Powered By Blogger

Kamis, 10 Februari 2011

keluarga

Berawal dari Pandangan Mata




‘Pandangan mata’ ternyata bukan perkara remeh. Darinya, bisa muncul berbagai macam bahaya atau kejelekan bagi yang dipandang. Sekilas memang tak masuk akal, namun banyak kenyataan menunjukkan sebaliknya.
Si kecil tumbuh begitu lincah dan menggemaskan. Duhai, tak ada yang pantas diucapkan selain rasa syukur kepada Rabb seluruh alam! Betapa bahagia rasanya memandang dan menikmati segala tingkah dan celotehnya.
Tak jarang komentar kekaguman berdatangan dari setiap mata yang memandang. Namun ungkapan semacam itu terkadang dianggap tabu, hingga ayah atau ibu biasanya segera menyergah, “Jangan dipuji, nanti jadi sakit lho!” atau pun dengan tanggapan-tanggapan semacam.
Terkadang pula terjadi, ayah dan ibu dibuat bingung karena buah hati mereka jatuh sakit, rewel, atau turun berat badannya tanpa sebab yang pasti. Pengobatan di dokter ahli sekalipun seakan tak membawa hasil.
Ada apa sebenarnya di balik pujian? Benarkah pujian dapat menyebabkan si buah hati jadi celaka? Ataukah ada faktor lainnya? Haruskah kita mempercayai sesuatu yang rasanya sulit dicerna oleh akal itu?
Sesungguhnya semua itu bukan semata akibat dari pujian yang terlontar, akan tetapi berawal dari pandangan. Pandangan mata seseorang dapat berpengaruh buruk pada diri orang yang dipandang, baik pandangan mata itu menatap dengan kedengkian atau pun kekaguman. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyebutkan tentang adanya pengaruh pandangan mata ini melalui lisan Rasul-Nya yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Pandangan mata, atau diistilahkan dengan ‘ain, adalah pandangan seseorang terhadap sesuatu yang dianggap bagus disertai dengan kedengkian yang muncul dari tabiat yang jelek sehingga mengakibatkan bahaya bagi yang dipandang. (Fathul Bari, 10/210)
Hal ini dijelaskan pula oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah bahwa ‘ain itu benar-benar ada dan telah jelas adanya secara syar’i maupun indrawi. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan hampir-hampir orang-orang kafir itu menggelincirkanmu dengan pandangan mereka.” (Al-Qalam: 51)
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma dan selain beliau menafsirkan ayat ini bahwa orang-orang kafir itu hendak menimpakan ‘ain kepadamu dengan pandangan mata mereka.
Demikian pula Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan tentang keberadaan ‘ain ini, sebagaimana disampaikan oleh putra paman beliau, ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“‘Ain itu benar adanya. Seandainya ada sesuatu yang dapat mendahului takdir, tentu akan didahului oleh ‘ain. Apabila kalian diminta untuk mandi, maka mandilah.” (Shahih, HR. Muslim no. 2188, Fatawa Al-Mar’ah Al-Muslimah, 1/164-165)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah mengatakan, hadits ini menjelaskan bahwa segala sesuatu terjadi dengan takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan tidak akan terjadi kecuali sesuai dengan apa yang telah Allah takdirkan serta didahului oleh ilmu Allah tentang kejadian tersebut. Sehingga, tidak akan terjadi bahaya ‘ain ataupun segala sesuatu yang baik maupun yang buruk kecuali dengan takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dari hadits ini pula terdapat penjelasan bahwa ‘ain itu benar-benar ada dan memiliki kekuatan untuk menimbulkan bahaya. (Syarh Shahih Muslim, 14/174)
‘Ain dapat terjadi dari pandangan yang penuh kekaguman walaupun tidak disertai perasaan dengki (hasad). Demikian pula timbulnya ‘ain itu tidak selalu dari seseorang yang jahat, bahkan bisa jadi dari orang yang menyukainya atau pun orang yang shalih. (Fathul Bari, 10/215)
Bahkan di antara para shahabat yang notabene mereka itu adalah orang-orang yang paling mulia setelah para nabi pun, terjadi ‘ain ini. Kisah tentang hal ini dituturkan oleh Abu Umamah, putra Sahl bin Hunaif radhiyallahu ‘anhu:
“‘Amir bin Rabi’ah pernah melewati Sahl bin Hunaif yang sedang mandi, lalu ia berkata, ‘Aku tidak pernah melihat seperti hari ini dan aku tak pernah melihat kulit seperti kulit wanita yang dipingit.’ Tidak berapa lama, Sahl terjatuh. Kemudian dia didatangkan ke hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Orang-orang pun mengatakan kepada beliau, ‘(Wahai Rasulullah), segera selamatkan Sahl, ia telah terbaring.’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, ‘Siapa yang kalian tuduh dalam hal ini?’ Mereka menjawab, ‘Amir bin Rabi’ah.’ Beliau pun berkata, ‘Atas dasar apa salah seorang di antara kalian hendak membunuh saudaranya? Apabila seseorang melihat sesuatu yang menakjubkan dari diri saudaranya, hendaknya ia mendoakan kebaikan padanya.’ Kemudian beliau meminta air dan memerintahkan ‘Amir untuk berwudhu’, maka ‘Amir pun membasuh wajahnya, kedua tangan hingga sikunya, kedua kaki hingga lututnya, serta bagian dalam sarungnya. Lalu beliau memerintahkan untuk menuangkan air itu pada Sahl.” (HR. Ibnu Majah no. 3500, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ no. 3908/4020 dan Al-Misykah no. 4562)
Tergambar pula dengan jelas dalam kisah ini, apa yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada seseorang yang terkena ‘ain. Demikian pula dalam perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“‘Ain itu benar adanya. Seandainya ada sesuatu yang dapat mendahului takdir, tentu akan didahului oleh ‘ain. Apabila kalian diminta untuk mandi, maka mandilah.”
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah menerangkan bahwa perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini menunjukkan, apabila seseorang diketahui menimpakan ‘ain, maka ia diminta untuk mandi, dan mandi ini merupakan cara pengobatan ‘ain yang sangat bermanfaat. Dituntunkan pula bila seseorang melihat sesuatu yang mengagumkan hendaknya segera mendoakan kebaikan padanya, karena doanya itu merupakan ruqyah (pengobatan) baginya. Beliau juga menyatakan bahwa ‘ain yang menimpa seseorang dapat mengakibatkan kematian. (Fathul Bari, 10/215)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk melakukan ruqyah, yaitu pengobatan dengan Al Qur’an dan dzikir-dzikir kepada Allah, terhadap orang yang terkena ‘ain. Beliau memerintahkan hal itu pula kepada istri beliau, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk melakukan ruqyah dari ‘ain.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 5738 dan Muslim no. 2195)
Begitu pula yang beliau perintahkan ketika melihat seorang anak perempuan yang terkena ‘ain pada wajahnya. Peristiwa ini dikisahkan oleh istri beliau, Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha:
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat seorang anak perempuan di rumah Ummu Salamah yang pada wajahnya ada kehitam-hitaman. Beliau pun berkata, ‘Ruqyahlah dia, karena dia tertimpa ‘ain’.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 5739 dan Muslim no. 2197)
Diceritakan pula oleh Jabir bin ‘Abdullah ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh agar anak-anak Ja’far bin Abu Thalib radhiyallahu ‘anhu diruqyah:
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Asma’ bintu ‘Umais, “Mengapa aku lihat anak-anak saudaraku kurus-kurus? Apakah karena kekurangan?”. Asma’ menjawab, “Bukan, akan tetapi mereka cepat terkena ‘ain.” Beliau pun berkata, “Ruqyahlah mereka!”. Asma’ berkata: Maka aku serahkan urusan ini kepada beliau, lalu beliau pun berkata, “Ruqyahlah mereka.” (Shahih, HR. Muslim no. 2198)
Bahkan Jibril ‘alaihis salam pernah meruqyah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau sakit dengan doa:
“Dengan nama Allah aku meruqyahmu dari segala sesuatu yang menyakitkanmu dan dari setiap jiwa atau pandangan yang dengki. Semoga Allah menyembuhkanmu, dengan nama Allah aku meruqyahmu.” (Shahih, HR. Muslim no. 2186)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa memohon perlindungan dari ‘ain, sebagaimana dikabarkan oleh shahabat yang mulia, Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu:
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa berlindung dari jin dan pandangan manusia, hingga turun surat Al-Falaq dan surat An-Naas. Ketika keduanya telah turun, beliau menggunakan keduanya dan meninggalkan yang lainnya.” (HR. At-Tirmidzi no. 2059 dan Ibnu Majah no. 3511, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah no. 2830)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah mengatakan bahwa menjaga diri dari ‘ain boleh dilakukan dan bukan berarti meniadakan tawakkal kepada Allah. Bahkan sikap demikian ini termasuk tawakkal, karena tawakkal adalah bersandar kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala disertai melakukan ‘sebab’ yang diperbolehkan atau diperintahkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memohonkan perlindungan untuk Al-Hasan dan Al-Husain dengan doa:
“Aku memohon perlindungan bagi kalian berdua dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari setiap setan dan binatang berbisa, dan dari setiap pandangan yang jahat.”
Demikian pula yang dilakukan Nabi Ibrahim ‘alaihis salam terhadap kedua putranya, Nabi Ishaq dan Nabi Isma’il ‘alaihimas salam. (Fatawa Al-Mar’ah Al-Muslimah, 1/165-166)
Betapa ayah dan ibu akan berduka bila pandangan mata itu menimpa buah hatinya. Tentu mereka akan berusaha sekuat tenaga di atas jalan Allah dan Rasul-Nya untuk menghindarkannya, jauh sebelum ‘ain itu datang menerpa. Buah hati tercinta, semogalah selamat selamanya.
Wallahu a’lamu bish shawab.






Ummu Ruman radhiyallahu ‘anha


Dia beriman, berbaiat dan berhijrah. Dia berikan kebaikan untuk Allah dan Rasul-Nya dalam keislamannya, hingga dia beroleh janji, “Barangsiapa yang ingin melihat seorang bidadari, maka lihatlah wanita ini.”
Ummu Ruman bintu ‘Amir bin ‘Uwaimir bin Abdi Syams bin ‘Itab bin Udzainah bin Sabi’ bin Duhman bin Al-Harits bin Ghanm bin Malik bin Kinanah Al-Kinaniyah radhiyallahu ‘anha1 adalah istri orang terbaik umat ini setelah Nabinya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu.
Sebelum datang masa Islam, Ummu Ruman adalah istri ‘Abdullah bin Al-Harits bin Sakhbarah bin Jurtsumatil Khair bin ‘Adiyah bin Murrah Al-Azdi. Allah Subhanahu wa Ta’ala mengaruniakan pada mereka seorang anak bernama Ath-Thufail. Mereka tinggal di As-Surah. Selang beberapa waktu, Abdullah membawa istrinya ke Makkah untuk tinggal di sana. Sebagaimana kebiasaan kala itu, para pendatang bersekutu dengan para pembesar Makkah yang dapat melindunginya. Begitu pun ‘Abdullah bin Al-Harits. Dia bersekutu dengan Abu Bakr Ash-Shiddiq.
Namun Ummu Ruman harus bertemu dengan kenyataan, Abdullah meninggalkan dirinya untuk selama-lamanya. Sepeninggal Abdullah bin Al-Harits, Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu datang meminangnya dan membawa Ummu Ruman dalam kehidupan rumah tangganya. Allah Subhanahu wa Ta’ala menganugerahi pasangan ini Abdurrahman dan ‘Aisyah.
Hari terus bergulir, hingga cahaya Islam merekah di kota Makkah. Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu adalah orang pertama yang membenarkan risalah. Tak ketinggalan Ummu Ruman menyatakan keimanannya dan turut berbaiat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Keluarga yang sarat barakah. Ketika putri mereka, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berumur enam tahun, datang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminang ‘Aisyah. Jadilah putri Ummu Ruman ini seorang wanita yang penuh kemuliaan sebagai Ummul Mukminin. Namun saat itu, ‘Aisyah masih tetap berada dalam asuhan ayah ibunya, dalam keluarga yang penuh kebaikan, hingga saatnya turun perintah hijrah.
Ketika itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu lebih dulu berangkat hijrah, sementara Ummu Ruman beserta keluarga Abu Bakr masih tinggal di Makkah. Barulah setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menetap beberapa saat di Madinah, beliau mengutus Zaid bin Haritsah dan Abu Rafi’ radhiyallahu ‘anhuma untuk menjemput keluarga beliau, berbekal 500 dirham dan dua ekor unta. Abu Bakr juga mengutus Abdullah bin ‘Uraiqith dengan membawa dua atau tiga ekor unta, dan menulis surat kepada putranya, Abdullah bin Abi Bakr, untuk membawa Ummu Ruman beserta ‘Aisyah dan Asma`. Mereka pun bertolak menuju Madinah bersama-sama. Saat itu, Zaid dan Abu Rafi’ membawa Fathimah, Ummu Kultsum, dan Saudah bintu Zam’ah. Zaid juga menjemput istri dan anaknya, Ummu Aiman dan Usamah bin Zaid.
Setiba di Madinah, keluarga Abu Bakr tinggal beberapa lama di kampung Bani Al-Harits bin Al-Khazraj. Suatu hari, ‘Aisyah yang kala itu berusia sembilan tahun tengah menikmati permainan bersama teman-teman sepermainannya. Tiba-tiba Ummu Ruman datang memanggilnya. ‘Aisyah segera datang tanpa mengetahui apa maksud ibunya memanggilnya. Ummu Ruman menggamit tangan ‘Aisyah yang masih terengah-engah itu ke depan pintu rumah. Diambilnya sedikit air, diusapnya wajah dan kepala putrinya, lalu diajaknya ‘Aisyah masuk. Ternyata di sana telah berkumpul para wanita Anshar. Mereka menyambut ‘Aisyah dengan doa keberkahan. Ummu Ruman menyerahkan ‘Aisyah pada mereka yang dengan segera mendandani ‘Aisyah. Ternyata hari itu adalah hari istimewa, saat bertemunya putri Ummu Ruman dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, suaminya.
Ummu Ruman tetap mengiringi kehidupan putrinya. Bahkan juga ketika tersebar berita dusta tentang ‘Aisyah yang mengguncang rumah tangga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sepulang beliau dari peperangan Bani Al-Mushthaliq. ‘Aisyah yang turut dalam perjalanan itu, semenjak kepulangannya jatuh sakit sampai sebulan lamanya hingga tak mengetahui isu yang beredar menyangkut dirinya. Dia hanya merasa janggal dengan sikap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang begitu dingin. Dia tak merasakan sentuhan kelembutan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana yang biasa beliau lakukan bila ‘Aisyah sedang sakit. Namun akhirnya, sampai pulalah kabar itu ke telinga ‘Aisyah dari Ummu Mishthah. Bertambah parahlah sakit ‘Aisyah.
Saat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menemuinya, ‘Aisyah pun meminta izin untuk tinggal sementara waktu bersama orang tuanya. Dia ingin mencari kepastian tentang berita yang tersebar itu dari mereka. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkannya.
Di hadapan ibunya, ‘Aisyah bertanya, “Wahai ibu, apa sebenarnya yang sedang dibicarakan orang-orang?” Dengan hati yang tak kalah sedihnya, Ummu Ruman menenangkan ‘Aisyah, “Tenanglah, duhai putriku. Demi Allah, teramat jarang seorang wanita yang cantik di sisi seorang suami yang begitu mencintainya, sementara dia memiliki madu, melainkan dia akan diperbincangkan.”
“Subhanallah!” sahut ‘Aisyah, “Berarti benar orang-orang membicarakan hal itu?” Pecahlah tangis ‘Aisyah malam itu tanpa henti hingga pagi menjelang. Air matanya tak berhenti mengalir. ‘Aisyah masih terus menangis.
Sampai pada akhirnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala turunkan dari atas langit pernyataan tentang kesucian dirinya dari tuduhan dusta yang dihembuskan oleh kaum munafikin dalam ayat 11 sampai 19 Surah An-Nuur.
Ummu Ruman, istri Ash-Shiddiq, ibunda Ash-Shiddiqah ini kembali ke hadapan Rabbnya pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan meninggalkan banyak kebaikan. Ketika jasadnya telah diturunkan ke dalam kubur, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang ingin melihat seorang bidadari surga, maka lihatlah Ummu Ruman.”
Ummu Ruman bintu ‘Amir, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala meridhainya ….
Wallahu ta’ala a’lamu bish shawab.
Sumber Bacaan:
* Al-Ishabah, karya Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-‘Asqalani (8/206-209)
* Al-Isti’ab, karya Al-Imam Ibnu ‘Abdil Barr (hal. 1935-1937)
* Kitab Azwajin Nabi, karya Al-Imam Muhammad bin Yusuf Ash-Shalihi Ad-Dimasyqi (hal. 83-84, 111-117)
* Ath-Thabaqatul Kubra, karya Al-Imam Ibnu Sa’d (8/276)
* Tahdzibul Kamal, karya Al-Imam Al-Mizzi (35/358-361)
Catatan kaki:
1 Nasab Ummu Ruman dari ayahnya hingga Kinanah banyak diperselisihkan oleh para ahli tarikh, namun mereka bersepakat bahwa dia dari Bani Ghanm bin Malik bin Kinanah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar