

Sumayyah bertahan memilih hidup yang suci dan terhormat. Abu Jahal datang dengan tombak di tangan. Ia memaksa Sumayyah mengucapkan kata-kata kufur dan kotor. Ketika itu Rasulullah SAW mengutus sahabat untuk menyampaikan berita kepada Sumayyah. Rasulullah SAW yang mulia – melihat penderitaan Sumayyah dalam mempertahankan keimanan yang suci – merestuinya untuk mengucapkan kalimat yang kotor (kufur), asal hati tetap beriman. Apakah jawaban yang keluar dari mulut Sumayyah?

اَبْلغُو ا عَنيَ رَسُوْلَ الله السلاَمُ ان سَمَيَة التي طهر الله قَلْبها لاَ تَسْتَطيعً أنْ تَلُوْثَ لساَنَها بكَلمة الْكُفْر

“Sampaikan salamku kepada Rasulullah SAW. Sesungguhnya Sumayyah yang telah Allah sucikan hatinya dengan iman, tidak akan sanggup mengotori lidahnya dengan kata-kata kufur.”

Abu Jahal marah. Ia menusukkan tombaknya ke rahim Sumayyah.Jadilah Sumayyah orang yang pertama kali syahid dalam sejarah Islam. Inilah Tazkiyatun Nafs (penyucian jiwa).

Kedua: Tazkiyatu Farj (penyucian moral)

Buraidah ra. dalam kitab “Taysirul Wushul juz 2 hal 7-8 – dalam hadits yang diriwayatkan muslim dan Abu Dawud – menceritakan peristiwa lain. Seorang wanita datang menjumpai Rasulullah SAW. Ia meminta Rasulullah SAW menghukumnya dengan hukuman mati (rajam). Rasulullah SAW menolaknya dan menyuruhnya datang keesokan harinya.

Esoknya ia datang lagi, meyakinkan beliau bahwa ia telah hamil. Rasulullah SAW memintanya pulang sampai ia melahirkan anaknya. Setelah melahirkan, ia datang lagi dengan bayi merah yang dibungkus kain. Rasul masih menolaknya. “Pulanglah, susukan anakmu sampai engkau sapih.” Setelah sekian lama, ia datang lagi dengan bayi dan sekerat roti. Ia merasa bersalah, dan ingin kembali kepada Allah SWT dalam keadaan tidak membawa dosa. Ia yakin dengan menjalankan hukum rajam untuk dirinya, akan membersihkan dosanya di dunia. Dosa kecil bisa dihapus dengan amal shalih. Dosa berbuat zhalim, mengembalikan hak yang terzhalimi. Dosa besar hanya bisa ditebus dengan hudud dan taubatan nashuha.

هدا ياَ رَسُوْلَ الله قَدْ فَطَمْتُهُ وَ قَدْ أَكَلَ الطَعَامَ

“Ini, ya Rasulullah, sudah aku sapih dan ia sudah bisa mengunyah makanan.”

Nabi SAW menyuruh seorang sahabat melawat anak wanita itu. Ia menetapkan hukuman rajam (badan dikubur separoh dan setiap orang yang lewat melemparinya hingga wafat). Ketika darahnya membersit dan mengenai wajah Khalid. Khalid memaki wanita itu. Rasulullah SAW murka kepadanya dan membela wanita yang sudah menyerahkan diri terhadap hukum Allah, dalam sabdanya.

يا خاَلدُ فَوَ الدي نَفْسي بيَده لَقد تاَبَ تَوْبَة لَوْ تاَ بَها صاحب مكْس لَغَفَرَ لَهُمهلاَ

“Celaka engkau, Khalid. Demi zat yang diriku ada di tangan-Nya. Wanita ini telah bertaubat dengan suatu taubat – (taubat yang begitu suci) – sehingga kalau ada pendosa besar bertaubat dengan taubatnya Allah akan mengampuni dosanya.”

Wanita dari suku Ghamidiyah ini tidak kuat hidup dengan berlumpur dosa. Ia memilih menyucikan dirinya dengan minta hukum rajam. Ia memilih kembali ke jalan Allah SWT (bertaubat). Ia meninggal dalam keadaan tenang, penuh bahagia. Sebagaimana yang telah Allah janjikan.

“Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat kepada-Nya. (jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberikan kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya. jika kamu berpaling, maka sesungguhnya aku takut kamu akan ditimpa siksa hari kiamat.” (QS. Hud (11):3).*


Tazkiyatul Mal (penyucian harta)

Karunia harta yang terbaik adalah ketika berada di tangan laki-laki yang shalih. Ia berpandangan, sekalipun hartanya habis di jalan Allah SWT bukanlah dikategorikan mubadzir. Sedangkan, sedikit saja yang di belanjakan di luar jalan-Nya termasuk mubadzir. Dan sikap mubadzir adalah sekutunya syetan.

Orang beriman memandang bahwa dirinya adalah hamba Allah SWT dan khalifah-Nya di muka bumi ini. Ia bukan hamba jabatan, hamba prestise, hamba mayoritas, hamba minoritas, hamba sain dan teknologi, hamba berhala yang abstrak dan kongkrit, hamba hawa nafsu perut, di bawah perut, hamba dinar dan dirham. Karena semua itu hanya makhluk (ciptaan) belaka.

Bahkan dunia dan seisinya diciptakan sebagai wasilah (sarana) untuk mengabdikan diri kepada Allah SWT. Bukan ghoyah (tujuan akhir). Jika ia dititipi kekuasaan digunakan untuk membela yang zhalim, bukan membela si zhalim. Berani membela kebenaran, bukan membela yang membayar (suap). Jika diamanahi ilmu digunakan untuk mencerahkan yang bodoh, bukan membodohinya. Jika dititipi harta dimaksimalkan untuk memberi makan yang sedang kelaparan (muth’imul ji’an).

Justru, harta yang menjadi milik kita adalah modal untuk menuju ridha-Nya. Maka harta yang kita miliki kita sedekahkan. Yang tersisa itu yang kita makan dan kita warislkan. Sedikit sekali. Yang menjadi milik kita yang kita berikan kepada Allah SWT. Karena kita yakin harta yang kita infakkan akan tumbuh dan berkembang dalam kebaikan (barakah). Seorang mukmin lebih sabar dalam kondisi kekurangan, kelaparan daripada menahan jilatan api neraka. Maka, ia berhati-hati dalam mengelola amanah harta. Harta hanya sebagai hak guna, bukan hak milik. Ia menjaga diri dari harta yang syubhat apalagi yang haram. Ia menjauhi segala bentuk praktek riba klasik ataupun riba kontemporer.

Karakter orang yang sumber kehidupannya berasal dari riba, selalu susah sekalipun bunganya bertambah. Dia tidak merasakan kenikmatan di dalam jiwa karena pijakan kehidupannya menghisap darah orang lain. Tertawa di tengah-tengah penderitaan sesama. Ia bagaikan orang yang resah karena ditampar syetan. Jika yang berhutang tidak lancar pembayarannya, ia ingin merampas harta bendanya sebagai jaminan. Bertambah kasar budi pekertinya. Sekalipun ia menampakkan muka yang berseri-seri agar mudah dibayar, tetapi hakikatnya untuk menindas orang lain dengan mengeruk keuntungan yang berlipat-ganda.

Sebaliknya, Allah SWT menyuburkan sedekah. Dia ingin mempertautkan kasih-sayang antara yang memberi dan menerima. Ia yakin dengan memberi akan memperoleh balasan yang berlipat di luar teori dan prinsip-prinsip ekonomi. Bertolak dari sini, terbentuklah masyarakat yang saling berkasih-sayang, saling berwasiat dalam menetapi kebenaran dan kesabaran, bahu-membahu, doa-mendoakan. Orang kaya menjadi dermawan, orang miskin pandai menjaga kehormatan dirinya (‘iffah).

“Barangsiapa yang bersedekah senilai sebutir kurma dari usaha yang halal, dan Allah hanya menerima yang baik-baik, maka Allah akan menerimanya dengan tangan kanan-Nya, kemudian mengembangkannya bagi pelakunya, sebagaimana salah seorang di antara kamu memelihara anak kuda, hingga sebutir kurma itu menjadi sebesar gunung.” (HR. Bukhari).

Keempat: Tazkiyatus Sulthan (penyucian kekuasaan, posisi dan jabatan)

Islam tidak mempersoalkan kekuasaan yang kita genggam, kekayaan yang melimpah dan ilmu pengetahuan yang tinggi. Tetapi, Islam menggedor pikiran dan kalbu kita benarkah yang menjadi hak kepemilikan kita menambah kebaikan dalam kehidupan kita (barakah) ?. Yang dilarang adalah mencemari kekuasaan, harta, ilmu untuk membangun egoism (ananiyah), hubbusy syahawat.

Menyucikan kekuasaan berarti mendahulukan kepentingan orang banyak diatas kepentingan diri sendiri. Menyucikan harta berarti menghilangkan kelaparan, kehausan, tidur tidak nyeyak, dan menghindari terbukanya aurat (karena tidak memiliki pakaian) yang dialami sesama. Harta dibelanjakan untuk membuat kaum dhu’afa dan mustadh’afin tersenyum. Menyucikan ilmu berarti menjadikannya sarana untuk memberantas kebodohan.

Ali bin Abi Thalib, ketika ia menjabat sebagai khalifah, ia membagikan harta Baitul Mal hanya kepada yang berhak. Pernah, Aqil saudaranya memohon lebih dari haknya karena anak-anaknya sedang menderita. Kata Ali, Datanglah nanti malam, engkau akan aku beri sesuatu.

Malam itu Aqil datang. Lalu Ali berkata, Hanya ini saja untukmu. Aqil menjulurkan tangannya untuk menerima pembelian Ali. Tiba-tiba ia menjerit, meraung seperti sapi yang dibantai. Rupanya ia memegang besi yang menyala. Dengan tenang Ali berkata, itu besi yang dibakar di dunia. Bagaimana kelak aku dan engkau dibelenggu dengan rantai neraka.

Umar bin Abdul Aziz yang dikenal oleh sejarah sebagai khalifah yang kelima, juga memilih pola kehidupan seperti para pendahulunya. Negara yang dikelolanya benar-benar surplus, sampai utang-utang pribadi dan biaya pernikahan ditanggung oleh negara. Indikator kemakmuran yang tidak akan pernah terulang kembali. Para amil zakat berkeliling ke perkampungan Afrika, tetapi tidak menemukan seorangpun yang menerima zakat. Ketika cucu Umar bin Khatahab itu dilantik menjadi khalifah atas desakan rakyat, beliau menangis di rumahnya dan mengatakan kepada semua anggota keluarganya bahwa kita akan mendapatkan musibah besar. “Jika Anda mendukung kami masuk surga, maka mulai saat ini kita harus siap lapar.” Dalam sejarah dicatat, beliau hanya dua kali mandi junub selama dua tahun masa kepemimpinannya. Beliau juga menolak untuk tinggal di istana. Bertolak dari kesederhanaan pola hidup, mengantarkannya berhasil mengadakan transformasi social secara total di negara. Sekalipun beliau adalah merupakan bagian dari masa kebobrokan Bani Umaiyah.

Inilah tazkiyatus sultan – penyucian kekuasaan dari pencemaran kepentingan-kepentingan pribadi, keluarga, kelompok dan golongan. Dan Ali bin Abi Thalib sebagai penguasa memilih hidup sangat sederhana daripada memanfaatkan kekuasaan untuk membangun satus qua dan memperkaya diri.*










Menuju Peradaban yang Lebih “Diberkahi”


SEJAK awal perkembangan Islam, langkah fundamental yang diambil oleh Rasulullah Saw untuk membumikan nilai-nilai Islam, adalah mencari lingkungan yang steril dari kontaminasi dan dominasi hukmu al jahiliyyah (hukum jahiliyah), tabarruj Al Jahiliyyah (tatanan sosial yang mengabaikan moral), Zhan Al Jahiliyyah (gaya hidup yang menuhankan materi), hamiyyatul jahiliyyah (kultur jahiliyah) dalam segala dimensinya.

Membangun Islam dalam lingkungan yang tidak kondusif dengan begitu, laksana menanam benih di lahan yang gersang, kering kerontang. Tentu benih yang ditanam tidak akan tumbuh menjadi tanaman yang subur. Bahkan, kemungkinan besar akan layu. Hidup segan, mati tak mau. "Laa yamuutu wa laa yahyaa."

Umar bin Khathab ketika memimpin upacara pemberangkatan para dai ke berbagai belahan dunia: Fii ayyi ardhin taqo’ anta mas’ulun ‘an Islamiha (di bumi manapun anda berdiam, anda memiliki tugas untuk mengIslamkan penduduknya).

Selama 13 tahun Rasulullah Saw dan para sahabatnya berIslam di Makkah, terbukti hanya beberapa gelintir orang yang menyambut seruannya. Itupun, sebagian besar berasal dari kalangan grass root (mustadh’afin)..Karena lingkungan sosial Makkah didominasi kemusyrikan. Penyakit molimo (minum, mencuri, membunuh, main perempuan, berjudi, memakan riba) yang diderita masyarakat sudah pada stadium akut.

Rasulullah Saw bersabda : “Seseorang itu tergantung agama kekasihnya, maka lihatlah kepada siapa ia berteman.” (HR. Ahmad )

Dalam Hadits lain disebutkan, “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, kedua orang tua lah yang menjadikan ia Yahudi, Nasrani dan Majusi.” (HR. Bukhari Muslim).

Begitu pentingnya sebuah lingkungan (al Biah), sehingga sastra arab mengatakan : “Nahnu ibnul biah.” (kita adalah produk sebuah lingkungan). Ada ungkapan lain yang senada: “Al Jaaru qabla ddar.” (mencari tetangga yang sepaham/sefikrah terlebih dahulu sebelum membangun rumah). Manusia itu diperbudak oleh kebiasaan dimana ia berdiam, kata sastra Arab. Seseorang yang akrab, dekat dan erat dengan penjual minyak wangi, akan terkena bau wangi, seseorang yang dekat dengan pandai besi, akan kecipratan bau besi. Seseorang yang dekat dengan orang-orang pilihan, ia akan terpengaruh oleh mereka.

Jadi, lingkungan yang Islami merupakan hidden curiculum yang akan merekonstruksi/menata ulang struktur kepribadian penghuninya menjadi Islami. Sebaliknya kawasan yang jahili akan membentuk pola pikir dan sikap mental jahiliyah penghuninya pula.

“Perumpamaan hidayah dan ilmu yang dengannya aku diutus oleh Allah, seperti tamsil hujan lebat mengguyur bumi. Maka ada tanah yang bagus menerima air kemudian menumbuhkan tanaman hijau dan rumput yang banyak. Dan ada tanah keras yang bisa menahan air, kemudian Allah berikan manfaatnya bagi manusia, sehingga mereka bisa mengambil air minum, menyirami, dan bercocok tanam. Dan ada lagi hujan yang mengguyur bumi yang licin, tidak menyerap air dan tidak menumbuhkan tanaman. Itulah tamsil orang yang memahami agama Allah dan petunjuk yang aku diutus Allah dengannya memberi manfaat baginya, maka ia tahu dan mengajarkannya kepada orang lain, dan tamsil orang yang tidak peduli dengan agama Allah dan tidak menerima hidayah Allah dengannya aku diutus.”
(HR. Bukhari, Shahih Al Bukhari 1/28).

Ketika Rasulullah Saw dan para sahabat As Sabiqun Al Awwalun ( angkatan Islam pertama) itu merasakan bumi Makah terlalu sempit menampung idealisme tauhid, Beliau ekspansi dakwah dan mencari basis teritorial lain yang lebih menjanjikan. Sehingga beliau memilih tanah Thaif sebagai alternatif pertama, tetapi respon kaum Thaif tidak menyenangkan. Bahkan beliau dilempari dengan batu. Kemudian mengadakan hijrah ke Habasyah. Namun imigrasi yang kedua ini kurang lebih sama dengan tujuan hijrah pertama. Sekalipun Raja Habsyi cukup toleran, hanya ghulam (seorang pemuda) yang masuk Islam ketika tertarik melihat Rasulullah Saw makan dengan membaca doa.

Baru setelah hijrah ke Madinah terjadi perkembangan spektakuler baik dari segi kaulitas maupun kuantitas kaum Muslimin. Dalam waktu 10 tahun di Madinah, kaum muslim tercatat 10.000 orang. Peristiwa hijrah ini kemudian dijadikan Khalifah Umar bin Khathab sebagai momentum penetapan tahun baru Islam. Sekalipun banyak peristiwa besar yang mendahuluinya, seperti pasukan gajah yang dipimpin oleh Raja Abraha untuk menghancurkan Ka’bah dll. Dari sini titik tolak perubahan totalitas kaum muslimin pertama terjadi.

Pelajaran Fundamental Hijrah

Ada beberapa pelajaran penting dari peristiwa hijrah ini, dikaitkan “hijrah” modern dengan visi membangunan peradaban Islam ke depan.

Pertama: Reformasi itu dimulai dari level kepemimpinan

Yang perlu diluruskan bahwa hijrah itu tidak identik dengan urbanisasi. Karena hijrah itu menuntut adanya perubahan secara radikal dan total. Dan setiap perubahan itu, berimplikasi sangat jauh. Perubahan itu memerlukan pengorbanan, maka terasa pahit. Apalagi jika seseorang itu telah membangun imperium, kedaulatan, status quo sudah sedemikian kokoh. Dipagari oleh kesetiaan dan hak-hak istimewa. Dalam kondisi demikian, perubahan itu biasanya ditafsirkan dengan instabilitas, anti kemapanan dll.

Dari berbagai teori perubahan, kejatuhan dan kebangunan negara dapat dipahami bahwa perubahan itu akan sukses jika di pelopori dari setiap individu, utamanya kalangan elitis sebuah komunitas. “Taghyiiru khuluqil ummah taabi’un litaghyiiri khuluqil qiyadah,” (perubahan sebuah bangsa berbanding lurus dengan kesiapan berubah di kalangan elit kepemimpinan), kata Ibnu Khaldun. Jika kita getol menyapu lantai rumah, sementara kotoran atapnya dibiarkan menempel, maka lantai akan kotor kembali.

Kedua: Komitmen terhadap regenerasi

Kepimpinan yang baik adalah mempersiapkan penggantinya. Penerus dan pewaris perjuangannya. Sebab usia seorang pemimpin umumnya lebih pendek dibandingkan dengan nilai immaterial, misi yang diperjuangkan. Bahkan ummat Muhammad hanya berumur berkisar 60 sampai 70 tahun (HR. Ahmad). Nilai-nilai moral yang tidak secepatnya diwariskan, maka negara, intitusi, akan kurang dinamis dalam merespon perubahan sekitarnya. Yang dimaksud kader disini adalah seseorang yang dididik, disiapkan, disetting, untuk melaksanakan tugas-tugas kepemimpinan dalam sebuah keluarga, partai, intitusi, lembaga, negara. Oleh karena itu sebelum Rasulullah Saw hijrah, telah mempersiapkan Ali untuk menggantikan tempat tidurnya. Dengan regenerasi maka kesinambungan amal dan transfer nilai akan berjalan dengan baik.

Ketiga: Memperkuat Sandaran Vertikal

Ketika rumah Rasulullah Saw sudah dikepung oleh para algojo dari berbagai kabilah Arab untuk menghabisi nyawanya, beliau tetap memiliki kestabilan jiwa. Hal ini merupakan salah satu buah ketargantungannya (ta’alluq) kepada Al Khaliq yang sudah terlatih selama 13 tahun di Makkah. Bahkan pada malam hari, saat memutuskan berangkat secara rahasia bersama kekasihnya Abu Bakar, beliau membacakan salah satu firman Allah Swt. :

وَجَعَلْنَا مِن بَيْنِ أَيْدِيهِمْ سَدّاً وَمِنْ خَلْفِهِمْ سَدّاً فَأَغْشَيْنَاهُمْ فَهُمْ لاَ يُبْصِرُونَ

“Dan Kami adakan dihadapan mereka dinding dan dibelakang mereka dinding (pula), dan Kami tutup (mata) mereka sehingga mereka tidak dapat melihat.” (QS. Yasin 36/9).

Setelah itu para algojo itu tidak bisa mendeteksi kepergian Rasulullah Saw. karena dibuat mengantuk oleh Allah. Setelah memasuki rumah beliau merasa terheran-heran, ternyata yang menempati tidur Rasulullah Saw adalah anak pamannya Abu Thalib, Ali kw. Betapa terkejutnya mereka. Mereka membuat makar, dan Allah membuat makar yang lebih canggih kepada mereka.

Sebuah bangsa yang dibangun tanpa memperhatikan aspek moral, keterlibatan Tuhan maka ucapkanlah taziyah (ucapan terakhir untuk mayit) kepada bengsa itu. Negara yang dibangun dengan mengabaikan peranan Tuhan, laksana membangun istana pasir atau permukaan balon. Negara itu akan keropos, mudah rapuh oleh tangan jahil penghuninya atau oleh konspirasi eksternal.

Keempat: Membangun sinergi dengan pihak lain

Sesungguhnya eksistensi sebuah peradaban sangat didukung oleh ketrampilannya dalam membangun kerjasama dengan pihak lain. Untuk mendukung keberhasilan hijrah, Rasulullah Saw bekerjasama dengan penggembala kambing orang Nasrani (Abdullah) untuk menghilangkan jejak dan rute yang dilewati. Sehingga beliau dan Abu Bakar menaiki Gua Tsur dengan aman. Tanpa sepengetahuan musuh-musuhnya.

Sesungguhnya ajaran Islam menjunjung tinggi kerjama dalam kebaikan dan taqwa. Dan menolak sinergi dalam perbuatan dosa dan permusuhan.Ciri yang paling menonjol akhlaq Islam dengan agama lain adalah menjunjung tinggi kesepahaman dan tidak menghalalkan segala cara. Bertolak belakang dengan sistem politik Machiavelli. “Al ghoyatu tubarrirul wasaa-il” (segala cara ditempuh, demi mencapai tujuan). Maka ada sebuah pameo; “Tidak ada kawan abadi, yang kekal adalah kepentingan.”

Disamping konsep Islam teguh dalam persoalan prinsip, terbuka pula dalam menerima perubahan-perubahan yang bersifat tekhnikal. Rasulullah telah mengajarkan sikap keterbukaan dalam memandang perbedaan. Perbedaan pandangan adalah suatu fitrah. Bahkan dengan beragam perbedaan itu bisa mendewasakan seseorang. Yang penting, mensiasati dan mengelola perbedaan itu agar menjadi produktif. Islam mengajarkan sepakat dalam persoalan prinsip dan toleran dalam perbedaan yang bersifat non prinsip. Oleh karena itu, kita dituntut menyederhanakan perbedaan dan mengedepankan kesepahaman. Dengan kerjasama yang baik antara berbagai komponen komunitas (pemimpin (Rasulullah), generasi tua (Abu Bakar), kalangan pemuda (Ali krw) kesulitan dan tantangan seberat apapun akan mudah diatasi.

Kelima: Pemberdayaan perempuan

Sesungguhnya wanita adalah saudara laki-laki (syaqoiqur Rijal). Dalam Islam laki-laki dan wanita itu satu kesatuan. Bahkan wanita itu terbuat dari tulang rusuk laki-laki. Karena dari satu jiwa, maka laki-laki dan perempuan saling membutuhkan dan saling melengkapi. Laki-laki dan perempuan yang berprestasi akan mendapatkan balasan yang sama.Oleh karena itu Allah memberikan tugas dan kewajiban kepada makhluq-Nya sesuai dengan fungsi kodratinya.

Perempuan yang terdidik dengan baik, memiliki kualitas yang melebihi laki-laki. Asma’ binti Abu Bakar dalam usia belia berhasil mengomandani urusan logistik ketika hijrah. Sekalipun medan yang dilewati terjal, dan nyawanya terancam. Demikianlah perempuan yang berkualitas, mengungguli bidadari. Karena bidadari masuk surga karena takdir. Sedangkan wanita shalihah berhasil karena perjuangan. Ketika masuk surga, menghargai tempat yang dihuni.

Sebaliknya wanita yang dibiarkan bengkok, maka kejahatannya akan melebihi laki-laki. Masih ingatkah kita peristiwa pembedahan dada mayat Hamzah bin Abdul Mutholib, kemudian digigit hatinya. Itulah perbuatan terkutuk yang dilakukan oleh Hindun. Sehingga ketika telah masuh Islam, Rasulullah melihat wajahnya dengan cemberut. Terbayang dengan peristiwa yang memilukan/menyayat hati.

Wanita shalihah lebih baik dari bidadari. Karena wanita shalihah berhasil berkat perjuangannya (mujahadah). Ketika masuk surga, ia menghargai posisi yang ditempatinya. Sedangkan bidadari masuk surga secara cuma-cuma (majjanan). Ia tidak merasakan pentingnya tempat yang dihuni (Hadil Arwah, Ibnul Qayyim Al Jauziyah).

Keenam: Membangun pola kepemimpinan Imamah

Ketika di Gua Tsur Abu Bakar merasa cemas, Rasulullah Saw menghiburnya: Laa tahzan innalloha ma’anaa (Jangan takut, sesungguhnya Allah bersama kita). Pada ayat ini beliau menggunakan khithab (pembicaraan) nun jama’ (prular) “ma’anaa”. Disini diambil pelajaran pentingnya berjamaah dalam membangun peradaban.

Berjamaah adalah media yang efektif dan efisien dalam memperkecil konflik. Mengesampingkan perbedaan dan menonjolkan persamaan. Berjamaah adalah fitrah manusia. Dengan berjamaah kita menyadari keterbatasan kita. Keberhasilan kita terwujud didukung oleh pengorbanan pihak lain, baik secara langsung maupun tidak langsung. Kehadiran kita di bumi ini juga tidak bisa dilepaskan dari kerjasama kedua orang tua kita. Sesungguhnya kita berasal dari percikan-percikan air (qothorot) dan menjadi manusia (fashorot insanan).

Keberhasilan yang dinikmati sendirian, tidak terlalu membahagiakan. Kesusahan yang ditanggung secara kolektif, maka derita menjadi ringan untuk dipikul. Itulah pentingnya kebersamaan. Dan karena kelemahan kita, menuntut adanya kerja sama dengan pihak lain di luar kita. Bahkan menjaga keshalihan kita mustahil terwujud tanpa berjamaah.

Kebenaran tanpa aturan, terkadang dikalahkan oleh kebatilan yang teratur kata Imam Syafii. Dunia ini dikuasai oleh negara Super Power. Namun, yang sedikit kita ketahui, dibalik kekuatan negara adi kuasa itu, terbukti ada kekuatan penekan (jama’atudh dhoghthi) yang diperankan oleh jaringan mafia kejahatan yang terorganisir dengan rapi. Dunia ini dikuasai oleh mafia. Wajar, jika kita menyaksikan media informasi di dunia ini tidak mendidik.

Demikian, beberapa pesan yang bisa dipetik dari hijrah. Yang jelas, “Al Hijratu maadhin ilaa yaumil qiayamah.” (hijrah tetap berlangsung sampai hari kiamat). Baik secara maknawi (hajara, meninggalkan segala bentuk maksiat), pula yang bersifat makani (haajara : meninggalkan lingkungan yang tidak Islami). Ketika Islam belum mendominasi kehidupan. Berbeda dengan haji, hanya diperuntukkan bagi yang mampu. Sebaliknya, selama Islam belum tegak secara de jure dan de vacto, perintah hijrah bersifat wajib sampai hari kiamat sekalipun tidak memiliki apa-apa dan berangkat harus ditempuh dengan berjalan kaki, memakan urat pohon, tempat yang dituju tidak menjanjikan kehidupan dll, menurut jumhur ulama.

وَمَن يُهَاجِرْ فِي سَبِيلِ اللّهِ يَجِدْ فِي الأَرْضِ مُرَاغَماً كَثِيراً وَسَعَةً وَمَن يَخْرُجْ مِن بَيْتِهِ مُهَاجِراً إِلَى اللّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ يُدْرِكْهُ الْمَوْتُ فَقَدْ وَقَعَ أَجْرُهُ عَلى اللّهِ وَكَانَ اللّهُ غَفُوراً رَّحِيماً

“Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezki yang banyak. barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An Nisa (4) : 100).

Allah akan memberikan pertolongan kaum muhajir di tempat yang baru dengan berbagai fasilitas yang menggiurkan. Bakkah (lingkungan yang membuat orang menangis) yang semula ditempati Ibu Hajar dan Ismail, menjadi Makkah Al Mukarromah (tempat yang diberkahi dan dimuliakan). Tempat yang membuat daya tarik spiritual bagi yang pernah mengunjunginya. Gua dikelola oleh ashhabul kahfi menjadi pusat dakwah. Penjara dirubah oleh Yusuf menjadi sarana tarbiyah.

Jika di tempat pertama belum ditemukan janji Allah, maka carilah tempat yang lain. Karena di tempat yang baru ini Allah akan membuktikan jaminan-Nya. Bukankah bumi Allah itu luas?

Jika bahan pembuatan pabrik di perut bumi tertentu habis, carilah bumi yang lain. Insya Allah tempat yang baru akan ditemukan limpahan karunia-Nya.*








Sudah Efektifkah Komunikasi Kita dalam Berdakwah?


Di antara sifat Allah SWT yang menonjol adalah Al-Hakim (Maha Bijaksana). Dia Maha bijaksana dalam perintah dan larangan-Nya. Seorang muslim yang kecipratan sifat-Nya ini akan menggabungkan akal budi yang mulia, dada yang lapang, hati nurani yang bersih. Hikmah terkadang dimaknai sebagian orang dengan filsafat. Padahal hikmah adalah inti filsafat, lebih halus dari filsafat. Filsafat hanya dijangkau oleh orang yang terlatih kecerdasannya dan lebih tinggi cara berpikir. Sedangkan hikmah bisa dipahami oleh orang awam dan tidak bisa terbantahkan oleh ilmuan. Hikmah tidak sebatas ucapan verbal, tetapi jelmaan dari tindakan dan akal budi.
Imam Syafii dikenal memiliki qoul qadim (fatwa lama) dan qaul jadid (fatwa baru). Ini menunjukkan kedalaman ilmu syariah (tafaqquh fiddin) dan pemahaman terhadap obyek dakwah (fiqh dakwah).

Beliau mengatakan, Memahami syariat merupakan fann (ilmu) tersendiri dan cara mengkomunikasikannya merupakan fann yang lain.

Ketika seorang komunikator Allah SWT (dai/muballigh) itu matang secara spiritual maka yang keluar dari lisannya adalah qaulan tsaqila (ucapan yang berbobot), (al-Muzzammil (73) :5), qaulan layyina (ucapan yang lembut) (Thaha (20) : 44), qaulan tsabita (ucapan yang meneguhkan), (Ibrahim (14) : 27), qaulan ma’rufa (ucapan yang dikenali hati), (al-Baqarah(2) : 263), qaulan karima (ucapan yang mulia), (al-Isra (17) : 23), qaulan sadida (ucapan yang tepat), (al-Ahzab (33) : 70) qulan baligha (ucapan yang memiliki ketinggian nilai sastra), (an Nisa (4) : 63), qulan maisura (ucapan yang mudah dan memudahkan), (al-Isra (17) : 28).

Stigma negatif yang dicitrakan oleh pihak tertentu terhadap Islam belakangan ini, diantaranya diakibatkan oleh pelaku dakwah yang dangkal pemahaman keislamannya dan picik (sempit pandangan dan sempit dada) dalam memahami realitas medan dakwah (maidanud dakwah).

Dahulu, para muballigh yang dikirim di kepulauan Nusantara ini sejak zaman Umar bin Khathab, mereka menjalankan misi dakwahnya sukses secara damai. Sekalipun Indonesia kala itu masih dipengaruhi Hindu dan Budha.

Di antara faktor utamanya mereka dikenal faqih fiddin, pula memahami secara mendalam dimana materi dakwah itu dikomunikasikan.

Abu Bakar Ash Shiddiq sukses memerangi kaum murtaddin, meredam gejolak dan pergolakan yang terjadi, karena khalifah yang pertama ini disamping faqih fiddin pula pakar ilmu ethnologi (ahli di bidang etnis, bagian dari ilmu manejemen). Beliau memahami suku mana yang perlu digertak dengan paksa, diplomasi dan suku mana yang memerlukan pendekatan individual (dakwah fardiyah).

Berikut sebelas alasan agar kita bisa meneladani kebijaksanaan para pendahulu kita yang shalih (salafus shalih) dalam berdakwah :

Pertama, tafqquh fiddin (mendalam dalam pemahaman keagamaan)

وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنفِرُواْ كَآفَّةً فَلَوْلاَ نَفَرَ مِن كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَآئِفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُواْ فِي الدِّينِ وَلِيُنذِرُواْ قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُواْ إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ

“Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke medan perang). Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk member peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya.” (QS. At Taubah (9) : 122).

Kedua, ikhlas dalam berdakwah

ذَلِكَ الَّذِي يُبَشِّرُ اللَّهُ عِبَادَهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ قُل لَّا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْراً إِلَّا الْمَوَدَّةَ فِي الْقُرْبَى وَمَن يَقْتَرِفْ حَسَنَةً نَّزِدْ لَهُ فِيهَا حُسْناً إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ شَكُو

“Itulah (karunia) yang diberitahukan Allah untuk menggembirakan hamba-hamba-Nya yang beriman dan mengerjakan kebajikan. Katakanlah (Muhammad) “Aku tidak meminta kepadamu sesuatu imbalan pun atas seruanku kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan.” (QS. Asy Syura (42) : 23).

Pesan Nabi kepada Muadz bin Jabal ke negeri Yaman. "Murnikan motivasi dirimu, maka cukup bagimu amal yang sedikit." (al-Hadits)

Ketiga, memahami obyek dakwah

“Barangsiapa yang mengetahui bahasa suatu kaum, ia aman dari makar mereka, “ demiian kata pepatah Arab.

“Berbicalah kalian kepada mereka sesuai dengan kadar berpikir mereka.” (Al-Hadits)

Keempat, menjadikan diri sebagai mushaf berjalan, alat peraga dakwah, (uswah dan qudwah bagi yang didakwahi)

أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنسَوْنَ أَنفُسَكُمْ وَأَنتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلاَ تَعْقِلُونَ

“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, Padahal kamu membaca Al kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?.” (al-Baqarah (2) : 44).

Kelima, mengikat hati (dakwah fardiyah) dengan kasih sayang sebelum menjelaskan sesuatu

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِي

“Dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS: al-Anbiya (21) : 107)

Keenam, mengenalkan sebelum membebani secara konstan

“Hai kedua penghuni penjara, manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah yang Maha Esa lagi Maha Perkasa? Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun tentang nama-nama itu. keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." (QS: Yusuf (12) : 39-40)

Ketujuh, mempermudah bukan mempersulit

“Permudahlah, jangan dipersulit, besarkan hati jangan membuat orang lari.” (HR. Bukhari).

Kedelapan, mendahulukan yang prinsip sebelum cabang

Katakanlah: "Sesungguhnya aku hendak memperingatkan kepadamu suatu hal saja, Yaitu supaya kamu menghadap Allah (dengan ikhlas) berdua- dua atau sendiri-sendiri; kemudian kamu fikirkan (tentang Muhammad) tidak ada penyakit gila sedikitpun pada kawanmu itu. Dia tidak lain hanyalah pemberi peringatan bagi kamu sebelum (menghadapi) azab yang keras.” [QS: Saba (34) : 46)

Berdua-dua atau sendiri-sendiri maksudnya ialah bahwa dalam menghadap kepada Allah, kemudian merenungkan keadaan Muhammad s.a.w. itu Sebaiknya dilakukan dalam keadaan suasana tenang dan ini tidak dapat dilakukan dalam keadaan beramai-ramai.

Kesembilan, membesarkan hati sebelum memberi ancaman

“(Yaitu Tuhan) yang telah menciptakan Aku, maka Dialah yang menunjuki Aku, Dan Tuhanku, yang Dia memberi Makan dan minum kepadaKu, Dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan Aku, Dan yang akan mematikan Aku, kemudian akan menghidupkan aku (kembali), Dan yang amat kuinginkan akan mengampuni kesalahanku pada hari kiamat." (QS: Asy Syu’ara (26) : 78-82).

Kesepuluh, mendidik bukan menelanjangi

“Sesungguhnya Allah telah memberi wahyu kepadaku agar kalian saling tawadhu’ (rendah hati), sehingga tidak ada seorang pun yang sombong terhadap yang lain, dan tidak ada seorang pun yang berbuat zhalim kepada yang lain.” (HR. Muslim dan Abu Dawud)

Kesebelas, memposisikan diri bagaikan orangtua bagi anak, guru bagi murid, mursyid bagi salik (penempuh jalan menuju-Nya), panglima bagi prajurit, pemimpin bagi jamaah, kakak bagi adik.

“Aku diutus untuk menjadi guru yang mempermudah jalan bagi murid (menuju Allah SWT).” (al-Hadits).. *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar