Powered By Blogger

Kamis, 10 Maret 2011

TOMBO ATI

ISLAM DAN LINGKUNGAN HIDUP

Fail:Venuspioneeruv.jpg

berpijak, tempat kita mengais kehidupan di dunia sangat urgen bagi pendidikan dan pembentukan karakter anak. Mengapa hal ini terjadi? Karena pendidikan dan pembentukan karakter anak dimulai dari keluarga, sedangkan ruh dan ethos keluarga dipengaruhi oleh pengetahuan dan kondusifitas lingkungan atau alam. Semakin baik nilai keilmuan dan lingkungan yang kondusif atau alam semakin positif pula karakter anak, dan sebaliknya, semakin kurang nilai keilmuan dan kondusifitas lingkungan atau alam, semakin negatif karakter anak yang diperoleh. Jadi, faktor keluarga dan lingkungan saling bersinergi dan saling memberikan pengaruh.

Sebagai contoh, dalam dunia pendidikan misalnya, bermain di alam dapat mengembangkan potensi anak dan menumbuhkan kecerdasan naturalis (intelegensi yang dibutuhkan manusia agar memiliki rasa kepekaan yang tinggi terhadap lingkungan), di mana anak lebih mudah belajar karena melihat dan mengalami secara langsung. Lebih melekat dan belajar secara efektif. Mampu memancing keingintahuan anak dan melakukan eksplorasi untuk mencari informasi melalui buku, serta membangun minat anak untuk mempelajari lebih mendalam dan menjadi ahli di bidangnya.

Berbeda halnya dengan menjadikan sebuah materi hanya sebatas materi pelajaran yang langsung jadi, yang harus dihafalkan oleh anak didik. Akibatnya, anak didik seringkali menjadikan pelajaran-pelajaran tersebut sebagai momok yang membebani pemikiran mereka.

Namun, yang sangat disayangkan, kerusakan fungsi alam dan melemahnya daya lingkungan akhir-akhir ini semakin parah. Sebenarnya, di negara kita ini memiliki kekayaan sumberdaya alam dan daya dukung lingkungan hidup yang luar biasa. Namun perilaku masyarakat yang salah dalam pemanfaatan sumberdaya alam dan daya dukung lingkungan membuat masyarakat sengsara dan tidak sejahtera. Perilaku masyarakat yang salah telah menyebabkan luas hutan makin menyusut, kawasan tangkapan air makin berkurang, cadangan air tanah makin langka, sementara itu di musim hujan air sungai meluap menimbulkan banjir, tanah longsor dan banyak kerugian lainnya yang diderita masyarakat. Tentunya, sedikit banyak, hal ini berpengaruh terhadap pendidikan dan pembentukan karakter anak.

Bagaimana solusinya?

Di antara solusinya adalah memperbaiki kualitas keluarga, karena keluarga dipandang berperan besar untuk menumbuhkan rasa cinta terhadap alam, lingkungan dan satwa liar terhadap anak. Ketika keluarga sebagai agent of value mampu menanamkan nilai tersebut maka anak juga dapat bersikap lebih menghargai terhadap alam dan satwa liar.

Kualitas keluarga bisa ditingkatkan degan mengikrarkan bahwa rujukan utama dalam membina rumah tangga adalah islam, maka di antara perwujudannya adalah meyakini bahwa Islam adalah bak mata air yang jernih, sumber belajar akidah, akhlak, adab bermuamalah, dan sumber petunjuk dalam segala hal sebagaimana yang telah Allah tegaskan dalam firman-Nya,

“Katakanlah, ‘Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagiNya, dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).” (Al An’am: 162-163)

Menjadikan islam sebagai rujukan utama dalam membina keluarga, berarti juga merealisasikan seluruh ajaran-ajaran islam, di antaranya islam sangat menganjurkan kaumnya untuk melestarikan alam atau lingkungan.

Di antara bukti-bukti bahwa islam mengajarkan umatnya untuk menjaga alam sekitar dan lingkungan alam yang kondusif adalah firman Allah,

“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah Amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (A’raf: 56)

Asy Syaukani – rohimahulloh – menjelaskan makna ayat tersebut, “Allah melarang manusia untuk berbuat kerusakan di muka bumi ini (baca lingkungan) dengan bentuk kerusakan apapun, besar ataupun kecil. Di antara contoh kerusakan adalah membunuh, merusak atau menghancurkan rumah-rumah tempat tinggal, menebangi pohon, merusak saluran air, dan di antara bentuk kerusakan di bumi adalah terjatuhnya seseorang dalam kekufuran dan kemaksiatan” (Fathul Qadir, 1/47)

Bahkan, saat kaum muslimin menaklukkan suatu negeri, mereka di larang untuk menghancurkan rumah-rumah penduduk atau merusak pepohonan yang ada kecuali untuk maslahat tertentu. Al Auza’i berkata, “Abu Bakar melarang pasukan kaum muslimin untuk menghancurkan rumah-rumah penduduk suatu negeri atau menebang pepohonan yang ada” (Tuhfadzul Ahwadzi 5/133)

Bukti yang lain adalah para ulama menyebutkan dalam buku-buku fikih, terlebih khusus di dalam bab berburu, disebutkan bahwa menjadikan burung hanya sebagai sasaran untuk berlatih ketepatan membidik, hal itu dilarang. (Subulus Salam)

Beberapa hal di atas, cukup menjadi bukti bahwa Islam sangatlah menganjurkan kaumnya untuk melestarikan alam atau lingkungan. Merusak lingkungan atau alam berarti telah melanggar perintah Allah, sedangkan pelanggaran pasti berakibat buruk kepada pelakunya, baik langsung maupun tidak langsung.

Bagaimana melestarikan lingkungan?

Untuk melestarikan lingkungan ada lima prinsip yang harus dilakukan dan ditanamkan kepada anak-anak kita, yaitu:
Pertama: Reduce (mengurangi), yaitu mengurangi segala sesuatu yang menyebabkan sampah, hindari penggunaan sumpit bambu, penggunaan kotak makanan Styrofoam dan barang sekali pakai lainnya.
Kedua: Reuse (memanfaatkan kembali), yaitu menggunakan kembali barang-barang yang masih dapat digunakan untuk fungsi yang sama atau fungsi lainnya.
Ketiga: recycle (daur ulang), yaitu mengolah kembali sampah menjadi barang atau produk baru yang bermanfaat.
Keempat: rethink (menimbang ulang), yaitu menimbang kembali barang-barang yang akan dibeli apakah memang merupakan kebutuhan atau keinginan?
Kelima: repair (memperbaiki), yaitu memperbaiki barang-barang yang rusak agar bisa digunakan lagi.

Bukti kerusakan alam

Akibat paling nyata dari perilaku masyarakat yang salah dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan adalah sejumlah daerah aliran sungai (DAS) di Indonesia dalam keadaan kritis. Menurut data Departemen Kehutanan (2008), sebanyak 39 DAS di Indonesia dalam keadaan kritis, di mana 42% berada di Jawa dan 25% di Sumatra. Kenyataan lain yang mengkhawatirkan adalah lebih dari 70% penduduk Indonesia menggunakan air yang diambil dari sumber yang kemungkinan besar sudah tercemar.

Untuk meningkatkan ketersediaan air bersih bagi masyarakat dibutuhkan dana yang sangat besar. Laporan menyebutkan bahwa pemerintah membutuhkan dana sekitar 60 triliun sampai 2015 untuk meningkatkan kapasitas air minum dari 98.000 m3 menjadi 392.000 m3 per detik guna melayani 80% penduduk. Paling tidak setiap tahunnya harus tersedia dana 7,5 triliun untuk mencicil pembangunan fasilitas infrastuktur air minum yang mencapai 60 triliun tersebut.

Contoh lainnya, laju kehilangan dan kerusakan hutan pada tahun 2000 – 2005 di Indonesia setara dengan 364 lapangan sepak bola/jam. Mengapa ini terjadi? K, setiap hari sampah kertas di seluruh dunia berasal dari 27 ribu batang kayu. Setiap 1 pohon berusia 10 tahun menghasilkan 1,2 kg O2/hari. Bayangkan 27 ribu pohon per hari yang ditebang, berarti ada 32.400 kg O2 yang hilang per hari. Sementara, jumlah pertambahan penduduk dan peningkatan polusi lingkungan bergerak dengan sangat cepat.

Untuk itu, sudah semestinya kita lakukan pendidiakan lingkungan berdasar syariat islam. Kita mulai pendidikan tersebut dari keluarga kita. Dan yang lebih penting, hendaknya kita melakukan tindakan nyata demi menjaga kelestarian lingkungn kita. (***)








FIKIH RANJANG PILIHAN(1)


Fail:The Earth seen from Apollo 17.jpg


Saudara-saudara seiman yang saya cintai karena Allah! Berikut ini adalah beberapa jawaban dari pertanyaan salah seorang saudara kita seiman, terkait dengan beberapa pembahasan yang pernah saya muat dalam beberapa majalah islam (termasuk Sakinah) dan buku saya Sutra Ungu (Panduan Berhubungan Intim Menurut Islam). Mengingat ulasan seputar pertanyaan ini membutuhkan lembaran-lembaran panjang, maka penjelasan di sini bisa disebut sebagai mukaddimah saja dari pembahasan panjang yang akan dijabarkan lengkapnya dalam berbagai kesempatan lain, Insya Allah.

1. Menonton Video Porno
Sebagian orang dari kalangan masyarakat awam –yang di antaranya adalah sebagian pakar seksologi nasional– beranggapan bahwa menonton video porno dengan tujuan agar gairah seks terhadap isteri meningkat itu sah-sah saja, dan bahkan bagus untuk kebahagiaan pasutri. Pendapat ini jelas-jelas keliru. Tidak ada kebaikan yang hanya bisa dicapai dengan cara haram, dan cara haram tak akan pernah memberi kemaslahatan, kecuali sedikit kemaslahatan yang akan ditumpangtindihi dengan berbagai kemudaratan lain yang jauh lebih menyiksa, dunia dan akhirat.

Memandang aurat lawan jenis yang bukan muhrim apalagi hingga bagian vitalnya adalah haram. Karena Nabi – shollallohu ‘alaihi wa sallam – bersabda,
“Setiap Bani Adam mempunyai bagian dari zina, maka kedua mata pun berzina, dan zinanya adalah melalui penglihatan, dan kedua tangan berzina, zinanya adalah menyentuh. Kedua kaki berzina, zinanya adalah melangkah –menuju perzinaan. Mulut berzina, zinanya adalah mencium. Hati dengan berkeinginan dan berangan-angan. Dan kemaluanlah yang membenarkan atau mendustakan-nya.” (Diriwayatkan oleh Muslim IV : 2047)

Anggapan bahwa itu dapat meningkatkan gairah seks, kalaupun itu benar, tak bisa menjadi penghalal dari hal yang sudah jelas keharamannya. Seperti anggapan bahwa minuman keras bisa menjadi obat, tak bisa menghalalkan minuman keras yang jelas-jelas haram.

Selain itu, anggapan itu bisa memberi manfaat sebuah suntikan gairah seks agar berguna dalam hubungan seks dengan isteri juga merupakan kesimpulan yang mandul.

Pertama,
karena bila itu benar, pasti menimbulkan ketagihan. Dan ia hanya bisa mencapai puncak gairahnya, bila terlebih dahulu menonton video tersebut. Ketergantungan ini amat berbahaya. Bagaimana dalam kondisi tak ada video? Pasti ia akan berusaha menggunakan imajinasinya. Dapatkan dibayangkan, saat menyetubuhi isteri seseorang justru membayangkan wanita lain dalam benaknya? Secara logika saja hal itu sungguh tak pantas.

Kedua, realitas membuktikan, bahwa banyak mereka yang biasa menonton video porno, mungkin dalam tahap awal untuk membangkitkan gairah berhubungan intim dengan isteri, kemudian meningkat menjadi kebiasaan menonton sebagai sebuah hobi baru. Setelah itu, mulai menjurus pada perselingkuhan karena tak mampu menahan libidonya, sementara isteri sedang haid misalnya, atau sedang bepergian jauh misalnya.

Ketiga, mereka yang menikmati melihat kecantikan dan kemolekan tubuh wanita lain, demikian juga wanita yang menikmati ketampanan dan keindahan tubuh pria lain dalam video porno tersebut, apalagi terkait dengan organ-organ vital pria maupun wanita, pasti akan membanding-bandingkan dengan isteri atau suaminya. Setelah mendapatkan bahwa selain isteri atau suaminya banyak yang lebih menarik, maka akan muncul hasrat melakukan petualangan seks dengan selain pasangan resminya. Terjadilah perselingkuhan. Meski tak terjadi pada setiap orang yang gemar menonon video porno, tapi banyaknya orang yang melakukan itu akibat kebiasaan menikmati sajian-sajian syahwat itu sudah cukup membuktikan bahwa mudarat dari kebiasaan itu jauh lebih banyak dan lebih berbahaya ketimbang manfaat yang didapat, yang itupun belum tentu hadir seutuhnya. Wallaahu A’lam.

2. Bolehkah Pasutri Merekam Adegam Persetubuhan Mereka dalam HP, Handy Cam dan sejenisnya?
Kaidah syariat menegaskan bahwa segala yang menimbulkan bahaya bagi diri sendiri dan orang lain hukumnya adalah haram. Sementara, merekam adegan persetubuhan dalam media-media tertentu yang berpotensi hilang, tercecer, lalu ditemukan orang lain –dan kemungkian itu sangatlah besar, terbukti nyaris setiap pemilik HP di tanah air pernah mengalami kehilangan hpnya– adalah bahaya yang tak dapat dipungkiri.

Hukum pornografi nasional sendiri menegaskan menyimpan tayangan porno dalam media yang sangat mungkin tercecer sehingga akhirnya menjadi konsumsi publik dapat terjerat pidana kriminalitas!

Maka, kebiasaan itu tergolong kebiasaan haram, atau minimal syubhat dalam katagori syubhat berat, meski dengan tujuan untuk dibawa suami bepergian dan ia tonton sendiri demi memuaskan hasrat seksualnya.

Nah, bila itu dilakukan seorang suami, maka ia telah terjebak dalam perbuatan haram lain, yaitu onani. Karena tak ada gunanya ia menonton video senggamanya dengan isterinya tersebut yang berujuan memuaskan nafsu seksnya, namun tidak dituntaskan dengan onani. Kalau itu ia lakukan, yakni menonton tanpa beronani, maka libido seks tertahan dan tak terpuaskan, yang timbul adalah hasrat lain untuk berselingkuh, yakni memuaskan nafsu seksnya dengan wanita lain yang belum sah menjadi isterinya!

3. Bagaimana Hukum Mengunakan Kata-kata Jorok dengan Istri Sebelum Berhubungan Badan?
Kalau kata-kata jorok itu bukan yang berarti membicarakan seks yang terkait dengan selain suami isteri tersebut, misalnya membicarakan tubuh wanita lain atau pria lain, tapi semata-mata kata-kata jorok secara umum demi menciptakan suasana hangat sebelum berhubungan seks, maka hukumnya adalah mubah, bahkan dianjurkan demi optimalisasi hubungan seks yang berarti bisa membantu menjaga iffah atau kesucian diri. Contohnya, suami menyebut-nyebut –maaf– kiasan dari bagian vital isterinya, atau isteri menyebut-nyebut kiasan dari alat vital suaminya. Yakni dengan hanya didengar oleh mereka berdua. Dianjurkan dengan kiasan yang hanya dimengerti oleh mereka berdua, dikhawatirkan akan terdengar tanpa sengaja oleh orang lain, dan dapat menimbulkan godaan syahwat yang diharamkan.

Dalam Al-Quran dan hadits-hadits Nabi – shollallohu ‘alaihi wa sallam –, kata-kata jorok itu disebut rofats. Kata rafats kadang diartikan sebagai jimak atau bersetubuh, kadang diartikan sebagai kata-kata jorok untuk membangkitkan gairah seks pasutri. Allah berfirman,
“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan Haji, maka tidak boleh rafats (kata-kata jorok), berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa dan bertaqwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal….” (Al-Baqarah : 197)

Para ulama menjelaskan, bahwa rafats itu dilarang dilakukan pasutri terhadap pasangan masing-masing saat berhaji, namun itu diperbolehkan di luar haji. Wallaahu A’lam.

4. Bagaimana Hukum menambah “Ukuran”?
Benar, bahwa bagi sebagian orang, size doesn’t matter, yakni bahwa ukuran bukanlah masalah. Tapi bagi sebagian orang, itu bisa menjadi masalah.

Artinya, sebagian orang bisa mengelola sebagian kekurangannya dengan kelebihan lain. Baik suami maupun isteri, bisa melakukan trik-trik tertentu demi kepuasan seks, meski seorang suami –maaf– memiliki kekurangan dalam soal ukuran alat vitalnya. Tapi, banyak orang yang kurang mampu dalam mengelola potensi seksnya, atau sering tak punya waktu cukup buat memikirkan trik-trik demi kepuasan seks, sementara dengan ukuran yang lebih besar ia mampu memberikan kepuasan seks buat dirinya dan buat isterinya. Maka, dalam hal ini, boleh saja menggunakan obat-obatan yang dapat membantu memperbesar ukuran alat vital, dengan catatan, obat itu halal, obat itu tak memberi efek samping yang berbahaya baik bagi organ-organ tubuh tertentu, atau malah terhadap alat vital itu sendiri di kemudian hari.

Artinya, bila obat itu bersifat membangun, memberi perbaikan, dan dibuat dari bahan-bahan yang diyakini kehalalannya, maka hukumnya mubah saja, bahkan bisa saja dianjurkan atau diperintahkan bila tanpa itu hubungan seks menjadi kacau. Membesarkan alat vital dalam konteks yang wajar melalui herbal dan terapi-terapi alternatif tertentu, nyaris sama dengan upaya membesarkan otot-otot tubuh, baik itu bisep, trisep otot dada, otot perut dan yang lainnya. Kesemuanya diperbolehkan asalkan bermanfaat dan tidak menimbulkan kerusakan pada tubuh orang tersebut, sehingga tak sebanding antara manfaat yang diperoleh dengan bahaya yang didapatkan. Wallaahu A’lamu bishshawaab.





FIKIH RANJANG PILIHAN(2)

Ini merupakan lanjutan pembahasan kumpulan fikih ranjang pilihan pada edisi sebelumnya, selamat membaca!

Istri Diancam Dosa Karena Tak Mau Melayani Suami Padahal Ia Bisa, Bagaimana bila sebaliknya?

Hal yang harus dipahami terkait dengan ancaman bagi wanita yang menolak diajak bersenggama oleh suaminya adalah bahwa ini masuk dalam bab diwajibkannya seorang istri bersikap patuh pada suami, selama bukan dalam maksiat.

Dalam hadits disebutkan,

إِذَا الرَّجُلُ دَعَا زَوْجَتَهُ لِحَاجَتِهِ فَلْتَأْتِهِ وَإِنْ كَانَتْ عَلَى التَّنُّورِ

“Apabila seorang lelaki mengajak istrinya untuk memenuhi kebutuhan biologisnya, maka hendaknya istri mendatanginya, meskipun ia sedang berada di hadapan tungku.” [1]

إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ أَنْ تَجِيءَ لَعَنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ

“Apabila seorang lelaki mengajak istrinya ke kasur (untuk bersenggama), lalu si istri menolak, maka para malaikat akan melaknatnya hingga datang waktu Shubuh.” [2]

Karena memang akad pernikahan bagi seorang wanita muslimah adalah janji ketaatan kepada Allah, kemudian kepatuhan pada suami. Sehingga Nabi –shollallohu ‘alaihi wa sallam– pernah berkata kepada seorang istri, saat wanita itu menjelaskan pelayanannya terhadap suaminya selama ini,

انْظُرِي أَيْنَ أَنْتِ مِنْهُ فَإِنَّهُ جَنَّتُكِ وَنَارُكِ

“Perhatikanlah, sebatas apa pelayananmu terhadapnya. Karena ia adalah Surgamu atau Nerakamu.” [3]

Artinya, hadits ini bukan berbicara soal bahwa kebutuhan seks yang wajib dipenuhi oleh pasangan itu hanyalah kebutuhan suami saja. Ini terkait soal kewajiban istri patuh pada suami dalam hal yang dihalakan oleh Allah.

Persoalan ini harus dipisahkan dengan konsep luas bahwa masing-masing pasutri harus berusaha memberi kebahagiaan bagi yang lain.

Seperti halnya rakyat yang harus taat kepada pemimpin, itu sama sekali berbeda dengan soal kewajiban masing-masing untuk menyejahterakan yang lain. Bahkan ada konsep dalam Islam bahwa pemimpin yang baik adalah yang pertama kali lapar saat paceklik dan terakhir kali kenyang dalam kemakmuran.

Suami memang tidak diancam seperti halnya istri saat ia tidak melayani kebutuhan seks istri, pada saat istri memintanya. Karena ancaman seperti itu berkaitan dengan konsep kepatuhan. Suami tak “diplot” untuk taat kepada istri. Tapi, itu bukan berarti si suami tidak berdosa saat mengabaikan kebutuhan istri. Karena dosa itu muncul melalui prosedur yang lain, yaitu kewajiban suami membahagiakan istri dan anak, juga konsep kewajiban suami menjaga anak dan istri dari jilatan api Neraka. Ini bukan main-main!

Soal kewajiban suami membahagiakan istri amatlah jelas. Perhatikan saja hadits yang sangat populer, “Hendaknya engkau memberi makan istrinya sebagaimana yang kamu makan, memberinya pakaian sebagai mana yang kalian kenakan…”

Begitu juga kebutuhan tempat tinggal, seks dan yang lainnya. Bila kebutuhan seks istri terabaikan, maka si suami bertanggung jawab di hadapan Allah. Berarti ia telah menzhalimi rakyatnya. Ancamannya jelas-jelas neraka.

Selain itu, ini juga terkait dengan pemenuhan kebutuhan yang bila tak terpenuhi bisa berakibat seseorang bermaksiat. Bila suami membiarkan istri tak memenuhi hasrat seksualnya, lalu karena itu si istri bermaksiat, maka si suami turut menanggung dosanya di hadapan Allah. Ini juga bukan hal main-main.

Sehingga, pada akhirnya akan sama saja hukumnya –kalau tak bisa dibilang lebih berat– antara istri yang menolak diajak memenuhi kebutuhan seks suaminya, dengan suami yang menolak diajak memenuhi kebutuhan seks istrinya. Meski ancamannya berasal dari konteks yang berbeda. Wallaahu A’lam.

Hukum Fantasi Seks

Pada banyak pembahasan sudah saya tegaskan bahwa haram hukumnya seorang suami mefantasikan wanita lain, atau sebaliknya, seorang istri mefantasikan pria selain suaminya, baik saat tidak berhubungan seks, atau saat sedang melakukan hubungan seks.

Dalam buku saya, “Sutra Ungu”, saya sudah menegaskan tentang bahaya fantasi seks seperti ini. Karena Nabi –shollallohu ‘alaihi wa sallam– bersabda,

“Setiap Bani Adam mempunyai bagian dari zina, maka kedua mata pun berzina, dan zinanya adalah melalui penglihatan, dan kedua tangan berzina, zinanya adalah menyentuh. Kedua kaki berzina, zinanya adalah melangkah –menuju perzinaan. Mulut berzina, zinanya adalah mencium. Hati dengan berkeinginan dan berangan-angan. Dan kemaluanlah yang membenarkan atau mendustakan-nya.” [4]

Apa yang dimaksud dengan zina hati? Tentu saja membayangkan wanita yang tidak halal atau pria yang tidak halal untuk bermesraan, melakukan aktivitas seksual hingga alias berhubungan intim. Itulah zina hati. Adapun membayangkan istri sendiri saat sedang bepergian misalnya, bukanlah termasuk zina hati, karena istri maupun suami jelas-jelas halal bagi pasangannya.

Allah berfirman dalam Al-Quran,
“Dia (Allah) mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati…” (al-Mukmin : 19)

Ibnu Abbas menjelaskan, “Ayat ini menjelaskan tentang seorang pria yang apabila melihat kecantikan seorang wanita, ia akan membayangkan kemaluannya.” [5] Wal ‘iyaadzu billaah.

Memang tidak bisa ditampik, bahwa banyak kalangan seksolog umum yang memandang bahwa fantasi seksual seperti itu adalah wajar-wajar saja. Tapi Islam memiliki sudut pandang tersendiri. Memang, bila melihat tujuan dari fantasi tersebut, saat seseorang berhubungan seks dengan istrinya atau suaminya, lalu ia membayangkan pria atau wanita lain, kemudian dengan itu ia bisa mencapai kenikmatan tertinggi dalam hubungan seks serta memberi kenikmatan tertinggi bagi pasangannya, seolah-olah itu adalah sebuah pencapaian yang bagus dan layak diapresiasi.

Tapi tidakkah mereka membayangkan bahwa itu adalah sebuah pengkhianatan terselubung?
Tidakkah mereka memikirkan bahwa dengan cara itu mereka hanya bisa terpuaskan pada akhirnya dengan membayangkan orang lain saat berhubungan dengan pasangannya?
Tidakkah mereka membayangkan bahwa akhirnya mereka juga akan mengalami kebosanan dengan cara itu, dan fantasi itu tak lagi menolongnya sama sekali bahkan untuk aktivitas hubungan seks yang normal-normal saja?
Tidakkah mereka membayangkan bahwa itu akan menjadi hal yang mengotori hati mereka? Membuat mereka menyukai selain pasangan mereka?
Tidakkah mereka menyadari bahwa itu akan menjadi bibit perselingkuhan, sebagaimana itu memang sudah menjadi realitas dalam kehidupan rumah tangga banyak orang-orang kafir di dunia ini?
Tidakkah mereka sadar bahwa itu akan mengikis sedikit demi sedikit rasa suka dan cinta mereka terhadap fisik pasangan mereka? Semakin tidak menyukai penampilan mereka? Wallaahu A’lamu bishshawaab.

Bolehkan Melakukan Onani Dengan Bantuan Tangan istri?

Hukum yang benar dari onani adalah haram. Kalau seseorang terpaksa melakukan onani karena khawatir terjerumus dalam zina, maka yang menjadi sumber keharaman adalah hal-hal yang menyebabkan jiwanya bergejolak dan dirinya terdorong untuk melakukan onani. Misalnya, tayangan haram, bacaan haram, mendengar hal-hal yang haram yang menggugah syahwat, dan seterusnya.

Tapi bila itu dilakukan (dibantu-red) oleh istri, yakni bahwa istri tangan istri yang melakukannya, itu bukanlah onani. Karena seluruh bagian tubuh istri adalah halal, asalkan saat hal itu dilakukan, seorang suami tidak membayangkan wanita selain istrinya. Itu yang harus diingat. Begitu pula ejakulasi yang terjadi karena meletakkan penis di bagian tubuh tertentu dari istri (asal bukan bagian yang terlarang). Secara umum, ini juga menyerupai onani, tapi itu bukanlah onani.

Di sini, saya tegaskan kembali bahwa apa yang dilakukan oleh suami dengan memanfaatkan salah satu organ tubuh istri selain vagina untuk proses ejakulasi tidak bisa disebut onani. Kalaupun bisa disebut onani, maka itu adalah onani yang diperbolehkan. Karena secara fikih itu masuk bagian dari ishna’uu kulla syai-in illan nikaah, boleh lakukan apa saja terhadap istri yang sedang haid, kecuali penetrasi pada kemaluannya. Sementara onani lebih dikenal dalam bahasa fikih dengan istilah “istimnaa”.

Ejakulasi yang terjadi akibat interaksi dengan salah satu organ tubuh istri, termasuk tangan, selain pada kemaluannya –kecuali dalam kondisi ditutupi dengan kain– bukan termasuk istimnaa.

Insya Allah pembahasan fikih ranjang ini akan berlanjut pada edisi mendatang. (***)

Catatan Kaki:
[1] Tungku untuk memasak roti.
[2] Shahih al-Bukhari dalam kitab an-Nikah, bab: Apabila seorang istri tidur berpisah dengan suaminya, Hadits No.5193. Diriwayatkan juga oleh Muslim dalam Shahih-nya dalam kitab an-Nikah, bab: Diharamkannya menolak tidur dengan suami, Hadits No. 1436
[3] Dikeluarkan oleh Ibnu Abî Syaibah dalam Mushannaf-nya (IV : 304). Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnad-nya (IV : 341). Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Awsath, juga oleh al-Haitsami dalam Majma’uz Zawâid (I : 170). Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam Sunan-nya (VIII : 291)
[4] Diriwayatkan oleh Muslim (IV : 2047).
[5] Diriwayatkan oleh al-Haitsami dalam Majma’uz Zawaid (VII : 102). Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra (III : 398), dari hadits Sa’id bin Jubair, dari Ibnu ‘Abbas.



FIKIH RANJANG PILIHAN(3)

Sekali Lagi, Tentang Oral Seks

Dalam buku saya “Sutra Ungu”, saya telah menjelaskan panjang lebar tentang urgensi menjelaskan hukum oral seks serinci-rincinya, mengingat ini adalah budaya yang sudah dikenal banyak orang, muslim maupun non muslim. Tanpa dijelaskan, maka orang bisa terjerumus pada yang haram tanpa dia sadari, atau terjerumus dalam mengharamkan yang halal tanpa ia sadari1.

Terkait pembahasan hukumnya, secara ringkas sebagai berikut:

Pertama, para ulama, seperti Syekh Nashiruddin Al-Albani dan beberapa ulama lain, terlihat berseberangan dengan sebagian ulama lain seperti Syekh Mukhtaar asy-Syanqiti dan Syekh Abdullah bin Abdul Aziz bin Baz dalam salah satu fatwanya yang terekam dalam sebuah kaset tentang oral seks. Tapi, saya melihat, bahwa sesungguhnya nyaris tak ada perbedaan pendapat pada fatwa mereka tersebut secara substansial. Justru kesalahpahaman terjadi pada sebagian orang yang mendengar atau membaca fatwa mereka.

Kedua, ada kesalahpahaman tentang definisi dan pengertian kongkrit (bukan secara bahasa saja) dari oral seks, sehingga memunculkan adanya perbedaan dalam fatwa. Maka saya jelaskan di sini –dengan mengharap keridhaan Allah– hal yang terkait dengan pengertian oral seks itu sendiri.

Oral seks –secara umum– adalah aktivitas pemuasan seks pasangan dengan menggunakan mulut sebagai medianya. Bagian yang dicumbu pada diri pasangan dengan mulut tak hanya kemaluan saja. Sebab, aktivitas seseorang dalam berhubungan intim yang menciumi berbagai bagian tubuh pasangannya, seperti tangan, kaki, paha, perut, hingga payudara, kesemuanya disebut oral seks. Sementara, oral seks khusus pada bagian kemaluan, memiliki istilah tersendiri.

1. Kunilingus – rangsangan suami pada bagian genital istri dengan mulut dan lidah.

2. Felasio – rangsangan istri pada kemaluan suami dengan mulut dan lidah.

Itu artinya, bila seseorang menyimpulkan sebuah keputusan hukum tentang oral seks, sementara hukumnya hanya berlaku bagi salah satu jenis oral seks, maka jelas itu adalah kesimpulan hukum yang nyasar dari realitas. Artinya, meski fatwa itu benar, namun ia sesungguhnya bukan fatwa tentang oral seks. Hanya berlaku untuk satu jenis oral seks. Di luar soal benar atau tidaknya fatwa tersebut, sudah lebih dahulu harus dikategorikan dalam fatwa-fatwa spesifik, atas jenis oral seks yang spesifik.

Demi kejelasan soal hukum, saya perlu menegaskan, bahwa semua pertanyaan kepada beberapa ulama yang melahirkan jawaban haramnya oral seks hanya memuat makna sebagai berikut: Apa hukum –maaf– memasukan kemaluan ke dalam mulut istri –dan hal sejenis dari suami terhadap istrinya – di dalam berhubungan seks?

Bila pertanyaannya demikian, tentu saja jawabannya satu: Haram. Karena pada kemaluan pria nyaris dapat dipastikan melekat madzi atau minimal mani. Madzi sudah jelas kenajisannya dan itu hal mufakat di kalangan para ulama, sementara mani, meski tidak najis, namun kotor dan Nabi –shollallohu ‘alaihi wa sallam– selalu membersihkan sisa mani yang melekat di baju beliau, maka bagaimana mungkin dibiarkan menodai mulut? Apalagi disertai madzi yang najis dan haram?!




MAAFMU MALAIKATMU

Tak cukup waktu seribu tahun untuk memahami wanita? Setidaknya, itulah ungkapan para pakar kejiwaan barat seperti Freud, misalnya. Tapi terkadang kata maaf, cukup bagi wanita untuk mengubah diri dari sosok “kucing yang jinak”. Itulah uniknya wanita, dan demikianlah uniknya manusia.

Membangun Toleransi dengan “Maaf”

Tanpa toleransi, tak pernah niscaya. Kita harus membangun toleransi dalam jiwa kita untuk berdamai dengan kedukaan, bersapa akrab dengan kepedihan, berbaur nyaman dengan kegembiraan, dan tak menjadi takabur segala kelebihan.

Bila itu ada pada jiwa kita, demikian juga terhadap orang lain. Bayangkanlah kepenatan hidup ketika setiap kemarahan orang menjadi bencana bagi kita, kebobrokan moral orang menjadi kiamat dalam hidup kita. Ketika kepasrahan memaksa orang berdamai dengan bencana, maka kesadaran manusiawi seharusnya memaksa kita bertoleransi terhadap segala kekurangan orang lain. Itulah makna sejati dari sebuah kata singkat yang mukjizat…: “MAAF”.

Maka Allah berfirman,
“Maka maafkanlah mereka dan biarkanlah mereka, sesungguhya Allah menyukai orang-orang berbuat baik.” (al-Maidah : 13)
“Dan sesungguhnya saat (kiamat) itu pasti akan datang, maka maafkanlah (mereka) dengan cara yang baik.” (al-Hijr : 85)
“Maka ma’afkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya. Sesungguh-Nya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (al-Baqarah : 109)

Allah bahkan menyandingkan kata “maaf” dengan peringatan terhadap kiamat. Betapa kata maaf erat sekali hubungannya dengan perjalanan seorang muslim menuju akhirat. Artinya, tanpa menjadi pribadi yang pemaaf, seorang muslim tak akan dapat memasuki Surga yang begitu luhur dan mulia. Surga adalah tempat bagi kaum pemaaf.

Aisyah – rodhiyallohu ‘anha — menceritakan, “Rasulullah — shollallohu ‘alaihi wa sallam — bukanlah orang yang kasar dan suka berkata keji, bukan orang yang suka berteriak-teriak di pasar-pasar, tidak suka membalas kejahatan, namun justru suka memaafkan dan toleran.” [1]

Bila rumah tangga bertabur maaf, ia akan tumbuh dengan aura toleransi yang memberi kenikmatan pada setiap anggotanya. Istri akan sangat berbahagia di sisi suami yang pemaaf dan mudah bertoleransi. Begitu pula sebaliknya. Anak-anak akan hidup dalam damai, karena segala kekurangan mereka “dikoreksi”, tanpa “diadili”. Bila pun harus diadili, mereka tak akan diberi sanksi, kecuali sebatas sanksi itu berfungsi baik membangun kebaikan pada diri mereka.

Bila budaya toleransi dibangun baik dalam hidup, maka udara kehidupan akan terasa sejuk, dan nilai-nilai kebajikan akan tumbuh subur laksana jamur di musim hujan.

Apa itu berarti membiarkan kemungkaran berseliweran (lalu lalang) dalam kehidupan rumah tangga tanpa dicegah dan dikoreksi? Saya yakin pembaca tahu, bahwa bukan itu maksudnya. Karena seorang muslim lebih wajib bertoleransi dengan keridhaan Allah, ketimbang keridhaan umat manusia, sepenuh dunia sekali pun.

Antara Memberi dan Meminta Maaf

Syekh Ibrahim bin al-Hamd, saat menjelaskan kewajiban suami memenuhi kebutuhan istri menegaskan,
“Bukan berarti suami dapat terus-menerus melalaikan hak-hak istrinya. Sebaliknya, ia harus memperhatikannya dan mohon maaf jika ia lalai dalam memenuhi haknya serta mengingatkan pahala yang akan ia terima atas kesabarannya.” [2]

Menjalankan kewajiban, lalu meminta maaf bila melakukan kekurangan. Itu intinya. Seperti memberi maaf, meminta maaf pun butuh dibiasakan. Toleransi dengan maaf adalah perpaduan antara bertoleransi dengan mudah memberi maaf, dan bertoleransi untuk mudah meminta maaf. Keduanya harus seimbang. Tak cukup seseorang banyak memberi maaf kepada siapa pun tanpa ia mudah meminta maaf atas segala kekeliruannya, atau atas segala kemungkinan di mana ia bisa saja keliru tanpa ia menyadarinya.

Kita akan menjadi pribadi yang didekati orang, bila kita bertabur maaf. Orang senang berdekatan dengan kita. Karena kemarahan kita, tak membuat kita “menyegel” derajat orang di depan kita. Karena emosi kita, tak membuat kita merasa patut berlaku zhalim pada siapa pun. Bahkan kezhaliman orang terhadap kita pun tak lantas membuat kita layak melakukan kezhaliman serupa terhadapnya. Berbahagialah orang yang hidup dekat dan berinteraksi rapat dengan orang yang punya segudang maaf di hatinya.

Tapi, akan buyar segala penghormatan manusia terhadap orang dengan kekayaan maafnya, bila orang itu selalu merasa pantang memohon maaf bahkan atas kesalahan fatalnya sekali pun terhadap orang lain. Ia hanya pandai memberi, tanpa lihai menawarkan diri. Mudah memberi maaf, tapi sulit meminta maaf.

Cobalah amati firman Allah berikut,
“Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik…”
Di akhir ayat, Allah menegaskan,
“Barangsiapa yang melampui batas sesudah itu maka baginya siksa yang sangat pedih.” (al-Baqarah 178)

Meminta maaf dalam Islam disebut tahillah. Proses sederhananya sebenarnya ada dalam konsep tobat, bila terkait dengan hak orang lain.
1. Menyesali perbuatan dosa yang dilakukan.
2. Meninggalkan dosa tersebut.
3. Bertekad tak mengulanginya lagi
4. Mengembalikan hak orang lain, atau meminta dihalalkan atas kesalahannya.
Bila seseorang banyak menggunjing orang lain misalnya, maka taubatnya hanya diterima bila ia menyesali kenapa ia sampai menggunjing sahabatnya itu. Lalu ia tinggalkan kebiasaan menggunjingnya. Setelah itu tanamkan tekad tak akan mengulanginya. Baru sesudah itu, minfa maaf.

Haruskan maaf itu dilafalkan di hadapan orang yang kepadanya kita meminta dimaafkan atau dihalalkan kekeliruan kita? Ada dua kemungkinan.

Pertama, itu wajib bila diyakini meminta maaf tak menimbulkan kekisruhan dan kemudaratan yang lebih besar. Contohnya, tak dikhawatirkan orang itu malah mengamuk, memukul, atau memutuskan hubungan persaudaraan keislaman misalnya.

Kedua, tak perlu bahkan tak boleh diucapkan bila kemungkinan mudharat dan bahaya lebih besar itu terlihat nyata. Maka, permohonan maaf itu dapat diganti dengan memperbaiki sikap kita di hadapan orang tersebut, memberinya hadiah, membantu dia keluar dari kesulitan hidup, dan banyak-banyak membicarakan kebaikan orang tersebut di hadapan siapa saja. Karakter yang seolah-olah sudah dibunuhnya selama ini, hendaknya dihidupkan kembali secara lebih nyata. Itu singkatnya.

Kenapa ini perlu saya tegaskan? Karena ada muslim yang berpandangan bahwa Islam mengajarkan kita memberi maaf, tapi tidak untuk meminta maaf. Itu keliru. Karena meminta dan memberi maaf, masing-masing memiliki keutamaan.

Bahkan orang tak layak disebut utama, bila ia hanya bisa memberi maaf tanpa bisa memintanya, atau selalu meminta maaf tapi begitu payah dalam memberi maaf. Yang terakhir ini bahkan lebih parah lagi. Karena orang yang banyak meminta maaf tanpa mudah memberi maaf adalah orang egois dalam makna yang paling menyebalkan.

Sebagai penutup, harus pula kita ingatkan bahwa segala sesuatu tidaklah boleh berlebihan. Begitu juga meminta atau memberi maaf. Tak boleh memberi maaf hingga pada batas melalaikan amar ma’ruf nahi munkar. Tak apik seseorang terlalu banyak meminta maaf sampai-sampai ungkapan itu hanya menjadi pemoles bibir saja. Banyak meminta maaf, lalu berbuat kekeliruan yang sama lebih banyak lagi.

Orang seperti itu tak butuh diingatkan untuk banyak mengumbar permintaan maaf, tapi cukup diberi penyadaran bahwa meminta maaf pun ada konsekuensinya. Jangan cuma minta maaf, tapi yang penting kesalahan itu jangan diulangi lagi! (***)

Catatan kaki:
[1] Dikeluarkan oleh at-Tirmidzi dalam al-Birr, no. 2017. Diriwayatkan oleh Thayalisi (2423), Ahmad (VI : 174, 236, dan 246) sanad-nya shahih, bagian pertama darinya dikuatkan oleh beberapa syahid pada Abû Syekh, hal. 37).
[2] Lihat: Min Akhtha al-Azwaj, Ibrahim al-Hamd, hlm. 45-49. Dalam buku ini, terdapat hadits yang menjelaskan tentang kelalaian suami terhadap istrinya dari sisi ini beserta cara mengatasinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar