Dicari, Lelaki Sekaligus Suami yang Sholeh!
SEBAGIAN besar wanita yang belum berumah-tangga merasa wajib menjadi baik, antara lain disebabkan keinginan mendapatkan suami yang baik dan sholeh pula, berdasarkan inti ayat yang terkandung di dalam surah An-Nur, ayat 26.
الْخَبِيثَاتُ لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ
“Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki- laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula).”
Memang ini bukan motivasi utama bagi sebagaian orang namun sedikit banyak mempengaruhi hati wanita yang baik. Dari sisi lain, menjadi baik dan sholehah adalah kewajipan dan keutamaan yang tersendiri.
Namun bagaimana dengan kaum lelaki? Ditinjau dari sudut bacaan dan tulisan, kebanyakannya menumpukan kepada amal-amal sholeh yang harus dilaksanakan dan lebih memfokuskan serta mengarahkan kepada prestasi yang harus diraih dari sudut duniawi, maupun ukhrawi. Maka lahirlah lelaki-lelaki tangguh yang sholeh tetapi sebahagian kering rasa, tidak atau kurang mahir menunjukkan rasa sayang. Slogan mereka adalah “Sayang, kami bermaksud menyelamatkanmu dari neraka.” Sedangkan di saat yang sama, mereka sendiri tidak faham bagaimana sayang didefinisikan oleh wanita. Mereka juga tidak faham bagaimana usaha menyelamatkan itu seharusnya difahami dan diterima dengan rela dan cinta.
Saya tidak berbicara tentang hubungan lelaki dan wanita di luar konteks rumah-tangga, sebab hubungan di luar ikatan yang halal, berisiko besar untuk diperdaya kehendak nafsu dan tipuan syaithan yang sangat besar.
Yang ingin saya sentuh adalah, apakah ciri-ciri ideal yang seharusnya ada pada seorang suami, sehingga dia berhak mendapatkan gelar “suami sholeh”.
Baik juga sekiranya para pemuda yang merasa sudah layak untuk menyunting seorang wanita, turut ikut mengkaji dan mempelajari, sehingga seimbanglah baiknya mereka dengan baiknya wanita pilihan.
Selain beriman dan bertaqwa yang sudah tentu menjadi kriteria utama pria-pria sholeh, ada beberapa hal lain yang harus diperhatikan, dengan berkaca kepada akhlaq Rasulullah shallallahu alaihi wassalam terhadap isteri-isterinya.
Pertama, PERHATIAN
Yang saya maksud adalah perhatian’ (concern) atau prihatin (dalam bahasa Malaysia).
Suami yang perhatian adalah suami yang peka, cepat sedar akan keperluan isteri, dari berbagai sudut. Apakah dari segi material atau dari segi mental. Dia faham suasana (mood) isteri dari air mukanya, cara berbicara, tatapan mata dan mungkin juga dari keadaan rumah pada menit pertama dia melangkahkan kaki saat pulang dari kerja. Mungkin dia tak tahu apa sebenarnya yang berlaku atau apa sebenarnya yang kurang, tetapi sikap perhatian akan membuat isterinya merasa dihargai dan diakui wujud dalam hidup si suami.
Mungkin dia tidak dapat memenuhi apa yang diperlukan tapi sekurang-kurangnya telah meringankan beban emosi isteri. Suami yang peka akan cepat menghidu aroma duka atau gembira dan akan mengenepikan rasa penatnya, semata-mata untuk menyelami hidup seorang isteri.
Di antara indikasi perhatian adalah; bertanya kabar, tidak harus mendesak sebuah jawaban, tidak mengarah agar segera dibawakan minuman, pandai membawa diri (semua keperluan dibereskan sendiri, red) dan suka mengajak isteri berbicara. Walau hanya sebentar, kepekaan ini sangat membekas di hati para isteri.
Kedua, PENYABAR
Wanita sebagaimana kaum pria, dilahirkan dengan beragam watak, bergantung kepada budaya, ilmu dan latar belakang kehidupan. Selayaknya manusia biasa, ada yang baik luar dan dalam, tak kurang pula yang masih di dalam proses pemulihan (recovery) dari sederhana atau malah dari buruk dan jahil, ada yang baik di luar dan agak buruk di dalam, tak dinafikan ada yang memang buruk luar-dalamnya dan bermacam-macam lagi.
Di sinilah kesabaran seorang suami akan teruji. Sabar terhadap sikap buruk yang diperlihatkan dan sabar atas kesabaran tanpa batas yang dimiliki isteri. Contoh nyata telah diperlihatkan dengan sangat bijaksana oleh khalifah yang kedua, Umar al-Khattab radhiyallahu anhu.
Diriwayatkan ada seorang lelaki dating kepada Umar bin Khatab dengan maksud mengadukan kejelekan kelakuan isterinya. Lelaki itu berdiri di depan rumah Umar menunggu beliau keluar. Kebetulan ia mendengar isteri Umar sedang menjelek-njelekkan dengan ucapan mulutnya kepada Umar sedangkan Umar diam saja. Maka kembalilah lelaki itu seraya berkata : “Kalau keadaan Amirul Mukminin seperti itu, apalagi saya.” Tak lama kemudian Umar keluar melihat lelaki itu mundur kembali, lalu ditegurlah lelaki itu: “Ada keperluan apa?” Jawab Lelaki: “Wahai Amirul Mukminin, saya datang untuk mengadukan kejelekan kelakuan isteri saya yang menyakitkan hati saya,” sahut Umar: “Wahai saudaraku, Aku ini butuh ucapan jelek isteriku karena hak-hak isteriku yang mesti aku cukupi. Isteriku memasak makanan, membuatkan roti untukku, mencuci pakaianku, dan menyusui anakku. Itu semua bukan menjadi kewajibanku. Hatiku tentram karena dari perkara yang haram, maka saya diam sebagai jaminannya.”
Itulah sikap bijak Umar ibnu Khatab. Beliau sangat memahami hak-hak seorang isteri, dan karenanya ia memilih bersabar. Sikap Umar bukan sebagai bentuk ia lemah, ia bensyukuri mendapatkan seorang isteri yang demikian. Umar tahu, kemarahan istrinya hanya sementara, mungkin karena psikologis istrinya yang kecapaian akibat kerja-kerasnya mengurus suami dan anak-anak.
Saya sudah membaca kisah ini sejak remaja dan saya tidak tahu kesahihan cerita ini. Hanya saja. memang membuat saya terpesona dengan kesabaran dan keupayaan mendengar seorang suami merangkap Amirul Mukminin. Dan saya yakin semua wanita juga mengkagumi kisah ini. Maksud saya, mengkagumi kesabaran yang ditonjolkan.
Rasul junjungan shallallahu alaihi wassalam juga sangat sabar melayan kerenah isteri, terutama Aisyah radhiyallahu anha. Kenapa beliau yang saya berikan tumpuan di sini? Tak lain dan tak bukan kerana usia remaja yang mencabar ditempuhnya bersama Rasulullah dan sikap pembawaannya yang tak jauh dari sikap wanita masa kini alias sikap yang normal dan manusiawi.
Tercatat di dalam sirah sikap Aisyah yang kalau dilihat sepintas lalu akan dianggap tidak sopan.
Aisyah tidak menerima begitu saja setiap apa yang dikatakan Nabi terhadapnya. Dalam bahasa sekarang, orang-orang menamakan sikap itu sebagai “melawan”. Contohnya, ketika dia cemburu dan Nabi menyelar cemburunya dengan mengatakan, “Rupanya syaithan telah datang kepadamu.” Aisyah justru balik bertanya, “Apakah ada syaithan besertaku?”. Jawab Rasulullah, “Tak seorangpun melainkan bersamanya ada syaithan.” Aisyah bertanya lagi, “Besertamu juga?” Dan Rasulullah berkata, “Ya, hanya saja Allah menolongku untuk mengalahkannya sehingga aku selamat.” [Hadith riwayat Muslim dan Nasa’i].
Aisyah sangat cemburu dan kadang sangat emosi. Ingat ketika Rasulullah mendapat kiriman lauk dari Shafiyyah yang pandai memasak, apa yang telah Aisyah lakukan? Dia pecahkan bejana Shafiyyah kemudian menyesali perbuatannya.
Saat dia bertanya kepada Rasulullah apa yang harus dia lakukan untuk menebus kesalahannya, Rasulullah menjawab, “Bejana harus diganti dengan bejana yang sama, makanan harus diganti dengan makanan yang sama.” [Hadith riwayat Abu Daud dan An-Nasa’i].
Aisyah juga memiliki kemampuan memberikan komentar-kemontar yang tajam. Dia memberikan komentar terhadap Shafiyyah sebagai ‘wanita Yahudi di tengah para wanita yang menjadi tawanan’. Namun harus diingat, ucapan Aisyah itu datang dari sifat mudanya disertai rasa cinta dan cemburu yang sangat besar dan tidak melampaui batas.
Ah, seolah-olah saya hanya mencatat ‘keburukan’ Aisyah, padahal kebaikan, kebajikan beliau, tak tertandingi lantaran dia memperoleh didikan langsung dari Rasulullah yang juga suaminya. Maksud saya adalah, lihatlah wahai lelaki, wahai para suami, teladan sabar yang ditunjukkan junjunganmu. Dengan sabar itulah, sikap dewasa dan kritis Aisyah tumbuh sehingga menjadi salah seorang mufti setelah wafatnya Rasulullah. Dia tidak dikungkung dengan “kuasa veto” sang suami.
Dalam kata lain, kebaikan seorang suami akan teruji apabila dia berhadapan dengan situasi yang menuntut kesabarannya. Bukan situasi yang menjurus kepada hal-hal negatif, tetapi situasi yang bak kata pepatah “Sedangkan lidah lagi tergigit.” Kalaupun manusia menyakiti orang terdekat, pasti itu bukanlah hal yang disengaja. Ini pulalah yang terjadi pada suami isteri.*
KETIGA ;RINGAN TANGAN
BERKACA kepada akhlaq Rasulullah shallallahu alaihi wassalam terhadap isteri-isterinya.Di antara yang telah dimuat kemarin, selain beriman dan bertaqwa, ciri suami yang sholeh adalah PERHATIAN dan PENYABAR. Selain itu masih ada ciri yang lain, yakni RINGAN TANGAN.
Ringan tangan, maksudnya suka membantu. Suami yang ringan tangan, ia kerap membantu istrinya. Inilah salah satu pria idaman para isteri. Maknanya adalah, suami yang tidak segan membantu urusan-urusan rumah-tangga dan tidak takut dicela sebagai suami yang takutkan isteri. Bukankah Rasulullah juga menghulurkan tangan bagi meringankan beban isterinya?
At-Tabari meriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu anha, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wassalam membantu kerja-kerja rumah, membantu isterinya seperti memotong daging, menyapu rumah malah membantu pembantunya melakukan tugas. Dalam riwayat lain dinyatakan bahwa baginda menjahit pakaiannya dan menampal kasutnya.
Al-Aswad bin Yazid pula berkata, aku bertanya kepada Aisyah tentang apakah yang dilakukan oleh Nabi shallallahu alaihi wassalam di rumahnya? Aisyah menjawab, “Beliau membuat tugas keluarganya, yaitu membantu kerja keluarganya. Apabila masuk waktu shalat, beliau pun keluar untuk shalat.” [Hadith riwayat Bukhari]
Banyak para suami kurang menyadari, bahwa bahwa pekerjaan istri di rumah itu tidak ada habisnya dan selalu diburu deadline. Ditambah lagi bila sudah memiliki cahaya mata atau cahaya hati, yang berarti ada penambahan tanggungjawab. Jadi, selain pekerjaan rumah, isteri juga mengharap agar dibantu dalam pengurusan anak. Memandikan, mengasuh, menghibur, mendidik adalah antara tugas-tugas yang dapat dilakukan untuk meringankan beban isteri.
Pepatah melayu menyatakan, “Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing.” Begitulah seyogyanya pasangan suami-isteri. Tidak ada pembagian kerja berdasarkan gender di dalam rumah. Hikmahnya, kerja menjadi ringan dan segera dapat diselesaikan yang bermakna akan lebih banyak waktu untuk diluangkan bersama. Hikmah yang lebih besar, cinta isteri semakin subur karena bagi seorang isteri, kesanggupan suami membantu adalah salah satu manifestasi cinta. Secara tersirat ia menggambarkan betapa suami memahami isterinya, beban dan tanggungjawabnya.
Kempat, TIDAK EMOSI
Antara tanda sikap bijaksana dalah tidak mudah terpancing emosi, marah utamanya. Ada banyak hal yang dilakukan atau secara tidak sengaja dilakukan oleh isteri yang berpotensi membangkitkan kemarahan suami, membuat suami bersedih atau paling tidak, menyinggung hati suami. Sikap isteri yang berubah-ubah seperti lalai, lupa, malas, marah, mengada-ngada, melankolis berhari-hari, adalah hal-hal biasa, namun adakalanya terlihat luarbiasa dan membuat seorang suami merasa tak sabar.
Mencari tahu dan mencari sebab kenapa hal-hal tersebut terjadi adalah cara menahan diri yang baik. Wanita dilahirkan sebagai manusia, dengan perasaan, saraf dan hormon, sama seperti lelaki. Mereka tidak terlahir dengan manual program atau remote control. Sering pula mereka tidak sedar telah menyakiti hati suami. Dan sering pula kesalahan yang dikatakan dilakukannya sebenarnya tidak pernah dia lakukan.
Mari kita ambil pelajaran dari kisah fitnah yang menimpa Aisyah radhiyallahu anha dan Shafwan bin al-Mu’attal radhiyallahu anhu sepulangnya mereka dari ekspedisi penaklukan Bani Mushtaliq. Bagaimana Rasulullah shallallahu alaihi wassalam bersikap dan bereaksi terhadap berita fitnah yang sampai padanya. Meski teriris hatinya, baginda tetap tenang dan memilih mengadu kepada Rabb-nya, meminta pendapat dan nasihat dari sahabat-sahabat yang terpercaya.
Musibah fitnah ini terjadi tatkala suatu ketika dalam suatu perjalanan kembali dari ekspedisi penaklukan Bani Musthaliq, ‘Aisyah terpisah tanpa sengaja dari rombongan karena mencari kalungnya yang hilang dan kemudian diantarkan pulang oleh Shafwan yang juga tertinggal dari rombongan karena ada suatu keperluan.
Kemudian ‘Aisyah naik ke untanya dan dikawal oleh Shafwan menyusul rombongan Rasullullah SAW dan para shahabat, akan tetapi rombongan tidak tersusul dan akhirnya mereka sampai di Madinah.
Peristiwa fitnah terjadi tatkala ada hasutan dari golongan Yahudi dan munafik bahwa telah ‘terjadi apa-apa’ antara ‘Aisyah dan sahabat Shafwan.
Masalah semakin pelik karena sempat terjadi perpecahan di antara kaum Muslimin yang pro dan kontra atas isu tersebut. Sikap Nabi juga berubah terhadap ‘Aisyah, beliau menyuruh ‘Aisyah untuk segera bertaubat. Sementara ‘Aisyah tidak mau bertaubat karena merasa tidak pernah melakukan dosa yang dituduhkan kepadanya, ia hanya menangis dan berdoa kepada Allah agar menunjukkan yang sebenarnya terjadi. Kemudian Allah menurunkan ayat yang menunjukkan kepada kaum Muslimin bahwa Rasulullah adalah orang yang paling baik maka pastilah wanita yang baik pula yang menjadi istri beliau, yaitu ‘Aisyah r.a.
Dari sinilah Allah kemudian menurunkan Surat An-Nuur: 26.
Fitnah yang menimpa Aisyah boleh kita kategorikan sebagai mimpi ngeri dan kasys berat bagi seorang isteri. Rrumah yang tak sempat ditata rapi, makan malam yang lambat dimasak, anak yang rewel, pakaian yang tak terbasuh dan seribu kecacatan lain hanyalah kasus kecil yang dapat dibicarakan dengan baik dan ditegur dengan sopan. Namun saya percaya, setiap isteri yang merupakan wanita sholehah tidak akan membiarkan hal-hal demikian terjadi di dalam rumahtangga mereka. Kalau pun ada, pastilah ia disebabkan hal-hal yang tidak disengajakan dan tak dapat pula dielakkan.
Bukankah Aisyah juga pernah tertidur waktu menjemur gandum sehingga gandumnya dimakan burung? Dan pernah menyedekahkan semua uang yang dia miliki kepada fakir miskin dan tidak menyisakan sedikitpun untuk sekadar membeli makanan ringan?
Saya belum pernah membaca atau terbaca Rasulullah shallallahu alaihi wassalam memarahinya atas sebab-sebab itu.
Mengenali isteri dan memahami perwatakannya akan menbantu dalam menentukan sikap, kerana untuk tidak mudah emosi, sebenarnya sangat berkait erat dengan husnudzhon dan kesabaran dalam mendapatkan kebenaran.
Kelima, SOPAN dan BERADAB
Bersopan santun terhadap orang lain itu sangat mudah, terutama apabila orang tersebut darjatnya lebih tinggi; lebih alim, lebih amal, lebih dermawan, lebih berpengalaman....dan mungkin lebih kaya, lebih tinggi jawatannya , lebih besar pengaruh dan kemungkinan-kemungkinan yang lain. Tetapi, berhadapan dengan seorang isteri, lain lagi ceritanya.
Dengan predikat sebagai Ketua Rumahtangga, seorang suami diharap dapat berlaku sopan terhadap isteri yang merupakan timbalannya, orang yang melakukan hampir segalanya untuknya, hidupnya dan anak-anaknya. Bukan hanya isteri yang berpendidikan tinggi dan berjawatan tinggi yang mendapatkan hak diperlakukan dengan sopan, malah semua isteri, tanpa mengira tahap pendidikan, latar belakang soaial, asal usul keluarga dan sejarah silamnya.
Sopan meliputi penggunaan bahasa, cara bergaul dan cara hidup. Ucapan ‘tolong’, ‘terima kasih’ selalu digunakan walaupun untuk hal-hal kecil. Makan dengan beradab walau hanya di depan isteri, memakai pakaian yang menyenangkan mata yang memandang (ini juga bermakna tidak makan dalam keadaan tidak berbaju), menegur dan marah dengan suara yang rendah, meminta izin bila berurusan dengan barang-barang kepunyaan isteri dan banyak lagi hal-hal lain yang kalau kita ringkaskan, sebenarnya inilah apa yang apa yang kita namakan ‘sunnah Rasul’. Jadi maksud ‘sunnah Rasul” tidaklah hanya masalah poligami saja.*
Kelima, SOPAN dan BERADAB
Bersopan santun terhadap orang lain itu sangat mudah, terutama apabila orang tersebut darjatnya lebih tinggi; lebih alim, lebih amal, lebih dermawan, lebih berpengalaman....dan mungkin lebih kaya, lebih tinggi jawatannya , lebih besar pengaruh dan kemungkinan-kemungkinan yang lain. Tetapi, berhadapan dengan seorang isteri, lain lagi ceritanya.
Dengan predikat sebagai ketua rumah tangga, seorang suami diharap dapat berlaku sopan terhadap isteri yang merupakan pendampingnya, orang yang melakukan hampir segalanya untuknya, hidupnya dan anak-anaknya. Bukan hanya isteri yang berpendidikan tinggi dan berjabatan tinggi yang mendapatkan hak diperlakukan dengan sopan, malah semua isteri, tanpa melihat tahap pendidikan, latar belakang sosial, asal usul keluarga dan sejarah silamnya.
Sopan meliputi penggunaan bahasa, cara bergaul dan cara hidup. Ucapan ‘tolong’, ‘terima kasih’ selalu digunakan walaupun untuk hal-hal kecil. Makan dengan beradab walau hanya di depan isteri, memakai pakaian yang menyenangkan mata memandang (ini juga bermakna tidak makan dalam keadaan tidak berbaju), menegur dan marah dengan suara yang rendah, meminta izin bila berurusan dengan barang-barang kepunyaan isteri dan banyak lagi hal-hal lain yang kalau kita ringkaskan, sebenarnya adalah apa yang apa yang kita namakan ‘sunnah Rasul’.
Manakala maksud sunnah Rasul tidak terhad kepada poligami saja.
Keenam, FLESIBEL
Untuk manusia, ia bererti mudah dan cepat menyesuaikan diri. Tidak kaku. Berkeperibadian fleksibel bermaksud berupaya menempatkan diri sesuai dengan keperluan, waktu dan tempat, tanpa kehilangan jati dirinya. Di dalam kehidupan berumahtangga, ciri fleksibel ini memainkan peranan yang tidak kurang penting untuk mencapai harmoni. Saya tidak memaksudkan fleksibel dalam setiap perkara. Sudah tentulah untuk hal-hal menyangkut prinsip, seseorang harus bersikap tegas dan mempertahankan prinsipnya, terutama yang menyangkut urusan dien (agama).
Keupayaan bersikap fleksibel juga membawa maksud keupayaan belajar menerima orang lain seadanya, tanpa mengarah atau memaksa orang lain itu menjadi dirinya. Seorang suami menerima isterinya sebagai individu lain yang bergelar isteri, tidak mengharapkannya menjadi seperti suami.
Fleksibel di sini bermaksud dalam urusan muamalah bersama isteri dan anggota keluarga yang lain. Termasuk di sini bagaimana dia menggunakan budi bicara dalam hal yang berkaitan dengan peraturan keluarga. Sebagai contoh, dia boleh melayan anaknya sesuai dengan situasi dan kondisi, bersikap keanak-anakan ketika bermain dan tegas ketika menangani kenakalan. Dia boleh bergaul dengan isterinya dengan mesra manja dan dewasa ketika berhadapan dengan masalah sikap isteri. Dia mampu bersikap sebagai pemimpin ulung yang merakyat.
Rasulullah shallallahu alaihi wassalam telah memberikan contoh fleksibel yang baik. Baginda menerima isteri-isterinya dengan menerima bagaimana sikap dan perangai yang dibawa mereka. Antara contoh lain, baginda mendukung cucunya ketika shalat , melayan Aisyah berlomba lari, menemani Aisyah melihat orang-orang habsyi meraikan perayaan sehingga isterinya itu puas dan contoh-contoh lain. Itu, di dalam keluarga, di luar rumah, lebih baik lagi sikap fleksibel baginda Nabi.
Maknanya, sikap Rasulullah shallallahu alaihi wassalam, baik di dalam atau di luar rumah, tidak jauh berbeda. Rendah hati, tinggi budi pekerti, sopan, manis dan tegas, membuahkan aura wibawa yang tak tertandingi oleh mana-mana manusia. Buktinya, sampai saat ini, setelah seribu tahun lebih kewafatannya, baginda tetap menjadi sumber inspirasi dan dicintai setulus hati oleh orang-orang yang ikhlas, dan hal ini akan berlangsung sampai ke penghujung zaman.
Ketujuh, ROMANTIS
Satu ciri lain yang menjadi idaman setiap wanita, termasuk wanita sholehah adalah romantis. Bila menyebut perkataan romantis, harus diingat, ia tidak tertakluk pada aktivitas di dalam bilik kelambu saja. Juga tak hanya berarti memberi perhatian sesaat, misalnya memberi hadiah pada saat tertentu, candle light dinner dan hal-hal lain yang sering kita lihat di film Hollywood dan Bollywood. Tapi lebih dari itu. Hal ini melibatkan rasa ikhlas yang tulus dan cinta yang suci. Ia tak dibuat-buat walau boleh dicontohi, sebab romantis datang dari hati. Tak perlu menoleh budaya lain, di dalam sirah, telah banyak contoh dan teladan tentang apa dan bagaimana romantis seharusnya wujud di dalam hubungan sepasang suami isteri.
Rasulullah shallallahu alaihi wassalam telah mengajarkan melalui akhlaqnya terhadap isteri-isterinya, bahwa romantis termasuk:
1. Panggilan khas. Baginda memanggil Aisyah dengan panggilan Humaira’.
2. Berjalan bersama isteri dan mengenalkan kepada sahabat yang belum mengenali (bukan meninggalkan isteri berjalan jauh di belakang sendirian).
3. Mengalihkan kaki isteri yang kebetulan menghalang tempat sujudnya di shalat malamnya (tanpa membangunkan isteri yang uzur syar’i ).
4. Mengenal kemarahan isteri.
5. Menenangkan isteri yang marah dengan cara yang manis. Baginda menuntunnya membaca doa untuk menghilangkan rasa marah.
6. Merelakan bahunya menjadi tempat sandaran isteri dalam waktu yang lama (ini dilakukan saat mereka menyaksikan perayaan orang-orang habsyi di masjid).
7. Minum di bekas yang sama dengan isteri.
8. Berbaring dengan kepalanya di pangkuan isteri sambil mengalunkan kalamullah.
9. Memberi hadiah kepada isteri, tanpa tergantung hari-hari tertentu.
10. Menciumi isteri walau dalam keadaan berwudhu dan pernah juga dalam keadaan berpuasa.
Masih banyak lagi contoh-contoh yang termaktub di dalam kitab-kitab hadith.
8. Dermawan
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman di dalam surah Al-Munafiqun ayat ke 10 yang maksudnya;
وَأَنفِقُوا مِن مَّا رَزَقْنَاكُم مِّن قَبْلِ أَن يَأْتِيَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ فَيَقُولَ رَبِّ لَوْلَا أَخَّرْتَنِي إِلَى أَجَلٍ قَرِيبٍ فَأَصَّدَّقَ وَأَكُن مِّنَ الصَّالِحِي
“Dan belanjakanlah (infaqkanlah) sebahagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu, lalu ia berkata, ‘ Ya Tuhanku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang sholeh?’”.
Jadi apakah maksud dermawan? Dermawan ialah sikap murah hati dan rela berbagi, berbagi apa-apa yang dimiliki dengan orang lain, dengan tanpa disuruh apalagi dipaksa. Pemberian dalam berbagai bentuk dan nama; sedekah, infaq, hadiah dan hibah.
Kalaulah terhadap orang lain saja digalakkan agar bersikap dermawan, apatah lagi terhadap keluarga terutama isteri juga pada keluarga isteri. Dermawan tidak harus menunggu banyaknya harta. Dermawan hanya wujud bila orang tersebut kaya hatinya. Orang yang kaya hatinya tidak pernah dipengaruhi oleh banyaknya harta yang dimiliki.
Sebagai contoh, Abdurrahman bin Auf radhiyallahu anhu. Juga tidak merasa miskin walau tak kaya, seperti Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu, sehingga tidak mengeluh dan meminta-minta kepada manusia.
Dermawan terhadap keluarga digalakkan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam dan diberikan janji gembira. Dari Salman bin “Amir radhiyallahu anhu, dari Nabi shallallahu alaihi wasallam, baginda bersabda, “Sedekah terhadap orang miskin adalah sedekah dan terhadap keluarga sendiri mendapat dua pahala; sedekah dan silaturrahmi.” (riwayat Tirmidzi).
Dalam pepatah melayu, “monyet di hutan disusukan, anak di rumah mati kelaparan.” Pepatah ini mencela orang yang membiarkan keluarganya kekurangan sedang dalam waktu yang sama dia membantu yang lain.*
Kesembilan, MURAH MAAF
Seorang isteri sangat mengharapkan suaminya seorang yang murah maaf; tidak segan meminta maaf dan mudah pula memaafkan. Meminta maaf menggambarkan rendah hati seseorang. Manakala memaafkan menampakkan kelapangan jiwa dan ketinggian akal serta luasnya kesabaran yang dimiliki. Kedua-dua sifat ini adalah manifestasi iman kepada Allah Rabb Yang Maha Memberi Maaf lagi Maha Pengampun. Kalamullah yang terkandung di dalam surah At-Taghabun, ayat ke 14, perlu diperhatikan dengan saksama. Saya nukilkan ertinya,
“Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu, ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka. Dan jika kamu maafkan, kamu santuni serta ampuni (mereka), maka sungguh, Allah Maha Pengampun Maha Penyayang.”
Dalam kehidupan berumahtangga, baik suami maupun isteri, tidak ada seorang pun di antara mereka yang berhak meletakkan diri sebagai orang yang memiliki kekebalan hukum dan karananya tidak perlu meminta maaf apabila melakukan kesalahan. Mengakui kesalahan yang disengajakan atau tidak disengajakan dan disusul dengan sikap murah maaf membawa kesan yang besar dalam pembinaan keluarga yang bahagia. Dalam konteks ini, jujur dan besar hati memainkan peranan.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sebelum situasi maaf memaafkan mengambil tempat, sebab memaafkan itu perkara mudah saudara, tapi meminta maaf, memerlukan pertimbangan. Pertama, seberapa besar dan serius isu yang dihadapi. Kedua temperature atau suhu ketegangan. Ketiga, mood atau suasana hati isteri. Keempat, kesiapan suami dalam menerima reaksi dan balasan isteri. Dan kelima, bagaimana atau apakah cara yang hendak digunakan.
Ada banyak cara yang dapat Anda gunakan. Menggunakan lisan, sentuhan, pemberian bunga, atau hal-hal lain yang menampakkan kesan manis. Ada juga yang dengan kreatif membantu kerja-kerja rumah lebih dari yang biasa dibuat. Yang terpenting dari itu semua, dengan wajah manis dan raut yang ikhlas. Melakukan dan memberi sesuatu dengan wajah yang tidak menyenangkan.
Kesepuluh, SABAR MENDIDIK
Bila sepasang manusia bersetuju untuk hidup bersama dalam sebuah rumahtangga, mereka sebenarnya telah bersetuju untuk menjadi teman sejati. Apabila mereka diikat dengan ijab kabul, mereka sesunnguhnya telah menandatangani sebuah kesepakatan bahwa suamilah yang akan menjadi pemimpin dalam rumah tangga ini. Walaupun kelak akan ada saja, perbincangan, diskusi dan musyawarah. Namun, sang pemimpinlah yang akan memberi kata keputusan.
Selain itu, seorang suami harus memastikan isterinya terdidik dengan baik, secara akademik dan diniyah. Menghantarnya belajar menambah ilmu.
Namun demikian, sebaik-baik guru bagi seorang isteri adalah suaminya sendiri. Tak dapat dinafikan dalam zaman serba canggih ini, ada isteri yang kurang pandai mengurus rumahtangga. Ada sebab musabab yang logis. Anak perempuan yang biasa tinggal di asrama, tidak terbiasa dengan kerja-kerja rumah. Bila pulang ke rumah, is justru tak diajarkan belajar masalah rumah, umumnya bermalas-malasan. atau bermanja-manja. Yang sibuk bekerja tetap saja ibundanya.
Berbeda dengan dengan anak lelaki. Walaupun hal yang sama berlaku semasa mereka bersekolah, namun begitu mereka memutuskan untuk bekerja, keluarga akan mendukung sungguhpun itu akan berjauhan dengan keluarga. Berjauhan dengan ibu akan membuat mereka berdikari. Maka tak heran jika ada suami lebih pintar masak, lebih teratur mengatur rumah, lebih cerewet dalam pengurusan anak dan lebih mahir mengurus kewangan dari isteri-isteri mereka. Ini hanya sebuah kemungkinan.
Saya hanya ingin menekankan, dalam sebuah keluarga, urusan rumahtangga bukan hal kecil. Seorang isteri seharusnya mampu menanganinya. Namun andai kenyataan adalah sebaliknya, maka tugas suami mengajar dan mendidik, bukan memberi kritik apalagi kecaman.
Hal yang sama berlaku dalam ilmu-ilmu yang lain. Pendidikan anak, menjahit, menyulam, memasak dan menanam, kemahiran merawat dan tidak ketinggalan pengurusan kewangan yang teratur. Ini semua hal-hal duniawi yang boleh dimaafkan andai tertinggal. Ada yang lebih penting, pendidikan iman dan jiwa isteri. Suami adalah orang yang paling layak menjadi gurunya dalam hal ini.
Menjadi guru tak berarti mengajarnya seperti guru-guru di sekolah. Kreativitas suami sangat dituntut dalam hal ini, supaya isteri merasa rela dan bahagia dan tidak merasa dipaksa.
Rasulullah shallallahu alaihi wassalam biasa berbaring di pangkuan isteri sambil menghafazkan kalamullah. Sangat romantis bila dilihat dari satu sisi dan bila dilihat dari sisi pendidikan, apa yang diperolehi isterinya? Benar, hafazan al-Quran dari lidah yang fasih. Rela isteri menghafaznya bercampur bahagia yang kemudian menjadikan dia berilmu dan layak dijadikan mufti.
Dalam benak fikiran saya membayangkan, pastilah isterinya radhiyallahu anha, akan menanyakan hal-hal yang bersangkutan dengan ayat-ayat yang dibaca suaminya. Wallahu a’lam. Andai salah saya dalam membayangkan, semoga Allah mengampuni.
Kita hanya dapat membayangkan kehidupan ilmiyah Aisyah radhiyallahu anha. Pastilah suaminya iaitu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak jemu menjawab pertanyaan-pertanyaannya.
Seiringan dengan itu, sabar dalam mendidik akan sangat dihargai. Tidak mengharap hasil yang segera sebab proses pendidikan adakalanya memakan masa yang lama. Berbulan, mungkin juga bertahun. Suami yang baik akan memahami kekurangan dan kelebihan isteri. Dia tahu bila dia boleh memuji dan bila dia boleh mencela kekurangan tersebut.
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, bahwa Nabi bersabda, "Allah merahmati suami yang membangunkan isterinya untuk shalat. Jika sulit, dipercikkannyalah air ke wajah dan sebaliknya."
Perhatikan anjuran yang ada di dalam redaksi itu. "Percikkan". Memercik air merupakan sebuah aksi yang memerlukan kesabaran. Memercik bukan menyiram, apalagi marah-marah atau menyindir-nyindir.
Pernikahan adalah sebuah sekolah di mana manusia belajar dan mengajar. Ketua dan wakil harus saling memberi dan menerima ilmu. Kemudian berkembang dengan hadirnya anak-anak sebagai murid-murid. Intinya, suami perlu memastikan bahwa isteri yang dinobat sebagai Pengurus Besar rumahtangga mempunyai bekal ilmu yang cukup dan sentiasa diusahakan agar ilmunya selalu berkembang sesuai tuntutan zaman.
Dengan sabar mendidik, suami akan belajar mencintai isteri karena Allah. Dia akan mampu menunjukkan rasa cintanya sesuai dengan kata-kata manisnya. Dia tidak akan menunjukkan kasihnya dengan perlakuan kasar walaupun dia mendakwa kasarnya itu di sebabkan rasa kasihnya. Dia tidak akan mengeluarkan kata-kata yang keras lagi menyakitkan walaupun dia mendakwa itu di keranakan rasa sayangnya. Bila seorang suami mengatakan dia mencintai isterinya kerana Allah, maka wajib baginya memperlakukan isteri dengan baik, sesuai dengan pesan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam,
“Sebaik-baik lelaki adalah yang paling baik perilakunya terhadap isteri. Akulah yang terbaik pekerti pada isteriku.” (riwayat At-Tirmidzi).
Nah, kepada para suami dan pemuda-pemuda yang ingin melengkapkan rumahnya dengan tangga, menjadi suami sholeh itu mudah. Tetapi menjadi suami sholeh yang dibanggakan isteri, itu memerlukan ilmu dan kesungguhan. Memiliki isteri sholehah itu juga impian wajar. Namun bagaimana men-sholehah-kan seorang isteri, bukan sekadar ilmu yang diperlukan tetapi juga cinta yang tulus. Saatnya Anda menunjukkan cinta dengan bahasa yang dia fahami dan pelajarilah bahasa kasih pasangan Anda.*

Tidak ada komentar:
Posting Komentar