Powered By Blogger

Kamis, 10 Februari 2011

keluarga

Nasehat Ayah Kepada Putrinya


Ketika anak perempuannya telah menikah, orangtua tak serta merta lepas tangan begitu saja. Pendidikan serta bimbingan mereka masih diperlukan meskipun hal itu menjadi tanggung jawab utama sang suami.
Dengan terjalinnya ikatan pernikahan, perwalian seorang anak perempuan berpindah dari sang ayah kepada suaminya. Suaminya lah kini yang mengambil alih tugas sang ayah untuk mendidik, membimbing, menjaga serta menghidupinya. Suamilah yang bertanggung jawab memberikan pengajaran agama kepada istrinya guna menyelamatkannya dari api neraka, menasihatinya ketika menyimpang dari kebenaran serta meluruskannya.
Namun demikian, bukan berarti seorang ayah kemudian tutup mata dari kesalahan putrinya ketika ia telah berumah tangga, merasa tidak perlu lagi menasihatinya dan membimbing tangannya kepada kebenaran. Bahkan semestinya, ketika memang dibutuhkan, seorang ayah membantu anak menantunya (suami putrinya) dengan turut memberikan arahan yang positif kepada putrinya dalam rangka melanggengkan kebersamaan putrinya bersama sang suami. Kita ambil contoh apa yang dilakukan oleh seorang ayah yang bijak, Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu, ketika menasihati Hafshah putrinya, dalam persoalan dengan suaminya, Rasul yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kisahnya tercatat dengan panjang dalam sebuah hadits yang agung. Agar kita tak luput dari faedahnya, kita bawakan makna haditsnya secara lengkap.
Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkisah, “Aku terus berkeinginan kuat untuk bertanya kepada Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu tentang siapakah dua istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dinyatakan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

إِنْ تَتُوبَا إِلَى اللهِ فَقَدْ صَغَتْ قُلُوبُكُمَا
Apabila kalian berdua bertaubat kepada Allah, maka sungguh hati kalian berdua telah condong (untuk menerima kebaikan)….” (At-Tahrim: 4)
Hingga ketika aku berhaji bersamanya, aku mendapatkan kesempatan itu. Saat itu Umar berbelok dari jalan yang semestinya dilalui karena hendak buang hajat. Aku pun ikut belok bersamanya dengan membawa seember air. Seselesainya dari buang hajat, aku menuangkan air di atas kedua tangannya, hingga ia pun berwudhu. Aku pun bertanya, “Wahai Amirul Mukminin, siapakah dua orang istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang Allah Subhanahu wa Ta’ala nyatakan dalam firman-Nya:
إِنْ تَتُوبَا إِلَى اللهِ فَقَدْ صَغَتْ قُلُوبُكُمَا
Umar menjawab, “Mengherankan sekali kalau engkau sampai tidak tahu siapa keduanya, wahai Ibnu Abbas! Keduanya adalah Aisyah dan Hafshah.”
Kemudian Umar mulai berkisah sebab turunnya ayat tersebut. Katanya, “Aku dan tetanggaku dari Anshar berdiam di Bani Umayyah bin Zaid, mereka ini termasuk penduduk yang bermukim di kampung-kampung dekat kota Madinah. Kami berdua biasa saling bergantian untuk turun menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam guna mendengarkan ilmu yang beliau sampaikan, sehari gilirannya dan hari berikutnya giliranku. Bila giliran aku yang turun dan aku mendapati berita hari tersebut, baik berupa wahyu ataupun selainnya, aku mesti datang menemui temanku guna menyampaikan semua yang kudapatkan. Bila gilirannya, ia pun melakukan hal yang sama.
Kami ini orang-orang Quraisy sangat dominan atas istri-istri kami, mereka tunduk sepenuhnya pada kehendak kami dan kami tidak pernah melibatkan mereka sedikitpun dalam urusan kami. Tatkala kami datang ke negeri orang-orang Anshar, kami dapati ternyata mereka dikalahkan oleh istri-istri mereka. Istri-istri mereka turut angkat suara dalam urusan mereka dan berani menjawab. Maka mulailah wanita-wanita kami mengambil dan mencontoh kebiasaan wanita-wanita Anshar. Suatu ketika, aku marah kepada istriku, ternyata ia berani menjawab ucapanku dan membantahku, aku pun mengingkari hal tersebut. Istriku malah berkata, “Mengapa engkau mengingkari apa yang kulakukan? Padahal demi Allah, istri-istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berani menjawab dan membantah beliau. Sungguh salah seorang dari mereka pernah sampai memboikot Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari awal siang sampai malam hari.”
Aku terkejut dengan penyampaian istriku, “Sungguh merugi yang melakukan hal itu,” tukasku. Kemudian aku mengenakan pakaianku secara lengkap, lalu turun ke Madinah menuju rumah putriku Hafshah.
“Wahai Hafshah, apakah benar salah seorang dari kalian pernah marah pada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari awal siang hingga malam hari?” tanyaku meminta keterangan.
“Iya,” jawab Hafshah.
“Kalau begitu engkau merugi, apakah engkau merasa aman bila Allah Subhanahu wa Ta’ala sampai murka disebabkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dibuat marah, hingga akhirnya engkau akan binasa? Jangan engkau banyak meminta kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, jangan engkau menjawabi dan membantah beliau dalam suatu perkara pun serta jangan berani memboikot beliau. Mintalah kepadaku apa yang engkau inginkan. Jangan sekali-kali membuatmu tertipu dengan keberadaan madumu, Aisyah, ia lebih cantik darimu dan lebih dicintai oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Demikian aku menasihati Hafshah.

Sebelumnya kami telah memperbincangkan bahwa Ghassan telah memakaikan sepatu pada kuda-kudanya guna memerangi kami.
Turunlah temanku si orang Anshar pada hari gilirannya. Pada waktu Isya’, ia kembali pada kami. Diketuknya pintu rumahku dengan keras seraya berkata, “Apa di dalam rumah ada Umar?” Aku terkejut lalu keluar menemuinya. Temanku itu berkata, “Pada hari ini telah terjadi peristiwa besar.”
“Apa itu? Apakah Ghassan telah datang?” tanyaku tak sabar.
“Bukan, bahkan lebih besar dari hal itu dan lebih mengerikan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menceraikan istri-istrinya,” jawabnya.
“Telah merugi Hafshah. Sungguh sebelumnya aku telah mengkhawatirkan ini akan terjadi,” tukasku.

Kemudian kukenakan pakaian lengkapku, lalu turun ke Madinah hingga aku menunaikan shalat fajar (shubuh) bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Selesai shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke masyrabah1nya dan memisahkan diri dari istri-istrinya di tempat tersebut. Aku pun masuk ke rumah Hafshah, ternyata kudapati ia sedang menangis, “Apa yang membuatmu menangis?” tanyaku. “Bukankah aku telah memperingatkanmu dari hal ini, apakah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menceraikan kalian?”
“Saya tidak tahu. Beliau sedang menyepi di masyrabahnya,” jawab Hafshah.

Aku keluar dari rumah Hafshah, masuk ke masjid dan mendatangi mimbar, ternyata di sekitarnya ada beberapa orang, sebagian mereka tengah menangis. Aku duduk sebentar bersama mereka, namun kemudian mengusik hatiku kabar yang kudapatkan hingga aku bangkit menuju ke masyrabah di mana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berdiam di dalamnya. “Mintakan izin Umar untuk masuk,” ucapku kepada Rabah, budak hitam milik beliau yang menjaga masyrabahnya. Ia pun masuk dan berbicara dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian kembali menemuiku. “Aku telah berbicara kepada Nabi dan aku menyebut dirimu di hadapan beliau namun beliau diam saja,” ujarnya.
Aku berlalu, hingga kembali duduk bersama sekumpulan orang yang berada di sisi mimbar. Hatiku kembali terusik dengan kabar yang kudapatkan hingga aku bangkit menuju ke masyrabah, bertemu dengan Rabah dan berkata kepadanya, “Mintakan izin untuk Umar.” Ia masuk ke masyrabah kemudian kembali menemuiku. “Aku telah menyebut dirimu di hadapan beliau namun beliau diam saja,” ujarnya.
Aku kembali duduk bersama sekumpulan orang yang berada di sisi mimbar. Namun kemudian hatiku kembali terusik dengan kabar yang kudapatkan hingga untuk ketiga kalinya aku bangkit menuju ke masyrabah, bertemu dengan Rabah dan berkata kepadanya, “Mintakan izin untuk Umar.” Ia masuk ke masyrabah kemudian kembali menemuiku. “Aku telah menyebut dirimu di hadapan beliau namun beliau diam saja,” ujarnya lagi.
Ketika aku hendak berbalik pergi, tiba-tiba Rabah memanggilku, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengizinkanmu untuk masuk,” katanya.

Aku segera masuk menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ternyata beliau sedang berbaring di atas tikar, tidak ada alas di atasnya hingga tampak bekas-bekas kerikil di punggung beliau, bertelekan di atas bantal dari kulit yang berisi sabut. Aku mengucapkan salam kepada beliau, kemudian dalam keadaan berdiri aku berkata, “Wahai Rasulullah, apakah engkau menceraikan istri-istrimu?” Beliau mengangkat pandangannya, “Tidak,” jawab beliau.
“Allahu Akbar,” sambutku. Masih dalam keadaan berdiri aku berkata, “Izinkan aku untuk melanjutkan pembicaraan, wahai Rasulullah! Kita dulunya orang-orang Quraisy mengalahkan istri-istri kita, namun ketika kita datang ke Madinah kita dapati mereka dikalahkan oleh istri-istri mereka.”

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersenyum. Aku kembali bicara, “Wahai Rasulullah, andai engkau melihatku masuk ke tempat Hafshah, aku katakan padanya, ‘Jangan sekali-kali membuatmu tertipu dengan keberadaan madumu, Aisyah, ia lebih cantik darimu dan lebih dicintai oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam’.” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersenyum lagi, aku pun duduk ketika melihat senyuman beliau. Kemudian aku mengangkat pandanganku melihat isi masyrabah tersebut, maka demi Allah aku tidak melihat ada sesuatu di tempat tersebut kecuali tiga lembar kulit, aku pun berkata, “Mohon engkau berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kelapangan hidup bagi umatmu, sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala telah melapangkan (memberi kemegahan) kepada Persia dan Romawi, padahal mereka tidak beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.”
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk dari posisi bersandarnya, seraya berkata, “Apakah engkau seperti itu, wahai putranya Al-Khaththab? Sungguh mereka itu adalah orang-orang yang disegerakan kesenangan (kenikmatan hidup/rizki yang baik-baik) mereka di dalam kehidupan dunia.”
“Wahai Rasulullah, mohonkanlah ampun untukku,” pintaku.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memisahkan diri dari istri-istrinya selama 29 malam disebabkan pembicaraan (rahasia) yang disebarkan oleh Hafshah kepada Aisyah radhiyallahu ‘anhuma. Beliau mengatakan, “Aku tidak akan masuk menemui mereka selama sebulan,” hal ini beliau lakukan karena kemarahan beliau yang sangat kepada mereka di mana Allah Subhanahu wa Ta’ala sampai mencela beliau dikarenakan perkara dengan mereka.”
Hadits di atas dibawakan oleh Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu dalam kitab Shahih-nya no. 5191, dengan judul bab Mau’izhah Ar-Rajul Ibnatahu li Hali Zaujiha, artinya: Nasihat seseorang kepada putrinya karena perkara dengan suaminya. Diriwayatkan pula oleh Al-Imam Muslim rahimahullahu dalam Shahih-nya no. 3679.
Dalam hadits ini, kata Al-Imam An-Nawawi rahimahullah, terkandung adanya pengajaran seorang ayah kepada anaknya, baik anaknya masih kecil ataupun telah dewasa, atau bahkan telah menikah, karena Abu Bakr Ash-Shiddiq dan Umar radhiyallahu ‘anhuma memberikan ta`dib “pendidikan/pengajaran” kepada kedua putri mereka, bahkan sampai memukul putri mereka2. (Al-Minhaj, 9/333)
Al-Qadhi `Iyadh rahimahullahu dalam Al-Ikmal, kitab yang berisi penjelasan beliau terhadap hadits-hadits dalam Shahih Muslim, menyatakan bahwa dalam pemberian ta’dib Umar dan Abu Bakr radhiyallahu ‘anhuma kepada kedua putri mereka menunjukkan bolehnya hal itu dilakukan oleh para ayah terhadap anak-anak mereka yang telah besar dan anak-anak perempuan mereka yang telah menikah. Al-Qadli rahimahullahu juga menyatakan bahwa dalam hadits di atas menunjukkan bagusnya pergaulan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan istri-istri beliau serta sabarnya beliau menghadapi rasa cemburu mereka dan akhlak mereka, sebagaimana beliau menghasung para suami untuk memperbaiki pergaulan dengan para istri, bersabar atas kebengkokan mereka, dan bernikmat-nikmat (istimta’) dengan mereka di atas kebengkokan tersebut3. (Al-Ikmal, 5/42,43)
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu menyebutkan beberapa faedah dari hadits di atas, di antaranya:
  • Terlalu menekan istri adalah perbuatan tercela karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil kebiasaan orang Anshar dalam urusan istri-istri mereka dan meninggalkan kebiasaan kaumnya (orang Quraisy).
  • “Pengajaran” seorang ayah kepada putrinya dengan memberikan nasihat guna membaikkan si putri dalam hubungannya dengan suaminya.
  • Bolehnya ayah masuk ke rumah putrinya yang sudah menikah walaupun tanpa seizin suaminya.
  • Bersabar dengan istri, tidak ambil pusing dengan pembicaraan mereka serta memaafkan ketergeliciran mereka dalam menunaikan hak suami, kecuali bila berkaitan dengan hak Allah Subhanahu wa Ta’ala. (Fathul Bari, 9/362)
Demikianlah ilmu dan pengajaran yang agung yang kita peroleh dari sunnah nabawiyyah.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

Catatan kaki:
1 Kamar yang tinggi, untuk naik ke atasnya harus memakai tangga, sebagaimana disebutkan dalam hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma dari cerita Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu kepadanya:
فَإِذَا رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِي مَشْرَبَةٍ لَهُ يَرْقَى عَلَيْهَا بِعَجَلَةٍ
“Ternyata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di masyrabahnya, beliau naik ke atasnya dengan menggunakan tangga dari pelepah kurma.” (HR. ِAl-Bukhari no. 4913 dan Muslim no. 3676)
2 Sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma berikut ini:
دَخَلَ أَبُوْ بَكْرٍ يَسْتَأْذِنُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَوَجَدَ النَّاسَ جُلُوْسًا بِبَابِهِ، لَمْ يُؤْذَنْ لِأَحَدٍ مِنْهُمْ. قَالَ: فَأُذِنَ لِأَبِي بَكْرٍ، فَدَخَلَ. ثُمَّ أَقْبَلَ عُمَرُ فَاسْتَأْذَنَ، فَأُذِنَ لَهُ، فَوَجَدَ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم جَالِسًا، حَوْلَهُ نِسَاؤُهُ، وَاجِمًا سَاكِتًا.
Abu Bakr masuk minta izin untuk menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia dapatkan orang-orang sedang duduk di depan pintu rumah beliau, tidak ada seorang pun dari mereka yang diizinkan masuk. Jabir berkata, “Abu Bakr diizinkan maka ia pun masuk. Kemudian datang Umar meminta izin, ia pun diizinkan masuk. Umar mendapati Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang duduk dalam keadaan sedih terdiam, di sekitar beliau ada istri-istrinya.”
Jabir melanjutkan haditsnya, di antaranya disebutkan ucapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

هُنَّ حَوْلِي كَمَا تَرَى، يَسْأَلْنَنِي النَّفَقَةَ. فَقَامَ أَبُوْ بَكْرٍ إِلَى عَائِشَةَ يَجَأُ عُنُقَهَا، فَقَامَ عُمَرُ إِلَى حَفْصَةَ يَجَأُ عُنُقَهَا، كِلاَهُمَا يَقُوْلُ: تَسْأَلْنَ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم مَا لَيْسَ عِنْدَهُ؟
“Mereka (istri-istri beliau) ada di sekelilingku sebagaimana yang engkau lihat, mereka meminta nafkah kepadaku.” Mendengar hal itu bangkitlah Abu Bakar menuju putrinya Aisyah lalu memukul lehernya. Bangkit pula Umar ke arah putrinya Hafshah lalu memukul lehernya. Abu Bakar dan Umar berkata, “Apakah kalian meminta kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sesuatu yang tidak ada pada beliau?” (HR. Muslim no. 3674)
Ada pula kisah ta`dib yang dilakukan Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu terhadap putrinya Aisyah radhiyallahu ‘anha sebagaimana yang diriwayatkan oleh An-Nasa’i dalam Isyratun Nisa’, Abu Dawud dalam Sunan-nya, dan Al-Imam Ahmad dalam Musnad-nya. Disebutkan bahwa Abu Bakr minta izin masuk ke rumah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu ia mendengar suara Aisyah yang keras kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr pun hendak memukul putrinya seraya berkata, “Wahai putrinya Fulanah, apakah kau berani bersuara keras terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam?!” Namun Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghalangi Abu Bakr dan menahannya. Abu Bakr kemudian keluar dalam keadaan marah. Setelahnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Aisyah, “Wahai Aisyah, bagaimana yang engkau lihat tadi, bukankah aku telah menyelamatkanmu dari ayahmu?” Beberapa hari kemudian, datang lagi Abu Bakr minta izin masuk ke rumah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ternyata didapatkannya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berdamai dengan Aisyah, maka Abu Bakr berkata kepada keduanya, “Masukkanlah aku ke dalam perdamaian ini sebagaimana kalian memasukkan aku ke dalam pertikaian yang lalu.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Sungguh kami telah melakukannya. Sungguh kami telah melakukannya.”
Namun hadits ini lemah sanadnya (dhaiful isnad) sebagaimana dinyatakan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Dhaif Abi Dawud.

3 Sebagaimana tersebut dalam hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلْعٍ، وَِإنَّ أَعْوَجَ شَيْء فِي الضِّلْعِ أَعْلاَهُ، فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيْمُهُ كَسَرْتَهَا وَإِنِ اسْتَمْتَعْتَ بِهَا اِسْتَمْتَعْتَ وَفِيْهَا عِوَجٌ
“Sesungguhnya wanita diciptakan dari tulang rusuk. Dan sungguh bagian yang paling bengkok dari tulang rusuk adalah yang paling atasnya. Bila engkau ingin meluruskannya, engkau akan mematahkannya. Dan jika engkau ingin bernikmat-nikmat dengannya, engkau bisa bernikmat-nikmat namun padanya ada kebengkokan.” (HR. Al-Bukhari no. 3331 dan Muslim no. 3632)






Sebab-Sebab Keluar dari Istiqamah


Setiap manusia diciptakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam keadaan memiliki pembisik jahat yang memiliki target berbahaya. Bila manusia tersebut salah melangkah maka akan menjadi mangsa si pembisik yang jahat itu. RasulullahShallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengisyaratkan dalam sabda beliau tentang adanya pembisik ini dalam hadits riwayat Al-Imam Muslim no. 2815 dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anhu:
مَا لَكِ يَا عَائِشَةُ أَغِرْتِ؟ فَقُلْتُ: وَمَا لِي لاَ يُغَارُ مِثْلِي عَلَى مِثْلِكَ؟ فَقَالَ: أَوْ قَدْ جَاءَكِ شَيْطَانُكِ؟ قَالَتْ: يَا رَسُوْلَ اللهِ أَوَ مَعِي شَيْطَانٌ؟ قَالَ: نَعَمْ. قُلْتُ: وَمَعَ كُلِّ إِنْسَانٍ؟ قَالَ: نَعَمْ. قُلْتُ: وَمَعَكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: نَعَمْ، وَلَكِنْ رَبِّي عَزَّ وَجَلَّ أَعَانَنِي عَلَيْهِ حَتَّى أَسْلَمَ
Ada apa dengan dirimu wahai ‘Aisyah, apakah kamu cemburu?” Aku (‘Aisyah) menjawab: “Bagaimana aku tidak cemburu terhadap orang seperti engkau.” Beliau berkata: “Ataukah telah datang syaithan (yang menjadi) pendampingmu?” Aku berkata: “Ya Rasulullah, apakah (ada) syaithan yang bersamaku?” Rasulullah menjawab: “Ya” Aku berkata: “Apakah setiap manusia didampingi syaithan?” Beliau berkata: “Ya” Lalu aku berkata: “Bersamamu juga?” Beliau menjawab: “Ya, akan tetapi Allah telah menolong diriku atasnya sehingga (ia) masuk Islam.
Tahukah pembaca, siapa pembisik yang jahat itu? Dialah syaithan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam rangka mengingatkan kita:
وَلاَ تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ. إِنَّمَا يَأْمُرُكُمْ بِالسُّوْءِ وَالْفَحْشآءِ وَأَنْ تَقُوْلُوا عَلَى اللهِ ما لاَ تَعْلَمُوْنَ
Dan jangan kalian mengikuti langkah-langkah syaithan, sesungguhnya dia bagi kalian adalah musuh yang nyata. Sesungguhnya dia selalu memerintah kalian untuk (melakukan) kejahatan dan kekejian dan agar kalian mengucapkan terhadap Allah apa yang tidak kalian ketahui. (Al-Baqarah: 168-169)
Demikianlah betapa bahayanya pembisik ini. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mewanti-wanti setiap hamba-Nya agar mewaspadai ulah syaithan dan tidak terjatuh dalam bujuk rayu mautnya. Sekali terjatuh dalam jeratannya, akan sulit untuk melepaskan diri kecuali orang-orang yang Allah beri rahmat dan pertolongan.
Sikap senantiasa mewaspadai bujuk rayu syaithan dan menjauhi perbuatan yang bisa mengantarkan seseorang terjerumus pada perbuatan dosa yang sangat disukai syaithan, semestinya dimiliki oleh tiap muslim. Inilah faktor utama seseorang bisa bertahan meniti jalan istiqamah.
Dari sini betapa agung sikap istiqamah dan betapa celaka bagi orang yang keluar dari istiqamah. Al-Imam An-Nawawirahimahullahu mengatakan: “Makna istiqamah adalah: Senantiasa di atas ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’aladan (kalimat ini) termasuk dari Jawami’ Al-Kalim (lafadznya singkat dan maknanya padat) dan dia adalah pengatur semua perkara.”
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman di dalam Al-Qur’an:

إِنَّ الَّذِيْنَ قَالُوا رَبُّنَا اللهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلاَئِكَةُ أَلاَّ تَخَافُوْا وَلاَ تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوْعَدُوْنَ
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan Rabb kami adalah Allah, kemudian berpegang teguh padanya niscaya malaikat akan turun atas mereka untuk (memberikan kabar gembira) agar kalian jangan takut dan bersedih. Bergembiralah dengan jannah yang telah dijanjikan buat kalian.” (Fushshilat: 30)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan dalam sabdanya tentang seseorang yang tidak istiqamah sebagaimana dalam hadits riwayat Al-Imam Muslim no. 118 dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu:
يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا وَيُمْسِي كَافِرًا وَيُمْسِي مُؤْمِنًا وَيُصْبِحُ كَافِرًا يَبِيْعُ دِيْنَهُ بِعَرَضٍ مِنَ الدُّنْيَا
Di pagi hari seorang beriman dan di sore harinya menjadi kafir, dan di sore harinya beriman di pagi harinya menjadi kafir. Dia melelang (menjual) agamanya dengan harta benda dunia.
Termasuk perkara yang nyata dalam kehidupan, yang tidak akan dipungkiri oleh setiap orang adalah adanya sunnatullah(ketetapan Allah) bagi setiap hamba yang tidak akan berubah. Di antara hamba ada yang tersesat semenjak beban syariat harus ia tunaikan sampai ia menghadap Allah. Dan ada pula yang mendapatkan hidayah untuk istiqamah di awal perjalanan hidupnya namun di akhir kehidupan menjadi orang yang tersesat. Ada pula yang sebaliknya, di akhir kehidupan dia mendapatkan hidayah di jalan istiqamah meski awalnya penuh bergelimang dengan dosa dan maksiat. Inilah sunnatullah yang tidak bisa ditolak oleh setiap orang.
سُنَّةَ اللهِ الَّتِي قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلُ وَلَنْ تَجِدَ لِسُنَّةِ اللهِ تَبْدِيْلاً
Sunnatullah telah berlalu (berlaku) dari sebelumnya. Sekali-kali kamu tidak akan menjumpai pada sunnatullah itu perubahan.(Al-Fath: 23)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
مَا يُبَدَّلُ الْقَوْلُ لَدَيَّ وَمَا أَنَا بِظَلاَّمٍ لِّلْعَبِيْدِ
Keputusan di sisi-Ku tidak dapat diubah, dan Aku sekali-kali tidak akan menganiaya hamba-hamba-Ku. (Qaf: 29)
Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitabnya Al-Fawaid berkata: “Ada yang berpendapat, yang dimaksudkan (dalam ayat ini) seperti firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
لأَمْلأَنَّ جَهَنَّمَ مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِيْنَ
Sesungguhnya Aku akan memenuhi neraka jahannam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya.” (Hud: 119)
Sementara janji-janji yang diberikan kepada orang beriman adalah jannah. Hal ini tidak akan bisa diubah dan tidak bisa ditentang.”

Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata: “Maksudnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: ‘Apa yang sudah Aku janjikan kepada orang-orang yang taat dan yang mendurhakai-Ku tidak akan berubah’.” Mujahid rahimahullah berkata: “Telah Aku putuskan apa yang memang Ku-putuskan.” Dan masih banyak penafsiran lain tentang ayat ini, namun yang paling benar adalah kedua penafsiran tersebut.

Beberapa Penyebab Keluar dari Istiqamah

Mengetahui perkara yang bisa menyebabkan seseorang keluar dari jalan istiqamah merupakan perkara yang sangat penting. Hudzaifah Ibnul Yaman radhiallahu ‘anhu berkata: “Orang-orang (para shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tentang kebaikan, namun aku bertanya kepada beliau tentang kejahatan (karena) khawatir (kejahatan tersebut) menimpaku.” (HR. Al-Bukhari)
Melalui hadits ini dan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ
Agama itu adalah nasihat.” (HR. Muslim dari shahabat Tamim Ad-Dari radhiallahu ‘anhu)
Ada beberapa perkara yang menyebabkan seseorang menyeleweng dan keluar dari istiqamah, di antaranya:
a. Hilangnya dasar-dasar keistiqamahan di tengah kaum muslimin dan terbukanya pintu-pintu penyelewengan yang berakibat mendekatnya penyeru-penyeru penyelewengan dari kalangan syaithan jin dan manusia. Diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad dalam Musnad-nya, Ibnu Majah dalam Sunan-nya, Ibnu Hibban di dalam Shahih-nya, Ad-Darimi di dalam Sunan-nya dan selain mereka dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani di dalam kitab Shahih Sunan Ibnu Majah, 1/7, hadits no. 11, dari shahabat Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membuat sebuah garis lurus dengan tangan beliau dan mengatakan: “Ini adalah jalan Allah yang lurus.” Lalu beliau menggaris dari kanan dan kiri kemudian mengatakan: “Ini adalah jalan-jalan yang tidak ada satupun dari jalan-jalan tersebut melainkan syaithan menyeru di atasnya.” Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: “Ini adalah jalanku yang lurus maka ikutilah dia, dan jangan kalian mengikuti jalan-jalan yang menyebabkan kalian terpisah dari jalan-Nya. Demikianlah wasiat Allah kepada kalian agar kalian menjadi orang yang bertakwa.”
b. Meninggalkan pendidikan Islami bagi generasi muslim sejak dini dan menganggap perkara tersebut sebagai perkara kecil. Generasi penerus itu tidak diarahkan kepada sesuatu yang bermanfaat untuk kehidupan dunia dan akhirat mereka. Lalu bagaimana bisa diharapkan bila demikian cara peletakan batu pertama terhadap generasi Islam, agar dia tumbuh menjadi orang yang cinta terhadap ketaatan, benci terhadap kemaksiatan dan selamat fitrahnya?
c. Memberikan kebebasan kepada anak-anak untuk mencari kesenangan hidup tanpa ada aturan syariat. Sehingga anak pun melakukan segala kerusakan selama dia bisa mendapatkan kesenangan, seperti permainan yang melalaikan, menonton film-film porno dan sinema yang penuh kedustaan, narkoba, ‘dugem’, pergaulan bebas, merokok, musik, dan lain-lain.
d. Hilangnya perhatian para guru terhadap anak didiknya, sehingga mereka berbuat apa saja yang diinginkan, walaupun hal itu bertentangan dengan apa yang dikajinya. Hal ini mengakibatkan pada diri mereka muncul dua pendorong yang berbahaya. Pertama: Dorongan untuk terjerumus menjadi orang yang menyeleweng, dan Kedua: Menjadi orang yang bangkrut kehidupan dunia dan akhiratnya.
e. Meninggalkan rumah-rumah Allah Subhanahu wa Ta’ala (masjid) dan tidak memenuhi panggilan seruan da’i-Nya, karena melanglang buana dalam aktivitas yang tidak berguna untuk dunia, terlebih untuk akhirat. Inilah mayoritas perbuatan yang dilakukan di tengah muslimin, terlebih di kalangan para pemuda yang cenderung senantiasa melampiaskan nafsunya.
f. Bertebarannya kemungkaran di tengah-tengah kaum muslimin dan terciptanya lingkungan yang jelek dan kotor. Semua ini sangat mungkin menjadi sebab terjadinya penyelewengan dan keluar dari istiqamah.
g. Terlepasnya tali hubungan antara anak dan bapak yang shalih lagi bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala,sehingga anak menempuh jalan-jalan kedurhakaan yang merupakan seruan Iblis dan tentara-tentaranya untuk menuntut keadilan dan kebebasan hidup dari orang tua yang shalih dan bertakwa tersebut. (Lihat kitab Asbab Istiqamah Asy-Syabab wa Bawa’its Inhirafihim karya Asy-Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hadi Al-Madkhali, hal. 29-32).
Ini beberapa sebab terjadinya penyelewengan dan keluarnya seorang muslim dari jalur istiqamah. Keadaan ini membutuhkan jawaban (solusi) agar jangan sampai generasi Islam pada masa yang mendatang menjadi pengibar bendera kesesatan dan penyelewengan, menjadi generasi yang tidak berdaya di hadapan musuh-musuh Allah Subhanahu wa Ta’ala, generasi yang egois, rusak moral, menjadi generasi yang rendah dan budak piaraan musuh-musuh mereka. Tentu jawabannya adalah harus kembali meniti jalan salaf (pendahulu) kita yang shalih di dalam memahami dan mengamalkan agama Allah Subhanahu wa Ta’ala. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
سَلَّطَ اللهُ عَلَيْكُمْ ذُلاًّ لاَ يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِيْنِكُمْ
Allah akan menimpakan kepada kalian kehinaan dan tidak akan tercabut kehinaan tersebut sampai kalian kembali kepada agama kalian.(HR. Abu Dawud dari shahabat Abdullah bin ‘Umar radhiallahu ‘anhuma. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ no. 423)
Al-Imam Malik rahimahullah mengatakan:
لَنْ يُصْلِحَ أَمْرَ هَذِهِ اْلأُمَّةِ إِلاَّ مَا أَصْلَحَ بِهَا أَوَّلَهَا
Sekali-kali tidak akan ada yang memperbaiki urusan umat ini melainkan (harus kembali) kepada apa yang telah memperbaiki umat terdahulu.
Seorang penyair mengatakan:
كُلُّ خَيْرٍ فِي اتِّبَاعِ مَنْ سَلَفَ وَكُلُّ شَرٍّ فِي ابْتِدَاعِ مَنْ خَلَفَ
Setiap kebaikan itu karena mengikuti salaf dan setiap kejahatan itu karena kebid’ahan orang kemudian.
Abu ‘Amr Al-Auza’i rahimahullah mengatakan:
عَلَيْكَ بِآثَارِ مَنْ سَلَفَ وَإِنْ رَفَضَكَ النَّاسُ
Hendaklah kamu mengikuti jalan-jalan pendahulumu yang shalih sekalipun orang-orang menolakmu (tidak menyukaimu).”









Membentengi Rumah dari Setan


Setiap keluarga muslim pasti mendambakan ketenteraman dan ketenangan dalam rumah yang mereka huni, baik dia seorang suami, seorang istri, ataupun sebagai seorang anak. Semua ingin rumah mereka seperti kata orang: Baiti jannati, rumahku adalah surgaku. Bukan karena rumah itu mewah dilengkapi perabotannya yang wah, namun karena semua merasa tentram ketika masuk dan berada di dalamnya.
Seorang suami pulang ke rumah usai aktivitasnya di luar rumah, baik untuk mencari penghidupan ataupun untuk berdakwah. Ia masuk ke rumahnya, didapatinya rahah (lapang). Lelah dan kepenatannya serasa hilang saat bertemu dengan istri dan anak-anaknya. Ketenangan menyelimutinya.
Seorang istri merasa betah berdiam dalam rumahnya. Karena memang seperti titah Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada kaum hawa:
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ
Tetaplah kalian tinggal di rumah kalian.(Al-Ahzab: 33)
Juga karena suasana dalam rumah turut mendukung timbulnya rasa betah tersebut.
Anak-anak pun merasa senang dalam rumah mereka walaupun rumahnya kecil dan sederhana.
Kerukunan dan kasih sayang senantiasa terjalin di antara anggotanya.
Gambaran seperti yang kita ungkapkan tentunya menjadi keinginan setiap insan. Lalu, apa rahasianya untuk mewujudkanbaiti jannati tersebut?

Di antara faktor yang sangat penting adalah menjauhkan rumah dari para setan. Kenapa demikian? Karena setan merupakan musuh anak Adam, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا
Sesungguhnya setan itu adalah musuh bagi kalian maka jadikanlah dia sebagai musuh. (Fathir: 6)
Yang namanya musuh tentu selalu berupaya mencari celah untuk mencelakakan orang yang dimusuhinya. Yang disebut musuh pasti ingin menghancurkan orang yang dimusuhinya. Salah satu target utama setan adalah merusak sebuah keluarga, menghancurkan ikatan di antara anggota-anggotanya.
Iblis, gembong para setan, demikian bergembira bila anak buahnya berhasil memisahkan seorang istri dari suaminya. Sebagaimana kabar dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِنَّ إِبلِيسَ يَضَعُ عَرْشَهُ عَلَى الْماَءِ ثُمَّ يَبْعَثُ سَرَايَاهُ فَأَدْنَاهُمْ مِنهُ مَنْزِلَةً أَعْظَمُهُمْ فِتْنَةً، يَجِيءُ أَحَدُهُم فَيَقُولُ: فَعَلْتُ كَذَا وَكَذَا. قَالَ: مَا صَنَعْتَ شَيْئًا. ثُمَّ يَجِيْءُ أَحَدُهُمْ فَيَقُولُ: مَا تَرَكْتُهُ حَتَّى فَرَّقْتُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ امْرَأَتِهِ. قَالَ: فَيُدْنِيهِ مِنْهُ وَيَقُولُ: نِعْمَ أَنْتَ
Sesungguhnya iblis meletakkan singgasananya di atas air lantas ia mengirim kan tentara-tentaranya. Maka yang paling dekat di antara mereka dengan iblis adalah yang paling besar fitnah yang ditimbulkannya. Datang salah seorang dari anak buah iblis menghadap iblis seraya berkata, “Aku telah melakukan ini dan itu.” Iblis menjawab, “Engkau belum melakukan apa-apa.” Lalu datang setan yang lain melaporkan, “Tidaklah aku meninggalkan dia (anak Adam yang diganggunya) hingga aku berhasil memisahkan dia dengan istrinya.” Maka iblis pun mendekatkan anak buahnya tersebut dengan dirinya dan memujinya, “Engkaulah yang terbaik.” (HR. Muslim no. 7037)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu menerangkan bahwa iblis bermarkas di lautan, dan dari situlah ia mengirim tentara-tentaranya ke penjuru bumi. Iblis memuji anak buahnya yang berhasil memisahkan suami dengan istrinya, karena kagum dengan apa yang dilakukan si anak buah dan ia dapat mencapai puncak tujuan yang dikehendaki iblis. Iblis pun merangkulnya. (Al-Minhaj, 17/154-155)
Kata Al-Imam Al-Qadhi Iyadh rahimahullahu, hadits ini menunjukkan besarnya perkara firaq (perpisahan suami dengan istrinya) dan talak, serta besarnya kemadharatan dan fitnahnya. Selain itu juga menunjukkan besarnya dosa orang yang berupaya memisahkan suami dari istrinya. Karena dengan berbuat demikian berarti memutuskan hubungan yang AllahSubhanahu wa Ta’ala perintahkan untuk disambung, menceraiberaikan rahmah dan mawaddah yang Allah Subhanahu wa Ta’ala jadikan di dalamnya, serta merobohkan rumah yang dibangun dalam Islam. (Ikmalul Mu’lim bi Fawa’id Muslim, 8/349)
Iblis berikut bala tentaranya ini berambisi menghancurkan hubungan suami dengan istrinya. Sementara suami dan istri ini tentunya bernaung dalam sebuah rumah. Nah, tentunya setan tidak akan tenang bila tidak bisa masuk ke rumah tersebut. Bila setan telah berhasil mendiami sebuah rumah, niscaya ia akan menebarkan kerusakan di dalamnya, sehingga terjadilah perselisihan di antara anak-anak dan perpisahan antara suami dengan istrinya. Berubahlah mawaddah (kasih sayang) menjadi ‘adawah (permusuhan), rahmah menjadi azab.
Dengan penjelasan yang telah lewat, pahamlah kita kenapa kita harus membentengi rumah kita dari setan yang terkutuk.
Di antara perkara yang bisa kita lakukan untuk membentengi rumah kita adalah:

1. Meng-ucapkan salam ketika masuk rumah dan banyak berzikir, baik di rumah ada orang atau tidak.
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata, “Disenangi seseorang mengucapkan bismillah dan banyak berzikir kepada AllahSubhanahu wa Ta’ala serta mengucapkan salam, sama saja apakah dalam rumah itu ada manusia atau tidak, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

فَإِذَا دَخَلْتُمْ بُيُوتًا فَسَلِّمُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ تَحِيَّةً مِنْ عِنْدِ اللهِ مُبَارَكَةً طَيِّبَةً كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللهُ لَكُمُ الْآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
Apabila kalian masuk ke rumah-rumah maka ucapkanlah salam (kepada penghuninya yang berarti memberi salam) kepada diri-diri kalian sendiri, salam yang ditetapkan dari sisi Allah, yang diberkahi lagi baik. (An-Nur: 61) [Al-Adzkar, hal. 25]
Ahli tafsir berbeda pendapat tentang rumah yang dimaukan dalam ayat di atas. Ada yang berpendapat masjid. Ada yang berpendapat rumah yang dihuni. Adapula yang berpendapat rumah yang tidak ada seseorang di dalamnya. Ada yang mengatakan rumah orang lain, dan ada pula yang berpendapat rumah sendiri. (Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 12/209)
Ibnul ‘Arabi rahimahullahu menetapkan bahwa pendapat yang menyatakan rumah secara umum merupakan pendapat yang shahih, karena tidak ada dalil yang menunjukkan pengkhususan. Kalau rumah itu adalah rumah orang lain, maka ia ucapkan salam dan meminta izin kepada tuan rumah sebelum masuk ke dalamnya. Bila rumah itu kosong ia ucapkan, “As-salamu ‘alaina wa ‘ala ‘ibadillahish shalihin” (Semoga keselamatan untuk kami dan untuk para hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala yang shalih). Demikian kata Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma. Namun bila dalam rumah itu ada keluarganya, anak-anaknya dan pembantunya, ia ucapkan “Assalamu ‘alaikum.
Namun kata Ibnul Arabi rahimahullahu, bila rumah itu kosong maka tidak diharuskan seseorang mengucapkan salam ketika hendak masuk. Adapun bila engkau masuk rumahmu sendiri disenangi bagimu untuk berzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan mengatakan: “Masya Allah la quwwata illa billah.” (Ahkamul Qur’an, 3/1408-1409)
Ketika memberikan penjelasan terhadap surah Al-Kahfi ayat 39, Ibnul Arabi rahimahullahu menyatakan disenanginya berzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala bila salah seorang dari kita masuk rumah atau masjid dengan mengucapkan: “Masya Allah la quwwata illa billah.” Asyhab berkata, “Al-Imam Malik rahimahullahu mengatakan, ‘Sepantasnya setiap orang yang masuk ke rumahnya mengucapkan zikir ini’.” (Ahkamul Qur’an, 3/1240)
Abu Umamah Al-Bahili radhiyallahu ‘anhu, seorang sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membawakan hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
ثَلاَثَةٌ كُلُّهُمْ ضَامِنٌ عَلَى اللهِ: رَجُلٌ خَرَجَ غَازِيًا فِي سَبِيْلِ اللهِ، فَهُوَ ضَامِنٌ عَلَى اللهِ حَتَّى يَتَوَّفَاهُ فَيُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ، أَوْ يَرُدَّهُ بِمَا نَالَ مِنْ أَجْرٍ وَغَنِيْمَةٍ؛ وَرَجُلٌ رَاحَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَهُوَ ضَامِنٌ عَلَى اللهِ حَتَّى يَتَوَفَّاهُ فَيُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ، أَوْ يَرُدَّهُ بِمَا نَالَ مِنْ أَجْرٍ وَغَنِيْمَةٍ، وَرَجُلٌ دَخَلَ بَيْتَهُ بِسَلاَمٍ فَهُوَ ضَامِنٌ عَلَى اللهِ
Ada tiga golongan yang mereka seluruhnya berada dalam jaminan Allah Subhanahu wa Ta’ala: (Pertama) seseorang yang keluar berperang di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala maka ia berada dalam jaminan Allah Subhanahu wa Ta’ala hingga AllahSubhanahu wa Ta’ala mewafatkannya lalu memasukkannya ke dalam surga, atau mengembalikannya (ke keluarganya) dengan pahala dan ghanimah yang diperolehnya. (Kedua) seseorang berangkat ke masjid maka ia berada dalam jaminan Allah Subhanahu wa Ta’ala hingga Allah Subhanahu wa Ta’ala mewafatkannya lalu memasukkannya ke dalam surga, atau mengembalikannya dengan pahala dan ghanimah yang diperolehnya. (Ketiga) seseorang masuk ke rumahnya dengan mengucapkan salam maka ia berada dalam jaminan Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (HR. Abu Dawud no. 2494)
Makna jaminan Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah berada dalam penjagaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. (Al-Adzkar, hal. 26)

2. Berzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika makan dan minum.
Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا دَخَلَ الرَّجُلُ بَيْتَهُ فَذَكَرَ اللهَ عِنْدَ دُخُوْلِهِ وَعِنْدَ طَعَامِهِ قَالَ الشَّيْطَانُ: لاَ مَبِيْتَ لَكُمْ وَلاَ عَشَاءَ. وَإِذَا دَخَلَ فَلَمْ يَذْكُرِ اللهَ عِنْدَ دُخُوْلِهِ قَالَ الشَّيْطَانُ: أَدْرَكْتُمُ الْمَبِيْتَ. وَإِذَا لَمْ يَذْكُرِ اللهَ عِنْدَ طَعَامِهِ قَالَ: أَدْرَكْتُمُ الْمَبِيْتَ وَالْعَشَاءَُ
Apabila seseorang masuk ke rumahnya lalu ia berzikir kepada Allah saat masuknya dan ketika hendak menyantap makanannya, berkatalah setan, “Tidak ada tempat bermalam bagi kalian dan tidak ada makan malam.” Bila ia masuk rumah dalam keadaan tidak berzikir kepada Allah ketika masuknya, berkatalah setan, “Kalian mendapatkan tempat bermalam.” Bila ia tidak berzikir kepada Allah ketika makannya, berkatalah setan, “Kalian mendapatkan tempat bermalam sekaligus makan malam.” (HR. Muslim no. 5230)
Berzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mengusir setan dari rumah kita sehingga setan tidak dapat menyertai kita saat makan dan tidur. Sementara, lalai dari zikrullah akan memberikan kesempatan emas bagi setan karena ia mendapati tempat menginap plus makan malamnya. Tentunya setan ini tidak sendirian. Bersamanya ada kawan-kawannya, gerombolan setan, karena setan mengucapkan ucapan demikian kepada teman-teman, pembantu-pembantu, dan sahabatnya. (Al-Minhaj, 11/191)
Sehingga mereka menyesakkan rumah dan bersenang-senang di dalamnya, na’udzu billah. Maka berhati-hatilah, jangan sampai kita lalai dari berzikir karena zikir merupakan hishnul muslim, benteng bagi seorang muslim.
3. Banyak membaca Al-Qur’an dalam rumah
Al-Qur’anul Karim akan mengharumkan rumah seorang muslim dan akan mengusir para setan. Abu Musa Al-Asy’ariradhiyallahu ‘anhu mengabarkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

مَثَلُ الْمُؤْمِنِ الَّذِيْ يَقْرَأُ الْقُرْآنَ مَثَلُ الْأَتْرُجَّةِ، رِيْحُهَا طَيِّبٌ وَطَعْمُهَا طَيِّبٌ. وَمَثَلُ الْمُؤْمِنِ الَّذِي لاَ يَقْرَأُ الْقُرْآنَ مَثَلُ التَّمْرَةِ، لاَ رِيْحَ لَهَا وَطَعْمُهَا حُلْوٌ. وَمَثَلُ الْمُنَافِقِ الَّذِيْ يَقْرَأُ الْقُرْآنَ مَثَلُ الرَّيْحَانَةِ، رِيْحُهَا طَيِّبٌ وَطَعْمُهَا مُرٌّ. وَمَثَلُ الْمُنَافِقِ الَّذِيْ لاَ يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَمَثَلِ الْحَنْظَلَةِ، لَيْسَ لَهَا رِيْحٌ وَطَعْمُهَا مُرٌّ
“Permisalan seorang mukmin yang membaca Al-Qur’an adalah seperti buah atrujah, baunya harum dan rasanya enak. Permisalan seorang mukmin yang tidak membaca Al-Qur’an seperti buah kurma, tidak ada baunya namun rasanya manis. Adapun orang munafik yang membaca Al-Qur’an permisalannya seperti buah raihanah, baunya wangi tapi rasanya pahit. Sementara orang munafik yang tidak membaca Al-Qur’an seperti buah hanzhalah, tidak ada baunya, rasanya pun pahit.” (HR. Al-Bukhari no. 5020 dan Muslim no. 1857)
Apa persangkaan anda bila seorang mukmin sering menghiasi rumahnya dengan membaca dan mentartilkan kalamullah? Tidak lain tentunya kebaikan.
Disamping itu, membaca Al-Qur’an di rumah dengan penuh kekhusyukan menjadikan para malaikat akan mendekat. Seperti kejadian yang pernah dialami seorang sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bernama Usaid ibnu Hudhairradhiyallahu ‘anhu. Suatu malam Usaid tengah membaca Al-Qur’an di tempat pengeringan kurma miliknya. Tiba-tiba kudanya melompat. Ia membaca lagi, kudanya melompat lagi. Ia terus melanjutkan bacaannya dan kudanya juga melompat. Usaid berkata, “Aku pun khawatir bila sampai kuda itu menginjak Yahya (putra Usaid, pen.), hingga aku bangkit menuju kuda tersebut. Ternyata aku dapati di atas kepalaku ada semacam naungan. Di dalamnya seperti lentera-lentera yang terus naik ke udara sampai aku tidak melihatnya lagi (hilang dari pandanganku). Di pagi harinya aku menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Usaid kemudian menceritakan apa yang dialaminya, setelahnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallammenjelaskan:
تِلْكَ الْمَلاَئِكَةُ كَانَتْ تَسْتَمِعُ لَكَ، وَلَوْ قَرَأْتَ لَأَصْبَحَتْ يَرَاهَا النَّاسُ، مَا تَسْتَتِرُ مِنْهُمْ
Itu adalah para malaikat yang mendengarkan bacaanmu. Seandainya engkau terus membaca Al-Qur’an niscaya di pagi harinya manusia akan dapat melihat naungan tersebut, tidak tertutup dari mereka. “ (HR. Muslim no. 1856)
Dalam riwayat Al-Bukhari (no. 5011) dari Al-Bara’ radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Ada seorang lelaki membaca surah Al-Kahfi sementara di sisinya ada seekor kuda yang diikat dengan dua tali. Lalu orang tersebut diliputi oleh awan yang mendekat dan mendekat. Mulailah kudanya lari karena terkejut. Ketika di pagi harinya ia mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu diceritakannya kejadian yang dialaminya maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
تِلْكَ السَّكِيْنَةُ تَنَزَّلَتْ بِالْقُرْآنِ
Itu adalah as-sakinah yang turun dengan Al-Qur’an.
Diperbincangkan oleh para ulama seperti apa as-sakinah tersebut. Namun pendapat yang terpilih, kata Al-Imam An-Nawawirahimahullahu, as-sakinah adalah sesuatu dari makhluk-makhluk yang di dalamnya ada thuma’ninah (ketenangan), rahmah(kasih sayang), dan bersamanya ada para malaikat. (Fathul Bari, 9/73)

4. Membaca surah Al-Baqarah dalam rumah
Bila engkau merasa di rumahmu demikian banyak masalah, tampak banyak penyimpangan dan anggota-anggotanya saling berselisih, maka ketahuilah setan hadir di rumahmu, maka bersungguh-sungguhlah mengusirnya. Bagaimanakah cara mengusirnya? Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan jawabannya dengan sabda beliau:

إِنَّ لِكُلِّ شَيْءٍ سَنَامًا، وَسَنَامُ الْقُرْآنِ سُوْرَةُ الْبَقَرَةِ وَإِنَّ الشَّيْطَانَ إِذَا سَمِعَ سُوْرَةَ الْبَقَرَةِ تُقْرَأُ خَرَجَ مِنَ الْبَيْتِ الَّذِي يُقْرُأُ فِيْهِ سُوْرَةُ الْبَقَرَةِ
“Sesungguhnya segala sesuatu ada puncaknya (punuknya) dan puncak dari Al-Qur’an adalah surah Al-Baqarah. Sungguh setan bila mendengar dibacakannya surah Al-Baqarah, ia akan keluar dari rumah yang di dalamnya dibacakan surat Al-Baqarah tersebut.” (HR. Al-Hakim, dihasankan Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 588)
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu mengabarkan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
لاَ تَجْعَلُوْا بُيُوْتَكُمْ مَقَابِرَ، إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْفِرُ مِنَ الْبَيْتِ الَّذِي تُقْرَأُ فِيْهِ سُوْرَةُ الْبَقَرَةِ
Janganlah kalian menjadikan rumah-rumah kalian sebagai kuburan. Sesungguhnya setan akan lari dari rumah yang di dalamnya dibacakan surah Al-Baqarah.” (HR. Muslim no. 1821)
5. Banyak melakukan shalat nafilah/sunnah di rumah
Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma menyampaikan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

اجْعَلُوْا مِنْ صَلاَتِكُمْ فِي بُيُوْتِكُمْ وَلاَ تَتَّخِذُوْهَا قُبُوْرًا
Jadikanlah bagian dari shalat kalian di rumah-rumah kalian, dan jangan kalian jadikan rumah kalian seperti kuburan.” (HR. Al-Bukhari no. 432 dan Muslim no. 1817)
Dalam syariat disebutkan pelarangan shalat di kuburan. Karenanya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita menjadikan rumah kita seperti kuburan, dengan tidak pernah dilakukan ibadah di dalamnya. Beliau menghasung kita agar memberi bagian shalat sunnah untuk dikerjakan di dalam rumah.
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan hasungan untuk mengerjakan shalat nafilah (sunnah) di rumah, karena hal itu lebih ringan dan lebih jauh dari riya, lebih menjaga dari perkara yang dapat membatalkannya. Juga dengan mengerjakan shalat nafilah di rumah akan memberi keberkahan bagi rumah tersebut. Akan turun rahmah di dalamnya, demikian pula para malaikat. Sementara setan akan lari dari rumah tersebut.” (Al-Minhaj, 6/309)
Dalam hadits yang lain Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan:
فَعَلَيْكُمْ بِالصَّلاَةِ فِي بُيُوْتِكُمْ فَإِنَّ خَيْرَ صَلاَةِ الْمَرْءِ فِي بَيْتِهِ إِلاَّ الصَّلاَةَ الْمَكْتُوْبَةَ
Seharusnya bagi kalian untuk mengerjakan shalat di rumah-rumah kalian karena sebaik-baik shalat seseorang adalah di rumahnya terkecuali shalat wajib.” (HR. Al-Bukhari no. 731 dan Muslim no. 1822 )
Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu menyampaikan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَثَلُ الْبَيْتِ الَّذِي يُذْكَرُ اللهُ فِيْهِ وَالْبَيْتِ الَّذِيْ لاَ يُذْكَرُ اللهُ فِيْهِ مَثَلُ الْحَيِّ وَالْمَيِّتِ
Permisalan rumah yang disebut nama Allah di dalamnya dan rumah yang tidak disebut nama Allah di dalamnya seperti permisalan orang yang hidup dan orang yang mati.” (HR. Muslim no. 1820)



Pada lembaran ini di edisi yang lalu kita telah membicarakan lima hal yang dapat dilakukan untuk membentengi rumah dari setan, yaitu:
1. Mengucapkan salam ketika masuk rumah dan banyak berzikir
2. Berzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika makan dan minum
3. Banyak membaca Al-Qur’an dalam rumah
4. Membaca secara khusus surah Al-Baqarah dalam rumah
5. Banyak melakukan shalat sunnah/nafilah dalam rumah.
Berikut ini kelanjutan dari lima hal di atas:

Membersihkan rumah dari suara setan
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam kalam-Nya yang agung:

وَاسْتَفْزِزْ مَنِ اسْتَطَعْتَ مِنْهُمْ بِصَوْتِكَ
Hasunglah siapa yang engkau sanggupi dari kalangan mereka dengan suaramu.(Al-Isra: 64)
Mujahid rahimahullahu menerangkan, suara setan adalah laghwi (ucapan sia-sia/main-main) dan nyanyian/lagu. (Tafsir Ath-Thabari, 8/108)
Sebuah hadits dari sahabat yang mulia, Abu Malik Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, mengingatkan kita bahwa nyanyian, musik berikut alatnya bukanlah perkara yang terpuji, namun lebih dekat kepada azab. Abu Malik radhiyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَيَكُونَنَّ مِن أُمَّتِي أَقوَامٌ يَستَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ، وَلَيَنْزِلَنَّ أَقوَامٌ إِلَى جَنْبِ عَلَمٍ، يَرُوحُ عَلَيهِمْ بِسَارِحَةٍ لَهُم، يَأتِيهِم– يَعنِي الفَقِيرَ- لِحَاجَةٍ فَيَقُولُوا: ارْجِعْ إِلَينَا غَدًا. فَيُبَيِّتُهُمُ اللهُ وَيَضَعُ الْعَلَمَ، وَيَمْسَخُ أَخَرِينَ قِرَدَةً وَخَنَازِيرَ إِلَى يَومِ الْقِيَامَةِ
Benar-benar akan ada sekelompok orang dari umatku yang menghalalkan zina, sutera, khamr, dan alat musik. Ada sekelompok orang yang tinggal di lereng puncak gunung. Setiap sore seorang penggembala membawa (memasukkan) hewan ternak mereka ke kandangnya. Ketika datang kepada mereka seorang fakir untuk suatu kebutuhannya, berkatalah mereka kepada si fakir, ‘Besok sajalah kamu kemari!’ Maka di malam harinya, Allah Subhanahu wa Ta’ala azab mereka dengan ditimpakannya gunung tersebut kepada mereka atau diguncang dengan sekuat-kuatnya. Sementara yang selamat dari mereka, Allah Subhanahu wa Ta’ala ubah menjadi kera-kera dan babi-babi hingga hari kiamat.” (HR. Al-Bukhari no. 5590)
Musik dan lagu merupakan perkara yang jelas keharamannya1. Allah Subhanahu wa Ta’ala mengingatkan:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُهِينٌ
Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa ilmu dan menjadikan jalan Allah sebagai olok-olokan. Mereka itu akan beroleh azab yang menghinakan.(Luqman: 6)
Menurut sahabat Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma dan Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, juga pendapat Ikrimah, Mujahid, dan Al-Hasan Al-Bashri –semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati mereka– ayat ini turun berkenaan dengan musik dan nyanyian. (lihat Tahrim Alatith Tharbi, karya Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu, hal. 142-144)
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu sampai mengatakan, “Musik/nyanyian akan menumbuhsuburkan kemunafikan di dalam qalbu.” (Diriwayatkan Ibnu Abid Dunya dalam Dzammul Malahi dan Al-Baihaqi, dishahihkan Al-Imam Al-Albani dalamAt-Tahrim hal. 10)
Al-Imam Malik rahimahullahu ketika ditanya tentang sebagian penduduk Madinah yang membolehkan nyanyian, beliau menjawab, “Sungguh menurut kami, orang-orang yang melakukannya adalah orang fasik.” (Diriwayatkan Abu Bakr Al-Khallal rahimahullahu dalam Al-Amru bil Ma’ruf dan Ibnul Jauzi rahimahullahu dalam Talbis Iblis hal. 244 dengan sanad yang shahih)
Al-Imam Ath-Thabari rahimahullahu berkata, “Telah sepakat ulama di berbagai negeri tentang dibenci dan terlarangnya nyanyian.” (Tafsir Al-Qurthubi, 14/56)
Dari penjelasan di atas, jelaslah bagi kita haramnya nyanyian sebagai suara setan. Maka bila dalam sebuah rumah selalu disenandungkan lagu-lagu dan diputar musik, niscaya setan akan menempati rumah tersebut. Setan ini tentunya tidak sendiri. Ia akan memanggil bala tentaranya dari segala penjuru, lalu mereka menebarkan kerusakan dalam rumah tersebut serta membuat perselisihan serta perpecahan, kemarahan, dan kebencian di antara anggota-anggotanya. Karenanya, janganlah kita menjadikan rumah kita sebagai sarang setan, tempat mereka beranak-pinak.
Membuang lonceng dari rumah
Bila sekiranya di rumah kita ada lonceng-lonceng yang digantung serupa dengan naqus/lonceng gereja dalam hal suara ataupun model/bentuknya, walaupun tujuan kita hanya sebagai hiasan, maka singkirkanlah. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadits yang disampaikan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:

الْجَرَسُ مَزَامِيرُ الشَّيطَانِ
Lonceng itu adalah seruling setan.” (HR. Muslim no. 5514)
Masih dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia memberitakan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لاَ تَصْحَبُ الْمَلاَئِكَةُ رُفْقَةً فِيهَا كَلْبٌ وَلاَ جَرَسٌ
Para malaikat tidak akan menyertai perkumpulan/rombongan yang di dalamnya ada anjing atau lonceng (yang biasa dikalungkan di leher hewan, pen.).” (HR. Muslim no. 5512)
Para malaikat adalah tentara Ar-Rahman. Mereka selalu berada dalam permusuhan dengan tentara setan. Maka, bila di suatu tempat tidak ada tentara Ar-Rahman, siapa gerangan yang menguasai tempat tersebut? Tentu para tentara setan.
Apa sebabnya para malaikat menjauhi lonceng? Ada yang mengatakan karena jaras/lonceng menyerupai naqus yang biasa dibunyikan di gereja. Ada pula yang berpandangan karena lonceng termasuk gantungan yang terlarang bila dipasang di leher. Ada juga yang berpendapat karena suara yang ditimbulkannya. Pendapat yang akhir ini diperkuat dengan riwayat:

الْجَرَسُ مَزَامِيرُ الشَّيطَانِ
Lonceng itu adalah seruling setan.” (Al-Ikmal 6/641, Al-Minhaj 13/321)
Yang umum kita lihat, lonceng-lonceng itu digantungkan di leher hewan peliharaan. Dari lonceng tersebut keluarlah suara berirama bila hewan yang memakainya berjalan atau menggerak-gerakkan lehernya. Tentunya menggantung lonceng seperti ini dibenci dengan dalil hadits di atas.
Faedah
Fadhilatusy Syaikh Muhammad ibnu Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu menyatakan, dering yang terdengar dari jam sebagai pengingat waktu dan yang semisalnya, tidaklah masuk dalam pelarangan, karena lonceng itu tidak digantungkan di leher hewan peliharaan dan suaranya keluar hanya di waktu-waktu tertentu sebagai pengingat. Demikian pula bel rumah yang biasa dipasang di pintu rumah, tidak masuk dalam larangan. (Syarhu Riyadhish Shalihin, 4/338)

Ada faedah penting yang juga disampaikan oleh Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu dalam kitab yang sama, kita bawakan di sini sebagai tambahan ilmu. Asy-Syaikh rahimahullahu mengingatkan tentang adanya sebagian telepon, ketika tersambung dengan nomor yang dituju namun masih menanti orang yang dituju karena sedang tidak ada di tempat (masih dipanggilkan misalnya, pen.) didapatkan adanya pesan: “Tunggulah beberapa saat, dengarkanlah terlebih dahulu musik ini!” Hal ini jelas haram karena musik hukumnya haram. Akan tetapi bila seseorang tidak mampu menghubungi orang yang diinginkan kecuali sebelumnya terdengar sambungan suara musik maka dosanya ditanggung oleh orang yang menginginkan musik tadi sebagai nada tunggu untuk nomor teleponnya. Hanya saja, kalau bisa disampaikan nasihat kepada yang bersangkutan maka disampaikan hingga musik tidak lagi menjadi nada tunggu, sekadar pesan, “Tunggulah beberapa saat!” Setelah itu diam, tidak ada suara lain, sampai akhirnya orang yang dituju berbicara.
Ada sebagian orang menjadikan bacaan Al-Qur’an sebagai nada tunggu atau nada sambung, di mana saat terhubung dengan nomor yang dituju terdengar lantunan beberapa ayat Al-Qur’an. Ketahuilah, perbuatan seperti ini justru merendahkan nilai Kalamullah, walaupun yang melakukannya tidak bermaksud demikian. Al-Qur’an turun kepada kita untuk sesuatu yang lebih mulia dan lebih agung daripada hal tersebut. Al-Qur’an turun untuk memperbaiki qalbu dan amalan-amalan. Al-Qur’an tidak turun untuk dijadikan nada tunggu pada telepon dan selainnya. Selain itu, terkadang yang menghubungi kita bukanlah orang yang mengagungkan Al-Qur’an, tidak perhatian terhadapnya dan terasa berat baginya mendengar sesuatu dari Kitabullah. Terkadang juga yang menghubungi kita seorang Nasrani, seorang kafir, atau seorang Yahudi. Ia dengar Al-Qur’an tersebut lalu ia menyangka itu adalah nyanyian, karena ia tidak kenal dengan Al-Qur’an, apalagi bila ia bukan orang Arab yang mengerti bahasa Arab. Dengan begitu tidaklah diragukan, perbuatan demikian justru merendahkan Al-Qur’an. Karenanya, kepada orang yang menjadikan Al-Qur’an sebagai nada tunggu dinasihatkan: bertakwalah engkau kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala! Kalamullah itu lebih mulia untuk dijadikan sebagai nada tunggu!
Adapun kata-kata hikmah yang ada riwayatnya atau hadits yang ada riwayatnya dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallamtidaklah terlarang dipakai sebagai nada tunggu, seperti hadits:
دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لَا يَرِيبُكَ
Tinggalkan apa yang meragukanmu menuju kepada apa yang tidak meragukanmu.”2
مَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدِ اسْتَبرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرضِهِ
Siapa yang berhati-hati dari perkara syubhat maka sungguh ia telah menjaga agama dan kehormatannya.”3 Wallahu ta’ala a’lam. (Syarhu Riyadhish Shalihin, 4/338-339)
Tidak menempatkan gambar dan patung di dalam rumah
Gambar dan patung yang dimaksudkan di sini adalah yang berupa/berbentuk makhluk bernyawa (hewan dan manusia)4. Gambar dan patung seperti ini harus disingkirkan dari rumah, terkecuali boneka untuk mainan anak perempuan, demikian kata Al-Qadhi rahimahullahu. (Al-Minhaj, 14/308)
Namun boneka ini tidak boleh dalam bentuk yang detail, sebagaimana jawaban Fadhilatusy Syaikh Muhammad ibnu Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu ketika ditanya tentang masalah ini. (lihat Majmu’ Fatawa wa Rasail Fadhilatusy Syaikh, no. 329, 2/227-278)5
Makhluk Allah Subhanahu wa Ta’ala yang mulia, para malaikat, tidak akan memasuki rumah yang di dalamnya ada gambar dan patung. Sementara seperti yang telah kita katakan, bila para malaikat keluar dari rumah, niscaya yang bersarang di dalam rumah tersebut adalah para setan karena rumah itu adalah rumah yang buruk.
Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah membeli namruqah6 yang bergambar (makhluk hidup). Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat namruqah tersebut beliau hanya berdiri di depan pintu, enggan untuk masuk ke dalam rumah. Aisyahradhiyallahu ‘anha pun mengetahui ketidaksukaan tampak pada wajah beliau. Aisyah radhiyallahu ‘anha berucap:
أَتُوبُ إِلَى اللهِ، مَاذَا أَذنَبْتُ؟ قَالَ: مَا هَذِهِ النَّمْرُقَةُ؟ قُلتُ: لِتَجْلِسَ عَلَيْهَا وَتَوَسَدَّهَا. قَالَ: إِنَّ أَصْحَابَ هَذِهِ الصُّوَرِ يُعَذَّبُونَ يَومَ الْقِيَامَةِ، يُقَالُ لَهُمْ: أَحْيُوا مَا خَلَقتُمْ؛ وَإِنَّ الْمَلاَئِكِةَ لاَ تَدْخُلُ بَيْتًا فِيهِ الصُّوَرةُ
“Aku bertaubat kepada Allah, apa gerangan dosa yang kuperbuat?” Rasulullah menjawab, “Untuk apa namruqah ini?” “Aku membelinya agar engkau bisa duduk di atasnya serta menjadikannya sebagai sandaran,” jawab Aisyah. Rasulullah kemudian memberikan penjelasan, “Sungguh pembuat gambar-gambar ini akan diazab pada hari kiamat dan dikatakan kepada mereka, ’Hidupkanlah apa yang telah kalian ciptakan’ dan sesungguhnya rumah yang di dalamnya ada gambar-gambar (bernyawa) tidak akan dimasuki para malaikat.” (HR. Al-Bukhari no. 5957 dan Muslim no. 5499)
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لاَ تَدْخُلُ الْمَلاَئِكَةُ بَيْتًا فِيهِ تَمَاثِيلُ أَوْ تَصَاوِيرُ
Para malaikat tidak akan masuk ke sebuah rumah yang di dalamnya ada patung-patung atau gambar-gambar.” (HR. Muslimno. 5511)
Tidak memelihara anjing atau membiarkan anjing masuk ke dalam rumah
Abu Thalhah radhiyallahu ‘anhu menyampaikan sabda Rasul yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لاَ تَدْخُلُ الْمَلاَئِكَةُ بَيْتًا فِيهِ كَلْبٌ وَلاَ صُورَةٌ
“Para malaikat tidak akan masuk ke sebuah rumah yang di dalamnya ada anjing dan gambar.” (HR. Al-Bukhari no. 3225 dan Muslim no. 5481)
Aisyah radhiyallahu ‘anha mengisahkan:
وَاعَدَ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم جِبرِيلُ فِي سَاعَةٍ يَأتِيهَا فِيهَا، فَجَاءَتْ تِلْكَ السَّاعَةُ وَلَمْ يَأتِهِ، وَفِي يَدِهِ عَصًا فَأَلقَاهَا مِنْ يَدِهِ وَقَالَ: مَا يُخلِفُ اللهُ وَعْدَهُ وَلاَ رُسُلُهُ. ثُمَّ الْتَفَتَ فَإِذَا جِرْوُ كَلْبٍ تَحْتَ سَرِيرٍ، فَقَالَ: يَا عَائِشَةُ، مَتَى دَخَلَ هَذَا الْكَلْبُ هَهُنَا؟ فَقَالَتْ: مَا دَرَيتُ. فَأَمَرَ بِهِ فَأُخرِجَ فَجَاءَ جِبْرِيلُ، فَقالَ رَسُولُ اللهِ :وَاعَدْتَنِي فَجَلَسْتُ لَكَ فَلَمْ تَأتِ. فَقَالَ: مَنَعَنِي الْكَلْبُ الَّذِي كَانَ فِي بَيْتِكَ، إِناَّ لاَ نَدْخُلُ بَيْتًا فِيهِ كَلْبٌ وَلاَ صُورَةٌ
Jibril berjanji kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mendatangi beliau di suatu waktu. Maka tibalah waktu tersebut namun ternyata Jibril tak kunjung datang menemui beliau. Ketika itu di tangan beliau ada sebuah tongkat, beliau melemparkan tongkat tersebut dari tangan beliau seraya berkata, “Allah dan para utusannya tidak akan menyelisihi janjinya.” Beliau lalu menoleh dan ternyata di bawah tempat tidur ada seekor anjing kecil. Beliau berkata, “Ya Aisyah, kapan anjing itu masuk ke sini?” “Saya tidak tahu,” jawab Aisyah. Beliau lalu menyuruh anjing itu dikeluarkan. Setelah itu datang Jibril. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Engkau berjanji kepadaku untuk datang di waktu tadi, aku pun duduk menantimu namun ternyata engkau tidak kunjung datang.” Jibril memberi alasan, “Anjing yang tadi berada dalam rumahmu mencegahku untuk masuk karena sungguh kami tidak akan masuk ke sebuah rumah yang di dalamnya ada anjing dan tidak pula masuk ke rumah yang ada gambar.” (HR. Muslim no. 5478)
Dengan demikian, haram bagi seorang muslim memelihara anjing7 tanpa ada kebutuhan, terkecuali anjing untuk berburu, anjing penjaga kebun, atau penjaga hewan ternak/peliharaan, sebagaimana pengecualian yang disebutkan dalam hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma yang akan datang penyebutannya.
Apakah boleh memelihara anjing untuk menjaga rumah? Dalam hal ini ada perselisihan pendapat. Satu pendapat mengatakan tidak boleh sesuai zhahir hadits yang ada. Namun pendapat yang paling shahih menurut Al-Imam An-Nawawirahimahullahu adalah boleh dikarenakan ada kebutuhan, wallahu a’lam. (Al-Minhaj, 10/480)
Barangsiapa memelihara anjing tanpa kebutuhan maka ia terkena ancaman hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma berikut ini. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنِ اقْتَنَى كَلْبًا إِلاَّ كَلْبَ مَاشِيَةٍ أَوْ ضَارٍ نَقَصَ مِنْ عَمَلِهِ كُلَّ يَوْمٍ قِيرَطاَنِ
“Siapa yang memelihara anjing kecuali anjing penjaga ternak atau anjing berburu berkurang dua qirath pahala amalannya setiap hari.” (HR. Al-Bukhari no. 5482 dan Muslim no. 3999)
Fadhilatusy Syaikh Muhammad ibnu Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu menyatakan, anjing itu memiliki beragam warna, namun khusus anjing berwarna hitam dinyatakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai setan ketika dipertanyakan kepada beliau, “Apa bedanya anjing merah atau anjing putih dengan anjing hitam?” Beliau menjawab:
الْكَلْبُ الْأَسْوَدُ شَيطَانٌ
Anjing hitam adalah setan.
Anjing hitam ini bila lewat di hadapan orang yang sedang shalat akan memutus shalat orang tersebut sehingga ia harus mengulangi shalatnya dari awal. Demikian pula bila anjing ini lewat di antara orang yang shalat dan sutrahnya.
Mayoritas ulama berpendapat, anjing hitam tidak boleh dijadikan anjing pemburu karena anjing ini setan, walaupun ia telah diajari dan ketika dilepas untuk berburu pemiliknya telah mengucapkan basmalah. Sebagaimana orang kafir dari kalangan bani Adam yang tidak halal bagi kita memakan hewan buruannya, terkecuali bila ia seorang Yahudi atau Nasrani, demikian pula setan berupa anjing tidak sah buruannya.
Adapun anjing selain warna hitam tidaklah membatalkan shalat dan boleh dijadikan hewan pemburu sesuai syarat-syarat yang diterangkan para ulama.

Sementara memelihara anjing tanpa kebutuhan hukumnya haram termasuk dosa besar. Sebagai hukumannya, orang yang memelihara anjing itu dikurangi pahala amalannya setiap hari sebesar dua qirath. Satu qirath sendiri kata RasulullahShallallahu ‘alaihi wa sallam adalah semisal gunung Uhud. Dikecualikan dari pengharaman ini adalah bila anjing itu dipelihara untuk dijadikan hewan pemburu atau penjaga ladang agar tidak dirusak oleh hewan-hewan ternak, atau anjing itu dipelihara sebagai penjaga ternak, baik berupa unta, kambing, ataupun sapi. Sehingga ternak-ternak ini terjaga dari serigala ataupun dari pencuri. Anjing bisa pula dimanfaatkan untuk menjaga harta, misalnya seseorang memiliki harta di satu tempat dan tidak ada penjaga keamanan (seperti satpam) di tempat tersebut, lalu ia memanfaatkan anjing sebagai penjaga hartanya. Hal ini dibolehkan. Adapun selain kepentingan yang telah disebutkan maka hukumnya haram.
Termasuk hikmah Allah Subhanahu wa Ta’ala, Dia jadikan yang buruk itu untuk yang buruk dan yang jelek untuk yang jelek. Orang-orang kafir dari kalangan Yahudi, Nasrani, dan atheis di negeri timur ataupun barat, biasa memelihara anjing yang mereka rawat sedemikian rupa dengan penuh kasih sayang. Demikianlah Allah Subhanahu wa Ta’ala jadikan orang-orang yang buruk dan jelek tersebut menyayangi hewan yang buruk… (Syarhu Riyadhish Shalihin, 4/334-336)
Hendaklah peringatan yang seperti ini menjadi perhatian kita. Karena ada di antara keluarga muslim, yang mungkin mereka jahil (tidak tahu) atau bersikap masa bodoh atau sok meniru orang Barat, memelihara anjing di rumah mereka sebagai hewan kesayangan keluarga. Anjing tadi bebas keluar masuk ke rumah tuannya. Bahkan masuk ke kamar dan ikut tidur di tempat tidur tuannya. Anjing itu pun biasa menjilati bejana/wadah makan dan minum mereka, sementara pemiliknya tiada perhatian akan hal ini. Padahal bejana/wadah tadi ternajisi karenanya dengan najis yang berat sehingga pembasuhannya harus sampai tujuh kali, salah satunya dengan tanah, sebagaimana datang pengajarannya dari As-Sunnah yang shahihah8.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab. (insya Allah bersambung)

Catatan kaki:
1 Lihat pembahasan lebih detail tentang musik dan lagu dalam rubrik Kajian Utama Majalah Asy-Syariah edisi 40.
2 Hadits shahih riwayat At-Tirmidzi dan An-Nasa’i, dishahihkan dalam Al-Irwa’.
3 HR. Al-Bukhari dan Muslim.
4 Pembahasan tentang hukum gambar bernyawa pernah dimuat secara bersambung dalam majalah Asy-Syariah edisi 21, 22, dan 23.
5 Lihat kembali fatwa tentang boneka yang pernah dimuat dalam majalah Asy-Syariah edisi 23, pada rubrik Fatawa Al-Mar’ah Al-Muslimah.
6 Namruqah adalah bantal-bantal yang dijejer berdekatan satu dengan lainnya, atau bantal yang digunakan untuk duduk. (Fathul Bari, 10/478)
7 Pernah datang larangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk membunuh semua anjing kecuali anjing berburu atau anjing penjaga kambing/ternak. Namun kemudian larangan tadi mansukh (dihapus), sehingga semua anjing tidak boleh dibunuh, kecuali anjing yang berwarna murni hitam dan punya dua titik putih di atas kedua matanya. Sebagaimana hal disebutkan antara lain dalam hadits berikut ini:
Jabir ibnu Abdillah radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami membunuh anjing-anjing, sampai ada seorang wanita datang dari dusun membawa anjingnya kami pun membunuh anjingnya. Kemudian setelahnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang membunuh anjing… ” (HR. Muslim no. 3996)
8 Yaitu hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

طُهُورُ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ إِذَا وَلَغَ فِيهِ الْكَلْبُ أَن يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ أُوْلاَهُنَّ بِالتُّرَابٌِ
Sucinya bejana salah seorang kalian bila dijilati (bagian dalamnya) oleh anjing adalah dengan mencucinya sebanyak tujuh kali, cucian pertamanya dengan tanah.” (HR. Muslim)
Dalam satu lafadz ada tambahan:

فَلْيُرِقْهُ
Tuanglah airnya ke tanah.
Maksudnya sebelum bejana tadi dicuci, hendaknya air yang ada di dalamnya dituang/dibuang.







Fitnah Istri


Kecintaan kepada istri, tanpa disadari banyak menggiring suami ke bibir jurang petaka. Betapa banyak suami yang memusuhi orang tuanya demi membela istrinya. Betapa banyak suami yang berani menyeberangi batasan-batasan syariat karena terlalu menuruti keinginan istri. Malangnya, setelah hubungan kekerabatan berantakan, karir hancur, harta tak ada lagi yang tersisa, banyak suami yang belum juga menyadari kesalahannya.
Cinta kepada istri merupakan tabiat seorang insan dan merupakan anugerah Ilahi yang diberikan-Nya kepada sepasang insan yang menyatukan kata dan hati mereka dalam ikatan pernikahan.
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُوْنَ
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah Dia menciptakan untuk kalian istri-istri dari jenis kalian sendiri, supaya kalian cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kalian mawaddah (cinta) dan rahmah (kasih sayang). Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda bagi kaum yang berfikir.” (Ar-Rum: 21)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai makhluk Allah Subhanahu wa Ta’ala yang paling mulia dan sosok yang paling sempurna, dianugerahi rasa cinta kepada para istrinya, yang beliau nyatakan dalam sabdanya:
حُبِّبَ إِلَيَّ مِنَ الدُنْيَا النِّسَاءُ وَالطِّيْبُ، وَجُعِلَ قُرَّةُ عَيْنِيْ فِي الصَّلاَةِ
“Dicintakan kepadaku dari dunia kalian,1 para wanita (istri) dan minyak wangi, dan dijadikan penyejuk mataku di dalam shalat.”2
Namun yang disayangkan, terkadang rasa cinta itu membawa seorang suami kepada perbuatan yang tercela. Karena menuruti istri tercinta, ia rela memutuskan hubungan dengan orang tuanya. Ia berani melakukan korupsi di tempat kerjanya. Ia enggan untuk turun berjihad fi sabilillah ketika ada seruan jihad dari penguasa. Ia bahkan siap menempuh segala cara demi membahagiakan istri tercinta walaupun harus melanggar larangan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jika sudah seperti ini keadaannya, berarti cintanya itu membawa madharat baginya. Ia telah terfitnah dengan istrinya. Yang lebih berbahaya lagi bila cinta kepada istri lebih dia dahulukan dari segala hal. Bahkan lebih dia dahulukan daripada Allah Subhanahu wa Ta’ala, Rasul-Nya dan agama-Nya. Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengancam dalam firman-Nya:
قُلْ إِنْ كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيْرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوْهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللهِ وَرَسُوْلِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيْلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللهُ بِأَمْرِهِ وَاللهُ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِيْنَ
“Katakanlah: ‘Jika bapak-bapak kalian, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluarga kalian, harta kekayaan yang kalian usahakan, perniagaan yang kalian khawatirkan kerugiannya, rumah-rumah tempat tinggal yang kalian sukai, adalah lebih kalian cintai daripada Allah dan Rasul-Nya serta berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.’ Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik. (At-Taubah: 24)
Karena adanya dampak cinta yang berlebihan seperti inilah, Allah Subhanahu wa Ta’ala nyatakan bahwa di antara istri dan anak, ada yang menjadi musuh bagi seseorang dalam status dia sebagai suami atau sebagai ayah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلاَدِكُمْ عَدُوًّا لَكُمْ فَاحْذَرُوْهُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara istri-istri dan anak-anak kalian ada yang menjadi musuh bagi kalian, maka hati-hati/waspadalah kalian dari mereka.” (At-Taghabun: 14)
Musuh di sini dalam arti si istri atau si anak dapat melalaikan sang suami atau sang ayah dari melakukan amal shalih. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا لاَ تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلاَ أَوْلاَدُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللهِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُوْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah harta-harta kalian dan jangan pula anak-anak kalian melalaikan kalian dari berdzikir/mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi.” (Al-Munafiqun: 9)
Mujahid berkata tentang firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلاَدِكُمْ عَدُوًّا لَكُمْ فَاحْذَرُوْهُمْ
em>“Sesungguhnya di antara istri-istri dan anak-anak kalian ada yang menjadi musuh bagi kalian, maka hati-hati/waspadalah kalian dari mereka.” Yakni, cinta seorang lelaki/suami kepada istrinya membawanya untuk memutuskan silaturahim atau bermaksiat kepada Rabbnya. Si suami tidak mampu berbuat apa-apa karena cintanya kepada si istri kecuali sekedar menuruti istrinya.” (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, 8/111)
Beliau juga berkata: “Kecintaan kepada istri dan anak membawa mereka untuk mengambil penghasilan yang haram, lalu diberikan kepada orang-orang yang dicintai ini.” (Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an, 18/94)
Selain itu, istri dan anak dapat memalingkan mereka dari jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan membuat mereka lamban untuk taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. (Jami’ul Bayan fi Ta’wilil Qur`an, 12/116)
Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah mengatakan: “Ayat ini umum, meliputi seluruh maksiat yang dilakukan seseorang karena istri dan anak.” (Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an, 18/93-94)
Setelah mengingatkan keberadaan mereka sebagai musuh, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan: فَاحْذَرُوْهُمْ (maka hati-hati/waspadalah kalian dari mereka). Berhati-hati di sini, kata Ibnu Zaid, adalah berhati-hati menjaga agama kalian. (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, 8/111)
Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah mengatakan: “Berhati-hatinya kalian dalam menjaga diri kalian disebabkan dua hal. Bisa jadi karena mereka akan membuat kemudaratan/bahaya pada jasmani, bisa pula kemadharatan pada agama. Kemudaratan tubuh berkaitan dengan dunia, sedangkan kemudaratan pada agama berkaitan dengan akhirat.” (Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an, 18/94)
Lantas, bagaimana bisa seorang istri yang merupakan teman hidup yang selalu menemani dan mendampingi, dinyatakan sebagai musuh? Dalam hal ini, Al-Qadhi Abu Bakr ibnul ‘Arabi rahimahullah telah menerangkan: “Yang namanya musuh tidaklah mesti diri/individunya sebagai musuh. Namun dia menjadi musuh karena perbuatannya. Dengan demikian, apabila istri dan anak berperilaku seperti musuh, jadilah ia sebagai musuh. Dan tidak ada perbuatan yang lebih jelek daripada menghalangi seorang hamba dari ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (Ahkamul Qur`an, 4/1818)
Di dalam tafsirnya terhadap ayat di atas, Asy-Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata: “Ini merupakan peringatan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada kaum mukminin agar tidak tertipu dan terpedaya oleh istri dan anak-anak, karena sebagian mereka merupakan musuh bagi kalian. Yang namanya musuh, ia menginginkan kejelekan bagimu. Dan tugasmu adalah berhati-hati dari orang yang bersifat demikian. Sementara jiwa itu memang tercipta untuk mencintai istri dan anak-anak. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala menasehati hamba-hamba-Nya agar kecintaan itu tidak sampai membuat mereka terikat dengan tuntutan istri dan anak-anak, sementara tuntutan itu mengandung perkara yang dilarang secara syar’i. AllahSubhanahu wa Ta’ala menekankan mereka untuk berpegang dengan perintah-perintah-Nya dan mendahulukan keridhaan-Nya, dengan menjanjikan apa yang ada di sisi-Nya berupa pahala yang besar yang mencakup tuntutan yang tinggi dan cinta yang mahal. Juga agar mereka lebih mementingkan akhirat daripada dunia yang fana yang akan berakhir.
Karena menaati istri dan anak-anak menimbulkan kemudaratan bagi seorang hamba dan adanya peringatan dari hal tersebut, bisa jadi memunculkan anggapan bahwa istri dan anak-anak hendaknya disikapi secara keras, serta harus diberikan hukuman kepada mereka. Namun ternyata, Allah Subhanahu wa Ta’ala hanya memerintahkan untuk berhati-hati dari mereka, memaafkan mereka, tidak menghukum mereka. Karena dalam pemaaafan ada kemaslahatan/kebaikan yang tidak terbatas. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَإِنْ تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا فَإِنَّ اللهَ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ
em>“Dan jika kalian memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni mereka maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (At-Taghabun: 14) [Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 868]
Demikianlah keberadaan seorang wanita, baik statusnya sebagai istri atau bukan, merupakan fitnah terbesar bagi lelaki. Karena itulah Allah Subhanahu wa Ta’ala mendahulukan penyebutan wanita ketika mengurutkan kecintaan kepada syahwat (kesenangan yang diinginkan dari dunia).
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِيْنَ وَالْقَنَاطِيْرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَاْلأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ
“Dijadikan indah pada pandangan manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah lah tempat kembali yang baik.” (Ali ‘Imran: 14)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan tentang perkara yang dijadikan indah bagi manusia dalam kehidupan dunia ini berupa ragam kelezatan, dari wanita, anak-anak, dan selainnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala memulai penyebutan wanita karena fitnahnya yang paling besar. Sebagaimana dalam hadits shahih disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً أَضَرُّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ
Tidaklah aku tinggalkan sepeninggalku fitnah yang paling berbahaya bagi lelaki daripada fitnah wanita.”3 (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, 1/15)
Mungkin timbul pertanyaan, bila istri dapat menjadi musuh bagi suaminya, apakah juga berlaku sebaliknya, suami dapat menjadi musuh bagi istrinya?
Al-Qadhi Ibnul ‘Arabi rahimahullah menjawab permasalahan ini: “Sebagaimana seorang lelaki/suami memiliki musuh dari kalangan anak dan istrinya, demikian pula wanita/istri. Suami dan anaknya dapat menjadi musuh baginya dengan makna yang sama. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: مِنْ أَزْوَاجِكُمْ (di antara istri-istri kalian atau pasangan hidup kalian) ini sifatnya umum, masuk di dalamnya lelaki (suami) dan wanita (istri) karena keduanya tercakup dalam seluruh ayat.” (Ahkamul Qur`an, 4/1818)
Dengan demikian, janganlah kecintaan seorang suami kepada istrinya dan sebaliknya kecintaan istri kepada suaminya membawa keduanya untuk melanggar larangan Allah Subhanahu wa Ta’ala, berbuat maksiat, menghalalkan apa yang AllahSubhanahu wa Ta’ala haramkan atau sebaliknya, mengharamkan untuk dirinya apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala halalkan karena ingin mencari keridhaan pasangannya. Nabi kita yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditegur oleh AllahSubhanahu wa Ta’ala ketika beliau sempat mengharamkan apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala halalkan karena ingin mencari keridhaan istri-istri beliau.4 Allah Subhanahu wa Ta’ala abadikan hal itu dalam Al-Qur`an:

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ لِمَ تُحَرِّمُ مَا أَحَلَّ اللهُ لَكَ تَبْتَغِي مَرْضَاةَ أَزْوَاجِكَ وَاللهُ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ

Wahai Nabi, mengapa engkau mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya bagimu5, karena engkau mencari keridhaan (kesenangan hati) istri-istrimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(At-Tahrim: 1)

Nasehat kepada Istri

Karena engkau –wahai seorang istri– dapat menjadi fitnah bagi suamimu, maka bertakwalah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jangan sampai engkau menjadi musuh dalam selimut baginya. Jangan engkau jerat dia atas nama cinta, hingga ia terjaring dan tak dapat lepas darinya. Akibatnya, yang ada di pikirannya hanyalah bagaimana mencari ridhamu, mengikuti kemauanmu, walaupun hal itu bertentangan dengan syariat.
Bertakwalah engkau kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jadilah istri yang shalihah dengan membantu suamimu agar selalu taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya. Semestinya engkau tidak suka bila ia melakukan perkara yang melanggar syar’i karena ingin menyenangkan hatimu. Keberadaanmu di sisinya, sebagai teman hidupnya, jangan menjadi penghalang baginya untuk menjadi hamba yang bertakwa dan menjadi anak yang shalih bagi kedua orang tuanya.
Cintailah suamimu, syukurilah dengan cara engkau semakin taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, menunaikan kewajibanmu dengan sebaik mungkin, dan mencurahkan segala kemampuanmu untuk memenuhi haknya sebagai suami.
Zuhud terhadap dunia, jangan engkau abaikan. Sehingga engkau tidak menuntut suamimu agar memenuhi kenikmatan dunia yang engkau idamkan. Pautkan selalu hatimu dengan darul akhirat agar engkau tidak menghamba pada dunia yang tidak kekal.

Catatan Akhir

Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullah dalam Sunan-nya (no. 3317) membawakan asbabun nuzul (sebab turunnya) surah At-Taghabun ayat 14 di atas, dari riwayat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Tatkala ada yang bertanya kepada Ibnu ‘Abbasradhiyallahu ‘anhuma tentang ayat ini, beliau menyatakan: “Mereka adalah orang-orang yang telah berislam dari penduduk Makkah dan mereka ingin mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun istri dan anak mereka enggan ditinggalkan mereka. Ketika mereka pada akhirnya mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka melihat orang-orang yang lebih dahulu berhijrah telah tafaqquh fid dien (mendalami agama), mereka pun berkeinginan untuk memberi hukuman kepada istri dan anak-anak mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala lalu menurunkan ayat6:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَ أَوْلاَدِكُمْ عَدُوًّا لَكُمْ فَاحْذَرُوْهُمْ
Namun riwayat asbabun nuzul ini dha’if (lemah) sebagaimana dinyatakan oleh Asy-Syaikh Al-’Allamah Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullah, dalam karya beliau Ash-Shahihul Musnad min Asbabin Nuzul (hal. 249).
Demikianlah. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi taufik kepada kita untuk selalu mencari keridhaan-Nya. Amin.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Catatan kaki:
1 Tiga perkara ini (wanita, minyak wangi, dan shalat) dinyatakan termasuk dari dunia, maknanya: ketiganya ada di dunia. Kesimpulannya, beliau menyatakan bahwa dicintakan kepada beliau di alam ini tiga perkara, dua yang awal (wanita dan minyak wangi) termasuk perkara tabiat duniawi sedangkan yang ketiga (shalat) termasuk perkara agama. (Catatan kakiMisykatul Mashabih, 4/1957, yang diringkas dari Al-Lam’at, Abdul Haq Ad-Dahlawi)
2 HR. Ahmad (3/128, 199, 285), An-Nasa’i (no. 3939) kitab ‘Isyratun Nisa` bab Hubbun Nisa`. Dihasankan oleh Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullah dalam Ash-Shahihul Musnad Mimma Laisa fish Shahihain, 1/82.
3 HR. Al-Bukhari dan Muslim
4 Hal ini menunjukkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terjaga dari terus berbuat dosa. Ketika beliau jatuh dalam kesalahan sebagaimana wajarnya seorang manusia, Allah Subhanahu wa Ta’ala segera menegur Nabi-Nya sebagai penjagaan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada beliau. Sehingga beliau pun bertaubat dari kesalahannya.
5 Yakni Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sempat mengharamkan madu atau mengharamkan Mariyah budak beliau.
6 Dan terhadap keinginan mereka untuk menghukum istri dan anak-anak mereka, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyatakan:

وَإِنْ تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا فَإِنَّ اللهَ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ
Dan jika kalian memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni mereka maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (At-Taghabun: 14)
Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan mereka untuk memaafkan istri dan anak-anak mereka. (Ma‘alimut Tanzil, 4/324)










Mawaddah, Mahabbah dan Rahmah dalam Kehidupan Sepasang Insan



Perasaan cinta kepada pasangan hidup kita terkadang mengalami gejolak sebagaimana pasang surut yang dialami sebuah kehidupan rumah tangga. Tinggal bagaimana kita menjaga tumbuhan cinta itu agar tidak layu terlebih mati.
Satu dari sekian tanda kebesaran-Nya yang agung, Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan anak Adam ‘alaihissalam memiliki pasangan hidup dari jenis mereka sendiri, sebagaimana kenikmatan yang dianugerahkan kepada bapak mereka Adam‘alaihissalam. Di saat awal-awal menghuni surga, bersamaan dengan limpahan kenikmatan hidup yang diberikan kepadanya, Adam ‘alaihissalam hidup sendiri tanpa teman dari jenisnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala pun melengkapi kebahagiaan Adam dengan menciptakan Hawa sebagai teman hidupnya, yang akan menyertai hari-harinya di surga nan indah.
Hingga akhirnya dengan ketetapan takdir yang penuh hikmah, keduanya diturunkan ke bumi untuk memakmurkan negeri yang kosong dari jenis manusia (karena merekalah manusia pertama yang menghuni bumi). Keduanya sempat berpisah selama beberapa lama karena diturunkan pada tempat yang berbeda di bumi (Al-Bidayah wan Nihayah, 1/81). Mereka didera derita dan sepi sampai Allah Subhanahu wa Ta’ala mempertemukan mereka kembali.
Demikianlah Allah Subhanahu wa Ta’ala menutup “sepi” hidup seorang lelaki keturunan Adam dengan memberi istri-istri sebagai pasangan hidupnya. Dia Yang Maha Agung berfirman:
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُوْنَ
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah Dia menciptakan untuk kalian istri-istri dari jenis kalian sendiri, supaya kalian cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kalian mawaddah dan rahmah. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda bagi kaum yang berfikir.” (Ar-Ruum: 21)
Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan seorang istri dari keturunan anak manusia, yang asalnya dari jenis laki-laki itu sendiri, agar para suami merasa tenang dan memiliki kecenderungan terhadap pasangan mereka. Karena, pasangan yang berasal dari satu jenis termasuk faktor yang menumbuhkan adanya keteraturan dan saling mengenal, sebagaimana perbedaan merupakan penyebab perpisahan dan saling menjauh. (Ruhul Ma’ani, 11/265)
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:
هُوَ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَجَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا لِيَسْكُنَ إِلَيْهَا
Dialah yang menciptakan kalian dari jiwa yang satu dan Dia jadikan dari jiwa yang satu itu pasangannya agar ia merasa tenang kepadanya…” (Al-A’raf: 189)
Kata Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu: “Yang dimaksudkan dalam ayat di atas adalah Hawa. Allah Subhanahu wa Ta’alamenciptakannya dari Adam, dari tulang rusuk kirinya yang paling pendek. Seandainya Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan anak Adam semuanya lelaki sedangkan wanita diciptakan dari jenis lain, bisa dari jenis jin atau hewan, niscaya tidak akan tercapai kesatuan hati di antara mereka dengan pasangannya. Bahkan sebaliknya, akan saling menjauh. Namun termasuk kesempurnaan rahmat-Nya kepada anak Adam, Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan istri-istri atau pasangan hidup mereka dari jenis mereka sendiri, dan Allah Subhanahu wa Ta’ala tumbuhkan mawaddah yaitu cinta dan rahmah yakni kasih sayang. Karena seorang lelaki atau suami, ia akan senantiasa menjaga istrinya agar tetap dalam ikatan pernikahan dengannya. Bisa karena ia mencintai istrinya tersebut, karena kasihan kepada istrinya yang telah melahirkan anak untuknya, atau karena si istri membutuhkannya dari sisi kebutuhan belanja (biaya hidupnya), atau karena kedekatan di antara keduanya, dan sebagainya.” (Al-Mishbahul Munir fi Tahdzib Tafsir Ibni Katsir, hal. 1052)
Mawaddah dan rahmah ini muncul karena di dalam pernikahan ada faktor-faktor yang bisa menumbuhkan dua perasaan tersebut. Dengan adanya seorang istri, suami dapat merasakan kesenangan dan kenikmatan, serta mendapatkan manfaat dengan adanya anak dan mendidik mereka. Di samping itu, ia merasakan ketenangan, kedekatan dan kecenderungan kepada istrinya. Sehingga secara umum tidak didapatkan mawaddah dan rahmah di antara sesama manusia sebagaimana mawaddah dan rahmah yang ada di antara suami istri. (Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 639)
Allah Subhanahu wa Ta’ala tumbuhkan mawaddah dan rahmah tersebut setelah pernikahan dua insan. Padahal mungkin sebelumnya pasangan itu tidak saling mengenal dan tidak ada hubungan yang mungkin menyebabkan adanya kasih sayang, baik berupa hubungan kekerabatan ataupun hubungan rahim. Al-Hasan Al-Bashri, Mujahid, dan ‘Ikrimah rahimuhumullahberkata: “Mawaddah adalah ibarat/kiasan dari nikah (jima‘) sedangkan rahmah adalah ibarat/kiasan dari anak.” Adapula yang berpendapat, mawaddah adalah cinta seorang suami kepada istrinya, sedangkan rahmah adalah kasih sayang suami kepada istrinya agar istrinya tidak ditimpa kejelekan. (Ruhul Ma’ani 11/265, Fathul Qadir 4/263)

Cinta Suami Istri adalah Anugerah Ilahi

Rasa cinta yang tumbuh di antara suami istri adalah anugerah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada keduanya, dan ini merupakan cinta yang sifatnya tabiat. Tidaklah tercela orang yang senantiasa memiliki rasa cinta asmara kepada pasangan hidupnya yang sah. Bahkan hal itu merupakan kesempurnaan yang semestinya disyukuri. Namun tentunya selama tidak melalaikan dari berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يآ أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا لاَ تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلاَ أَوْلاَدُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللهِ. وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُوْنَ
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah harta-harta kalian dan anak-anak kalian melalaikan kalian dari zikir/mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi.” (Al-Munafiqun: 9)
رِجَالٌ لاَ تُلْهِِيْهِمْ تِجَارَةٌ وَلاَ بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللهِ
Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak pula oleh jual beli dari mengingat Allah… (An-Nur: 37) (Ad-Da`u wad Dawa`, Ibnul Qayyim, hal. 293, 363)
Juga, cinta yang merupakan tabiat manusia ini tidaklah tercela selama tidak menyibukkan hati seseorang dari kecintaan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai Dzat yang sepantasnya mendapat kecintaan tertinggi. Karena Dia Yang Maha Agung mengancam dalam firman-Nya:
قُلْ إِنْ كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيْرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوْهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللهِ وَرَسُوْلِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيْلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللهُ بِأَمْرِهِ وَاللهُ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِيْنَ
Katakanlah: ‘Jika bapak-bapak kalian, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluarga kalian, harta kekayaan yang kalian usahakan, perniagaan yang kalian khawatirkan kerugiannya, rumah-rumah tempat tinggal yang kalian sukai, adalah lebih kalian cintai daripada Allah dan Rasul-Nya serta berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.’ Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (At-Taubah: 24)

Kecintaan kepada Istri

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, makhluk Allah Subhanahu wa Ta’ala yang paling mulia dan sosok yang paling sempurna, dianugerahi rasa cinta kepada para istrinya. Beliau nyatakan dalam sabdanya:
حُبِّبَ إِلَيَّ مِنَ الدُنْيَا النِّسَاءُ وَ الطِّيْبُ، وَجُعِلَ قُرَّةُ عَيْنِيْ فِي الصَّلاَةِ
Dicintakan kepadaku dari dunia kalian1, para wanita (istri) dan minyak wangi, dan dijadikan penyejuk mataku di dalam shalat.”2
Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya oleh shahabatnya yang mulia, ‘Amr ibnul ‘Ash radhiallahu ‘anhu:
أَيُّ النَّاسِ أَحَبُّ إِلَيْكَ؟ قَالَ: عَائِشَةُ. فَقُلْتُ: مِنَ الرِّجَالِ؟ قَالَ : أَبُوْهَا
“Siapakah manusia yang paling engkau cintai?” Beliau menjawab: “Aisyah.”
Aku (‘Amr ibnul Ash) berkata: “Dari kalangan lelaki?”
“Ayahnya (Abu Bakar),” jawab beliau.3

Dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata membela dan memuji Khadijah bintu Khuwailid radhiallahu ‘anha ketika ‘Aisyahradhiallahu ‘anha cemburu kepadanya:
إِنِّي قَدْ رُزِقْتُ حُبَّهَا

Sesungguhnya aku diberi rizki yaitu mencintainya.” 4
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun pernah ingin menjadi perantara dan penolong seorang suami yang sangat mencintai istrinya untuk tetap mempertahankan istri yang dicintainya dalam ikatan pernikahan dengannya. Namun si wanita enggan dan tetap memilih untuk berpisah, sebagaimana kisah Mughits dan Barirah. Barirah5 adalah seorang sahaya milik salah seorang dari Bani Hilal. Sedangkan suaminya Mughits adalah seorang budak berkulit hitam milik Bani Al-Mughirah. Barirah pada akhirnya merdeka, sementara suaminya masih berstatus budak. Ia pun memilih berpisah dengan suaminya diiringi kesedihan Mughits atas perpisahan itu. Hingga terlihat Mughits berjalan di belakang Barirah sembari berlinangan air mata hingga membasahi jenggotnya, memohon kerelaan Barirah untuk tetap hidup bersamanya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada paman beliau, Al-’Abbas radhiallahu ‘anhu:
يَا عَبَّاسُ, أَلاَ تَعْجَبُ مِنْ حُبِّ مُغِيْثٍ بَرِيْرَةَ، وَمِنْ بُغْضِ بَرِيْرَةَ مُغِيْثًا؟ فَقاَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَوْ رَاجَعْتِهِ. قَالَتْ: يَا رَسُوْلَ اللهِ تَأْمُرُنِي؟ قَالَ: إِنَّمَا أَنَا أَشْفَعُ. قَالَتْ: لاَ حَاجَةَ لِي فِيْهِ
Wahai paman, tidakkah engkau merasa takjub dengan rasa cinta Mughits pada Barirah dan rasa benci Barirah terhadap Mughits?”
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Barirah: “Seandainya engkau kembali kepada Mughits.” Barirah bertanya kepada beliau, “Wahai Rasulullah, apakah engkau memerintahkan aku?”
Tidak,” kata Rasulullah, “Akan tetapi aku hanya ingin menolongnya.”
“Aku tidak membutuhkannya,” jawab Barirah.6

Tiga Macam Cinta Menurut Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu

Perlu diketahui oleh sepasang suami istri, menurut Al-Imam Al-’Allamah Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Abi Bakar yang lebih dikenal dengan Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullahu, ada tiga macam cinta dari seorang insan kepada insan lainnya:
Pertama: Cinta asmara yang merupakan amal ketaatan. Yaitu cinta seorang suami kepada istri atau budak wanita yang dimilikinya. Ini adalah cinta yang bermanfaat. Karena akan mengantarkan kepada tujuan yang disyariatkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam pernikahan, akan menahan pandangan dari yang haram dan mencegah jiwa/hati dari melihat kepada selain istrinya. Karena itulah, cinta seperti ini dipuji di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala dan di sisi manusia.
Kedua: Cinta asmara yang dibenci Allah Subhanahu wa Ta’ala dan akan menjauhkan dari rahmat-Nya. Bahkan cinta ini paling berbahaya bagi agama dan dunia seorang hamba. Yaitu cinta kepada sesama jenis, seorang lelaki mencintai lelaki lain (homo) atau seorang wanita mencintai sesama wanita (lesbian). Tidak ada yang ditimpa bala dengan penyakit ini kecuali orang yang dijatuhkan dari pandangan Allah Subhanahu wa Ta’ala, hingga ia terusir dari pintu-Nya dan jauh hatinya dari AllahSubhanahu wa Ta’ala. Penyakit ini merupakan penghalang terbesar yang memutuskan seorang hamba dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Cinta yang merupakan musibah ini merupakan tabiat kaum nabi Luth ‘alaihissalam hingga mereka lebih cenderung kepada sesama jenis daripada pasangan hidup yang Allah Subhanahu wa Ta’ala tetapkan untuk mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan:
لَعَمْرُكَ إِنَّهُمْ لَفِي سَكْرَتِهِمْ يَعْمَهُوْنَ
Demi umurmu (ya Muhammad), sesungguhnya mereka terombang-ambing di dalam kemabukan.” (Al-Hijr: 72)
Obat dari penyakit ini adalah minta tolong kepada Dzat Yang Maha membolak-balikkan hati, berlindung kepada-Nya dengan sebenar-benarnya, menyibukkan diri dengan berdzikir/mengingat-Nya, mengganti rasa itu dengan cinta kepada-Nya dan mendekati-Nya, memikirkan pedihnya akibat yang diterima karena cinta petaka itu dan hilangnya kelezatan karena cinta itu. Bila seseorang membiarkan jiwanya tenggelam dalam cinta ini, maka silahkan ia bertakbir seperti takbir dalam shalat jenazah7. Dan hendaklah ia mengetahui bahwa musibah dan petaka telah menyelimuti dan menyelubunginya.
Ketiga: Cinta yang mubah yang datang tanpa dapat dikuasai. Seperti ketika seorang lelaki diceritakan tentang sosok wanita yang jelita lalu tumbuh rasa suka di hatinya. Atau ia melihat wanita cantik secara tidak sengaja hingga hatinya terpikat. Namun rasa suka/ cinta itu tidak mengantarnya untuk berbuat maksiat. Datangnya begitu saja tanpa disengaja, sehingga ia tidak diberi hukuman karena perasaannya itu. Tindakan yang paling bermanfaat untuk dilakukan adalah menolak perasaan itu dan menyibukkan diri dengan perkara yang lebih bermanfaat. Ia wajib menyembunyikan perasaan tersebut, menjaga kehormatan dirinya (menjaga ‘iffah) dan bersabar. Bila ia berbuat demikian, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memberinya pahala dan menggantinya dengan perkara yang lebih baik karena ia bersabar karena Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menjaga ‘iffah-nya. Juga karena ia meninggalkan untuk menaati hawa nafsunya dengan lebih mengutamakan keridlaan AllahSubhanahu wa Ta’ala dan ganjaran yang ada di sisi-Nya. (Ad-Da`u wad Dawa`, hal. 370-371)
Bila cinta kepada pasangan hidup, kepada suami atau kepada istri, merupakan perkara kebaikan, maka apa kiranya yang mencegah seorang suami atau seorang istri untuk mencintai, atau paling tidak belajar mencintai teman hidupnya?
Wallahu ta‘ala a‘lam bish-shawab.

Catatan kaki:
1 Tiga perkara ini (wanita, minyak wangi dan shalat) dinyatakan termasuk dari dunia. Maknanya adalah: ketiganya ada di dunia. Kesimpulannya, beliau menyatakan bahwa dicintakan kepadaku di alam ini tiga perkara, dua yang awal (wanita dan minyak wangi) termasuk perkara tabiat duniawi, sedangkan yang ketiga (shalat) termasuk perkara diniyyah (agama). (Catatan kaki Misykatul Mashabih 4/1957, yang diringkas dari Al-Lam’aat, Abdul Haq Ad-Dahlawi)
2 HR. Ahmad 3/128, 199, 285, An-Nasa`i no. 3939 kitab ‘Isyratun Nisa’ bab Hubbun Nisa`. Dihasankan Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullahu dalam Ash-Shahihul Musnad Mimma Laisa fish Shahihain (1/82)
3 HR. Al-Bukhari no. 3662, kitab Fadha`il Ashabun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bab Qaulin Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Lau Kuntu Muttakhidzan Khalilan” dan Muslim no. 6127 kitab Fadha`ilush Shahabah, bab Min Fadha`il Abi Bakar Ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu.
4 HR. Muslim no. 6228 kitab Fadha`ilus Shahabah, bab Fadha`il Khadijah Ummul Mu`minin radhiallahu ‘anha
5 Disebutkan bahwa Barirah memiliki paras yang cantik, tidak berkulit hitam. Beda halnya dengan Mughits, suaminya. Barirah menikah dengan Mughits dalam keadaan ia tidak menyukai suaminya. Dan ini tampak ketika Barirah telah merdeka, ia memilih berpisah dengan suaminya yang masih berstatus budak. Dimungkinkan ketika masih terikat dalam pernikahan dengan suaminya, Barirah memilih bersabar di atas hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala walaupun ia tidak menyukai suaminya. Dan ia tetap tidak menampakkan pergaulan yang buruk kepada suaminya sampai akhirnya Allah Subhanahu wa Ta’alamemberikan kelapangan dan jalan keluar baginya. (Fathul Bari, 9/514)
6 Lihat hadits dalam Shahih Al-Bukhari no. 5280-5282, kitab Ath-Thalaq, bab Khiyarul Amati Tahtal ‘Abd dan no. 5283, bab Syafa’atun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam fi Zauji Barirah.
7 Artinya dia telah mati








Berdamai itu Lebih Baik


Kebersamaan sepasang insan yang dijalin dengan pernikahan tak selamanya seia sekata. Di antara mereka terkadang ada ketidakcocokan yang dapat memicu pertikaian.
Ada yang tidak bisa mencintai pasangannya sehingga kebersamaan terasa hambar dan ingin diakhiri. Bisa jadi cinta itu tidak pernah tumbuh sejak awal pernikahan ataupun pernah ada cinta kemudian pupus di belakang hari, karena satu atau beberapa sebab. Ketiadaan cinta ini jelas memicu masalah. Apalagi bila suami yang tidak memiliki cinta terhadap sang istri, sementara si istri tetap ingin hidup bersamanya.
Syariat yang mulia memberi solusi atas permasalahan seperti ini. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِنْ بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا ۚ وَالصُّلْحُ خَيْرٌ ۗ وَأُحْضِرَتِ الْأَنْفُسُ الشُّحَّ ۚ وَإِنْ تُحْسِنُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا
Dan jika seorang istri khawatir akan nusyuz1 atau sikat tidak acuh dari suaminya, maka tidak berdosa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya. Dan perdamaian itu lebih baik bagi mereka walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kalian bergaul dengan istri kalian secara baik dan memelihara diri kalian dari nusyuz dan sikap tak acuh maka sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kalian kerjakan.” (An-Nisa’: 128)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu menerangkan dalam tafsirnya, “Apabila istri mengkhawatirkan suaminya akan menjauhinya atau berpaling darinya, ia boleh menggugurkan haknya atau sebagian haknya (sehingga ia merelakan suaminya untuk tidak memenuhi hak yang digugurkan tersebut). Baik hak itu berupa nafkah, pakaian, mabit (bermalam di sisinya), atau hak-hak lainnya yang semula wajib ditunaikan sang suami. Si suami boleh menerima pengguguran hak tersebut. Suaminya pun tidak berdosa bila menerimanya. Karena itulah Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا
Maka tidak berdosa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya.” (An-Nisa’: 128)
Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala menyatakan:
وَالصُّلْحُ خَيْرٌ
Dan perdamaian itu lebih baik bagi mereka … (An-Nisa’: 128)
Maksudnya, berdamai itu lebih baik daripada harus berpisah.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَأُحْضِرَتِ الْأَنْفُسُ الشُّحَّ
Walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir(An-Nisa’: 128)
Maksudnya berdamai tatkala ada pertikaian itu lebih baik daripada harus berpisah. Karena itulah, ketika Saudah bintu Zam’ah radhiyallahu ‘anha mencapai usia tua, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berketetapan hati untuk menceraikannya, maka Saudah pun meminta perdamaian kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam agar beliau tetap menahannya sebagai istri, tidak menceraikannya, dan ia menyerahkan hari gilirannya kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menerima permintaan Saudah tersebut dan tetap menahannya sebagai istri beliau dengan perjanjian2. (Tafsir Al-Qur’anil ‘Azhim, 2/314)
Aisyah radhiallahu ‘anha berkata, “Seorang lelaki memiliki seorang istri, tetapi ia tidak mencintai istrinya dan ingin menceraikannya. Maka istrinya berkata, ‘Biarkanlah aku tetap sebagai istrimu, jangan dicerai. ‘ Maka turunlah ayat ini (yaitu An-Nisa’: 128) dalam perkara tersebut.”
(HR. Al Bukhari no. 4601)
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu ketika ditanyai seseorang tentang ayat di atas, beliau menerangkan, “Ayat di atas berkenaan dengan seorang istri yang masih dalam status pernikahan dengan suaminya namun kedua mata suaminya tidak sedap memandangnya. Mungkin karena keburukan paras/rupanya, kefakirannya, usianya yang sudah tua, atau karena akhlaknya yang buruk. Sementara si istri tidak suka bila harus berpisah dengan suaminya. Bila si istri merelakan sesuatu dari maharnya untuk suaminya, maka halal bagi suami untuk mengambilnya. Juga bila istri menyerahkan hari-harinya untuk tidak dipenuhi oleh suaminya (tidak dikunjungi), maka tidak ada dosa dalam hal ini.” (Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 5/259-260)
Asy-Syaikh Abu Abdirrahman Muqbil ibnu Hadi Al-Wadi’i rahimahullahu dalam kitab beliau Ash-Shahihul Musnad min Asbabil Nuzul (hal. 93) membawakan riwayat dari Rafi’ ibnu Khadij. Beliau ini memiliki seorang istri yang telah berusia tua. Kemudian beliau menikah lagi dengan seorang wanita yang masih berusia remaja. Maka ia lebih mengutamakan istri mudanya daripada istri pertamanya. Namun istri pertamanya tidak menerima hal tersebut. Rafi’ pun menceraikannya dengan talak satu. Sampai menjelang akhir iddah si istri, Rafi’ menawarkan, “Kalau kamu mau aku akan merujukmu. Namun kamu harus bersabar dengan perkara yang ada. Tapi kalau kamu tidak menghendaki hal tersebut, aku akan meninggalkanmu sampai berakhir iddahmu.” Istrinya berkata, “Rujukilah diriku dan aku akan bersabar dengan kenyataan kamu lebih mengutamakan dirinya.” Setelah berlalu waktu dan Rafi’ tetap mengutamakan istri keduanya, istri pertamanya ternyata tidak sabar dengan kenyataan tersebut.Maka Rafi’ pun menceraikannya untuk kedua kalinya dan tetap memilih istri keduanya. Rafi’ berkata, “Inilah perdamaian yang telah sampai kepada kami bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan ayat tentangnya:
وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِنْ بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا
Dan jika seorang istri khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak berdosa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya.”
(Diriwayatkan Al-Hakim, 2/308, ia berkata, “Shahih di atas syarat Al-Bukhari dan Muslim.” Adz-Dzahabi mendiamkannya.)
Asy-Syaikh Muqbil menyatakan bahwa Rafi’ hendak menerangkan, ayat di atas juga mencakup apa yang ia lakukan.
Dengan penjelasan di atas dapat kita pahami bahwa ketika ada permasalahan di antara suami istri, maka berdamai lebih baik daripada harus berpisah, dengan cara memaafkan, bersabar, dan merelakan sebagian hak tidak dipenuhi. Walaupun sebenarnya jiwa itu tabiatnya kikir, tidak mau menggugurkan apa yang menjadi haknya. Namun sepantasnya seseorang bersemangat untuk melepaskan diri dari tabiat jiwa yang buruk tersebut dan menggantinya dengan yang sebaliknya, yaitu memberi pemaafan dan kelapangan, merelakan haknya tidak terpenuhi dan merasa cukup dengan sebagian saja, tidak menuntut semuanya. Bilamana seseorang bisa berakhlak baik seperti ini, akan mudah baginya untuk mengadakan perdamaian dengan orang yang bermuamalah dengan dirinya. Beda halnya dengan orang yang memelihara kekikiran dirinya, tidak ada upaya menghilangkannya. Akan sulit baginya berdamai dan membuat kesepakatan dengan orang yang bermasalah dengannya. Karena ia tidak ridha kecuali bila semua haknya dipenuhi dan tidak ingin menggugurkannya untuk orang lain. Demikian penjelasan Al-Allamah Asy Syaikh Abdurrahman ibnu Nashir As Sa’di rahimahullahu dalam tafsirnya. (Taisir Al Karimir Rahman, hal. 207)
Pernah ada permasalahan diungkapkan kepada para masysyaikh yang duduk di Al Lajnah Ad Da’imah lil Buhuts Al Ilmiyyah wal Ifta’ (Komite Tetap untuk Pembahasan Ilmiah dan Fatwa), ketika itu masih diketuai oleh Samahatusy Syaikh Ibnu Bazrahimahullah, tentang seorang istri yang tidak dapat menunaikan hak-hak suaminya sehingga suaminya hendak menceraikannya. Akan tetapi si istri memilih tetap hidup bersama suaminya dengan keuda anaknya yang masih kecil, dengan kesepakatan ia akan menggugurkan seluruh haknya, sehingga suaminya tidak perlu bermalam di sisinya, tidak perlu berlaku adil kepadanya. Ringkas kata, ia tidak menuntut apa-apa dari suaminya. Suaminya menyetujui hal tersebut sehingga keduanya pun bersepakat. Pertanyaannya, apakah sah kesepakatan seperti ini? Apakah si suami tidak berdosa bila tidak memenuhi hak-hak istrinya?
Al Lajnah Ad Daimah memberikan fatwa, “Bila seorang istri menggugurkan hak-haknya agar tetap dalam ikatan pernikahan dengan suaminya, kemudian tercapai kesepakatan antara keduanya maka tidak ada larangan dalam hal ini. Karena dahulu Saudah radhiyallahu ‘anha meminta kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam agar tetap menjadikannya sebagai istri, tidak menceraikannya, dan sebagai perdamaiannya ia menghadiahkan malamnya untuk Aisyah radhiyallahu ‘anha. RasulullahShallallahu ‘alaihi wasallam pun menerima permintaan Saudah tersebut.” (Fatwa no. 20688, dari Fatawa Al Lajnah, 19/207-208)
Suami yang Tidak Mencintai Istrinya Hendaknya Menahan Istrinya dengan Baik atau Menceraikannya
Pernah ada keluhan tersampaikan dari seorang istri tentang suaminya yang tidak bergaul dengan ma’ruf, karena ia tidak mencintai istrinya namun tidak juga diceraikannya. Ia tidak memberikan nafkah lahir batin kepada istrinya dan tidak pula menempatkan istrinya di rumahnya, namun menyuruh istrinya tinggal di rumah orangtuanya. Maka suami seperti ini jelas tidak menunaikan kewajibannya. Ia telah membiarkan istrinya terkatung-katung seperti disinggung dalam ayat:
فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ
Sehingga kalian biarkan istri tersebut terkatung-katung. (An Nisa’: 129)
Status si istri menjadi tidak jelas, tidak sebagai janda namun tidak pula sebagai seorang yang memiliki suami. (Ma’alimut Tanzil atau Tafsir Al Baghawi. 1/388)
Tentunya perbuatan seperti ini tidak diperkenankan oleh syariat, bahkan termasuk kezhaliman. Karena, selama si wanita berstatus sebagai istri maka ia harus dipergauli dengan cara yang baik sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
Dan bergaullah kalian (wahai para suami) dengan mereka (para istri) dengan ma’ruf (baik).(An Nisa’: 19)
Terkecuali bila si istri memaafkan, merelakan, dan menggugurkan sebagian atau seluruh haknya yang semula harus ditunaikan suaminya.
Kalau tidak bisa ditempuh perdamaian, maka perpisahan mungkin merupakan obatnya.
Seorang suami pernah menyampaikan problem rumah tangganya kepada Al Lajnah Ad Daimah, “Saya seorang pemuda berusia 22 tahun dan telah menikah dengan seorang wanita yang masih kerabat dekat, yaitu putri bibi saya. Pernikahan kami telah berlangsung sekitar 2 tahun. Namun saya tidak pernah mencintainya. Saya menikahinya karena desakan ibu saya agar memperistri keponakan tersebut. Akan tetapi setelah menikah belum juga tumbuh cinta kepadanya dalam hati saya, padahal saya telah berupaya mencoba dan mencoba, namun tidak ada faedahnya. Tempat kerja saya jauh dari kediaman ibu saya sementara istri saya itu tinggal bersama ibu saya. Sekarang ini saya tidak mendatangi mereka kecuali setahun sekali karena saya tidak sanggup duduk bersama istri saya disebabkan saya tidak menyukainya. Padahal ia telah melahirkan seorang putri untuk saya yang mencintai saya dan saya pun sangat mencintainya. Namun saya tetap tidak menginginkan ibunya sebagai istri saya. Dulu saya menikahinya karena desakan ibu, juga karena usia saya yang masih muda, cepat menikah mendahului teman-teman saya. Sungguh saat itu saya belum berpikir jauh ke depan. Istri saya sebenarnya seorang wanita yang sangat mulia dan cerdas, hanya saja saya tidak mampu menjadikan hati saya merasa cukup dengannya. Apa yang harus saya lakukan, sementara bila saya menceraikannya, ibu saya akan kecewa dan saya sendiri khawatir setelah bercerai nanti istri saya tidak dapat menikah lagi dan ia akan tersia-siakan, karena seperti yang saya katakan, ia putri bibi saya. Saya tidak menginginkan dirinya sengsara. Di samping itu, saya tidak inginkan putri saya yang tidak berdosa tersia-siakan. Ataukah saya harus bersabar tetap mempertahankannya dan bersabar dalam kegundahan saya lalu menikahi wanita lain namun jelas saya tidak dapat berlaku adil selama saya tidak mencintainya.”
Demikian problem yang diadukan, maka Al Lajnah Ad Daimah yang saat itu masih diketuai Samahatusy Syaikh Ibnu Bazrahimahullahu memberikan jawaban, “Wajib bagi suami untuk bergaul dengan baik terhadap istrinya dan menahannya dalam pernikahan dengan cara yang ma’ruf. Kalau ia tidak menyukai istrinya maka ia boleh mentalaknya dengan talak satu, mudah-mudahan setelah itu keadaannya berubah (bisa mencintai istrinya) dan merujuk istrinya kembali. Engkau boleh menikahi wanita lain namun engkau harus berlaku adil di antara istri-istri tersebut dalam hal pemberian nafkah, tempat tinggal, dan mabit (bermalam/menginap), kecuali bila salah satu dari istri tersebut menggugurkan haknya pada salah satu dari perkara tersebut, maka ketika itu tidak ada dosa bagimu. Wa billahit taufiq. Washshallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa alihi wa shahbihi wa sallam.” (Fatwa no. 6723 dari Fatawa Al Lajnah, 19/249-250)
Catatan kaki:
[1] Di antara definisi nusyuz adalah salah satu atau masing-masing dari suami istri tidak menyukai pasangannya. Demikian keterangan Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu dalam tafsirnya.
[2] Haditsnya ada dalam Ash-Shahihain







Arahan Seputar Mendidik Anak Perempuan


Segala puji hanya bagi Allah. Sholawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada hamba dan utusan-Nya Muhammad, juga kepada keluarga dan para sahabatnya. Amma ba’du:
Para pembaca sekalian,
Tidak ada seorang pun dari kalian kecuali dia akan dibangkitkan oleh Tuhannya setelah mati. Dan ia akan ditanya serta dihisab tentang segala apa yang telah ia kerjakan di dunia ini. Dan salah satu hal yang akan ditanyakan kepada seorang hamba adalah bagaimana ia memelihara dan mendidik istri dan anaknya. Berkenaan dengan ini, Rasulullah shollallaahu’alayhiwasallam bersabda: “Seorang laki-laki itu adalah pemimpin dalam keluarganya dan akan ditanya tentang orang-orang yang dipimpinnya. Dan seorang perempuan itu adalah pemimpin di dalam rumah suaminya dan akan ditanya tentang orang-orang yang dipimpinnya” (al hadits).
Pembicaraan tentang pendidikan itu akan memiliki sedemikian banyak cabang. Namun di sini saya hanya akan membatasi diri pada hal yang berkaitan dengan pendidikan anak-anak putri secara khusus. Karena pentingnya kedudukan mereka, dan besarnya pengaruh mereka dalam moral dan perilaku masyarakat. Sesungguhnya kalau seorang putri itu tumbuh besar, ia akan menjadi seorang istri, atau ibu atau guru atau peran-peran kehidupan lainnya yang akan ia nanti. Maka apabila ia baik, baik pula sedemikian banyak hal. Namun kalau ia rusak, rusak pula sedemikian banyak hal. Poin inti pembahasan singkat ini adalah sebagai berikut:
Keutamaan anak-anak perempuan dan penghapusan sikap penghinaan yang jahiliy
Kalau kita amati kitab Allah, kita dapati bahwa Allah mencela sedemikian keras orang-orang jahiliyah terdahulu. Yaitu ketika salah seorang dari mereka diberikan kabar gembira bahwa telah lahir untuknya seorang anak perempuan, ia menjadi merasa sedemikian tidak suka. Wajahnya menghitam dan hatinya begitu memendam amarah. Lalu ia menjadi malu terhadap kaumnya sehingga ia menutup diri dari mereka. Kemudian ia mulai membisiki dirinya sendiri, apakah akan ia kubur putrinya itu hidup-hidup ataukah ia biarkan saja dengan keadaan hina. Allah mencela mereka sedemikian keras atas perbuatan tersebut. Dan perasaan-perasaan jahiliyyah seperti ini masih saja ada pada hati sebagian laki-laki apalagi kalau istrinya telah banyak melahirkan anak perempuan, sedangkan seorang istri itu hanyalah seperti hamparan tanah yang menumbuhkan benih yang disebarkan oleh penanam. Bahkan kadangkala ada yang sampai menceraikan istrinya setelah persalinan, kita berlindung kepada Allah dari kebodohan dan kepandiran.
Pada masa jahiliyah dulu, perempuan tidak dianggap apa-apa. Sampai-sampai seorang ayah bisa mengubur putrinya hidup-hidup sedang ia sendiri memelihara anjingnya dan memberi makan ternaknya. Maka Allah menghapuskan cara pandang yang merendahkan ini dan meninggikan kedudukan perempuan serta menempatkannya pada posisinya yang alami dan sesuai dengan mewajibkan laki-laki untuk memenuhi hak-hak perempuan dan mewajibkan perempuan untuk menunaikan kewajiban-kewajiban mereka. Oleh karenanya Allah mengarahkan perkataan-Nya kepada perempuan sebagaimana Ia mengarahkan perkataan-Nya kepada laki-laki, baik untuk memberikan perintah atau larangan. Dan Allah mengkhususkan perempuan dengan hukum-hukum yang sesuai dengan mereka dan cocok dengan fitrah mereka.
Sesungguhnya melahirkan itu adalah perkara yang telah Allah takdirkan. Yaitu perkara yang hanya ada di tangan Allah. Ia memberi anak perempuan kepada siapa saja yang Ia kehendaki dan memberi anak laki-laki kepada siapa saja yang Ia kehendaki. Atau Ia memberi anak laki-laki dan perempuan sekaligus untuk sebagian orang yang lain. Dan Ia menguji sebagian yang lain dengan kemandulan. Allah berfirman:
يَهَبُ لِمَنْ يَشَاءُ إِنَاثًا وَيَهَبُ لِمَن يَشَاءُ الذُّكُورَ . أَوْ يُزَوِّجُهُمْ ذُكْرَانًا وَإِنَاثًا وَيَجْعَلُ مَن يَشَاءُ عَقِيمًا
Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki. Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak-anak lelaki kepada siapa yang Dia kehendaki, atau Dia menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa) yang dikehendaki-Nya, dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa. (Q.S.42:49-50)
Perhatikanlah bagaimana Allah mendahulukan penyebutan anak-anak perempuan dan mengakhirkan penyebutan anak-anak lelaki, sebagai sanggahan atas mereka yang menghinakan kedudukan anak-anak perempuan dan memandang rendah derajat mereka serta tidak menganggap mereka apa-apa.
Oleh karena itu bersikap ridholah dengan apa yang telah Allah bagikan untukmu. Karena sesungguhnya engkau tidak tahu di mana kebaikan itu?! Berapa banyak para ayah yang sedemikian senang saat diberikan kabar gembira dengan datangnya seorang anak laki-laki, tapi kemudian anaknya itu menjadi musibah besar baginya dan menjadi sebab kesulitan hidup dan panjangnya rasa duka dan sedihnya. Dan berapa banyak para ayah yang kecewa saat diberikan kabar gembira tentang kedatangan seorang anak perempuan, sedang ia menanti-nanti anak laki-laki, namun kemudian anak perempuannya itu menjadi anak yang mengurusnya dengan tangan yang penuh kelembutan dan hati yang penuh kasih sayang serta menjadi orang yang menolongnya di masa-masa sulit.
Dari sini kita bisa mengetahui bahwa hakikat penyejuk mata bukanlah pada keadaan anak yang dilahirkan itu adalah laki-lakia atau perempuan. Akan tetapi penyejuk mata sesungguhnya adalah apabila anak tersebut menjadi keturunan yang sholih dan baik, baik itu laki-laki ataupun perempuan.
Allah berfirman ketika menyifati para ‘Ibaadurrohman (hamba-hamba Allah Yang Maha Rahman):

هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا
“..anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (Q.S.25:74)
# Berbuat baik kepada anak-anak perempuan, bentuk dan caranya #
Saudaraku sesama muslim,
Kalau Allah mengaruniakanmu seorang anak perempuan, maka baik-baiklah dalam mendidiknya, menafkahinya dan memperlakukannya dengan mengharap balasan dari Allah untuk itu semua. Tidakkah engkau tahu ganjaran apa yang akan engkau dapatkan dari Allah kalau engkau melakukan semua itu? Kalau engkau lakukan semua itu, maka engkau akan bersama Rasulullah shollallahu’alayhiwasallam di akhirat.
Di dalam hadis, Rasulullah shollallahu’alayhiwasallam bersabda: “Barangsiapa yang menafkahi dua orang anak perempuan sampai keduanya baligh, ia akan datang pada hari kiamat, dengan keadaan aku dan dia (lalu beliau menghimpun jari jemari beliau). Diriwayatkan oleh Muslim.
Dan Rasulullah shollallahu’alayhiwasallam bersabda: “Barangsiapa yang diberikan ujian dengan sesuatu melalui anak-anak perempuan ini, lalu ia memperlakukan mereka dengan baik, maka mereka akan menjadi penghalang untuknya dari api neraka”. Muttafaqun ‘alayhi.
Dan perlakuan baik kepada mereka itu dengan banyak hal. Di antaranya:
* Baik dalam memilih ibu untuk mereka. Ini adalah bentuk pertama perlakuan baik terhadap anak-anak. Karena baiknya itu merupakan salah satu sebab baiknya anak-anak -insya Allah. Berapa banyak anak-anak yang Allah jaga dengan kebaikan orangtua mereka.
* Baik dalam memilihkan nama untuk mereka. Karena nama itu mempunyai pengaruh terhadap penyandangnya. Dan nama itu bermacam-macam. Ada yang mustahab, ada yang boleh, ada yang makruh dan ada yang diharamkan. Kebanyakan orang sekarang, hanya mau mencari nama yang baru (tidak umum -pent) tanpa melihat kandungan makna dan hukumnya.
Berapa banyak anak perempuan yang menyandang nama yang bermakna buruk?! Berapa banyak anak perempuan yang menyandang nama ‘ajam (non-arab) padahal dia keturunan orang arab dan hidup di lingkungan arab!?

* Mencukupi kebutuhan tubuhnya: makanan, pakaian dan obat. Mencari usaha untuk tujuan ini adalah salah satu sebab masuk surga. Pernah ada seorang perempuan yang masuk menemui Aisyah rodhiyallaahu’anhaa bersama dua putrinya. Perempuan itu fakir dan sudah tak bersuami. Aisyah berkata: “Ia meminta makanan kepadaku. Maka yang ada padaku hanyalah sebutir kurma. Ia pun mengambilnya dan membaginya untuk dua putrinya sedang ia tidak makan apa-apa. Kemudian ia berdiri dan keluar bersama dua putrinya. Datanglah Rasulullah shollallaahu’alayhiwasallam dan aku ceritakan kepada beliau kejadian tersebut. Beliau berkata: “Sesungguhnya Allah telah memastikan untuknya surga dengan perbuatannya itu, dan membebaskannya dari api neraka”. Diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim.
* Memuliakan mereka, bersikap lembut dan sayang kepada mereka.
Rasulullah shollallaahu’alayhiwasallam itu, kalau Fatimah masuk menemui beliau, beliau berkata: “Selamat datang putriku”. Suatu hari beliau sholat bersama orang banyak sambil menggendong Umamah cucu beliau dari Zainab. Maka kalau beliau ruku’, Umamah diletakkan. Dan kalau beliau bangun, Umamah digendong. Seolah-olah tidak ada satupun orang yang akan mengurus Zainab, sehingga beliau khawatir terhadapnya. Atau hal itu beliau lakukan untuk mengajarkan orang banyak agar mereka mengikut petunjuk beliau shollallaahu’alayhiwasallam.

Rasulullah shollallaahu’alayhiwasallam termasuk orang yang paling sayang dengan anak-anak secara umum, baik mereka itu laki-laki ataupun perempuan. Beliau mencium mereka, mengusap kepala mereka, mendoakan mereka dan bermain-main dengan mereka. Hal-hal seperti ini sangat baik sekali.
Ketika seorang anak perempuan semakin besar, ia semakin membutuhkan perasaan dihargai dan dihormati. Kalau kebutuhan ini tercukupi dan di rumah orang tuanya ia merasa mempunyai nilai dan kedudukan, maka itu adalah sebab utama kestabilan dan ketenangan jiwanya dan kebaikan keadaannya.
Akan tetapi kalau ia mendapatkan hinaan dan ketidakpedulian, dan ia hanya diperlakukan dengan bahasa perintah dan larangan serta suruhan melayani, itu akan membuatnya menaruh kebencian terhadap rumah dan keluarganya. Bisa saja kemudian syetan membisikinya sehingga kemudian ia mencari kelembutan dan kasih sayang yang tidak ia dapatkan dengan menempuh cara-cara haram. Dan itu menyebabkannya jatuh ke jurang yang dalam dan hanya Allah yang Maha Tahu di mana dasarnya.
* Bersikap adil terhadapnya dan saudara-saudaranya yang laki-laki ataupun yang perempuan. Karena perasaan dizolimi yang ia alami dan sikap lebih banyak berpihak kepada selain dirinya daripada kepada dirinya, menanamkan rasa benci di dalam dirinya terhadap orangtua, dan rasa dengki kepada saudara atau saudari yang dilebihkan. Maka bertakwalah kepada Allah dan bersikap adillah kepada anak-anak kalian. Baik dalam nafkah, yaitu dengan memberi masing-masing sesuai kebutuhannya. Atau dalam hibah, yaitu dengan memberi anak laki-laki sebesar dua jatah anak perempuan. Dan kalau dipukul rata di antara mereka dalam jatah hibah tersebut, maka itu juga baik.
* Mendidiknya dengan pendidikan islami dan mengawasinya sejak usia awal. Mendidiknya dengan adab-adab memohon izin, adab-adab makan dan minum, adab-adab berpakaian, menuntunnya mengucapkan beberapa ayat Al Quran yang mudah dan beberapa dzikir yang masyru’, mengajarinya berwudhu dan sholat serta memerintahkannya untuk melaksanakan sholat pada usia tujuh tahun dan mengharuskannya kalau sudah berusia sepuluh tahun. Kalau ia tumbuh di atas kebaikan, maka ia akan terbiasa dengan kebaikan itu dan mencintainya. Ia pun akan mudah beriltizam dan teguh dengan kebaikan tersebut.
* Mengajari dan melatihnya dengan hal-hal yang akan ia butuhkan setelah berumah tangga. Seperti adab-adab memperlakukan suami, mengurusi rumah mulai dari memasak, bersih-bersih dan sebagainya. Ada beberapa kekeluarga yang menyepelekan hal ini. Sehingga ketika gadis itu pindah ke rumah suaminya, ternyata ia tidak bisa memasak, tidak bisa mengurus suami dan sebagainya. Dan bisa jadi suaminya itu bukan orang yang penyabar dan cepat marah, maka muncullah problem-problem dalam waktu yang masih sangat dini. Dan bisa juga itu berakhir dengan perceraian.
* Segera menikahkannya kalau dia telah sudah cukup dewasa dan ada seorang laki-laki yang baik agamanya, amanahnya dan akhlaknya, yang datang untuk melamar sedang gadis itu juga menyukainya. Sesungguhnya ini adalah perlakuan baik yang paling besar. Karena terlambatmenikahnya seorang gadis adalah salah satu sebab utama penyimpangan dari jalan yang lurus. Lebih-lebih di zaman sekarang ini.
Dan urusan pernikahan gadis tersebut hendaknya dipermudah oleh walinya, seperti maskawin dan keperluan-keperluan lain. Semua itu termasuk hal-hal yang memotivasi para lelaki yang akan datang melamarnya dan melamar saudari-saudarinya setelahnya. Dan hendaknya setiap keluarga berhati-hati dalam mengakhirkan pernikahan putri mereka dengan alasan menyelesaikan studi atau dengan alasan bahwa putri mereka masih kecil dan alasan-alasan lain yang lemah karena itu adalah perkara yang hanya akan memberi akibat buruk dalam masyarakat.
* Secara rutin mengunjunginya setelah menikah, menengok kebutuhan-kebutuhannya dan mengatasi kesulitan-kesulitan yang ia hadapi serta menyertainya dalam suka dan duka. Dan setiap keluarga, terutama ibu, hendaknya berjaga-jaga untuk tidak langsung mencampuri kehidupan putrinya. Karena kalau ia sering mencampuri urusannya, hal itu bisa menghancurkan kehidupan rumah tangga putrinya sendiri.
Cara-cara pencegahan hal-hal berbahaya di zaman ini:
Bukanlah suatu hal yang samar untukmu, wahai saudaraku sesama muslim, bahwa kita hidup di zaman yang begitu banyak fitnahnya. Dan di dalamnya tersedia berbagai macam jalan kerusakan dan kesesatan yang belum pernah ada di masa-masa yang lalu. Hal ini semakin mempertegas betapa besarnya tanggung jawabmu, dan mengharuskan peningkatan upaya dalam mendidik, membimbing dan mengarahkan serta menempuh sebab-sebab keselamatan. Di antara cara pencegahannya secara ringkas adalah:
* Keistiqomahan dan kesalehan ayah dan ibu. Karena kesalehan orangtua termasuk salah satu sebab agar Allah menjaga keturunan mereka. Sebagaimana yang Ia firmankan dalam surat Al Kahfi dalam kisah Musa dan Khidir:
حَتَّى إِذَا أَتَيَا أَهْلَ قَرْيَةٍ اسْتَطْعَمَا أَهْلَهَا فَأَبَوْا أَن يُضَيِّفُوهُمَا فَوَجَدَا فِيهَا جِدَارًا يُرِيدُ أَنْ يَنقَضَّ فَأَقَامَهُ قَالَ لَوْ شِئْتَ لاتَّخَذْتَ عَلَيْهِ أَجْرًا
“..hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, maka Khidhr menegakkan dinding itu. Musa berkata: “Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu”. (Q.S.18:77)
Setelah itu Khidir berkata menjelaskan sebab mengapa ia memperbaiki dinding itu tanpa mengambil upah:
وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنزٌ لَّهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا فَأَرَادَ رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنزَهُمَا رَحْمَةً مِّن رَّبِّكَ
“Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu;..” (Q.S.18:82)
Maka Allah menjaga dua anak itu dengan kesalehan orangtua mereka.
* Memperhatikan perkara do’a. Karena do’a itu mempunyai pengaruh yang besar. Rintihan dan permohonan kedua orangtua kepada Allah agar Ia memperbaiki keadaan anak-anak mereka termasuk salah sebab dan merupakan pintu kebaikan. Dan sebuah khobar yang cukup baik berkaitan dengan hal ini adalah riwayat bahwa Fudhoil Bin ‘Iyadh -imam masjidil harom di zamannya- berkata: “Ya Allah sesungguhnya aku telah bersungguh-sungguh untuk mendidik putraku Ali, namun aku tak dapat mendidiknya, maka didiklah ia oleh-Mu untukku”. Maka berubahlah keadaan putranya sehingga menjadi salah satu orang saleh terbesar di zamannya dan ia mati pada waktu sholat fajr ketika imam membaca firman Allah:
وَلَوْ تَرَىَ إِذْ وُقِفُواْ عَلَى النَّارِ فَقَالُواْ يَا لَيْتَنَا نُرَدُّ
“Dan jika kamu (Muhammad) melihat ketika mereka dihadapkan ke neraka, lalu mereka berkata: “Kiranya kami dikembalikan (ke dunia)..” (Q.S.6:27)
[Lihat: Siyaru a'laamin nubalaa` (8/390)]

Rasulullah shollallahu’alayhiwasallam telah mengajari kita untuk berlindung kepada Allah dari segala fitnah. Dan demikian juga hendaknya anak-anak itu diajari do’a-do’a dan mereka dituntun untuk mengucapkan do’a yang semoga Allah memberikan manfaat untuk mereka dengan do’a tersebut. Dan ketika Yusuf ‘alayhissalam diuji dengan fitnah wanita, ia berkata:
قَالَ رَبِّ السِّجْنُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا يَدْعُونَنِي إِلَيْهِ وَإِلاَّ تَصْرِفْ عَنِّي كَيْدَهُنَّ أَصْبُ إِلَيْهِنَّ وَأَكُن مِّنَ الْجَاهِلِينَ . فَاسْتَجَابَ لَهُ رَبُّهُ فَصَرَفَ عَنْهُ كَيْدَهُنَّ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
Yusuf berkata: “Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. Dan jika tidak Engkau hindarkan dari padaku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh.” Maka Tuhannya memperkenankan do’a Yusuf dan Dia menghindarkan Yusuf dari tipu daya mereka. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Q.S.12:33-34)
Dan Allah menjelaskan bahwa sebab diperkenankan-Nya do’a Yusuf adalah karena Ia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Sehingga orang yang beriman mengetahui bahwa kalau ia berdo’a kepada Allah dengan sungguh-sungguh, maka sesungguhnya Allah itu Maha Dekat dan Maha mengabulkan.
* Terus menerus memberikan anak putri tersebut arahan dan peringatan dengan cara yang sesuai, secara langsung atau dengan sindiran sesuai yang dibutuhkan oleh keadaan. Karena hati itu seringkali lalai dan sadarnya adalah dengan nasehat dan peringatan, dan peringatan itu akan bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.
* Mengarahkannya untuk baik-baik memilih sahabat. Karena persahabatan itu memiliki pengaruh yang besar dalam perilaku, pemikiran dan sebagainya. Dan dalam hadis: “Seseorang itu sesuai dengan akhlak kholil-nya (sahabat karib yang dicintainya -pent). Maka hendaknya masing-masing kalian memperhatikan siapa orang yang ia jadikan sebagai kholil-nya”.
* Menjauhkan rumah dari sarana-sarana yang merusak dan menghancurkan. Sesungguhnya sekian banyak saluran-saluran televisi dan sekian banyak situs-situs internet itu lebih banyak menghancurkan daripada membangun, dan lebih banyak membahayakan daripada memberi manfaat serta lebih banyak merusak daripada memperbaiki. Berapa banyak sudah kehormatan yang terenggut karenanya, dan berapa banyak sudah kemuliaan yang ternodai karenanya, maka keselamatan itu akan diperoleh dengan menjauhkan diri dari sarana-sarana kerusakan itu. Dan keselamatan itu tidak dapat dihargai seberapapun. Kalau sarana-sarana ini ada di dalam rumah, maka hendaknya kepala keluarga tersebut memperhatikan jangan sampai sarana-sarana tersebut sedemikian terbuka lebar untuk keluarganya, sehingga mereka bisa mengikuti acara apapun saja yang mereka mau, dan berhubungan dengan suatu jaringan kapanpun mereka mau. Karena dengan begitu mereka akan membahayakan diri mereka sendiri dengan suatu bahaya besar. Demikian juga dengan alat-alat komunikasi, handphone, yang kini tidak sekedar sarana komunikasi semata akan tetapi sudah jauh lebih dari itu. Karena satu perangkat saja sudah memiliki perekam suara, alat foto, penayang film. Dan betapa sering ia digunakan untuk menyebarkan kekejian.
* Menunaikan kewajiban memberi perhatian. Kesungguh-sungguhan orang tua dalam memperhatikan putri mereka, dan pengawasan mereka yang terus menerus terhadapnya merupakan salah satu sebab senantiasa baiknya keadaan putri mereka itu. Sebagaimana kelengahan dan kendurnya pengawasan merupakan salah satu sebab ketergelinciran. Maka tunaikanlah kewajibanmu dengan sungguh-sungguh, jangan izinkan keluargamu ber-tabarruj dan ber-sufur serta ber-ikhtilat dengan lelaki yang bukan mahrom, juga bepergian tanpa mahrom. Para wanita itu hanya akan berani melakukan semua itu kalau mereka melihat wali mereka tidak peduli dan menyepelekan.
* Dan berhati-hatilah dari renggangnya tali ikatan kekeluargaan. Sekian banyak keluarga mengeluhkan lemahnya ikatan di antara anggota suatu keluarga. Masing-masing mereka sibuk dengan dirinya sendiri. Sang ayah di sini dan sang ibu di sana dan anak-anak ada di alam khusus mereka sendiri-sendiri. Sudah pasti, kekosongan ini akan melahirkan problem-problem besar akan tetapi ia tumbuh sedikit demi sedikit seiring berjalannya waktu hingga tiba hitungan nol dan terjadilah ledakan dan tersadarlah keluarga itu akan tetapi setelah lewat waktunya.
* Jangan engkau mengira, wahai saudaraku sesama muslim, bahwa bahaya yang mengancam para wanita hanya berupa bahaya penyimpangan moral dengan terjatuh pada kekejian-kekejian atau obat-obatan terlarang dan semisalnya. Akan tetapi ia juga terancam dengan bahaya yang lain, yaitu bahaya pemikiran. Para wanita itu terancam jeratan firqoh-firqoh yang hancur yang dikhabarkan oleh Rasulullah shollallahu’alayhiwasallam dan yang mencapai jumlah 73 firqoh. Berapa banyak wanita sekarang yang menganut paham Khowarij dan berpengaruh pada suami, anak dan murid mereka?! Berapa banyak wanita yang menyandang akidah sufi, mendirikan majelis dan perayaan sufi yang tidak pernah Allah turunkan dalil tentangnya!? Dan berbagai bentuk pelanggaran sunnah lainnya.
Hal ini mengharuskan para kepala keluarga untuk berhati-hati dan mawas diri dengan memperhatikan sumber-sumber makanan pemikiran yang mengisi qalbu dan hati keluarganya.

Demikianlah dan aku memohon hidayah dan kebaikan serta keistiqomahan kepada Allah untuk seluruh kaum muslimin dan muslimat, sebagaimana aku memohon kepada Allah agar Ia memberikan tawfiq kepada para wanita muslimah untuk berkomitmen dengan agama mereka dan berdiri kokoh di atas manhaj yang benar. Dan agar Ia melindunginya dari segala fitnah yang menyesatkan, yang zahir maupun yang batin. Wal hamdu lillaahi robbil ‘aalamiin.







Peran Wanita Dalam Membina Keluarga (Bag. 1)


Sesungguhnya segala puji hanya bagi Allah. Kita memuji-Nya, meminta pertolongan dan memohon ampunan kepada-Nya. Dan kita berlindung kepada Allah dari keburukan diri kita dan kejelekan amal perbuatan kita. Siapa yang Allah beri hidayah, maka tiada yang dapat menyesatkannya. Dan siapa yang Allah sesatkan, maka tiada yang dapat memberinya hidayah. Dan aku bersaksi bahwa tiada sembahan yang haq melainkan Allah semata. Tiada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, semoga Allah mencurahkan sholawat dan salam kepadanya, dan kepada keluarganya, serta para sahabatnya.
Wa ba’du,
Pembicaraan kita berkaitan dengan wanita muslimah. Dan berbicara tentang wanita muslimah di waktu sekarang ini aku pandang cukup penting. Karena wanita di masyarakat kita sedang diserang secara membabi buta oleh musuh-musuh agama ini, di mana digulirkan apa yang disebut dengan “qodhiyyatu l mar`ah” atau “qodhooyaa l mar`ah” (problematika wanita -pent). Dan yang mereka maksud dengan istilah ini adalah mengeluarkan wanita dari kondisi/keadaan yang diinginkan oleh Allah terhadapnya.
Kita tidak pernah mengenal bahwa wanita memiliki problematika selain problematika umat wanita muslimah itu sendiri. Sesungguhnya kebodohan umat terhadap agama Islam ini dan kelemahan mereka dalam berpegang kepadanya adalah problematika umat dan wanita muslimah. Dan itulah yang akan kami upayakan untuk kami jelaskan dalam kuliah umum yang berjudul “peran wanita dan membina keluarga” ini. Namun kami memiliki beberapa komentar atas judul ini.
Pertama, seputar pengertian “tarbiyah”. Di mana yang kami maksud dengannya adalah makna luas dari pengertian “membina” dan segala sesuatu yang menjadi konsekwensinya seperti mengawasi keluarga dan menjaganya. Sehingga jangan sampai ada yang mengira bahwa tarbiyah itu hanya sekedar memperbaiki dan meluruskan akhlak. Ini adalah salah satu cakupan tarbiyah. Sedang tarbiyah untuk keluarga lebih luas lagi sisinya dari hal ini.
Kedua, boleh jadi dari judul ini akan dipahami bahwa wanita memiliki peran dalam membina keluarga akan tetapi peran itu adalah pekerjaan yang sekunder baginya. Padahal yang sebenarnya adalah bahwa pekerjaan wanita dalam membina keluarga itu adalah pekerjaannya yang paling utama sedang yang selainnya adalah pengecualian. Kalau judul kuliah umum ini adalah “peran wanita adalah membina keluarga”, maka itu lebih baik.
Tempat Wanita
Permasalahan ini membutuhkan penjelasan dan penerangan, maka kami katakan: sesungguhnya tempat yang wajar bagi wanita adalah di rumah dan di sanalah tempatnya bekerja. Ini adalah prinsip dasarnya. Dan inilah yang disokong oleh dalil-dalil syar’iy serta inilah logika fitrah yang dengannya wanita diciptakan.
Berkaitan dengan dalil-dalil syar’iy atas hal ini, maka nash-nash dan realitas-realitas konkret yang mendukungnya cukup banyak. Di antaranya:
1. Allah berfirman dengan mengarahkan perkataan kepada para ummahaatul mu`miniin:
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ
“Dan menetaplah di rumah-rumah kalian” (Al Ahzab: 33).
Berkata Sayyid Quthb: “Dalam ayat ini terdapat isyarat halus bahwa hendaknya rumah itu menjadi tempat asal dalam kehidupan mereka. Dan rumah itu adalah sebagai “maqorrun” (tempat kediaman -pent). Sedang selain rumah adalah pengecualian sementara yang mereka tidak boleh menetap dan berdiam di situ kecuali untuk keperluan dan itupun hanya sekedarnya saja. (fii zhilaali l qur`aan 59, 5/28 cetakan kesepuluh, Asy Syuruq).
2.
لَا تُخْرِجُوهُنَّ مِن بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخْرُجْنَ

“Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar’ (Ath Tholaaq: 1)
Ayat ini sekalipun berkaitan dengan wanita yang sedang menjalani masa iddah, namun para ulama mengatakan bahwa hukumnya tidak terkhususkan untuknya akan tetapi juga mencakup wanita yang lain. Penisbahan dalam “rumah kalian” atau “rumah mereka” (dalam dua ayat di atas -pent) padahal rumah itu biasanya adalah milik suami, itu adalah penisbahan yang menunjukkan penempatan, bukan pemilikan. Seolah, pada prinsipnya, rumah itu adalah tempat tinggal bagi wanita.
3. Dalam kisah-kisah para nabi ada pelajaran dan ibroh. Seperti kisah Musa dengan dua orang wanita:
وَلَمَّا وَرَدَ مَاء مَدْيَنَ وَجَدَ عَلَيْهِ أُمَّةً مِّنَ النَّاسِ يَسْقُونَ وَوَجَدَ مِن دُونِهِمُ امْرَأتَيْنِ تَذُودَانِ قَالَ مَا خَطْبُكُمَا قَالَتَا لَا نَسْقِي حَتَّى يُصْدِرَ الرِّعَاء وَأَبُونَا شَيْخٌ كَبِيرٌ
Dan tatkala ia sampai di sumber air negeri Mad-yan ia menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang meminumkan (ternaknya), dan ia menjumpai di belakang orang banyak itu, dua orang wanita yang sedang menghambat (ternaknya). Musa berkata: “Apakah maksudmu (dengan berbuat at begitu)?” Kedua wanita itu menjawab: “Kami tidak dapat meminumkan (ternak kami), sebelum pengembala-pengembala itu memulangkan (ternaknya), sedang bapak kami adalah orang tua yang telah lanjut umurnya”. (Q.S.28:23)
Hingga firman Allah:

قَالَ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أُنكِحَكَ إِحْدَى ابْنَتَيَّ هَاتَيْنِ عَلَى أَن تَأْجُرَنِي ثَمَانِيَ حِجَجٍ فَإِنْ أَتْمَمْتَ عَشْراً فَمِنْ عِندِكَ وَمَا أُرِيدُ أَنْ أَشُقَّ عَلَيْكَ سَتَجِدُنِي إِن شَاء اللَّهُ مِنَ الصَّالِحِينَ
Berkatalah dia (Syu’aib): “Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, maka aku tidak hendak memberati kamu. Dan kamu Insya Allah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik”. (Q.S.28:27)
Mari kita perhatikan pelajaran-pelajaran dalam ayat ini.
Musa mendapatkan para penggembala berada di sumber air dan di belakang mereka ada dua orang wanita yang menghalang-halangi kambing mereka agar tidak bercampur baur dengan kambing orang banyak itu. Musa bertanya kepada dua orang wanita itu, ada apa dengan kalian? Mengapa kalian tidak memberi minum kambing kalian bersama orang-orang itu?
Datanglah jawabannya: kami tidak dapat memberi minum sampai para penggembala itu memulangkan ternak mereka. Dua orang wanita ini memiliki ketakwaan dan sikap waro’ yang mencegah mereka untuk bercampur baur dengan para lelaki. Kemudian seolah ada pertanyaan lain muncul, apa yang menyebabkan kalian keluar? Lalu muncullah jawabannya secara langsung: dan ayah kami adalah orang tua yang sudah lanjut umurnya. Ada kebutuhan dan keperluan mendesak yang mengharuskan mereka untuk keluar. Dan walaupun mereka terpaksa untuk keluar, mereka tetap menjaga akhlak dan adab dengan tidak berbaur bersama para lelaki.

Kemudian ada pelajaran lain di mana salah seorang dari dua wanita itu berpikir bahwa sudah saatnya segala sesuatunya kembali pada keadaan semula (yaitu mereka tidak lagi keluar rumah untuk memberi minum ternak -pent).
قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَا أَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ
Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: “Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya”.
Syu’aib pun menerima solusi tersebut dan ia mengajukan tawaran kepada Musa:
قَالَ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أُنكِحَكَ إِحْدَى ابْنَتَيَّ هَاتَيْنِ عَلَى أَن تَأْجُرَنِي ثَمَانِيَ حِجَجٍ
Berkatalah dia (Syu’aib): “Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun..” (Q.S.28:27)
Musa pun menerima tawaran tersebut dan segala sesuatunya pun kembali wajar. Musa bekerja menggembalakan ternak, dan wanita itu pun menjadi seorang istri yang bekerja di rumah. Demikianlah Al Quran berkisah kepada kita dan sungguh dalam kisah-kisah mereka itu ada pelajaran berharga.
4. Sholat di masjid itu adalah amalan yang masyru’ bagi kaum lelaki dan merupakan salah satu amalan yang paling utama.Terlebih lagi sholat di masjid Rasulullah shollallahu’alayhiwasallam, dan bersama beliau. Meskipun demikian, Rasulullah shollallahu’alayhiwasallam memerintahkan para wanita untuk sholat di rumah. Dari istri Abi Humaid As Saa’idiy, bahwasanya ia datang kepada Rasulullah shollallahu’alayhiwasallam dan berkata: “Sesungguhnya aku suka sholat bersamamu”. Lalu beliau berkata: “Aku tahu bahwa engkau menyukai sholat bersamaku, akan tetapi sholatmu di sudut ruangan itu lebih baik daripada sholatmu di kamar. Dan sholatmu di kamar itu lebih baik daripada sholatmu di dalam rumah. Dan sholatmu di dalam rumah itu lebih baik dari sholatmu di masjid kaummu. Dan sholatmu di masjid kaummu itu lebih baik daripada sholatmu di masjidku”. Lalu istri Abi Humaid ini pun menyuruh dibuatkan untuknya sebuah tempat sholat di tempat paling dalam dan gelap di rumahnya. Dan ia pun sholat di situ sampai akhir hayatnya. (Hadis ini dikeluarkan oleh Ahmad 6/371 dan oleh Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya 3/95. Hadis ini hasan. Lihat “haasyiyatu l a’zhomi ‘alaa shohiih ibni khuzaimah).

Isyarat dalam hadis ini cukup jelas bahwa asalnya adalah menetapnya seorang wanita di dalam rumah. Sampai-sampai Rasulullah shollallahu’alayhiwasallam lebih mengutamakan sholat di rumah untuk seorang wanita, daripada sholat di masjid beliau shollallahu’alayhiwasallam sekalipun beliau mengizinkan seorang wanita untuk pergi ke masjid.
5. Realitas para wanita muslimah pada abad-abad permulaan -yang merupakan contoh untuk diteladani- mendukung hal ini. Di mana kita mendapatkan bahwa keluarnya seorang wanita dan bekerjanya ia di luar rumah merupakan peristiwa yang hampir bisa dihitung, dan memiliki sebab-sebab yang mengharuskan untuk demikian. Bahkan yang demikian itulah yang dipahami oleh para Sahabat. Diriwayatkan bahwa Ibnu Mas’ud diminta oleh istrinya untuk memberinya sebuah jilbab. Ibnu Mas’ud berkata: “Aku khawatir engkau akan meninggalkan jilbab yang telah Allah kenakan untukmu”. Istrinya berkata: “Jilbab apakah itu?”. Ibnu Mas’ud berkata: “Rumahmu”.

6. Yang diajarkan oleh syari’at ini itulah yang sesuai dengan fitrah. “Apakah Allah Yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan atau rahasiakan); dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui?” (Q.S.67: 14). Sesungguhnya menetapnya seorang wanita di dalam rumah merupakan logika fitrah yang sesuai dengan tugas dan karakternya dan yang menjaganya dari keterceraiberaian dan kekontradiktifan kepribadiannya. Percobaan-percobaan ilmiah psikologis telah memberi dukungan terhadap hal ini. Sebagaimana sebagian peneliti yang cukup obyektif di Barat telah menyampaikan seruan untuk meminimalisir akibat negatif mengembankan wanita suatu pekerjaan yang bertentangan dengan fitrah dan karakternya. Akan tetapi para pemuja syahwat sudah sedemikian tuli terhadap setiap orang yang menyeru hal itu. Bahkan mereka menuduhnya sebagai orang yang mengajak para wanita untuk kembali ke masa kemunduran dan perbudakan, demikianlah mereka membuat klaim! Dan akan ada tambahan penjelasan tentang hal ini di sela-sela bahasan.
Meyikapi Masalah Seputar Keluarnya Wanita
Perlu dipahami bahwa keluarnya seorang wanita tidaklah terlarang secara mutlak. Telah diriwayatkan beberapa keterangan yang menunjukkan bolehnya wanita keluar dan bekerja di luar rumah, akan tetapi keadaan ini bukanlah merupakan hukum asal, melainkan sebagai pengecualian dan kebutuhan yang mendesak.
Salah satu riwayat tentang hal ini adalah diizinkannya seorang wanita oleh Rasulullah shollallahu’alayhiwasallam untuk sholat di masjid sekalipun beliau lebih mengutamakan sholatnya wanita itu di rumah.
Demikian juga riwayat tentang keikutsertaan sebagai wanita di beberapa pertempuran untuk memberi minum dan mengobati korban yang terluka.
Para penyeru pembebasan wanita, atau lebih tepatnya para penyeru penghancuran wanita dari kalangan pengekor hawa nafsu, telah berpegang dengan riwayat ini. Sebagaimana sebagian orang baik yang telah menjadi sedemikiran rendah diri di hadapan tekanan peradaban asing, juga telah menjadikan riwayat ini sebagai dalil untuk membela Islam, dalam dugaan mereka.

Untuk menjawab hal ini, kami katakan: sesungguhnya keluarnya seorang wanita dan bekerjanya ia di luar rumah bukan sesuatu yang terlarang secara mutlak. Bisa jadi ada keperluan yang mendesaknya untuk keluar seperti keluarnya dua putri Syu’aib. Bisa juga itu menjadi suatu hal yang sangat dibutuhkan untuk umat ini seperti seorang wanita yang mengajarkan saudari-saudarinya sesama wanita atau memberikan pengobatan untuk mereka. Untuk hal-hal seperti inilah dalil-dalil keluarnya seorang wanita itu dipahami. Dan itu merupakan keadaan pengecualian, bukan kondisi asal. Oleh karena itu kita mendapatkan Imam Ibnu Hajar mengatakan: bisa jadi keluarnya wanita bersama suatu pasukan itu telah dinasakh. Di mana ia menjelaskan dalam “Al Ishoobah” riwayat hidup Ummu Kabsyah Al Qodho’iyyah dan berkata: hadisnya dikeluarkan oleh Abu Bakr bin Abi Syaybah dan Ath Thobrooniy dan yang lain dari jalan Al Aswad bin Qoys dari Sa’id bin ‘Amr Al Qurosyiy bahwasanya Ummu Kabsyah seorang wanita dari Qodho’ah berkata: “Wahai Rasulullah, izinkan aku untuk keluar bersama pasukan begini dan begini”. Beliau berkata: “Tidak”. Ummu Kabsyah berkata: “Wahai Rasulullah aku bukannya ingin berperang. Tapi aku ingin mengobati orang yang terluka dan orang sakit, dan aku akan membagi-bagikan minuman”. Beliau berkata: “Kalau saja itu tidak menjadi suatu sunnah dan akan dikatakan orang: si fulanah pernah keluar (dalam suatu pasukan) tentu aku akan mengizinkanmu. Akan tetapi, duduklah (tidak usah ikut -pent)”. Hadis ini juga dikeluarkan oleh Ibnu Sa’d dan di bagian akhirnya, “Duduklah, jangan sampai orang-orang mengatakan bahwa Muhammad berperang dengan seorang wanita”. Lalu Ibnu Hajar berkata: Hadis ini dan hadis yang terdahulu dalam riwayat hidup Ummu Sinaan Al Aslamiy bisa dipadukan dengan mengatakan bahwa hadis ini menasakh hadis yang sebelumnya. Karena hadis sebelumnya pada waktu perang Khaibar, sedang hadis ini setelah Fathu Makkah. (Al Ishoobah 4/463)
Bagaimanapun, dalil-dalil tersebut tsabit untuk perkara keluarnya sebagian wanita dan ikutsertanya mereka dalam mengobati orang yang terluka dan untuk membagikan minuman, akan tetapi itu adalah kondisi-kondisi terbatas yang ditakar sesuai dengan kadarnya dan tidak sampai mengalahkan kondisi yang asal. Dan cukup penting membedakan secara jelas antara kondisi bekerjanya seorang wanita di luar rumah sebagai suatu hukum asal dan antara memandangnya sebagai suatu pengecualian.

Kalau ia merupakan pengecualian untuk keadaan-keadaan tertentu, maka kita tidak akan kehabisan solusi untuk mengatasi dampak-dampak negatif yang mungkin timbul dengan keluarnya seorang wanita. Namun di sini bukan tempat untuk memaparkan solusi-solusi itu. Adapun kalau keluarnya seorang wanita itu dijadikan sebagai perkara asal sebagaimana yang dipandang oleh sebagian orang-orang yang terbaratkan, di mana mereka melihat bahwa wanita akan tetap tidak bermanfaat apa-apa kalau ia bekerja di rumah. Dan ini merupakan kelumpuhan pada setengah bagian masyarakat. Aku katakan: kalau kita berjalan dengan arah seperti ini, maka dampak-dampak negatif dari keluarnya para wanita, dan segala konsekwensinya akan muncul sebagaimana yang terjadi di masyarakat Barat.
Akan muncul mafsadat-mafsadat ikhtilat, dan mafsadat-mafsadat kosongnya rumah dari peran seorang ibu, walaupun kita menggunakan berbagai macam prosedur dan walaupun kita bersungguh-sungguh untuk itu, serta walaupun sebagian orang berupaya untuk menutup-nutupinya dengan slogan yang menipu: “keluar dalam koridor ajaran syari’at dan sesuai dengan budaya kita”. Kemudian kita perlu memahami bahwa kalau sudah diterima oleh kita bahwa yang menjadi asal adalah bahwa seorang wanita bekerja di rumah dan bahwa bekerjanya ia di luar rumah merupakan suatu pengecualian serta bahwa inilah yang ditentukan berdasarkan dalil-dalil syar’iy, maka setelah itu kita tidak lagi memiliki pilihan lain antara beriltizam dengan hal ini atau tidak beriltizam dengannya, kalau kita memang benar-benar muslim.
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْراً أَن يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَن يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالاً مُّبِيناً
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (Q.S.33:36)
Ayat ini walaupun turun untuk suatu perkara tertentu, namun kandungannya bersifat umum. Kemudian ia turun setelah ayat-ayat yang memerintahkan para istri Rasulullah shollallahu’alayhiwasallam untuk menetap di rumah mereka.
Allah telah menerangkan bahwa perbuatan meninggalkan, dan berpaling dari, syari’at-Nya merupakan sebab pasti -tidak diragukan lagi- atas kesengsaraan seseorang seperti keadaan sebagian besar umat manusia di atas bumi sekarang ini.
وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكاً وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى
“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta”. (Q.S.20:124)
Dan sesungguhnya keadaan umat yang memiliki manhaj lurus namun mereka meninggalkan manhaj tersebut dan mencari manhaj lain dalam sampah pemikiran manusia, seperti yang diungkapan oleh penyair:
Laksana unta yang mati kehausan di padang sahara
Sedang air di atas punggungnya ia bawa-bawa








Rumah Tangga Sebuah Amanah
Kewajiban paling utama, tanggung jawab paling besar, dan amanah paling berat adalah pendidikan terhadap keluarga dan bimbingan untuk rumah tangga, berawal dari diri sendiri kemudian istri, anak-anak , dan kerabatnya. Inilah yang dimaksud firman Alloh:
يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ قُوٓاْ أَنفُسَكُمۡ وَأَهۡلِيكُمۡ نَارً۬ا وَقُودُهَا ٱلنَّاسُ وَٱلۡحِجَارَةُ عَلَيۡہَا مَلَـٰٓٮِٕكَةٌ غِلَاظٌ۬ شِدَادٌ۬ لَّا يَعۡصُونَ ٱللَّهَ مَآ أَمَرَهُمۡ وَيَفۡعَلُونَ مَا يُؤۡمَرُونَ (٦)
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api naar yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa ang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (QS. 66:6)
Pendidikan keluarga bukan sekedar kegiatan sambilan, pemikiran sedeharna, atau upaya ala kadarnya. Namun pendidikan keluarga merupakan kebutuhan asasi dan masalah yang sangat urgen serta memiliki konsekuensi jauh ke depan dalam menentukan masa depan rumah tangga. Seorang muslim harus bertanggung jawab atas segala kekurangan dan kesesatan yang terjadi di tengah keluarganya. Dari Ibnu Umar Rodhiyalloohu ‘Anhuma berkata: aku mendengar Rosulullooh Shololloohu ‘alaihi wassallam bersabda:
Kamu sekalian adalah pemimpin, dan akan diminta tanggung jawab atas kepimpinannya, seorang imam adalah pemimpin, dan akan diminta tanggung jawab atas kepemimpinannya dan seorang laki-laki adalah pemimpin dan akan diminta tanggung jawab atas atas kepemimpinannya, dan wanita adalah penanggung jawab terhadap rumah suaminya dan akan diminta tanggung jawabnya, serta pembantu penanggung jawab atas harta benda majikannya dan akan diminta tanggung jawabnya. (Shohih, diriwayatkan oleh Bukhori dalam Shohih-nya: 893, 2409, 2554, 2558, 2571, 5188, dan 7138. Muslim dalam Shohih-nya: 4701, dan Tirmidzi dalam Sunan-nya: 1705)
Keluarga yang baik merupakan nikmat yang paling agung dan karunia yang palingberharga dan tidak ada yang mampu menghargai dan mengenali nilainya kecuali orang yang telah memiliki keluarga hancur dan rumah tangga berantakan sehingga kehidupan laksana terkurung oleh hawa neraka, dan hari-harinya hampir diwarnai perih dan pilu karena keluarga berantakan.
Bekal Membina Rumah Tangga
Ketahuilah bahwa berbagai macam problem kehidupan dalam rumah tangga sering timbul akibat kebodohan terutama terhadap ilmu agama. Dan sebagai obatnya adalah belajar, sebagaimana sabda Nabi Shololloohu ‘alaihi wassallam kepada para sahabat Rodhiyalloohu ‘Anhuma:
“Mengapa mereka tidak bertanya jika tidah tahu? Sesungguhnya obat kebodohan adalah bertanya”. (Hasan, diriwayatkan Imam Abu Dawud dalam Sunan-nya: 337 dan Ibnu Majah dalam Sunan-nya:572. Dan dihasankan syaikh al-Albani dalam Shohih Sunan Abu Dawud: 337)
Kedunguan hati dari ilmu dan kebisuan lisan dari berbicara dinyatakan sebagai penyakit. Dan obatnya adalah bertanya kepada ulama, sehingga meraih ilmu yang bermanfaat, sebab ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang terpancar dari lentera Al-Qur’an dan as-Sunnah sesuai dengan pemahaman para sahabat dan tabi’in , termasuk perkara yang terkait dengan ma’rifat kepada Alloh, hukum halal-haram, zuhud, kebersihan hati dan akhlaq mulia, serta mengatur kehidupan rumah tangga.
Ilmu yang bermanfaat berfungsi sebagai pemusnah secara tuntas dua penyakit rohani yang paling berbahaya dan menjadi biang penyakit hati yaitu syubhat dan syahwat. Maka sebagai seorang pendidik, sebelum membina keluarganya, harus membekali dirinya dengan ilmu agama yang cukup. Sehingga dengan bekal ilmu agama yang bermanfaat, semua urusan rumah tangga menjadi mudah dan berdakwah di tengah keluarga menjadi lancar. Apalagi bila ilmu telah meresap ke dalam hati maka akan melenyapkan penyakit syubhat dan syahwat, mencabut kedua penyakit itu sampai ke akar-akarnya. Ibaratnya orang yang sedang minum obat, segala macam kuman akan hancur dan musnah, sementara obat yang paling manjur adalah obat yang cepat meresap ke dalam tubuh dan tidak membuat kuman kebal, tetapi untuk memusnahkan.
Akhlaq Seorang Pendidik
Seorang pembina rumah tangga harus berilmu, berperangai lemah lembut, bersabar dalam mendidik, sehingga akan memberikan kesan yang baik pada keluarga, seperti firman Alloh Subhannahu Ta’ala:
فَبِمَا رَحۡمَةٍ۬ مِّنَ ٱللَّهِ لِنتَ لَهُمۡ‌ۖ وَلَوۡ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ ٱلۡقَلۡبِ لَٱنفَضُّواْ مِنۡ حَوۡلِكَ‌ۖ فَٱعۡفُ عَنۡہُمۡ وَٱسۡتَغۡفِرۡ لَهُمۡ وَشَاوِرۡهُمۡ فِى ٱلۡأَمۡرِ‌ۖ فَإِذَا عَزَمۡتَ فَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱللَّهِ‌ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُتَوَكِّلِينَ (١٥٩)
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. (QS. Ali Imran [3]: 159)
Syaikhul islam Ibnu taimiyah Rohimahulloh berkata:
“Hendaknya tidak menyeru kebaikan dan melarang kemungkaran kecuali setelah memiliki tiga bekal: berilmu sebelum menyeru kebaikan dan melarang kemungkaran, berperangai lemah lembut ketika menyeru kebaikan dan melarang kemungkaran, serta bersabar setelah menyeru kebaikan dan melarang kemungkaran.” (al-Amr bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil Munkar, Ibnu Taimiyah, hal. 57)
Hendaknya seorang pendidik paling terdepan dalam memberi contoh karena sangat berat ancaman orang yang tidak konsekuen terhadap ajakannya, sebagaimana sabda Nabi Shololloohu ‘alaihi wassallam:
Nanti pada hari kiamat ada seseorang didatangkan lalu dilemparkan ke dalam neraka, maka ususnya keluar. Lalu ia berputar-putar di sekitar penggilingan. Kemudian penghuni neraka mengerumuninya dan bertanya, ‘Hai Fulan, ada apa denganmu? Bukankah kamu yang menyeru kepada kebaikan dan melarang dari kemungkaran?’ Ia menjawab, ‘Ya, aku telah menyeru kepada kebaikan tetapi aku sendiri tidak mengerjakannya dan aku melarang orang dari kemungkaran tetapi aku sendiri mengerjakannya.” (Shohih, diriwayatkan Imam Bukhori dalam Shohih-nya: 3267, 7098. Dan Imam Muslim dalam shohih-nya: 7408)
Hadits shohih di atas memberi petunjuk bahwa orang yang mengetahui kebaikan dan kemungakaran lalu melanggarnya lebih berat siksaannya daripada orang yang tidak mengetahuinya karena ia seperti orang yang menghina larangan Alloh dan meremehkan syari’at-Nya, sehingga ia termasuk ahli ilmu yang tidak bermanfaat ilmunya.
Wahai saudaraku, para suami…
Wahai sang suami, sungguh engkaulah pemegang kendali rumah tangga, ikatan pernikahan dan perjanjian yang berat, karena Alloh berfirman:
….. وَّاَخَذۡنَ مِنۡكُمۡ مِّيۡثَاقًا غَلِيۡظًا
Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat. (QS. 4:21)
Anda telah memikul tanggung jawab, memegang amanat dan beban rumah tangga. Hubungan penikahan merupakan kemuliaan bagi laki-laki dan perempuan, maka secara fitroh dan naluri masing-masing memiliki tugas hidup agar kehidupan rumah tangga berjalan normal dan lurus seperti firman Alloh:
ٱلرِّجَالُ قَوَّٲمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعۡضَهُمۡ عَلَىٰ بَعۡضٍ۬ وَبِمَآ أَنفَقُواْ مِنۡ أَمۡوَٲلِهِمۡ‌ۚ فَٱلصَّـٰلِحَـٰتُ قَـٰنِتَـٰتٌ حَـٰفِظَـٰتٌ۬ لِّلۡغَيۡبِ بِمَا حَفِظَ ٱللَّهُ‌ۚ وَٱلَّـٰتِى تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَٱهۡجُرُوهُنَّ فِى ٱلۡمَضَاجِعِ وَٱضۡرِبُوهُنَّ‌ۖ فَإِنۡ أَطَعۡنَڪُمۡ فَلَا تَبۡغُواْ عَلَيۡہِنَّ سَبِيلاً‌ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيًّ۬ا ڪَبِيرً۬ا (٣٤)
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka [laki-laki] atas sebahagian yang lain [wanita], dan karena mereka [laki-laki] telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. (QS. An-Nisa’ [4]: 34)
Upayakanlah kendali rumah tangga, terutama isterimu, tetap berada di tanganmu. Jangan bersikap lemah dan tidak berwibawa serta tidak berdaya di hadapan tuntutan dan tekanan isterimu, akhirnya ia menghinamu, memperbudakmu, dan merendahkanmu sehingga kehidupan rumah tanggamu berantakan bagaikan neraka. Begitu pula, jangan engkau menghinanya dan menzholiminya, serta menganggapnya seperti barang tak berguna, sebab sikap semena-mena terhadap orang yang lemah seperti isterimu menunjukkan kerdilnya sebuah kepribadian. Terimalah kebaikan yang telah diberikan kepadamu dengan senang hati dan bersabarlah atas berbagai kekurangannya, serta jangan mengangan-angankan kesempurnaan darinya karena dia diciptakan oleh Alloh dari tulang rusuk yang bengkok sebagaimana sabda Rosululloh Shololloohu ‘alaihi wassallam:
((إِنَّ الْمَرْأَةََ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ, لَنْ تَسْتَقِيْمَ لَكَ عَلَى طَرِيْقَةٍ, فَإِنِ اسْتَمْتَعْتَ بِهَا اِسْتَمْتَعْتَ بِهَا وَفِيْهَا عِوَجٌ, وَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيْمُهَا كَسَرْتَهَا وَكَسْرُهَا طَلاَقُهَا))
“Sesungguhnya wanita diciptakan dari tulang rusuk, ia tidak bisa lurus bersamamu di atas satu jalan. Jika kamu menikmatinya maka kamu menikmatinya dalam kondisi bengkok, namun bila anda ingin meluruskannya, maka boleh jadi patah dan patahnya adalah talak.” (Shohih, diriwayatkan Imam Muslim dalam Shohih-nya: 3631)
Wahai saudaraku, para isteri…
Setiap kesalahan yang dilakukan seorang isteri, perasaan mengikuti hawa nafsu, sikap terlalu cemburu, atau was-was hanya merupakan bisikan setan dan bersumber dari lemahnya iman kepada Alloh, sehingga rumah tangga berubah meikan bagnjadi berantakan laksana neraka dan rumah tangga menjadi porak-poranda bagaikan bangunan disambar halilintar; akibatnya, semua pihak menyesali pernikahan tersebut. Atau boleh jadi karena kesalahan isteri menjadi penyebab talak (perceraian), kemudian jiwa menjadi goncang dan ditimpa kegelisahan yang sangat berat.
Betapa indahnya bila anda meluruskan hati, ahlak, dan tabiat ketika bergaul dengan suami dan kerabat suami anda. Betapa eloknya bila anda selalu menggunakan akal sehat dan kesabaran dalam setiap menghadapi urusan rumah tangga. Betapa mulianya ketika seorang isteri mampu menjadi pendamping setia bagi suami, dan betapa agung kedudukannya di hati sang suami bahkan ia mampu memikat perasaan suami ketika sang isteri berkata: “Aku mendengar dan mentaati”.
Semoga saudariku muslimah mendapa taufiq dan hidayah dengan etika Islam, mau menyempurnakan akal pikiran dengan ilmu dan ma’rifah, dan menyembuhkan hatinya dengan keimanan kepada Alloh, sehingga kehidupan penuh dengan suasana bahagia dan hidup bersama sang suami penuh dengan ketenangan dan ketentraman serta kegembiraan.
Wahai para isteri, tunaikanlah kewajibanmu terhadap suamimu, niscaya engkau akan mendapat kasih sayang dan cintanya!.
Kewajiban Seorang Suami
Kewajiban sebagai seorang suami banyak sekali namun yang terpenting antara lain:
1. Kewajiban materi meliputi pemberian nafkah, kebutuhan pakaian, dan kebutuhan pendidikan keluarga serta kebutuhan tempat tinggal
2. Tidak boleh memberatkan isteri dengan mengajukan berbagai tuntutan kebutuhan di luar kemampuannya, dan tidak boleh membuat suasana kacau karena permasalahan sepele, sebagaimana yang telah diwasiatkan Rosululloh Shololloohu ‘alaihi wassallam:
“Ingatlah dan berwasiatlah kepada wanita dengan kebaikan, karena mereka berada disisimu bagaikan pelayan, dan kalian tidak bisa memiliki lebih dari itu kecuali mereka telah melakukan perbuatan keji yang jelas.”(Shohih, diriwayatkan Tirmidzi dalam Sunan-nya: 1163 dan Ibnu Majah dalam Sunan-nya: 1851)
3. Kewajiban non materi seorang suami meliputi menggembirakan isteri dan bersikap lemah lembut dalam bertutur kata. Sang suami harus bermusyawarah dan mengambil pendapat sang isteri dalam rangka menunaikan kebaikan. Begitu juga, sang suami harus berterima kasih atas jerih payah isterinya, dan tidak boleh mendiamkan di atas tiga hari karena urusan keduniaan.
4. Hendaknya seorang suami memberi kesempatan bagi isterinya untuk beramal sholih, bersedekah dengan hartanya, memberi hadiah, menyambut tamu dari keluarga dan kerabatnya, serta setiap orang yang mempunyai hak atasnya.
5. Hendaknya mengambil waktu yang cukup untuk tinggal di rumah dan berusaha semaksimal mungkin menghindari keluar rumah tanpa tujuan dan sering berpergian, sering keluar rumah untuk bergadang tanpa manfaat, karena yang demikian itu bisa membawa kehancuran.
6. Hendaknya sang suami tidak melarang isterinya berkunjung kepada keluarga dan kerabatnya, asal tidak berlebihan.
7. Wanita dalah mahluk yang lemah, maka wajib bagi laki-laki memberi perhatian cukup, melarangnya keluar ke pasar dan lainnya seorang diri, dan harus menjauhkannya dari tempat yang ikhtilath (bercampur) dan kholwah (berduaan/menyepi) dengan laki-laki lain. Begitu juga seorang suami harus menjauhkan sasuatu yang merusak aqidah dan akhlaq keluarganya, dan menyingkirkan segala sarana maksiat yang menghancurkan kehormatan, seperti alat musik.
8. Seorang suami harus mengajarkan kepada isterinya ilmu agama dan mendidiknya di atas kebaikan, serta menyiapkan segala kebutuhannya dalam rangka meraih ilmu dan istiqomah dalam beragama sesuai dengan ajaran Alloh
Kewajiban Seorang Isteri
Di antara Kewajiban sebagai Seorang Isteri yang paling utama dan prinsip, antara lain:
1. Mentaati dan mematuhi perintah suami selagi tidak menganjurkan maksiat kepada Alloh, karena tidak ada ketaatan kepada mahluk bila menganjurkan kepada maksiat dan pelanggaran kepada Alloh, seperti sabda Rosululloh Shololloohu ‘alaihi wassallam:
“Tidak ada ketaatan bagi orang yang bermaksiat kepada Allah Subahanahu wa Ta’ala”. (Shahih. Diriwayatkan Muslim dalam Shahih-nya: 4840, at-Tirmidzi dalam Sunan-nya: 1707 dan Ibnu Majah dalam Sunan-nya: 2865 dengan lafazh Ibnu Majah serta dishahihkan Syaikh al-Albani.)
2. Dalam bidang materi, seorang isteri harus memberikan pelayanan fisik, baik yang berkaitan dengan kebutuhan pribadi suami atau rumah tangganya, sehingga ibadah nafilah (sunnah) menjadi gugur demi menunaikan tugas tersebut.
Dari Abu Hurairoh sesungguhnya Rosululloh Shololloohu ‘alaihi wassallam: bersabda:
“Tidak boleh bagi seorang isteri berpuasa (sunnat) sementara suami ada di rumah kecuali atas izinnya (suami), tidak boleh ia mengizinkan orang lain masuk rumahnya kecuali atas izinnya (suami), dan setiap harta suami yang diinfaqkan sang isteri tanpa seizinnya, maka sang suami mendapatkan pahala separuh baginya.” (Shohih, diriwayatkan Imam Bukhari dalam Shahih-nya: 2066 dan 5360, Imam Muslim dalam Shahih-nya: 2367 dan Abu Dawud dalam Sunan-nya: 1687, 2458).
3. Dalam bidang rohani, seorang isteri harus menjaga perasaan suami dan menciptakan suasana tenang dan kondusif dalam rumah tangga serta membantu meringankan beban dan penderitaan yang menimpa suaminya.
4. Dalam bidang kesejahteraan, seorang isteri harus mengingatkan suami tentang kebaikan, membantu dalam kebajikan dan ketaatan, membantu dalam bidang sosial, menyantuni fakir miskin dan membantu orang-orang yang lemah untuk memenuhi kebutuhan mereka.
5. Dalam bidang pendidikan, seorang isteri harus membantu suami dengan jiwa raga dan menerima segala nasehat dan arahannya. Begitu juga dia harus membantunya dalam mendidik dan meluruskan adab anak-anak serta menghindarkan sikap antipati dan masa bodoh terhadap masa depan pendidikan anak-anak.
6. Hendaklah seorang isteri tidak mengajukan tuntutan nafkah atau lainnya yang memberatkan suami atau mempersulit suami.
7. Tidak berkhianat dalam dirinya, harta benda suami dan rahasia-rahasianya.
Balasan Bagi Rumah Tangga yang Berhasil
Tiada amal sholih yang dianggap sia-sia oleh agama. Setiap kebaikan sekecil apapun pasti mendapat balasan. Setiap benih kebaikan yang disemai di ladang subur, pada musim panen pasti akan memetik hasilnya, maka suami dan isteri yang telah membina rumah tangga yang baik dan mengerahkan berbagai macam pengorbanan untuk mendidik keluarga. Alloh akan memberi balasan yang besar. Cukuplah balasan nikmat baginya berupa sanjungan, pujian, dan pahala yang besar setelah wafatnya, seperti yang telah ditegaskan sebuah hadits dari Abu Hurairoh Rodhiyalloohu ‘anhu ia berkata bahwa Rosululloh Shololloohu ‘alaihi wassallam bersabda:
Jika manusia meninggal maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara,: shodaqoh jariah, ilmu yang bermanfaat, dan anak sholih yang mendo’akannya.” (HR. Bukhori 7/247 no.6514, dan Muslim 3/1016 no.1631)
Balasan yang lebih besar lagi, ia dikumpulkan di surga bersama para kekasih dan kerabatnya dalam satu tempat tinggal di surga, sebagai karunia dan balasan yang baik dari Alloh, seperti firman Allohu ta’ala:
وَٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَٱتَّبَعَتۡہُمۡ ذُرِّيَّتُہُم بِإِيمَـٰنٍ أَلۡحَقۡنَا بِہِمۡ ذُرِّيَّتَہُمۡ وَمَآ أَلَتۡنَـٰهُم مِّنۡ عَمَلِهِم مِّن شَىۡءٍ۬‌ۚ كُلُّ ٱمۡرِىِٕۭ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ۬ (٢١)
Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka.Tiap-tiap manusia terikat dengan apayang dikerjakannya. (QS. 52:21)
Pembinaan rumah tangga secara baik, mampu mengangkat martabat, memperbaiki nasib rezeki, mengukir prestasi, memelihara moral generasi, dan menanggulangi dekadensi sehingga membuat hati tenang dan jiwa lapang. Maka pembinaan harus berbasis penumbuhan kesadaran, keimanan, ketaqwaan dan pengendalian diri, serta mampu membentuk suasana damai dan mesra sehingga perasaan kasih sayang tumbuh subur. Allohu musta’an

Tidak ada komentar:

Posting Komentar