![[Gambar+gambar+Islami+Kuasa+Allah+Kumpulan+Lukisan+Kaligrafi+Islam+Ciptaan+Illahi+Koleksi+Lengkap+Picture.jpg]](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhRDy4cGt4LnJBQgeWbk6RYtSOezlISTz9UfheMkVvQ4ruHdVfXMYd4B1F0fdUt19jvaQOeeZPHNbvKXm-ZwRjT81B9T4-gtkWgMJV2rpBAUSXCzxGEj-cDgSDY4o3M1Qf19SsDauGiZif0/s1600/Gambar+gambar+Islami+Kuasa+Allah+Kumpulan+Lukisan+Kaligrafi+Islam+Ciptaan+Illahi+Koleksi+Lengkap+Picture.jpg)
BERCANDALAH TAPI JANGAN MEMPEROLOK OLOK SYARIAH
SETIAP etiap orang tentu butuh suasana rileks dan santai untuk  mengendorkan urat syaraf, menghilangkan rasa pegal dan capek sehabis  bekerja. Dari sini diharapkan badan kembali segar, mental stabil,  semangat bekerja tumbuh kembali, sehingga produktifitas semakin  meningkat.
Suasana seperti ini diantaranya bisa dinikmati  melalui bercanda atau berkelakar bersama orang lain.  Berkelakar atau  bercanda itu sedniri sudah menjadi  hal lumrah yang dilakukan manusia.  Bahkan, kadang sudah menjadi semacam ‘bumbu’ dalam setiap pembicaraan.  Namun, adakalanya kita menemui seseorang yang berlebihan dalam bercanda  dan tertawa. Tentang hal ini Islam telah mengatur bagaimana sehasrunya  bercanda yang baik itu sesuai dengan tuntutan Rasulullah shallallaahu  ‘alaihi wasallam.
Dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa  Rasulullah sering mengajak istri dan para sahabatnya bercanda dan  bersenda gurau untuk mengambil hati serta membuat mereka gembira. Namun  canda beliau tidak berlebihan, tetap ada batasnya. Bila tertawa, beliau  tidak melampaui batas tetapi hanya tersenyum. Begitu pula dalam  bercanda, beliau tidak berkata kecuali yang benar. Sebagaimana yang  diriwayatkan dalam beberapa hadits yang menceritakan seputar bercandanya  Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seperti hadits dari ‘Aisyah  radhiyallahu ‘anha, “Aku belum pernah melihat Rasullullah tertawa terbahak-bahak hingga kelihatan amandelnya, namun beliau hanya tersenyum.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu pun menceritakan, para sahabat bertanya kepada Rasulullah, “Wahai,  Rasullullah! Apakah engkau juga bersendau gurau bersama kami?” Maka  Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab dengan sabdanya,  “Betul, hanya saja aku selalu berkata benar.” (HR. Imam Ahmad)
Adapun  contoh bercandanya Rasulullah adalah ketika beliau bercanda dengan  salah satu dari kedua cucunya yaitu Al-Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhu.  Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menceritakan, “Rasulullah pernah  menjulurkan lidahnya bercanda dengan Al-Hasan bin Ali radhiyallahu  ‘anhu. Ia pun melihat merah lidah beliau, lalu ia segera menghambur  menuju beliau dengan riang gembira.” (Lihat Silsilah Ahadits Shahihah, no hadits 70)
Pada suatu ketika beliau bercanda dengan seorang sahabat dengan memanggil:  “Hai yang mempunyai dua telinga “ (HR. Tirmidzi, Abu Dawud dan Ahmad)
Rasulullah SAW juga pernah bergurau dengan nenek-nenek tua yang datang  pada beliau dan berkata, "Doakan aku kepada Allah agar Allah memasukkan aku ke surga."
Maka Nabi SAW berkata kepadanya, "Wahai Ummu Fulan! Sesungguhnya surga itu tidak dimasuki orang yang sudah tua."
Si wanita tua itu pun menangis tersedu-sedu, karena ia memahami apa adanya.
Kemudian  Rasulullah SAW memberi pemahaman,  bahwa ketika dia masuk surga, tidak  akan masuk surga sebagai orang yang sudah tua, tetapi semua berubah  menjadi muda belia dan cantik.  Beliau kemudian membaca ayat yang  berbunyi; “Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari itu) dengan langsung. Dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan.“ (Al-Waaqi’ah : 35-36).
Dari Anas radliyallaahu ‘anhu diriwayatkan bahwa ada seorang laki-laki menemui Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam dan berkata: “Wahai  Rasulullah, bawalah aku jalan-jalan”. Beliau berkata : “Kami akan  membawamu berjalan-jalan menaiki anak unta”. Laki-laki itu pun menukas :  “Apa yang bisa kuperbuat dengan anak unta?”. Beliau berkata : “Bukankah  setiap unta adalah anak ibunya?”. (HR. Abu Dawud)
Adab Bercanda Sesuai Syariat
1. Meluruskan tujuan yaitu bercanda untuk menghilangkan kepenatan, rasa  bosan dan lesu, serta menyegarkan suasana dengan canda yang dibolehkan.  Sehingga kita bisa memperoleh semangat baru dalam melakukan hal-hal  yang bermanfaat.
2. Tidak melewati batas. Sebagian  orang sering berlebihan dalam bercanda hingga melanggar norma-norma.  Terlalu banyak bercanda akan menjatuhkan wibawa seseorang.
3. Janganlah bercanda jangan mengandung asma Allah, ayat-ayat-Nya, sunnah rasul-Nya apalagi dengan maksud melecehkan Syariat Islam. Allah berfirman tentang orang-orang yang memperolok-olok sahabat Nabi dan ahli baca al-Qur'an yang artinya: "dan  jangan kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan),  tentulah mereka menjawab,"sesungguh nya kami hanyalah bersenda gurau dan  bermain-main saja." katakanlah," apakah dengan Allah, ayat0ayat-Nya dan  Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?" tidak usah kamu minta maaf, karena  kamu kafir sesudah beriman." (At- taubah 65-66)
4. Janganlah mengandung dusta maupun mengada-ada. Rasulullah SAW bersabda: "Celakalah bagi orang yang berbicara lalu berdusta supaya dangannya orang banyak jadi tertawa. Celakalah baginya dan celakalah." (HR.Ahmad dan dinilai hasan oleh Al-albani)
5. Tidak bercanda dengan orang yang tidak suka bercanda. Terkadang  ada orang yang bercanda dengan seseorang yang tidak suka bercanda, atau  tidak suka dengan canda orang tersebut. Hal itu akan menimbulkan akibat  buruk. Oleh karena itu, lihatlah dengan siapa kita hendak bercanda.
6. Tidak bercanda dalam perkara-perkara yang serius. Seperti dalam majelis penguasa, majelis ilmu, majelis hakim (pengadilan-ed), ketika memberikan persaksian dan lain sebagainya.
7.  Hindari bercanda yang dilarang Allah Azza Wa Jalla seperti  menakut-nakuti orang lain, berdusta saat bercanda, melecehkan orang  lain, dan memfitnah dengan  bercanda.
8. Hindari bercanda dengan aksi atau kata-kata yang buruk. Allah telah berfirman, yang artinya, “Dan  katakanlah kepada hamba-hamba-Ku, hendaklah mereka mengucapkan  perkataan yang lebih baik (benar). Sesungguhnya setan itu menimbulkan  perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya setan adalah musuh yang  nyata bagi kalian.” (QS. Al-Isra’: 53)
8. Tidak banyak tertawa. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan agar tidak banyak tertawa, “Janganlah kalian banyak tertawa. Sesungguhnya banyak tertawa dapat mematikan hati.” (HR. Ibnu Majah)
Demikianlah  mengenai batasan-batasan dalam bercanda yang diperbolehkan dalam  syariat. Semoga setiap kata, perbuatan, tingkah laku dan akhlak kita  mendapatkan ridlo dari Allah, pun dalam masalah bercanda.*
MENJADI TETANGGA YANG BAIK TERMASUK TANDA IMAN
SALAH satu karateristik Islam adalah menjaga adab kepada Allah SWT sekaligus adab kepada sesama manusia. Adab kepada-Nya dengan percaya dan beribadah. Sedang adab kepada manusia adalah memenuhi hak-hak yang mesti diberikan kepada mereka. Dua-duanya adalah kewajiban yang sifatnya hierarkis.
Berbuat kepada manusia, akan tetapi meninggalkan shalat misalnya bukan karakter Islam. Begitu pula, menyembah kepada Allah akan tetapi berbuat buruk kepada tetangga, adalah bukan karakter muslim bertauhid.
Artinya, seseorang yang bertauhid, mesti berbuat baik kepada manusia. Jika pun akhlaknya buruk, maka ia belum menjadi muslim bertahid yang ideal. Sebaliknya, berbuat baik kepada sesama juga mesti didasari dengan tauhid, keimanan, bukan yang lainnya. Inilah yang disebut muslim yang baik.
Begitu pula, dalam etika bertetangga. Bahkan etika ini menjadi perhatian khusus oleh Rasulullah SAW. “Tidak henti-hentinya Jibril memberikan wasiat kepadaku supaya berbuat baik kepada tetangga, sehingga saya menyangka seolah-olah Jibril akan memasukkan tetangga sebagai ahli waris -yakni dapat menjadi ahli waris dan tetangganya.” (HR. Bukhari Muslim).
Hadis tersebut menunjukkan betapa, malaikat Jibril berulang kali mengingatkan Nabi Muhammad SAW untuk memperhatikan tetangga.
Wasiat Jibril kepada Rasulullah SAW sesungguhnya pemberian pelajaran yang diperuntukkan kepada umat Rasulullah SAW. Memang, perkara dengan tetangga sering memicu konflik antar saudara sesama muslim. Inilah barangkali yang menjadi perhatian, agar ukhuwah tidak retak.
Ukhuwah itu paling kecil dimulai dari keluarga, kemudian tetangga. Jika unsur ini retak, maka persaudaraan sesama manusia lain mudah dipatahkan. Unsur tetangga menjadi peran sentral dalam menjaga keharmonisan bermasyarakat.
Makanya, jika kita meretakkan unsur ini berarti kita ikut andil  meruntuhkan persaudaraan. Padahal kerusuhan masyarakat tidak diinginkan  oleh Islam.
Sehigga berbuat baik kepada tetangga dimasukkan ke dalam salah satu tanda keimanan seseorang. Allah SWT berfirman: "Dan  sembahlah Allah serta jangan menyekutukan sesuatu denganNya. Juga  berbuat baiklah kepada kedua orang tua, kerabat, anak-anak yatim,  orang-orang miskin, tetangga yang dekat, tetangga yang jauh, teman  seperjalanan, sepekerjaan, sesekolah dan lain-lain - orang yang dalam  perjalanan dan - lalu kehabisan bekal -hamba sahaya yang menjadi milik  tangan kananmu."  (QS. al-Nisa':36).
Dalam ayat itu, setelah larangan untuk menyekutukan-Nya, Allah SWT memerintahkan berbuat baik kepada tetangga, orang tua, kerabat dan kepada manusia lainnya. Pengaitan ini bukan tanpa maksud atau tujuan.
Maksud Allah SWT adalah adab terhadap tetangga, orang tua atau kerabat begitu penting dalam membentuk karakter muslim beriman.
Sejumlah hadis menegaskan perintah Allah SWT dalam ayat itu. Misalnya, dari Abu Hurairah r.a. bahawasanya Nabi s.a.w. bersabda: "Demi Allah, tidaklah beriman; demi Allah, tidaklah beriman; demi Allah, tidaklah beriman!" Beliau s.a.w. ditanya: "Siapakah, ya Rasulullah." Beliau s.a.w. menjawab: "Yaitu orang yang tetangganya tidak aman akan kejahatannya - tipuannya." (HR. Bukhari Muslim).
Dalam riwayat lain Abu Hurairah juga menyampaikan sabdanya: "Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah menyakiti tetangganya - baik dengan kata-kata atau perbuatan. Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah memuliakan tetangganya dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah berkata yang baik atau - kalau tidak dapat berkata baik - maka hendaklah berdiam saja - yakni jangan malahan berkata yang tidak baik." (HR. Bukhari).
"Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah berbuat baik kepada tetangganya." (HR. Abu Syuraih al-Khuza'i). Semua hadis Nabi tersebut menunjukkan urutan kebaikan di atas adalah, setelah bertauhid, maka urutan berikutnya adalah membangun perilaku sosial yang baik. Jadi, keshalihan itu tidak dipersempat pada urusan prifat, tapi juga Islam mengajarkan keshalihan secara menyeluruh, di setiap aspek kehidupan.
Oleh sebab itu, penting bagi setiap muslim untuk mengetahui adab bertetangga, untuk diamalkan. Di antaranya:
Pertama, Tidak berkata, berbuat atau berprasangka yang tidak baik. Kalau mengeluarkan kata-kata yang baik, itulah yang sebagus-bagusnya untuk dijadikan bahan percakapan. Tetapi jika tidak dapat berbuat sedemikian, lebih baik berdiam diri saja.Rasulullah SAW pernah ditanya: Wahai Rasulullah, si fulanah sering melaksanakan shalat di tengah Rasulullah menjawab: ”Tidak ada kebaikan di dalamnya dan dia adalah penduduk neraka”.(HR. Bukhari).
Kedua, Berbagai makanan secukupnya, jika kita memiliki makanan lebih. Dari Abu Zar r.a., katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda: "Hai Abu Zar, jikalau engkau memasak kuah, maka perbanyaklah airnya dan saling berjanjilah dengan tetangga-tetanggamu - untuk saling beri-memberikan." (HR. Muslim). Jika pun rizki itu tidak cukup dibagikan untuk tetangga, maka jangan sampai bau makanannya sampai kepada tetangga. Jangan sampi pula tetangga kelaparan sedangkan kita kenyang.
Rasulullah SAW bersabda: ”Seseorang yang beriman tidak akan kekenyangan sedangkan tetangganya dalam keadaan lapar.” (HR. Bukhari).
Ketiga, Menjaga Tetangga. Rasulullah SAW member peringatan keras agar tidak menganggu tetangga. “Demi Allah, tidaklah beriman; demi Allah, tidaklah beriman; demi Allah, tidaklah beriman!" Beliau s.a.w. ditanya: "Siapakah, ya Rasulullah." Beliau s.a.w. menjawab: "Yaitu orang yang tetangganya tidak aman akan kejahatannya – tipuannya.” (HR. Bukhari).
Keempat, Menyapa, berprilaku baik dan sopan. Jika tetangga membutuhkan sesuatu untuk dirinya, kita jangan menghalanginya. Seperti yang pernah disabdakan Rasulullah SAW: "Janganlah seseorang tetangga itu melarang tetangganya yang lain untuk menancapkan kayu di dindingnya -untuk pengukuh atap dan lain-lain.” (HR. Bukhari).
Semua hadis Nabi dan etika seperit tersebut di atas menunjukkan urutan kebaikan. Yiatu setelah bertauhid, maka urutan kebaikan berikutnya adalah membangun perilaku sosial yang baik. Jadi, keshalihan itu tidak dipersempat pada urusan privat, tapi juga Islam mengajarkan keshalihan secara menyeluruh, di setiap aspek kehidupan. Dan kebaikan tetangga merupakan pilar utama untuk menjaga keutuhan ukhuwah. Wallahu a’lam bisshawab.*LIMA DOA REFORMASI DAN BERBENAH DIRI
TIAP bulan Mei rakyat Indonesia memperingati tonggak perubahan dari sistem totaliter dan otoriter menuju sistem kebebasan serta keterbukaan, perubahan dari era Orde Baru menuju era Reformasi. Setelah tiga dekade lebih hidup dalam keterbatasan akses informasi, politik, dan menyampaikan pendapat, kini semunya bisa menghidup udara kebebasan meski belakangan, kebebasan ini disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab. Semuanya berteriak lantang “Reformasi Total”.
Dalam Kamus Inggris-Indonesia oleh John M Elchos dan Hasan Syadiliy, reformasi yang memang berasal dari bahasa Inggris, reformation, berarti penyusunan kembali. Jika kita padankan dengan bahasa Arab, kita temukan islah yang bermakna memperbaiki.
Kata islah berasal dari akar kata aslaha-yuslihu. Secara singkat, kata ini jika ditambah dengan kata-kata tertentu akan mempunyai makna khusus. Jika ditambah dengan asy-sya`iu (sesuatu) artinya memperbaiki; jika ditambah dengan ilaihi (kepadanya) artinya berbuat/bersikap baik; jika ditambah dengan hu (nya) berarti membenarkannya, mengkoreksinya, memperindah, atau membuatnya lebih indah; jika ditambahkan dengan baynahum (di antara mereka) artinya, mendamaikan, menyatukan.
Dari keterangan di atas jelaslah bagi kita semua, beragam makna kata  reformasi (islah) mesti mengilhami dan menginspirasi kita. Bagaimana  bentuknya? Reformasi adalah merubah dari  perbuatan yang merusak menjadi  memperbaiki; merubah sikap jahat kita menjadi baik; merubah dari  membiarkan bangsa kita dan saudara sesama muslim berlumur kedzaliman  kepada sikap berani mengkritisi dan menasehati mereka yang berbuat  demikian; merubah diri kita dari bercerai-berai dan berpecah-belah  menuju sikap persatuan dan perdamaian; dari kufur nikmat menjadi syukur;  dari malas menuju rajin.
Inilah makna reformasi yang harus kita  hayati dengan seluruh kerendahan hati. Mewujudkan reformasi dalam diri  orang yang beriman haruslah dibarengi dengan doa. Kalau kita mengkaji  lebih jauh padanan reformasi dengan kata ishlah, sesungguhnya akan kita  temukan arahan “doa reformasi” yang disampaikan oleh Nabi Muhammad saw  nun jauh sebelum gembar-gembor pekikan reformasi.
Kita buka Kitab Shahih Muslim bab Adz-Dzikr wa Ad-du`a wa At-Taubah, kita temukan doa nabi di dalamnya:
“Ya  Allah, perbaikilah bagiku agamaku dimana ia adalah pelindung segala  urusanku, perbaikilah (kehidupan) duniaku yang di dalamnya aku hidup,  perbaikilah (kehidupan) akhiratku yang menjadi tempat kembaliku,  jadikanlah kehidupan (dunia ini) sebagai penambah setiap amal kebaikan  bagiku, dan jadikanlah kematian sebagai istirahat bagiku dari segala  kejahatan.” (HR. Muslim)
Alangkah indahnya doa ini. Ia bukan  sekadar doa juga acuan bagi tiap orang beriman agar selalu berbenah  diri dalam segala aspek, khusunya dalam lima aspek seperti disinggung  dalam doa tadi.
Pertama, reformasi agama. Tentu  yang dimaksudkan di sini bukan mereformasi agama Islam yang telah  sempurna namun titik tekannya kepada reformasi atas penghayatan dan  pengamalan kehidupan, serta pemahaman tentang Islam.
Bukankah  banyak tantangan yang membelit bangsa kita khususnya dan kaum Muslim  pada umumnya mulai dari Krisis Ekonomi (Krismi), Krisis Iman (Krisman),  Krisis Akhlaq (Krislaq), Krisis Ibadah (Krisdah). Maka hendaknya kita  menghadapi dengan landasan nilai-nilai moral agama.
Kedua, reformasi  kehidupan dunia. Hidup di dunia hanyalah untuk beberapa waktu.  Manfaatkan dengan sebaik-baiknya. Gunakan kesempatan yang ada dengan  memperbanyak investasi dan donasi pahala agar kelak kita hidup bahagia.  Mencari kehidupan tidak lain juga sebagai salah satu bagian untuk  membuat kita lebih gesit dalam menjalankan amal ketaatan.
Kehidupan  dunia tidak boleh dipandang sebelah mata hanya karena ingin lebih fokus  kepada kehidupan tarekat atau tasawuf. Padahal Rasulullah saw  jelas-jelas menyatakan agar kita beramal di dunia seakan-akan kita hidup  selama-lamanya. Kita tidak boleh masa bodoh melihat pemurtadan,  kemiskinan, kebodohan, korupsi, sebab hal itu termasuk upaya kita  melakukan reformasi kehidupan dunia.
Ketiga, reformasi  kehidupan akhirat. Inilah terminal akhir dari rangkaian sejarah tiap  manusia. Sudahkah kita berpikir bagaimana kita melenggang masuk ke  negeri akhirat dengan penuh keceriaan dan kebahagiaan atau sebaliknya  dengan wajah bermuram durja. Lewat “doa reformasi’ di atas Rasul  mengajak kita, kaum Mukmin, untuk mereformasi pola pikir kita tentang  akhirat, bahwa ia masih lama, jauh dari kita. Padahal, kita sedang  berada di halte menunggu dijemput ‘bus’ untuk berangkat menuju akhirat.  Dunia sekedar tempat transit sementara.
Keempat, reformasi  pemanfaatan hidup dunia. Sudahkah kita gunakan untuk merajut kebaikan,  sehingga hidup menjadi berkah dan berdaya guna bagi masyarakat? Hidup  yang manfaat di dunia adalah hidup yang diisi dengan kesibukan belajar  mencari ilmu, mengajarkan, dan mengamalkannya; hidup yang manfaat adalah  hidup yang tidaklah berlalu satu detik kecuali padat dengan bacaan  Al-Quran, Hadits, berbakti kepada orang tua, berani mengatakan kebenaran  sebagai kebenaran dan kebatilan adalah kebatilan.
Kelima, reformasi  kehidupan di balik kematian. Acap kali kita mengantar jenazah saudara,  teman atau salah seorang ke pemakaman. Namun di saat yang bersamaan kita  seolah adalah ‘manusia super’ yang tidak merasa bahwa diri kitalah yang  sebentar jua akan mati. Apa yang terjadi di balik kematian? apakah kita  siap menerima segala konsekuensi setelah mati tersebut?
Menumbuhkan  spirit kehidupan di balik kematian tidak berarti hidup menjadi lesu dan  kurang bergairah, namun justru mereformasi kehidupan dengan  menyelesaikan segala keburukan dan kejahatan dengan bertaubat agar tak  sampai diangkut ke alam kubur dengan lumuran dosa dan maksiat.*

Tidak ada komentar:
Posting Komentar