Powered By Blogger

Senin, 08 Agustus 2011

Kajian

Dusta, jamur diakhir zaman

[clip_image00545.jpg]
Bohong. Sesuatu yang Rasulullah nyatakian tidak akan pernah ada dalam diri seorang mukmin. Tak seorangpun suka dibohongi, bahkan pembohong sekalipun. Bukan hanya mengakibatkan sakit hati, kebohongan dapat membuat seseorang salah dalam bersikap atau melangkah. Repotnya, di penghujung jaman ini kebohongan justru menjamur dimana-mana. Persis sebagaimana yang pernah diramalkan Rasulullah bahwa di akhir zaman, maraknya kebohongan akan menjadi tanda dunia segera berakhir. Rasulullah bersabda:

يَكُونُفِىآخِرِالزَّمَانِدَجَّالُونَكَذَّابُونَيَأْتُونَكُمْمِنَالأَحَادِيثِبِمَالَمْتَسْمَعُواأَنْتُمْوَلاَآبَاؤُكُمْفَإِيَّاكُمْوَإِيَّاهُمْلاَيُضِلُّونَكُمْوَلاَيَفْتِنُونَكُمْ

“Di akhir zaman akan muncul para dajjal lagi pendusta. Mereka datang membawa kabar yang belum pernah kalian bahkan moyang kalian dengar sama sekali. Maka wasapdalah kalian terhadap mereka. Jangan sampai mereka menyesatkan kalian dan jangan sampai mereka menimpakan musibah atas kalian.”(HR. Muslim)

Fenomena Hadits maudhu’

Pada rentang masa sejak berakhirnya periode para shahabat hingga masa dokumentasi hadits-hadits Nabi (tadwinul ahadits), hadits maudhu’ menjadi fenomena kebohongan yang menggejala. Hadits maudhu’ adalah hadits yang dikatehaui bukan merupakan perkataan Nabi tapi hanya omongan dusta seseorang yang kemudian diklaim sebagai hadits Nabi. Bisa juga berupa perkataan orang bijak yang kemudian diberi sanad hingga tampak seperti hadits. Contohnya ucapan ““Cinta tanah air adalah sebagian daripada iman.”

Hadits maudhu’ merupakan jenis hadits paling buruk. Bahkan para ulama banyak yang menyatakan hadits maudhu’ tidak pantas disebut hadits bahkan sebagai hadits dhaif sekalipun. Hadits maudhu’ dibuat oleh untuk beberapa tujuan semisal menghasung manusia agar banyak berbuat baik dengan menggubah hadits-hadits spektakuler, menjilat penguasa dengan membuat hadits-hadits yang membenarkan tindakan mereka, mencari popularitas atau untuk menguatkan aliran pemahaman yang dianut dan sebagainya.

Wallahua’lam, bukan mustahil ini juga merupakan bukti atas kabar akhir zaman dalam hadits di atas. Tapi untuk hal ini, kita bisa sedikit lega karena perjuangan keras para ulama telah memberikan jalan terang untuk mengecek keshahihan hadits-hadits Nabi yang mulia.

Kini, dusta sebagai Bahan lelucon

Hari ini, fenomena dusta tidaklah surut. Pernah dengar kata “hoax”? bagi yang biasa berkecimpung di dunia internet kiranya sangat mafhum dengan istilah ini. Ringkasnya hoax adalah berita bohong dan kebanyakan disebarkan melalui dunia maya (internet). Hoax dibuat dengan tujuan beragam, tapi yang paling banyak hanya untuk lelucon belaka. Meski demikian, karena dikemas dengan bahasa yang serius bahkan tak jarang menyertakan foto-foto, tidak sedikit yang tertipu dan menyangka kebohongan itu benar adanya. Dan saat ini, berita hoax ibarat ganggang yang terus tumbuh bersama aliran informasi yang kian deras melalui jaringan internet. Jika tak hati-hati dan cerdik menyaring informasi saat berselancar di internet, bukan mustahil kita akan terkecoh. Soal foto, saat ini ada banyak perangkat lunak (software) yang bisa memanipulasi foto hingga terkesan sangat nyata dan terlihat asli. Padahal, itu hanyalah gabungan beberapa gambar yang diolah dengan cerdik.

Hoax sepertinya layak disebut fenomena yang membuktikan kebenaran sabda Nabi di atas. Lain dari itu, maraknya penipuan dalam jual beli online juga menjadi bukti berikutnya. Hari ini, untuk menjual atau membeli produk seseorang bisa menggunakan internet sebagai media perantara. Transaksi dengan internet relatif lebih mudah dan simpel karena kita bisa menjual atau membeli hanya dengan sekali klik. Tapi, transaksi internet juga sangat rentan penipuan. Tidak sedikit yang memasang informasi palsu dan akhirnya pembeli atau penjual pun tertipu. Uang sudah dikirim, tapi barang tak kunjung datang.

Ada pula fenomena april mop. Tanggal 1 april dikatakan sebagai hari dimana semua orang boleh berbohong untuk menjahili teman atau saudaranya. Pada hari ini, melalui kesepakatan yang tidak tertulis seseorang yang dijahili atau dibohongi tidak boleh marah karena hari itu adalah perayaan hari kebohongan. Di Indonesia memang belum terlalu populer, tapi anak-anak muda mulai ada kecenderungan ikut-ikutan budaya ini.Padahal menurut beberapa sejarawan Islam, April Mop terkait dengan peristiwa pembantian umat Islam di Spanyol (andalusia). Bohong bukan lagi sekadar lelucon tapi sudah menjadi perilaku yang dianggap patut dirayakan.

Yang paling menyakitkan adalah berita-berita bohong yang ditujukan untuk menyakiti, memojokkan, mencitraburukkan, menggembosi semangat dan mengadu domba umat Islam. Berita-berita semacam ini biasanya datang dari orang-orang kafir atau dari orang-orang munafik yang mengaku Islam tapi sangat benci terhadapnya. Parahnya, daya saring umat Islam sangat lemah ketika menyerap informasi yang ada.Tanpa melalui analisa kritis informasi pun dilahap hingga persepsi umat pun mudah digiring dan dibentuk sedemikain rupa.

Dari sudut pandang fakta, berita itu boleh jadi tidak 100 persen bohong.Hanya saja cara pemaparannya menggunakan tehnik menyembunyikan satu sisi dan menonjolkan sisi yang lain guna menggiring pembaca mengambil kesimpulan dan sudut pandang yang diinginkan. Berita-berita mengenai terorisme misalnya, secara keseluruhan hampir tak pernah lepas dari tendensi memberikan citra buruk terhadap Islam dan orang-orang yang getol memperjuangkan Islam.

Benteng tabayun

Kini, kita hidup di zaman yang dipenuhi kedustaan di segala sudut. Arahan yang terdapat dalam surat at Tahrim ayat 6 menjadi senjata yang sangat efektif: ayat itu berbunyi“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”. Tabayun adalah klarifikasi dan recheck terhadap kebenaran sebuah informasi. Lebih dari itu, ayat ini memperingatkan kita agar lebih waspada, lebih teliti, kritis dan cerdas dalam menerima informasi dari orang-orang yang buruk keislamannya, lebih-lebih dari musuh-musush Islam. waspadalah !







Komitmen manusia tak sempurna

Pengikat hati itu adalah komitmen. Berawal dari sebuah keyakinan yang mantap, untuk kemudian berubah menjadi tindakan sadar yang bertanggung jawab. Salah satunya adalah bersiap menghadapi setiap tantangan yang menghadang, menaklukkan semua ujian yang datang, menyadari risiko yang ada, serta keadaan-keadaan yang tidak mengenakkan lainnya.

Maka, saat pilihan untuk menikah itu datang, kita mestinya sadar, sesadar-sadarnya malah, bahwa jalan yang terbentang di depan sana sangat terjal dan berliku. Penuh onak dan duri, serta tak sepi dari air mata. Konflik, pendidikan, finansial, ipar dan mertua, tetangga, dan karir, adalah di antaranya. Bukankah kita tidak sedang bermimpi, namun hidup di alam nyata?

Tidak ada –kecuali Allah menghendaki- hal yang kita temui dalam hidup, seluruhnya mulus tanpa hambatan. Indah seperti impian, manis laksana khayalan. Namun yang ada adalah hal-hal tak terduga berbeda dengan rencana. Juga fakta-fakta mengejutkan yang seringkali, nyaris membuat kita frustasi dan putus asa. Mimpi sedih yang menjadi nyata.

Romantisme cinta yang indah itu bisa jadi tidak ada dalam kehidupan nyata. Kalaupun ada, ia tidaklah kekal. Serupa kisah cinta dalam film yang hanya berdurasi 2 sampai 3 jam. Ia akan usai dan pergi bersama kenangan indah yang tidak menjejak bumi. Hasrat yang menggebu-gebu itu telah berlalu. Keindahan ragawi dan hal-hal lain yang pernah membuat kita mabuk telah berubah bentuk. Fluktuasi rasa yang timbul tenggelam, tinggi rendah, menguat dan melemah menguapkan kemesraan dan menipiskan kasih sayang.

Dan kini, tinggallah komitmen akan nilai-nilai yang dipegangi. Komitmen yang membuahkan kesabaran menjalani hari-hari sulit, juga kelapangan dada saat menemukan si dia yang sesungguhnya. Karena kita tidak lagi berbicara tentang wajah yang indah, yang telah berubah. Tentang raga yang kini memulai lemah karena tua. Tentang harta yang bisa binasa. Atau tentang pangkat dan kedudukan yang bisa saja tak lagi ada.

Keinginan menjadi hamba Allah yang baik, memanfaatkan usia yang tak lagi belia, memproduktifkan waktu yang terus melaju, kesemuanya dalam keshalihan amal dan tetap berhusnuzhan kepada-Nya. Hal-hal seperti inilah yang akan melahirkan komitmen. Dalam pernikahan, ia berarti komitmen untuk menyelamatkan biduk rumah tangga; memastikan tercapainya tujuan, peduli kepada setiap penumpang yang ada, juga kesediaan kita untuk mengatur prioritas agar keluarga mendapatkan haknya.

Kita berkomitmen menjadi kepala keluarga; suami dan ayah yang baik, istri-istri kita berkomitmen untuk menjadi pendamping suami dan ibu yang baik. Kesetiaan terhadap tugas dan fungsi, nilai, capaian yang lebih tinggi, misalnya, ridha Allah dan anak-anak yang shalih shalihah. Hal-hal seperti itu yang mestinya lebih kita utamakan daripada sibuk mempersoalkan hal-hal sepele yang menyesakkan dada. Membuat kita tidak terima, menyalahkan Allah atas takdir-Nya, atau berkeluh kesah alih-alih bersyukur atas nikmatNya.

Jangan merendahkan diri dengan bangunan iman yang goyah dan nyaris runtuh hanya karena masalah-masalah remeh temeh. Sebaris gigi berbaris rapi dalam senyum yang menawan, kerlingan mata, ajakan berkenalan yang kemudian berujung pada perselingkuhan, atau kesibukan tak jelas yang melalaikan. Di mana para qawwam keluarga yang teduh dan berwibawa itu? Kenapa kita menjadi kanak-kanak yang tidak pernah mau berhenti bermain-main, sedang pertaruhannya sedemikian besar?

Ruh ibarat jalur frekwensi radio. Jika berada pada gelombang yang sama, ia akan terhubung dan merasa nyaman, satu dengan yang lain. Lalu, apakah yang menyamankan diri kita saat bersama istri-istri kita? Keshalihan yang merupakan sebaik-baik harta dunia, atau sekedar tubuh langsing yang nyaris tanpa cela? Pada apa yang membuat kita nyaman, di situlah nilai kita sesungguhnya.

Kecerewetan kita kepada hal-hal yang tidak substansial, komitmen yang rendah terhadap penjagaan keluarga, serta ketidakpedulian akan perasaan mereka, justeru, menunjukkan seberapa sebenarnya nilai kita. Siapa diri kita sesungguhnya.

Bahwa dalam perjalanan berkeluarga kita akan merasakan lelah, lemah, dan bosan, ya, itu sangat besar kemungkinannya. Dan itu bisa sangat menyita perhatian dan menguras energi. Namun kita, insyaallah, akan dengan mudah bangkit kembali jika hal itu karena rutinitas yang padat, jadwal yang ketat, atau tekanan yang berat. Bukankah hal ini sangat manusiawi? Penat setelah bekerja berat.

Akan halnya kebosanan dan kelelahan yang muncul karena penolakan terhadap pasangan, terhadap ‘kerja’ sebagai kepala keluarga, sangat lain keadaannya. Alih-alih pulih dan bersemangat memulai kerja baru, seluruh yang kita rasakan adalah kelelahan itu sendiri. Kehidupan berkeluarga jadi hambar, kehilangan daya tarik, terasa menyiksa, penuh tekanan dan intimidasi. Ada perbedaan mendasar antara lelah setelah bekerja dengan lelah di saat bekerja.

Maka, daripada sibuk menolak pasangan, lebih baik kita menerima kekurangannya kemudian fokus melakukan perbaikan yang diperlukan. Dan berharap semoga semuanya menjadi amal shalih kita di sisi-Nya. Karena kita memang manusia yang tidak sempurna, maka kita harus berkomitmen untuk saling mendukung bergandengan tangan di jalan berliku. Ta’awun ‘alal birri wat taqwa!





Awas , penjagamu lengah!


Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api naar yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa ang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (QS. 66:6)

Ayat yang sudah sangat familiar ditelinga dan mata kita. Ayat yang paling sering dikutip untuk menggambarkan tugas seorang anggota keluarga agar menjaga keluarga dari neraka. Tentunya mukhatab (objek bicara) yang paling layak menanggung beban perintah ini adalah kepala rumah tangga alias para suami. Adapun anak atau isteri, secara umum mereka juga terkena kewajiban ini, hanya saja porsi kepala rumah tangga lebih besar.

Bagi suami tugas ini jauh lebih urgen melebihi tugas memberi nafkah, lahir maupun batin. Tugas dengan skala prioritas paling utama yang harus segera dilaksanakan. Juga menjadi tugas yang paling berat karena menyangkut nasib keluarga di masa depan.

Menjaga keluarga dari neraka, sebagaimana dijelaskan Imam Qotadah maksudnya, “Suami mendorong keluarga untuk melaksanakan perintah Allah, mencegah mereka dari melanggar larangan Allah, menegakkan perintah Allah atas semua anggota serta membantu dan membimbing mereka dalam pelaksanaannya. Dan jika dia melihat ada pelanggaran terhadap syariat, dia menegur dan memperingatkan.”(Tafsir Ibnu Katsier). Artinya seorang suami harus berperan sebagai ‘polisi syariat’ dalam keluarga. Selain menjadi penegak hukum allah, dia juga harus memberikan penyuluhan agar warganya lebih sadar hukum.

Tugas ini akan kian berat jika tak didukung anggota keluarga yang lain. Kalau diibaratkan, suami tak ubahnya satpam atau prajurit jaga yang harus melindungi keluarganya agar tak diculik oleh maksiat dan akhirnya dijebloskan ke neraka. Dan seorang penjaga, seharusnya tak boleh lengah sedikitpun. Hanya saja, yang perlu disadari oleh anggota keluarga yang lain, khususnya isteri sebagai pendamping adalah jadual jaga ini bersifat abadi. Karenanya, sangat mungkin sesekali atau bahkan berulangkali sang prajurit, mengantuk, atau malas dalam melakukan jaga.

Pada saat sang penjaga lemah semangat dan alpa, semestinya yang dijaga merasa khawatir. Seperti layaknya pemilik lumrah yang akan sangat khawatir dan takut jika satpamnya lengah dan tak sigap dalam melakukan penjagaan. Kondisi gawat semacam itu tidak mungkin akan dibiarkan berlarut-larut.

Jangan sampai sang isteri justru senang dan malah memanfaatkan kondisi tersebut. Saat suami membiarkan saja dirinya menunda-nunda shalat dan bangun kesiangan, isteri justru senang. bahkan dengan bangga menyebut suaminya kini sebagai suami yang “lebih pengertian”.Sepulang dari arisan atau kumpulan ibu-ibu dalam berbagai variannya, biasanya para isteri pulang membawa oleh-oleh seabrek bahan gunjingan untuk beberapa tetangga. Saat isteri mulai dengan lahap menyantap daging saudaranya alias mengghibah, ternyata suami cuma diam dan hanya mendengarkan. Isteri malah merasa bahwa suaminya kini lebih enak diajak bicara dan teman curhat yang budiman. Ketika suami hanya diam melihat isteri yang cenderung berlama-lama di depan TV hingga pekerjaan rumah tangga kacau karena banyak yang ditunda, isteri malah enjoy dan menyebutnya sebagai suami yang “tidak saklak”.

Gawat jika seperti itu yang terjadi. Bukannya khawatir, yang dijaga justeru senang ketika penjaga lengah dan penjahat mulai menjulurkan tangannya menjahili dirinya. Jika terus dibiarkan, hal itu akan menjadi alamat bubrahnya masa depan keluarga, khususnya masa depan akhiratnya.

Untuk itu, isteri sebaiknya waspada. Kalau suaminya yang dulu biasa membangunkan dan menegur jika dirinya menunda-nunda shalat, isteri tidak boleh senang dan malah memanfaatkan. Sebaliknya harus curiga karena polisinya kini mulai lemah dalam menjaga. Atau ketika pembicaraan mulai mengarah pada ghibah dan suami yang dulu biasa mengingatkan kini hanya diam, isteri pun harus khawatir. Pasti ada yang tidak beres dalam hal itu. Lebih-lebih jika suami memang tidak pernah menggubris berbagai pelanggaran syariat yang ada di dalam keluarga, kekhawatiran seorang isteri semestinya lebih besar lagi. Mengapa? Karena seakan-akan keluarganya tidak dijaga sama sekali.

Nah, untuk itu, tidakada salahnya jika sesekali isteri mengajak diskusi suami tentang kualitas pengamalan Islam dalam keluarga. Mengingatkan suami dan membangun kesadaran bersama untuk saling mengingatkan dan menasehati. Menyatakan diri siap untukdiingatkan jika memang salah.

Amar makruf nahi mungkar itu berat, hatta terhadap isteri dan keluarga sendiri sekalipun. Tapi dengan kesadaran bersama akan pentingnya kebiasaan saling mengingatkan dan menegur jika salah, insyallah beban itu akan terkurangi. Tidak masalah meskipun pada prakteknya, saat diingatkan ketika salah, tidak mudah untuk bisa menerima dengan lapang dada tanpa pasang muka cemberutsama sekali atau kilah untuk membela diri. Yang penting asal kesadaran senantiasa dibangun, hal itu hanyalah variasi yang akan membuat suasana menjadi lebih indah. Ibarat makan, gurih melulu mlaah bisa bikin eneg, kadangkala harus ada rasa pedes atau asemnya. Bukan begitu ibu-ibu?




Empat nasib manusia


Dilihat dari segi nasib, bahagia atau sengsara saat di dunia dan di akhirat, manusia akan mengalami salah satu dari empat nasib; bahagia di dunia-bahagia di akhirat, sengsara di dunia-bahagia di akhirat, bahagia di dunia-sengsara di akhirat dan sengsara di dunia-sengsara pula di akhirat.

Sebelum keempat nasib ini dirinci, perlu dicatat bahwa“bahagia di dunia” yang dimaksud bukanlah kebahagiaan hakiki berupa kebahagiaan dan ketenangan ruhani karena berada di bawah naungan ridha ilahi. Tapi yang dimaksud adalah kebahagiaan yang oleh kebanyakan orang dipersepsikan sebagai kebahagiaan; harta melimpah, hidup nan serba mudah dan musibah yang seakan-akan enggan untuk singgah.

Nah sekarang mari kita rinci satu persatu.

Bahagia di dunia-bahagia di akhirat

Nasib yang paling diidamkan semua orang. Semboyan “kecil dimanja, muda foya-foya, tua kaya raya mati masuk surga” menjadi puncak khayalan yang diinginkan manusia. Tapi benarkah ada orang yang di dunia kaya dan saat di akhirat beruntung mendapat Jannah-Nya? Tentu saja ada. Itulah orang yang mendapat fadhlullah, anugerah istimewa dari Allah.

Dalam sebuah hadits yang cukup panjang, diriwayatkan oleh Imam Muslim disebutkan bahwa suatu ketika para shahabat yang ekonominya lemah mengadu pada Nabi tentang rasa iri mereka terhadap shahabat lain yang kaya. Yang kaya bisa infak banyak tapi juga melakukan ibadah yang sama dengan yang mereka lakukan saban hari. Lalu Nabi mengajarkan dzikir-dzikir yang dapat mengimbangi pahala infak. Tapi ternyata shahabat yang kaya juga mendengar dzikir ini lalu mengamalkannya. Saat dikomplain, Nabi SAW menjawab, “ Itulah anugerah Allah yang akan diberikan kepada siapapun yang dikehendaki.”

Itulah anugerah Allah. Allah membagi rezeki sesuai kehendak-Nya. Ada yang sedikit ada yang banyak. Sebagian orang ada yang dikarunia rezeki melimpah, hidupnya pun serba mudah. Namun begitu, ternyata semua itu tidak memalingkannya dari cahaya hidayah. Harta yang dikaruniakan gunakan untuk membangun rel yang memuluskan jalan mereka menuju jannah. Rel-rel yang dibangun adalah besi-besi berkualitas dari infak fi sabilillah, sedekah kepada fakir miskin dan yatim dan berbagai proyek amal jariyah. Lebih daripada itu, harta itu juga digunakan untuk membeli berbagai fasilitas yang dapat membantu meraup ilmu mulai dari buku hingga biaya untuk belajar kepada para guru. Kesehatan dan kemudahan hidup digunakan untuk meningkatkan kualitas ibadah dan pengabdian kepada Allah.

Dengan semua ini, insyaallah, kebahagiaan yang lebih abadi di akhirat telah menanti. Kalau sudah begini, manusia semacam ini memang sulit ditandingi. Itulah karunia Allah yang diberikan kepada siapapun yang dikehendaki.

Sengsara di dunia-bahagia di akhirat

Ini nasib kebanyakan orang-orang beriman. Kehidupan di dunia bagi mereka seringnya menjadi camp pelatihan untuk menempa iman. Kesulitan hidup berupa sempitnya kran rezeki memicu munculnya ujian-ujian kehidupan seperti tak terpenuhinya kebutuhan logistik, pendidikan, sandang dan papan. Atau kesulitan hidup berupa kekurangan dalam hal fisik; buta, bisu, buntung, lumpuh dan sebagainya.Dera dan cobaan yang kerapkali menguras airmata dan menggoreskan kesedihan dalam jiwa.

Namun begitu, iman mereka menuntun agar bersabar menghadapi semua dan tetap berada di jalan-Nya. Dan pada akhirnya, selain iman yang meningkat, semua kesengsaraan itu akan diganti dengan kebahagiaan yang berlipat. Rasa sakit, sedih dan ketidaknyamanan hati seorang mukmin akan menjadi penebus dosa dan atau meningkatkan derajat. Sedang di akhirat, hilangnya dosa berarti hilangnya halangan menuju kebahagiaandi dalam jannah dengan keindahannya yang memikat. Dan tingginya derajat keimanan adalah jaminan bagi seseorang untuk mendapatkan kemuliaan di akhirat.

Allah berfirman:

“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadam, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan:”Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun”.Mereka itulah yang mendapatkan keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Rabbnya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk”. (QS. Al Baqarah:155-157)

Bahagia di dunia-sengsara di akhirat

Kalau yang ini adalah gambaran rata-rata kehidupan orang-orang kafir dan manusia durhaka. Sebagian mereka bergelimang harta, hidup mewah dan dihujani kenikmatan-kenikmatan melimpah. Bukan lain karena mereka bebas mencari harta, tanpa peduli mana halal mana haram.Sebagian yang lain barangkali tidak mendapatkan yang semisal. Tapi mereka mendapatkan kebebasan dalam hidup karena merasa tidak terikat dengan aturan apapun. Aturan yang mereka patuhi hanya satu “boleh asal mau atau tidak malu”.

Merekalah yang menjadikan dunia sebagai surga dan berharap atau bahkan yakin bahwa yang Mahakuasa akan memaklumi kedurhakaan dan kelalaian mereka dari perintah-Nya, lalu memasukkan mereka ke jannah-Nya. Padahal sejak di dunia mereka telah diperingatkan:

“Kami biarkan mereka bersenang-senang sebentar, kemudian Kami paksa mereka (masuk) ke dalam siksa yang keras.” (QS. 31:24)

Sengsara di dunia sengsara di akhirat.

Inilah orang paling celaka dalam sejarah kehidupan manusia, dunia akhirat. Di dunia hidup miskin, susah payah mencari sesuap nasi dan hutang menumpuk karena usaha selalu tekor hingga hidup pun tak nyaman karena diburu-buru debt kolektor.Atau hidup dalam keterbatasan karena cacat di badan dan masih ditambah ekonomi yang pas-pasan. Dan dengan semua itu, mereka tidak memiliki harapan untuk hidup bahagia di akhirat meski hanya seujung jari, karena iman sama sekali tidak tumbuh dalam hati. Di penghujung hidup mereka mati dalam kondisi kafir, menolak beriman kepada Rabbul Izzati.

Dan di akhirat, neraka yang menyala-nyala telah menanti. Karena ketiadaan iman, mereka tidak akan mendapatkan belas kasihan. Hukuman akan tetap dijalankan karena di dunia mereka telah diperingatkan. Na’udzu billah, semoga kita terhindar dari keburukan ini.

Padahal yang didunia sempat merasakan kesenangan saja, apabila dicelupkan ke dalam neraka, akan musnah semua rasa yang pernah dicecapnya. Lantas bagaimana dengan yang sengsara di dunia dan berakhir dengan siksa di neraka?

عَامِلَةٌنَّاصِبَةٌ {3} تَصْلَىنَارًاحَامِيَةً

“Bekerja keras lagi kepayahan, -sedang di akhirat- memasuki api yang sangat panas (QS. Al Ghasiyah:3-4)

Kita masih bisa memilih

Dari keempat kondisi di atas, sebisanya kita tempatkan diri kita pada yang pertama. Caranya dengan sungguh-sungguh bekerja agar kehidupan dunia sukses dan mulia. Bersamaan dengan itu, kesuksesan itu kita gunakan untuk membeli kebahagiaan yang jauh lebih kekal di akhirat. Jika tidak bisa, pilihan kita hanya tinggal kondisi kedua karena yang ketiga hakikatnya sama-sama celaka dengan yang dibawahnya. Meskipun hidup di dunia kita harus berkawan dengan sengsara, tapi dengan iman di dada kita masih layak tersenyum karena harapan itu masih ada. Harapan agar dimasukkan ke dalam jannah yang serba mewah, atas ijin dan ridha dari Allah Yang Maha Pengampun lagi Maha Pemurah.Wallahua’lam bishawab, wa astaghfirullaha ‘ala kulli khati`ah.






Kebaikan yang menentukan


Hidayah memang salah satu misteri takdir yang tak terduga. Siapa sangka orang yang tak pernah beribadah seumur hidupnya. Tapi, di ujung hayatnya Allah SWT membuka hatinya untuk memeluk Islam dan mengamalkan satu atau dua amalan.‘Sedikit’ amal tersebut ternyata bisa menjaminnya masuk jannah, insyaallah.

Abu Hurairah menceritakan kisah seorang pemuda bernama Ushairim dari bani Abdil Asyhal. Sebagai catatan, ia enggan memeluk Islam sebagaimana kaumnya. Ketika pecah perang Uhud beliau turut bahu membahu membela Rasulullah SAW dan kaum muslimin. Dia menyerang musuh dan memberikan perlawanan sehingga terluka di beberapa bagian tubuhnya. Sebelum menghembuskan nafas terakhir dia ditanya tentang motif keikutsertaannya pada perang uhud. “Apakah untuk mengangkat nama bani Abdil Asyhal atau untuk membela Islam?” Ia menjawab, “Aku mencintai agama Islam. Aku telah beriman kepada Allah SWT dan rasul-Nya. Lalu aku masuk Islam dan mengangkat senjata untuk berperang bersama Nabi SAW.” Rasulullah SAW yang mendengar penuturannya berani menjamin Ushairim sebagai ahlu jannah atau penghuni surga.

Kisah di atas menunjukkan bahwa Allah SWT sungguh berkuasa terhadap nasib dan takdir manusia. Tidak sedikit orang yang dhahirnya buruk, hidup bergelimang dosa, hingga orang lain menyangga tidak ada sisi kebaikan dalam dirinya. Namun, orang tersebut berhasil berubah di ujung hayatnya dan menjadi ahlu jannah. Begitu pula sebaliknya, ada orang yang menghabiskan umur dan waktunya dalam beribadah. Namun, karena setitik dosa kekufuran seluruh amalnya gugur dan ia termasuk ahlun nar atau penghuni neraka.

Dalam Islam ukuran seseorang baik atau buruk adalah bagaimana kondisi seseorang di akhir hayatnya. Akhir yang baik disebut dengan khusnul khatimah. Sedangkan kebalikannya yaitu suul khatimah. Rasulullah SAW bersabda,

إنَّمَا الأَعْمَالُ بِالخَـوَاتِيْمُ

“Sesungguhnya amalan itu (tergantung) dengan penutupnya”. (HR Bukhari)

Hal ini kadang membuat sebagian orang over estimate terhadap ampunan Allah SWT. Ia pun mengabaikan kewajiban yang harus ditunaikan. Umur dan waktunya digunakan untuk menuruti hawa nafsu dan mengejar kenikmatan hidup. Ia menganggap bahwa saat ini merupakan waktu bersenang-senang, sebab masih ada hari esok untuk bertobat dan kebaikan di hari tua nanti akan menghapus segala kesalahan terdahulu. Namun, siapakah yang bisa menjamin bahwa ia masih hidup hingga hari esok?

Oleh karena itu, dalam menjalani kehidupan seseorang harus menakar kadar raja’ atau pengharapannya kepada Ampunan Allah SWT dan kadar khauf atau takut kepada Allah SWT dengan tepat. Selain itu, khusnul khatimah bagi ahlu maksiat belum tentu terjadi pada setiap orang. Sebab, Kebaikan di ujung hayat merupkan tanda Allah SWT menginginkan seseorang menjadi baik. Dalam sebuah hadits disebutkan.

عَنْ عَمْرِو بْنِ الْحَمِقِ -رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ- ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ :

إِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِعَبْدٍ خَيْرًا عَسَّلَهُ .؛ قَالُوا : يَا رَسُولَ اللهِ ، وَ مَا عَسَّلُهُ ؟ ، قَالَ : يَفْتَحُ لَهُ عَمَلاً صَالِحًا بَيْنَ يَدَيْ مَوْتِهِ ، حَتَّى يَرْضَى عَنْهُ مَنْ حَوْلُهُ.

Dari Amru bin al hamiq mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Apabila Allah SWT menginginkan seorang hamba menjadi baik, dia membuatnya terpuji.” Para shahabat bertanya, “Wahai Rasulullah SAW bagaimana Allah SWT membuatnya terpuji?” “Allah SWT membuka pintu amal shalih di ujung hayatnya sehingga orang di sekitarnya ridha kepadanya.” (HR. Ahmad dan Ibnu Hibban)

Hadits di atas minimal menunjukkan dua hal. Pertama, kesempatan menjadi baik merupakan bentuk hidayah yang diberikan kepada orang tertentu. Menurut Ibnu Rajab al-Hanbali, faktor yang menyebabkan orang shalih mengalami suul khatimah adalah (ad-dasiysah) makar atau maksud kotor tersembunyi dalam hati. Hal tersebut memang tidak bisa dibaca oleh orang lain karena tidak tampak. Namun, dampaknya mempengarhui nasibnya di akhir hayat.

Kebalikannya, ahlu maksiat yang memperoleh nikmat husnul khatimah, ada orang yang memiliki karakter atau kebiasaan baik yang tersembunyi. Kebaikan tersebut baru nampak saat ajalnya telah mendekat dan membuatnya berhak mendapatkah akhir yang baik.

Kedua, jenis kebaikan yang mendatangkan husnul khatimah. Akar kata `assalahu yang bermakna membuatnya terpuji dalam hadits di atas, hampir sama dengan kata asal `asal yang berarti madu. Madu yang merupakan jenis makanan yang sangat bermanfaat. Jika madu dicampurkan dengan makanan atau minuman lain, membuatnya menjadi berasa manis. Secara tersirat Rasulullah SAW mentamsilkan amal shalih tersebut dengan madu untuk menunjukkan jenis amal shalih yang berpahala besar. Manfaat amal tersebut berguna bagi diriya dan orang lain disekitarnya. Oleh karena itu, amal tersebut memperoleh balasan yang besar meski amalnya kecil. Rasulullah SAW bersabda,

عَمِلَ قَلِيْلاً وَأُجِرَ كَثِيْرًا

“Beramal sedikit, namun memperoleh pahala yang banyak.” (HR. Bukhari)

Ibnu rajab mengatakan bahwa secara umum, suul khatimah atau khusnul khatimah merupakan buah dari perbuatan yang dilakoni sepanjang hidup. Karena itu, para ulama pada zaman dahulu sangat mengkhawatirkan nasibnya saat sakaratul maut dan mencemaskan akibat perbuatan yang dulu pernah dilakukan. Seorang ulama makkah bernama Abdul Aziz bin Abu Ruwad menceritakan bahwa beliau pernah menjenguk orang yang sedang sekarat. Orang-orang disekitarnya memandunya mengucapkan kalimat tahlil. Namun, kalimat tersebut tak mampu ia ucapkan. Kalimat terakhir yang keluar justru ucapan kekufuran. Abdul Aziz pun menanyakan latar belakang orang tersebut. Menurut orang di ruangan tersebut, pada waktu hidup dia adalah pecandu miras. Sehingga lidahnya menjadi kelu saat tak dapat mengucapkan kalimat tahlil. Oleh sebab itu Abdul Aziz bin Ruwad memberi nasehat, “Berhati-hatilah, karena maksiat menyebabkan suul khatimah.” Wallahu A’lam.




Jangan asal bercanda


Kejenuhan yang muncul karena terlalu serius dalam beraktivitas, menjadikan canda sebagai selingan dan variasi hidup. Bahkan tidak sedikit di antara manusia yang memiliki sifat humoris, bukan dibuat-buat tapi watak. Tetapi hal yang disayangkan, sifat humoris tersebut dijadikan sebagai profesi yang di dalamnya tidak keluar secara spontanitas, namun didramatisir untuk bisa membuat orang lain tertawa terpingkal-pingkal. Apakah bercanda itu ada aturannya? Atau bahkan dilarang? Sebagai manusia kita hendak mengetahui adab-adabnya:

Pertama: Bercanda (mizah) adalah perkataan yang dimaksudkan untuk menggembirakan, menyenangkan atau memberi semangat dengan tidak menyebabkan orang lain tersakiti. Bercanda itu mubah (dibolehkan), namun hendaknya tidak berlebihan karena sebab berlebihan terkadang justru menyinggung dan menyakiti hati orang lain. Dan menyakiti orang muslim tidak diperbolehkan.

Kedua: Tidak ada unsur kebohongan. Maka seorang muslim harus sebisa mungkin menjauhi berbohong dalam bercanda, sekecil apapun. Rasulullah SAW telah memperingati dengan tegas masalah berbohong dalam bercanda ini, beliau bersabda,

لاَ يُؤْمِنُ الْعَبْدُ الإِيمَانَ كُلَّهُ حَتَّى يَتْرُكَ الْكَذِبَ فِي الْمُزَاحَةِ وَيَتْرُكَ الْمِرَاءَ وَإِنْ كَانَ صَادِقًا

“Tidak sempurna iman seseorang sampai ia meninggalkan kebohongan ketika bercanda dan meninggalkan perdebatan meski ia pada posisi yang benar.” (HR. Ahmad, At-Thabrani)

Ia juga tidak mengada-ada cerita-cerita khayalan atau
berbohong supaya orang lain tertawa. Rasulullah SAW bersabda, “Celakalah bagi orang yang berbicara lalu berdusta supaya dengannya orang banyak jadi tertawa. Celakalah baginya dan celakalah”. (HR. Ahmad dan hasan menurut Al-Albani).

Ketiga: Tidak berlebihan atau keterlaluan. Dalam masalah ini beliau SAW bersabda,

لاَ تُكْثِرِ الضَّحْكَ، فَإِنَّ كَثْرَةَ الضَّحْكِ تُمِيْتُ الْقَلْبَ

“Janganlah kamu terlalu banyak tertawa, karena sesungguhnya banyak tertawa akan mematikan hati.” (HR. Tirmidzi) Dalam riwayat lain: akan mematikan hati dan menghilangkan pancaran cahaya pada wajah.

Ia mematikan hati sehingga hati akan sulit untuk menerima nasehat dan mau’idhoh, sedangkan akan menghilangkan pancaran cahaya pada wajah yakni bisa mengurangi bahkan menghilangkan wibawa yang ia miliki. Selain itu, seorang muslim juga harus mengetahui urgensi waktu sehingga tidak menghabiskan waktu hanya untuk bermain dan bercanda.

Keempat: Tidak mengandung hinaan & celaan. Seorang muslim harus berusaha menghindari canda yang sifatnya menghina, mencela atau merendahkan orang lain, atau menampakkan aib kekurangan orang lain dengan maksud untuk mengajak tertawa dan mencela. Allah Subhanahuwata’ala berfirman,

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olokkan kaum yang lain, boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok)dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita lain, boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olok) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah panggilan yang buruk sesudah beriman dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Hujurat: 11)

Kelima: Ada niat baik dalam bercanda. Seperti; Sikap meramahkan teman, menunjukkan kasih sayangnya kepada orang lain, meringankan diri, atau menghilangkan kebosanan dan kejenuhan.

Keenam: Memilih waktu & tempat yang tepat. Ada beberapa kondisi yang kurang tepat utuk dijadikan momentum bercanda apalagi untuk tertawa dan kesia-siaan semata, misalnya; Waktu-waktu sholat, ketika ziarah kubur, ketika mengingat kematian, ketika membaca Al-Qur’an, ketika bertemu dengan musuh dan tempat-tempat ilmu. Atau tempat dan kondisi yang membutuhkan keseriusan serta akan terganggu jika dilakukan dengan canda tawa.

Ketujuh: Tidak bercanda dalam hal nikah, talak & rujuk. Rasulullah SAW telang melarang bercanda dalam 3 hal, dan beliau menjelaskan bahwa meskipun ketiga-tiganya dilakukan dengan canda tetap saja dihukumi semestinya. Seperti suami yang menceraikan istrinya dengan niat canda, maka cerainya sah. Beliau bersabda,

ثَلاَثٌ جَدُّهُنَ جَدٌّ وَهَزْلُهُنَّ جَدٌّ: النِّكَاحُ وَالطَّلاَقُ وَالرَّجْعَةُ (أَيْ أَنْ يُرَاجِعَ الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ بَعْدَ أَنْ يُطَلِقَهَا)

Tiga perkara yang sungguh-sungguhnya dan main-mainnya dipandang sungguhan, yaitu nikah, talak dan rujuk.” (HR. At-Tirmidzi, menurut Abu Isa hadits ini hasan gharib)

Kedelapan: Jangan bercanda menggunakan barang yang tajam (senjata). Seorang muslim tidak sepatutnya menakut-nakuti saudaranya, apalagi menggunakan barang yang tajam, meskipun hal itu hanya bercanda. Karena bisa jadi ketika ia membawanya, syaithon membisikkan dan merayunya untuk bisa menyakiti sesame muslim. Nabi SAW bersabda,

مَنْ حَمَلَ عَلَيْنَا السِّلاَحَ فَلَيْسَ مِنَّا

Barang siapa yang menghunuskan senjata kepada kami, kaum muslimin, maka dia bukan bagian dari kami.

Di sisi lain, hal itu bisa mengundang permusuhan dan mengurangi rasa hormat antara keduanya.

Kesembilan: Jangan bercanda dalam urusan agama. Seorang muslim harus memuliakan agamanya dan mensucikan syiar-syiarnya, sehingga ia juga harus berhati-hati untuk bisa menjauhi canda yang kemungkinan bisa menjerumus pada isthza’ (penghinaan) terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala, para Malaikat-Nya, para Nabi-Nya, dan syiar-syiar Islam semuanya.

Canda Rasulullah SAW

وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنْهُ، قَالَ: قَالوُا: ياَ رَسُولَ الله! إِنكَ تُدَاعِبُناَ، قَالَ: ( نَعَمْ. غَيْرَ أَنِّي لاَ أَقُوْلُ إلاَّ حَقاً(.

Abu Hurairah RA menceritakan, “Para sahabat bertanya kepada Rasulullah SAW, “Wahai Rasulullah, apakah engkau juga bersenda gurau bersama kami?” Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam menjawab, “Tentu, hanya saja aku selalu berkata benar.” (HR. Ahmad).

Allah Ta’ala telah menghiasi kehidupan kita dengan hadirnya Rasulullah SAW; beliau adalah teladan yang baik, petunjuk beliau adalah sebaik-baik petunjuk, amalan beliau adalah sebaik-baik amalan, sampai canda beliaupun meninggalkan kesan yang baik bagi kita, sehingga kita patut meneladani dan mengikuti beliau.

Beliau turut bercanda, namun tawa beliau bermanfaat, canda beliau memiliki maksud, gurauan beliau mengandung hikmah dan nasehat.

Pada suatu saat, ketika Ali bin Abi Thalib masih kanak- kanak, pernah makan kurma bersama-sama Rasulullah. Setiap kali mereka makan sebuah kurma, biji- biji sisanya mereka sisihkan di tempatnya masing- masing. Beberapa saat kemudian, Ali menyadari bahwa dia memakan terlalu banyak kurma. Biji-biji kurma sisa mereka menumpuk lebih banyak di sisi Ali dibandingkan di sisi Rasulullah. Maka Ali pun secara diam- diam memindahkan biji-biji kurma tersebut ke sisi Rasulullah. Ali pun berkata,
“Wahai Nabi, engkau memakan kurma lebih banyak daripada aku. Lihatlah biji-biji kurma yang menumpuk di tempatmu.”

Nabi pun tertawa dan menjawab, “Ali, kamulah yang memakan lebih banyak kurma. Aku memakan kurma dan masih menyisakan biji-bijinya. Sedangkan engkau, memakan kurma berikut biji-bijinya.”

Kisah yang paling terkenal adalah seorang wanita tua yang bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, apakah wanita tua sepertiku ini layak masuk surga?” Rasulullah menjawab, “Wahai ibu, sesungguhnya di surga tidak ada perempuan tua.” Perempuan itu langsung menangis mengingat nasibnya. Kemudian Rasulullah mengutip salah satu firman Allah di surat Al Waaqi’ah ayat 35-37: “Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari) dengan langsung, dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan, penuh cinta lagi sebaya umurnya”. (Riwayat At Tirmidzi, hadist hasan)

Meskipun beliau juga humoris terhadap keluarga dan kaumnya, namun tetap dalam batasannya. Beliau tidak melampaui batas bila tertawa, beliau hanya tersenyum. Sebagaimana yang dikatakan ‘Aisyah Radhiallaahuanha, “Belum pernah aku melihat Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam tertawa terbahak-bahak hingga kelihatan anak lidah beliau. Namun beliau hanya tersenyum.” (Muttafaq ‘alaih)

Dengan adab-adab di atas, kita bisa lebih selektif memilih objek, tempat dan waktu untuk bergurau dan bercanda. Wallahua’lam.


[clip_image00741.jpg]




Peta lemah titik jiwa


Setiap manusia memiliki titik lemah yang berbeda-beda. Celah-celah jiwa yang bakal diobservasi oleh setan guna mencari jalan untuk menguasai hatinya. Setelah ditemukan, hasil diagnosa akan dijadikan acuan untuk membuat formulasi penyesatan.

Ada yang tidak mempan dengan minuman keras, tapi lemah menghadapi wanita, tapi ada pula yang sebaliknya. Ada yang kuat menahan godaan wanita, anti minuman keras, tapi lemah dalam menahan marah. Ada pula yang merupakan kombinasi dari dua kelemahan atau bahkan lebih. Sangat bervariasi. Jika diperinci, akan didapatkan list bermeter-meter panjangnya karena setiap manusia memiliki titik kelemahan atau kombinasi dari beberapa kelemahan hati dengan karakternya sendiri-sendiri. Namun begitu, celah paling lebarlah yang biasanya dijadikan fokus untuk menyuntikkan bisikan menyesatkan.

Titik-titik lemah tersebut dapat dikategorikan menjadi empat kategori didasarkan pada jenis-jenis dosa sebagai output yang dihasilkannya. Hal ini sebagaimana dipaparkan oleh Ibnul Qayim al Jauziyah dalam bukunya al Jawabul kafi,bahwa dosa akan terklasifikasi menjadi empat tipe ditinjau dari kategori motif dasarnya. Empat klasifikasi itu adalah; Dosa malikiyah, dosa syaithoniyah, dosa siba’iyah dan dosa bahimiyah.

Dosa malikiyah adalah dosa-dosa yang berawal dari kelemahan jiwa berkaitan dengan hal-hal yang sifatnya ke-maha-an. Kecenderungan hati pada perkara-perkara terkait kekuasaan, kesombongan,keinginan dipuja dan diagungkan, penghormatan yang bersifar hierarki atas-bawah, keinginan untuk mendominasi, atau menentang.

Outputnya adalah syirik. Baik syirik dalam bentuk menjadikan dirinya sebagai sesembahan selain Allah atau menjadikan yang lain sebagai sekutu bagi Allah. Ibnul Qayim memang tidak mencontohkan Firaun, namun Firaun sepertinya memang cocok menjadi salah satu contohnya. Keinginan untuk disembah, diagungkan membuatnya sesat dengan menuhankan diri sendiri. Para nabi palsu sepertinya juga termasuk golongan ini. Juga para pemimpin dan pejabat yang lalim, suka berebut kekuasaan, dan ingin agar dirinya atau hukumnya lebih ditaati daripada hukum Allah adalah spesies yang sama dengan Firaun.

Selanjutnya adalah dosa syaithoniyah. Jenis dosa yang bermula dari karakter buruk jiwa yang mirip dengan setan. Unsur-unsur yang menyusun sama dengan karakter dasar setan seperti; dengki, dusta dan suka menipu, khianat, culas, senang mengajak orang berbuat maksiat dan melakukan pelanggaran dan berbagai hal diluar tatanan juga bid’ah dan penyelewengan dalam agama.

Wujudnya adalah manusia-manusia yang tidak hanya senang melanggar,tapi juga mengajak orang lain untuk turut serta ‘menikmati’ pelanggaran. Barangkali mereka merasa ada yang kurang jika bermaksiat sendiri. Selain itu, jika semakin banyak yang ikut, kadangkala keburukan bisa dianggap hal yang wajar. Mereka pun tak perlu lagi merasa malu melakukannya.

Sebaliknya, terhadap orang-orang yang taat, kedengkian, olokan, celaan, dan hinaan adalah instrumen yang sering mereka jadikan alat pemuas diri. Bagi mereka, orang-orang taat adalah manusia-manusia sok suci yang suka menipu diri (maksudnya nafsu). Sebenarnya suka terhadap maksiat tapi pura-pura ogah dan benci.

Yang ketiga adalah dosa siba’iyah. Jenis dosa yang muncul dari sifat-sifat binatang buas yang ada di dalam jiwa. Permusuhan, amarah, dendam, kekejaman dan kesewenangan dalam berbagai wujudnya. Para pembunuh, preman dan psikopat adalah contoh penampakan manusianya. Muncul dari kekerasan hati dan watak, kesombongan serta minimnya rasa belas kasihan menjadikan pemiliknya menjadi serigala-serigala buas yang mengerikan.

Dan yang terakhir adalah dosa bahimiyah. Yaitu dosa-dosa yang bersifat kebinatangan. Berkisar antara nafsu perut dan yang dibawah perut. Nafsu perut dilayani dengan pemuasan terhadap mulutnya dengan berbagai macam cara; riba, mencuri, korupsi, jual-beli yang haram atau dengan cara haram dan mengambil harta orang dengan curang. Nafsu di bawah perut adalah teman setia yang akan muncul bersamaan atau setelah nafsu perut terpuaskan.

Dosa-dosa ini muncul dari lemahnya jiwa manusia dari sisi syahwat, kemalasan dan ketidak pedulian pada kehormatan diri, kebodohan, dan minimnya rasa malu. Wujudnya adalah orang-orang malas yang gemar makan, para pezina, pengumbar aurat, koruptor, pemakan riba dan manusia-manusia yang memilih makan yang haram daripada yang halal hanya karena khawatir miskin, sengsara dan turun statusnya di mata orang.

Begitulah. Meskipun masih ada dosa yang tidak disebutkan, tapi jika dirunut, hulunya muncul dari keempat klasifikasi ini. Atau bisa juga merupakan kombinasi dari dua atau bahkan keempatnya. Seorang pemimpin lalim tidak sedikit yang juga terkena skandal dengan wanita, penggelapan uang atau konspirasi pembunuhan rival.

Yang paling jahat memang yang pertama dan tidak semua orang bisa atau berpeluang melakukannya. Sedang yang paling rendah dan jamak adalah yang terakhir. Namun begitu, klasifikasi terakhir juga dapat menjadi penyebab seseorang sampai pada taraf klasisifkasi dosa pertama.

Nah sekarang, keempat klasifikasi ini dapat menjadi peta penunjuk, dimana posisi kita sebenarnya. Kelemahan hati kita dapat kita diagnosis dari keburukan-keburukan yang kita lakukan. Mengetahui kelemahan sangatlah penting bagi yang ingin menjadi kuat. Karena mengetahui kelemahan diri adalah separuh dari kekuatan itu sendiri. Maka, mari berintrospeksi. Wallhua’lam.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar