Perlunya Mewaspadai Dosa Dosa Pengguncang Hati
HAMPIR sebagian besar dari kita, mengenal dosa dan maksiat hanyalah hasil perbuatan anggota tubuh. Perbuatan panca indra. Maksiat tangan dan kaki, mata dan telinga, lidah dan hidung, dan sebagainya. Pada intinya tidak jauh-jauh dengan syahwat perut dan kemaluan.
Pernahkah kita berfikir bahwa ada dosa dan maksiat yang sumbernya dari hati atau ‘qalb’. Yang tak nampak oleh mata, tak terdengar di telinga, tak tersentuh dengan tangan, tak tercium melalui hidung dan tak terasa di lidah.
Maksiat Anggota Tubuh
Mata bermaksiat melihat aurat. Telinga bermaksiat mendengar keburukan lisan, yang menurut Imam Ghazali mempunyai hampir 20 varian. Dusta, menggunjing, menggosip, mengejek, sumpah janji palsu, bicara yang tidak perlu, menfitnah, bersaksi palsu, meratap, memaki, melecehkan, dan lainnya.
Tangan bermaksiat dengan menindas, memukul tanpa hak, membunuh, bekerja sama dengan musuh Allah, menulis yang tidak seharusnya ditulis. Kaki bermaksiat dengan berjalan ke tempat yang diharamkan, menziarahi orang zalim, safar dalam kezaliman. Kemaluan bermaksiat dengan berzina, melakukan amalan kaum Luth, mendatangi perempuan dari tempat yang dilarang.
Perut bermaksiat dengan minum khamr (alkohol), memakan hasil riba, hasil judi, menjual sesuatu yang diharamkan, menyembunyikan barang di pasaran dengan harapan harga menjadi naik, menerima suap, dan lain sebagainya dari memakan harta orang lain dengan batil dan zalim.
Maksiat Yang Membinasakan
Sekali lagi dosa-dosa diatas masih masuk kategori dosa yang nampak dari hasil perbuatan anggota tubuh. Padahal, setiap muslim diperintahkan untuk menjauhi dosa yang nampak ataupun tidak. Allah SWT berfirman:
وذروا ظاهر الإثم وباطنه إن الذين يكسبون الإثم سيجزون بما كانوا يقترفون
Artinya: "Dan tinggalkanlah dosa yang nampak dan yang tersembunyi. Sesungguhnya orang yang mengerjakan dosa, kelak akan diberi pembalasan (pada hari kiamat), disebabkan apa yang mereka telah kerjakan." (Al-An’Am ayat 120)
Sebenarnya, maksiat batin itu lebih dahsyat bahayanya dari maksiat zahir sebagaimana ketaatan hati itu lebih penting daripada ketaatan anggota badan. Bukankah, amalan anggota tubuh tidak akan diterima tanpa amalan hati yaitu niat yang ikhlas?
Maksiat hati itu; sombong, takabur, bangga diri, riya, cinta dunia, cinta harta, hasud, dengki, amarah, dan lain sebagainya yang dinamakan Imam Ghazali dengan “penghancur” sesuai dengan bunyi hadis:
ثلاث مهلكات: شح مطاع، وهوى متبع، وإعجاب المرء بنفسه
"Tiga muhlikat (penghancur) adalah: sifat kikir yang ditaati, hawa nafsu yang diikuti dan takjub terhadap diri sendiri."
Dosa Hati Lebih Berbahaya
Dosa hati lebih berbahaya dibandingkan yang lainnya, karena:
Pertama, ia langsung berkaitan dengan hati. Qalbu adalah hakekat manusia itu sendiri. Manusia bukanlah sekedar makhluk terbungkus jasmani yang terbuat dari tanah. Hanya makan dan minum tetapi ia menyimpan satu mutiara yaitu ruh, yaitu kalbu, yaitu hati. Berkaitan dengan ini, Rasulullah SAW bersabda:
ألا إن في الجسد مضغة، إذا صلحت صلح الجسد كله، وإذا فسدت فسد الجسد كله؛ ألا وهي القلب
"Ketahuilah, bahwa di dalam jasad ada segumpal darah. Jika ia baik, maka akan baik seluruh tubuh, dan jika ia rusak, maka akan rusak seluruh tubuh. Ketahuilah, ia adalah hati."
إن الله لا ينظر إلى أجسامكم وصوركم، ولكن ينظر إلى قلوبكم وأعمالكم
"Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada jasad dan bentuk kalian, tetapi Ia melihat pada hati dan amal perbuatan kalian."
Bahkan satu-satunya jalan untuk sukses di kehidupan akhirat, adalah selamatnya hati dari penyakit yang membinasakannya. Allah SWT berfirman:
ولا تخزني يوم يبعثون يوم لا ينفع مال ولا بنون إلا من أتى الله بقلب سليم
"dan janganlah Engkau hinakan aku pada hari mereka dibangkitkan, (yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih." (Asy-Syu’ara ayat 87-89)
Selamatnya hati yakni selamat dari kemusyrikan yang nampak ataupun yang tersembunyi. Selamat dari kemunafikan besar maupun kecil. Selamat dari rasa sombong, hasud, iri dengki dan lain sebagainya.
Kedua, maksiat hati lebih bahaya karena ia langsung mengarahkan anggota tubuh yang lain untuk melakukannya.
Kufur misalnya, kadang kala didorong oleh rasa hasud didalam hati. Seperti yang terjadi pada kaum yahudi. Firman Allah:
ود كثير من أهل الكتاب لو يردونكم من بعد إيمانكم كفارا حسدا من عند أنفسهم من بعد ما تبين لهم الحق
"Sebahagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran." (QS. Baqarah ayat: 109)
Ia juga mendorong kepada kesombongan seperti yang terjadi pada diri Fir’aun dan pendukungnya:
وجحدوا بها واستيقنتها أنفسهم ظلما وعلوا فانظر كيف كان عاقبة المفسدين
"Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan (mereka) padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya. Maka perhatikanlah betapa kesudahan orang-orang yang berbuat kebinasaan." (QS. An-Naml: ayat 14)
Demikian pula hasud dan iri dengki dalam hati bahkan bisa membuat pelakunya tega menghabisi nyawa orang lain seperti yang terjadi pada kisah Habil dan Qabil:
إذ قربا قربانا فتقبل من أحدهما ولم يتقبل من الآخر قال لأقتلنك قال إنما يتقبل الله من المتقين
"Ketika keduanya mempersembahkan korban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata (Qabil): "Aku pasti membunuhmu!." Berkata Habil: "Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa." (QS. Al-Maidah: ayat 27)
Ketiga, pada kebiasaanya, dosa dan maksiat yang zahir sebabnya adalah lemahnya iman dan sifat alpa sehingga pelakunya mudah untuk segera melakukan taubat. Berbeda dengan dosa akibat hati yang rusak.
Dosa yang dilakukan Adam as dan Hawa karena lalai dan termakan tipuan Iblis yang merayu untuk memakan buah khuldi yang dilarang. Oleh itu, mereka berdua segera menyadari kesalahan dan cepat-cepat meminta ampun pada Allah swt.
قالا ربنا ظلمنا أنفسنا وإن لم تغفر لنا وترحمنا لنكونن من الخاسرين
"Keduanya berkata: "Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi." (QS: Al-A’raf ayat 23)
Akibatnya, Allah swt dengan mudah memaafkan dan menerima taubat mereka:
فتلقى آدم من ربه كلمات فتاب عليه إنه هو التواب الرحيم
"Keduanya berkata: Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang." (QS. Al-Baqarah ayat 37)
Ini berbeda dengan Iblis. Dosa yang dilakukannya adalah dosa hati, yaitu abai pada perintah Allah dan menyombongkan dirinya.
قال يا إبليس ما منعك أن تسجد لما خلقت بيدي أستكبرت أم كنت من العالين قال أنا خير منه خلقتني من نار وخلقته من طين
"Allah berfirman: "Hai iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) termasuk orang-orang yang (lebih) tinggi?." (QS. Shad ayat 75-76)
Oleh itu, balasan bagi Iblis adalah:
قال فاخرج منها فإنك رجيم وإن عليك اللعنة إلى يوم الدين
"Allah berfirman: "Maka keluarlah kamu dari surga; sesungguhnya kamu adalah orang yang terkutuk, Sesungguhnya kutukan-Ku tetap atasmu sampai hari pembalasan." (QS. Shad ayat 77-78)
Keempat, ganjaran bagi pelaku maksiat hati lebih dahsyat daripada pelaku maksiat anggota tubuh.
Rasulullah saw bersabda:
لا يدخل الجنة من كان في قلبه مثقال ذرة من كبر
"Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya ada kesombongan walaupun seberat biji zarrah."
Demikian pula Nabi SAW mengatakan “jangan marah” sebanyak tiga kali kepada sahabat yang meminta wasiat kepada beliau.
Pasang Niat, Raih Manfaat
POKOK dan akar segala sesuatu adalah niat. Buah niat itu sendiri ialah amal perbuatan. Niat yang baik, berujung pada amal yang baik. Niat yang tidak benar berakhir pada amal yang tertolak, tidak diterima. Sekalipun amal tersebut mulia, akan jatuh nilainya karena memasang niat yang salah.
Sebagai tamsil, seseorang yang niat naik haji, “Kalau saya mampu, saya pingin naik haji” tapi ia memang tidak memiliki kemampuan dana yang cukup, dia tetap memperoleh pahala haji karena niatnya.
Tamsil berikutnya, seseorang yang naik haji dengan niat ingin memperoleh pujian dan penghargaan dari masyarakat maka amal baiknya ini tidak berarti sama sekali. Uang, tenaga, pikiran, dan waktu yang telah ia korbankan, berlalu sia-sia belaka. Niat yang salah menjadikan perbuatannya tidak diterima.
Contoh lain yang bisa kita kemukakan seseorang yang berniat shalat berjamaah di masjid. Sayang, dia dalam keadaan lumpuh. Hanya niat yang kuat untuk berjamaah tanpa pernah ia lakukan, maka ia tetap dapat pahala shalat jamaah di masjid.
Namun bagi orang yang pergi ke masjid, shalat berjamah di dalamnya dengan niat mencuri sandal, baginya dosa mencuri tanpa pahala perbuatan sebelumnya karena rusaknya niat yang ia pancangkan dalam hati.
Dalam hadits Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa berperang dengan niat mencari harta rampasan berupa tali unta, maka dia (hanya) memperoleh atas apa yang ia niatkan.” (HR. Ahmad)
Amalan jihad yang agung jadi tidak ada harganya di sisi Allah karena ketidakbenaran niat. Jihad yang berarti mengerahkan daya dan upaya untuk membela agama Allah, hanya senilai tali unta karena niat yang salah.
Dalam perkara mubah yaitu perkara yang tidak mengandung pahala bagi yang mengerjakan dan dosa bagi yang meninggalkannya, seperti makan dan minum akan menghasilkan pahala jika ada niat baik dalam perbuatan tersebut. Makan dan minumlah sehingga tubuh kita menjadi berenergi. Dengan energi yang kuat, kita niatkan untuk lebih aktif beribadah.
Dahulu, para leluhur kita yang shalih mengajari anak-anaknya yang belum mencapai usia baligh untuk memasang niat. Ajaran tersebut disampaikan oleh mereka layaknya mengajari membaca surah Al-Fatihah. Teliti, cermat, dan seksama. Mereka menuntun niat dalam hati putra-putrinya dalam segala hal: makan dan minum dengan niat kuat beribadah, belajar dengan niat mencari ilmu, tidur di awal waktu dengan niat bangun malam, dan sebagainya.
Tanpa niat ikhlas dalam beramal, maka amalnya tidak akan sampai kepada Allah. Seperti orang yang mengirim surat kepada saudaranya yang tinggal di kota A tapi dalam amplop ia tulis beralamat B, akankah surat tersebut sampai ke tangan saudaranya?
Seorang hamba yang mengucapkan, “Iyyaaka Na`budu wa Iyyaaka Nasta`iin (Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan)” tapi karena ‘alamat’ dalam hatinya salah, tidak akan sampai kepada Allah.
Keutamaan niat bisa kita temukan dari kisah yang terjadi di masa Bani Israil. Aada seorang ahli ibadah yang tak berharta tapi punya kelapangan dada yang penuh kasih sayang pada siapa saja. Suatu hari, ia lewat di sebuah gundukan tanah. Saat itu, Bani Israil sedang ditimpa masa paceklik. Makanan sulit dicari, kelaparang melanda dengan begitu hebatnya.
Lalu, dalam hati ia berniat, “Seandainya tanah itu berubah menjadi tepung, niscaya bisa mengenyangkan perut Bani Israil.”
Kemudian Allah mewahyukan kepada salah seorang nabi mereka (Bani Israil), “Katakanlah kepada si Fulan, bahwa Allah telah memberikan pahala bagimu seperti andaikata tanah itu berubah menjadi tepung lalu engkau bersedekah dengannya.”
Dari sekarang, kita pasang niat baik dalam hati sebelum melakukan segala sesuatu. Tautkan hati kita hanya untuk mengharap ridha Allah, maka kebahagiaan dunia dan akhirat ada dalam genggaman tangan kita.*
Senanglah Meminta dan Menerima Nasehat
HARI ini, polemik pembangunan gedung baru DPR RI masih terus berlanjut. Suara pro dan kontra terus bermunculan. Masing-masing pihak mengemukakan beberapa alasan. Suara yang pro mengatakan para anggota DPR membutuhkan gedung baru karena beberapa sebab --salah satunya karena kantor kerja tiap anggota seluas ± 32 m2 tidak leluasa dan tidak optimal untuk kinerja dewan-- pembangunan gedung itu tidak mungkin dibatalkan, anggaran pembangunan gedung tersebut sudah ada alokasinya sendiri dan semua bidang termasuk pendidikan sudah ada alokasinya sendiri dan keduanya tidak bisa dibandingkan.
Suara yang kontra mengatakan para anggota DPR tidak sensitif terhadap kesulitan rakyat, mengkhianati rakyat, dan mengarahkan fungsi anggaran untuk kebutuhan dirinya sendiri untuk hedonisme dan konsumtif. Juga muncul suara yang mengatakan pembangunan gedung yang menelan biaya amat besar tersebut berbanding terbalik dengan kondisi mayoritas rakyat yang masih berkubang dalam kemiskinan, pembangunan gedung tersebut harus dibatalkan, lebih baik anggaran yang dialokasikan untuk pembangunan gedung DPR sebesar Rp. 1,138 triliun tersebut digunakan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan rakyat yang lebih penting dan mendesak termasuk untuk membangun gedung-gedung sekolah.
Mereka yang kontra ini bukan sekadar menyuarakan suaranya dengan menggunakan beberapa media dan cara –termasuk dengan cara berdemonstrasi-- tapi bahkan ada sebagian dari mereka yang menggugat ketua DPR beserta para anggota DPR yang pro pembangunan gedung baru ke pengadilan.
Apa yang mereka lakukan adalah sebagai usaha mereka untuk menjalankan fungsi kontrol sosial informal. Kontrol sosial informal yang dijalankan sebagian anggota masyarakat ini bisa dikategorikan sebagai usaha untuk mengingatkan atau dengan kata lain menasehati para anggota DPR agar lebih pro terhadap rakyat, serta lebih sensitif dan empati terhadap problem, kesulitan dan penderitaan rakyat.
Menasehati adalah fitrah, panggilan jiwa dan kebutuhan manusia. Tanpa disuruhpun -secara langsung atau tidak-- dengan cara yang baik atau tidak senang dan ringan hati akan selalu menasehati manusia lainnya yang diketahuinya melanggar norma-norma yang berlaku di masyarakat.
Dinasehati juga adalah fitrah, panggilan jiwa dan kebutuhan manusia. Namun tidak semua manusia -termasuk yang memberikan nasehat- senang dinasehati, serta bersedia mendengar, menerima dan menjalankan nasehat. Lebih dari itu, orang yang menjadi obyek nasehat bisa marah, menganggap orang yang memberikan nasehat ikut campur urusannya, dan mencap orang yang menasehatinya sebagai orang yang sok suci.
Rasulullah saw. bersabda yang artinya: “Seorang mukmin adalah cermin bagi mukmin lainnya. Apabila melihat aib padanya dia segera memperbaikinya.” (HR. Bukhari)
Sejatinya dinasehati adalah menguntungkan. Selayaknya orang yang dinasehati tidak cukup sekadar mendengar dan menerima nasehat dengan senang dan ikhlas hati, tapi lebih dari itu seharusnya dia merasa beruntung, bersyukur kepada Allah swt. lalu berterima kasih kepada orang yang menasehatinya meskipun cara memberikan nasehat kurang berkenanan di hati. Mengapa demikian? Karena masih ada orang lain yang peduli pada dirinya, pada keselamatan dan kebahagiaan dirinya di dunia ini dan di kehidupan di akhirat kelak. Orang yang menasehatinya berarti telah menyelamatkan diri, kehidupan dan agamanya, serta membuat dirinya bahagia bukan hanya di kehidupan yang fana ini tapi juga di kehidupan yang kekal kelak.
Nasehat yang diberikan orang lain ketika kita berniat akan berbuat salah bisa mencegah kita benar-benar jadi berbuat salah. Nasehat yang kita terima ketika kita telah berbuat salah menjadikan diri kita bisa mengetahui dan menyadari kesalahan kita, mencegah kita terus menerus melakukan perbuatan salah, serta bisa mendorong kita untuk bertaubat.
Sebagai analogi, jika suatu ketika kita berdiri di sebuah sawah dan di belakang kita ada seekor ular besar berbisa. Ular itu sudah siap akan menggigit kaki kita. Kita tidak mengetahui keberadaan ular tersebut. Pada saat itu ada orang lain yang berada di depan kita mengetahui ular itu. Lalu dia memberitahukan kepada kita.
Tentu kita tidak marah, tapi justru berterima kasih karena telah menyelamatkan diri dan nyawa kita.
Itu adalah sikap yang alami dan normal. Semua orang normal pasti bersikap demikian. Lain halnya dengan orang yang tidak normal alias kurang waras. Dia bisa bersikap tidak normal. Diberitahu ada ular yang akan menggigitnya, bukannya berterima kasih, dia malah bisa marah-marah, menyerang dengan kata-kata dan secara fisik.
Sebagaimana yang disabdakan Rasulullah saw. orang lain adalah layaknya cermin bagi diri kita. Kita membutuhkan cermin untuk melihat wajah dan diri kita apakah telah berpenampilan pantas. Kita tidak bisa melihat wajah, kepala, dan tubuh bagian belakang kita tanpa cermin. Ketika bercermin kita mendapati ada sesuatu yang tidak pantas pada wajah atau badan, kita tidak akan marah-marah pada cermin. Yang kita lakukan adalah menghilangkan sesuatu yang mengganggu penampilan.
Demikian juga halnya dalam kehidupan sehari-hari, kita membutuhkan orang lain untuk memberitahu sesuatu yang tidak pantas (aib) yang ada pada diri kita. Kita tidak bisa membaca dan melihat diri kita sendiri secara obyektif. Ketika “cermin” itu mendapati dan memberitahu aib kita, selayaknya kita tidak marah-marah pada “cermin” itu. Yang perlu kita lakukan adalah menghilangkan aib yang kita miliki. Selain itu kita seyogyanya berterima kasih padanya yang telah sudi membaca dan memberitahu aib kita tanpa pamrih.
Menasehati dan Sabar
Allah swt. melalui surat al-'Ashr menginformasikan bahwa semua manusia mengalami kerugian dalam kehidupannya kecuali mereka yang melakukan empat hal: 1. Beriman; 2. Mengerjakan amal shaleh; 3. Saling menasehati supaya menaati kebenaran; 4. Saling menasehati supaya menetapi kesabaran.
Mengapa mereka yang tidak melakukan empat hal tersebut rugi? Rugi karena tidak (bisa) memanfaatkan anugerah Allah swt. yang tidak bisa dinilai dan digantikan oleh harta berupa waktu, umur, dan hidup dengan sebaik-baiknya. Cara terbaik memanfaatkan waktu, umur, dan hidup adalah dengan jalan mengamalkan keempat hal tersebut.
إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْ
“Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran.” (QS. al-'Ashr [103]:1 - 3)
Ayat di atas juga mengisyaratkan dua hal: Pertama, manusia mengalami kerugian dalam kehidupannya jika memberikan dan atau menerima nasehat tidak didasari oleh iman, dan tidak diniatkan sebagai amal shaleh. Dan kedua, salah satu ciri orang beriman dan orang shaleh adalah senang meminta, memberikan, dan menerima nasehat.
Para pendahulu kita yang shaleh (shalafus shaleh) telah memberikan teladan luar biasa dalam menerapkan budaya saling menasehati. Salah satu dari mereka adalah Umar bin al-Khattab ra. yang merupakan salah satu orang dari sepuluh orang yang dijamin masuk surga, Beliau selalu sangat perhatian, ikhlas, dan senang terhadap setiap nasehat yang ditujukan kepadanya walaupun disampaikan oleh orang biasa.
Pada suatu kesempatan ketika beliau berkumpul dengan beberapa sahabat tiba-tiba ada seorang berkata: “Ittaqillaha ya Umar!.” (Bertaqwalah/Takutlah kepada Allah, wahai Umar!). Para sahabat lain yang mengetahui kedudukan dan tingkat ketaqwaan beliau marah kepada orang itu. Beliau sendiri tidak marah tapi justru mencegah kemarahan mereka sambil berkata: “Biarkan dia berkata demikian, sesungguhnya tidak ada kebaikan bagi orang yang tidak mau mengatakannya, dan tidak ada kebaikan bagi orang yang tidak mau mendengarnya”.
Demikian pula para sahabat lain juga memberikan suri teladan dalam hal saling menasehati sebagaimana yang disebutkan oleh Syaikh Muhammad Abduh ketika menafsirkan hadits pertemuan dan perpisahan dua sahabat.
Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan: "Suatu keterangan daripada ath-Tabrani yang ia terima dari jalan Hamaad bin Salmah, dari Tsabit bin `Ubaidillah bin Hashn menyebutkan: "Ketika dua orang sahabat Rasulullah saw. bertemu, mereka belum berpisah kecuali salah satu dari mereka membaca Surat al-`Ashr terlebih dahulu, setelah itu mereka mengucapkan salam sebagai tanda berpisah”."
Hadits ini ditafsiri oleh Syaikh Muhammad Abduh dengan memberikan penjelasan bahwa tujuan pembacaan surat al-‘Ashr oleh para sahabat ketika hendak berpisah bukanlah sekadar bertujuan untuk tabarruk (mengambil barokah). Namun lebih dari, tujuan mereka membacanya adalah saling memperingatkan isi kandungan surat tersebut, terutama ayat yang berisi perintah Allah swt. untuk saling menasehati dalam kebenaran dan dalam kesabaran.
Para sahabat Rasulullah saw. adalah generasi Muslim terbaik. Keislaman, keimanan, dan ketaqwaan mereka tidak patut diragukan dan dipertanyakan. Namun demikian, mereka tidak merasa tidak membutuhkan budaya saling menasehati. Apatah lagi kita yang keislaman, keimanan, dan ketaqwaan kita masih bisa dan patut diragukan dan dipertanyakan.
Untuk itu marilah kita saling menerima dan memberi nasehat atas dasar iman. Dan jadikanlah semua itudilakukan dengan hati terbuka, senang, dan ikhlas hati. Jangan sebaliknya, suka menasehati namun jarang mendengar nasehat orang lain.Wallahu a’lam bish showab.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar