Powered By Blogger

Kamis, 10 Maret 2011

'ya Bunayya

ALLAH PEMBERI REJEKI

Pluto animiert.gif

Banyak orang tua mendambakan anaknya menjadi orang yang berhasil di dunia ini. Meraih jabatan tinggi, memiliki pekerjaan bergaji besar dan lain sebagainya. Keinginan orang tua tersebut tentu saja tidak hanya sebatas keinginan.

Bahkan, dia pasti akan berusaha mengarahkan dan membimbing anak agar dambaan itu bisa terwujud. Sedikit banyak usaha yang dilakukan orang tua itu pasti akan memengaruhi wawasan dan keilmuan si anak. Orang tua yang senantiasa berpandangan materialis bisa menyebabkan anak terpengaruh pandangan tersebut.

Sebagai orang tua muslim yang beriman, tidaklah pantas untuk memiliki pandangan materialis, sehingga menuntut dari anaknya kelak untuk mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya. Karena hal semacam itu seringnya akan melalaikan dari perkara yang lebih penting dari sekadar mengumpulkan harta dunia. Akan melalaikan dari akhirat, melalaikan dari peribadahan dan penghambaan diri kepada Allah -ta’ala-.

Orang tua muslim hendaknya memiliki pemahaman yang benar akan rezeki Allah -ta’ala-. Sehingga kemudian pemahaman itu bisa dia tularkan kepada anaknya. Memang semua orang pasti meyakini bahwa Allah adalah pemberi rezeki. Sampai pun orang-orang musryik di zaman Nabi –shollallohu ‘alaihi wa sallam– ketika mereka ditanya siapa yang memberi rezeki kepada mereka, mereka menjawab, Allah. Akan tetapi, cukupkah pengetahuan sebatas itu?

Yang perlu diketahui dan diajarkan
Berikut ini beberapa hal berkaitan dengan rezeki Allah, yang harus kita ketahui, yakini, dan kita ajarkan kepada anak-anak kita.

1- Semua rezeki datangnya dari Allah, karena semua yang ada di dunia hanyalah milik Allah. Inilah yang telah diyakini oleh fitrah setiap manusia, termasuk orang-orang musyrik.

2- Allah telah menjamin rezeki bagi seluruh makhluk-Nya, termasuk manusia. Dalam al-Quran Allah berfirman,
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُبِينٍ
“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh).” (Hud: 6)

Dalam hadits, Rasulullah –shollallohu ‘alaihi wa sallam– bersabda,
إِنَّ رُوحَ القُدُسِ نَفَثَ فيِ رَوْعِي أَنَّ نَفْسًا لَنْ تَمُوتَ حَتَّى تَسْتَكْمِلَ أَجَلَهَا وَتَسْتَوْعِبَ رِزْقَهَا فَاتَّقُوا اللهَ وَأَجْمِلُوا فيِ الطَّلَبِ وَلاَ يَحْمِلَنَّ أَحَدَكُمْ اِسْتِبْطَاءُ الرِّزْقِ أَنْ يَطْلُبَهُ بِمَعْصِيَةِ اللهِ فَإِنَّ اللهَ تَعَالىَ لاَ يُنَالُ مَا عِنْدَهُ إِلاَّ بِطَاعَتِهِ
“Sesungguhnya Ruhul Qudus (Jibril) telah meniupkan wahyu ke dalam hatiku, bahwa suatu jiwa tidak akan mati sehingga dia menyempurnakan ajalnya dan mengambil seluruh rezekinya. Maka bertakwalah kepada Allah, dan carilah rezeki dengan baik. Dan jangan sampai anggapanmu akan lambatnya rezeki mendorongmu untuk mencarinya dengan maksiat kepada Allah. Karena sesungguhnya apa yang di sisi Allah tidak akan bisa diraih kecuali dengan menaati-Nya.” (Riwayat Abu Nu’aim dalam al-Hilyah, Lihat Shahihul Jami’ no. 2085)

3- Rezeki harus tetap dicari. Karena meskipun Allah telah menjamin bagi setiap kita, namun tawakal tidak akan sempurna kecuali dengan melakukan sebab-sebabnya. Bahkan mengharap rezeki Allah tanpa disertai usaha, hanyalah angan-angan semata, bagaikan seorang petani yang mengharap hasil panenan tanpa mau menanam.

4- Dalam mencari rezeki, tidak boleh melalui jalan yang haram, sebagaimana telah ditegaskan dalam hadits di atas. Karena bagaimanapun juga, rezeki itu adalah milik Allah, dan Dia berhak melarang kita dari jalan-jalan yang haram.

5- Karena rezeki (duniawi) telah dijamin, jangan sampai ia menjadi fokus utama dalam kehidupan. Bahkan, jadikan fokus utama adalah menggapai rezeki akhirat. Itulah yang lebih baik, lebih utama dan lebih kekal.

Abu dan Ummu yang dirahmati Allah. Jika kita ajarkan beberapa poin di atas, insya Allah ketika kelak anak kita sudah bisa mencari rezeki, dia tidak akan mendahulukan dunia atas akhirat. Bahkan diharapkan dia akan menjadikan rezeki yang diperoleh sebagai jalan untuk menggapai rezeki akhirat. Yaitu dengan mensyukurinya sebenar-benar rasa syukur.






MODEL PENGASUHAN AYAH

Abu dan Ummu, sama halnya seperti anak, orangtua juga memiliki jenis kelamin dan temperamen yang berbeda, sehingga turut memberikan cara-cara yang berbeda dalam pengasuhan. Untuk itu, mari kita lebih jauh mengenal tipe – tipe pengasuhan seorang ayah, karena akan berpengaruh pada pola pengasuhan anak.

Abu dan Ummu, orangtua membawa serta pengalaman masa lalunya terdahulu saat diasuh orangtuanya semasa ia kecil, dan sejumlah nilai budaya yang membentuk apa yang mereka lakukan saat ini. Selain itu, orangtua juga memiliki pola-pola kehidupan sosial, seperti hubungan bersama pasangan, keluarga besar, dan dunia kerja. Pola kehidupan sosial itulah yang secara otomatis dibawa dalam pengasuhan anak.

Secara umum, ayah dan ibu memiliki peran yang sama dalam pengasuhan anak-anaknya. Namun, ada sedikit perbedaan sentuhan dari apa yang ditampilkan ayah dan ibu. Anak-anak biasanya memang dekat dengan sosok ibu, karena waktu yang dimiliki seorang ibu lebih banyak daripada seorang ayah, tapi hal itu tidak berarti ayah tidak berperan penting dalam perkembangan anak.

Ada pendapat yang menyatakan, melalui kehidupan dalam keluarga, seorang ayah bukan saja memengaruhi individualitas anaknya, tetapi juga memengaruhi kemampuannya bergaul dan bersikap dalam masyarakat.

Dari pendapat itu, secara garis besar dikategorikan tipe pengasuhan ayah yang dapat memberi dampak utama pada anak-anaknya:

1. Tipe ayah bom waktu
Tipe ayah seperti ini adalah ayah yang cenderung mempunyai sifat temperamental, bersikap perfeksionis yang selalu menginginkan kesempurnaan anak-anaknya. Jadi jangan heran, jika sang anak melakukan kesalahan, maka si ayah tak segan untuk memarahi atau bahkan menghukumnya. Biasanya, segala sesuatu yang menyangkut si anak selalu dikaitkan dengan prestasi, karena hal ini pula obrolan si ayah dan si anak tak jauh-jauh dari urusan prestasi di sekolah.
Dampak bagi si anak, ketika dewasa si anak cenderung merasa kurang nyaman dan tak mudah percaya pada orang lain, terutama dalam pergaulan dan di tempat kerja.

2. Tipe ayah acuh tak acuh
Namanya saja acuh tak acuh, ayah seperti ini cenderung cuek dengan kebutuhan anak-anaknya. Ayah tipe ini kebanyakan bersikap acuh tak acuh terhadap segala hal permasalahan anak-anak mereka, terutama pada kebutuhan psikis. Ayah tipe ini merasa tanggung jawab utamanya adalah menjalankan peran sebagai tulang punggung alias pencari nafkah. Oleh sebab itu, sang ayah cuek dan enggan memantau perkembangan fisik, mental, dan emosi anak-anaknya, karena menganggap sang ibunya lah yang bertanggung jawab dan memegang peranan penting dalam tugas ini.
Dampaknya adalah ayah tipe ini akan memengaruhi perkembangan anak, dalam arti sang ayah kurang mengenalkan anaknya pada kesulitan dan tantangan yang mungkin banyak ditemui di luar rumah.

3. Tipe ayah pembimbing
Ini merupakan tipe ayah ideal. Ayah yang selalu bersikap penuh kehangatan dalam mendidik anaknya. Ia memiliki metode pendekatan dengan cara membimbing anak-anaknya agar mau belajar dan meningkatkan kualitas. Ayah pembimbing selalu perhatian kepada anaknya. Ayah tipe ini juga senang meningkatkan pergaulannya agar bisa lebih terlibat dalam kegiatan anak-anaknya. Ayah tipe ini juga selalu “melek” teknologi supaya dapat mengikuti zaman, yang pada akhirnya dapat mendekatkan dirinya dengan anak-anak.

Demikianlah Abu dan Ummu, ternyata pengasuhan seorang ayah juga berperan penting dalam membentuk pribadi anak-anaknya. Semoga para abu menjadi sadar dan tak enggan untuk memperbaiki pola asuhnya, demi kebaikan anak-anaknya. (***)




MOTIVASI ANAK DENGAN AKHIRAT

Abu dan Ummu yang dirahmati Allah. Setiap orang pasti membutuhkan dorongan atau motivasi dalam setiap pekerjaan yang dilakukannya. Dengan motivasi itulah, dia akan merasa lebih ringan untuk melakukan apa yang harus dia lakukan. Semakin baik dan kuat motivasi, akan semakin mudah pula seseorang menggapai tujuan dari pekerjaannya.

Nah, demikianlah hendaknya kita juga melihat kepada anak-anak yang kita didik. Ketika kita menginginkan keberhasilan mereka dalam belajar misalnya, ibadah, atau dalam kegiatan bermanfaat yang lain; tentu saja kita harus memberikan dorongan kepada mereka sebagai salah satu bentuk dukungan dan bantuan kita kepada mereka. Dari sinilah hendaknya seorang tua melihat, menimbang, dan memilih motivasi terbaik apa yang hendaknya dia sampaikan kepada anaknya. Agar motivasi ini benar-benar berpengaruh dengan baik dan memiliki manfaat yang lebih banyak.

Lihat tujuan mukmin

Abu dan Ummu yang dirahmati Allah. Sebagai seorang mukmin, tentunya kita meyakini bahwa kehidupan di dunia ini pasti berakhir dan akan berganti dengan kehidupan akhirat yang kekal. Dari sinilah, hendaknya tujuan setiap mukmin tidak terbatas pada tujuan keduniaan. Bahkan lebih dari itu, seorang mukmin memiliki tujuan utama yang bersifat ukhrawi.

Jika demikian tujuan seorang mukmin, sedangkan kita mengharapkan anak-anak kita menjadi generasi mukmin tangguh, maka tentu saja motivasi terbaik bagi mereka adalah motivasi yang berorientasikan akhirat, bukan keduniaan.




SAAT SI KECIL MARAH

Abu dan Ummu sekalian, si kecil marah-marah mungkin adalah hal yang kerap kita jumpai, meski kapasitas marah mereka tidak seperti orang dewasa tentunya. Kemarahan mereka akan terlihat jelas ketika menghadapi teman sebayanya atau adiknya. Sebagai orangtua hendaknya menghadapinya dengan bijak. Perlu Abu dan Ummu ketahui, marah adalah perubahan yang terjadi saat darah yang ada di dalam hati bergejolak sehingga menimbulkan kepuasan di dalam dada.

Yang perlu diperhatikan pula oleh orangtua ketika anak-anak kita dalam kemarahan, itu adalah kesempatan untuk memberikan kepada mereka pelajaran adab dan etika ketika marah. Namun selayaknya pelajaran ini diberikan saat kemarahan anak telah reda. Berikut ini, di antara adab dan etika saat marah:

1. Jelaskan bahwa kemarahan datangnya dari setan. adalah gejolak yang timbulkan oleh setan. Dia mengakibatkan berbagai bencana dan malapetaka yang tak seorang pun mengetahuinya melainkan Allah ta’ala. Maka berilah pengertian pada anak, marah datangnya dari setan yang terkutuk. Diharapkan akan terpatri dalam diri anak, jika dia marah maka setan lah yang memberinya sehingga dia akan berhenti marah.

2. Kenalkan wasiat Rasulullah untuk meninggalkan marah. Shadits yang diriwayatkan Abu Hurairah rodhiyallohu ‘anhu , bahwa seorang lelaki meminta nasihat pada Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam,

أَوْصِنِي قَالَ:لاَ تَغْضَبْ, فَرَدَّدَ ذَلِكَ مِرَارًا قَالَ لاَ تَغْضَبْ

“Berilah wasiat kepadaku.” Nabi bersabda, ‘Janganlah engkau marah.‘ itu mengulangi (permintaannya) beberapa kali. Rasulullah –shollallohu ‘alaihi wa sallam– tetap bersabda, ‘Janganlah engkau marah.’” (Bukhari)

3. Kenalkan pula dengan pahala bagi orang yang meninggalkan amarah. Di antara pahalanya sebagaimana dijanjikan oleh Rasulullah –shollallohu ‘alaihi wa sallam–,
“Janganlah marah, bagimu surga.” (Riwayat At Tabrani)

Juga sebagaimana sabda Rasulullah — shollallohu ‘alaihi wa sallam– yang lain,

مَنْ َكظَمَ غَيْظًا وَهُوَ قَاِدرٌ عَلىَ أَنْ يُنَفِّذَهُ, دَعَاهُ اللهُ عَزَّوَجَلَّ عَلىَ رُؤُوْسِ الْخَلاَئِقِ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ حَتَّى يُخَيِّرَ هُ مِنَ اْلحُوْرِ مَا شَاءَ

“Barang siapa yang menahan kemarahannya sedangkan ia mampu untuk melakukannya maka Allah k akan menyeru dia di hadapan seluruh manusia pada hari kiamat untuk dipilihkan baginya bidadari yang dikehendakinya.” (Riwayat Abu Dawud)

4. Berilah salah satu kisah saat Rasulullah –shollallohu ‘alaihi wa sallam– pernah dipancing untuk marah, yaitu ketika seorang badui menarik selendang leher beliau. Walau demikian, beliau tidak memaki dan membencinya. Hal ini sebagaimana dikisahkan oleh Anas –rodhiyallohu ‘anhu–:
Aku berjalan bersama Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam, saat itu beliau memakai kain dari Najran yang kasar pinggirnya, kemudian seorang badui datang menghampirinya dan menarik kain itu dengan tarikan yang sangat kuat, sampai aku melihat pada leher Rasulullah –shollallohu ‘alaihi wa sallam– di mana tarikan itu sampai membekas karena kuatnya tarikan tersebut, kemudian ia berkata, “Wahai Muhammad perintahkanlah (kepada kaummu) untuk membagikan kepadaku harta dari Allah yang ada di padamu, kemudian Nabi –shollallohu ‘alaihi wa sallam– meliriknya sambil tersenyum lalu beliau memerintahkan untuk diberikan bagian tertentu baginya.” (Mutaffaqun Alaihi)

5. Mengetahui bahwasanya menahan amarah adalah ciri orang yang bertakwa, hal itu sebagaimana firman Allah ta’ala,

اَلَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِيْنَ اْلغَيْظَ وَالْعَاِفيْنَ عَنِ النَّاسِ وَاللهُ يُحِبُّ اْلمُحْسِنِيْنَ

“Yaitu orang-orang yang menafkahkan hartanya secara sembunyi dan terang-terangan dan orang yang menahan kemarahan serta memaafkan manusia, sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik”. (Ali Imraan: 134)

Demikian beberapa pelajaran dari Rasulullah –shollallohu ‘alaihi wa sallam– saat marah mendera. Insya Allah edisi depan akan kita bahas beberapa tips dalam menghadapi marah yang bisa di ajarkan pada si kecil. Semoga bermanfaat.






AGAR ANAK MAU MENDENGAR

Abu dan Ummu, terkadang Anda mungkin dibuat jengkel karena anak-anak seringkali tak mau mendengarkan perkataan anda pada mereka. Meski begitu, Abu dan Ummu tak perlu marah atau kesal lalu menggunakan kekerasan untuk mengatasinya, karena ada 6 cara agar si kecil mau mendengar.

Biasanya, sebagian besar anak tidak mau mendengarkan orangtua karena ingin mendapatkan perhatian lebih. Tetapi hal ini tentu saja tak bisa dibiarkan, karena menjadi pendengar yang baik bisa membantu anak belajar lebih efektif, mengetahui adanya sinyal bahaya, bersosialisasi dengan baik serta bisa menghargai orang lain.

Berikut adalah beberapa cara yang bisa dilakukan agar si kecil mau mendengarkan orang lain, yaitu:

1. Dekati anak
Terkadang orangtua berteriak dari tempat yang jauh untuk memberitahu anak, hal ini tidak akan memberikan dampak yang efektif. Usahakan untuk berada setara dengan anak, misalnya berjongkok atau agak merunduk sehingga bisa melihat mata anak untuk mendapatkan perhatiannya. Kondisi ini akan membantu anak untuk mau mendengarkan orangtuanya.

2. Berikan pesan yang jelas dan sederhana
Anak-anak akan sulit menemukan pesan yang diinginkan orangtuanya jika kata-kata yang diucapkan bertele-tele atau terlalu panjang. Jika memang tidak ada pilihan bagi anak, maka sebaiknya tidak menggunakan kalimat pertanyaan. Misalnya “Sudah waktunya untuk masuk ke mobil,” akan berdampak lebih besar dibandingkan, “Ayo naik ke kursi mobil, sayang?”.

3. Jangan bosan untuk mengulang
Pesan yang ingin disampaikan ke anak mungkin tak akan cukup dengan hanya mengucapkannya sekali. Karena itu tak ada salahnya untuk memperkuat pesan yang ingin disampaikan berulang-ulang dengan mengucapkannya, lalu memberi isyarat visual (seperti menjentikkan jari), isyarat fisik (meletakkan tangan di bahu anak dengan lembut) dan mendemonstrasikannya.



ADAB DUDUK DALAM MAJELIS

Abu dan Ummu, tak kalah penting adab dan etika yang hendaknya kita tanamkan kepada anak-anak kita adalah adab duduk dan bermajelis. Demikian itu merupakan adab dan etika umum yang sangat baik bila kita tanamkan kepada anak-anak kita semenjak usia kanak-kanak.

Di antara etika dalam majelis adalah sebagai berikut:

Mengucapkan salam kepada para jamaah yang hadir dalam majelis
Abu dan Ummu, hendaknya kita biasakan anak kita untuk selalu mengucapkan salam ketika masuk dalam sebuah majelis. Sebagaimana sabda Rasulullah –shollallohu ‘alaihi wa sallam–,
لاَ تَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوا وَلَا تُؤْمِنُوا حَتَّى تَحَابُّوا أَوَلَا أَدُلُّكُمْ عَلَى شَيْءٍ إِذَا فَعَلْتُمُوهُ تَحَابَبْتُمْ أَفْشُوا السَّلَامَ بَيْنَكُمْ

“Tidaklah kalian masuk surga hingga kalian beriman dan kalian tidak beriman hingga kalian saling mencintai. Dan maukah kalian aku tunjukkan kepada sesuatu bila kalian mengerjakannya maka kalian akan saling mencintai? Tebarkanlah salam di antara kalian.” (Riwayat Muslim)

Duduk di tempat yang diperuntukkan baginya
Ajarkan juga pada anak-anak, untuk duduk di tempat majelis yang masih kosong tanpa harus mengganggu orang dengan menyuruh berdiri dari majelisnya, lalu ia duduk di situ. Ini berdasarkan sabda Nabi –shollallohu ‘alaihi wa sallam–,
لاَ يُقِيمُ الرَّجُلُ الرَّجُلَ مِنْ مَجْلِسِهِ ثُمَّ يَجْلِسُ فِيهِ
“Janganlah seseorang menyuruh orang lain berdiri dari majelisnya lalu ia duduk di tempat itu.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Dan dalam Shahihain, dari ibnu Umar z, Rasulullah –shollallohu ‘alaihi wa sallam– bersabda,
“Janganlah seorang di antara kalian menyuruh orang lain berdiri dari majelisnya kemudian ia duduk di tempat itu akan tetapi melebarlah dan meluaslah.”

Yang paling berhak dengan tempat duduknya

Abu dan Ummu, ajarkan kepada anak-anak, jika ada seorang dalam majelis yang minta izin keluar lalu ia kembali, maka ia yang paling berhak dengan tempatnya kembali. Hal ini didasarkan pada hadits Abu Hurairah z, Rasulullah –shollallohu ‘alaihi wa sallam– bersabda,
اذَا قَامَ أَحَدُكُمْ مِنْ مَجْلِسِهِ ثُمَّ رَجَعَ إِلَيْهِ فَهُوَ أَحَقُّ بِهِ

“Jika seorang di antara kalian berdiri dari tempat duduknya lalu ia kembali ke tempat itu, maka ia paling berhak dengannya.” (Riwayat Muslim)

Tidak boleh memisahkan dua orang yang sedang duduk, kecuali dengan seizinnya.
Demikian itu bertujuan untuk menjaga pembicaraan kedua orang tersebut agar tidak terputus dan terkadang membuat berat hati bagi keduanya, sehingga melahirkan kebencian, maka hal itu dilarang. Hal ini berdasarkan pada hadits dari Amru bin Syuaib, Rasulullah –shollallohu ‘alaihi wa sallam– bersabda,
لَا يَحِلُّ لِرَجُلٍ أَنْ يُفَرِّقَ بَيْنَ اثْنَيْنِ إِلَّا بِإِذْنِهِمَا

“Tidak halal bagi seseorang memisahkan tempat duduk dua orang kecuali seizin keduanya.” (Riwayat Abu Dawud dan Tirmidzi)

Tidak boleh duduk di antara orang tua dan anaknya dalam suatu majelis
Abu dan Ummu, di antara adab yang hendaknya kita ajarkan juga kepada anak kita adalah untuk tidak duduk di antara orang tua dan anaknya dalam suatu majelis. Hal ini disebabkan karena Rasulullah –shollallohu ‘alaihi wa sallam– melarangnya, “Janganlah di antara kalian duduk di antara orang tua dan anaknya dalam suatu majelis.” (Riwayat Thabrani)
Insya Allah, pembahasan ini masih akan bersambung pada edisi berikutnya.

Fail:(253) mathilde.jpg



TAUHID KUAT BENTENG MAKSIAT

Abu dan Ummu, Orang tua yang beriman tentu tidak ingin anak-anaknya menjadi salah satu korban dari menjamurnya kemaksiatan. Maka hendaknya dia melakukan berbagai usaha yang bisa ditempuh guna menghindarkan atau mencegah mereka dari perbuatan-perbuatan maksiat.

Sebenarnya banyak cara yang bisa dilakukan. Di antaranya, dengan menghindarkan anak dari sebab-sebab menularnya kemaksiatan itu. Seperti memilihkan teman-teman yang shalih, tidak membebaskan pergaulan anak begitu saja, terus mengawasi pergaulan anak, tidak menghadirkan media penyebar kemaksiatan nomor satu di dalam rumah (baca: televisi), dan usaha-usaha lain yang bersifat preventif.

Selain itu, usaha pencegahan ini harus pula dilakukan dengan pendidikan keagamaan yang memadai. Karena sesungguhnya faktor utama yang mampu mencegah seseorang berbuat maksiat adalah agamanya. Semakin kuat agama seseorang, niscaya dia akan semakin jauh dari perbuatan maksiat. Seandainya pun dia berbuat maksiat, maka dengan agamanya dia akan berusaha untuk segera bertaubat sehingga setelahnya dia menjadi lebih baik dari sebelumnya.

Dan agama kita ini, telah menjadikan tauhid sebagai pondasi utamanya. Tidaklah seorang pun Rasul diutus, kecuali dia pasti menyerukan tauhid. Bahkan tauhid menjadi seruannya yang paling utama dan pertama. Tidak lain karena tauhid inilah yang akan menentukan kebaikan dan keburukan seorang hamba. Semakin sempurna tauhid semakin baiklah dia.

Oleh karena itulah Abu dan Ummu, yang dirahmati Allah, karena agama adalah faktor terbesar yang membentengi seseorang dari maksiat, sedangkan agama ini dilandasi oleh tauhid, maka pengajaran tauhid kepada anak-anak dalam usaha menjauhkan mereka dari maksiat adalah salah satu usaha yang tidak boleh kita sepelekan. Dan kita harus mengajarkan tauhid ini sesempurna mungkin.






PENYEBAB SIKECIL MENGUMPAT

Abu dan Ummu, mungkin Anda pernah dibuat terkejut saat si kecil tiba-tiba sering mengeluarkan kata-kata kasar/mengumpat? Apakah Anda dibuat bingung bagaimana cara menghadapinya?

Abu dan Ummu, ada sejumlah faktor yang dapat memengaruhi timbulnya kebiasaan buruk tersebut, salah satunya adalah lingkungan. Mungkin Anda tidak menyadari bahwa perilakunya yang kasar diadaptasi dari lingkungan terdekatnya, yaitu keluarga.

Beberapa Penyebab

1. Orang tua dan pola asuh
Pola asuh sangat berpengaruh pada tingkat emosi seorang anak dan cara bagaimana ia bersikap. Anda sebagai orang tua merupakan panutan baginya. Dari orang tua, si kecil untuk pertama kali mempelajari dan mencontoh perilaku. Oleh karena itu, berhati-hatilah dalam bersikap dan bertindak kepada siapapun, baik kepada anggota keluarga ataupun orang lain. Jangan sampai si kecil melihat dan meniru berperilaku Anda yang mungkin tanpa Anda sadari kasar terhadap orang lain.

2. Lingkungan luar
Lingkungan di sekitar rumah ataupun di sekolah juga berperan besar dalam pembentukan karakter anak.

3. Media
Beberapa jenis media, terutama TV dan komputer ikut memengaruhi perkembangan si kecil. Bentuk kekerasan serta kata cacian dan makian yang muncul dalam berbagai tayangan TV dan media lainnya dapat menambah kosa kata dan perilaku buruk si kecil.

4. Makanan
Mungkin tidak banyak yang tahu, ternyata faktor makanan juga dapat memicu perkembangan emosi anak. Jenis makanan yang mengandung tambahan zat kimia, pengawet, dan zat berbahaya diyakini dapat membuat si kecil temperamental.




TIDUR SESUAI SUNNAH NABI

Abu dan Ummu, Islam mengatur kehidupan seorang hamba dengan sangat sempurna. Dari hal yang besar hingga hal yang sangat kecil sekalipun. Di antara hal kecil yang diatur dalam Islam adalah Tidur.

Tidur bagi seorang muslim adalah hal yang sangat penting. Penting, karena dalam tidurnya ia mengumpulkan tenaga untuk beribadah kepada Allah. Nah, bagi putra-putri kita, tidur merupakan kebiasaan yang tidak pernah lepas oleh mereka. Bagi seorang anak, mereka bisa menghabiskan sekitar 10 jam untuk tidur.

Oleh karena itu, bagi orangtua hendaknya memberikan perhatian lebih kepada anak dalam mengajarkan adab dan etika dalam tidur yang diatur dalam agama Islam. Di antara adab-adabnya:

1.Ajari anak untuk berwudhu sebelum tidur. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah - shollallohu ‘alaihi wa sallam -,

“Apabila engkau hendak mendatangi pembaringan (tidur), maka hendaklah berwudhu terlebih dahulu sebagaimana wudhumu untuk melakukan shalat.” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim)

2.Kenalkan pula sunnah membersihkan tempat tidur dari kotoran. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah – shollallohu ‘alaihi wa sallam -,

“Jika salah seorang di antara kalian akan tidur, hendaklah mengambil potongan kain dan mengibaskan tempat tidurnya dengan kain tersebut sambil mengucapkan ‘bismillah’, karena ia tidak tahu apa yang terjadi sepeninggalnya tadi.” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim)

3.Senantiasa membiasakan anak membaca ayat-ayat Al-Quran, antara lain:

a) Membaca ayat kursi.
b) Membaca dua ayat terakhir surat al-Baqarah.
c) Mengatupkan dua telapak tangan lalu ditiup dan dibacakan surat al-Ikhlas, al-Falaq, dan an-Naas kemudian dengan dua telapak tangan mengusap dua bagian tubuh yang dapat dijangkau dengannya dimulai dari kepala, wajah, dan tubuh bagian depan, hal ini diulangi sebanyak 3 kali.

Apabila anak belum bisa membaca sendiri, bisa dituntun terlebih dahulu. Insya Allah, jika terus dilakukan, maka mereka akan terbiasa dan hafal dengan sendirinya.

4.Hendaknya mengakhiri berbagai doa tidur dengan doa berikut:

بِاسْمِكَ رَبِّ وَضَعْتُ جَنْبِي وَبِكَ أَرْفَعُهُ إِنْ أَمْسَكْتَ نَفْسِي فَارْحَمْهَا وَإِنْ أَرْسَلْتَهَا فَاحْفَظْهَا بِمَا تَحْفَظُ بِهِ عِبَادَكَ الصَّالِحِينَ

“Dengan Nama-Mu, ya Rabb-ku, aku meletakkan lambungku. Dan dengan Nama-Mu pula aku bangun daripadanya. Apabila Engkau menahan rohku (mati), maka berilah rahmat padanya. Tapi apabila Engkau melepaskannya, maka peliharalah, sebagaimana Engkau memelihara hamba-hamba-Mu yang shalih.” (Muttafaqun alaihi)

5.Anjurkan anak untuk memulai tidur dengan mendahulukan posisi tidur di atas sisi sebelah kanan (rusuk kanan sebagai tumpuan) dan berbantal dengan tangan kanan, Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah - shollallohu ‘alaihi wa sallam -,
“Berbaringlah di atas rusuk sebelah kananmu.” (Muttafaqun Alaihi)

Dalam riwayat yang lain disebutkan,
“Rasulullah – shollallohu ‘alaihi wa sallam – apabila tidur meletakkan tangan kanannya di bawah pipi kanannya.” (Riwayat Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban)

Demikianlah beberapa adab dalam tidur. Insya Allah masih berlanjut pada edisi selanjutnya. Wallahu a’lam





MEMUPUK KEBERANIAN DENGAN TAUHID

Abu dan Ummu, keberanian adalah salah satu sifat terpuji yang mutlak diperlukan oleh anak islam untuk mengarungi kehidupannya di dunia ini. Karena berbagai musibah, cobaan, ujian, pasti akan menerpa setiap orang. Terlebih lagi jika kita mengharapkannya menjadi seorang muslim tangguh yang mampu membela, mendakwahkan dan memperjuangkan agama yang mulia ini.

Jika kita melihat generasi awal kaum muslimin, terlihat di antara mereka cukup banyak anak-anak kaum muslimin yang memiliki keberanian sangat luar biasa. Sebagai salah satu bukti, kita bisa membaca dalam sejarah, di antara mereka ada yang meminta Rasulullah sholallohu ‘alaihi wa sallam untuk ikut dalam peperangan melawan orang-orang kafir, padahal Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam mensyaratkan agar yang mengikuti peperangan adalah orang-orang dewasa.

Abu dan Ummu yang dirahmati Allah, sikap berani yang ada pada diri para sahabat, termasuk anak-anak mereka, bukan hanya buah dari pengalaman dan pelatihan menghadapi keadaan-keadaan berat. Akan tetapi yang terpenting, adanya satu faktor yang bisa menumbuhkan sikap pemberani yang luar biasa itu pada diri mereka. Tidak lain adalah akidah, keyakinan dan keimanan yang benar dalam dada-dada mereka.

Berani karena tauhid, takut karena syirik

Kebenaran akidah dan keyakinan memang sangat besar pengaruhnya untuk memunculkan sikap dan perangai terpuji pada diri seseorang. Sikap pemberani yang sedang kita bicarakan ini, adalah salah satu contohnya. Disebutkan dalam Al-Quran, bahwa Nabi Ibrahim ‘alaihis salaam sangat berani dalam dakwahnya, sampai-sampai menghancurkan berhala-berhala orang kafir, karena adanya tauhid dalam hatinya. Allah berfirman tentang beliau,

وَكَيْفَ أَخَافُ مَا أَشْرَكْتُمْ وَلَا تَخَافُونَ أَنَّكُمْ أَشْرَكْتُم بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ عَلَيْكُمْ سُلْطَانًا

“Bagaimana aku takut kepada sembahan-sembahan yang kamu persekutukan (dengan Allah), padahal kamu tidak takut mempersekutukan Allah dengan sembahan-sembahan yang Allah sendiri tidak menurunkan hujjah kepadamu untuk mempersekutukan-Nya.” (al-An’am: 81)

Maka orang-orang yang bertauhid tidak akan merasa takut kecuali hanya kepada Allah, karena mereka mendapatkan jaminan keamanan dari Allah ta’ala. Allah berfirman,

الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُم بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُم مُّهْتَدُونَ

“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (al-An’am: 82)

Abu dan Ummu yang dirahmati Allah, ketika tauhid akan menyebabkan seseorang bersikap pemberani, maka bandingkanlah dengan orang-orang yang berbuat syirik. Allah berfirman,

سَنُلْقِي فِي قُلُوبِ الَّذِينَ كَفَرُوا الرُّعْبَ بِمَا أَشْرَكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَمَأْوَاهُمُ النَّارُ وَبِئْسَ مَثْوَى الظَّالِمِينَ

“Akan Kami masukkan ke dalam hati orang-orang kafir rasa takut, disebabkan mereka mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah sendiri tidak menurunkan keterangan tentang itu. Tempat kembali mereka ialah neraka; dan itulah seburuk-buruk tempat tinggal orang-orang yang zalim.” (Ali ‘Imran: 151)

Perhatikan tauhid anak

Setelah ini semua, wahai Abu dan Ummu, tentu kita telah mengerti akan salah satu arti pentingnya mengajarkan, dan meluruskan tauhid anak kita dan juga tentu saja diri kita. Kelurusan tauhid, tidak hanya berpengaruh pada pengetahuan yang benar tentang Allah dan pelaksanaan ibadah yang baik. Bahkan kelurusan tauhid akan memberikan pengaruh yang sangat besar pada semua sisi-sisi kebaikan yang ada; baik dalam tingkah laku, akhlak dan sikap hidup seseorang.

Maka nasihat yang sangat agung yang hendaknya kita sampaikan kepada anak-anak kita, sebagaimana nasihat Lukman al-Hakim, yang telah diabadikan dalam Al-Quran dalam firman-Nya,

وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar”.” (Luqman: 13)
Wallahul muwaffiq.




HASAD MERUSAK TAUHID

Abu dan Ummu yang dirahmati Allah, ketika anak telah senang belajar dan bermain bersama teman-temannya, sering kita mendapati berbagai musykilah/masalah yang mereka hadapi. Itu adalah hal wajar, karena semakin banyak seorang anak bergaul dengan yang lain, dia pasti akan mendapatkan berbagai hal yang banyak tidak didapatkannya di dalam rumah.
Terkadang, dia memikirkan atau membanding-bandingkan keadaan teman pergaulannya dengan keadaan dirinya. Tidak jarang hal itu akan menimbulkan berbagai penyakit yang tidak boleh diremehkan, di antaranya adalah penyakit hasad.

Hakikat Hasad

Perlu Abu dan Ummu ketahui, bahwa hasad adalah keinginan seseorang terhadap hilangnya suatu nikmat dari orang lain. Sehingga, penyakit hasad sangat mudah muncul pada diri seseorang, ketika dia melihat teman sebaya atau seangkatannya mendapatkan kenikmatan Allah yang lebih besar dari dirinya.

Nah, tentu saja bila kita tidak memberikan bimbingan yang baik kepada anak tentang tata cara bergaul, dan juga tentang akidah yang benar; sangat rawan si anak terserang penyakit hasad yang berbahaya ini.

Ya, bimbingan pergaulan bagi anak sangat penting, karena hasad tidaklah muncul kecuali dalam pergaulan dengan orang lain. Sedangkan bimbingan akidah sangat diperlukan, karena hakikat hasad adalah adanya kebencian terhadap takdir ketentuan Allah dalam pembagian nikmat-nikmat-Nya.


Fail:The sun1.jpg

BIASAKAN ANAK MEMBACA ALQUR"AN

Abu dan Ummu, sebagaimana kita ketahui al Quran adalah kitab suci kita. Ia adalah kalamullah, yang diturunkan kepada nabi akhir zaman, Muhammad – shollallohu ‘alaihi wa sallam -, lewat malaikat Jibril – ‘alaihis salam -. Ia diturunkan untuk menjelaskan segala sesuatu dan menjadi petunjuk bagi manusia, agar kita dapat mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Oleh karena itu, Rasulullah - shollallohu ‘alaihi wa sallam – menganjurkan dan memerintahkan kita untuk selalu membaca dan mentadaburi al Quran serta mengenalkan dan mengajarkannya kepada anak kita, serta menganjurkan kepada mereka untuk selalu membacanya.

Sebab, membaca al Quran di sisi Allah ta’ala dihitung sebagai ibadah, yang tentunya jika kita ikhlas dalam membacanya, akan mendapat pahala dan menambah pundi-pundi amal kita. Sungguh, karunia yang besar dan luas dari Allah ta’ala kepada kaum muslimin, yang mana hanya sekadar membaca, yaitu membaca al Quran dijadikan sebagai bentuk ibadah kepada Allah ta’ala.

Perintahkan anak-anak membaca al Quran

Abu dan Ummu, tanamkan pada diri anak kita untuk mencintai al Quran sebelum kitab-kitab yang lain, karena ia adalah kitab suci kita dan petunjuk di dunia agar kita dapat mencapai kebahagiaan. Adapun caranya, dengan mengenalkan al Quran pada mereka sejak usia dini. Ajarkan cara membacanya dengan betul, sebelum mengenal pelajaran yang lain.

Dan hendaknya, pengajaran ini dijadikan yang awal dan utama sehingga menjadi kebiasaan bagi mereka. Karena kecintaan itu akan timbul dengan kebiasaan. Bahkan, Rasulullah - shollallohu ‘alaihi wa sallam - memberikan penghargaan kepada orang yang belajar dan mengajarkan al Quran dengan sabdanya,

Sebaik-baik kamu adalah orang yang belajar al Quran dan mengajarkannya” (Riwayat Muslim)

Setelah itu perintahkan dan tanamkan pada anak kita untuk selalu membaca al Quran dan jangan sampai meninggalkan untuk membacanya. Hal ini akan terwujud jika kita sebagai orang tua menjadi contoh yang baik dan pelopor dalam hal ini. Bagaimana mungkin kita menginginkan anak kita rajin membaca al Quran sedang kita justru malah tidak sering membacanya atau justru sibuk dengan urusan-urusan yang lain.



HUKUMAN ATAU PUKULAN?

Abu dan Ummu, disadari atau tidak, masih banyak orang tua yang salah dalam menerapkan atau mengajarkan disiplin kepada anaknya. Sayangnya, para orang tua tidak pernah menyadarinya, dan bahkan tidak pernah berusaha untuk mempelajarinya. Untuk itu, sudah seharusnya Abu dan Ummu lebih peduli terhadap perkembangan buah hati anda.

Memang, tidak mudah menjadi orang tua yang baik. Yang paling sulit, bagaimana sebagai orang tua bisa mengendalikan emosi dalam mengasuh anak. Mungkin secara teori, Abu dan Ummu sudah banyak mendapatkannya, tetapi begitu menghadapi anak yang “nakal”, menguaplah semua teori itu dari kepala. Ketidakmampuan orang tua mengendalikan emosi ini, akhirnya muncul dalam bentuk pukulan atau tindakan fisik terhadap anak.

Semua buku/informasi tentang cara mengajar disiplin kepada anak, selalu menekankan untuk tidak boleh memukul atau memberikan hukuman fisik. Memang…, mudah dikatakan, tapi cukup sulit untuk diterapkan. Padahal, hukuman fisik justru bisa menjadi “permainan menarik” bagi anak, dan tidak akan mampu mendisiplinkan anak.

Hasil penelitian menunjukkan, anak balita belum bisa memahami hubungan antara tindakannya yang “nakal’ (menurut orang tua) dengan pukulan yang diterimanya. Anak hanya merasakan sakit karena dipukul tanpa tahu kenapa dipukul. Kalaupun si anak tidak lagi melakukan tindakan “nakal”-nya itu, hal ini bukan karena dia menyadari kenakalannya, tetapi lebih pada rasa takut akan dipukul lagi. Artinya, pukulan tersebut sama sekali tidak bisa mendisiplinkan anak atas kesadarannya sendiri!

Jadi, jangan pernah memukul! Memukul tidak ada gunanya sama sekali bagi anak, kecuali hanya memuaskan emosi orang tua. Dalam menghadapi sikap anak yang ‘nakal’ dan tidak disiplin atau melanggar peraturan keluarga, para ahli perkembangan anak menyarankan untuk memberikan time-out kepada anak. Time-out di sini sebenarnya kata halus untuk sebuah hukuman, tetapi bukan hukuman fisik.




MENGAJARKAN IBADAH LEBIH UTAMA

Abu dan Ummu yang dirahmati Allah. Di antara orang yang akan mendapat naungan Allah pada hari kiamat adalah pemuda yang tumbuh berkembang dalam beribadah kepada Allah, sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat Muslim.

Sungguh, alangkah beruntung seorang tua jika memiliki buah hati yang tumbuh dalam beribadah kepada Allah. Namun tentu saja, hal itu tidak bisa lepas dari usaha orang tua untuk mendidik buah hatinya dengan sebaik-baiknya.

Doa, Ibadah Paling Utama

Dalam suatu hadits Rasulullah — shollallohu ‘alaihi wa sallam — menyatakan, “Doa adalah ibadah.” (Riwayat Abu Daud dan Tirmidzi, disahihkan oleh al Albani)

Dan dalam satu riwayat, Ibnu Abbas menyebutkan, “Ibadah paling utama adalah doa.” (Riwayat al-Hakim, dihasankan oleh al Albani)

Memang benar, doa bisa dikatakan ibadah paling utama. Karena dalam doa, tampak dengan jelas hakikat peribadahan seseorang kepada Allah. Dalam doa terdapat kerendahan diri seorang hamba kepada Allah, dan tampak kebutuhannya kepada Allah. Di mana hal-hal inilah yang menjadi inti dari ibadah.

Abu dan Ummu yang dirahmati Allah, setelah kita tahu agungnya ibadah doa ini. Setelah kita tahu bahwa dalam doa terwujud hakikat dari peribadahan seorang hamba. Maka alangkah layaknya sebagai orang tua yang ingin menumbuhkembangkan anak dalam peribadahan kepada Allah, untuk mengajarkan ibadah yang paling utama ini. Agar anak kita senantiasa tunduk, merendahkan diri dan merasa butuh kepada Allah ta’ala.

Bagaimana mengajarkan doa?

Abu dan Ummu yang dirahmati Allah. Dalam mengajarkan doa, perlu kita perhatikan bahwa di sana ada doa-doa yang khusus diucapkan pada waktu-waktu tertentu, dan ada pula doa yang diucapkan karena kebutuhan tertentu.

Untuk doa-doa khusus pada waktu tertentu, usahakanlah Abu dan Ummu mencari doa-doa yang memang benar datang dari Nabi — shollallohu ‘alaihi wa sallam –. Seperti doa keluar masuk rumah, doa keluar masuk masjid, doa sebelum tidur, doa bangun tidur, doa keluar masuk kamar mandi, dan doa-doa lain yang dijelaskan untuk momen-momen tertentu.

Adapun doa-doa yang muncul karena kebutuhan tertentu -mungkin karena ingin mendapatkan sesuatu hal atau menghindari sesuatu hal-, jika bisa mendapatkan doa semisal dari Nabi — shollallohu ‘alaihi wa sallam –, maka gunakan doa itu. Jika tidak mendapatkannya, Abu dan Ummu bisa mengajarkan doa dengan kalimat-kalimat baik yang tidak menyalahi syariat, terutama adab-adab berdoa.




AGAR ANAK TAK INGIN MENANG SENDIRI

Abu dan Ummu, kembali ya Bunayya menjumpai Anda. Kali ini akan diberikan sedikit kiat menghadapi ank egois. Abu dan Ummu, egois berasal dari kata ego, artinya “aku” dalam bahasa Yunani. Jadi, yang dimaksud egois adalah sikap mementingkan diri di atas kepentingan orang lain tanpa batas. Artinya tidak mengenal kondisi, dalam pengertian dengan siapakah kita bersama, pokoknya dirinya yang harus mendapatkan prioritas utama.

Pada dasarnya, orang yang egois punya sifat serakah, meskipun tidak selalu nampak serakah. Orang egois sebetulnya menyimpan ketakutan dan kekhawatiran. Apa yang dikhawatirkan, dia takut kehilangan apa yang menjadi miliknya atau haknya, sehingga dia tidak rela kehilangan sedikit pun yang sudah menjadi miliknya. Dia takut sekali, maka bisa dikatakan orang egois sebetulnya punya kebutuhan besar akan ketenteraman atau keamanan.

Abu dan Ummu, anak menjadi bersikap egois biasanya timbul karena kelanjutan dari apa yang telah diterimanya selama ini. Misalnya sejak kecil ia dijunjung dan diutamakan, ia tidak pernah disalahkan dan senantiasa dibenarkan. Nah, sewaktu dia dewasa, dia menuntut perlakuan yang sama dari semua orang. Dan dia akan gagal mengembangkan satu keterampilan yang sangat penting, yakni berempati yang artinya adalah menempatkan diri pada posisi orang lain, melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain, atau merasakan sesuatu dari perasaan orang lain. Dalam hal ini anak tunggal cenderung juga untuk egois, karena anak tunggal tidak harus mengalah.

Abu dan Ummu, pada lembar Ya Bunayya majalah Nikah Sakinah edisi Mei 2010, bisa Anda simak beberapa cara menghilangkan sifat egois pada anak. Semoga apa yang kami sampaikan bisa bermanfaat bagi Abu dan Ummu.




HUTANG HARUS DIBAYAR

Terkadang, hutang dapat membuat orang malu untuk berjumpa dengan orang yang memberikan pinjaman, meskipun untuk menunaikan salah satu kewajiban dalam agama. Sebagaimana dikisahkan, suatu hari Qais bin Saad bin Ubadah – rodhiyallohu ‘anhu – merasa saudara-saudaranya terlambat menjenguknya, lalu dikatakan kepadanya, “Mereka malu dengan hutangnya kepadamu.” Maka Qais pun menjawab, “Celakalah harta, dapat menghalangi saudara untuk menjenguk saudaranya.” Kemudian Qais memerintahkan agar mengumumkan: “Barangsiapa yang mempunyai hutang kepada Qais, maka dia telah lunas.” Setelah diumumkan pembebasan hutang ini, sore harinya, jenjang rumahnya patah, saking banyaknya orang yang menjenguknya. [1]

Begitulah, selain rasa malu, orang yang berhutang wajib membayar hutangnya. Tidak dibenarkan menunda-nunda pembayaran, padahal dia telah mampu. Rasulullah – shollallohu ‘alaihi wa sallam – bersabda,

مَطْلُ الغَنِيِّ ظُلْمٌ

“Menunda-nunda pembayaran hutang bagi yang mampu merupakan sebuah kezhaliman.”

Apalagi jika meminjam dengan niat tidak mengembalikan, perbuatan seperti itu akan terancam sabda Rasulullah – shollallohu ‘alaihi wa sallam -,
“Barangsiapa yang mengambil harta orang lain dengan niat ingin mengembalikan (melunasinya), niscaya Allah akan membayarkan baginya. Barangsiapa yang mengambilnya dengan niat hendak melenyapkan, niscaya Allah akan menghancurkannya.” (Riwayat al-Bukhari no. 2387)

Demikianlah, bagi orang yang berhutang berusahalah untuk melunasinya. Jangan lupa, Rasulullah mengajarkan beberapa doa bebas hutang, selain berusaha, hendaknya doa ini dihaflakan dan dibaca.
Adapun bagi yang meminjamkan uang, hendaknya memberikan kemudahan. Misalnya kemudahan dalam pelunasan hutang atau bahkan membebaskan hutang orang lain kepadanya. Ada satu kisah menarik, sebagaimana sabda Rasulullah – shollallohu ‘alaihi wa sallam -,
“Ada seorang pedagang yang memberikan hutang kepada manusia. Jika dia melihat seseorang kesulitan dalam membayarnya (maka) dia mengatakan kepada pembantunya, ‘Bebaskan ia, semoga Allah membebaskan (mengampuni) dosa) kita.’ Maka Allah pun mengampuni dosanya.” (riwayat al-Bukhari dan Muslim)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar