Powered By Blogger

Kamis, 10 Maret 2011

tombo resah

DOSA DAN PENEBUS DOSA

Fail:Planets2008.jpg

(76) Apabila para pelaku dosa besar di antara umat Nabi Muhammad saw meninggal dunia sebagai orang-orang yang bertauhid dan masuk neraka, mereka tidak akan kekal di dalamnya meskipun mereka belum bertaubat (dari dosa besar yang mereka lakukan) setelah mereka berjumpa Allah sebagai orang-orang yang bermakrifah. Kedudukan mereka tergantung kepada kehendak dan keputusan Allah. Jika Allah berkehendak, Dia mengampuni dan memaafkan mereka dengan kemurahan-Nya, sebagaimana difirmankan-Nya: “… dan mengampuni selain dosa syirik bagi yang dikehendaki-Nya…” Jika Allah berkehendak (lain), Dia mengazab mereka di neraka dengan keadilan-Nya kemudian mengeluarkan mereka dari neraka dengan rahmat-Nya dan syafaat mereka—orang-orang yang taat—yang diizinkan memberi syafaat. Kemudian Allah mengirim mereka ke surga-Nya. Yang demikian itu karena Allah adalah wali orang-orang yang bermakrifah kepada-Nya. Dia tidak menjadikan mereka seperti orang-orang ingkar yang jauh dari hidayah-Nya dan tidak mendapatkan perwalian dari-Nya, baik di dunia maupun di akhirat. Ya Allah, Wali Islam dan orang-orang Islam, teguhkanlah kami di atas Islam sampai kami berjumpa denganmu.

Berbeda dengan matan-matan sebelumnya yang relatif pendek-padat, matan ke-75 ini terbilang matan yang panjang-detail. Dengan matan ini Abu Ja’far ath-Thahawi menerangkan akidah Ahlussunnah wal Jamaah tentang status dan nasib pelaku dosa besar di dunia dan di akhirat.

Epistemologi Dosa Besar

Para ulama akidah berbeda pendapat dalam mendefinisikan dosa besar. Ada yang mengatakan dosa besar adalah dosa-dosa yang keharamannya disepakati dan yang kecil adalah yang diperselisihkan. Ada yang menyatakan bahwa dosa besar adalah perkara yang dapat menghalangi makrifah kepada Allah atau hilangnya harta dan nyawa. Ada juga yang menyatakan, dosa besar adalah besar dibandingkan dengan dosa yang lebih kecil. Yang paling kuat adalah mereka yang menyatakan bahwa dosa besar adalah dosa yang pelakunya diancam dengan hukum had, atau murka Allah, atau laknat, atau neraka, atau Rasulullah saw menyatakan berlepas diri dari pelakunya.

Ada empat alasan penarjihan definisi terakhir, yaitu:

Pendapat inilah pendapat yang ma`tsur dari para salaf seperti Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Uyaynah, Imam Ahmad.

Allah telah berfirman,

“Jika kalian menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang kalian dilarang mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil).” (An-Nisa`: 31)

Orang yang terancam murka, laknat Allah, dan neraka tidak akan mendapatkan janji ini. Pun mereka yang terancam hukum had kesalahannya tidak dimaafkan dengan menjauhi dosa besar.

Dengan pendapat ini, dapat dibedakan mana dosa besar dan mana dosa kecil. Mereka yang mengatakan bahwa dosa besar adalah yang disepakati syara’ dan yang kecil adalah yang diperselisihkan akan menganggap beberapa perkara besar yang diperselisihkan seperti menikahi sebagian mahram karena persusuan dan perbesanan sebagai dosa kecil dan bahwa memakan sesuap nasi milik anak yatim, mencuri sebiji kurma, dan berdusta sekali dan ringan sebagai dosa besar. Yang menyatakan bahwa dosa besar adalah perkara yang dapat menghalangi makrifah kepada Allah atau hilangnya harta dan nyawa akan menyatakan bahwa makan daging babi, makan bangkai, dan makan darah bukan sebagai dosa besar. Orang yang mengatakan bahwa dosa besar adalah besar dibandingkan dengan yang lebih kecil tidak akan pernah mengklasifikasi dosa menjadi besar dan kecil.

Status Pelaku Dosa Besar

Matan ini menegaskan bahwa menurut Ahlussunnah pelaku dosa besar –selama tidak menghalalkannya—masih memiliki iman. Iman muqayyad bukan iman mutlak. Mereka mukmin dengan imannya dan fasiq lantaran dosa besar yang dilakukannya. Ini berbeda dengan pendapat Murji`ah yang mengatakakan, mereka adalah mukmin yang sempurna imannya selagi di hati mereka meyakini iman. Kemaksiatan tidak mengurangi iman mereka.

Pelaku dosa besar selain syirik besar dan kufur besar tidaklah batal imannya. Jika mereka meninggalkan dunia ini sebelum bertaubat dari dosa besar yang mereka lakukan, status mereka adalah tahtal masyiah, tergantung kepada kehendak Allah. Bisa jadi Allah mengampuni dan memaafkan mereka dengan kemurahan-Nya. Bisa jadi juga Dia mengazab mereka di neraka dengan keadilan-Nya kemudian mengeluarkan mereka dari neraka dengan rahmat-Nya dan syafaat orang-orang taat yang diizinkan memberi syafaat, kemudian Allah memasukkan mereka ke surga-Nya. Ini berbeda dengan akidah Khawarij dan Mu’tazilah yang menyatakan bahwa mereka adalah orang-orang yang kekal di neraka.

Pijakan Ahlussunnah dalam hal ini adalah hadits-hadits shahih. Di antaranya adalah:

Akan keluar dari neraka siapa saja yang di hatinya ada iman seberat debu. (HR. al-Bukhari dan Muslim)

“Barangsiapa yang akhir ucapannya adalah ‘Laa ilaaha illallaah’ pasti masuk surga.” (HR. al-Bukhari)

“Barangsiapa bersaksi bahwa tidak ada yang berhak diibadahi selailn Allah, tulus-murni dari hatinya, pasti masuk surga.” (HR. Ahmad, shahih)

Selain itu banyak ayat yang menerangkan, Allah tidak akan menyamakan orang-orang yang taat kepada-Nya dengan yang bermaksiat. Janji dan ancaman ini berlaku di dunia dan di akhirat. Di antara ayat-ayat itu adalah:

“Patutkah Kami menganggap orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh sama dengan orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi?” (Shad: 28)

“Apakah orang-orang yang membuat kejahatan itu menyangka bahwa Kami akan menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh.” (Al-Jatsiyah: 21)

Masuknya pelaku dosa besar ke dalam neraka adalah ancaman dari Allah. Boleh saja Allah tidak melaksanakan ancaman-Nya sebagai bentuk rahmat dan anugerah-Nya. Jika pelaku dosa besar bertaubat di dunia, Allah pasti mengampuninya dan tidak melaksanakan ancaman-Nya. Demikian pula jika dosanya telah dibersihkan dengan pemberlakuan hukum had atau ia melakukan amalan penghapus dosa atau karena sebab lain, atau Allah mengampuninya tanpa sebab selain rahmat dan anugerah-Nya.

Ibnu Taymiyah berkata, “Apabila sebab-sebab yang dapat menggugurkan sanksi terbesar ini—yakni masuk neraka—tidak ada, dan itu hanyalah untuk orang yang berpaling dan lari dari Allah sebagaimana larinya onta yang lepas dari kawanannya, ia akan diazab oleh Allah di neraka, kemudian akan dikeluarkan darinya.”

Sebab-sebab yang dimaksud Ibnu Taymiyah adalah taubat, istighfar, amal kebajikan, doa seorang muslim untuk saudaranya, musibah yang dapat menghapus dosa, kengerian dan azab kubur, dan kengerian hari kiamat.

Tawadhu’nya Abu Ja’far

Doa di akhir matan adalah gambaran ketawadhu’an Abu Ja’far ath-Thahawi, penulis matan akidah ini. Meskipun beliau orang yang sangat paham akidah Ahlussunnah, namun beliau tidak merasa sombong dan yakin akan selamat di dunia dan di akhirat. Karena itulah beliau memohon kepada Allah agar diistiqamahkan di jalan yang benar. Dalam hal ini kiranya beliau meneladani Nabi Ibrahim.

Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berdoa, ‘Duhai Rabb-ku, jadikanlah negeri ini (Mekah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku dari paganisme!’.” (Ibrahim: 35)

Meskipun al-Khalil pernah menghancurkan ratusan berhala, ia tidak merasa sombong dan yakin akan selamat dari paganisme, penyembahan kepada berhala. Maka beliau pun memohpn kepada Allah agar dijauhkan darinya.

Wallahul Muwaffiq.





Pertanyaan :

Apakah penghujung waktu Ashar pada hari Jum’at merupakan waktu mustajab? Dan apakah seorang Muslim diharuskan berada di masjid saat itu dan wanita diharuskan berada di rumah?

Jawab :

Pendapat yang paling kuat tentang waktu mustajab pada hari Jum’at ada dua:
pertama; Waktu tersebut adalah setelah Ashar hingga terbenamnya matahari bagi orang yang duduk menunggu tibanya shalat maghrib, baik di masjid ataupun di rumah dengan berdoa kepada Allah, baik laki-laki maupun perempuan. Inilah saat yang paling dekat untuk diperkenankan. Tapi bagi laki-laki tidak boleh shalat Mahgrib atau shalat lainnya di rumah, kecuali karena udzur yang dibenarkan syari’at, sebagaimana yang telah diketahui dari dalil-dalil syari’at.

Dari Jabir bin Abdullah dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau bersabda; “Hari jum’at itu dua belas -maksudnya jam- dan tidak di dapati seorang muslim pun yang meminta kepada Allah kecuali Allah ta’ala akan mengabulkannya, maka bersegeralah untuk mendapatkannya pada waktu-waktu akhir setelah Ashar.”(HR. Abu Daud, dishahihkan Al Albany)

Kedua; Waktu tersebut adalah dari saat duduknya imam/khatib di atas mimbar untuk menyampaikan khutbah Jum’at hingga selesainya pelaksanaan shalat Jum’at. Doa di dua waktu ini lebih dekat untuk dikabulkan.

Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam membicarakan perihal hari Jum’at. Beliau mengatakan: “Pada hari Jum’at itu ada satu waktu, tidaklah seorang hamba Muslim mengerjakan shalat lalu dia berdo’a tepat pada saat tersebut melainkan Allah akan mengabulkan do’anya tersebut.” Kemudian beliau memberi isyarat dengan tangannya yang menunjukkan sedikitnya saat tersebut”. (HR. Bukhari)

Kedua waktu tersebut merupakan waktu yang paling mustajab pada hari Jum’at, keduanya berdasarkan hadits-hadits shahih yang menunjukkannya. Selain itu, perlu kiranya mengusahakan saat mustajab tersebut pada waktu-waktu lainnya, karena karunia Allah itu sangat luas.

Adapun waktu-waktu mustajab dalam shalat, baik shalat fardhu maupun sunnah adalah ketika sujud, berdasarkan sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam :

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Keadaan seorang hamba yang paling dekat dari Rabbnya adalah ketika dia sujud, maka perbanyaklah doa.” (HR. Muslim)

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Ketahuilah, aku dilarang untuk membaca al-Qur’an dalam keadaan rukuk atau sujud. Adapun rukuk maka agungkanlah Rabb azza wajallah, sedangkan sujud, maka berusahalah bersungguh-sungguh dalam doa, sehingga layak dikabulkan untukmu.” (HR. Muslim)

(dari Fatawa Syaikh Ibnu Bazz) dinukil dari Fatwa-Fatwa Terkini jilid 1 hal 224-225, Darul Haq,dengan sedikit tambahan dalil).






Pertanyaan :

Bagaimana Islam memandang terhadap ‘hipnotis’ di mana dengan kemampuan itu bisa mempengaruhi dan menerawangkan fikiran korban, mengendalikan dirinya (melakukan perbuatan yang diminta) dan bisa meninggalkan sesuatu yang diharamkan, sembuh dari penyakit otot tegang?

Jawab :

Pertama , Ilmu tentang hal-hal yang ghaib merupakan hak mutlak Allah Ta’ala, tidak seorang pun dari para makhluk-Nya yang mengetahui, baik itu jin atau pun selain mereka, kecuali wahyu yang disampaikan oleh Allah Ta’ala kepada orang yang dikehendaki-Nya, seperti kepada para malaikat atau para rasul-Nya. Dalam hal ini Allah Ta’ala berfirman :

Katakanlah: ‘tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah’.” (QS. An Naml : 65)

Dalam surat yang lain Allah Ta’ala berfirman :

(Dia adalah Tuhan) yang mengetahui yang ghaib, Maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada Rasul yang diridhai-Nya, Maka Sesungguhnya Dia Mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya.” (QS. Al-Jin: 26-27)

Dalam sebuah hadits shahih :

Rasulullah SAW bersabda: “Apabila Allah menetapkan satu perkara di atas langit maka para malaikat mengepakkan sayap-sayap mereka karena tunduk kepada firman-Nya, seakan-akan rantai yang berada di atas batu besar. Apabila hati mereka telah menjadi stabil, mereka berkata; ‘Apa yang difirmankan Rabb kalian? ‘ mereka menjawab; ‘Al Haq, dan Dia Maha Tinggi lagi Maha Besar.’ Jin-jin pencuri berita mendengarkannya, (mereka bersusun-susun) sebagian di atas sebagian yang lainnya. Mereka mencuri dengar kalimat lalu menyampaikannya kepada yang berada di bawahnya. Bisa jadi jin itu diterjang bintang sebelum menyampaikannya kepada yang di bawahnya, kemudian mereka menyampaikanya kepada lisan dukun atau tukang sihir. Bisa jadi mereka tidak diterjang oleh bintang sehingga dapat menyampaikannya, kemudian dicampur dengan seratus kebohongan. Maka kalimat yang didengar bisa sesuai dengan yang dari langit.” (BUKHARI – 4426)

Maka berdasarkan hal ini, tidak boleh meminta pertolongan kepada jin dan makhluk selain mereka untuk mengetahui hal-hal ghaib, baik dengan cara memohon dan mendekatkan diri kepada mereka, memasang kayu gaharu (sesajen) ataupun lainnya. Bahkan itu adalah perbuatan syirik karena ia merupakan jenis ibadah, padahal Allah telah memberitahukan kepada para hamba-Nya agar mengkhususkan ibadah hanya untuk-Nya semata, yaitu agar mereka mengatakan, “hanya kepada-Mu kami menyembah (beribadah) dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan”.

Juga terdapat hadits yang shahih dari Nabi SAW bahwasannya beliau berkata kepada Ibnu Abbas, “Bila engkau meminta, maka mintalah kepada Allah dan bila engkau memohon pertolongan, maka mohonlah pertolongan kepada Allah”.

Kedua, hipnotis merupakan salah satu jenis sihir (perdukunan) yang mempergunakan jin sehingga si pelaku dapat menguasai diri korban, lalu bebicaralah dia melalui ucapannya dan mendapatkan kekuatan untuk melakukan sebagaian perkerjaan setelah dikuasainya korban tersebut. Hal ini bisa terjadi, jika si korban benar-benar serius bersamanya dan patuh. Jin membuat si korban berada di bawah kendali si pelaku untuk melakukan pekerjaan atau berita yang dimintanya.

Atas dasar ini menggunakan ‘hipnotis’ dan menjadikannya sebagai cara atau sarana untuk menunjukkan lokasi pencurian, benda yang hilang, mengobati pasien atau melakukan perkerjaan lain melalui si pelaku ini tidak boleh hukumnya. Bahkan, ini termasuk kesyirikan. (dinukil dari fatwa-fatwa terkini jilid 1 hal. 103-106, darul haq, dengan sedikit perubahan)

Fail:Reprocessed Mariner 10 image of Mercury.jpg



Tidak ada komentar:

Posting Komentar