Powered By Blogger

Senin, 08 Agustus 2011

Kajian

Bersakit sakit dahulu, disiksa kemudian

[clip_image01041.jpg]
Selalu ada orang yang menjadi budak dari berbagai jenis kenikmatan, berlaku kufur terhadap Pemberi nikmat, lalu menggunakan nikmat untuk mendurhakai Sang Pemberi. Begitulah waktu abadi orang yang ingkar kepada Rabbnya. Dan karena ingkarnya, Allah pun telah menimpakan berbagai adzab di dunia kepada mereka, sebelum nantinya ada adzab yang lebih dahsyat di akhirat.

Yang Durhaka Kemudian Binasa

Seperti yang dialami kaum ‘Aad. Mereka adalah kaum yang dianugerahi oleh Allah berupa kekuatan jasad, umur yang panjang dan kekayaan yang melimpah. Akan tetapi nikmat yang semestinya dimanfaatkan untuk mengabdi kepada Allah, justru dipergunakan untuk memusuhi-Nya,

Dan itulah (kisah) kaum ‘Ad yang mengingkari tanda-tanda kekuasaan Rabb mereka, dan mendurhakai Rasul-rasul Allah dan mereka menuruti perintah semua Penguasa yang sewenang-wenang lagi menentang (kebenaran).” (QS. Huud: 59)

Diutusnya Huud atas mereka tidak disambut, melainkan dengan permusuhan. Ibnu Katsier menyebutkan riwayat dari Ibnu Ishaq, bahwa tatkala mereka berlaku kufur, maka Allah menahan turunnya hujan selama tiga tahun atas mereka. Hingga pada saat mereka melihat awan hitam yang menggelayut di langit, mereka bergembira dan menyangka bahwa itu pertanda hujan akan segera turun. Mereka bersorak kegirangan, “Inilah awan yang akan menurunkan hujan kepada kami”. Akan tetapi, Allah berfirman,

(Bukan!) bahkan Itulah azab yang kamu minta supaya datang dengan segera (yaitu) angin yang mengandung azab yang pedih. Yang menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Rabbnya.” (QS. al-Ahqaaf: 24-25)

Maka Allah tidak menyisakan mereka,

Adapun kaum ‘Aad Maka mereka telah dibinasakan dengan angin yang sangat dingin lagi amat kencang. Yang Allah menimpakan angin itu kepada mereka selama tujuh malam dan delapan hari terus menerus; Maka kamu Lihat kaum ‘Aad pada waktu itu mati bergelimpangan seakan-akan mereka tunggul pohon kurma yang telah kosong (lapuk).” (QS. al-Haaqah 6-7)

Kisah yang serupa juga dialami oleh kaum Tsamud, kaum Luth, Fir’aun dan bala tentaranya, juga Qarun yang ditenggelamkan ke perut bumi beserta seluruh hartanya. Ini membuka mata manusia sepanjang masa, bahwa pada akhirnya nasib tragis di dunia akan menimpa orang yang ingkar dan durhaka kepada Penciptanya.

Janji Siksa di Neraka

Selain mereka, ada pula kaum atau personal yang telah dijanjikan siksa di neraka lantaran ingkar dan durhaka. Seperti al-‘Ash bin Wa’il. Ibnu Abbas bercerita, ”suatu kali ia mengambil tulang dari sebidang tanah, lalu dia tenteng dengan tangannya. Ia menemui Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sembari berkata dengan sinis, “Apakah Allah akan menghidupkan orang ini setelah menjadi tulang belulang seperti ini?” Maka Nabi menjawab, “Ya, benar, Allah akan mematikan kamu, dan kelak Dia akan menghidupkan kamu lalu memasukkanmu ke dalam jahannam.” (HR al-Hakim)

Allah juga menjanjikan Abu Lahab dengan neraka lantaran kesombongan dan kekafirannya. Tatkala Nabi mengumpulkan orang-orang Quraisy untuk mendakwahi mereka, Abu Lahab memandang urusan itu terlalu sepele hingga para tokoh sekaliber dirinya diundang. Dengan sombongnya ia berkata, “tabban laka (yaa Muhammad), alihadza jama’tana?” Celakalah kamu wahai Muhammad, hanya untuk inikah kamu mengumpulkan kami?” (HR Bukhari)

Sebagai balasan atas kecongkakan dan celaan Abu Jahal tersebut, turunlah firman Allah, “Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan Sesungguhnya Dia akan binasa. Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan. Kelak Dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak”…dan seterusnya.

Ini sebagai balasan yang setimpal atas perbuatannya. Sebagaimana kaidah, “fakaifa tadiinu tudaanu”, Sebagaimana kamu berbuat, maka seperti itu pula kamu akan diperlakukan. Orang yang berlaku zhalim dan fajir akan merasakan pedihnya balasan siksa atas mereka.

Tersiksa Meski Bergelimang dengan Dunia

Yang seringkali luput dari pengetahuan dan penghayatan kaum muslimin adalah siksa dunia atas para pendurhaka. Hakikatnya, siksa yang menimpa orang yang fajir itu tak sebatas nasib tragis mereka di akhir hayat, atau sebatas siksa di akhirat saja. Jauh sebelum itu, tatkala mereka mengikuti selera nafsunya, ingkar dan membangkang kepada Penciptanya, sebenarnya siksa telah mereka rasakan pedihnya. Ibnu Qayyim al-Jauziyah berkata tatkala menafsirkan firman Allah,

Dan Sesungguhnya orang-orang yang durhaka benar-benar berada dalam ‘jahim.” (QS. al-Infithar: 14)

”Jangan Anda sangka bahwa bahwa balasan ini hanya berlaku untuk penderitaan (jahim) di akhirat saja, bahkan di tiga alam; di alam dunia, alam barzakh dan alam akhirat.”

Sekilas, mungkin tampak sulit dipahami, bagaimana mereka dikatakan sengsara dan menderita sementara kita menyaksikan sebagian mereka bergelimang dengan harta dan memperturutkan hawa nafsunya?

Namun, hakikatnya tidaklah sulit untuk dipahami, sebagaimana pula kita meyakini kebenaran firman Allah Ta’ala,

Maka janganlah harta benda dan anak-anak mereka menarik hatimu. Sesungguhnya Allah menghendaki dengan (memberi) harta benda dan anak-anak itu untuk menyiksa mereka dalam kehidupan di dunia,” (QS. at-Taubah: 99)

Ibnul Qayyim al-Jauziyah mengatakan, ”Siksa atas mereka itu adalah sesuatu yang bisa disaksikan. Siksa bagi para pemburu dunia, yang menggandrunginya dan lebih mengutamakan dunia dibanding akhirat adalah ambisi mereka untuk mendapatkan dunia, jerih payah mereka untuk mengumpulkannya, dan mereka didera oleh berbagai kesulitan untuk itu. Maka Anda tidak akan mendapatkan orang yang lebih lelah dari orang yang menjadikan dunia sebagai obsesi terbesarnya.”

Keadaan mereka seperti yang digambarkan sebagaian salaf, ”Barangsiapa yang menggandrungi dunia, maka tiga musibah akan menimpanya; kegelisahan yang sudah pasti, kelelahan tanpa henti dan penyesalan tak terperi.”

Gelisah untuk bersegara mendapatkan keinginannya dan gelisah karena sesuatu yang diinginkan menjadi milik orang lain. Tak ada orang yang lebih parah sifat dengkinya dari orang yang hanya mengutamakan dunia. Makin kuat ambisinya, makin kronis kedengkian yang menyengsarakan hatinya. Karena dia ingin memiliki segalanya, hal yang mustahil untuk diraihnya. Allah menjadikan bayang-bayang kefakiran selalu di pelupuk mata mereka, tidak pernah rasa puas menyapa mereka. Besarnya ambisi untuk memburu kenikmatan yang belum diraih melupakan mereka untuk menikmati hasil yang telah didapatnya. Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda,

وَمَنْ كَانَتِ الدُّنْيَا هَمَّهُ جَعَلَ اللَّهُ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ

”Dan barangsiapa menjadikan dunia sebagai obsesinya, maka Allah akan menjadikan (bayang-bayang) kefakiran berada di pelupuk matanya.” (HR Tirmidzi)

Adapun siksa berupa kelelahan dan keletihan sudah pasti. Seluruh raga, hati dan pikiran akan terforsir hanya untuk memperebutkan kenikmatan dunia semata. Sesekali merancang intrik, membuat makar dan bersiasat untuk menjatuhkan dunia orang lain, atau merebutnya dari tangan mereka. Sesekali juga harus mengorbankan segalanya untuk sebuah kehormatan duniawi yang semu.

Bersusah dahulu di Dunia, Lalu Tersiksa di Neraka

Setelah bersusah payah dan lelah dalam memburu dunia, ada yang kemudian berhasil meraih impiannya, ada pula yang gagal mendapatkannya. Namun keduanya sama saja bagi orang yang durhaka, semua berpotensi derita bagi mereka. Ibnul Qayyim RHM berkata, ”Barangsiapa yang mencintai sesuatu selain Allah, maka ia akan merasakan pedihnya derita. Baik dia mendapatkan apa yang ia cintai ataupun tidak. Jika ia tidak bisa meraihnya, maka dia tersiksa lantaran tak bisa memilikinya, penderitaannnya sesuai dengan kadar ketergantungan hati terhadapnya. Dan jika apa yang dia inginkan tercapai, maka dia merasakan deritanya pada saat bersusah payah sebelum mendapatkannya, kekhawatiran setelah mendapatkannya, dan penyesalan setelah sesuatu itu hilang darinya.”

Ini seperti yang diungkapkan penyair Arab, ”Siapakah yang lebih tersiksa dari orang yang mencintai (dunia). Meski nafsu mendapatkan manisnya rasa, kau lihat dirinya selalu menyeka air mata. Karena takut akan berpisah darinya, atau karena rindu ingin segera bersua.”

Tidak disangkal, orang mukmin juga mengalami sebagian yang mereka rasakan, berupa keletihan dan kesusahan. Bedanya, setiap kelelahan yang menimpa seorang mukmin bersamaan dengan bergugurannya beban dosa di pundaknya, ia pun menjadi lega. Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda,

مَا يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلاَ وَصَبٍ وَلاَ هَمٍّ وَلاَ حُزْنٍ وَلاَ أَذًى وَلاَ غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا ، إِلاَّ كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ

”Tiada sesuatupun yang menimpa seorang muslim berupa kelelahan, rasa sakit, kegelisahan, kesedihan dan kesusahan, hingga duri yang mengenai dirinya, melainkan dengannya Allah akan menghapuskan kesalahan-kesalahannya.” (HR Bukhari)

Berbeda dengan orang kafir yang tidak memiliki pengharapan kepada Allah, keletihannya adalah siksa, ’titik’. Kalaupun masih ada ’koma’, maka kalimat berikut berisi keletihan dan kepayahan yang lebih berat di neraka. Bersakit-sakit di dunia, disiksa kemudian di neraka. Nas’alullahal ’aafiyah.





kewajiban menjauhi thaghut


“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thagut.”(QS. An Nahl;36).

Ayat ini merupakan dalil yang jelas bahwa para rasul diutus kepada semua umat manusia dan agama yang dibawa para rasul hanya satu. Ayat ini juga menunjukkan keagungan tauhid yang telah diwajibkan terhadap setiap umat. Allah mewajibkan semua hamba agar mengingkari thaghut dan beriman hanya dengan Allah. Karena tidak akan sempurna tauhid seorang hamba kecuali dengan hal itu.

Ibnu Qayyim RHM berkata, “Thaghut adalah perbuatan hamba yang melampui batas, baik berupa sesembahan, yang diikuti atau yang ditaati. Definisi ini adalah perkataan Ibnu Qayyim RHM dalam kitab I’lamul Muwaqi’in: I/50. Beliau mendefinisikan thaghut dengan definisi yang bagus. Kata thaghut adalah pecahan dari kata tughyan yang artinya melampui batas. Setiap sesuatu yang melampui batas yang telah ditetapkan disebut thaghut, di antaranya adalah firman Allah:

إِنَّا لَمَّا طَغَا الْمَآءُ حَمَلْنَاكُمْ فِي الْجَارِيَةِ

“Sesungguhnya Kami, tatkala air telah naik (sampai ke gunung) Kami bawa (nenek moyang) kamu, ke dalam bahtera.” (QS. Al Haqqah; 11).

Dalam bahasa Arab susunan kata thaghut termasuk timbangan kata yang bermakna hiperbolis seperti jabaruut dan malakuut. Adapun definisininya sebagaimana yang telah dikatakan oleh Ibnul Qayyim RHM (1. perbuatan hamba yang melampui batas). Yaitu seorang hamba yang melewati ketetapan yang seharusnya ia lakukan dalam syariat maka ia dikatakan thaghut. Berupa sesembahan: Melewati batas dengan menyembah seorang insan, barangsiapa ditujukan untuknya salah satu dari jenis ibadah dan ia dia rela diperlakukan seperti itu maka orang tersebut adalah thaghut. Karena ia telah melampaui batasan yang telah ditetapkan oleh syariat. Dan batasan untuknya di dalam syariat yaitu sebagai penyembah Allah Ta’ala bukan orang yang disembah. Jika ia ridha dengan perlakuan seperti itu, berarti ia adalah seorang yang melampaui batas. (2. atau yang diikuti) termasuk di dalamnya paranormal dan tukang sihir yang perkataan mereka selalu diikuti. Termasuk juga ulama suu’ (jelek) yang mengajak kepada kekafiran, kesesatan, kepada bid’ah atau yang membujuk pemerintah untuk keluar dari syariat Islam dan menggantinya dengan sistem yang dibuat oleh manusia. Mereka ini dikatakan thaghut karena telah melampaui batasnya. Yakni melampaui batas dalam posisi sebagai orang yang diikuti. (3. atau yang di taati) termasuk di dalamnya para pemimpin dan pemerintah yang tidak mentaati Allah SWT, yang mengharamkan apa yang dihalalkan Allah dan menghalalkan apa yang diharamkan Allah. Dengan makna ini mereka dikatakan thaghut. Mereka telah melampaui batasannya karena telah membiarkan dirinya untuk ditaati dalam perkara yang dilarang Allah. Demikianlah makna dari definisi yang telah disebutkan oleh Ibnu Qayyim RHM.

Jika diukur dari definisi Ibnul Qayyim maka jelaslah bahwa thaghut itu banyak macamnya. Karena setiap yang disembah dan yang ditaati (dengan cara melampaui batas) dikatakan thaghut. Namun dari hasil pengamatan dan penelitian dapat ditetapkan bahwa intinya ada lima, dan yang lainnya merupakan cabang dari yang lima ini.

Gembongnya adalah lima: Pertama, Iblis. Karena ia adalah penyeru untuk beribadah kepada selain Allah. Ia adalah thaghut nomor satu. Firman Allah :

أَلَمْ أَعْهَدْ إِلَيْكُمْ يَابَنِي ءَادَمَ أَن لاَّتَعْبُدُوا الشَّيْطَانَ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ

Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu hai Bani Adam supaya kamu tidak menyembah syaitan? Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagi kamu.” (QS. Yasin; 30).

Yang dimaksud dengan menyembah setan adalah mentaatinya. Maka termasuklah di dalamnya semua bentuk kekufuran dan kedurhakaan, semua itu tergolong mentaati setan dan menyembahnya.

Kedua, orang yang rela untuk disembah atau bertawasul dengannya dan memberikan untuknya salah satu dari jenis ibadah lalu ia rela diperlakukan seperti itu maka orang tersebut adalah thaghut sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah SWT:

وَمَن يَقُلْ مِنْهُمْ إِنِّي إِلَهٌ مِّن دُونِهِ فَذَلِكَ نَجْزِيهِ جَهَنَّمَ كَذَلِكَ نَجْزِي الظَّالِمِينَ

Dan barangsiapa diantara mereka mengatakan: “Sesungguhnya aku adalah ilah selain daripada Allah”, maka orang itu Kami beri balasan dengan Jahanam, demikian Kami memberi balasan kepada orang-oramg zhalim.” (QS. Al Anbiya’;29)

Ketiga, seorang yang mengajak manusia untuk menyembah dirinya. Yaitu mereka yang mengajak orang lain untuk menyembah dirinya. Hal ini sesuai dengan kondisi sebahagian guru-guru sufi yang sesat dan lainnya. Mereka menyetujui sikap berlebihan yang diberikan kepada mereka dan suka dengan pengagungan manusia terhadap mereka.

Keempat, seorang yang mengaku mengetahui perkara ghaib. Mereka seperti ahli nujum, tukang-tukang ramal yang mengaku mengetahui tentang perkara ghaib. Allah SWT berfirman:

“(Dia adalah Rabb) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya.” (QS. Al Jin-26-27).

Firman Allah SWT:

“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri.” (QS. Al An’am;59)

Tidak ada yang mengetahui ilmu ghaib kecuali Allah Ta’ala dan para nabi dan rasul yang telah diberi wahyu oleh Allah tentangnya.

Kelima. Orang yang berhukum dengan selain hukum. Karena Allah SWT berfirman:

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآأَنزَلَ اللهُ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

Barang siapa yang tidak berhukum menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-oarng yang kafir. (QS. Al Midah;44)

Pada ayat kedua disebutkan:

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآأَنزَلَ اللهُ فَأُوْلاَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

Barang siapa yang tidak berhukum menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zhalim. (QS. Al Maidah; 45)

Dan pada ayat ketiga disebutkan:

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآأَنزَلَ اللهُ فَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

Barang siapa yang tidak berhukum menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.(QS. Al Maidah;47)

Apakah sifat yang disebutkan di atas tersebut adalah sifat untuk beberapa orang ataukah untuk satu orang? Atau dua sifat yang berbeda? Para ulama berpendapat apakah sifat tersebut hanya untuk satu orang, yakni seorang yang tidak berhukum dengan hukum yang diturunkan Allah maka orang tersebut disebut kafir, zhalim dan fasik sesuai kondisi orang tersebut. Berhukum kepada selain hukum Allah bila ditinjau dari keingkarannya terhadap syariat Allah maka orang tersebut kafir. Jika ditinjau dari pelanggarannya terhadap hak-hak manusia dan kezhalimannya terhadap hak-hak Allah Ta’ala dalam menetapkan syariat, maka orang tersebut zhalim, karena zhalim adalah menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya. Dari sisi ini, ia telah keluar dari syariat Allah dan ia dikatakan fasik. Karena fasik artinya khuruj (keluar). Dan tiga sifat ini juga dapat dikatakan untuk satu orang. Allah SWT berfirman: وَالْكَافِرُونَ هُمُ الظَّالِمُونَ artinya dan orang-orang kafir itu adalah orang zhalim. Yaitu orang kafir disebut juga orang zhalim. Firman Allah SWT:

إِنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللهِ وَرَسُولِهِ وَمَاتُوا وَهُمْ فَاسِقُونَ

“Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik.”(QS. At-Taubah: 84)

Kekafiran mereka disebut fasik. Terkadang seseorang dikatakan kafir, zhalim dan fasik, karena Allah Ta’ala menyebutkan orang-orang kafir dengan sebutan zhalim dan fasik.

Sebagian ulama berpendapat bahwa sifat-sifat ini ditujukan untuk dua jenis orang, sesuai dengan pendorong yang membawanya untuk berhukum dengan selain hukum Allah. Jika ia berhukum dengan selain hukum Allah karena yakin bahwa hukumnya lebih sesuai atau hukumnya sederajat dengan hukum Allah Ta’ala maka orang tersebut kafir keluar dari agama Islam. Adapun jika ia berhukum dengan selain hukum Allah dengan tidak memandangnya remeh dan tidak berkeyakinan bahwa selain hukum Allah itu lebih baik, maka orang tersebut disebut zhalim. Dan jika ia berhukum dengan selain hukum Allah dan berkeyakinan bahwa hukum Allahlah yang paling bermanfaat dan yang sesuai, sedang hukum yang lain tidak ada kebaikan di dalamnya, tapi ia tetap berhukum dengan selain hukum Allah karena mempertahankan pemerintahannya atau karena mendapat suapan dan yang semisalnya, maka orang ini disebut dikatakan fasik. Dengan pendapat ini maka sifat-sifat tersebut disesuaikan dengan sebab yang mendorong orang tersebut untuk berhukum dengan selain hukum Allah.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar