Kehampaan
Aku menorehkan tinta diatas secarik kertas buta
Ku gambar sesuatu yang ku sendiri tak pernah tahu artinya
Kan kubiarkan diriku buta mencari arti yang gelap
Hanya suara aneh tak jelas yang kudengar
Diriku terpojok oleh sang waktu
Mencoba meraba-raba dalam gelap
Perabaku tak merasa
Ku berteriak
Hanya gema yang menjawab
Kini aku merasa sendiri
Ketakutan pada hari akhir
Tak ada kebenaran sedikitpun
Hanya ketakutan
Ku membujur kaku meregang nyawa
Ku merasa detak-detak jantungku tak terasa lagi
Inikah akhir ???
Aku tak ingin akhir seperti ini
Akhir yang begitu mengerikan
Aku menginginkan akhir yang indah
Tak sendiri
Selalu bersama-sama orang yang tercinta
Hanya itu
Hal yang kuinginkan Tuhan
Mati alam sebaik-baiknya mati
Khusnul Qotimah
KUINGIN
Kuingin Kesempatan
Dalam dingin aku terdiam
Dalam sepi aku termenung
Memikirkan tentang jalannya hidupku
Merenungi semua kisahku
Namun semua tak selalu mulus
Banyak kerikil menghalang
Banyak duri berterbaran
Aku ingin hidup tanpa kegelisahan dan kesukaran
Aku ingin hidup yang selalu indah
Mungkinkah itu terwujud Tuhan ???
Tanda tanya itu tlah terpati dalam diriku ini
Dalam diriku yang selalu menginginkan kebahagiaan yang abadi.
Tapi……….
Diriku lebih menginginkan suatu kesempatan Tuhan
Kesempatan tuk meraih hidup yang indah
Kesematan tuk menggapai semua mimpiku
Kesempatan tuk menjadi tegar
Kesempatan tuk menjadi orang yang bermanfaat
Bermanfaat di mata Tuhan dan seluruh umatMu
Ku ingin itu Tuhan………
Karena ku tak tahu harus pada siapa lagi ku harus meminta selain diriMu
Ku kan berusaha menjalani hidupku ini
Yang begitu banyak makna tersembunyi dibalik semua kehendakMu
Dibalik semua cobaan
Dibalik semua derita
Pasti tersembunyi
Dan diriku takkan pernah tahu
Sebelumnya diriku menjalankannya sendiri
Ku percaya semua itu kehendakMu
Mampu memberi kejutan tak terduga pada seluruh umatMu
Entah yang diinginkan mereka atau yang mereka tolak
Semua tergantung padaMu Tuhan
Karena engkau adalah pengendali seluruh Alam
Pemberi bahagia maupun derita dalam hidup
Kuingin Jadi Diriku
Aku hanya ingin hidupku ini berarti
Aku tahu aku hanya manusia biasa
Aku bukanlah Tuhan, Malaikat, Rasul dan Nabi
Yang mempunyai arti dalam hidup manusia
Aku tau aku hanyalah pengkhayal yang malas
Tapi aku ingin hidupku ini sedikit saja berarti cukup bagi diriku sendiri bahkan orang lain.
Aku ingi berarti seperti Nabi Muhammad S.A.W yang hidupnya berarti bahkan anugrah bagi jutaan umat Islam di dunia bahkan diakhirat, karena syafa’atnya sangat dinantikan oleh semua umat beriman.
Aku ingin seperti Syafi’i
Yang hidupnya penuh arti bagi jutaan pengikutnya, orang yang dapat mengkhatamkan Al-Qur’an sekali sehari bahkan dua kali sehari.
Dia diuji oleh 40 jenis penyakit, tapi dia tetap mengkhatamkan Al-Qur’an
Aku ingin seperti Albert Einstein
Yang dianggap orang gila karena penampilannya, tapi dia berarti bagi jutaan manusia karena kecerdasanya, yang dieluhkan oleh jutaan manusia dari abad ke abad.
Aku ingin seperti Soekarno
Yang hidupnya penuh makna bagi rakyat Indonesia
Dia pawai dalam memimpin, cerdas dan berani meski akhirnya di anggap sampah
Tapi dialah sampah yang berguna bagi kehidupan.
Aku ingin seperti semua ini
Tapi ini sulit bahkan sangat-sangat sulit
Mungkinkah aku bisa jadi seperti mereka ???
Hanya waktu yang akan menjawab
Tapi satu hal yang seluruh mahkluk kecuali Tuhan tidak mereka miliki yaitu diriku sendiri.
Aku ingin tetap jadi diriku sendiri
Karena ku tahu tak kan ada makhluk kecuali Tuhan yang bisa menjadi diriku.
Aku adalah
Mereka adalah mereka dan memiliki peran dalam hidupnya masing-masing d
Tergantung mereka aakan memilih peran apa yang mereka pilih
Apa hanya sebatas peran sebagai manusia biasa yang hanya menjalankan peran yang biasa saja ???
Ataukah peran yang memiliki arti bagi setiap orang atau dirinya sendiri ???
Entahlah, tapi yang pasti aku ingin peran yang ku pilih berarti bagi diriku sendiri, keluarga, agama, orang-orang yang kukenal, orang lain, orang banyak, nusa bangsa dan dunia.
Mungkin semuanya tak akan mungkin
Tapi biarlah waktu yang kan menjawab semuanya
Sementara itu, aku akan berusaha memilih peran yang akan kujalani nanti
Dan tentu peran yang harus memiliki makna.
Ketidakadilan
Keadilan tak ada yang mau tahu
Tak ada yang mau mengerti
Apa yang dinamakan suatu kebenaran
Kebanyakan orang hanya ingin mengejar
Kebenaran-kebenaran palsu
Mereka tak tahu yang mereka kejar adalah kesalaha
Seseorang yang hanya mengejar kebesaran dalam hidupnya
Tanpa mempedulikan suatu kebenaran
Wanita-wanita berjejer di pinggir jalan
Saling mengejar kesalahan yang mereka anggap benar
Orang-orang yang hanya menyerukan kesalahan
Padahal mereka sesat
Seorang anak yang menyalahkan ibunya
Seorang bapak yang bekerja tanpa mempedulikan anak bini
Seorang ibu hanya mengasuh anaknya
Seorang anak yang bermain saja
Hari esok seperti datang hari ini
PERUBAHAN
Metamorfosis
Kapan kita akan berubah ??
Menjadi sosok orang yang lebih baik
Orang yang mengerti adab, norma dan aturan.
Begitu banyak perubahan drastis kita
Sering melanggar apa yang seharusnya ditaati
Apa ini semacam adaptasi pada perubahan zaman ini ?
Namun adaptasi yang sangat keliru
Kita menjadi semakin luar dan tak terkendali
Dimana rasa malu kita ??
Orang tua kita, negara kita
Pasti tak menginginkan perubahan buruk ini
Perubahan yang hanya akan membuat kita kecil tak berharga
Sebuah perubahan tlah menanti
Menjadi sosok manusia yang dikenal bukan karena keburukannya
Tapi dari semua segi positif dari kita
Kita pasti tak menginginkan semua kecewa
Melihat perubahan drastis diri kita
Jadi………………..
Mari kita berubah
Seperti kepompong yang menjadi kupu-kupu
Berubah dari nol menjadi yang terbaik.
Bertepuk Sebelah Tangan
Ku geram………….
Ku murka………….
Dirimu tak sedikitpun menyadari perasaan
Perasaan tulus yang muncul dari lubuk hatiku
Diriku begitu kesulitan
Memahamimu saja diriku tak mampu
Seakan dirimu bagai lembah tak bernyawa
Hanya ada jiwa yang kosong
Tak bisa merasakan tulusnya cintaku
Hatiku selalu ingin memberontak
Ingin segera menyadarkanmu
Bahwa diriku ini ingin selalu didekatmu
Tapi………
Dirimu tak menganggapku ada
Kau malah berpaling dengan yang lain
Kau tak menghiraukan ketulusanku
Yang begitu besar dan tak terkira
Kau selalu begitu dan begitu
Menyakitiku dengan sesuka hatimu
Mungkin ini memang takdirku
Tapi takdir yang begitu buruk
Karena diriku tak menginginkan ini
Cintaku yang bertepuk sebelah tangan
Tanpa adanya sambutan
Serasa kosong dan letih mengejarmu
Penantian
Ku berjalan dalam lembah kehidupanMenyusuri sang waktu
Mencari makna di balik peristiwa hidup
Yang begitu rumit untuk ditebak begitu saja
Tanpa kehadiranmu disisiku
Tanpa hembusan nafasmu
Diriku seakan hidup dalam gulita
Dalam kelamnya malam yang mencekam
Tapi diriku kan menantimu
Walau hatiku sudah tak kuat lagi
Begitu penuh duka dan derita
Hanya untuk mengharap kehadiranmu
Sebagai warna hidupku ini
Penyemangat dalam kegundahanku
Terbuka Sudah
Aku tak menyangka
Kini kau kembali muncul dihadapanku
Mengingatkanku pada kisah masa laluku
Yang begitu pahit dan getir rasanya
Kau hadir disaat yang tak tepat
Dimana aku telah menemukan penggantimu
Seseorang yang bisa membuatku lupa tentang dirimu
Kini kau hadir lagi…………
Dengan tersenyum getir ke arahku
Entah apa yang kau pikirkan
Aku pun tak tahu dan tak pernah ingin tahu
Karena di hatiku sudah tak ada lagi tempat untukmu
Satu hati telah terisi untuk satu orang saja
Ku ingin kau tahu
Aku tak menginginkan kembali padamu
Karena aku telah sadar akan kekeliruan
Begitu memujamu hingga menyakiti diriku ini
Menggoreskan semua luka dalam hatiku
Tapi ku bersyukur……….
Tuhan masih mencintaiku
Semua kebusukanmu terbuka sedikit demi sedikit
Dan aku lega
Karena diriku sudah tak bersamamu lagi
Diamkan Ku
Kau diam saat aku bicara padamu
Kau diam saat aku merengek padamu
Kau diam saat aku berhadap padamu
Kau diam saat aku khawatir padamu
Kini diriku semakin tak mengerti jalan pikiranmu
Begitu sukar memahami semua tingkahmu
Membuat diriku semakin ingin menjauh darimu
Menjauh karena dirimu tetap diam
Ku rasa kau juga mahkluk hidup
Dapat menanggapi suatu rangsangan sekitar
Ku tahu kau paham fisika
Suatu hal akan bereaksi apabila diberi aksi
Tapi dirimu tak begitu ??
Selalu terdiam dan diam
Bergerak pun tidak
Hanya diam ditempat seperti patung
Begitu sakit hati ketika kau diamkan
Membiarkan aku tanpa alasan yang jelas
Akankah dirimu merasa hebat bisa membuatku binggung
Tanyakan itu pada dirimu
Sebab dirimulah yang tahu jawabannya
Tanah Liat
Harapan suatu persoalan bagi mereka yang merasa tinggi
Persoalan dunia yang buta akan indahnya perdamaian
Mempertaruhkan sebuah kebenaran yang tak pernah jadi benar
Senandung kebanggaan akan kekuasaan
Mendayu-dayu layaknya mantra jahanam
Padahal mereka mengucilkanNya
Mereka pikir mereka hebat
Padahal mereka semua penakut
Yang hanya bersembunyi dibalik kata-kata sombong nan gagah
Padalah mereka hanya kurcaci-kurcaci kerdil
Mereka hanya bisa mempersoalkan permasalahan rakyat
Padahal mereka pemfitnah
Pikiran-pikiran tajam mereka merontokkan semangat tanah-tanah yang gigih meremas keringat demi anak bini.
Merekalah tanah rendahan
Tapi mereka adalah tanah kubur bagi pada petinggi
WAKTU(BISA) SALAH
mendung tidak runtuh hari ini
hanya dua bayangan matamu
berubah menjadi sepasang gagak hitam diatap
seperti munkar dan nakir yang premature
garis-garis kering di bibirmu seperti
magazine penuh kata-kata
diantara kedua belahnya
pementasan san pek dan eng tay takut dilupakan
mengingatkanku pada anoman obong
bahkan barathayuda dan Ramayana
hanya ribuan wajah dasamuka
tak sebadan lagi
tarik tambang diujung thermometer
diketiak demam berdarah adikku
mojok pesta kebun dengan nyamuk-nyamuk keparat
dengan hasil tukar menukar darah dan air liur
bersembunyi bersama 6,7 trilliun berkaki
beruntung jarum jam jua tak terima
tak sabar
seperti menunggu akhir sebuah drama Yunani
dengan kepala penuh katarsisme
dan pintu depan diketuk
satu dasamuka berhasil membawa lari tanda ‘tutup’
Semua sudah terlambat
kini aku harus benar-benar menghadapi wajahmu
yang masih tersenyum
tapi sampai entah kapan
SAJAK LUPA
sudah ribuan mendahuluiku
beberapa dengan wajah masih terangkat
tapi kebanyakan sudah tak mampu lagi
bahkan hanya mengangkat ujung hidungnya
beberapa menerima tamparan rasa malu dengan sebuah janji
tapi kebanyakan menerimanya dengan sebuah keputusasaan
beberapa mencoba membuat perubahan walau berat
tapi kebanyakan hilang kesadarannya
seketika setelah tali toga digeser
seperti anak kecil hilang dibawa pergi
arus comberan tepat di depan rumahnya
tepat di depan ibunya yang masih memegang makan siangnya
rengekannya bisu
tangisnya tak bersuara
namun menyayat
melengking tajam
setajam suara bercampurnya gas dan asam lambung dalam perut kosong
anak-anak kecil kurang gizi di negeri ini
matahari menggantung
tak begitu jauh dari ujung rambut
lelehan keringat menghujam aspal panas
dan lalat-lalat sibuk menghindarinya
menghindari lelehan keringat besar-besar milik kuli bangunan
yang harus kerja lembur dan tak memiliki kartu asuransi
menghindari lelehan keringat asin penuh sakit hati milik buruh tani
yang sawahnya dicuri perusahaan kelapa sawit
menghindari keringat panas penuh amarah milik penyapu jalan
yang sampahnya diterbangkan mobil dinas yang dipakai kebut-kebutan anak pejabat
sembari menunggu waktu yang tepat untuk berpesta
menunggu mereka yang wajahnya tertunduk
dibawa pergi mobil-mobil dinas
setelah sebelumnya menyerahkan ijazah
beserta keberanian untuk mandirinya
dan kalaupun gagal
partai-partai selalu punya tempat untuk kader salon
menunggu yang pura-pura tak malu
berjalan beriringan
sembunyi di balik tumpukan-tumpukan buku pesanan
yayasan-yayasan dan
investor-investor asing
yang sigap menuliskan plang di pintu perpustakaan
‘JANGAN DIGANGGU! ADA KEBOHONGAN YANG HARUS DITERUSKAN!’
o lalat-lalat waktu pesta kalian sebentar lagi tiba
barisan terakhir sudah bersiap mengangkat kaki
ke sudut-sudut desa
ke pesisir-pesisisr pantai
ke kelokan-kelokan gunung
ke pinggir-pinggir kali
ke pelosok-pelosok hutan
mencari apa yang bisa dijual
di balik ini semua
membuka warung kelontong minyak di bawah balai desa
menjajakan minyak di lepas pantai
menyingkap gunung demi batu bara
mengiklankan eksotisme emas di aliran sungai
mengebiri hutan jati
menelanjangi negeri ini
bersikeras mereka melakukannya dengan sadar
lalat-lalat sudah sibuk
sikut-sikutan
mengerubungi titik-titik keringat
adu cepat dengan jilatan matahari
hisap!
hisap!
habiskan sebelum mongering!
hisap!
hisap sampai benar-benar kering!
dan orang-orang tadi
hanya menontonnya
tanpa pernah bertanya
tetes-tetes keringat ini milik siapa!
CINTA DIMEJA BAR
tatapan matamu tajam
menembus asap rokok
dan buram gelas bir dingin
lalu menusuk jam dinding
yang mati seketika
AKU INGIN TIDUR BARANG SATU JAM
aku ingin tidur barang satu jam
tetapi tanah bergetar-getar
digoyang tumbang pohon-pohon
yang lari terbirit-birit dikejar
traktor, gergaji mesin dan uang sogokan
aku ingin tidur barang satu jam
tetapi jarum jam yang terlalu sabar
menungguku
termangu seperti lapar
yang menggantung dihari-hari
para pengungsi Lapindo
aku ingin tidur barang satu jam
tetapi bale-bale tempatku mengawali ribuan mimpi
dan memendam dalam-dalam ribuan keinginan
terbang tinggi dihempas kepakan sayap sekarat
seekor burung garuda
yang kelojotan keracunan
makanan impor
aku ingin tidur barang satu jam
namun nina bobo
nyanyian bocah-bocah
yang berlompat-lompatan diguyur
sinar purnama segar tak pucat
semakin lirih
memaksaku mencari-carinya
kedalam sakuku
yang cuma berisi cap
bertuliskan “KUNO!”
aku ingin tidur barang satu jam
namun aku dengar suara dengkuran
yang jauh lebih keras dari semua pengganggu tidurku
puluhan ekor anjing sedang hibernasi
saat tuannya melancong ke luar negeri
sebuah rumah megah
beratap bukan rumbia bukan seng bukan genting bukan pening
berlantai bukan pasir bukan tanah bukan semen kasar bukan kekasaran
dibangun untuk menyimpan dengkuran-dengkuran tadi
beserta anjing-anjing empunya
dan gagal!!!
gagal menahan kerasnya dengkuran-dengkuran tadi
yang mendobrak-dobrak pintu jendela batu bata
hingga mencubiti kantukku
yang terus menggoda
terus menggoda
menjilati ujung telingaku
mengendus-endus tangan kaki ku
menyulut kumparan dalam kepalaku
dan menghamili amarahku
dan sekonyong-konyong
aku hisap semua udara
yang belum tercemar
nafas bau uang haram dan
sperma ras arya
lalu ku ledakkan dalam
secarik kertas
yang lalu menerbangkan
berderet-deret kata
se-magazine penuh peluru mengantri bercinta dengan darah si terhukum
untuk menghantui mereka
yang mengantuk
yang tertidur
yang termangu
yang terbelenggu
agar tak satupun bermimpi seperti mimpi yang didengkurkan anjing-anjing tadi
Mari Bernyanyi Dijalanan Diantara Dua Kematian
mari bernyanyi dijalanan diantara dua kematian
siapkan orkestra dan kakimu
untuk long march telusuri setiap sudut kotamu
kibarkan bendera di panji-panji perangmu
jangan biarkan dua kematian ini menuhankan dirinya
dan mengatur nasibmu
masa depan belum juga mulai mati
masa depan masih tersimpan di tangan kakimu
mari bernyanyi dijalanan diantara dua kematian
angkat gelasmu tinggi-tinggi
baptismu dirimu dalam anyir dua kematian itu
tenggelamkan dirimu dalam tubuhnya
kenali wajahnya
jadikannya topengmu
lihat melewati matanya
buat kenyataanmu sendiri
masa depan belum juga mulai mati
masa depan masih tersimpan di tangan kakimu
mari bernyanyi dijalanan diantara dua kematian
anjing-anjing kota mungkin mengejarmu
mencabikmu sebagian tubuhmu untuk bos-nya
jangan takut, mereka cuma hamba yang takut dua kematian tadi
tidakkah kau dengar gemeretak gigi mereka
ketika mengemis ampun dari remah-remah kematian itu?
teruskan langkahmu
masa depan belum juga mulai mati
masa depan masih tersimpan di tangan kakimu
jangan takut kematian menyergapmu
karena dari matimu jutaan lahir atas namamu, INDONESIA
PEDULI APA ANCAMAN
desingan pistol sudah kudengar
mengancam
walau keberanian baru menjelma ide
percuma mencari suaranya
dan terkesima
yang harus ditemukan
adalah pistolnya
dan lumpuhkan
dengan suara yang lebih nyata
dan nyaring!!!
KAU TAK TAMPAK LAGI DIPETA INDONESIA
ujung-ujung padi kini jauh
dari tetesan peluhmu
rupanya kau telah angkat sauh
berganti arah
aku tak bisa lagi membaca lelahmu
kala lumpur dan tapak-tapak kakimu
pecah dan terbelah
bukankah pematang-pematang ini cukup lebar?
kalau hanya untuk sekedar ceret dan gelas saat tinggi matahari
bukankah rerumputan di pinggirannya masih cukup hijau?
kalau hanya sepetak cengkerama kau dan anak-anakmu
bukankah nyanyi garengpong masih ramah?
kalau hanya untuk teman menunggu
tapi mereka cuma lukisan abstrak
dongeng negri agraris
dongeng agar dada tetap membusung
: Jawadwipa!
dan kini pacul harus diangkat tinggi-tinggi
musuh bukan lagi tikus
ular dan wereng sudah terseret arus
lantas apalagi?
sawahmu kini terbuat dari
panas matahari kota
bengus wajah PHH
dan secarik surat sakti menteri
yang tak mampu jua kau sobek
sawahmu kini keras
kering dan tanpa ampun
“padi-padiku memang kuning dan merunduk,
namun ketika diinjak-injak
tak akan malu tertunduk
tapi berani dan menunjuk!”
SAJAK BOCAH
bocah-bocah berlarian
bocah-bocah berlarian kesana kemari
bocah-bocah berlarian
bocah-bocah terpaksa berlarian
bocah-bocah dilarikan dikesanakemarikan
bocah-bocah berlarian karena matahari terlalu menyengat
bocah-bocah berlarian karena awan runtuh
bocah-bocah berlarian karena rumah runtuh
bocah-bocah berlarian karena rumah diruntuhkan
bocah-bocah berlarian karena amarah
amarah bapa
amarah ibu
amarah guru
amarah tetangga
amarah presiden dan antek-anteknya
bocah-bocah berlarian
bocah berlarian kesana kemari
bocah-bocah berlarian karena takut
bocah-bocah berlarian karena ditakut-takuti tapi tak ditakuti
ditakut-takuti mimpi
ditakut-takuti janji
ditakut-takuti matahari yang terlalu menyengat
ditakut-takuti awan yang janji runtuh hari ini di mimpi mereka
bocah-bocah berlarian bukan karena darah
tapi ini darah bapa mereka
ini darah ibu mereka
ini darah guru mereka
ini darah tetangga mereka
ini darah mereka
siapa sanggup?
siapa tak takut?
bocah-bocah berlarian
bocah-bocah berlarian kesana kemari
tapi tak suka lari-lari
tak suka lari dari amarah
tak suka lari dari darah
bocah-bocah berlarian
bukan karena mereka cuma bocah
JIWA YANG TERSERAK
jiwa ku ada di parit-parit,
jiwa ku ada di lubang aspal,
jiwa ku ada di sumpeknya trotoar,
di jalan-jalan,
mengakar mencengkeram realita
yang sudah menjadi fatamorgana
REFLEKSI LAYAR TELEVISI
kabel-kabel berarakan
membawa pesan dari pisau dan garpu
untuk memotong jari-jari tangan
saat kau makan malam
dengan kekasihmu nanti
malulah dengan kulit sawo matang dan rambut ikal
bersoraklah pada parfum dan rambut miring
seperti kata para nabi mu, hai Vj MTV!
menyerahlah pada daging diapit roti
berisi otak dan nalar mu sendiri
katakan selamat datang pada Genosida
dan kau sudah terlanjur jadi mayat berjalan!!!
SAJAK WARNA-WARNI MONOKROMIS
UNTUK NEGRI-KU
Apa warna kitab suci agama mu?
Coklat muda?
Merah?
apa warna kebanggaan partai yang kau coblos?
hijau?
Ungu?
Apa warna jaket almamater mu?
Kuning?
Merah?
Apa warna celana dalam yang biasa kau pakai melancong?
Oranye?
Merah muda?
Apa warna mata turis-turis yang berkeliaran dikota mu?
Biru?
Coklat? Seperti kita?
Apa warna dataran tinggi di peta-peta?
Hijau?
Coklat?
Apa warna cat gedung-gedung kampus mu?
Putih?
Biru?
Apa warna mu saat kau lahir?
Merah?
Putih pucat?
Apa warna tangis pertama mu?
Apa warna darah orang yang duduk disebelahmu?
Apa warna kesedihan karena kematian orang yang duduk disebelahmu?
Apa warna keluhan orang disebelahmu saat membeli bensin di SPBU?
Apa warna lapar orang yang duduk disebelahmu?
Dan karena kapitalisme sudah melahap semua warna yang ada
Warna yang tersisa untuk menjawab sekian pertanyaan diatas
Adalah hitam dan putih
Silahkan jawab!!!
N.B.
Jawaban dikumpulkan setelah kalian ingat warna bendera kebangsaan kita
Debu-debu revolusi
Hingar bingar tanah mardikan bak batuk merjan batuk akut batuk menahun... batuk-batuk yang meluka lak-lakan hingga dubur ambeien darah mengering darah mengental darah perawan darah para borjuis darah dara-dara yang lubang pipisnya dikatup mimis ketidak pastian
; Semisal kita... hemm semoga tidak. Bukan berarti kita berbusa-busa... bising... Ya! Didengar... Tidak!
Hingar bingar tanah mardikan adalah catatan tersendiri bagiku yang kutaruh di pojok ruang menyempil di antara rak sepatu dan kotak baju kotorku.
: Syukurlah tak ada yang hilang kecuali catatan kakiku... Diancuk kamu!
Debu itu selintas angin sepoi yang dibiarkan kerna sejuknya
debu itu semula menipis seperti celak alis yang menggambar tebal tipis
saat tercipta kaldera...
sekam perlahan-lahan membara
tak cukup air mata tuk padamkan dahana
Bidadaraku cantikku manisku sayangku tailencungmu...
: Aku muak!
Terlalu banyak centang yang menggurat di jidatmu
mengapa kau tak mati-mati juga?
Anjinggeladak kutu loncat ular derik ular beludak dan sebangsa tikus berbelalai kezaliman, sudah cukupkah senyummu yang memuakan bertabur janji-janji yang kau ingkari menjadi bukti kebaikan akal budimu?
Dengarlah permintaanku ;
seberapa yang kau petik dari kebunku
kembalikan seperti sedia kala
gampangkan?
TERUNTUK :YANG BELUM AKU KENAL
Harus diakhiri sebelum dimulai
Harus berhenti bicara sebelum berucap
Harus berhenti berjalan sebelum melangkah
Harus berhenti bermimpi sebelum tertidur
Harus berhenti menatap sebelum melihat
Harus berhenti makan sebelum memasak
Harus berhenti mencetak sebelum mencukil
Harus seperti ini karena kita berbeda
Dan Aku tak mau jatuh ke lumpur yang sama.
AKANKAN NEGERI INI MENGULANG CATATAN DIMANA LANCANG KUNING DILUNCURKAN BERLANDASKAN PERUT PEREMPUAN BUNTING SEMBILAN BULAN
- Sejarah telah meninggalkan abad abadnya
- Ziarah tak pernah sampai dalam pusara
- Hanya melahirkan kematian dan kematian
- Antara terdakwa tanpa pengadilan
- Masa depan adalah harapan
- 2010
- KUINGIN KAU MENYAKSIKAN JERIH
- PAYAHMU IBU
- ketika ikan teri yang kau goreng untuk makan malamku
- menyusup ke celah nadiku ada embun di bola matamu
- kini telah jadi ikan kakap
- yang disantap anak-anakku di meja makan
- ada embun di mataku, mengenangmu.
KINI PAGI KIAN SUNYI TAK ADA BURUNG BERNYANYI?
Dulu... Skuntum mawar kau sinari dengan cahayamu
memancarkan bias terangnya indahmu
Kau mekarkan mawar dengan pesonamu
kehadiranmu, kehidupan bagi sang mawar
percikan embun pagi menemanimu tuk segarkanya
melantunkan dawai-dawag merdu bahagiakannya
pagi memancar
malam bergulir mengenang
kini....
Pagi terasa dingin
tak nampak hadir indahnya sinarmu
gelap mendung langitpun datang gantikanmu
percikan embun pagipun telah terkontaminasi
kini..,
pagi kian sunyi
tak ada burung bernyanyi
INGIN KUUCAP TIGA KATA MERDU UNTUKMU
Bias sinar matamu
mengobati semua rasaku
menarik imajinasi agar tetap menyukaimu
detak jantungku kian berdawai
mendengar lantunan suara indah melambai
jilbabmu membuatku kagum atasmu
meneguhkan kekuatan iman dari dirimu
ingin ku ucap tiga kata merdu untukmu
namun aku tak sanggup tuk melagu
inginku remas indah tanganmu
namun kekuatan imanmu yg membuatku enggan menyentuhmu
PESONA TERINDAH
Tersadarkan hati ingin memaki
di satu sisi lain ingin memiliki
ekspresi sikap yang kian memuji
membayangi seluruh lubuk hati
dawai detak jantung serasa berhenti
menatap mata indah lirih bernyanyi
mawarpun tunduk malu di hadapmu
kalah indah oleh pesonamu
mentari pun redup di buatmu
kalah terang oleh pesona indahmu
MUNGKIN SAMPAI NANTI
Entah mengapa, aku selalu ingat hari itu
Pagi yang mempertemukan kita di kapela tua ini, tanpa sengaja
Salam hangat tanganmu yang buka obrolan kita seadanya, begitu kaku
Lalu semua berlalu dengan cepat, hanya namamu yang bekaskan kerinduan
Tercatat abadi dalam langit anganku, mungkin sampai nanti
Sekali lagi kita bersua di sini, tanpa sengaja
Dalam bayangan senja yang terusik gemercik gerimis
Kau berbisik pelan, menertawakan dirimu yang lupa membawa payung
Sedang aku tersenyum kecil melihat tingkahmu yang manja
Lalu senja itu pun berlalu seperti cerita hari-hari kemarin
Di ujung jalan itu hanya lambai tanganmu yang jadi kenangan
Tersamar bersama malam yang menjemput senja
Dan hari itu tak juga kembali, mungkin sampai nanti
Esok yang mempertemukan kita, tanpa sengaja.
AWAS
Entah berapa kali gores mencipta barah
Kian dalam, menanah dendam
Entah berapa kali rengsa bentur membentur
Hempaskan sukma ke palung derita
Hingga ke puncak gerah
pedang kuhunus dalam kelam
Kutebas segala yang mengeram
Oi,,, jiwa lembah kelam
Mendekatlah bila dahaga menghunus
awas...!!!
Jangan merapat
Kubikin hangus kau punya angkara
Kubakar jiwamu dengan api derita
Agar dahaga dendamku melega.
KECUALI CACING
Perut ini terasa dilubangi cacing
Menusuk-nusuk organ tubuhku tiada ampun
sampai cacing-cacing ini diberi makan
Oh Allah!
Apakah doa-doaku selama ini terdengar?
Mengapa rasa lapar terus saja menggerogotiku
Doa-doaku yang dipanjatkan mungkin tak sampai
Karena dimakan cacing
Karena menganggu kekhusuan doaku
Setiap kali aku berdoa
Cacing-cacing selalu menyuruhku agar tidak lama-lama berdoa
Sering kali mereka menyuruhku jangan berdoa
Aku harus bekerja hanya demi mengenyangkan perut cacing
Oh Allah!
Kalau aku menangis dibilang cengeng
Tak mampu menghadapi dunia
Kalau aku tertawa dibilang sombong
Karena aku tak memiliki apa-apa kecuali cacing
:monolog “Episode Dedaun Kering”, Andreas Candra.
karena ketika kauberteriak hari menjelang senja
aku hanya bisa tepuk tangan kesedihan yang tanpa alasan.
mari, keringkan baju peluh tubuh-tubuh gerah di Negeri
yang entah matahari disembunyikan mendung atau ambisi
pintu kepalang dibuka –ada hidup sedang berlangsung
dimana air mata bisa dimaknai sekedar anak kecil.
(Ayah dan sodara lelakimu yang masuk penjara
atau kau, lebam pipimu di tampar-sayang
lalu serak suaramu mengobrol Tuhan panjang-lebar.)
kujabat tanganmu segenap kegagahan kemarau
:cerita memang telah usai
tetapi perjalanan ini belumlah akan sampai
bila kau seorang anak, keluarlah melihat halaman
bila kau seorang Ayah, sekedar bersiul menempa usia
dari pintu yang kepalang terbuka
atau siapa pun di situ sedang belajar memahami hidup.
RAMBUT(DAN)AYAH
Suatu hari aku bertanya pada ayah tentang rambutku yang berwarna hitam bukan emas seperti perempuan lain dalam kotak televisi.
Lalu ayahku berkata: jangan takut, nak. Rambutmu seperti rambutku, hitam dan bukan emas.
Suatu hari ayah berkata kepadaku yang menangis karena banyak orang mengejekku gendut: kamu cantik sekali.
Kamu putriku dan kamu pintar sepertiku.
Lalu kemudian, sekarang ayahku meninggal.
Meninggal, (dan) rambutnya berwarna putih.
Dan aku hidup, (dan) rambutku berwarna emas. Sekarang.
Aku sedih tiap kali ingat ayahku.
Mungkin aku sedih karena rambutku emas.
TARIAN SANG PENGEMIS
tarian anak penuh riang
menampilkan budaya yang kaya
di lapangan luas
dipagari pepohonan
ditiupi semilirnya angin malam
diiringi pukulan gendang dan angklung
di antara kebisingan kota
di bawah cahaya rembulan setengah telanjang
dihadiri para elit politik
muncul sesosok pengemis
dengan pakian kusut berwajah kusut
menampilkan sebuah tarian
tarian pembebasan sebuah penindasan
diiringi teriakan sinis
orang-orang tak tahu
membuat sang pengemis semakin bergairah
tarian anak penuh gembira
menampilkan budaya
dihadiri para elit politik
muncul sesosok pengemis dengan ajah lesuh
menampilkan tarian pembebasan
di bawah cahaya rembulan setengan telanjang
KAU PRIHATIN"KAU BILANG
Dan rayuan-bibirmu menusuk hidung kami dengan sengatan baunya yang bacin. Umbar-ambur, liak-liuk, tekang-tekong, sikat-sikut: geliat lidahmu. Pada kuping kami yang sudah merah panas, kau mencoba tersenyum. Kami gemas. Pada pola-tingkah wicaramu yang seperti uap mengambang di atas mulut baru bangun pagi, setelah semalam lupa gosok gigi. Kami gemas. Pada kau yang dari mimbarmu marah pada hilangnya pelantam suara di ruangan tempat kau memamerkan geliat lidahmu. Kami gemas. Pada sikapmu yang lebih pentingkan panggung daripada orang yang kau bicarakan dari atas panggung itu. Kami gemas. Pada kau yang dengan santai merangkul keganjilan-keganjilan yang membolongi usus kami.
Kau prihatin atas nasib kami? Cih!
TIGA WAKTU PADA SETUBUH KALA
1.
Sinar mulai merapat
Pada penampang petang yang mulai sobek, kau pun tahu itu
Selintas rupa sinar melintas
Kala denting sendok kopimu mengetuk getar pagi
Aku lihat perempuanmu sedang mengukus purnama
Yang kau petik di malam lima belas kemarin
Bersama koran yang huruf-hurufnya selalu berbicara lebih
Dan secangkir kopi yang selalu merangkum kicau embun
Kau tunggu dengan hati kian mendesir
Hingga….
Kau pergi dengan cium dan petuah
“Datanglah dengan membawa senja
Dengan begitu aku akan menyebutmu penyairku”
Ucap perempuan sembari tersenyum
2.
Saat mentari mulai mencumbu hingga berkeringat
Kertas-kertas memuakkan yang semakin mendesak
Dan perihal menjemukan lainnya
Tak ada hal lain yang dia lakukan
Selain bernaung dibawah kalimat sang bini
Yang selalu meronta, meretakkan tulang belakang
Tinta, kertas, mesin tik selalu mencipta hidup
Pada kamar-kamar yang berisi perca-perca sajak
Huruf-huruf menganyam makna
Banyak tanda menjadi semak
Memangkasnya tak cukup dengan semata pisau
Ku lihat perempuan sulung sedang menjemur matahari
Tubuhnya dikerumuni cahaya
Menetes menjelma keringat yang dia seduh bersama teh
Di kala malam merindu
3.
Mantra-mantra malam kembali
Membuatnya bergidik
Rembulan dalam pangkuan mencoba mendamaikan
Kunang-kunang berlarian pada daster perempuan tua
Penuh nikmat hingga mabuk meluap
Tumpah ruah pada permadani malam
Kerak malam yang kini berlumur bintang
Melebur bersama mimpi seorang anak kecil
Gelisah tembangraras masih pada amongraga
Tak pernah usai meski aroma mantra mulai hambar
Lagu sendu masih saja dipuja para pendoa
Pekat gelap di beberapa sudut
Tersiram sinar lampu jalan
Yang membias pada gincu-gincu silau
Hingga luluh luruh pada sepasang mata
Lantas hingga menyampulnya pada riwayat malam
RETAK TAK TERELAKKAN
saat hati tak dapat memilih
hanya bibir yang bisa bergerak kencang
saat telinga tak dapat mendengar
hanya tangan yang mampu bergerak kencang
seketika tak ada arah yang melekat
tak sadar akan dunia
hilang....
musnah...
RUMPUT KEHIDUPAN
Rumput-rumput di depan rumah
Guru filsafat kehidupan
Goyangnnya ketika diterpa angin memberiku kunci
Untuk membuka gudang gelap kehidupan
Embun pagi yang memeluknya
Mengajariku arti sebuah persahabatan
Makna cinta dan kesetiaan
Hai, rumput kehidupan
Aku banyak belajar padamu
KITA BEGITU JAUH ,TUHAN
Aku hanya sebutir debu di bawah dimensi langit pertama
Sedang Engkau ada di atas dimensi langit ketujuh
Meski begitu, acap kali kau terasa dekat
Sudikah terus mendekat. Sebab aku yang lemah ini tak begitu mampu menjangkauMu, utuh. Tak benar-benar utuh.
PUISI SIAPA DIKORAN PAGI
puisi siapa ini,
di koran pagi kutemui
penyair bulan lagi bersedih
hatinya luka kehilangan pena.
pagi di kedai kopi
aku menemukan puisi
berilustrasikan burung merpati
terbang membawa bulan di paruhnya;
tentu aku pun miliki!
sang kekasih di pulau jauh
dengan murah menanti
kabar bulanku datang.
penyair itu
seolah tak sadar
akan bulan yang cermat
mengujinya sederhana.
coba kau cari di mana pena
pada waktu sembunyi
kala bulan di atap sana
dipatuk burung merpati pergi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar