AL MUTRAFUN
Permulaan surah al-Isra’ menjelaskan janji Allah SWT yang telah dan akan berlaku bagi Bani Israil atas penyimpangan mereka dari ajaran Taurat. Kekuasaan berubah menjadi kehinaan, kehormatan menjadi kenistaan dan kemakmuran menjadi kemelaratan. Itu semua, karena mereka membuat kerusakan merata di seluruh pelosok negeri (al-fasad fil ardh) dan melampaui batas sunnatullah karena sombong (al-`uluw al-kabir).
Oleh Asep Sobari
Apa arti penjelasan ini bagi kaum musyrik Makkah yang hingga saat itu masih menolak bahkan memusuhi ajaran Rasulullah saw? Persoalan lintas generasi ini ternyata tidak sederhana. Makkah dan Palestina sama-sama istimewa di mata Allah. Makkah adalah tanah yang disucikan dan Palestina adalah tanah yang diberkahi (al-ardh al-mubarakah), seperti yang ditegaskan pada ayat pertama surah al-Isra’. Bukti keistimewannya sangat jelas. Palestina adalah kota para nabi, bukti kebesaran Musa, Dawud dan Sulaiman. Makkah juga tidak kalah istimewa. Pendirinya adalah Ibrahim dan Ismail. Syiarnya adalah haji dan simbol kebesarannya adalah Ka’bah, rumah Allah.
Bagi generasi Rasulullah saw di Makkah, ada bukti keistimewaan yang masih segar dalam ingatan; Allah SWT menyelamatkan secara langsung kota itu dari gempuran 60.000 tentara Abrahah. Penyelamatan ‘ajaib’ ini pada gilirannya menjadi mitologi yang mengkristal dalam benak masyarakat Makkah dan Arab, bahwa kepercayaan penduduk Makkah adalah yang direstui Allah SWT.
Status istimewa ini sebenarnya diiringi konsekuensi yang sangat berat. Allah menghendaki mereka menjadi pengusung risalah peradaban wahyu dan model masyarakat dunia dalam mengimplementasikannya, “Hendaklah mereka menyembah Tuhan pemilik rumah (Ka`bah) ini.” (QS Quraisy: 3). Untuk itu, Allah SWT membekali mereka dengan fasilitas hidup yang sangat esensial untuk menunjang tugas berat tersebut; tercukupinya kebutuhan fisiologis (al-ith`am min al-ju`), keamanan dan terhindar dari ketakutan (al-amn min al-khauf).
Tapi pada kenyataannya, baik Bani Israil di Palestina maupun masyarakat Makkah generasi Rasulullah saw telah menyalah-artikan keistimewaan tersebut. Apalagi kelompok elite kedua kota tersebut yang menganggap kekuasaan, kemakmuran dan kemudahan hidup sebagai kemurahan Tuhan yang membuktikan bahwa status mereka sangat ‘istimewa’ di mata-Nya. Inilah pangkal persoalan, mengapa elite-elite Quraisy menolak tegas ajaran Rasulullah saw.
Untuk itulah, Allah SWT mengoreksi kekeliruan cara pandang Quraisy dan mengingatkan mereka dengan kehancuran yang telah menimpa Bani Israil karena kekeliruan yang sama, “Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada kalangan al-mutrafun [yang berkuasa] di negeri itu [supaya mentaati Allah], tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka berlakulah terhadapnya ketentuan [janji Kami], kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.” (QS al-Isra’: 16).
Al-Mutrafun dalam setiap masyarakat, menurut Sayyid Quthb dalam azh-Zhilal, adalah kelompok elite yang menguasai kekayaan dan sumber-sumbernya, dan menikmati fasilitas hidup yang melimpah. Dasar pengertian yang sama diberikan ath-Thabari, al-Qurthubi dan Ibn Katsir dalam tafsir mereka.
Masalah yang menarik di sini adalah, ketika kalangan al-mutrafun tersebut berbuat fasik dan menyalahi aturan Allah dalam menjalankan tanggung jawab kekuasaan dan kekayaan yang dimilikinya, maka akibatnya adalah bencana besar yang tidak hanya menghancurkan mereka, melainkan melanda seisi negeri tersebut. Logikanya sederhana, al-mutrafun adalah para pemegang kebijakan publik dan orang-orang kaya. Jika mereka menyimpang dari kewajiban-kewajibannya, maka dampak negatif yang ditimbulkannya bersifat massif dan akan menyentuh semua lapisan masyarakat.
Sekali lagi, penyimpangan kelompok elite dan kaya ditempatkan sebagai biang dari kerusakan dan kehancuran masyarakat. Dan, tidak mudah menghadang laju kehancuran ini karena dua sebab; Pertama, kesalahan cara pandang. Kalangan al-mutrafun menganggap kenikmatan yang disandangnya sebagai ‘kehormatan’ yang membuktikan restu Allah atas dirinya dan bukan ujian (al-ibtila’). Sementara taubat dari kesalahan cara pandang, menurut DR Majid al-Kilani, jauh lebih sulit ketimbang taubat dari kesalahan perbuatan. Kedua, masyarakat tidak memberi perimbangan yang memadai dengan melakukan ishlah (keshalihan aktif). Karena jika yang berkembang adalah keshalihan pasif maka kehancuran itu tetap menjadi keniscayaan.
Zainab ra bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah kita akan binasa, padahal masih banyak orang shalih di sekitar kita?” Rasulullah saw menjawab, “Ya, jika kerusakan menjadi dominan.” (HR Bukhari dan Muslim)
MENJALANI UJIAN HIDUP ALA PARA NABI
Kalau kita baca kisah-kisah para nabi terdahulu, kita akan mengetahui bagaimana para nabi tersebut menyikapi sebuah ujian. Sebuah ujian yang kesedahsyatannya tidak ada padanannya.
Secara umum Ada dua bentuk ujian yang diberikan Allah pada para nabi dan umatnya. Adakalanya Allah mengujinya dengan penderitaan, kekurangan, dikucilkan, dipenjara bahkan dibunuh, dan adakalanya berupa harta, pangkat, jabatan, prestise dan lain sebagainya.
Semuanya merupakan bentuk ujian dan semuanya akan dipertanggungjawabkan. Begitupun cara menyikapi ujian tersebut yaitu dengan dua cara, sabar atau bersyukur. Namun kapan ujian tersebut harus disikapi dengan bersabar dan kapan harus disikapi dengan bersyukur? Disinilah penulis akan mencoba menjelaskan dengan mengacu pada kisah-kisah para nabi terdahulu.
Bersabar dengan ujian
Allah berfirman dalam al-Qur’an: “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar” (al-Baqarah: 2/155). Bentuk ujian yang diberikan Allah pada para nabinya kebanyakan dengan bentuk penderitaan,kekurangan, diasingkan bahkan dibunuh.
Bagaimana nabi Ayyub di asingkan oleh kaumnya karna takut terjangkiti penyakitnya, beliau sering dipaksa oleh istrinya untuk minta kesembuhan kepada Allah namun beliau menolaknya, bahkan pada akhirnya beliau berdoa untuk kesembuhannya pun karna terpaksa, saat itu ulat-ulat yang menggerogoti kulitnya sudah mulai sampai kelidah sehingga beliau kawatir tidak bisa berdzikir menyebut kebesaran Allah.
Bagaimana nabi Ibrahim di uji sejak beliau dilahirkan; dibuang ke gua, setelah dewasa dibakar oleh raja namrud dan kaumnya, bahkan di masa tuanya pun ujian datang silih berganti, mulai dari lambat punya anak hingga beliau berumur 86 tahun, bahkan setelah dikarunia anakpun beliau diperintahkan untuk meninggalkan anak-istrinya (Ismail dan Siti Hajar) di suatu tempat tanpa sanak saudara. setelah sekian tahun berpisah akhirnya mereka dipertemukan kembali, namun ujiannya pun belum usai nabi Ibrahim diperintah untuk menyembelih putranya Ismail.
Bagaimana nabi zakariya dan yahya dibunuh, nabi isa di kejar-kejar sampai ke hutan,dan bagaimana baginda muhammad selalu dimusuhi, disiksa, dan bahkan hampir terbunuh. betapa kerasnya ujian yang menimpa Rasulullah sehingga malaikatpun menawarkan untuk menimpakan gunung pada musuh-musuhnya, namun beliau melarangnya. Itulah salah satu bentuk ujian yang semuanya dijalani oleh para nabi dengan penuh kesabaran.
Mensyukuri ujian
Disamping itu, selain ada nabi yang di uji dengan penderitaan, juga ada sebagian nabi yang di uji dengan kemewahan; prestise, tahta, jabatan dan lain sebagainya. namun bagaimana mereka menyikapi ujian yang seperti ini? Nabi yusuf yang di uji dengan keelokan rupa, beliau tidak lantas merasa seperti idola yang akan mempermainkan perempuan dan gonta ganti pasangan. ketika beliau dirayu oleh zulaikha yang cantik rupawan, beliau menolaknya hingga bajunya robek. bahkan beliau berkata: “Wahai tuhanku, penjara lebih aku sukai dari pada memenuhi ajakan mereka padaku” (Yusuf: 13/33). Nabi sulaiman, dengan kerajaannya dia bisa menguasai alam manusia, jin bahkan hewan, namun apakah beliau merasa jumawa dengan semua itu? ternyata tidak. Beliau adalah seorang raja yang bisa mengayomi semua rakyatnya bahkan terhadap hewan sekalipun, seorang raja yang karna kedermawanannya beliau minta izin kepada Allah untuk memberikan makan kepada semua hewan-hewan, seorang raja yang rela berhenti ketika segerombolan semut mau lewat dijalan yang sama. bahkan beliau adalah raja yang hidup zuhud karena kekayaannya yang beliau miliki digunakan untuk kesejahteraan rakyatnya, beliau menghormati tamu dengan hidangan yang serba ada padahal beliau sendiri makan dengan makanan seadanya. Itulah bentuk rasa syukur mereka atas anugerah Allah. Dan masih banyak contoh-contoh para nabi dalam menyikapi ujian yang tidak mungkin semuanya penulis muat disini.
Gaya hidup zaman modern
Dalam kehidupan yang serba instant ini, kemewahan, seraba kecukupan, harta, tahta, dan jabatan adalah sebuah impian kebanyakan orang, bahkan hal ini tidak lagi dianggap sebagai ujian.
Rakyat sudah tidak lagi sabar dengan penderitaannya, begitupun pemerintah juga tidak bisa bersyukur dengan jabatannya. Semuanya ingin hidup enak, hidup individual, tak kenal tolong-menolong, bahkan semuanya diukur dengan pamrih. Rasanya tidak ada lagi sosok pemimpin dan hartawan seperti nabi sulaiman, pemimpin yang bisa menjadi pelayan bagi rakyatnya, bahkan bahasa” Imam al-Qaum Khodimuhum“ (pemimpin rakyat adalah pelayannya) hanya sekedar bualan di saat berkampanye saja.
Tidak ada lagi seorang Pemimpin seperti sosok pemimpin yang membuat sayyidina umar menangis terharu ketika pemimpin tersebut tidur dengan berbantalkan pelepah kurma, soerang pemimpin yang terbiasa tidak makan sampai tiga hari, seorang pemimpin yang makan bersama dengan rakyatnya tanpa harus ada perbedaan. Pemimpin yang ditangisi rakyatnya saat meninggalkan mereka menghadap tuhannya, Itulah baginda Muhammad. kebanyakan pemimpin sekarang mengikuti aliran-aliran Qarun wa Fir’aun, pemimpin yang suka menumpuk-numpuk harta, menganggap prestisenya sebagai hasil jerih payah yang telah diperjuangkannya, tanpa harus peduli dengan penderitaan rakyatnya. pemimpin yang tidak sadar bahwa jabatannya hanyalah titipan sementara dan kelak semuanya akan dipertanggungjawabkan. Alangkah baiknya jika pemimpin-pemimpin sekarang membaca kembali sejarah-sejarah para nabi. Wa fi Qoshoshihim ‘Ibratun Li Ulil Albab….
DAMPAK DOSA PADA JIWA RAGA
Setiap orang tentu tak luput dari melakukan dosa dan kesalahan. Yang membedakan, di antara manusia ada yang terus menerus melakukan dosa tanpa mau bertobat, sementara sebagian yang lain segera menyadari kesalahannya dan bertobat kepada Allah –ta’ala–.
Sesungguhnya, dosa baik besar maupun kecil, bila dilakukan secara terus menerus, akan berdampak sangat buruk bagi jiwa dan raga pelakunya. Tak jarang dosa itu juga menimbulkan bencana yang juga mengenai orang-orang di sekitarnya.
IBARAT RACUN DALAM TUBUH
Di antara bencana yang banyak menimpa kaum muslimin pada zaman ini adalah kemaksiatan dan dosa merajalela, serta menyebarnya kemungkaran dengan berbagai tingkatannya.
Ibnul Qayyim –rohimahulloh– berkata, “Kemaksiatan ini memiliki bahaya yang sangat besar bagi hati, sama seperti bahaya racun-racun terhadap tubuh, dalam tingkat bahaya yang berbeda-beda. Dan tidaklah di dunia ini muncul suatu kejahatan dan penyakit, kecuali disebabkan oleh kemaksiatan dan dosa-dosa.”
Begitulah dampak dosa bagi pelakunya. Orang yang sekali melakukan dosa dia enggan bertobat, maka ia akan tergoda untuk melakukan yang kedua kali, ketiga kali, dan seterusnya. Lalu dosa-dosanya itu akan semakin bertumpuk-tumpuk sehingga mengalahkan amal baiknya. Ibarat racun dalam tubuh, dosanya akan menggerogoti kesehatannya dari ke hari, sehingga tubuhnya kian lemah dan penuh penyakit.
Contoh konkrit kalau dosa itu bisa menimbulkan penyakit, adalah AIDS. Penyakit ini begitu cepat menular karena kemaksiatan (khususnya free seks dan homoseks) telah banyak dilakukan di mana-mana.
Dosa dan kemaksiatan juga bisa menimbulkan rasa was-was, jantung berdebar, darah tinggi serta stress bagi pelakunya.
Di dunia ini, banyak para pendosa yang mengaku atau terkenal sebagai orang hebat, namun sejatinya jiwanya merasa kering dan tertekan. Ia merasa terasing dari Rabb-nya. Meskipun memiliki semua fasilitas kenikmatan dunia, keterasingan itu akan tetap ia rasakan.
Sebagai contoh, lihatlah Hittler. Pemimpin Jerman yang perfeksionis dan kejam ini memilih mati dengan cara bunuh diri.
MENGHITAMKAN WAJAH DAN MENUTUP HATI
Abdullah bin Abbas ra berkata, “Sesungguhnya kebaikan itu memancarkan cahaya pada wajah seseorang, dan cahaya di dalam hati, keluasan dalam rezeki, kekuatan pada badan, kecintaan di tengah makhluk. Dan keburukan akan mengakibatkan kehitaman pada wajah, kegelapan dalam hati, kelemahan badan dan kekurangan rezeki, serta kebencian di dalam hati para makhluk Allah.”
Perkataan Ibnu Abbas ini dipertegas oleh firman Allah –ta’ala–,
“Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta. Berkatalah ia,’Ya Tuhanku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya adalah seorang yang melihat?’ Allah berfirman, ‘Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini kamu pun dilupakan.’” (Thaha: 124-126)
Contoh dosa yang bisa menghitamkan wajah adalah meninggalkan shalat. Sebaliknya, rajin membasuh wajah dengan air wudhu serta melaksanakan shalat wajib maupun sunnah, bisa membuat wajah cerah dan berseri-seri. Ini terjadi karena ketaatan kepada Allah itu cahaya, sedangkan kemaksiatan adalah kegelapan. Semakin kuat kegelapan itu, semakin bertambah bingung orang yang meninggalkan shalat itu, hingga dia terjatuh dalam kesesatan-kesesatan tanpa dia sadari. Seperti orang buta yang keluar sendirian di kegelapan malam. Kegelapan itu akan bertambah kuat hingga tampak pada mata, lalu meluas meliputi wajah sehingga wajah itu berubah hitam dan dapat dilihat oleh siapa saja. Pada saat itulah timbul jarak antara dia dan manusia, terutama orang-orang saleh.Semakin besar jarak itu, semakin jauh dia dari mereka, dan dia pun tidak bisa mendapatkan berkah kemanfaatan dari mereka. Lalu dia menjadi dekat dengan para tentara setan seiring dengan jauhnya dia dari tentara Allah yang Maha Penyayang. Dan kondisi itu berakhir hingga di akhirat, saat dia akan merasakan balasan yang buruk, dan berkumpul dengan orang-orang yang celaka, yaitu pada hari mereka diajukan ke hadapan Allah yang Maha Perkasa.
“Mereka itulah golongan setan. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan setan adalah golongan yang merugi.” (al-Mujaadilah: 19)
PENYEBAB BENCANA
Sesungguhnya dosa-dosa dan kemaksiatan itu akan mendatangkan kesengsaraan di dunia dan akhirat.
Ibnul Qayyim –rohimahulloh– berkata,
“Sebab apakah yang mengeluarkan bapak manusia dari surga, tempat kelezatan, kenikmatan, kemegahan dan kesenangan, menuju alam yang penuh penyakit, kesedihan dan musibah?
Apakah yang mengeluarkan Iblis dari alam langit, diusir dan dilaknat, rahmat berubah menjadi laknat, serta keimanan berubah menjadi kekafiran? Lalu sebab apakah yang menenggelamkan seluruh penghuni bumi sehingga air melampaui puncak gunung-gunung? Dan sebab apakah yang menjadikan angin menguasai kaum ‘Ad sehingga mereka bergelimpangan mati di permukaan bumi, lalu mereka seperti pohon kurma yang tumbang? Sebab apakah yang menyebabkan terjadinya siksa yang menyebabkan hati-hati mereka terputus dari tenggorokan-tenggorokan mereka, sehingga hati dan tenggorokan mereka berserakan dan mereka tewas?
Sebab apakah yang menyebabkan Fir’aun tenggelam bersama kaumnya lalu ruh-ruh mereka kembali berpindah ke neraka Jahannam? Tubuh mereka tenggelam, sementara ruh-ruh mereka terbakar. Sebab apakah yang mengubur Qarun dan rumahnya beserta seluruh hartanya? Sungguh, semuanya disebabkan oleh kemaksiatan dan dosa-dosa!”
Realita saat ini, di mana-mana banyak terjadi bencana. Jika kita mau berkaca, niscaya kita pun akan menyadari, datangnya bencana-bencana itu akibat perilaku sebagian besar manusia yang melenceng jauh dari jalan lurus. Bahkan seringkali maksiat sudah dilakukan secara terang-terangan, tanpa rasa malu lagi.
Allah –ta’ala– berfirman,
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri. Dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (Asy-Syura: 30)
“Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka, sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu, mereka terdiam berputus asa.” (Al-An’am: 44)
Sementara Rasulullah –shollallohu ‘alaihi wa sallam– bersabda,
“Bagaimana kamu apabila dilanda lima perkara? Kalau aku (Rasulullah Saw), aku berlindung kepada Allah agar tidak menimpa kamu atau kamu mengalaminya. (1) Jika perbuatan mesum dalam suatu kaum sudah dilakukan terang-terangan maka akan timbul wabah dan penyakit-penyakit yang belum pernah menimpa orang-orang terdahulu. (2) Jika suatu kaum menolak mengeluarkan zakat maka Allah akan menghentikan turunnya hujan. Kalau bukan karena binatang-binatang ternak tentu hujan tidak akan diturunkan sama sekali. (3) Jika suatu kaum mengurangi takaran dan timbangan maka Allah akan menimpakan paceklik beberapa waktu, kesulitan pangan dan kezhaliman penguasa. (4) Jika penguasa-penguasa mereka melaksanakan hukum yang bukan dari Allah maka Allah akan menguasakan musuh-musuh mereka untuk memerintah dan merampas harta kekayaan mereka. (5) Jika mereka menyia-nyiakan Kitabullah dan sunah Nabi maka Allah menjadikan permusuhan di antara mereka.” (Riwayat Ahmad dan Ibnu Majah)
Untuk menyelamatkan diri dari adzab Allah –ta’ala–, tiada jalan lain bagi kita kecuali dengan bertobat dari dosa-dosa yang kita lakukan. Allah –ta’ala– sangat menyukai hamba-Nya yang bertobat setelah melakukan kesalahan.
Dari Anas bin Malik –rodhiyallohu ‘anhu–, Rasulullah –shollallohu ‘alaihi wa sallam– bersabda bahwa Allah –ta’ala– berfirman, “Wahai anak Adam, sepanjang engkau memohon kepada-Ku dan berharap kepada-Ku akan Aku ampuni apa yang telah kamu lakukan. Aku tidak peduli. Wahai anak Adam, jika dosa-dosamu setinggi awan di langit kemudian engkau meminta ampunan kepada-Ku akan Aku ampuni. Wahai anak Adam, sesungguhnya jika engkau datang membawa kesalahan sebesar dunia, kemudian engkau datang kepada-Ku tanpa menyekutukan Aku dengan sesuatu apapun, pasti Aku akan datang kepadamu dengan ampunan sebesar itu pula.” (Riwayat Tirmidzi, ia berkata, ”Hadits ini hasan shahih.”)
Kiranya hadits ini bisa memotivasi kita untuk bersegera memperoleh ampunan dan rahmat-Nya. Wallaahu a’lam. (***)
Banyak diilhami dari kitab al Jawaabul Kaafi li Man Sa ala ‘An ad-Dawa’ asy Syafi’ Ibnul Qayyim –rohimahulloh–.
FIKIH RANJANG PILIHAN
Saudara-saudara seiman yang saya cintai karena Allah! Berikut ini adalah beberapa jawaban dari pertanyaan salah seorang saudara kita seiman, terkait dengan beberapa pembahasan yang pernah saya muat dalam beberapa majalah islam (termasuk Sakinah) dan buku saya Sutra Ungu (Panduan Berhubungan Intim Menurut Islam). Mengingat ulasan seputar pertanyaan ini membutuhkan lembaran-lembaran panjang, maka penjelasan di sini bisa disebut sebagai mukaddimah saja dari pembahasan panjang yang akan dijabarkan lengkapnya dalam berbagai kesempatan lain, Insya Allah.
1. Menonton Video Porno
Sebagian orang dari kalangan masyarakat awam –yang di antaranya adalah sebagian pakar seksologi nasional– beranggapan bahwa menonton video porno dengan tujuan agar gairah seks terhadap isteri meningkat itu sah-sah saja, dan bahkan bagus untuk kebahagiaan pasutri. Pendapat ini jelas-jelas keliru. Tidak ada kebaikan yang hanya bisa dicapai dengan cara haram, dan cara haram tak akan pernah memberi kemaslahatan, kecuali sedikit kemaslahatan yang akan ditumpangtindihi dengan berbagai kemudaratan lain yang jauh lebih menyiksa, dunia dan akhirat.
Memandang aurat lawan jenis yang bukan muhrim apalagi hingga bagian vitalnya adalah haram. Karena Nabi – shollallohu ‘alaihi wa sallam – bersabda,
“Setiap Bani Adam mempunyai bagian dari zina, maka kedua mata pun berzina, dan zinanya adalah melalui penglihatan, dan kedua tangan berzina, zinanya adalah menyentuh. Kedua kaki berzina, zinanya adalah melangkah –menuju perzinaan. Mulut berzina, zinanya adalah mencium. Hati dengan berkeinginan dan berangan-angan. Dan kemaluanlah yang membenarkan atau mendustakan-nya.” (Diriwayatkan oleh Muslim IV : 2047)
Anggapan bahwa itu dapat meningkatkan gairah seks, kalaupun itu benar, tak bisa menjadi penghalal dari hal yang sudah jelas keharamannya. Seperti anggapan bahwa minuman keras bisa menjadi obat, tak bisa menghalalkan minuman keras yang jelas-jelas haram.
Selain itu, anggapan itu bisa memberi manfaat sebuah suntikan gairah seks agar berguna dalam hubungan seks dengan isteri juga merupakan kesimpulan yang mandul.
Pertama, karena bila itu benar, pasti menimbulkan ketagihan. Dan ia hanya bisa mencapai puncak gairahnya, bila terlebih dahulu menonton video tersebut. Ketergantungan ini amat berbahaya. Bagaimana dalam kondisi tak ada video? Pasti ia akan berusaha menggunakan imajinasinya. Dapatkan dibayangkan, saat menyetubuhi isteri seseorang justru membayangkan wanita lain dalam benaknya? Secara logika saja hal itu sungguh tak pantas.
Kedua, realitas membuktikan, bahwa banyak mereka yang biasa menonton video porno, mungkin dalam tahap awal untuk membangkitkan gairah berhubungan intim dengan isteri, kemudian meningkat menjadi kebiasaan menonton sebagai sebuah hobi baru. Setelah itu, mulai menjurus pada perselingkuhan karena tak mampu menahan libidonya, sementara isteri sedang haid misalnya, atau sedang bepergian jauh misalnya.
Ketiga, mereka yang menikmati melihat kecantikan dan kemolekan tubuh wanita lain, demikian juga wanita yang menikmati ketampanan dan keindahan tubuh pria lain dalam video porno tersebut, apalagi terkait dengan organ-organ vital pria maupun wanita, pasti akan membanding-bandingkan dengan isteri atau suaminya. Setelah mendapatkan bahwa selain isteri atau suaminya banyak yang lebih menarik, maka akan muncul hasrat melakukan petualangan seks dengan selain pasangan resminya. Terjadilah perselingkuhan. Meski tak terjadi pada setiap orang yang gemar menonon video porno, tapi banyaknya orang yang melakukan itu akibat kebiasaan menikmati sajian-sajian syahwat itu sudah cukup membuktikan bahwa mudarat dari kebiasaan itu jauh lebih banyak dan lebih berbahaya ketimbang manfaat yang didapat, yang itupun belum tentu hadir seutuhnya. Wallaahu A’lam.
2. Bolehkah Pasutri Merekam Adegam Persetubuhan Mereka dalam HP, Handy Cam dan sejenisnya?
Kaidah syariat menegaskan bahwa segala yang menimbulkan bahaya bagi diri sendiri dan orang lain hukumnya adalah haram. Sementara, merekam adegan persetubuhan dalam media-media tertentu yang berpotensi hilang, tercecer, lalu ditemukan orang lain –dan kemungkian itu sangatlah besar, terbukti nyaris setiap pemilik HP di tanah air pernah mengalami kehilangan hpnya– adalah bahaya yang tak dapat dipungkiri.
Hukum pornografi nasional sendiri menegaskan menyimpan tayangan porno dalam media yang sangat mungkin tercecer sehingga akhirnya menjadi konsumsi publik dapat terjerat pidana kriminalitas!
Maka, kebiasaan itu tergolong kebiasaan haram, atau minimal syubhat dalam katagori syubhat berat, meski dengan tujuan untuk dibawa suami bepergian dan ia tonton sendiri demi memuaskan hasrat seksualnya.
Nah, bila itu dilakukan seorang suami, maka ia telah terjebak dalam perbuatan haram lain, yaitu onani. Karena tak ada gunanya ia menonton video senggamanya dengan isterinya tersebut yang berujuan memuaskan nafsu seksnya, namun tidak dituntaskan dengan onani. Kalau itu ia lakukan, yakni menonton tanpa beronani, maka libido seks tertahan dan tak terpuaskan, yang timbul adalah hasrat lain untuk berselingkuh, yakni memuaskan nafsu seksnya dengan wanita lain yang belum sah menjadi isterinya!
3. Bagaimana Hukum Mengunakan Kata-kata Jorok dengan Istri Sebelum Berhubungan Badan?
Kalau kata-kata jorok itu bukan yang berarti membicarakan seks yang terkait dengan selain suami isteri tersebut, misalnya membicarakan tubuh wanita lain atau pria lain, tapi semata-mata kata-kata jorok secara umum demi menciptakan suasana hangat sebelum berhubungan seks, maka hukumnya adalah mubah, bahkan dianjurkan demi optimalisasi hubungan seks yang berarti bisa membantu menjaga iffah atau kesucian diri. Contohnya, suami menyebut-nyebut –maaf– kiasan dari bagian vital isterinya, atau isteri menyebut-nyebut kiasan dari alat vital suaminya. Yakni dengan hanya didengar oleh mereka berdua. Dianjurkan dengan kiasan yang hanya dimengerti oleh mereka berdua, dikhawatirkan akan terdengar tanpa sengaja oleh orang lain, dan dapat menimbulkan godaan syahwat yang diharamkan.
Dalam Al-Quran dan hadits-hadits Nabi – shollallohu ‘alaihi wa sallam –, kata-kata jorok itu disebut rofats. Kata rafats kadang diartikan sebagai jimak atau bersetubuh, kadang diartikan sebagai kata-kata jorok untuk membangkitkan gairah seks pasutri. Allah berfirman,
“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan Haji, maka tidak boleh rafats (kata-kata jorok), berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa dan bertaqwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal….” (Al-Baqarah : 197)
Para ulama menjelaskan, bahwa rafats itu dilarang dilakukan pasutri terhadap pasangan masing-masing saat berhaji, namun itu diperbolehkan di luar haji. Wallaahu A’lam.
4. Bagaimana Hukum menambah “Ukuran”?
Benar, bahwa bagi sebagian orang, size doesn’t matter, yakni bahwa ukuran bukanlah masalah. Tapi bagi sebagian orang, itu bisa menjadi masalah.
Artinya, sebagian orang bisa mengelola sebagian kekurangannya dengan kelebihan lain. Baik suami maupun isteri, bisa melakukan trik-trik tertentu demi kepuasan seks, meski seorang suami –maaf– memiliki kekurangan dalam soal ukuran alat vitalnya. Tapi, banyak orang yang kurang mampu dalam mengelola potensi seksnya, atau sering tak punya waktu cukup buat memikirkan trik-trik demi kepuasan seks, sementara dengan ukuran yang lebih besar ia mampu memberikan kepuasan seks buat dirinya dan buat isterinya. Maka, dalam hal ini, boleh saja menggunakan obat-obatan yang dapat membantu memperbesar ukuran alat vital, dengan catatan, obat itu halal, obat itu tak memberi efek samping yang berbahaya baik bagi organ-organ tubuh tertentu, atau malah terhadap alat vital itu sendiri di kemudian hari.
Artinya, bila obat itu bersifat membangun, memberi perbaikan, dan dibuat dari bahan-bahan yang diyakini kehalalannya, maka hukumnya mubah saja, bahkan bisa saja dianjurkan atau diperintahkan bila tanpa itu hubungan seks menjadi kacau. Membesarkan alat vital dalam konteks yang wajar melalui herbal dan terapi-terapi alternatif tertentu, nyaris sama dengan upaya membesarkan otot-otot tubuh, baik itu bisep, trisep otot dada, otot perut dan yang lainnya. Kesemuanya diperbolehkan asalkan bermanfaat dan tidak menimbulkan kerusakan pada tubuh orang tersebut, sehingga tak sebanding antara manfaat yang diperoleh dengan bahaya yang didapatkan. Wallaahu A’lamu bishshawaab.
Istri Diancam Dosa Karena Tak Mau Melayani Suami Padahal Ia Bisa, Bagaimana bila sebaliknya?
Hal yang harus dipahami terkait dengan ancaman bagi wanita yang menolak diajak bersenggama oleh suaminya adalah bahwa ini masuk dalam bab diwajibkannya seorang istri bersikap patuh pada suami, selama bukan dalam maksiat.
Dalam hadits disebutkan,
إِذَا الرَّجُلُ دَعَا زَوْجَتَهُ لِحَاجَتِهِ فَلْتَأْتِهِ وَإِنْ كَانَتْ عَلَى التَّنُّورِ
“Apabila seorang lelaki mengajak istrinya untuk memenuhi kebutuhan biologisnya, maka hendaknya istri mendatanginya, meskipun ia sedang berada di hadapan tungku.” [1]
إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ أَنْ تَجِيءَ لَعَنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ
“Apabila seorang lelaki mengajak istrinya ke kasur (untuk bersenggama), lalu si istri menolak, maka para malaikat akan melaknatnya hingga datang waktu Shubuh.” [2]
Karena memang akad pernikahan bagi seorang wanita muslimah adalah janji ketaatan kepada Allah, kemudian kepatuhan pada suami. Sehingga Nabi –shollallohu ‘alaihi wa sallam– pernah berkata kepada seorang istri, saat wanita itu menjelaskan pelayanannya terhadap suaminya selama ini,
انْظُرِي أَيْنَ أَنْتِ مِنْهُ فَإِنَّهُ جَنَّتُكِ وَنَارُكِ
“Perhatikanlah, sebatas apa pelayananmu terhadapnya. Karena ia adalah Surgamu atau Nerakamu.” [3]
Artinya, hadits ini bukan berbicara soal bahwa kebutuhan seks yang wajib dipenuhi oleh pasangan itu hanyalah kebutuhan suami saja. Ini terkait soal kewajiban istri patuh pada suami dalam hal yang dihalakan oleh Allah.
Persoalan ini harus dipisahkan dengan konsep luas bahwa masing-masing pasutri harus berusaha memberi kebahagiaan bagi yang lain.
Seperti halnya rakyat yang harus taat kepada pemimpin, itu sama sekali berbeda dengan soal kewajiban masing-masing untuk menyejahterakan yang lain. Bahkan ada konsep dalam Islam bahwa pemimpin yang baik adalah yang pertama kali lapar saat paceklik dan terakhir kali kenyang dalam kemakmuran.
Suami memang tidak diancam seperti halnya istri saat ia tidak melayani kebutuhan seks istri, pada saat istri memintanya. Karena ancaman seperti itu berkaitan dengan konsep kepatuhan. Suami tak “diplot” untuk taat kepada istri. Tapi, itu bukan berarti si suami tidak berdosa saat mengabaikan kebutuhan istri. Karena dosa itu muncul melalui prosedur yang lain, yaitu kewajiban suami membahagiakan istri dan anak, juga konsep kewajiban suami menjaga anak dan istri dari jilatan api Neraka. Ini bukan main-main!
Soal kewajiban suami membahagiakan istri amatlah jelas. Perhatikan saja hadits yang sangat populer, “Hendaknya engkau memberi makan istrinya sebagaimana yang kamu makan, memberinya pakaian sebagai mana yang kalian kenakan…”
Begitu juga kebutuhan tempat tinggal, seks dan yang lainnya. Bila kebutuhan seks istri terabaikan, maka si suami bertanggung jawab di hadapan Allah. Berarti ia telah menzhalimi rakyatnya. Ancamannya jelas-jelas neraka.
Selain itu, ini juga terkait dengan pemenuhan kebutuhan yang bila tak terpenuhi bisa berakibat seseorang bermaksiat. Bila suami membiarkan istri tak memenuhi hasrat seksualnya, lalu karena itu si istri bermaksiat, maka si suami turut menanggung dosanya di hadapan Allah. Ini juga bukan hal main-main.
Sehingga, pada akhirnya akan sama saja hukumnya –kalau tak bisa dibilang lebih berat– antara istri yang menolak diajak memenuhi kebutuhan seks suaminya, dengan suami yang menolak diajak memenuhi kebutuhan seks istrinya. Meski ancamannya berasal dari konteks yang berbeda. Wallaahu A’lam.
Hukum Fantasi Seks
Pada banyak pembahasan sudah saya tegaskan bahwa haram hukumnya seorang suami mefantasikan wanita lain, atau sebaliknya, seorang istri mefantasikan pria selain suaminya, baik saat tidak berhubungan seks, atau saat sedang melakukan hubungan seks.
Dalam buku saya, “Sutra Ungu”, saya sudah menegaskan tentang bahaya fantasi seks seperti ini. Karena Nabi –shollallohu ‘alaihi wa sallam– bersabda,
“Setiap Bani Adam mempunyai bagian dari zina, maka kedua mata pun berzina, dan zinanya adalah melalui penglihatan, dan kedua tangan berzina, zinanya adalah menyentuh. Kedua kaki berzina, zinanya adalah melangkah –menuju perzinaan. Mulut berzina, zinanya adalah mencium. Hati dengan berkeinginan dan berangan-angan. Dan kemaluanlah yang membenarkan atau mendustakan-nya.” [4]
Apa yang dimaksud dengan zina hati? Tentu saja membayangkan wanita yang tidak halal atau pria yang tidak halal untuk bermesraan, melakukan aktivitas seksual hingga alias berhubungan intim. Itulah zina hati. Adapun membayangkan istri sendiri saat sedang bepergian misalnya, bukanlah termasuk zina hati, karena istri maupun suami jelas-jelas halal bagi pasangannya.
Allah berfirman dalam Al-Quran,
“Dia (Allah) mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati…” (al-Mukmin : 19)
Ibnu Abbas menjelaskan, “Ayat ini menjelaskan tentang seorang pria yang apabila melihat kecantikan seorang wanita, ia akan membayangkan kemaluannya.” [5] Wal ‘iyaadzu billaah.
Memang tidak bisa ditampik, bahwa banyak kalangan seksolog umum yang memandang bahwa fantasi seksual seperti itu adalah wajar-wajar saja. Tapi Islam memiliki sudut pandang tersendiri. Memang, bila melihat tujuan dari fantasi tersebut, saat seseorang berhubungan seks dengan istrinya atau suaminya, lalu ia membayangkan pria atau wanita lain, kemudian dengan itu ia bisa mencapai kenikmatan tertinggi dalam hubungan seks serta memberi kenikmatan tertinggi bagi pasangannya, seolah-olah itu adalah sebuah pencapaian yang bagus dan layak diapresiasi.
Tapi tidakkah mereka membayangkan bahwa itu adalah sebuah pengkhianatan terselubung?
Tidakkah mereka memikirkan bahwa dengan cara itu mereka hanya bisa terpuaskan pada akhirnya dengan membayangkan orang lain saat berhubungan dengan pasangannya?
Tidakkah mereka membayangkan bahwa akhirnya mereka juga akan mengalami kebosanan dengan cara itu, dan fantasi itu tak lagi menolongnya sama sekali bahkan untuk aktivitas hubungan seks yang normal-normal saja?
Tidakkah mereka membayangkan bahwa itu akan menjadi hal yang mengotori hati mereka? Membuat mereka menyukai selain pasangan mereka?
Tidakkah mereka menyadari bahwa itu akan menjadi bibit perselingkuhan, sebagaimana itu memang sudah menjadi realitas dalam kehidupan rumah tangga banyak orang-orang kafir di dunia ini?
Tidakkah mereka sadar bahwa itu akan mengikis sedikit demi sedikit rasa suka dan cinta mereka terhadap fisik pasangan mereka? Semakin tidak menyukai penampilan mereka? Wallaahu A’lamu bishshawaab.
Bolehkan Melakukan Onani Dengan Bantuan Tangan istri?
Hukum yang benar dari onani adalah haram. Kalau seseorang terpaksa melakukan onani karena khawatir terjerumus dalam zina, maka yang menjadi sumber keharaman adalah hal-hal yang menyebabkan jiwanya bergejolak dan dirinya terdorong untuk melakukan onani. Misalnya, tayangan haram, bacaan haram, mendengar hal-hal yang haram yang menggugah syahwat, dan seterusnya.
Tapi bila itu dilakukan (dibantu-red) oleh istri, yakni bahwa istri tangan istri yang melakukannya, itu bukanlah onani. Karena seluruh bagian tubuh istri adalah halal, asalkan saat hal itu dilakukan, seorang suami tidak membayangkan wanita selain istrinya. Itu yang harus diingat. Begitu pula ejakulasi yang terjadi karena meletakkan penis di bagian tubuh tertentu dari istri (asal bukan bagian yang terlarang). Secara umum, ini juga menyerupai onani, tapi itu bukanlah onani.
Di sini, saya tegaskan kembali bahwa apa yang dilakukan oleh suami dengan memanfaatkan salah satu organ tubuh istri selain vagina untuk proses ejakulasi tidak bisa disebut onani. Kalaupun bisa disebut onani, maka itu adalah onani yang diperbolehkan. Karena secara fikih itu masuk bagian dari ishna’uu kulla syai-in illan nikaah, boleh lakukan apa saja terhadap istri yang sedang haid, kecuali penetrasi pada kemaluannya. Sementara onani lebih dikenal dalam bahasa fikih dengan istilah “istimnaa”.
Ejakulasi yang terjadi akibat interaksi dengan salah satu organ tubuh istri, termasuk tangan, selain pada kemaluannya –kecuali dalam kondisi ditutupi dengan kain– bukan termasuk istimnaa.
Sekali Lagi, Tentang Oral Seks
Dalam buku saya “Sutra Ungu”, saya telah menjelaskan panjang lebar tentang urgensi menjelaskan hukum oral seks serinci-rincinya, mengingat ini adalah budaya yang sudah dikenal banyak orang, muslim maupun non muslim. Tanpa dijelaskan, maka orang bisa terjerumus pada yang haram tanpa dia sadari, atau terjerumus dalam mengharamkan yang halal tanpa ia sadari1.
Terkait pembahasan hukumnya, secara ringkas sebagai berikut:
Pertama, para ulama, seperti Syekh Nashiruddin Al-Albani dan beberapa ulama lain, terlihat berseberangan dengan sebagian ulama lain seperti Syekh Mukhtaar asy-Syanqiti dan Syekh Abdullah bin Abdul Aziz bin Baz dalam salah satu fatwanya yang terekam dalam sebuah kaset tentang oral seks. Tapi, saya melihat, bahwa sesungguhnya nyaris tak ada perbedaan pendapat pada fatwa mereka tersebut secara substansial. Justru kesalahpahaman terjadi pada sebagian orang yang mendengar atau membaca fatwa mereka.
Kedua, ada kesalahpahaman tentang definisi dan pengertian kongkrit (bukan secara bahasa saja) dari oral seks, sehingga memunculkan adanya perbedaan dalam fatwa. Maka saya jelaskan di sini –dengan mengharap keridhaan Allah– hal yang terkait dengan pengertian oral seks itu sendiri.
Oral seks –secara umum– adalah aktivitas pemuasan seks pasangan dengan menggunakan mulut sebagai medianya. Bagian yang dicumbu pada diri pasangan dengan mulut tak hanya kemaluan saja. Sebab, aktivitas seseorang dalam berhubungan intim yang menciumi berbagai bagian tubuh pasangannya, seperti tangan, kaki, paha, perut, hingga payudara, kesemuanya disebut oral seks. Sementara, oral seks khusus pada bagian kemaluan, memiliki istilah tersendiri.
1. Kunilingus – rangsangan suami pada bagian genital istri dengan mulut dan lidah.
2. Felasio – rangsangan istri pada kemaluan suami dengan mulut dan lidah.
Itu artinya, bila seseorang menyimpulkan sebuah keputusan hukum tentang oral seks, sementara hukumnya hanya berlaku bagi salah satu jenis oral seks, maka jelas itu adalah kesimpulan hukum yang nyasar dari realitas. Artinya, meski fatwa itu benar, namun ia sesungguhnya bukan fatwa tentang oral seks. Hanya berlaku untuk satu jenis oral seks. Di luar soal benar atau tidaknya fatwa tersebut, sudah lebih dahulu harus dikategorikan dalam fatwa-fatwa spesifik, atas jenis oral seks yang spesifik.
Demi kejelasan soal hukum, saya perlu menegaskan, bahwa semua pertanyaan kepada beberapa ulama yang melahirkan jawaban haramnya oral seks hanya memuat makna sebagai berikut: Apa hukum –maaf– memasukan kemaluan ke dalam mulut istri –dan hal sejenis dari suami terhadap istrinya – di dalam berhubungan seks?
Bila pertanyaannya demikian, tentu saja jawabannya satu: Haram. Karena pada kemaluan pria nyaris dapat dipastikan melekat madzi atau minimal mani. Madzi sudah jelas kenajisannya dan itu hal mufakat di kalangan para ulama, sementara mani, meski tidak najis, namun kotor dan Nabi –shollallohu ‘alaihi wa sallam– selalu membersihkan sisa mani yang melekat di baju beliau, maka bagaimana mungkin dibiarkan menodai mulut? Apalagi disertai madzi yang najis dan haram?!
Catatan Kaki:
[1] Tungku untuk memasak roti.
[2] Shahih al-Bukhari dalam kitab an-Nikah, bab: Apabila seorang istri tidur berpisah dengan suaminya, Hadits No.5193. Diriwayatkan juga oleh Muslim dalam Shahih-nya dalam kitab an-Nikah, bab: Diharamkannya menolak tidur dengan suami, Hadits No. 1436
[3] Dikeluarkan oleh Ibnu Abî Syaibah dalam Mushannaf-nya (IV : 304). Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnad-nya (IV : 341). Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Awsath, juga oleh al-Haitsami dalam Majma’uz Zawâid (I : 170). Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam Sunan-nya (VIII : 291)
[4] Diriwayatkan oleh Muslim (IV : 2047).
[5] Diriwayatkan oleh al-Haitsami dalam Majma’uz Zawaid (VII : 102). Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra (III : 398), dari hadits Sa’id bin Jubair, dari Ibnu ‘Abbas.
TANDA TANDA KEGAGALAN SEX PASUTRI
Seks sebagai tonggak kebahagiaan hidup sudah menjadi keyakinan lazim yang sulit dipungkiri. Karena berapapun banyak harta, dan betapapun tingginya pangkat dan jabatan, ketika seks hanya menjadi adegan menyeramkan atau setidaknya sangat membosankan dalam kehidupan seseorang, pilar keceriaan hidupnya pun memudar. Ada sesuatu yang hilang, dapat dirasakan sedemikian kentalnya, meski kadang sulit diungkapkan.
Jangan menganggap bahwa fenomena itu hanya peristiwa yang dialami oleh sedikit orang. Realitasnya, banyak sekali pasutri, dari kalangan non agamis, hingga yang betul-betul relijius, bahkan di kalangan relijius yang sudah tertata pola pikirnya dengan landasan Al-Quran dan al-Hadits dengan pemahaman yang benar, yang ternyata mengalami kegagalan seks dalam hidupnya. Akibat lahiriahnya sudah tampak pada kondisi biologis tubuh terutama wajah pada masing-masing pasutri yang terlihat jauh lebih tua dari seharusnya. Meski banyak yang berupaya menutup-nutupi realitas itu,- karena dianggap akan sangat memalukan-, tapi realitas itu menjadi bara dalam sekam yang menghanguskan diri sendiri.
Jangan pula mengatakan bahwa kegagalan seks dalam rumah tangga sama sekali tidak berpengaruh pada sisi kebahagiaan pasutri secara gamblang. Karena bagaimana mungkin, sisi yang menjadi faktor disyariatkannya nikah bagi pemuda, menjadi tidak memiliki pengaruh apa-apa bagi kebahagiaan hidup mereka?
Oleh sebab itu, kegagalan kehidupan seks, seringkali menimbulkan berbagai akibat yang tidak terduga dan sama sekali tidak diinginkan oleh siapapun.
Makna Kegagalan Seks
Dalam hubungan seks menurut kaca mata Islam, ada beberapa istilah yang mirip namun kadang berlainan.
Pertama, orgasme, yang mewakili puncak dari perhelatan hubungan seks, saat pasutri merasakan sebuah kenikmatan luar biasa di level puncak, lalu diakhiri dengan rasa lelah luar biasa.
Kedua, kepuasan seks. Biasanya, orgasme adalah media utama yang dikejar demi kepuasan seks, tapi kepuasan seks dapat dicapai tanpa orgasme, dan orgasme sendiri juga tidak selamanya berujung pada kepuasan seks. Banyak orang yang mengalami orgasme setiap berhubungan seks, tapi tak merasakan kepuasan, karena ada nuansa batin seperti sensasi, hiburan dan kenikmatan yang dia anggap belum mencapai level yang ia inginkan.
Ketiga, kenyamanan seks. Ini mungkin sedikit rumit, dan bukan istilah yang lazim. Namun dalam fikih Islam, ini termasuk dalam kategori qana’ah, yakni rasa puas yang hebat di dalam hati akibat gemuruh rasa syukur sehingga mengabaikan segala kekurangan yang ada. Orang yang mengalami qana’ah berarti merasakan kepuasan, tapi bukan berarti merasa puas. Karena orang yang merasa puas akan enggan menggapai pencapaian yang lebih baik. Sementara orang yang merasakan kepuasan berarti merasa senang dan nyaman dengan segala yang didapat, tapi selalu mengupayakan yang lebih baik di masa yang akan datang. Itulah pencapaian ideal dalam hubungan seks menurut Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar