Buah Hati Dalam Kepungan Lagu Ironi!
SUATU saat, penulis menyusuri sebuah perkampungan. Saat itu, kampung sedang ramai oleh lalu lalang anak-anak kecil yang bermain. Di sebuah sudut perkampungan, penulis mendengar sekelompok anak menyanyikan sebuah lagu dengan riang gembira. Mereka menyanyikan lagu orang dewasa.
“Manuke, manuke cucak rowo/ cuwak rowo dowo buntute/buntute akeh wulune/ yen digoyang ser-ser, aduh enake.” (burungnnya, burung cucak-rowo....)
Penulis sungguh terkesima mendengar anak-anak kecil itu melantunkan lirik berbau porno itu dengan fasihnya. Sungguh miris melihat kejadian itu. Ternyata, bukan hanya di perkampungan tersebut hal ini terjadi. Di banyak tempat, anak-anak tulang punggung agama dan bangsa ini, banyak terbuai dengan lagu dengan lirik-lirik yang liar.
Marilah kita perhatikan perbedaan antara lagu anak-anak kini dan dahulu. Dulu barangkali kita di masa kecil tidak asing dengan lagu “Pelangi-pelangi,” “Bintang Kecil,” “Semut-semut Kecil, ”Naik-naik ke Puncak Gunung,” “Burung Kakak Tua.” Lagu-lagu tersebut sering kita senandungkan saat masih duduk di bangku TK atau SD. Salah satunya, “Oh Ibu dan Ayah selamat pagi/ Kupergi sekolah sampai nanti/ rajinlah selalu tentu kau dapat/ hormati gurumu, sayangi teman/ itulah tandanya kau murid budiman.”
Namun kini, anak-anak lebih akrab dengan lagu populer seperti Peterpan, D`Massive, Kangen Band, The Rock, Bang Mandor, Keong Racun, Goyang Dombret, Hamil Tiga Bulan, Belah Duren, dan sebagainya. Lirik lagu dewasa menjurus kepada cinta yang semu, penuh khayalan tingkat tinggi, bertemakan hubungan laki-laki dan perempuan yang tidak wajar (hubungan seks). Sementara, lagu anak-anak memiliki lirik yang ringan, bertemakan kehidupan anak itu sendiri seperti sekolah, cinta pada orangtua, cinta pada lingkungan sekitar, hormat pada guru, teman, dan hewan peliharaan.
Hubungan Lagu Nakal dengan Seks
Para peneliti baru-baru ini menganalisis dampak dari lirik-lirik musik yang berbau seksual terhadap perilaku dan sikap remaja. Para peneliti mempertanyakan apakah lirik sesual pada lagu popular memiliki dampak pada perikaku seksual dan sikap remaja? Caugar Hall, Yosua H. West dan Shane Hill dari Brigham Young University in Provo, Utah, melihat kecenderungan sikap remaja yang menyukai lirik seksual dalam sebuah lagu populer.
Rincian mengenai temuan yang dilakukan oleh ketiga peneliti ini sudah dipublikasikan dalan Jurnal Sexuality & Culture. Dalam penelitian ini, para peneliti menganalisis lirik dari 100 lagu terpopuler di Billboard Hot 100 yang dikumpulkan dari tahun 1959 sampai 2009. Efek dari lirik-lirik seksual pada sebuah lagu memang sangat beragam. Tapi secara umum lirik tersebut merusak pola pikir remaja. Lirik tersebut membuat mereka melakukan hal-hal seksual yang menyimpang antara lain free seks (seks bebas) dan juga penyalahgunaan zat berbahaya, seperti narkotika.
“Musik populer yang memiliki lirik seksual di dalamnya, dapat mengajarkan remaja untuk menjadi agresif secara seksual dan wanita diperlakukan sebagai objek pelampiasannya. Informasi mengenai hal ini penting bagi masyarakat bahwa perlunya pendidikan seks guna menyadari masalah ini dan mengurangi dampak terhadap penyimpangan perilaku seksual di kalangan remaja,” kata mereka.
Dalam penelitian lainnya, Dr. Brian A Primack dari fakultas Kedokteran Universitas Pittsburgh, Amerika Serikat meneliti sebanyak 711 remaja berusia rata-rata 14 tahun. Mereka semua diberi pertanyaan sekitar hobi mereka mendengarkan lagu berlirik porno, dan mengandung unsur seks.
Rata-rata mereka semua mendengarkan lebih dari 14 jam lagu-lagu yang mengandung unsur seks. Dan hasilnya, satu dari tiga remaja tersebut mengaku sudah melakukan hubungan seksual dengan pacarnya. Para remaja yang mengaku telah melakukan hubungan seksual bahkan mengaku telah melakukannya lebih dari dua kali.
Para orangtua patut merasa khawatir menyaksikan fenomena seperti ini. Mereka takut anak-anaknya tumbuh berkembang dengan kepribadian yang tidak semestinya sebagai akibat munculnya lagu-lagu nakal. Jika orangtua sudah tidak lagi memperhatikan anak-anaknya, tidak peduli akan kepentingan anaknya, tidak menghiraukan dengan siapa ia bergaul, apa yang ia tonton dan dengar, maka itu adalah waktu akan tibanya kehancuran dan kerusakan yang dibuat oleh si anak sendiri.
Dampak Lagu Dewasa
Setidaknya ada tiga dampak serius bagi anak-anak kita yang sering mendengar apalagi sampai menirukan gerakan visual dari lagu dewasa. Tiga dampak itu adalah pertama, anak-anak ‘mendadak’ menjadi dewasa sebelum waktunya. Seorang anak yang telah kecanduan mendengarkan lagu dewasa berakibat pada munculnya pikiran dan sikap ingin mengatui apa yang dimaksud lirik sebuah lagu.
Mereka akan merengek-rengek pada orangtuanya untuk membelikan CD yang bertemakan cinta buta. Sampai suatu saat, mereka akan bertanya hal-hal yang mungkin belum saatnya bagi mereka. “Cinta itu, apa ya ?” “Apa sih, selingkuh itu?” “Pacaran itu, enak g sih?”
Jika orangtua abai akan hal ini, maka anak-anak yang telah kecanduan lagu dewasa tersebut akan berusaha mencari tahu pertanyaan-pertanyaan di atas lewat internet, buku, majalah, dan media-media lain yang kurang mendidik.
Kedua, mempraktekkan lirik lagu dalam dunia nyata. Tidak terhitung sudah berapa anak yang terjun dalam dunia hubungan di luar batas dengan lawan jenisnya. Awalnya, ia tertarik dengan sebuah lagu yang dibumbuhi gerakan-gerakan erotis. Nalurinya ingin mengetahui bagaimana rasanya melakukan adegan demi adegan yang ia lihat dari gerakan dan lirik sebuah lagu. Masa kanak-kanak adalah masa dimana mereka mencari bentuk karakter dan pribadinya. Di masa ini, seorang akan mengikuti apa yang lihat dan dengar, tanpa sadar dampak buruknya.
Ketiga, meniru gaya hidup para artis. Sedikit sekali para artis yang bisa dijadikan panutan. Beberapa di antara mereka jatuh pada dunia Narkoba, perselingkuhan, kawain cerai, dan sebagainya. Bila buah hati menirukan gaya hidup seperti itu, maka ia bisa terseret pada arus yang menggerus etika dan moral, tidak malu-malu lagi berpakaian minim, membuka aurat, dan melakukan tarian erotis.
Memilih Lagu ‘Sehat’
Dalam memilih lagu yang sehat, orangtua perlu berhati-hati agar tidak jatuh pada penyesalan akibat salah dalam memilih lagu yang sesuai dengan usia mereka.
Pertama, pilihkanlah lagu yang baik bagi anak. Baik di sini adalah baik dari segi lirik dan mampu meningkatkan kualitas kepribadian anak.
Kedua, lagu sehat adalah lagu dengan nada yang menyenangkan dan lucu. Keriangan dapat menjadi unsur positif dalam diri seorang anak sehingga ia terbentuk suasana yang hangat dan akrab. Dunia anak-anak tidak selalu menyoal keriangan tapi setidaknya menjadi fase penting yang melengkapi pertumbuhannya.
Ketiga, liriknya mudah dipahami. Dunia anak adalah dunia natural yang mengandung unsur percerapan besar-besaran yang kemudian menjadi model kognitif dan emotif pada fase perkembangan selanjutnya. Pemberian lagu dewasa yang berisi pendangkalan kehidupan manusia dapat menghilangkan beberapa hak perkembangan anak. Bisa kita bayangkan, pikiran seorang anak usai menyanyikan lagu Cucak Rowo yang berisi muatan seksual karena salah dalam memilih tema atau lirik lagu. Ketika seorang anak dikepung dengan musik-musik saru dengan lirik-lirik seronok pastinya, maka membuat lisan mereka lancar menirukannya.
Keempat, mengandung pesan moral seperti persahabatan, kerajinan, keuletan, mengandung nilai-nilai pendidikan. lagu dewasa akan memaksa anak-anak menjadi dewasa dini yang seharusnya bisa menikmati masa kanak-kanak mereka.
kelima, bisa mengajak anak menari, bertepuk tangan, menggerakkan tubuh mereka. Lagu dapat merangsang perkembangan kecerdasan otak. Gerak dan lagu adalah sarana yang menyenangkan bagi anak-anak untuk berolahraga atau bersenam. Karena dengan gerak dan lagu, anak-anak bisa bergerak sambil mendengarkan musik. Ini berarti bahwa anak-anak bisa merasakan keceriaan, sambil menggerakkan tubuh mereka atau berolaraga atau bersenam. Hal ini tentu akan bermanfaat bagi anak secara jasmani dan rohani. Tubuh anak jadi sehat, dan jiwa mereka pun merasakan suka cita. Sebagai orangtua yang baik, harus mampu memilih lagu yang atraktif.
Marilah kita berikan anak-anak hak mereka untuk menikmati masa kecil mereka, masa-masa indah mereka. Jangan kita racuni mereka dengan hal-hal yang buruk bagi mereka karena mereka adalah tiang-tiang agama dan bangsa di era selanjutnya.
Setetes Darah Istri Tercinta
SUBUH itu kami baru saja menikmati sahur pertama bulan Ramadhan, ketika tiba-tiba istri saya mengeluh sakit perutnya. Sempat muncul tanda tanya apakah istri saya akan melahirkan, tetapi kami sempat ragu karena HPL-nya masih 11 hari lagi. Agar tak salah penanganan, kami segera memeriksakan diri ke bidan terdekat di Tambak¬beras, Jombang. Ternyata, bidan Sri Subijanto melarang pulang. “Sudah bukaan lima,” kata Bu Sri.
Bu Sri mendampingi beberapa saat. Barangkali dirasa masih agak lama, Bu Sri meninggalkan ruangan bersalin. Meski hanya sebentar, tapi ternyata inilah saatnya bayi saya lahir. Dengan ditemani seorang pembantu bidan dan Bu Lik (tante), saya mendampingi istri melewati saat-saat yang mendebarkan. Di saat-saat terakhir, istri saya nyaris kehabisan tenaga. Tak berdaya. Ingin sekali saya mengusap keringat di keningnya, tetapi tak ada saputangan di saku saya. Lalu, saya coba menggenggam tangannya untuk memberi kekuatan psikis. Saya tak tahu apa yang terjadi pada dirinya. Tapi saya lihat ada semangat yang bangkit lagi. Sedangkan di matanya, kulihat airmata yang hampir menetes.
Saya ingin sekali rasanya berlari memanggil bidan, tapi tak tega meninggalkannya. Saya hanya berharap Allah akan memberi pertolongan. Alhamdulillah, hanya satu jam di ruang bersalin, anak saya lahir. Seorang laki-laki.
Tidak sedih, tidak gembira. Hanya perasaan haru yang menyentuh ketika saya membersihkan kain yang penuh dengan darah dan kotoran istri. Setetes darah istriku telah mengalir untuk lahirnya anakku ini. Ia merelakan rasa sakitnya untuk melahirkan. Ia telah mempertaruhkan nyawa untuk keselamatan anaknya. Maka, apakah aku akan membiarkan anak-anakku hanya tumbuh besar begitu saja tanpa pendidikan yang betul-betul baik dan terarah? Rasanya, terlalu berharga pengorbanan istriku jika aku tak serius membesarkan anak-anak yang dilahirkannya.
Diam-diam kupandangi anakku. Ingin kusentuh ia dengan tanganku. Tetapi aku harus bersabar dulu. Setelah asisten bidan selesai mengurusinya, kurengkuh ia dalam pelukanku. Lalu kuperdengarkan di telinganya azan dan iqamah yang kuucapkan dengan suara terbata-bata. Semoga ucapan awal ini membekas dalam hati dan jiwanya, sehingga kalimat ini memberi warna bagi kehidupannya. Konon ungkapan-ungkapan awal pada masa komunikasi pra-simbolik ini akan banyak menentukan anak di masa-masa beri¬kutnya. Begitu bunyi teori komunikasi anak yang pernah saya pinjam saat menulis buku Bersikap terhadap Anak (Titian Ilahi Press, Jakarta, 1996).
Sekali lagi kupandangi anakku. Tubuhnya yang masih sangat lemah, terbungkus kain yang saya bawa dari rumah. Hatiku terasa gemetar melihatnya. Saya teringat, ada satu peringatan Allah agar tidak meninggalkan generasi yang lemah. Allah Ta’ala meng¬gunakan perkataan, “… hendaklah kamu takut….” Tetapi saya dapati dalam diri saya, masih amat tipis rasa takut itu. Lalu dengan apa kujaminkan nasib mereka jika rasa ta¬kut ini masih belum menebal juga? Ya Allah, tidak ada Tuhan kecuali Engkau, dan aku dapati diriku ini masih termasuk orang-orang yang zalim.
Diam-diam kupandangi anakku sekali lagi. Kuusap-usap kepalanya. Kukecup keningnya, seraya dalam hati aku mohonkan kepada Allah keselamatan dan kemuliaan hidupnya. Pengalaman menemani istri di detik-detik persalinannya telah mengajarkan kepadaku sesuatu yang sangat berharga, “Anak yang dilahirkan dengan darah dan air¬mata ini, jangan pernah disia-siakan. Ibu yang melahirkan anak ini, jangan pernah dinis¬takan.” Mereka adalah amanat yang telah kuambil dengan kalimat Allah, dan semoga Allah memampukanku untuk mempertanggungjawabkannya di hari kiamat kelak.
Setelah merasakan pengalaman mendampingi detik-detik persalinan istri, saya merasa sangat heran terhadap para suami yang masih tega menampar istri atau menyia-nyiakan anaknya. Saya juga merasa sangat heran terhadap sebagian rumah sakit yang masih saja melarang suami terlibat langsung dalam proses persalinan istrinya, sebagaimana ketika istri saya melahirkan anak pertama saya di Kendari. Padahal keterlibatan suami dalam proses persalinan dari awal sampai akhir, sangat besar manfaatnya. Baik bagi istri maupun bagi hubungan ayah dengan anak.
Kedekatan psikis (attachment) antara ayah dengan anak akan lebih mudah terben¬tuk apabila ayah berkesempatan menyaksikan secara langsung detik-detik persalinan itu. Di sisi lain, saya kira seorang istri akan merasa sangat berbahagia kalau suaminya bersedia men¬dampinginya di saat ia sangat membutuhkan dukungan psikis dan kehangatan perhatian.
Saya tidak tahu apakah istri saya lebih bahagia dengan kehadiran saya mendampinginya. Tetapi saya kira Anda –para ummahat— akan lebih senang jika suami Anda bersedia mendampingi persalinan Anda. Bagaimana?
11 Faktor Keberhasilan Siswa
BAIK, mari kita buka What Works in Schools: Translating Research into Action yang ditulis oleh Robert J. Marzano. Soal penelitian, Marzano memang dikenal sebagai pakar paling kompeten dalam masalah manajemen kelas. Dari penelitiannya secara intensif selama lebih dari 40 tahun, Marzano telah menghasilkan tak kurang dari 25 buku yang menjadi rujukan penting tentang bagaimana seorang guru seharusnya mengelola kelas.
Lalu apa yang bisa kita petik dari What Works in Schools? Banyak hal. Di antaranya yang menarik perhatian saya adalah kesimpulan Marzano tentang 11 faktor yang mempengaruhi keberhasilan siswa. Kesebelas faktor tersebut tersebar dalam 3 aspek, yakni sekolah, guru dan siswa.
Agar pembicaraan kita lebih efektif, mari kita perbincangkan satu per satu secara ringkas:
Sekolah. Faktor pertama yang sangat menentukan kemampuan sekolah mengantar siswa meraih sukses adalah jaminan bahwa kurikulum yang berlaku di sekolah benar-benar layak diandalkan dan dapat diterapkan oleh guru-guru. Sebaik apa pun kurikulum yang telah dirumuskan oleh sekolah, jika guru-guru tidak mampu menerjemahkan dalam tindakan kelas, maka kurikulum tersebut akan sia-sia. Ujung-ujungnya, untuk memenuhi tuntutan kurikulum, yang dilakukan oleh guru bukan menerapkan kurikulum tersebut setepat dan sebaik mungkin, tetapi melakukan drilling. Sebuah proses latihan agar siswa terampil mengerjakan soal. Bukan memahami materi dan konsep sehingga menguasai pelajaran dengan baik.
Kedua, tujuan yang menantang dan umpan balik yang efektif (challenging goals and effective feedback). Tujuan yang mudah dicapai, tidak merangsang kita untuk berusaha dengan sungguh-sungguh. Sebabnya, tanpa usaha kita bisa meraih tujuan tersebut dengan mudah. Sebaliknya, tujuan yang terlalu sulit dicapai, sementara kapasitas mental untuk berusaha meraih dengan gigih belum terbentuk dengan kuat, menjadikan seseorang merasa tidak mampu meraih. Akibatnya, ia tidak mengerahkan seluruh kemampuannya untuk berusaha.
Sebaliknya, tujuan yang menantang akan mendorong kita untuk berusaha dengan sungguh-sungguh. Kita berjuang mewujudkan tujuan yang telah ditetapkan. Semakin upaya kita mendekatkan pada tujuan, semakin kita bergairah. Semakin yakin bahwa upaya yang kita lakukan sudah tepat dan ada manfaatnya, maka akan semakin bersemangat kita melakukannya. Ini berarti perlu umpan balik yang tepat. Tanpa umpan balik yang efektif, semangat yang menyala-nyala itu bisa surut kembali. Meskipun ada sebagian orang yang tetap bersemangat tatkala usahanya tidak memperoleh umpan balik yang berarti, tetapi jenis orang seperti ini sangat sedikit.
Ketiga, keterlibatan orangtua dan komunitas. Ini bagian yang sangat penting. Keberhasilan program pendidikan di sekolah sangat dipengaruhi oleh bagaimana orangtua berinteraksi dengan anaknya. Keselarasan antara sekolah dan orangtua berperan besar dalam mempersiapkan anak meraih sukses. Itu sebabnya, sekolah perlu memiliki program yang secara khusus dirancang untuk membekali orangtua agar memiliki pengetahuan dan kecakapan teknis mengasuh anak serta keselarasan komunikasi dengan sekolah. Pengetahuan dan kecakapan teknis mengasuh bisa diberikan oleh sekolah melalui kegiatan-kegiatan seperti parenting skill class, in house workshop atau berbagai bentuk kegiatan lainnya. Sedangkan keselarasan komunikasi bisa dibangun melalui kegiatan family gathering, breakfast with headmaster, atau blog dan milis orangtua yang dikelola oleh sekolah bersama komite sekolah.
Kegiatan breakfast with headmaster (sarapan bersama kepala sekolah) misalnya, bisa menjadi forum dimana orangtua dapat menyampaikan masukan dan protes secara terbuka. Sebaliknya sekolah bisa menyampaikan harapan maupun kebijakan kepada orangtua secara akrab. Melalui forum semacam ini, ganjalan bisa ditiadakan, komplain bisa segera ditangani dan orangtua tidak perlu melontarkan kritik di depan anaknya. Yang terakhir ini, selain tidak produktif, juga menyebabkan kepercayaan (trust) siswa kepada guru bisa melemah. Padahal kepercayaan merupakan kunci sangat penting bagi keberhasilan pendidikan dan pembelajaran di kelas.
Keempat, lingkungan yang aman dan teratur. Lingkungan yang aman memberi ketenangan bagi staf, guru dan siswa. Sedangkan keteraturan memudahkan siswa beradaptasi dengan peraturan sekolah, peraturan kelas, harapan guru serta keragaman teman. Sedangkan bagi guru, keteraturan memudahkan proses memunculkan perilaku yang diharapkan (expected behavior) dari siswa. Keteraturan juga memudahkan guru membentuk pola belajar.
Kelima, kolegialitas dan profesionalisme (collegiality & proffesionalism). Hubungan yang bersifat kolegial antara guru dengan guru lain, guru dengan kepala sekolah, staf maupun manajemen berperan besar menciptakan komunitas yang bersahabat, akrab, saling menghormati dan saling mendukung. Pada gilirannya, ini sangat menunjang keberhasilan pembelajaran dan pendidikan di sekolah, terutama dalam menciptakan iklim sekolah (school climate) yang hangat dan saling mendukung.
Tentu saja hangatnya hubungan antar guru dan unsur lain di sekolah tidak boleh mengabaikan tugas pokok mereka masing-masing. Itu sebabnya, kolegialitas harus berjalan seiring dengan profesionalisme.
Nah.
***
Guru. Ini merupakan aspek yang paling menentukan. Studi yang dilakukan oleh Marzano menunjukkan bahwa prestasi siswa akan meningkat jika mereka ditangani guru yang efektif, meskipun sekolahnya di bawah rata-rata, bahkan sangat tidak efektif. Lebih-lebih jika guru maupun sekolah sama-sama efektif, pengaruhnya akan lebih dahsyat. Sebaliknya, meskipun sekolah terbilang bermutu, prestasi siswa akan merosot jika guru tidak efektif. Artinya, peran guru dalam menciptakan keberhasilan siswa betul-betul sangat menentukan.
Ada tiga faktor yang mempengaruhi keberhasilan siswa dari aspek guru.
Pertama, strategi instruksional. Ini berkait dengan kecakapan guru menyampaikan materi di depan kelas. Ada 9 aspek yang berpengaruh terhadap keberhasilan menyampaikan materi. Tetapi kita belum bisa mendiskusikannya saat ini.
Kedua, kecakapan mengelola kelas (classroom management). Ada empat aspek yang terkait dengan manajemen kelas, yakni penerapan dan penegakan aturan di kelas, strategi pendisiplinan siswa, menjaga dan memperkuat hubungan yang baik antara guru dengan siswa, serta merawat dan menguatkan sikap mental siswa.
Faktor kedua ini sebenarnya perlu pembahasan yang sangat panjang, tetapi kali ini rasanya cukup sampai di sini mengingat kesempatan yang sangat terbatas. InsyaAllah pada lain kesempatan bisa kita perbincangkan secara lebih serius, termasuk terkait dengan bagaimana mengelola anak-anak dengan perilaku bermasalah agar mereka bisa belajar dengan normal sebagaimana yang lain dan tidak mengganggu teman sekelasnya tatkala mengikuti kegiatan pembelajaran di kelas.
Ketiga, desain kurikulum kelas. Ini berkait dengan bagaimana guru merancang kegiatan di kelas secara terstruktur agar tujuan pembelajaran di kelas secara keseluruhan dapat tercapai.
***
Siswa. Ada tiga faktor yang berpengaruh, yakni lingkungan rumah, kecerdasan yang dipelajari atau pengetahuan yang melatarbelakangi serta motivasi. Saya berharap kita bisa berbincang tentang motivasi siswa secara lebih serius pada lain kesempatan.
Semoga bermanfaat.*
Agar Cinta Bersemi Indah
APA yang paling banyak menyebakan konflik dalam rumah-tangga? Bukan persoalan-persoalan prinsip. Juga bukan masalah-masalah besar. Sebab semua itu biasanya sudah “selesai” ketika seseorang memutuskan menikah. Di luar soal niat, penyebab konflik rumah-tangga yang bahkan berakhir dengan perceraian, paling banyak justru komunikasi. Cara kita menyampaikan maksud, pikiran dan perasaan itulah yang kerap menjadi sebab bertikainya suami-isteri yang saling mencintai. Sekali lagi, komunikasi. Bukan perbedaan suku. Alhamdulillah, saya sendiri nikah beda suku. Saya orang Jawa dan istri saya orang Bugis yang besar di Kendari, Sulawesi Tenggara.
Beda jenjang pendidikan? Tak masalah.
Banyak pernikahan yang suami-isteri memiliki perbedaan jenjang pendidikan amat jauh, tetapi tetap bahagia tanpa masalah. Tentu saja tak ada pernikahan yang tak pernah diwarnai perselisihan, meskipun amat kecil. Tetapi persoalannya bukan apakah kita akan menghadapi riak-riak kecil, melainkan bagaimana menghadapinya agar tetap berada dalam kebaikan dan kebenaran. Bukan sekedar bahagia yang kita ingin. Ada barakah yang patut kita harapkan dan pinta kepada Allah ‘Azza wa Jalla seraya bersungguh-sungguh menempuh jalan menuju pernikahan penuh barakah. Kita menempuh jalan itu ketika mau memasuki pernikahan, saat mengawali hingga masa-masa berikutnya. Semoga kelak Allah Ta’ala masukkan kita ke dalam golongan yang diseru oleh para malaikat:
ادخلوا الجنة أنتم وأزواجكم تحبرون
“Masuklah kamu ke dalam surga, kamu dan istri-istri kamu digembirakan." (QS. Az-Zukhruf, 43: 70).
Secara ringkas, suami-isteri sepatutnya menghidupkan perkataan yang baik (qaulan ma’rufan) di antara mereka. Awal pernikahan merupakan masa yang sangat penting –sekaligus sensitif—bagi proses pembentukan pola komunikasi keluarga. Inilah masa-masa yang sangat menentukan. Jika suami-isteri memiliki pola komunikasi (communication pattern) yang baik, maka modal awal untuk menyelesaikan masalah jika sewaktu-waktu muncul, telah mereka miliki. Pola komunikasi yang baik ini penting untuk menghindari timbulnya gaya komunikasi memaksa (coercive communication), terlebih jika berkembang menjadi kebiasaan. Komunikasi memaksa cenderung mengakibatkan terjadinya kegagalan komunikasi (communication breakdown) dan merupakan penyebab umum perceraian. Na’udzubillahi min dzaalik.
Banyak hal-hal kecil yang besar sekali manfaatnya, besar pula pengaruhnya bagi kebahagiaan perkawinan. Mari kita ingat sejenak bagaimana Rasulullah saw. memberi contoh dalam perkara menjuluki istri. Rasulullah saw. memanggil ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dengan sebutan humaira’ (yang pipinya merah jambu) atau muwaffaqah (wanita yang diberi petunjuk) atau ‘Aisy atau pun ‘Aisyah. Inilah sebutan yang mesra saat memanggil. Tampaknya sepele, tetapi berawal dari sebutan yang mesra, tutur kata selanjutnya akan terasa lebih berharga. Sebaliknya, kita jumpai bagaimana Rasulullah saw. menegur seorang lelaki yang memanggil isterinya dengan sebutan ukhty (saudariku).
Rasulullah saw. pernah mendengar seseorang mengatakan kepada isterinya, “Ya Ukhtiy.” Rasulullah saw. lalu berkata, “Ukhtuka hiya? Saudaramukah dia?” (HR. Abu Dawud).
Ya, tampaknya sepele, tetapi besar maknanya.
Banyak hal lagi yang bisa kita reguk dari teladan serta petunjuk Rasulullah saw. dalam membangun rumah-tangga kita. Tetapi betapa sedikitnya kesempatan dan betapa sempitnya ruang untuk bertutur, selain keterbatasan ilmu dari saudaramu ini. Semoga yang sedikit ini bermanfaat untuk menegakkan qaulan ma’rufan di rumah kita. Selebihnya kita perlu berusaha dengan sungguh-sungguh agar dapat mempergauli isteri dengan makruf. Ingatlah firman Allah ‘Azza wa Jalla:
يا أيها الذين آمنوا لا يحل لكم أن ترثوا النساء كرها ولا تعضلوهن لتذهبوا ببعض ما آتيتموهن إلا أن يأتين بفاحشة مبينة وعاشروهن بالمعروف فإن كرهتموهن فعسى أن تكرهوا شيئا ويجعل الله فيه خيرا كثيرا
“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. An-Nisaa’, 4: 19).
Satu hal yang perlu kita ingat tatkala ingin menegakkan mu’asyarah bil ma’ruf (mempergauli secara makruf) bahwa kita menikah dengan orang yang pasti memiliki banyak perbedaan dengan kita. Jenis kelamin sudah jelas beda, orangtua juga pasti berbeda (sebab tidak halal menikahi saudara sekandung), masa kecil berbeda serta sejumlah perbedaan lain. Maka salah satu yang perlu kita tumbuhkan dalam diri kita adalah kesediaan untuk menenggang perbedaan dan tidak meributkannya sejauh bukan masalah yang prinsip. Inilah jalan untuk memetik kemesraan.
Tetapi ini tidak cukup. Sama sekali tidak cukup. Perhatikan olehmu bagaimana cara memperoleh rezeki. Segala usaha yang gigih untuk menumbuhkan kemesraan agar cinta bersemi indah, akan sia-sia jika rezeki kita tidak barakah. Wallahu a’lam bishawab.
Besarkan Persamaan, Tutupi Perbedaan!
SETIAP rumah tangga tentu mendambakan kelanggengan cinta kasih antara suami dan istri. Setiap pernikahan tentu tidak pernah menginginkan pertengkaran, perpisahan apalagi perceraian. Namun seiring dengan bergulirnya waktu, dimana antara suami dan istri mulai saling mengenal secara mendalam perbedaan dan kelemahan masing-masing, tidak sedikit yang ‘gagal’ dalam membaca perbedaan di antara keduanya.
Akibatnya pertengkaran perlahan mulai sering terjadi. Tiada hari yang dilalui kecuali selalu dibumbui dengan percekcokkan, saling lempar tanggung jawab, bahkan sampai pada tahap saling menyalahkan.
Tentu tidak satu pun rumah tangga yang tidak pernah ada di dalamnya pertengkaran, kesalahpahaman, atau pun beda pendapat. Tetapi alangkah indahnya jika kita mampu membaca perbedaan tersebut dalam bingkai kebijaksanaan, sehingga tidak perlu ada pertengkaran yang sebenarnya bisa dihindari.
Ada banyak ragam perbedaan dalam rumah tangga. Mulai dari suami yang super protektif terhadap istri dan anak sampai pada suami yang sangat toleran atau mungkin sangat terkesan kurang peduli dengan hal-hal kecil, dan sederhana. Demikian pula dari sisi istri, mulai dari istri yang sangat tabah, rajin bekerja dan rajin ibadah, hingga istri yang suka belanja, berdandan bahkan mungkin jalan-jalan.
Satu hal yang tidak bisa kita pungkiri ialah perbedaan. Soal ini Allah telah mengatakan langsung dalam al-Qur’an ;
“Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.” (QS. 36: 36).
Demikian pula halnya dalam kehidupan manusia. Laki-laki berpasangan dengan wanita. Keduanya adalah manusia yang berjenis kelamin tidak sama, punya karakter yang berbeda, dan tentu juga punya cara berpikir yang tidak bisa disamakan. Hal ini adalah bukti kekuasaan Allah SWT.
Allah berfirman, “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. 30: 21).
Ketika keduanya menyatu dalam ikatan pernikahan maka perbedaan itu adalah ‘jalan pintas’ yang Allah anugerahkan kepada setiap pasangan untuk bisa mengasah iman dengan lebih intens, melatih jiwa dengan lebih nyata, dan yang tidak kalah pentingnya ialah meraih derajat taqwa melalui bahtera rumah tangganya.
Bagaimana sabar bisa diaplikasikan jika masalah tidak muncul. Bagaimana qana’ah bisa diterapkan jika semua berjalan lurus-lurus saja. Atau bahkan mungkin bagaimana kesetiaan bisa diukur jika tidak ada ujian. Prinsipnya perbedaan adalah ‘jalan pintas’ mengasah diri lebih baik lagi. Bahkan bagi istri yang sabar atas ujian yang dialaminya dalam berumah tangga, baginya adalah surga.
Rasulullah saw bersabda, "Maukah aku khabarkan kepada kalian tentang isteri kalian yang berada di surga? Kami berkata,”Ya, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, "Dia adalah wanita yang sangat mencintai lagi pandai punya anak, bila sedang marah atau sedang kecewa atau suaminya sedang marah maka ia berkata: Inilah tanganku aku letakkan di tanganmu dan aku tidak akan memejamkan mata sebelum engkau ridha kepadaku." (HR. Thabrani).
Ingatkan Tujuan Nikah
Sejatinya kalau ditelusuri secara teliti, sumber masalah muncul bukan karena hal-hal prinsip, seperti kepercayaan, kesetiaan, dan kecintaan. Tetapi lebih pada hal-hal teknis. Seorang istri merasa hidupnya kurang bahagia hanya gara-gara suami yang dulunya diyakini baik (karena selalu menuruti keinginannya), belakangan dianggap tidak baik justru karena dalam anggapannya suaminya super protektif terhadap keluarga.
Diharuskan pakai jilbab meski dalam acara keluarga. Di larang mendengarkan nasyid di mobil pribadi saat mengemudi, diingatkan juga oleh suami agar tidak bepergian seorang diri, ini dan itu. Intinya suami banyak mengeluarkan aturan-aturan. Bahkan setiap hari di telpon hanya untuk mengingatkan perihal sudah sholat atau belum.
Jika kita gunakan perspektif iman dalam melihat masalah di atas, maka apa yang dilakukan suami itu secara prinsip tidaklah bermasalah. Namun sangat mengganggu manakala pihak istri belum terbiasa memahami maksud baik di balik sikap sang suami yang katanya super protektif itu. Boleh jadi suami ingin diri dan keluarganya terbebas dari hal-hal yang kurang bermanfaat dan kurang menunjukkan identitas keimanan.
Namun demikian dibalik sebuah cita-cita besar, seorang suami memang sangat bijaksana tidak gampang mengeluarkan ‘fatwa’, sehingga istri dan keluarga merasa dalam penjara yang serba ketat peraturannya. Sampaikan dengan bijaksana dan lemah lembut bahwa anda punya keinginan begini dan begitu. Lalu berikan argumentasi bahwa apa yang anda inginkan itu sesuai dengan ajaran Islam. Dan, jangan lupa berdoa agar istri dan keluarga anda memahami maksud baik anda.
Pada tingkatan tertentu, ketika perbedaan sudah mendominasi kehidupan rumah tangga. Sampai-sampai hampir semua hal terlihat buruk (meskipun sebenarnya tidak) maka kembalilah berdisukusi dengan pasangan, perihal untuk apa pernikahan dilakukan. Jika memang benar ingin mendapat ridho Allah, kenapa tidak memilih jalan damai, dengan sama-sama berupaya memperbaiki diri, saling memahami dan bahu-membahu mengisi sisa hidup untuk taat kepada Allah SWT.
Sekiranya setiap keluarga mengerti untuk apa mereka menikah tentu tidak ada pertengkaran apalagi perceraian. Karena semua didasari pada prioritas mendapat ridho Allah dan ingin benar-benar menyempurnakan agama.
Jadi tidak semestinya Muslim dan Muslimah yang telah mengikat pernikahan lebih suka membesar-besarkan perbedaan kemudian memilih jalan percekcokan hingga akhirnya perceraian. Yakinlah bahwa Allah tidak salah memilihkan kita pasangan. Tapi perbanyaklah intropeksi diri, jangan sampai tidak mensyukuri pasangan yang telah Allah anugerahkan kepada kita.*/Imam Nawawi

Tidak ada komentar:
Posting Komentar