Hak-Hak Istri atas Suami

Berikut ini adalah beberapa hak-hak isteri atas suami. Namun ketahuilah wahai para isteri yang shalihah, hendaknya engkau melupakan kekurangan suami dalam hal memenuhi hak-hak mereka. Kemudian hendaklah menutupi kekurangan suami tersebut dengan bersungguh-sungguh dalam mengabdikan diri untuk suami karena dengan demikian kehidupan rumah tangga yang harmonis akan dapat kekal dan abadi.
Karena dengan demikian kehidupan rumah tangga yang harmonis akan dapat kekal dan abadi."Dan hak-hak istri atas suaminya adalah:
1 Suami harus memperlakukan istri dengan cara yang ma’ruf karena Allah Ta’ala telah berfirman,
“Dan bergaullah dengan mereka secara patut.” [QS. An-Nisaa': 19]
Yaitu, dengan memberinya makan apabila ia juga makan dan memberinya pakaian apabila ia berpakaian. Mendidiknya jika takut ia akan durhaka dengan cara yang telah diperintahkan oleh Allah dalam mendidik istri, yaitu dengan cara menasihatinya dengan nasihat yang baik tanpa mencela dan menghina maupun menjelek-jelekannya. Apabila ia (istri) telah kembali taat, maka berhentilah, namun jika tidak, maka pisahlah ia di tempat tidur. Apabila ia masih tetap pada kedurhakaannya, maka pukullah ia pada selain muka dengan pukulan yang tidak melukai sebagaimana firman Allah:
“Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar.” [QS. An-Nisaa': 34]
Dan juga berdasarkan sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam tatkala ditanya apakah hak isteri atas suaminya? Beliau menjawab,
“Engkau memberinya makan jika engkau makan, engkau memberinya pakaian jika engkau berpakaian, janganlah memukul wajah dan janganlah menjelek-jelekkannya serta janganlah memisahkannya kecuali tetap dalam rumah.” [Shahih: Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1500), Sunan Abi Dawud (VI/180, no. 2128, Sunan Ibni Majah (I/593 no. 1850)]
Sesungguhnya sikap lemah lembut terhadap istri merupakan indikasi sempurnanya akhlak dan bertambahnya keimanan seorang mukmin, sebagaimana sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam,
“Orang mukmin yang paling sempurna imannya ialah yang paling bagus akhlaknya dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istrinya.” [Hasan Shahih: Shahiih Sunan at-Tirmidzi (no. 928), Sunan at-Tirmidzi (II/315 no. 1172)]
2 Suami harus bersabar dari celaan isteri serta mau memaafkan kekhilafan yang dilakukannya karena Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Janganlah seorang mukmin membenci mukminah. Apabila ia membencinya karena ada satu perangai yang buruk, pastilah ada perangai baik yang ia sukai.” [Muttafaq 'alaih: Shahiih al-Bukhari (IX/253 no. 5186), Shahiih Muslim (II/ 1091 no. 1468 (60)]
Sebagian ulama Salaf mengatakan, “Ketahuilah bahwasanya tidak disebut akhlak yang baik terhadap isteri hanya dengan menahan diri dari menyakitinya namun dengan bersabar dari celaan dan kemarahannya.”
3 Suami harus menjaga dan memelihara isteri dari segala sesuatu yang dapat merusak dan mencemarkan kehormatannya, yaitu dengan melarangnya dari bepergian jauh (kecuali dengan suami atau mahramnya). Melarangnya berhias (kecuali untuk suami) serta mencegahnya agar tidak berikhtilath (bercampur baur) dengan para lelaki yang bukan mahram.
Suami berkewajiban untuk menjaga dan memeliharanya dengan sepenuh hati. Ia tidak boleh membiarkan akhlak dan agama isteri rusak. Ia tidak boleh memberi kesempatan baginya untuk meninggalkan perintah-perintah Allah ataupun bermaksiat kepada-Nya karena ia adalah seorang pemimpin (dalam keluarga) yang akan dimintai pertanggungjawaban tentang isterinya, Ia adalah orang yang diberi kepercayaan untuk menjaga dan memeliharanya.
4 Suami harus mengajari isteri tentang perkara-perkara penting dalam masalah agama atau memberinya izin untuk menghadiri majelis-majelis taklim. Karena sesungguhnya kebutuhan dia untuk memperbaiki agama dan mensucikan jiwanya tidaklah lebih kecil dari kebutuhan makan dan minum yang juga harus diberikan kepadanya.
5 Suami harus memerintahkan isterinya untuk mendirikan agamanya serta menjaga shalatnya, berdasarkan firman Allah Ta’ala,
“Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” [QS. Thahaa: 132]
6 Suami mau mengizinkan isterinya keluar rumah untuk keperluannya, seperti jika ia ingin shalat berjama’ah di masjid atau ingin mengunjungi keluarga, namun dengan syarat menyuruhnya tetap memakai hijab busana muslimah dan melarangnya untuk tidak bertabarruj atau sufur. Sebagaimana ia juga harus melarang isteri agar tidak memakai wangi-wangian serta memperingatkannya agar tidak ikhtilath dan bersalam-salaman dengan laki-laki yang bukan mahram, melarangnya menonton telivisi dan mendengarkan musik serta nyanyian-nyanyian yang diharamkan.
7 Suami isteri tidak boleh menyebarkan rahasia dan menyebutkan kejelekan-kejelekan isteri di depan orang lain. Karena suami adalah orang yang dipercaya untuk menjaga isterinya dan dituntut untuk dapat memeliharanya. Di antara rahasia suami isteri adalah rahasia yang mereka lakukan di atas ranjang. Rasulullah shalalallahu ‘alaihi wasallam melarang keras agar tidak mengumbar rahasia tersebut di depan umum.
8 Suami mau bermusyawarah dengan isteri dalam setiap permasalahan, terlebih lagi dalam perkara-perkara yang berhubungan dengan mereka berdua, anak-anak, sebagaimana apa yang telah dicontohkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Beliau selalu bermusyawarah dengan para isterinya dan mau mengambil pendapat mereka.
9 Suami harus segera pulang ke ruamh isteri setelah shalat ‘Isya. Janganlah ia begadang di luar rumah sampai larut malam. Karena hal itu akan membuat hati isteri menjadi gelisah. Apabila hal itu berlangsung lama dan sering berlang-ulang, maka akan terlintas dalam benak isteri rasa waswas dan keraguan. Bahkan di antara hak isteri atas suami adalah untuk tidak begadang malam di dalam rumah namun jauh dari isteri walaupun untuk melakukan shalat sebelum dia menunaikan hak isterinya.
10 Suami harus dapat berlaku adil terhadap para isterinya jika ia mempunyai lebih dari satu isteri. Yaitu berbuat adil dalam hal makan, minum, dan pakaian, tempat tinggal dan dalam hal tidur seranjang. Ia tidak boleh sewenang-wenang atau berbuat zhalim karena sesungguhnya Allah Ta’ala melarang yang demikian.
Sumber: ‘Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz’ edisi Bahasa Indonesia ‘Panduan Fiqih Lengkap Jilid 2′ karya ‘Abdul ‘Azhim bin Badawi al-Khalafi, Pustaka Ibnu Katsir
Hak-Hak Suami Atas Isteri
Wahai isteri yang shalihah, ini adalah hak-hak suami atasmu. Bersungguh-sungguhlah dalam menunaikan hak-hak tersebut dan lupakanlah jika suamimu kurang dapat memenuhi hak-hakmu karena sesungguhnya yang demikian itu akan dapat melanggengkan cinta dan kasih sayang di antara kalian, dapat memelihara keharmonisan rumah tangga sehingga dengannya masyarakat akan menjadi baik pula.
“Apabila seorang wanita mau menunaikan shalat lima waktu, berpuasa di bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya, dan taat terhadap suaminya, maka akan dikatakan kepadanya (di akhirat), ‘Masuklah ke Surga dari pintu mana saja yang engkau kehendaki.” [Shahih: Shahiih al-Jaami'ish Shaghiir (no. 660), Ahmad (XVI/228, no. 250)]
Maka kewajibanmu sebagai seorang isteri, wahai para wanita shalihah, adalah untuk selalu mendengar dan taat terhadap setiap perintah suami selama tidak menyelisihi syari’at. Akan tetapi berhati-hatilah, jangan sampai engkau berlebih-lebihan dalam mentaati perintah suami sehingga mau mentaatinya dalam kemaksiatan. Karena sesungguhnya jika melakukan hal tersebut, maka engkau telah berdosa.
2 Di antara hak suami atas isteri, seorang isteri harus menjaga kehormatan dan memelihara kemuliaannya serta mengurusi harta, anak-anak, dan segala hal yang berhubungan dengan pekerjaan rumah, sebagaimana firman Allah Ta’ala,
“Sebab itu, maka wanita yang shalih, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka).” [QS. An-Nisaa': 34]
Dan sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam,
“Dan seorang isteri adalah pemimpin di dalam rumah suaminya dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya.” [Muttafaq 'alaih: Shahiih al-Bukhari (II/380 no. 893), Shahiih Muslim (III/1459 no. 1829)]
3 Berhias dan memperindah diri untuk suami, selalu senyum dan jangan bermuka masam di depannya. Jangan sampai menampakkan keadaan yang tidak ia sukai. Ath-Thabrani telah mengeluarkan sebuah hadits dari ‘Abdullah bin Salam radhiyallahu’anhu, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Sebaik-baik isteri ialah yang engkau senang jika melihatnya, taat jika engkau perintah dan menjaga dirinya dan hartamu di saat engkau pergi.”[Shahiih: Shahiih al-Jaami'ish Shaghiir (no. 3299)]
Janganlah engkau sekali-kali menampakkan perhiasan pada orang yang tidak boleh melihatnya, karena hal itu adalah merupakan perkara yang diharamkan.
4 Isteri harus selalu berada di dalam rumahnya dan tidak keluar meskipun untuk pergi ke masjid kecuali atas izin suami. Allah berfirman,
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu.” [QS. Al-Ahzaab: 33]
5 Janganlah seorang isteri memasukkan orang lain ke dalam rumah kecuali atas izinnya. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Hak kalian atas para isteri adalah agar mereka tidak memasukkan ke dalam kamar tidur kalian orang yang tidak kalian sukai dan agar mereka tidak mengizinkan masuk ke dalam rumah kalian bagi orang yang tidak kalian sukai.” [Hasan: Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1501), Sunan at-Tirmidzi (II/315 no. 1173), Sunan Ibni Majah (I/594 no. 1851)]
6 Isteri harus menjaga harta suami dan tidak menginfaqkannya kecuali dengan izinnya. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Janganlah seorang isteri menginfaqkan sesuatu pun dari harta suaminya kecuali atas izinnya.” Kemudian ada yang bertanya, “tidak juga makanan?” Beliau menjawab, “bahkan makanan adalah harta yang paling berharga.” [Hasan : Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1859), Sunan at-Tirmidzi (III/293 no. 2203), Sunan Abi Dawud (IX/478 no. 3548), Sunan Ibni Majah (II/770 no. 2295)]
Bahkan di antara hak suami atas isteri adalah agar ia tidak menginfaqkan harta miliknya jika ia mempunyai harta kecuali jika sang suami mengizinkannya karena dalam sebuah hadist yang lain Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Janganlah seorang isteri menggunakan sesuatu pun dari hartanya kecuali dengan izin suaminya.” [Dikeluarkan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 775), beliau berkata, "Telah dikeluarkan oleh Tamam dalam al-Fawaa-id (II/182 no. 10) dari jalan 'Anbasah bin Sa'id dari Hammad, maula (budak yang dibebaskan). Bani Umayyah dari Janaah maula al-Walid dari Watsilah, ia berkata, "Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam bersabda, kemudian ia menyebutkan hadits tersebut." Beliau (al-Albani) berkata, "Sanad hadits ini lemah, akan tetapi ada beberapa riwayat penguat yang menunjukkan bahwa hadits ini adalah tsabit."]
7 Janganlah seorang isteri melakukan puasa sunnah sedangkan suami berada di rumah kecuali dengan izinnya, sebagaimana sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam yang berbunyi,
“Tidak boleh bagi isteri melakukan puasa (sunnah) sedangkan suaminya ada kecuali dengan izinnya.” [Mutaffaq 'alaih: Shahiih al-Bukhari (IX/295 no. 5195), Shahiih Muslim (no. 1026)]
8 Janganlah seorang isteri mengungkit-ungkit apa yang pernah ia berikan dari hartanya untuk suami maupun keluarga karena menyebut-nyebut pemberian akan dapat membatalkan pahala. Allah Ta’ala berfirman,
“Hai orang-orang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti perasaan (si penerima).” [QS. Al-Baqarah: 264]
9 Isteri harus ridha dan menerima apa adanya, janganlah ia membebani suami dengan sesuatu yang ia tidak mampu. Allah Ta’ala berfirman,
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rizkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” [QS. Ath-Thalaq: 7]
10 Isteri harus bersungguh-sungguh mendidik anak-anaknya dengan kesabaran. Janganlah ia marah kepada mereka di depan suami dan jangan memanggil mereka dengan kejelekan maupun mencaci-maki mereka karena yang demikian itu akan dapat menyakiti hati suami.
11 Isteri harus dapat berbuat baik kepada kedua orang tua dan kerabat suami karena sesungguhnya isteri tidak dianggap berbuat baik kepada suami jika ia memperlakukan orang tua dan kerabatnya dengan kejelekan.
12 Janganlah isteri menolak jika suami mengajaknya melakukan hubungan intim karena Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Apabila seorang suami mengajak isterinya ke tempat tidur, tapi ia menolak untuk datang lalu sang suami marah sepanjang malam maka para Malaikat melaknatnya (sang isteri) hingga datang waktu pagi.” [Muttafaq 'alaih: Shahiih al-Bukhari (IX/294 no. 5194), Shahiih Muslim (II/1060 no. 1436), Sunan Abu Dawud (VI/179 no. 2127)]
Dan di dalam hadits yang lain beliau shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Apabila seorang suami mengajak isterinya untuk berhubungan intim, maka hendaknya sang isteri melayaninya meskipun ia sedang berada di atas unta.” [Shahih: Shahiih al-Jaami' as-Shaghiir 534, Sunan at-Tirmidzi (II/314 no. 1160)]
13 Isteri harus dapat menjaga rahasia suami dan rahasia rumah tangga, janganlah sekali-kali ia menyebarluaskannya. Dan di antara rahasia yang paling yang sering diremehkan oleh para isteri sehingga ia menyebarluaskannya kepada orang lain, yaitu rahasia yang terjadi di ranjang suami isteri. Sungguh Rasulullah shalallahu ‘alaihi telah melarang hal demikian.
14 Isteri harus selalu bersungguh-sungguh dalam menjaga keberlangsungan kehidupan rumah tangga bersama suaminya, janganlah ia meminta cerai tanpa ada alasan yang disyari’atkan. Dari Tsauban radhiyallahu’anhu, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Isteri mana saja yang minta cerai dari suaminya tanpa adanya alasan, maka ia tidak akan mencium bau wanginya Surga.” [Shahih: Irwaa-ul Ghaliil (no. 2035), Sunan at-Tirmidzi (II/329 no. 1199), Sunan Abi Dawud (VI/308 no. 2209), Sunan Ibni Majah (I/662 no. 2055)]
Dan dalam hadits yang lain beliau shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Para isteri yang minta cerai adalah orang-orang yang munafik.” [Shahih: Shahiih al-Jaamii'ish Shaghiir (no. 6681), Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 632), Sunan Tirmidzi (II/329 no. 1198)]
7 Macam Obat yang Seharusnya Tidak Diberikan pada Bayi dan Anak-anak
Bayi dan anak-anak lebih banyak menghadapi risiko tinggi terhadap reaksi obat, sehingga memberikan obat baik melalui resep maupun obat-obatan bebas pada bayi adalah suatu hal yang harus disikapi dengan serius. (Bahkan, hingga bayi Anda menginjak usia 6 bulan, lakukan konsultasi pada dokter sebelum Anda memberikan obat-obatan apapun, selain asetaminofen dengan dosis khusus untuk bayi, yang boleh diberikan begitu bayi Anda berusia lebih dari tiga bulan.
Berikut ini adalah 7 jenis obat-obatan yang tidak boleh diberikan pada bayi dan anak-anak:
Aspirin
Jangan pernah memberikan aspirin atau obat-obatan lain yang mengandung aspirin pada bayi anda. Aspirin dapat membuat bayi rawan terkena Reye’s syndrome – sebuah sindroma yang jarang terjadi namun dapat menyebabkan terjadinya penyakit yang fatal. Jangan menganggap bahwa obat-obatan untuk anak-anak yang Anda temukan di apotek sudah bebas dari aspirin. Aspirin seringkali juga di sebut sebagai “salisilat” atau “acetylsalicylic acid.” Bacalah label obat dengan baik, dan ajukan pertanyaan pada dokter atau apoteker bila Anda tidak yakin apakah suatu produk bebas dari kandungan aspirin.
Jangan pernah memberikan aspirin atau obat-obatan lain yang mengandung aspirin pada bayi anda. Aspirin dapat membuat bayi rawan terkena Reye’s syndrome – sebuah sindroma yang jarang terjadi namun dapat menyebabkan terjadinya penyakit yang fatal. Jangan menganggap bahwa obat-obatan untuk anak-anak yang Anda temukan di apotek sudah bebas dari aspirin. Aspirin seringkali juga di sebut sebagai “salisilat” atau “acetylsalicylic acid.” Bacalah label obat dengan baik, dan ajukan pertanyaan pada dokter atau apoteker bila Anda tidak yakin apakah suatu produk bebas dari kandungan aspirin.
Obat Anti Mual
Jangan pernah memberikan obat anti mual (baik yang diresepkan maupun yang dijual secara bebas) pada bayi Anda kecuali dokter memberikan rekomendasi secara khusus. Kebanyakan gejala mual dan muntah pada anak tidak berlangsung lama, pada anak-anak dan bayi gejalan tersebut dapat ditangani tanpa obat-obatan tertentu. Sebagai tambahan, obat anti mual juga memiliki risijo dan dapat menyebabkan terjadinya komplikasi. (Bila bayi Anda muntah-muntah dan mulai mengalami dehidrasi, segera hubungi dokter Anda untuk minta nasihat apa yang harus Anda lakukan.)
Memberikan obat yang diperuntukkan untuk orang dewasa dalam dosis yang lebih kecil adalah tindakan yang berbahaya. Bila dalam label obat tersebut tidak menunjukkan adanya dosis yang tepat untuk bayi seukuran anak Anda, jangan berikan obat tersebut pada bayi Anda.
Obat-obatan Apapun yang Diberikan Untuk Orang Lain Atau Untuk Alasan yang Berbeda
Obat-obatan dengan resep yang ditujukan untuk orang lain (seperti saudara kandung) atau untuk merawat penyakit yang berbeda akan tidak efektif atau bahkan berbahaya bila diberikan untuk bayi Anda. Berikan pada bayi Anda hanya obat-obatan yang memagn diresepkan untuk dirinya dalam kondisi yang spesifik.
Obat yang Sudah Kedaluarsa
Buang semua obat, baik obat resep maupun obat bebas sejenis, begitu obat-obatan tersebut kedaluarsa. Selain itu, buang juga obat-obat yang sudah berubah warna atau yang tabletnya sudah hancur—intinya buat semua obat-obatnya yang bentuknya sudah berubah sejak Anda membelinya. Setelah tanggal penggunaannya habis, obat-obat tersebut tidak lagi efektif dan dapat menjadi sangat berbahaya. Jangan buang obat-obatan lawas di lubang toilet, karena obat-obatan tersebut akan mengontaminasi air tanah dan pada akhirnya akan memengaruhi persediaan air minum Anda. Sebaiknya, bungkus dalam kotak atau tempat yang tidak dapat dibuka oleh anak-anak dan buang ke tempat sampah.
Dosis Asetaminofen Tambahan
Banyak obat-obat batuk dan pilek yang dijual secara bebas mengandung asetaminofen untuk membantu mengurangi demam dan rasa sakit, jadi hati-hatilah untuk tidak memberikan dosis asetaminofen tambahan pada bayi Anda. Bila Anda tidak yakin apa kandungan yang terdapat pada obat batuk dan pilek tertentu, tanyakan pada apoteker atau pada dokter anak Anda. Bila anak Anda telah meminum obat yang diresepkan oleh dokter, tanyakan dulu pada dokter anak Anda atau apoteker sebelum anda memberikan asetaminofen atau ibuprofen, untuk memastikan dosis tambahan tersebut boleh diberikan.
Obat yang Dapat Dikunyah
Tablet yang dapat dikunyah dapat menyebabkan bayi menghadapi bahaya tersedak. Bila bayi Anda telah makan makanan padat dan Anda ingin menggunakan tablet yang dapat dikunyah, sebaiknya Anda gerus dulu obat tersebut, lalu letakkan dalam sendok yang berisi makanan yang lembek, seperti yogurt atau saus apel. (Tentu saja, Anda harus memastikan bayi Anda memakan habis suapan dari sendok tersebut agar dosis yang diberikan bisa tepat).
Catatan Khusus
Dua jenis obat-obatan berikut ini tidaklah 100 persen dilarang, namun Anda harus berhati-hati dalam menimbang apakah Anda mau memberikan obat-obatan jenis ini pada bayi Anda.
Obat-obatan Herbal
Banyak obat-obat herbal (jamu) yang ringan dan aman, namun hanya karena obat-obatan ini terbuat dari sesuatu yang alami, atau dibuat dari tumbuh-tumbuhan, jangan menganggap bahwa obat-obatan jenis ini aman untuk bayi Anda. Produk-produk herbal dapat menyebabkan terjadinya reaksi alergi, kerusakan pada hati, dan meningkatnya tekanan darah. Dalam dosis tertentu, dan/atau bila dikombinasikan dengan obat-obatan yang salah, pemberian obat-obatan jenis ini dapat berakibat fatal. Konsultasikan dengan dokter anak Anda atau praktisi pengobatan alternatif yang Anda percaya sebelum memberikan obat-obatan herbal pada bayi Anda. Dan selalu beritahukan pada dokter Anda obat-obatan herbal apa yang dikonsumsi oleh bayi Anda sebelum ia memberikan resep obat.
Obat Batuk dan Pilek yang Dijual Bebas
Batuk akan membantu untuk membersihkan paru-paru bayi Anda, sehingga pemberian obat penekan batuk adalah sesuatu yang tdiak bermanfaat. Obat batuk dan pilek, termasuk juga dekongestan, tidak akan menyembuhkan bayi Anda. Yang dapat dilakukan oleh obat-obat tersebut hanyalah meredakan gejala yang mereka alami secara temporer. Dan obat-obatan tersebut mungkin dapat menyebabkan terjadinya efek samping yang tidak diinginkan, seperti gelisah dan mengantuk. Beberapa produk seperti ini juga cenderung tidak efektif, atau bahkan menyebabkan gejala awal yang telah terjadi malah semakin parah. Jadi bila bayi Anda tengah menderita selesma, pertama coba dulu pilihan-pilihan lain, seperti melembabkan ruangan dan memberikan lebih banyak ciaran. Lalu cobalah untuk berkonsultasi dengan dokter Anda sebelum Anda menyambar obat batuk atau pilek yang dijual secara bebas.
Empati adalah wujud pemahaman anak terhadap apa yang dirasakan orang lain.
Aku dan Sebuah Realita dari Wanita yang Dihalangi untuk Menikah
Terlalu banyak realita yang telah ku lihat, berita yang telah ku dengar, sebuah kesedihan yang mendalam, sebuah kesengsaraan dalam hidup yang justru dilakukan oleh orang-orang yang mencintainnya. Dilatarbelakangi karena jauhnya dari ilmu syar’i, dibungkus dengan hawa nafsu dan dipoles dengan pola pikir yang keliru akhirnya berujung pada menyengsarakan orang-orang yang dicintainya bahkan buah hatinya sendiri tanpa disadari. Sepenggal cerita dibawah ini, semoga mewakili dari sekian banyak orang yang mengalaminya.
Sebuah kisah dari pertimbangan orang tua yang salah yang berujung pada kesengsaraan anaknya. Sehingga kehilangan kesempatan untuk menikah dengan laki-laki sholeh pilihannya.
Ada seorang gadis belia yang sangat cantik, sehingga banyak pemuda yang tergila-gila padanya. Akan tetapi setiap ada orang yang mau melamarnya, orang tuanya terlalu banyak harapan atau bahkan meremehkan, sehingga sang gadis semakin angkuh dan merasa tidak ada laki-laki yang pantas untuk menjadi pendamping hidupnya. Keluarganya memiliki harapan yang berlebihan dan sang gadis pun selalu pilih-pilih. Mereka tidak sadar bahwa hal itu menghambat setiap orang yang hendak melamarnya.
Tanpa terasa waktu terus berjalan sangat cepat. Lambat laun putrinya menjadi perawan tua. Di lain pihak, para pemuda tidak berani mendekat.
Tahun demi tahun berlalu. umur terus bertambah. Akan tetapi lelaki yang diharapkan tak kunjung datang. Maka, orang tuanya pun menjadi sasaran kekecewaannya karena dianggap tidak memberikan pertimbangan dan arahan yang baik. Akhirnya dia terpaksa menikah dengan laki-laki yang sudah lanjut usia yang bertubuh lemah. Merekapun tidak diberi keturunan.
Belum pernahkan kalian mendengar seorang anak perempuan yang melaknat ayah kandungnya sendiri, dikarenakan ayahnya melarangnya untuk menikah, memiliki keturunan yang baik – baik dan menjaga kemaluannya dengan menikah. Berbagai alasan dikemukakan sang ayah, mulai dari alasan fisik sang laki-laki yang ingin menikahi, alasan status sosial dan alasan lainnya. Sampai akhirnya anak perempuannya tersebut semakin tua dan tidak menikah.
Menjelang ajalnya, sang ayah meminta anak perempuannya untuk memaafkannya, namun sang anak mengatakan “Aku tidak mau memaafkan ayah yang telah membuatku menderita dan menyesal. Ayah yang telah menghalangiku dari hakku dalam hidup ini. Untuk apa aku menggantungkan segudang ijazah dan sertifikat di dinding rumah yang tidak akan pernah dilalui seorang bocah pun? Untuk apa ijazah dan gelar menemani tidurku dipembaringan, sementara aku tidak menyusui seorang bayipun dan tidak mendekapnya dipelukkanku. Aku tidak bisa berbagi cerita kepada laki-laki yang aku cintai dan sayangi, yang mencintai dan menyayangiku dan cintanya tidak seperti cinta ayah. Pergilah dan sampai bertemu pada hari kiamat nanti. Dihadapan Dzat Yang Maha Adil dan tidak pernah mendzalimi. Dzat yang memutus segala perkara. Dan Dzat yang tidak merampas hak seorangpun! Aku tidak akan pernah rela kepada ayah hingga tiba masa pertemuaan dihadapan Yang Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui.”
Sebuah akhir yang memilukan.
Seorang anak perempuan yang dihalangi ayahnya untuk menikah karena ayahnya menolak ta’addud (poligami), setiap kali datang kepadanya laki-laki yang ingin meminang putrinya, ia menolaknya, sampai putrinya berumur 40 tahun. Kemudian, putrinya ditimpa penyakit kejiwaan akibat sikapnya itu dan penyakitnya kian bertambah parah sehingga dirawat dirumah sakit. Ketika menjelang wafat, ayahnya mengunjunginya. Dia berkata kepada ayahnya, “ Mendekatlah kepadaku, mendekatlah,” ia berkata lagi, “kemarilah lebih mendekat.” Ayahnya mendekat. Kemudian, ia berkata kepada ayahnya, “katakan amin”, ayahnya berkata “amin”, Kemudian untuk kedua kalinya ia berkata, “katakan amin”, ayahnya berkata “amin”, Lalu ia berkata kepada ayahnya, “semoga Allah menghalangimu dari surga sebagaimana kamu telah menghalangiku dari menikah dan mendapatkan anak.” Setalah itu ia wafat
Tak bisa ku bayangkan kesedihan dan penderitaan mereka, yang membuat hati ini pilu jika mendengar, melihat kisah dan kehidupan mereka.
Tak tahu apa yang harus ku ketik pada kertas ini kecuali sebuah ayat yang semoga meyadarkan kita semua terutama para wali dari para wanita yang berada dibawah kewaliannya.
وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلا تَعْضُلُوهُنَّ أَنْ يَنكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ إِذَا تَرَاضَوْا بَيْنَهُمْ بِالمَعْرُوفِ ذَلِكَ يُوعَظُ بِهِ مَنْ كَانَ مِنْكُمْ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكُمْ أَزْكَى لَكُمْ وَأَطْهَرُ وَاللهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ
“ Apabila kamu mentalak (mencerai) isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka menikah lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan diantara mereka dengan cara yang ma’ruf. Itulah yang dinasihatkan kepada orang-orang yang beriman diantara kamu kepada Allah dan hari kemudian. Itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Qs. Al Baqarah : 232)
Sebuah ayat yang menjelaskan kepada kita semua, tentang tidak bolehnya seorang wali menghalang – halangi untuk menikahkan orang yang berada dibawah kewaliannya, jika mereka telah saling ridho tanpa alasan yang dibenarkan oleh syariat islam. Dari mulai alasan calon suaminya belum mapan, atau alasan agar putrinya menyelesaikan studinya dulu atau meniti karirnya dulu, atau karena alasan adat dan uang atau karena alasan mahar sampai pada alasan tidak mau putrinya dipoligami.
Berkata Asy Syaikh Abdurrahman As Sa’di Rahimahullah : “ Pembicaraan ayat ini kepada para waIi dari perempuan yang dicerai dengan perceraian yang bukan perceraian yang ketiga apabila telah habis masa iddah. Dan mantan suaminya menginginkan untuk menikahinya kembali dan perempuannya ridho dengan hal itu. Maka tidak boleh walinya melarang untuk menikahkannya karena marah atas laki-laki tersebut, atau tidak suka dengan perbuatannya karena perceraian yang pertama” (Taisirul Karimir Rahman, pada ayat ini)
Berkata Ibnu Katsier Rahimahullah: ( ذَلِكَ يُوعَظُ بِهِ مَنْ كَانَ مِنْكُمْ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ : Itulah yang dinasihatkan kepada orang-orang yang beriman diantara kamu kepada Allah dan hari kemudian ) Maksudnya inilah yang Kami (Allah) larang, yaitu tindakan para wali yang menghalangi pernikahan wanita dengan calon suaminya, jika masing-masing dari keduanya sudah saling meridhai dengan cara yang ma’ruf, hendaknya ditaati, diperhatikan dan diikuti” (Tafsir Ibnu Katsier pada ayat ini)
Ku hanya ingin mengatakan kepada para wali bertakwalah kepada Allah, takutlah kalian kepada Allah atas perbuatan kalian dari menghalangi untuk menikahkan wanita – wanita yang berada dibawah kewalian kalian tanpa alasan yang dibenarkan dalam agama ini. Karena hal itu adalah sebuah tindakan kedzaliman atas mereka.
Apakah kalian rela mempertaruhkan kebahagian putri-putri kalian hanya karena uang, studi disekolah – sekolah ikhtilat, karir, adat atau perkara lainnya sehingga menghalangi putri-putri kalian menikah dengan laki-laki sholeh pilihannya.
Menumbuhkan Empati pada Anak
Empati adalah wujud pemahaman anak terhadap apa yang dirasakan orang lain.
Para psikolog berpendapat, pada dasarnya setiap anak sudah memiliki kepekaan (empati) pada dirinya. Persoalannya tergantung bagaimana cara orang tua mengasahnya sehingga empati itu bisa menjadi bagian dari karakter dan kepribadian anak.
Allah pun telah mendidik umat Islam untuk memiliki sifat empati. Dalam Al-Qur’an ada banyak ayat yang berbicara masalah empati ini, salah satunya adalah surah Al-Ma’un.
Kiat menumbuhkan empati pada anak:
1.
Peka terhadap Perasaan Orang Lain.
Orang tua harus sering berbicara pada anak mereka tentang berbagai macam perasaan yang sedang dihadapi orang lain. Katakan sesering mungkin dengan bahasa yang benar.
Orang tua harus sering berbicara pada anak mereka tentang berbagai macam perasaan yang sedang dihadapi orang lain. Katakan sesering mungkin dengan bahasa yang benar.
Contoh:
Ketika di perempatan jalan melihat seorang anak jalanan sedang kepanasan, katakanlah, “Ya Allah! Kasihan anak itu kepanasan. Dia seusiamu loh. Tapi sudah harus mencari uang sendiri dengan menjual koran.”
Selain itu, sebutlah jenis perasaan yang sedang dialami anak lain.
Contoh:
Katakanlah, “Lihat, adikmu sedih sekali karena es krimnya jatuh.”
2.
Membayangkan Seandainya Dia adalah Aku.
Ajaklah anak untuk membayangkan seandainya dirinya yang sedang mengalami penderitaan seperti yang ia lihat. Rangkailah kalimat yang bisa menggugah perasaan anak sehingga dia bisa membayangkan hal itu dengan mudah.
Ajaklah anak untuk membayangkan seandainya dirinya yang sedang mengalami penderitaan seperti yang ia lihat. Rangkailah kalimat yang bisa menggugah perasaan anak sehingga dia bisa membayangkan hal itu dengan mudah.
Contoh:
“Nak, lihat betapa anak itu memandang permenmu tanpa berkedip! Kasihan, dia tak punya uang untuk beli permen. Kemarin kamu menangis minta dibelikan coklat seperti yang dimakan adik.”
3.
Berlatih Mengorbankan Milik Sendiri.
Melatih anak untuk terbiasa memberikan sesuatu dari barangnya sendiri kepada orang lain memang perlu dilakukan. Dari pada bersedekah menggunakan uang dari tas ibu, lebih baik beri anak yang saku yang lebih banyak, dengan catatan harus disisihkan beberapa persen untuk amal. Sehingga, mereka telah beramal dengan uang mereka sendiri. Begitu juga bila mereka mendapatkan uang saku tambahan dari orang lain.
Melatih anak untuk terbiasa memberikan sesuatu dari barangnya sendiri kepada orang lain memang perlu dilakukan. Dari pada bersedekah menggunakan uang dari tas ibu, lebih baik beri anak yang saku yang lebih banyak, dengan catatan harus disisihkan beberapa persen untuk amal. Sehingga, mereka telah beramal dengan uang mereka sendiri. Begitu juga bila mereka mendapatkan uang saku tambahan dari orang lain.
4.
Membahagiakan Orang Lain.
Ketika anak mulai bisa menyisihkan sebahagian miliknya orang lian, lengkapi peristiwa itu dengan hasil akhir yang baik. Yaitu menunjukkan kepada mereka akibat dari perbuatannya itu. Tunjukkan bahwa perbuatannya dapat membahagiakan orang lain.
Ketika anak mulai bisa menyisihkan sebahagian miliknya orang lian, lengkapi peristiwa itu dengan hasil akhir yang baik. Yaitu menunjukkan kepada mereka akibat dari perbuatannya itu. Tunjukkan bahwa perbuatannya dapat membahagiakan orang lain.
Contoh:
Ibu dapat katakan, “Pengemis itu pasti senang dengan seribu rupiah pemberianmu. Dia bisa beli makan siang nanti.”
Beri anak kesempatan untuk menikmati kebahagiaan dari upayanya berbuat sesuatu yang bisa membahagiakan orang lain. Dengan cara ini, akan tumbuh kepercayaan diri mereka untuk terbiasa membahagiakan orang lain, dalam bentuk yang lebih luas.
Hal-hal yang perlu dilakukan oleh orang tua adalah: memberikan keteladanan; jangan terlalu membatasi pergaulan anak; jika memungkinkan, ajak anak untuk melihat kehidupan yang sangat berbeda dengan kehidupan yang dijalaninya; ajak anak lebih peduli dan bertanggung jawab; libatkan anak pada kegiatan sosial.
Meminta Izin dalam Menikahkan Seorang Gadis
Imam al-Bukhari rahimahullah telah membuat bab tersendiri dalam kitab Shahiihnya: “Bab Laa Yunkihu al-Abu wa Ghairuhu al-Bikr wats Tsayyib illaa bi Ridhaahaa (Bab Seorang Bapak dan lainnya Tidak Boleh Menikahkan Anak-anak Gadisnya Atau Anaknya yang Janda kecuali dengan Keridhaannya).”
Imam al-Bukhari berkata: Mu’adz bin Fadhalah memberitahu kami, ia berkata: Hisyam memberitahu kepada kami, dari Yahya dari Abu Salamah bahwa Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu pernah menyampaikan hadits kepda mereka bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,
لاَتُنْكَحُ اْلاءَيِّمُ حَتَّى تُسْتَاءْمَرَ وَلاَ تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَاءْذَنَ
“Tidaklah seorang janda dinikahkan sehingga diminta pertimbangannya dan tidak pula seorang gadis dinikahkan sehingga diminta izinnya.”
Para Sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, lalu bagaimana pengizinan seorang gadis itu?” Beliau menjawab, “Yaitu, dia diam.”
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia berkata, “Aku pernah bertanya kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mengenai seorang gadis yang akan dinikahkan oleh keluarganya, apakah perlu dimintai pertimbangannya?” Maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya, “Ya, dimintai pertimbangannya.” Lalu ‘Aisyah berkata, maka aku katakan kepada beliau, “Dia malu.” Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam pun berkata, “Demikianlah pengizinannya, jika ia diam.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]
اَلثَّيِّبُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا وَلْبِكْرُ تُسْتَاءْ مَرُ وَإِذْنُهَاسُكُو تُهَا
“Seorang janda lebih berhak atas dirinya sendiri daripada walinya. Sedangkan seorang gadis dimintai izin dan pengizinannya adalah sikap diamnya.” [HR. Muslim]
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda:
“Mintalah izin kepada wanita dalam pernikahannya.” Dikatakan kepada beliau, “Sesungguhnya seorang gadis akan merasa malu dan diam.” Beliau bersabda, “Itulah izinnya.” [HR. An-Nasa-i dengan sanad yang shahih]
Tertolaknya Pernikahan bagi Wanita yang Tidak berkenan
Imam al-Bukhari rahimahullah telah membuat bab tersendiri: “Bab Idzaa Zawwaja Ibnatahu wahiya Kaarihah fanikaahuhaa Marduud (Bab Jika Seorang Bapak Menikahkan Anaknya, Lalu Menolak, Maka Nikahnya Batal).”
Imam al-Bukhari berkata, Isma’il memberitahu kami, dia berkata, Malik memberitahuku, dari ‘Abdurrahman bin al-Qasim dari ayahnya dari ‘Abdurrahman dan Mujammi’, dua putera Yazid bin Jariyah, dari Khansa’ bin Khidam al-Anshariyah bahwa ayahnya pernah menikahkannya sementara dia adalah seorang janda, lalu dia tidak menyukai hal itu, kemudian dia mendatangi Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, maka beliau pun mmbatalkan nikahnya.
Dari Ibnu Buraidah dari ayahnya, dia berkata, “Pernah datang seorang remaja puteri kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam seraya berucap, “Sesungguhnya ayahku telah menikahkanku dengan keponakannya untuk meninggikan derajatnya.” Lebih lanjut, dia berkata, “Maka Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam menyerahkan masalah tersebut kepada wanita itu, maka wanita itu pun berkata, ‘Aku tidak keberatan atas tindakan ayahku, tetapi aku ingin agar kaum wanita mengetahui bahwa para orang tua tidak memiliki hak apa-apa dalam masalah ini.’” [HR Ibnu Majah dengan sanad yang shahih]
Sumber: ‘Al-Intishaar li Huquuqil Mu’-minaat’, Penulis: Ummu Salamah as-Salafiyyah, judul Indonesia ‘Dapatkan Hak-Hakmu, Wahai Muslimah!’, Penerjemah: Abdul Ghoffar EM, Pustaka Ibnu Katsir (BAB I Pasal 16-17 hal 58-60)
Pengaruh Ibu pada Anak Perempuannya
Mendidik dan mengasuk anak-anak merupakan kewajiban orang tua. Berbeda dengan anak lelaki, mendidik anak-anak perempuan merupakan suatu keutamaan.
An-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Di dalam hadits-hadits ini terdapat keutamaan berbuat baik kepada anak-anak perempuan, memberikan nafkah kepada mereka, bersabar dalam mengasuhnya, dan mengurus seluruh urusannya.”
Dari ‘Uqbah bin ‘Amir, dia berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah shalallahu ‘alahi wasallam bersabda,
Artinya: “Barangsiapa memiliki tiga orang anak perempuan, lalu dia bersabar dalam menghadapinya serta memberikan pakaian kepadanya dari hasil usahanya, maka anak-anak itu akan menjadi dinding pemisah baginya dari siksa Neraka.” [HR. Al-Bukhari dalam kitab al-Adaabul Mufrad dan hadits ini shahih]
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, dia berkata bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
Artinya: “Barangsiapa mengasuk dua anak perempua sehingga berumur baligh, maka dia akan datang pada hari Kiamat kelak, sedang aku dan dirinya seperti ini.” Dan beliau menghimpun kedua jarinya. [HR. Muslim]
Seorang ibu lebih besar pengaruhnya terhadap anak-anak perempuannya dibanding dengan pengaruh seorang ayah. Peniruan seorang anak perempuan terhadap ibunya lebih besar dibanding kepada ayahnya. Pengaruh seorang ibu ini sangat penting kedudukannya karena pengaruhnya sangat besar bagi perkembangan si anak. Hal ini karena seorang anak perempuan pada suatu saat akan menjadi seorang ibu pula dan menempuh jalan yang sama dengan ibunya. Seorang ibu haruslah dapat menjadi contoh nyata bagi anak-anak perempuannya. Seorang ibu harus mampu menjadi teladan yang baik bagi anak-anak perempuannya.
Seorang ibu yang (tanpa sadar maupun dengan sadar) melakukan tindakan tertentu di rumahnya akan dapat berpengaruh pada perkembangan jiwa si anak. Tindakan ceroboh seorang ibu dapat membuat si anak tidak ingin menikah untuk selamanya dan tak ingin berpikir untuk membina sebuah keluarga pada suatu saat nantinya.
Secara lahiriah, seorang gadis kecil lebih banyak memikirkan masalah membina keluarga, melahirkan, dan kehidupan masa depan daripada memikirkan hal lainnya. Si gadis kecil sesuai dengan pertumbuhannya secara setahap demi setahap akan mempersiapkan dirinya untuk menerima tanggung jawab keibuannya. Secara alamiah, perilaku ibunya akan berpengaruh kepada terhadap kehidupannya. Anak perempuan akan belajar dari ibunya bagaimana cara mengurus rumah lewat perbuatan dan tindakan si ibu sehari-hari. Di sinilah peranan ibu sebagai panutan bagi si anak. Ajaklah anak turut serta dalam menjalankan kewajiban-kewajiban seorang ibu dalam pengurusan rumah.
Peranan ibu dalam mengajarkan kewajiban-kewajiban rumah tangga ini harus dilaksanakan dengan cara yang baik. Sesuatu yang dilakukan dengan baik dan penuh kesabaran maka hasilnya juga tentunya akan baik pula. Kita tak dapat mengharapkan anak perempuan dapat menjadi lebih baik dari pada ibunya jika ia menjalani kehidupan keluarga dengan tipuan, ketidakpedulian, dan akhlak yang tercela. Masing-masing sifat tercela itu akan diwarisi kepada anak-anak perempuannya.
Wahai para ibu, mulailah perhatikan tindakanmu di dalam keluarga!
Berikut adalah salah satu fatwa dari Syaikh Ibnu Utsaimin tentang kriteria calon suami yang hendaknya dicari oleh seorang muslimah.
[Pertanyaan] Apa yang paling penting dan dasar bagi seorang wanita dalam mencari suami dan bukankah menolak lamaran lelaki yang baik dengan alasan duniawi dapat menyebabkan murkanya Allah kepada si wanita?
[Jawab] Sifat yang terpenting yang harus dicari dalam diri si pelamar adalah akhlaqnya yang baik beserta agamanya (kebiasaannya dalam menunaikan ajaran). Kesehatannya dan garis keturunannya, ini adalah aspek yang kedua. Yang terpenting adalah si pelamar harus baik dalam akhlaq dan agamanya – dengan mempertimbangkan sisi keimanan dan akhlaq baiknya, si wanita tidak akan kehilangan rasa hormatnya, jika ia tetap bersamanya, ia akan memperlakukan istrinya dalam kebaikan, dan jika ia menceraikan istrinya, akan dilakukannya dengan tindakan yang bijak. Selanjuntya, keimanan dan akhlaq yang baik akan dapat membawa keberkahan buat si wanita dan anak-anaknya dimana dia dapat belajar akhlaq dan agama yang baik dari suaminya.
Tapi jika si lelaki pelamar tidak memiliki aspek ini maka hendaklah si wanita menolaknya, apalagi jika dia lalai dalam shalatnya atau dikenal sebagai pecandu minuman keras – waiyudzubillah.. Jadi, hal yang paling penting adalah bagi para wanita untuk memperhatikan kebaikan akhlaqnya dan penerapan ilmu agamanya. Pertimbangan garis keturunan merupakan aspek tambahan yang jika dapat dipenuhi maka akan semakin pas.
Sesuai dengan sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam,
“Jika datang kepada kalian orang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia.” [HR. Muslim]
Bagaimanapun jika ditemukan calon yang semakin serupa dengan kedudukan si wanita maka itu semakin baik.
Lamaran Mana yang Layak Diterima?
Berikut adalah salah satu fatwa dari Syaikh Ibnu Utsaimin tentang kriteria calon suami yang hendaknya dicari oleh seorang muslimah.
[Pertanyaan] Apa yang paling penting dan dasar bagi seorang wanita dalam mencari suami dan bukankah menolak lamaran lelaki yang baik dengan alasan duniawi dapat menyebabkan murkanya Allah kepada si wanita?
[Jawab] Sifat yang terpenting yang harus dicari dalam diri si pelamar adalah akhlaqnya yang baik beserta agamanya (kebiasaannya dalam menunaikan ajaran). Kesehatannya dan garis keturunannya, ini adalah aspek yang kedua. Yang terpenting adalah si pelamar harus baik dalam akhlaq dan agamanya – dengan mempertimbangkan sisi keimanan dan akhlaq baiknya, si wanita tidak akan kehilangan rasa hormatnya, jika ia tetap bersamanya, ia akan memperlakukan istrinya dalam kebaikan, dan jika ia menceraikan istrinya, akan dilakukannya dengan tindakan yang bijak. Selanjuntya, keimanan dan akhlaq yang baik akan dapat membawa keberkahan buat si wanita dan anak-anaknya dimana dia dapat belajar akhlaq dan agama yang baik dari suaminya.
Tapi jika si lelaki pelamar tidak memiliki aspek ini maka hendaklah si wanita menolaknya, apalagi jika dia lalai dalam shalatnya atau dikenal sebagai pecandu minuman keras – waiyudzubillah.. Jadi, hal yang paling penting adalah bagi para wanita untuk memperhatikan kebaikan akhlaqnya dan penerapan ilmu agamanya. Pertimbangan garis keturunan merupakan aspek tambahan yang jika dapat dipenuhi maka akan semakin pas.
Sesuai dengan sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam,
“Jika datang kepada kalian orang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia.” [HR. Muslim]
Bagaimanapun jika ditemukan calon yang semakin serupa dengan kedudukan si wanita maka itu semakin baik.
Dari fatwa di atas dapat disimpulkan bahwa
1.
Pertimbangan utama dalam mencari suami dan menilai lamaran seorang lelaki adalah faktor agamanya dan akhlaqnya, pilihlah yang agama dan akhlaknya yang baik seperti hadits yang sudah disebutkan.2.
Lalu jika ada datang pelamar yang memiliki sifat-sifat di bawah ini, sebaiknya dihindari adalah:- Lalai dalam shalat lima waktu dan shalat Jum’at
- Pencandu minuman keras (pemabok)
- Pecandu narboka
- Pezina yang belum bertaubat
- Lelaki yang tidak memiliki pekerjaan
- Perokok
- Banci
- Penjudi
- Lelaki yang bekerja di bidang yang berkaitan dengan hal-hal yang telah diharamkan, seperti riba (bank), penerima suap, berkaitan dengan musik, dan lainnya
- Lelaki yang bakhil / pelit
Bingkisan Untuk Sang Pengantin
Segala puji bagi Allah yang berfirman :
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجاً لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً ﴿ سورة الروم
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.” [QS.30:21]
Semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada sosok yang pribadinya adalah al-Qur`an (yang berjalan), juga kepada keluarga dan sahabatnya hingga hari Kiamat. Amma ba’du :
Sesungguhnya pernikahan merupakan ikatan suci dan perjanjian merekat kuat. Fitrah-fitrah yang lurus mengarah kepadanya, hukum-hukum syariah yang bijaksana mengajak kepadanya. Selama jiwa-jiwa manusia berjalan bergandengan dengan fitrah, maka ia akan terus merespon tuntutan hukum ini. Maka melalui pernikahan tergapailah kasih sayang, ketentraman, ketenangan. penyatuan, dan berhimpunnya hati, berorientasi kepada keturunan. Keutamaan pernikahan banyak sekali dan bentuk keberkahannya pun beraneka ragam.
Saudaraku muslim dan muslimah :
Pernikahan merupakan ladang untuk menanam benih keturunan, dan merupakan peristirahatan jiwa, kesenangan hidup, ketentraman hati, dan penjaga anggota tubuh. Sebagaimana ia juga sebagai sebuah kenikmatan, relaksasi dan sebagai sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Pula sebagai tirai, perisai dan fasilitator untuk memperoleh keturunan yang soleh (adz-dzurriyah ash-shalihah) yang memberikan manfaat kepada manusia di kala hidup dan setelah kematiannya.
Pernikahan merupakan suatu urgensi yang mendesak, dimana manusia tidak akan sampai pada tingkat kesempurnaan jika ia masih setengah agamanya. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :
« إِذَا تَزَوَّجَ الْعَبْدُ فَقَدِ اسْتَكْمَلَ نِصْف دِيْنِهِ ، فَلْيَتَّقِ اللهَ فيِ النِّصْفِ الْبَاقِي »
“Jika seorang hamba menikah, maka sesungguhnya ia telah menyempurnakan setengah agamanya. (Karenanya) bertakwalah kepada Allah pada bagian setengah agama yang tersisa. ” [HR. Ahmad].
Sesungguhnya Islam sangat menganjurkan jenjang pernikahan ini dan memberikan motivasi ke arah itu dalam kebanyakan kesempatan di dalam al-Qur`an dan as-Sunnah. Ini tidak lain karena strategisnya kedudukan pernikahan di dalam Islam. Ia memiliki banyak manfaat bagi personal maupun masyarakat. Kepadamu –wahai saudara muslimku- kusampaikan beberapa faidahnya secara ringkas :
1.Pernikahan merupakan kecenderungan naluriah bagi orang mukmin.
Firman Allah :
﴿ وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجاً لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً سورة الروم
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.” [QS.30:21]
Ayat ini mengindikasikan kepada pengertian ketenangan (ath-thuma`ninah) dan rasa aman (al-aman). Hal itu tidak terjadi melainkan dengan kecenderungan untuk menikah.
2.Pernikahan merupakan kesenangan hidup.
« الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِهَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ »
“Dunia adalah perhiasan, sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita shalihah.” [HR. Muslim]
3.Pernikahan merupakan perisai dari kerusakan dan fitnah. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :
إِذَا خَطَبَ إِلَيْكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِينَهُ وَخُلُقَهُ فَزَوِّجُوهُ إِلَّا تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الْأَرْضِ وَفَسَادٌ عَرِيضٌ
“Seandainya ada seorang yang kalian sukai agama dan akhlaknya datang kepada kalian untuk meminang, maka nikahkanlah dia. Jika tidak kalian lakukan (hal tersebut), akan terjadi fitnah di permukaan buni ini dan kerusakan yang besar.” [HR. Muslim]
4.Pernikahan termasuk pondasi-pondasi kebahagian terpenting. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :
أرْبَعٌ مِنْ سَعَادَةِ الْمَرْءِ: الْزَوْجَةُ الصَّالِحَةُ وَالْمَسْكَنُ الْوَاسِعُ وَالْجَارُ الصَّالِحُ وَالْمَرْكَبُ الْهَنِيءُ
“Empat (fundamental) kebahagiaan seseorang, (yaitu:) wanita solehah, tempat tinggal yang luas, tetangga yang soleh, kendaraan yang nyaman.” [HR. Ibnu Hibban]
5.Pernikahan merupakan sebaik-baik perbendaharaan dunia. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :
خَيْر مَا يَكْنِزُ الْمَرْءُ الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ إِذَا نَظَرَ إِلَيْهَا سَرَّتْهُ وَإِذَا أَمَرَهَا أَطَاعَتْهُ وَإِذَا غَابَ عَنْهَا حَفِظَتْهُ
“Sebaik-baik yang dimiliki seseorang adalah wanita solehah, jika memandang ke arahnya, maka ia menyejukkannya. Jika memerintahkannya, ia mena’atinya. Jika ia tidak di rumah, maka ia menjaganya.” [HR. Ahmad]
6.Pernikahan termasuk seutama-utamanya kebaikan dunia dan akhirat. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :
خَيْر مَا يَكْنِزُ الْمَرْءُ الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ إِذَا نَظَرَ إِلَيْهَا سَرَّتْهُ وَإِذَا أَمَرَهَا أَطَاعَتْهُ وَإِذَا غَابَ عَنْهَا حَفِظَتْهُ
“Sebaik-baik yang dimiliki seseorang adalah wanita solehah. Jika dipandang menyejukkannya. Jika diperintah mena’atinya. Jika tidak di rumah, maka ia menjaga (amanah)nya.” [HR. Ahmad]
7.Pernikahan merupakan asas ketulusan dan kehidupan yang baik. Salah seorang salafus soleh berkata :
“Aku dapati manusia yang paling berbahagia di dunia, paling sejuk dipandang mata, paling baik kehidupannya, paling mendalam kebahagiaannya, paling tulus keadaannya, dan yang paling merasa muda, (yaitu) orang yang dikaruniakan oleh Allah dengan seorang istri muslimah yang amanat, menjaga diri, baik, lembut, bersih, taat. Jika suaminya menitipkan amanat kepadanya, didapatinya sebagai wanita yang amanah. Jika anggaran belanjanya terbatas, didapatinya sebagai wanita yang qana’ah. Jika suami tidak di rumah, maka ia menjaga kepunyaan suaminya. Sesungguhnya kesantunannya menutupi kebodohannya, dan agamanya menghiasi akalnya, maka suaminya adalah seorang yang kehidupannya sejahtera, dan tetangganya adalah seorang yang selamat (dari gangguan).”
8.Pernikahan memiliki manfaat-manfaat setelah kematian, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ : إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Jika anak Adam meninggal dunia terputuslah amalannya,kecuali dari tiga perkara, (yaitu:) dari sedekah jariyah, atau ilmu yang bermanfaat, atau anak yang soleh yang mendoakan baginya.” [HR. Muslim]
Saudaraku muslim dan muslimah:
Sesungguhnya merupakan kewajiban atas kita untuk bersyukur atas kenikmatan yang agung ini karena Allah semata-mata. Dan tidak menggunakannya sebagai alat untuk terperosok ke dalam hal-hal yang diharamkan oleh Allah. Karena sesungguhnya hal demikian itu bertentangan dengan syukur yang diminta dari kita. Dan termasuk hal yang dapat menyakiti diri, melukai jiwa, meluluh lantakkan hati, menyulut berbagai bahaya, serta mencela sanubari. Segala perkara yang melingkupi kenikmatan pernikahan ini bisa jadi berubah menjadi bencana dan petaka. Dimulai dengan keluarnya dari lingkup kebahagian dan berakhir dengan kesengsaraan.
Sesungguhnya aku ingatkan mengenai perkara-perkara yang oleh sebagian orang dilakukan di malam-malam pernikahannya, yaitu sesuatu yang bertentangan dengan syariat dan menafikan kesyukuran. Diantaranya adalah :
pertama,
termasuk kemungkaran yang terjadi di hari pernikahan, pengantin pria duduk bersanding dengan istrinya pada pelaminan di hadapan para undangan wanita.
Yang Mulia, Syaikh Abdul Aziz bin Baz Rahimahullah berkata :
“Termasuk perkara-perkara mungkar yang banyak dilakukan orang-orang di zaman ini, meletakkan pelaminan untuk kedua pengantin di antara undangan wanita. Suaminya duduk di situ dengan dihadiri para undangan wanita yang berdandan molek dan terbuka aurat. Terkadang hadir bersamanya para sanak keluarga dari kalangan pria. Dan bukan rahasia lagi, bagi yang memiliki fithrah yang selamat dan kecemberuan agama yang benar, bahwa perilaku semacam ini termasuk sebuah kerusakan besar. Memungkinkan pria-pria asing untuk memandangi kaum wanita muda yang terbuka aurat, sehingga hal tersebut menimbulkan akibat-akibat yang membahayakan. Maka wajib untuk melarang hal tersebut, dan menjatuhi hukuman yang tegas atasnya, agar terhindar sebab-sebab fitnah dan untuk membentengi pertemuan kaum wanita ni dari yang bertentangan dengan syariah yang suci. Aku nasehatkan kepada seluruh saudara-saudaraku dari kalangan muslimin untuk bertakwa kepada Allah dan berpegang teguh kepada syariah dalam segala perkara, dan berhati-hati atas segala yang diharamkan Allah atas mereka, dan menjauhkn diri dari segala sebab-sebab kejahatan dan kerusakan yang terjadi pada para pengantin, dan lain sebagainya, dalam rangka mencari ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala dan upaya menjauhkan diri dari sebab-sebab yang mengundang kebencian dan siksa-Nya.” [Kitab ad-Da’wah: Fatwa-fatwa samahatusy Syaikh bin Baz]
kedua,
termasuk kemungkaran yang terjadi di hari pernikahan ini adalah perginya wanita untuk membuang bulu-bulu rambut tubuhnya hingga sampai sebagian dari mereka membiarkan para wanita-wanita salon melihat ke bagian-bagian tubuhnya yang tidak dihalalkan seseorang pun melhatnya selain suaminya saja.
ketiga,
termasuk kemungkaran yang terjadi di di hari pernikahan, kebiasaan menghadirkan berbagai fasilitas yang melalaikan dalam acara-cara resepsi pernikahan. Mendatangkan para peman musik pria dan wanita, atau para wanita yang ahli dalam menabuh gendang dan rebana. Serta para biduanita yang melantunkan nyanyian-nyanyian dengan suara yang didengar oleh kaum pria, serta dipenuhi dengan sa’ir-sa’ir yang terkadang seronok. Para biduanita bernyanyi dan menari dengan alunan musik dengan gaya tarian barat dan timur. Apakah menurut anda beginikah cara untuk mengumumkan pernikahan?
Sesungguhnya mengumumkan pernikahan yang diperkenankan Allah Ta’ala bukanlah sebagaimana persepsi kebanyakan orang. Bahkan sebaliknya, mengenakan tabir, dan bersih dari nyanyian, dan steril dari kata-kata seronok, dan ucapan-ucapanjorok, serta fasilitas-fasilitas yang melalaikan lagi batil, dengan tabuhan rebana yang diperkenankan oleh syariat serta terbatas hanya untuk kalangan wanita saja, dimana para pria tidak dapat mendengarnya.
Adapun mengenai tarian wanita di depan kaum wanita pula, maka sesungguhnya para ulama telah menerbitkan fatwa mengenainya, diantaranya Al-‘Allamah Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin Rahimahullah Berpendapat, “Tarian hukumnya dasarnya adalah makruh, tetapi jika (tariannya itu) dengan gaya barat, atau mengikuti tarian-tarian wanita-wanita kafir maka hukumnya menjadi haram. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam :
« مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ »
“Barangsiapa yang menyerupai sebuah kaum maka dia termasuk darinya.” [HR. Ahmad]
Bersamaan dengan itu, terkadang muncul fitnah bersamaan dengannya. Ada kalanya sang penari adalah wanita yang tubuhnya elok, parasnya jelita, usianya muda, maka terjadilah bencana wanita. Sampai-sampai di tengah-tengah komunitas sesama wanita pun, terjadi diantara wanita tersebut suatu perbuatan-perbuatan yang menunjukkan bahwa mereka sendiri telah tergoda dengannya. Selama ia dapat menyebabkan munculnya fitnah, maka selama itu juga sesungguhnya ia dilarang.” [Liqa al-Bab al-Maftuh, hal.41]
keempat,
termasuk kemungkaran yang terjadi di hari pernikahan adalah penggunaan rekaman gambar. Berapa banyak musibah yang terjadi akibat kelancangan rekaman gambar ini yang berada di tangan-tangan manusia rongsok. Kemudian coba anda bayangkan, apa yang akan dilakukan olehnya dalam film-filmnya tersebut. Ketahuilah bahwa seorang wanita di momentum pernikahannya berada pada keelokan yang menawan dengan perhiasan yang paling indah. Maka siapa sih yang rela kalau mahramnya dipandangi oleh laki-laki asing? Berapa banyak gambar yang keluar dari film-film rekaman dan berganti-ganti film yang berisikan gambar-gambar para wanita yang sebelumnya para lelaki pun belum pernah mengetahuinya kecuali tabir dan menjaga kehormatan dirinya. Demikian ini disebabkan dari kelancangan sikap meremehkan dan mengampangkan dari “orang-orang yang pintar” dalam hal mengambil rekaman gambar.
kelima,
termasuk kemungkaran di hari pernikahan adalah mengakhirkan hingga paruh waktu terakhir dari malam. Perkara yang menjadi konsekuensinya adalah meninggalkan shalat shubuh atau mengakhirkannya dari waktu yang telah ditentukan secara syar’i. Sesungguhnya Allah Ta’ala telah menurunkan al-Qur`an al-Karim dengan menakut-takuti dan mengancam mereka (yang melalaikan shalat) dengan retorika yang keras dan bahasa yang lugas, hanya orang-orang cerdas saja yang bisa memahaminya :
فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّينَ ﴿4﴾ الَّذِينَ هُمْ عَن صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ ﴿5﴾ سورة الماعون
04. “Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat”, 05. “(yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya,” (QS.107:4-5)
Masruq Rahimahullah berkata, “Maksudnya adalah mereka tidak mengerjakan shalat pada waktunya yang disyariatkan).” Sekiranya mengakhirkan shalat sudah merupakan sebuah kesalahan berat, perbuatan dosa yang memalukan dengan segala barometer apapun. Tidak ada manfaatnya penyesalan dan tidak pula permohonan maaf di saat sudah berdiri dihadapan Yang Maha Esa lagi Maha Kuasa (di akhirat nanti).
keenam,
termasuk kemungkaran di hari pernikahan, apa yang terjadi saat keluarnya dan pulangnya para wanita, maka anda akan melihat hal yang dapat meluluh lantakkan hati anda, menggigil ketakutan. Dimana seorang perempuan keluar sementara tangannya tampak terbuka, atau dia mengenakan pakaian yang tipis, atau keluar dengan slayer yang dibordir atau dihias, diletakkan pada pundaknya dan harum minyak wanginya menyeruak di kedua sisinya, dengan berada di depan dan dipandangi, serta terdengar oleh para pria yang menunggu-nunggu wanita-wanita mereka di pintu gedung.
Saudaraku sebagai suami yang mulia :
Pada saat istrimu berada di sisimu pada malam pertamamu, maka taruhlah tanganmu di kening kepalanya, dan berdoalah :
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ خَيْرَهَا وَخَيْرَ مَا جَبَلْتَهَا عَلَيْهِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّهَا وَشَرِّ مَا جَبَلْتَهَا عَلَيْهِ
“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dari kebaikannya, dan kebaikan pribadinya yang telah Engkau tetapkan. Aku berlindung dari keburukannya, dan keburukan pribadinya yang telah Engkau tetapkan.” [HR. Abu Dawud no. 2160, Ibnu Majah no. 1918. Lihat Shahiih Ibni Majah (I/324) dan Aadaabuz Zifaaf fis Sunnah al-Muthahharah hal. 93 oleh Syaikh al-Albani]
Dan mulailah harimu bersamanya dengan melakukan shalat dua raka’at, dan dia turut shalat di belakangmu hingga jiwanya merasa tentram, duduklah bersamanya, cairkan suasana dengan kalimat-kalimat yang dapat menghiburnya.
Wahai para pasangan suami istri yang mulia, di penghujung ini aku ucapkan untuk kalian berdua, sebagaimana yang telah diajarkan kepada kami oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam :
بَارَكَ اللَّهُ لَكَ وَبَارَكَ عَلَيْكَ وَجَمَعَ بَيْنَكُمَا فِي خَيْرٍ
“Semoga Allah melimpahkan keberkahan untuk kalian dan atas kalian, serta semoga Dia mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan yang banyak.” [HR. Abu Dawud no. 2130, at-Tirmidzi no. 1091, Ahmad II/381, Ibnu Majah no. 1905, al-Hakim II/183, shahih. Lihat Aadaabuz Zifaaf hal 175]
penutup, aku bermohon kepada Allah agar berkenan menjadikannya sebagai suami yang islami, bahagia, diberkahi. Mendapatkan kehidupan keluarga yang penuh kedamaian, keturunannya beriman, muslim, dan soleh lagi dermawan. Diawali dengan membangun keluarga muslim yang didasari atas ketaatan kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan kecintaan kepada Rasul-Nya yang mulia Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan diakhir doa kami yaitu, alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin.
Berkata Syaikh As-Sa’di Rahimahullah ” Larangan mendekati zina lebih mengena daripada sekedar larangan berbuat zina, dikarenakan yang demikian itu mencakup larangan dari segala muqadimah zina dan perkara yang mendekatkannya.“ ( Tafsir Ar Karimur Rahman, Syaikh As-Sa’di )
Allah Ta’ala juga berfirman pada ayat lain
Berkata Syaikh Sa’di Rahimahullah : ” Dan nash firman Allah Ta’ala tentang ketiga dosa ini merupakan dosa besar yang paling besar, perbuatan syirik didalamnya terdapat merusak agama, membunuh didalamnya terdapat merusak badan dan zina didalamnya terdapat merusak kehormatan” ( Silahkan lihat Taisirul Karimur Rahman )
Apalagi jika sampai terjatuh kedalam perbuatan liwath, Naudzubillah. Sebuah dosa yang sangat besar, sebuah kekejian yang sangat keji. Sebagaimna Allah Ta’ala berfirman :
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda : ” Tidak ada yang paling aku takutkan daripada ketakutanku kepada kalian atas perbuatan kaum luth “ ( HR. Ahmad, tirmidzi dan dari Sahabat Ibnu Abbas Radiyallahu ‘Anhu dishahihkan oleh Syaikh Al – Al Bani Rahimaullah)
Berkata Imam Adz-Zhahabi Rahimahullah : ” Liwath (homo/lesbi) lebih keji dan jelek dari perbuatan zina “ ( Al Kabaair Imam Adz Zhahabi )
Siapa yang menjamin kita akan selamat dari perbuatan maksiat….
Apakah karena karir kau pertaruhkan agamamu ….
Apakah karena mempriroritaskan kuliah dengan ikhtilat kau pertaruhkan kejernihan hatimu….
Apakah karena karir dikantor atau aktivitas profesimu dengan kemaksiatan ikhtilat atau kemaksiatan yang ada didalamnya kau ambil resiko yang membahayakan agamamu dengan menunda menikah…
Tidak inginkah kita hidup dengan kehidupan sempurna sebagai seorang manusia dengan didampingi seorang istri sholehah atau ditemani seorang suami sholeh……..
Tidak inginkah kita merasakan hidup sakinah dengan ditemani seorang istri penyayang lagi penurut atau suami penyabar lagi bijaksana….
Tidak inginkah kita bahagia sebagaimana kebahagian seorang suami istri yang menggandeng buah hatinya pergi kemajelis ilmu…..
Tidak inginkah kita bahagia sebagaimana kebahagian keluarga fulan yang bercanda dengan buah hatinya…..
Tidak inginkah kita bahagia ketika kening kita dikecup anak-anak kita sebagaimana kebahagian sepasang suami istri yang dikecup keningnya oleh buah hatinya sambil berkata : ” Ummi….. Abi… Abdurrahman berangkat dulu yah, sekarang ada setoran Juz Amma sama Ustadz…
Jawablah wahai kaum muslimin….
Kalau kalian ingin bahagia sebagaimana mereka bahagia, kalau kalian ingin menjaga agama kalian sebagaimana mereka menjaga agamanya, lalu apa yang menjadi alasan kalian untuk menunda nikah tanpa alasan syar’i. Apakah kalian merasa aman dengan kemaksiatan yang telah tersebar, yang banyak orang terjatuh kedalamnya. Tahukah kalian yang menjadi alasan kekhawatiran Nabi Ibrahim ‘Alaihissallam akan dirinya terjatuh kedalam perbuatan penyembahan berhala, sehingga beliau berdoa kepada Allah agar dijauhi dari penyembahan berhala, yaitu dikarenakan banyaknya orang yang terjatuh kedalam perbuatan tersebut. Bukankah Allah Ta’ala berfirman mengkabarkan tentang doa Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam
Berkata Syaikh Shaleh Al Fauzan Hafidzahullah : ” Ketika Nabi Ibrahim merasa takut terhadap dirinya, maka beliaupun berdoa kepada Rabbnya agar di teguhkan diatas agama tauhid dan agar tidak dipalingkan hatinya sebagaimana dipalingkannya mereka. Karena beliau adalah seorang manusia seperti mereka dan seorang manusia tidaklah merasa aman dari fitnah “ ( Durus Nawaqidul Islam, Syaikh Shaleh Al Fauzan : 37)
Wahai saudaraku fillah, semoga Allah menjaga kita semua.
Tak tahukah kalian, bahwa disana ada seorang akhwat yang karena sangat takutnya terjatuh kedalam perbuatan maksiat atau karena khawatir terhadap keselamatan agamanya dia selalu berdoa ” Ya Allah jauhkanlah aku dari perbuatan maksiat dan karuniakanlah kepada diriku seorang suami sholeh “
Wahai ukhti fillah, tak tahukah kalian bahwa disana ada seorang ikhwan yang karena khawatir terjatuh kedalam perbuatan maksiat dia isi waktu terkabulnya doa dengan berdoa ” Ya Allah jauhkanlah aku dari perbuatan maksiat dan karuniakanlah kepada diriku seorang istri sholehah “
Wahai saudaraku fillah, bagaimana kalau ikhwan atau akhwat tersebut terjatuh kedalam perbuatan maksiat, lalu bagaimana kalau kita yang berada pada kondisi mereka. Bukankah kita merasa sedih kalau kita berbuat maksiat apakah kita tidak merasa sedih kalau saudara kita terjatuh kedalam perbuatan maksiat, lalu dimana ta’awun kita terhadap saudara kita, Bukankah Allah Ta’ala berfirman
Bukankah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda : ” Dan Allah akan menolong hambanya apabila hambanya menolong saudaranya ” (HR. Muslim dari Sahabat Abu Hurairah Radiyallahu ‘Anhu )
Berkata Syaikh Shaleh Alu Syaikh Hafidzahullah : ” Didalam hadist ini terdapat anjuran kepada seseorang untuk menolong saudaranya dengan sebesar – besar anjuran, anjuran bahwasannya seorang hamba apabila menolong saudaranya maka Allah akan menolongnya, apabila kamu membantu kebutuhan saudaramu, Allah akan membantu kebutuhanmu, jika kamu membantu kaum muslimin, dan suatu saat kamu butuh bantuan maka Allah akan membantumu dan ini keutamaan dan pahala yang sangat besar “ ( Syarh Arbain Nawawi, Syaikh Sholeh Alu Syaikh : 391 )
Wahai saudaraku adakah yang lebih besar dari ta’awun yang dengan sebab ta’awun kita dapat menjadi sebab selamatnya saudara kita dari kemaksiatan…..Jawablah wahai saudaraku fillah…..
Karena dengan menikahnya dirimu, maka engkau sedang ta’awun dengan istri atau suamimu, karena dengan menikahnya dirimu menjadi sebab terjaganya seorang istri atau suami kedalam perbuatan maksiat. Berkata Syaikh Muhammad Bin Shaleh Al-Utsaimin Rahimahullah : ” Diantara keutamaan menikah adalah dengan menikah dapat menjaga kemaluan dirinya dan istrinya dan menjaga pandangannya dan pandangan istrinya, kemudian setelah keutamaan itu lalu dalam rangka memenuhi kebutuhan syahwatnya ” ( Syarhul Mumti’ Jilid 12 hal : 10 )
Berkata Syaikh Shaleh Al Fauzan Hafidzahullah : “ Wahai manusia bertaqwalah kalian kepada Allah dan ketahuilah bahwa menikah terkandung didalamya kebaikkan yang sangat banyak, diantaranya kesucian suami istri dan terjaganya mereka dari terjatuh kedalam perbuatan maksiat, Rasullullah Shallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda : ” Wahai para pemuda barangsiapa diantara kalian yang mampu menikah maka menikahlah dikarenakan dengan menikah dapat lebih menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan “ Al Hadist ( Khutbatul Mimbariyah Fil Munaasibaatil ‘Asriyah, Syaikh Shaleh Al Fauzan : 242 )
Mungkin diantara kalian ada yang berkata, saya belum mau menikah dan belum ada pikiran kearah sana, maka saya katakan semoga Allah menjaga kita semua dan mengkaruniakan kepada kita pendamping yang sholehah…amin, wahai saudara ku fillah bahwa disana ada pendapat dari ulama yang mengatakan hukumnya sunnah (dianjurkan) bukan sekedar mubah (boleh) bagi orang yang tidak berkeinginan untuk menikah atau melakukan hubungan suami istri, sementara dia mampu, dan ini pendapat yang benar dikarenakan beberapa hal, diantaranya dengan menikah dia dapat menjaga agama istrinya atau menjadi sebab istrinya terjaga dari perbuatan maksiat, begitu juga dikarenakan masuk kedalam keumuman dalil tentang diajurkannya menikah ” ( Silahkan lihat Malzamah Kitab Nikah Syaikh Muhammad Bin Hizam Hafidzhullah )
Maka sudah saatnya untuk kita menikah, mencari pendamping sholehah, semanhaj, membina keluarga sakinah.
Maka sudah seharusnya kita ta’awun dengan menganjurkan orang untuk menikah dan membantunya sesuai dengan kemampuan kita.
Wahai kaum muslimin, semoga Allah memberi hidayah kepada kita semua….
Tidak tahukah kalian beberapa banyak dari pemuda kaum muslimin yang terjatuh kepada perbuatan zina, sebuah dosa yang sangat besar yang pelakunya berhak dihukum 100 kali cambukkan dan diasingkan dari negerinya, Adapun kalau sudah menikah dihukum dengan dirajam sampai mati.
Tidak tahukah kalian bahkan ada yang terjatuh pada sebuah dosa yang pelakunya berhak dikenai hukuman dengan dilempar dari gedung yang paling tinggi kemudian dilempari batu, bahkan dosa liwath ini telah menyebar dinegeri ini. Naudzubillah
Tidak tahukah engkau bahwa kemaksiatan onani, ponogarafi, buka aurat, pacaran dianggap sesuatu hal yang biasa…
Wahai kaum muslimin kalau seperti ini kondisi bangsa ini, lalu apa yang menjadikan alasan kita untuk menunda nikah…….
kalau seperti ini kondisi bangsa ini lalu apa yang menjadi alasan para orangtua tidak menganjurkan anaknya untuk menikah……
Kalau seperti ini kondisi bangsa ini lalu apa yang menjadi alasan para orang tua melarang anaknya untuk segera menikah, katakanlah kepada diriku wahai kaum muslimin.
Bukankah kita menginginkan keselamatan dan kebahagiaan untuk diri kita….
Bukankah kita menginginkan keselamatan dan kebahagiaan untuk keluarga kita…
Bukankah para orangtua menginginkan keselamatan dan kebahagiaan untuk anak-anaknya…..
Bukankah kita menginginkan keselamatan dan kebahagiaan untuk kaum muslimin…
Lantas apa yang menghalangi kita untuk menikah…..
Lantas apa yang menghalangi kita untuk menganjurkan orang untuk menikah…..
Lantas apa yang menghalangi kita untuk membantu saudara kita untuk menikah…..
Bukankah Allah Ta’ala dan Rasul Nya menganjurkan kita untuk menikah, Allah Ta’ala berfirman :
Rasullullah Shallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda : ” Wahai para pemuda barangsiapa diantara kalian yang mampu menikah maka menikahlah dikarenakan dengan menikah dapat lebih menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan dan barangsiapa tidak mampu menikah maka baginya untuk berpuasa hal itu sebagai tameng baginya “ ( HR. Bukahri dari Ibnu Mas’ud Radiyallahu ‘Anhu )
Berkata Syaikh Shaleh Al Fauzan Hafidzahullah : ” Didalam hadist ini terdapat anjuran dari Nabi Shallahu ‘Alaihi Wassalam untuk para pemuda, khususnya para pemuda kaum muslimin, dikarenakan syahwat para pemuda lebih kuat dan kebutuhan untuk menikah disisi mereka lebih banyak, karena inilah dianjurkan bagi mereka untuk menikah “ ( Tashiilul Ilmaam Bifiqhil Ahaadist Min Bulugil Maram, Jilid 4 Kitab Nikah, hal 304 )
Berkata Syaikh Abdullah Al Basam Rahimahullah : ” Setiap pernikahan ini terkandung didalamnya manfaat yang agung, yang kemanfaatan tersebut kembali kepada suami istri, anak – anak, perkumpulan (komunitas), dan agama dengan kebaikan yang banyak ” ( Taudihul Ahkam Min Bulugil Maram, Jlid 5 Kitab Nikah hal 209 )
Oleh karena itu ada yang ingin kukatakan ” Saatnya untuk kita menikah“, menjalankan perintah Allah dan Rasul Nya, membina rumah tangga sakinah semoga dengan itu Allah menjaga agama dan diri kita dari kemaksiatan.
Sssttt….. Ada yang ingin Ku Katakan ” Saatnya Untuk Kita Menikah “
Melihat prilaku menunda menikah tanpa alasan syar’i ditengah-tengah kaum muslimin baik dengan alasan menyelesaikan kuliah, karir atau alasan tidak syar’i lainnya menjadi salah satu sebab dari banyak sebab tersebarnya kemaksiatan onani, zina bahkan liwath (homo dan lesbi), Naudzubillah, dibarengi kemaksiatan buka aurat, ikhtilat tersebarnya pornografi membuat kerusakkan diatas kerusakkan, menambah tersebar luasnya kemaksiatan. Sebuah fenomena yang membuat lisan ini berucap semoga Allah menjaga kita semua. Sambil berfikir apa yang harus ku tulis disecarik kertas ini, sebagai nasehat untuk kaum muslimin. Ku coba awali dengan sebuah doa dengan berkata semoga Allah memberi hidayah dan menjaga kita semua…
Wahai kaum muslimin……..
Tidak tahukah kalian bahwa diantara penyebab kemaksiatan onani, perzinahan bahkan perbuatan liwat (homo dan lesbi) adalah akibat menunda nikah karena karir, kuliah atau tanpa alasan syari’i lainnya…
Tidak khwatirkah kalian terjatuh kedalamnya…
Karir apa yang kalian cari…, apakah dengan mempertaruhkan agama kau raih karirmu….!!!
Bukankah keselamatan agama dan menjaga keimanan hal yang sangat terpenting bagi kita…
Lalu apa yang menghalangi kalian untuk menikah, padahal dengan menikah dapat menjaga kita dari kemaksiatan….
Wahai kaum muslimin…….
Kuhadirkan perkataan seorang ulama yang menjelaskan hukum dan manfaat menikah sebagai hadiah dariku untuk kalian, Berkata Syaikh Muhammad Bin Shaleh Al-UtsaiminRahimahullah : ” Dan berkata sebagian Ahlu Ilmi (ulama -penj) bahwasannya menikah hukummnya wajib secara mutlak karena asal perintah adalah wajib. Hal ini dikarenakan perkataan Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam ” Wahai para pemuda, barangsiapa diantara kalian mampu untuk menikah maka menikahlah ” Al-lam li ‘Amr pada asalnya di dalam ” ‘amr : perintah ” adalah wajib kecuali ada yang memalingkannya dari perintah wajib. Disamping itu bahwasannya meninggalkan menikah disertai kemampuan untuk menikah didalamnya terkandung tasyabuh (menyerupai) orang nasrani yang mereka meninggalkan menikah dengan tujuan untuk menjadi pendeta dan tasyabuh dengan selain dari kaum muslimin haram hukumnya. Dimana terdapat didalam menikah dari kebaikan yang besar dan menolak kerusakkan yang banyak, bahwasannya dengan menikah dapat lebih menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan akan tetapi dengan adanya syarat mampu pada pendapat ini, dikarenakan Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam mengkaitkan yang demikian itu dengan kemampuan sebagaimana perkataannya ” barangsiapa diantara kalian mampu menikah ” dan dikarenakan didalam kaidah umum, setiap kewajiban disertai dengan syarat mampu. Pendapat wajibnya nikah dalam sisiku lebih mendekati kebenaran “. ( Syarhul Mumti’ ‘Ala Zaadil Mustaq’ni, Syaikh Muhammad Bin Shaleh Al Utsaimin, Kitab Nikah hal : 12 ).
Terlepas disana ada perbedaan pendapat tentang hukum menikah, akan tetapi ulama sepakat bahwa terdapat kemaslahatan yang banyak dengan menikah, diantaranya menjadi sebab terjaganya seseorang dari perbuatan maksiat.
Wahai kaum muslim…..
Bagaimana jika…(semoga Allah menjaga kita semua) dengan menundanya seseorang dari menikah tanpa alasan syar’i sebab terjatuh kedalam perbuatan zina, padahal Allah Ta’ala berfirman
Wahai kaum muslimin……..
Tidak tahukah kalian bahwa diantara penyebab kemaksiatan onani, perzinahan bahkan perbuatan liwat (homo dan lesbi) adalah akibat menunda nikah karena karir, kuliah atau tanpa alasan syari’i lainnya…
Tidak khwatirkah kalian terjatuh kedalamnya…
Karir apa yang kalian cari…, apakah dengan mempertaruhkan agama kau raih karirmu….!!!
Bukankah keselamatan agama dan menjaga keimanan hal yang sangat terpenting bagi kita…
Lalu apa yang menghalangi kalian untuk menikah, padahal dengan menikah dapat menjaga kita dari kemaksiatan….
Wahai kaum muslimin…….
Kuhadirkan perkataan seorang ulama yang menjelaskan hukum dan manfaat menikah sebagai hadiah dariku untuk kalian, Berkata Syaikh Muhammad Bin Shaleh Al-UtsaiminRahimahullah : ” Dan berkata sebagian Ahlu Ilmi (ulama -penj) bahwasannya menikah hukummnya wajib secara mutlak karena asal perintah adalah wajib. Hal ini dikarenakan perkataan Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam ” Wahai para pemuda, barangsiapa diantara kalian mampu untuk menikah maka menikahlah ” Al-lam li ‘Amr pada asalnya di dalam ” ‘amr : perintah ” adalah wajib kecuali ada yang memalingkannya dari perintah wajib. Disamping itu bahwasannya meninggalkan menikah disertai kemampuan untuk menikah didalamnya terkandung tasyabuh (menyerupai) orang nasrani yang mereka meninggalkan menikah dengan tujuan untuk menjadi pendeta dan tasyabuh dengan selain dari kaum muslimin haram hukumnya. Dimana terdapat didalam menikah dari kebaikan yang besar dan menolak kerusakkan yang banyak, bahwasannya dengan menikah dapat lebih menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan akan tetapi dengan adanya syarat mampu pada pendapat ini, dikarenakan Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam mengkaitkan yang demikian itu dengan kemampuan sebagaimana perkataannya ” barangsiapa diantara kalian mampu menikah ” dan dikarenakan didalam kaidah umum, setiap kewajiban disertai dengan syarat mampu. Pendapat wajibnya nikah dalam sisiku lebih mendekati kebenaran “. ( Syarhul Mumti’ ‘Ala Zaadil Mustaq’ni, Syaikh Muhammad Bin Shaleh Al Utsaimin, Kitab Nikah hal : 12 ).
Terlepas disana ada perbedaan pendapat tentang hukum menikah, akan tetapi ulama sepakat bahwa terdapat kemaslahatan yang banyak dengan menikah, diantaranya menjadi sebab terjaganya seseorang dari perbuatan maksiat.
Wahai kaum muslim…..
Bagaimana jika…(semoga Allah menjaga kita semua) dengan menundanya seseorang dari menikah tanpa alasan syar’i sebab terjatuh kedalam perbuatan zina, padahal Allah Ta’ala berfirman
وَلا تَقْرَبُوا الزِّنَى إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
Artinya : ” Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan dan suatu jalan yang buruk” (QS. Al-Isra’ : 32)Berkata Syaikh As-Sa’di Rahimahullah ” Larangan mendekati zina lebih mengena daripada sekedar larangan berbuat zina, dikarenakan yang demikian itu mencakup larangan dari segala muqadimah zina dan perkara yang mendekatkannya.“ ( Tafsir Ar Karimur Rahman, Syaikh As-Sa’di )
Allah Ta’ala juga berfirman pada ayat lain
وَالَّذِينَ لا يَدْعُونَ مَعَ اللهِ إِلَهًا آخَرَ وَلا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَلا يَزْنُونَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ يَلْقَ أَثَامًا
” Dan orang-orang yang tidak menyembah sesembahan yang lain berserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barangsiapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa (nya)…….. “ ( Qs. Al Furqan 67 – 68 )Berkata Syaikh Sa’di Rahimahullah : ” Dan nash firman Allah Ta’ala tentang ketiga dosa ini merupakan dosa besar yang paling besar, perbuatan syirik didalamnya terdapat merusak agama, membunuh didalamnya terdapat merusak badan dan zina didalamnya terdapat merusak kehormatan” ( Silahkan lihat Taisirul Karimur Rahman )
Apalagi jika sampai terjatuh kedalam perbuatan liwath, Naudzubillah. Sebuah dosa yang sangat besar, sebuah kekejian yang sangat keji. Sebagaimna Allah Ta’ala berfirman :
وَلُوطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ أَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ مَا سَبَقَكُمْ بِهَا مِنْ أَحَدٍ مِنَ الْعَالَمِينَ
” Dan (Kami juga telah mengutus) Luth, ketika dia berkata kepada kaumnya, ” mengapa kamu melakukan perbuatan keji (liwath), yang belum pernah dilakukan oleh seorang pun sebelum kamu (didunia ini)“ ( Qs. Al A’raaf : 80 )Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda : ” Tidak ada yang paling aku takutkan daripada ketakutanku kepada kalian atas perbuatan kaum luth “ ( HR. Ahmad, tirmidzi dan dari Sahabat Ibnu Abbas Radiyallahu ‘Anhu dishahihkan oleh Syaikh Al – Al Bani Rahimaullah)
Berkata Imam Adz-Zhahabi Rahimahullah : ” Liwath (homo/lesbi) lebih keji dan jelek dari perbuatan zina “ ( Al Kabaair Imam Adz Zhahabi )
Siapa yang menjamin kita akan selamat dari perbuatan maksiat….
Apakah karena karir kau pertaruhkan agamamu ….
Apakah karena mempriroritaskan kuliah dengan ikhtilat kau pertaruhkan kejernihan hatimu….
Apakah karena karir dikantor atau aktivitas profesimu dengan kemaksiatan ikhtilat atau kemaksiatan yang ada didalamnya kau ambil resiko yang membahayakan agamamu dengan menunda menikah…
Tidak inginkah kita hidup dengan kehidupan sempurna sebagai seorang manusia dengan didampingi seorang istri sholehah atau ditemani seorang suami sholeh……..
Tidak inginkah kita merasakan hidup sakinah dengan ditemani seorang istri penyayang lagi penurut atau suami penyabar lagi bijaksana….
Tidak inginkah kita bahagia sebagaimana kebahagian seorang suami istri yang menggandeng buah hatinya pergi kemajelis ilmu…..
Tidak inginkah kita bahagia sebagaimana kebahagian keluarga fulan yang bercanda dengan buah hatinya…..
Tidak inginkah kita bahagia ketika kening kita dikecup anak-anak kita sebagaimana kebahagian sepasang suami istri yang dikecup keningnya oleh buah hatinya sambil berkata : ” Ummi….. Abi… Abdurrahman berangkat dulu yah, sekarang ada setoran Juz Amma sama Ustadz…
Jawablah wahai kaum muslimin….
Kalau kalian ingin bahagia sebagaimana mereka bahagia, kalau kalian ingin menjaga agama kalian sebagaimana mereka menjaga agamanya, lalu apa yang menjadi alasan kalian untuk menunda nikah tanpa alasan syar’i. Apakah kalian merasa aman dengan kemaksiatan yang telah tersebar, yang banyak orang terjatuh kedalamnya. Tahukah kalian yang menjadi alasan kekhawatiran Nabi Ibrahim ‘Alaihissallam akan dirinya terjatuh kedalam perbuatan penyembahan berhala, sehingga beliau berdoa kepada Allah agar dijauhi dari penyembahan berhala, yaitu dikarenakan banyaknya orang yang terjatuh kedalam perbuatan tersebut. Bukankah Allah Ta’ala berfirman mengkabarkan tentang doa Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam
وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَنْ نَعْبُدَ الأَصْنَامَ
” dan jauhkanlah aku berserta anak cucuku agar tidak menyembah berhala ” ( Qs. Ibrahim : 35 ).Berkata Syaikh Shaleh Al Fauzan Hafidzahullah : ” Ketika Nabi Ibrahim merasa takut terhadap dirinya, maka beliaupun berdoa kepada Rabbnya agar di teguhkan diatas agama tauhid dan agar tidak dipalingkan hatinya sebagaimana dipalingkannya mereka. Karena beliau adalah seorang manusia seperti mereka dan seorang manusia tidaklah merasa aman dari fitnah “ ( Durus Nawaqidul Islam, Syaikh Shaleh Al Fauzan : 37)
Wahai saudaraku fillah, semoga Allah menjaga kita semua.
Tak tahukah kalian, bahwa disana ada seorang akhwat yang karena sangat takutnya terjatuh kedalam perbuatan maksiat atau karena khawatir terhadap keselamatan agamanya dia selalu berdoa ” Ya Allah jauhkanlah aku dari perbuatan maksiat dan karuniakanlah kepada diriku seorang suami sholeh “
Wahai ukhti fillah, tak tahukah kalian bahwa disana ada seorang ikhwan yang karena khawatir terjatuh kedalam perbuatan maksiat dia isi waktu terkabulnya doa dengan berdoa ” Ya Allah jauhkanlah aku dari perbuatan maksiat dan karuniakanlah kepada diriku seorang istri sholehah “
Wahai saudaraku fillah, bagaimana kalau ikhwan atau akhwat tersebut terjatuh kedalam perbuatan maksiat, lalu bagaimana kalau kita yang berada pada kondisi mereka. Bukankah kita merasa sedih kalau kita berbuat maksiat apakah kita tidak merasa sedih kalau saudara kita terjatuh kedalam perbuatan maksiat, lalu dimana ta’awun kita terhadap saudara kita, Bukankah Allah Ta’ala berfirman
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى
” dan tolong menolonglah kamu dalam kebaikan dan ketakwaan.“ ( Qs. Maidah : 2 )Bukankah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda : ” Dan Allah akan menolong hambanya apabila hambanya menolong saudaranya ” (HR. Muslim dari Sahabat Abu Hurairah Radiyallahu ‘Anhu )
Berkata Syaikh Shaleh Alu Syaikh Hafidzahullah : ” Didalam hadist ini terdapat anjuran kepada seseorang untuk menolong saudaranya dengan sebesar – besar anjuran, anjuran bahwasannya seorang hamba apabila menolong saudaranya maka Allah akan menolongnya, apabila kamu membantu kebutuhan saudaramu, Allah akan membantu kebutuhanmu, jika kamu membantu kaum muslimin, dan suatu saat kamu butuh bantuan maka Allah akan membantumu dan ini keutamaan dan pahala yang sangat besar “ ( Syarh Arbain Nawawi, Syaikh Sholeh Alu Syaikh : 391 )
Wahai saudaraku adakah yang lebih besar dari ta’awun yang dengan sebab ta’awun kita dapat menjadi sebab selamatnya saudara kita dari kemaksiatan…..Jawablah wahai saudaraku fillah…..
Karena dengan menikahnya dirimu, maka engkau sedang ta’awun dengan istri atau suamimu, karena dengan menikahnya dirimu menjadi sebab terjaganya seorang istri atau suami kedalam perbuatan maksiat. Berkata Syaikh Muhammad Bin Shaleh Al-Utsaimin Rahimahullah : ” Diantara keutamaan menikah adalah dengan menikah dapat menjaga kemaluan dirinya dan istrinya dan menjaga pandangannya dan pandangan istrinya, kemudian setelah keutamaan itu lalu dalam rangka memenuhi kebutuhan syahwatnya ” ( Syarhul Mumti’ Jilid 12 hal : 10 )
Berkata Syaikh Shaleh Al Fauzan Hafidzahullah : “ Wahai manusia bertaqwalah kalian kepada Allah dan ketahuilah bahwa menikah terkandung didalamya kebaikkan yang sangat banyak, diantaranya kesucian suami istri dan terjaganya mereka dari terjatuh kedalam perbuatan maksiat, Rasullullah Shallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda : ” Wahai para pemuda barangsiapa diantara kalian yang mampu menikah maka menikahlah dikarenakan dengan menikah dapat lebih menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan “ Al Hadist ( Khutbatul Mimbariyah Fil Munaasibaatil ‘Asriyah, Syaikh Shaleh Al Fauzan : 242 )
Mungkin diantara kalian ada yang berkata, saya belum mau menikah dan belum ada pikiran kearah sana, maka saya katakan semoga Allah menjaga kita semua dan mengkaruniakan kepada kita pendamping yang sholehah…amin, wahai saudara ku fillah bahwa disana ada pendapat dari ulama yang mengatakan hukumnya sunnah (dianjurkan) bukan sekedar mubah (boleh) bagi orang yang tidak berkeinginan untuk menikah atau melakukan hubungan suami istri, sementara dia mampu, dan ini pendapat yang benar dikarenakan beberapa hal, diantaranya dengan menikah dia dapat menjaga agama istrinya atau menjadi sebab istrinya terjaga dari perbuatan maksiat, begitu juga dikarenakan masuk kedalam keumuman dalil tentang diajurkannya menikah ” ( Silahkan lihat Malzamah Kitab Nikah Syaikh Muhammad Bin Hizam Hafidzhullah )
Maka sudah saatnya untuk kita menikah, mencari pendamping sholehah, semanhaj, membina keluarga sakinah.
Maka sudah seharusnya kita ta’awun dengan menganjurkan orang untuk menikah dan membantunya sesuai dengan kemampuan kita.
Wahai kaum muslimin, semoga Allah memberi hidayah kepada kita semua….
Tidak tahukah kalian beberapa banyak dari pemuda kaum muslimin yang terjatuh kepada perbuatan zina, sebuah dosa yang sangat besar yang pelakunya berhak dihukum 100 kali cambukkan dan diasingkan dari negerinya, Adapun kalau sudah menikah dihukum dengan dirajam sampai mati.
Tidak tahukah kalian bahkan ada yang terjatuh pada sebuah dosa yang pelakunya berhak dikenai hukuman dengan dilempar dari gedung yang paling tinggi kemudian dilempari batu, bahkan dosa liwath ini telah menyebar dinegeri ini. Naudzubillah
Tidak tahukah engkau bahwa kemaksiatan onani, ponogarafi, buka aurat, pacaran dianggap sesuatu hal yang biasa…
Wahai kaum muslimin kalau seperti ini kondisi bangsa ini, lalu apa yang menjadikan alasan kita untuk menunda nikah…….
kalau seperti ini kondisi bangsa ini lalu apa yang menjadi alasan para orangtua tidak menganjurkan anaknya untuk menikah……
Kalau seperti ini kondisi bangsa ini lalu apa yang menjadi alasan para orang tua melarang anaknya untuk segera menikah, katakanlah kepada diriku wahai kaum muslimin.
Bukankah kita menginginkan keselamatan dan kebahagiaan untuk diri kita….
Bukankah kita menginginkan keselamatan dan kebahagiaan untuk keluarga kita…
Bukankah para orangtua menginginkan keselamatan dan kebahagiaan untuk anak-anaknya…..
Bukankah kita menginginkan keselamatan dan kebahagiaan untuk kaum muslimin…
Lantas apa yang menghalangi kita untuk menikah…..
Lantas apa yang menghalangi kita untuk menganjurkan orang untuk menikah…..
Lantas apa yang menghalangi kita untuk membantu saudara kita untuk menikah…..
Bukankah Allah Ta’ala dan Rasul Nya menganjurkan kita untuk menikah, Allah Ta’ala berfirman :
فَانكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً
” Maka nikahillah perempuan yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja.“ ( Qs. An Nisa’ : 3 )Rasullullah Shallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda : ” Wahai para pemuda barangsiapa diantara kalian yang mampu menikah maka menikahlah dikarenakan dengan menikah dapat lebih menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan dan barangsiapa tidak mampu menikah maka baginya untuk berpuasa hal itu sebagai tameng baginya “ ( HR. Bukahri dari Ibnu Mas’ud Radiyallahu ‘Anhu )
Berkata Syaikh Shaleh Al Fauzan Hafidzahullah : ” Didalam hadist ini terdapat anjuran dari Nabi Shallahu ‘Alaihi Wassalam untuk para pemuda, khususnya para pemuda kaum muslimin, dikarenakan syahwat para pemuda lebih kuat dan kebutuhan untuk menikah disisi mereka lebih banyak, karena inilah dianjurkan bagi mereka untuk menikah “ ( Tashiilul Ilmaam Bifiqhil Ahaadist Min Bulugil Maram, Jilid 4 Kitab Nikah, hal 304 )
Berkata Syaikh Abdullah Al Basam Rahimahullah : ” Setiap pernikahan ini terkandung didalamnya manfaat yang agung, yang kemanfaatan tersebut kembali kepada suami istri, anak – anak, perkumpulan (komunitas), dan agama dengan kebaikan yang banyak ” ( Taudihul Ahkam Min Bulugil Maram, Jlid 5 Kitab Nikah hal 209 )
Oleh karena itu ada yang ingin kukatakan ” Saatnya untuk kita menikah“, menjalankan perintah Allah dan Rasul Nya, membina rumah tangga sakinah semoga dengan itu Allah menjaga agama dan diri kita dari kemaksiatan.
Menjadi Teladan yang Baik Bagi Keluarga
Salah satu watak bawaan manusia sejak diciptakan Allah Ta’ala adalah kecenderungan untuk selalu meniru dan mengikuti orang lain yang dikaguminya, baik dalam kebaikan maupun keburukan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“الأرواح جنود مجندة، فما تعارف منها ائتلف وما تناكر اختلف”
“Ruh-ruh manusia adalah kelompok yang selalu bersama, maka yang saling bersesuaian di antara mereka akan saling dekat, dan yang tidak bersesuaian akan saling berselisih”[1].
Oleh karena itulah, metode pendidikan dengan menampilkan contoh figur untuk diteladani adalah termasuk salah satu metode pendidikan yang sangat efektif dan bermanfaat.
Dalam banyak ayat al-Qur’an Allah Ta’ala menceritakan kisah-kisah keteladanan para NabiShallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menjadi panutan bagi orang-orang yang beriman dalam meneguhkan keimanan mereka. Allah Ta’ala berfirman:
{وَكُلا نَقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنْبَاءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَكَ وَجَاءَكَ فِي هَذِهِ الْحَقُّ وَمَوْعِظَةٌ وَذِكْرَى لِلْمُؤْمِنِينَ}
“Dan semua kisah para rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran sertapengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman” (QS Huud:120).
Ketika menjelaskan makna ayat ini, Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah berkata: “Yaitu: supaya hatimu tenang dan teguh (dalam keimanan), dan (supaya kamu) bersabar seperti sabarnya para Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena jiwa manusia (cenderung) senang meniru dan mengikuti (orang lain), dan (ini menjadikannya lebih) bersemangat dalam beramal shaleh, serta berlomba dalam mengerjakan kebaikan…”[2].
Termasuk teladan kebaikan yang utama bagi keluarga kita adalah diri kita sendiri, karena tentu saja kita adalah orang yang paling dekat dengan mereka dan paling mudah mempengaruhi akhlak dan tingkah laku mereka. Maka menampilkan teladan yang baik dalam sikap dan tingkah laku di depan anggota keluarga adalah termasuk metode pendidikan yang paling baik dan utama. Bahkan para ulama menjelaskan bahwa pengaruh yang ditimbulkan dari perbuatan dan tingkah laku yang langsung terlihat terkadang lebih besar dari pada pengaruh ucapan[3].
Hal ini disebabkan jiwa manusia itu lebih mudah mengambil teladan dari contoh yang terlihat di hadapannya, dan menjadikannya lebih semangat dalam beramal serta bersegera dalam kebaikan[4].
Oleh karena itu, seorang pendidik yang ingin berhasil dalam mendidik anggota keluarganya, hendaknya berusaha memanfaatkan keberadaannya di tengah-tengah keluarganya untuk mendidik dan mengarahkan mereka kepada petunjuk Allah Ta’ala, bukan hanya dengan ucapan dan nasehat, tapi lebih dari itu, dengan menampilkan teladan baik yang langsung terlihat di mata mereka. Hal ini disamping membiasakan mereka melihat praktek amal-amal kebaikan, juga akan menumbuhkan kecintaan dan kekaguman dalam diri mereka terhadapnya, yang pada gilirannya akan memudahkan mereka untuk mengikuti semua bimbingan dan petunjuknya.
Dalam hal ini, imam Ibnul Jauzi rahimahullah membawakan sebuah ucapan seorang ulama salaf yang terkenal, Ibarahim al-Harbi rahimahullah [5]. Dari Muqatil bin Muhammad al-’Atakirahimahullah, beliau berkata: Aku pernah hadir bersama ayah dan saudaraku menemui Abu Ishak Ibrahim al-Harbi, maka beliau bertanya kepada ayahku: “Mereka ini anak-anakmu?”. Ayahku menjawab: “Iya”. (Maka) beliau berkata (kepada ayahku): “Hati-hatilah! Jangan sampai mereka melihatmu melanggar larangan Allah, sehingga (wibawamu) jatuh di mata mereka”[6].
Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullah, ketika menjelaskan pengaruh tingkah laku buruk seorang ibu dalam membentuk kepribadian buruk anaknya, beliau berkata: “Jika seorang ibu tidak memakai hijab (pakaian yang menutup aurat), tidak menjaga kehormatan dirinya, sering keluar rumah (tanpa ada alasan yang dibenarkan agama), suka berdandan dengan menampakkan (kecantikannya di luar rumah), senang bergaul dengan kaum lelaki yang bukanmahramnya, dan lain sebagainya, maka ini (secara tidak langsung) merupakan pendidikan(yang berupa) praktek (nyata) bagi anaknya, untuk (mengarahkannya kepada) penyimpangan (akhlak) dan memalingkannya dari pendidikan baik yang membuahkan hasil yang terpuji, berupa (kesadaran untuk) memakai hijab (pakaian yang menutup aurat), menjaga kehormatan dan kesucian diri, serta (memiliki) rasa malu, inilah yang dinamakan dengan ‘pengajaran pada fitrah (manusia)’ “[7].
Memberi manfaat rohani bagi anggota keluarga
Seorang pendidik yang berilmu diperumpamakan seperti hujan yang baik, dimanapun dia berada maka dia akan memberi manfaat bagi orang-orang di sekitarnya[8].
Inilah makna firman Allah Ta’ala tentang ucapan Nabi Isa ‘alaihis salam:
{وَجَعَلَنِي مُبَارَكاً أَيْنَ مَا كُنتُ}
“Dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkahi di mana saja aku berada” (QS Maryam:31).
Artinya: Dia menjadikan aku bermanfaat bagi orang-orang yang hidup di sekitarku, dengan aku mengajarkan kebaikan kepada mereka, memerintahkan kepada kebaikan dan melarang dari kemungkaran, serta menyeru mereka ke jalan Allah dengan ucapan dan perbuatanku”[9].
Di dalam biografi beberapa ulama salaf, kita dapati banyak kisah nyata peranan seorangpendidik dalam memberikan manfaat kebaikan bagi orang-orang yang hidup di sekitarnya.
Misalnya, apa yang disebutkan dalam biografi salah seorang Imam besar dari kalangan tabi’in, Hasan bin Abil Hasan Al Bashri rahimahullah [10], ketika Khalid bin Shafwan[11] menerangkan sifat-sifat Hasan Al Bashri kepada Maslamah bin Abdul Malik[12] dengan berkata: “Dia adalah orang yang paling sesuai antara apa yang disembunyikannya dengan apa yang ditampakkannya, paling sesuai ucapan dengan perbuatannya, kalau dia duduk di atas suatu urusan maka diapun berdiri di atas urusan tersebut…dan seterusnya”, setelah mendengar penjelasan tersebut Maslamah bin Abdul Malik berkata: “Cukuplah (keteranganmu), bagaimana mungkin suatu kaum akan tersesat (dalam agama mereka) kalau orang seperti ini (sifat-sifatnya) ada di tengah-tengah mereka?”[13].
Demikian pula apa yang disebutkan dalam biografi imam Abdur Rahman bin Aban bin ‘Utsman bin ‘Affan al-Qurasyi[14], bahwa beliau adalah seorang yang sangat tekun beribadah, maka suatu hari imam Ali bin Abdullah bin ‘Abbas[15] melihatnya dan kagum dengan ketekunannya beribadah, maka beliaupun meneladaninya dalam kebaikan[16].
Inilah gambaran keberkahan hidup dan manfaat keberadaan seorang pendidik di tengah masyarakatnya, terlebih lagi di tengah keluarganya, orang-orang yang paling berhak mendapatkan manfaat baik darinya.
Sebaik-baik teladan bagi keluarga muslim
Tentu saja, sebaik-baik teladan bagi keluarga muslim adalah Nabi mereka, nabi MuhammadShallallahu ‘alaihi wa sallam, yang diutus oleh Allah Ta’ala untuk menyempurnakan akhlak yang mulia, sebagaimana sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Aku diutus (oleh Allah Ta’ala) untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”[17].
Beliau r adalah orang yang paling kuat dan sempurna dalam menjalankan petunjuk AllahTa’ala, mengamalkan isi al-Qur’an, menegakkan hukum-hukumnya dan menghiasi diri dengan adab-adabnya[18]. Oleh karena itulah Allah Ta’ala sendiri yang memuji keluhuran budi pekerti beliau dalam firman-Nya:
{وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ}
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung” (QS al-Qalam:4).
Dan ketika Ummul mu’minin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha ditanya tentang ahlak (tingkah laku) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau menjawab: “Sungguh akhlak RasulullahShallallahu ‘alaihi wa sallam adalah al-Qur’an”[19].
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sosok teladan dan idola yang sempurna bagi orang-orang yang beriman kepada Allah yang menginginkan kebaikan dan keutamaan dalam hidup mereka.
Allah Ta’ala berfirman:
{لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا}
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (balasan kebaikan pada) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” (QS al-Ahzaab:21).
Dalam ayat yang mulia ini, Allah Ta’ala sendiri yang menamakan semua perbuatan RasulullahShallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai “teladan yang baik”, yang ini menunjukkan bahwa orang yang meneladani sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berarti dia telah menempuhash-shirathal mustaqim (jalan yang lurus) yang akan membawanya mendapatkan kemuliaan dan rahmat Allah Ta’ala[20].
Kemudian setelah itu, idola yang utama bagi seorang mukmin adalah orang-orang yang teguh dalam menegakkan tauhid dan keimanan mereka, sehingga Allah Ta’ala sendiri yang memuji perbuatan mereka sebagai “suri teladan yang baik” dalam firman-Nya:
{قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآَءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ}
Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada diri (nabi) Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya (yang mengikuti petunjuknya); ketika mereka berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah semata” (QS al-Mumtahanah:4).
Ketika mengomentari ayat ini, Syaikh Abdurrahman as-Sa’di i rahimahullah berkata: “Sesungguhnya keimanan dan pengharapan balasan pahala (dalam diri seorang muslim) akan memudahkan dan meringankan semua yang sulit baginya, serta mendorongnya untuk senantiasa meneladani hamba-hamba Allah yang shaleh, (utamanya) para Nabi dan Rasul‘alahis salam, karena dia memandang dirinya sangat membutuhkan semua itu” [21].
Demikian pula para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah teladan shaleh yang utama bagi orang yang beriman, karena Allah Ta’ala memuji mereka dalam banyak ayat al-Qur’an, di antaranya firman-Nya:
{مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الْإِنْجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآَزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا}
“Muhammad itu adalah utusan Allah Ta’ala dan orang-orang yang bersama dia (para sahabat) adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi penyayang di antara sesama mereka, kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda meraka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mu’min). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar” (QS al-Fath:29).
Dalam hal ini, Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata: “Barangsiapa di antara kamu yang ingin mengambil teladan, maka hendaknya dia berteladan dengan para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena mereka adalah orang-orang yang paling baik hatinya di umat ini, paling dalam pemahaman (agamanya), paling jauh dari sikap berlebih-lebihan, paling lurus petunjuknya, dan paling baik keadaannya, mereka adalah orang-orang yang dipilih oleh Allah untuk menjadi sahabat nabi-Nya, maka kenalilah keutaman mereka dan ikutilah jejak-jejak mereka, karena sesungguhnya mereka berada di atas petunjuk yang lurus”[22].
Pengaruh positif teladan yang baik bagi keluarga
Diantara pengaruh positif teladan yang baik adalah hikmah yang Allah Ta’ala sebutkan dalam firman-Nya:
{وَكُلا نَقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنْبَاءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَكَ وَجَاءَكَ فِي هَذِهِ الْحَقُّ وَمَوْعِظَةٌ وَذِكْرَى لِلْمُؤْمِنِينَ}
“Dan semua kisah para rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman” (QS Huud:120).
Dalam ayat ini jelas sekali menunjukkan bahwa kisah-kisah dalam al-Qur’an tentang ketabahan dan kesabaran para Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam memperjuangkan dan mendakwahkan agama Allah Ta’ala sangat berpengaruh besar dalam meneguhkan hati dan keimanan orang-orang yang beriman di jalan Allah Ta’ala.
Ketika menafsirkan ayat ini, imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Allah Ta’ala berfirman: semua yang kami ceritakan padama tentang kisah para rasul ‘alaihimussalam yang terdahulu bersama umat-umat mereka, ketika mereka berdialog dan beradu argumentasi (dengan umat-umat mereka), ketabahan para Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam (menghadapi) pengingkaran dan penyiksaan (dari musuh-musuh mereka), serta bagaimana Allah Ta’alamenolong golongan orang-orang yang beriman dan menghinakan musuh-musuh-Nya (yaitu) orang-orang kafir, semua ini adalah termasuk perkara yang (membantu) meneguhkan hatimu, wahai Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, agar engkau bisa mengambil teladan dari saudara-saudaramu para Nabi yang terdahulu”[23].
Imam Abu Hanifah rahimahullah pernah berkata: “Kisah-kisah (keteladanan) para ulama dan duduk di majelis mereka lebih aku sukai dari pada kebanyakan (masalah-masalah) fikh, karena kisah-kisah tersebut (berisi) adab dan tingkah laku mereka (untuk diteladani)” [24].
Demikian pula termasuk manfaat besar teladan yang baik bagi keluarga adalah menumbuh suburkan rasa kagum dan cinta dalam diri mereka kepada orang-orang bertakwa dan mulia di sisi Allah Ta’ala, yang ini merupakan sebab utama meraih kemuliaan yang agung di sisi AllahTa’ala, yaitu dikumpulkan bersama orang-orang shaleh tersebut di surga kelak, karena seseorang akan dikumpulkan bersama orang yang dicintainya pada hari kiamat nanti.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Engkau bersama orang yang kamu cintai (di surga kelak)”. Sahabat yang mulia, Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, yang meriwayatkan hadits ini dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, berkata: “Kami (para sahabat) tidak pernah merasakan suatu kegembiraan (setelah masuk Islam) seperti kegembiraan kami sewaktu mendengar sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Engkau bersama orang yang kamu cintai (di surga kelak)”, maka aku mencintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr dan Umar radhiyallahu ‘anhuma, dan aku berharap akan (dikumpulkan oleh AllahTa’ala) bersama mereka (di surga nanti) karena kecintaanku kepada mereka, meskipun aku belum mengerjakan amalan seperti amalan mereka”[25].
Penutup
Demikianlah, semoga tulisan ini bermanfaat bagi semua kaum muslimin, utamanya bagi mereka yang memiliki tanggung jawab mendidik anggota keluarganya.
Dan kami akhiri tulisan ini dengan memohon kepada Allah Ta’ala dengan nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna, agar Dia senantiasa melimpahkan taufik-Nya kepada kita semua, dan memudahkan kita menjadi penyebab kebaikan bagi orang-orang di sekitar kita, utamanya keluarga kita, sesungguhnya Dia Maha Mendengar dan Maha Mengabulkan doa.
Pertimbangan Al-Kafaa-ah dalam Memilih Suami

Oleh Syaikh Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin ‘Abdir Razzaq
Al-Kafaa-ah ( الْكَفَاءَةُ ) menurut bahasa الْكَفِىءُ ialah النَّظيْرُ (setara). Demikian pula الْكُفْءُ dan الْكُفْوُ, menurut wazan فَعْلٌ dan فُعُلٌ. Bentuk mashdarnya ialah الْكَفَاءَةُ. Engkau mengatakan لاَ كِفَاءَ لَهُ, artinya لاَنَظِيْرَلَهُ (tiada bandingannya).
الْكُفْوُ artinya sebanding dan sama. Di antaranya ialah al-kafaa-ah dalam pernikahan, yaitu suami sebanding dengan wanita dalam hal kedudukannya, agamanya, nasabnya, rumahnya, dan selainnya. [Lisaanul 'Arab, Ibnu Manzhur (V/3892), Darul Ma'arif]
Al-Kafaa-ah menurut syari’at ialah kesetaraan di antara suami isteri untuk menolak aib dalam perkara-perkara yang khusus, yang menurut ulama-ulama madzhab Maliki yaitu agama dan keadaan (al-haal), yakni terbebas dari cacat yang mengharuskannya khiyar (pilihan) untuknya. Sedangkan menurut jumhur ulama (mayoritas ulama) ialah agama, nasab, kemerdekaan, dan pekerjaan). Ulama-ulama madzhab Hanafi dan ulama-ulama madzhab Hanbali menambahkan dengan kekayaan dan harta.
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Penilaian al-kafaa-ah dalam agama disepakati. Maka pada dasarnya, muslimah tidak halal bagi orang kafir.” [Fat-hul Baari (IX/132)]
Pertama: Ayat-ayat yang Menunjukkan Dipertimbangkannya al-Kafaa-ah
- Allah Ta’ala berfirman:وَلاَ تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلأَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرُُ مِّن مُّشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلاَ تُنكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ خَيْرُُ مِّن مُّشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُوْلاَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللهُ يَدْعُوا إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ ءَايَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ {221}“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) hingga mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izinNya. Dan Allah menerangkan ayat-ayatNya (perintah-perintahNya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” [QS. Al-Baqarah: 221].
- Dia berfirman:إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ“Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa diantara kamu.” [QS. Al-Hujuraat: 13]
- Dia berfirman:الْخَبِيثَاتُ لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ“Wanita-wanita yang tidak baik adalah untuk laki-laki yang tidak baik, dan laki-laki yang tidak baik adalah buat wanita-wanita yang tidak baik (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki- laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). [QS. An-Nuur: 26]
- Dia berfirman:الزَّانِي لَا يَنكِحُ إلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mu’min.” [QS. An-Nuur: 3]
Kedua: Hadits-Hadits Mengenai Hal Itu
- Apa yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam bab al-Akfaa’ fid Diin kemudian dia menyebutkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda,“Wanita dinikahi karena empat perkara, karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan agamanya; maka pilihlah yang taat beragama, niscaya engkau beruntung.” [HR. Al-Bukhari (no. 5090) kitab an-Nikaah]Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam al-Fat-h, “Ini adalah jawaban yang tegas, jika dasar penilaian tentang al-kafaa-ah dalam nasab dianggap sah (karena harta dan keturunannya). Al-hasab pada asalnya ialah kemuliaan ayah dan kaum kerabat… karena kebiasaan mereka jika saling membanggakan, maka mereka menyebut sifat-sifat mereka dan peninggalan bapak-bapak mereka serta kaum mereka.” [Fat-hul Baari (IX/135)]Dinukil dari al-Qurthubi rahimahullah, “Tidak boleh diduga dari hadits ini bahwa keempat hal ini difahami sebagai al-kafaa-ah, yakni terbatas padanya.” [Fa-thul Baari (IX/136)]
- Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,“Jika datang kepada kalian orang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia. Jika kalian tidak melakukannya, maka akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar.” [HR. Muslim]
- Imam at-Tirmidzi meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,“Wahai manusia, sesungguhnya Allah telah menghilangkan dari kalian kebanggaan Jahiliyyah dan mengagung-agungkan bapak-bapaknya. Manusia itu ada dua macam, orang yang berbakti, bertakwa lagi mulia di sisi Allah dan orang yang durhaka, celaka lagi hina di sisi Allah. Manusia adalah anak keturunan Adam, dan Allah menciptakan Adam dari tanah. Allah berfirman, ‘Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakanmu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikanmu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Mahamengetahui lagi Mahamengenal” [QS. Al-Hujuraat:13].” [HR. At-Tirmidzi (no. 3270) kitab at-Tafsiir, dan dihasankan oleh Syaikh al-Albani dan Shahiihul Jaami' (VI/271)]
- Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Sahl bin Sa’ad as-Sa’idi radhiyallahu ‘anhu, bahwa seseorang lewat di hadapan Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam, maka beliau bertanya, “Apa yang kalian katakan mengenai orang ini?” Mereka menjawab, “Jika dia meminang pasti lamarannya diterima, jika menjadi perantara maka perantaraannya diterima, dan jika berkata maka kata-katanya didengar.” Kemudian ia diam. Lalu seseorang dari kaum muslimin yang fakir melintas, maka beliau bertanya, “Apa yang kalian katakan tentang orang ini?” Mereka menjawab, “Sudah pasti jika melamar maka lamarannya ditolak, jika menjadi perantara maka perantaraannya tidak akan diterima, dan jika berkata maka kata-katanya tidak didengar.” Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Orang ini lebih baik daripada seisi bumi orang seperti tadi.” [HR. Al-Bukhari (no. 5091) kitab an-Nikaah, Ibnu Majah (no. 4120) kitab az-Zuhd]
Menurut ulama, al-kafaa-ah bukan syarat sahnya pernikahan, kecuali seperti dalam ayat pertama (QS. An-Nuur: 3). Persoalannya terletak pada kerelaan wanita dan wali perihal kedudukan, nasab, dan harta… demikianlah, wallaahu a’lam.
Menumbuhkan Suasana Ibâdah di dalam Rumah
Bagi seorang muslim ataupun muslimah, menjalani kehidupan rumah tangga adalah bagian dari ibadah kepada AllahSubhanahu wa Ta’ala. Karena disadari, hidup berumah tangga merupakan pelaksanaan dari sunnah1 Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, di mana beliau mengancam orang yang membenci sunnah ini sebagai orang yang tidak menyepakati jalan yang beliau lalui. Shahabat Nabi yang mulia Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu menuturkan:
جاَءَ ثَلاَثَةُ رَهْطٍ إِلَى بُيُوْتِ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْأَلُوْنَ عَنْ عِبَادَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَلَمَّا أُخْبِرُوا كَأَنَّهُمْ تَقَالُّوْهَا، فَقَالُوْا: وَأَيْنَ نَحْنُ مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ قَدْ غَفَرَ اللهُ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ. قَالَ أَحَدُهُمْ: أَمَا أَنَا فَأَناَ أُصَلِّى اللَّيْلَ أَبَدًا. وَقَالَ آخَرُ: أَنَا أَصُوْمُ الدَّهْرَ وَلاَ أُفْطِرُ. وَقاَلَ آخَرُ: أَنَا أَعْتَزِلُ النِّسَاءَ فَلاَ أَتَزَوَّجُ أبَدًا. فَجَاءَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: أَنْتُمُ الَّذِيْنَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا؟ أَمَا وَاللهِ إِنِّي لأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ، لَكِنِّي أَصُوْمُ وَأُفْطِرُ، وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ، وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
Datang tiga orang shahabat ke rumah istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam guna menanyakan tentang ibadah NabiShallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika dikabarkan bagaimana ibadah beliau, seakan-akan mereka menganggapnya kecil. Mereka berkata: ‘Di mana posisi kita dibanding Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam? Sementara Allah telah mengampuni dosa-dosa beliau yang telah lalu dan yang akan datang’. Salah seorang dari mereka berkata: “Adapun aku, aku akan shalat malam semalam suntuk’. Yang satu lagi berkata: “Aku akan puasa sepanjang masa dan tidak pernah berbuka’. Yang lainnya mengatakan: “Aku akan menjauhi wanita maka aku tidak akan menikah selama-lamanya.” Datanglah RasulullahShallallahu ‘alaihi wa sallam dan dikabarkan ucapan mereka itu kepada beliau. Maka beliau pun bersabda: “Apakah kalian yang mengatakan ini dan itu? Demi Allah, aku adalah orang yang paling takut kepada Allah di antara kalian dan paling bertakwa kepada Allah. Akan tetapi aku puasa dan aku juga berbuka, aku shalat dan aku juga tidur, dan aku menikahi para wanita. Siapa yang membenci sunnahku2 maka ia bukan termasuk orang yang berjalan di atas jalanku’.”3
Demikianlah, karena menikah adalah ibadah, hidup berumah tangga adalah ibadah sehingga dalam perjalanan rumah tangganya sehari-hari tak lepas dari nilai ibadah. Ia upayakan agar rumah tangganya selalu dipenuhi dengan amalan ketaatan, perbuatan baik dan takwa yang dilakukan seluruh penghuni rumah. Ia memerintahkan mereka, menganjurkan dan mendorong mereka untuk beramal shalih, karena demikianlah yang diperintahkan Rabbnya Subhanahu wa Ta’ala:
وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلاَةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا لاَ نَسْأَلُكَ رِزْقًا نَحْنُ نَرْزُقُكَ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَى
“Perintahkanlah keluargamu untuk mengerjakan shalat dan bersabarlah atasnya. Kami tidak meminta rizki kepadamu bahkan Kamilah yang memberimu rizki dan balasan yang baik itu bagi orang-orang yang bertakwa.” (Thaha: 132)
Al-’Allamah Asy-Syaikh Abu Abdillah Abdurrahman bin Nashir As-Sa‘di4 rahimahullahu berkata menafsirkan ayat وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلاَةِ: “Anjurkan keluargamu untuk menegakkan shalat, dorong mereka untuk mengerjakannya baik shalat yang wajib maupun yang sunnah. Perintah untuk melakukan sesuatu mencakup perintah untuk melakukan seluruh perkara yang dibutuhkan guna menyempurnakan sesuatu tersebut. Sehingga perintah shalat dalam ayat ini mencakup perintah untuk mengajari keluarga tentang amalan shalat, apa yang bisa memperbaiki shalat, apa yang bisa merusaknya, dan apa yang bisa menyempurnakannya.
وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا Yakni: bersabarlah dalam menegakkan shalat, dengan hukum, rukun, adab-adab, dan khusyuknya. Karena hal itu berat bagi jiwa, akan tetapi sepantasnya jiwa itu dipaksa dan dibuat bersungguh-sungguh untuk mengamalkan shalat. Sabar bersama amalan shalat itu berlangsung terus menerus. Karena bila seorang hamba mengerjakan shalat sesuai dengan apa yang diperintahkan, niscaya amalan agama selain shalat akan lebih terjaga dan lebih lurus. Namun bila ia menyia-nyiakan shalat, niscaya amalan lainnya lebih tersia-siakan.” (Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 517)
Allah Subhanahu wa Ta’ala memuji salah seorang nabinya yang mulia, Nabi Ismail ‘alaihissalam, dengan firman-Nya:
وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ إِسْمَاعِيْلَ إِنَّهُ كَانَ صَادِقَ الْوَعْدِ وَكَانَ رَسُوْلاً نَبِيًّا. وَكَانَ يَأْمُرُ أَهْلَهُ بِالصَّلاَةِ وَالزَّكَاةِ وَكَانَ عِنْدَ رَبِّهِ مَرْضِيًّا
“Dan ceritakanlah (wahai Muhammad kepada mereka) kisah Ismail (yang tersebut) di dalam Al-Qur`an. Sesungguhnya Ismail adalah seorang yang benar janjinya dan dia adalah seorang rasul dan nabi. Dia menyuruh keluarganya untuk mengerjakan shalat dan menunaikan zakat, dan dia adalah seorang yang diridhai di sisi Rabbnya.” (Maryam: 54-55)
Al-Allamah Abu Ats-Tsana` Syihabuddin As-Sayyid Mahmud Al-Alusi Al-Baghdadi5 rahimahullahu berkata: “Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman وَكَانَ يَأْمُرُ أَهْلَهُ بِالصَّلاَةِ وَالزَّكَاةِ (Dia menyuruh keluarganya untuk mengerjakan shalat dan menunaikan zakat) dalam rangka menyibukkan diri dengan yang paling penting yaitu seorang lelaki (suami/kepala rumah tangga) setelah ia menyempurnakan dirinya ia mulai menyempurnakan orang yang paling dekat dengannya. Allah Subhanahu wa Ta’alaberfirman:
وَ أَنْذِرْ عَشِيْرَتَكَ اْلأَقْرَبِيْنَ
“Berilah peringatan kepada keluarga/kerabatmu yang terdekat.” (Asy-Syu`ara’: 214)
وَ أْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلاَةِ
“Perintahkanlah keluargamu untuk mengerjakan shalat.” (Thaha: 132)
قُوْا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيْكُمْ نَارًا
“Jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka.” (At-Tahrim: 6)
Atau ia bertujuan untuk menyempurnakan semua orang dengan terlebih dahulu menyempurnakan mereka (anggota keluarganya/orang yang terdekat dengannya) karena mereka merupakan qudwah/contoh teladan yang akan ditiru oleh manusia.” (Ruhul Ma‘ani, 9/143)
Sabda Nabi yang mulia pun turut menjadi pendorongnya untuk menganjurkan keluarganya kepada kebajikan. Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
رَحِمَ اللهُ رَجُلاً قَامَ مِنَ الّليْلِ فَصَلَّى وَأَيْقَظَ امْرَأَتَهُ فَصَلَّتْ, فَإِنْ أَبَتْ نَضَحَ فِي وَجْهِهَا الْمَاءَ. وَ رَحِمَ اللهُ امْرَأَةً قَامَتْ مِنَ الّليْلِ فَصَلَّتْ وَأَيْقَظَتْ زَوْجَهَا فَصَلَّى, فَإِنْ أَبَى نَضَحَت فِي وَجْهِهِ الْمَاءَ
“Semoga Allah merahmati seorang lelaki (suami) yang bangun di waktu malam lalu mengerjakan shalat dan ia membangunkan istrinya hingga istrinya pun shalat. Bila istrinya enggan, ia percikkan air ke wajahnya. Dan semoga Allah merahmati seorang wanita (istri) yang bangun di waktu malam lalu mengerjakan shalat dan ia membangunkan suaminya hingga suaminya pun shalat. Bila suaminya enggan, ia percikkan air ke wajahnya.”6
Al-Allamah Al-‘Azhim Abadi rahimahullahu menerangkan hadits di atas dengan menyatakan bahwa Allah merahmati seorang lelaki yang shalat tahajjud pada sebagian malam dan ia membangunkan istrinya ataupun wanita yang merupakan mahramnya, baik dengan peringatan atau nasehat hingga si istri pun mengerjakan shalat walau hanya satu raka‘at. Bila istrinya enggan untuk bangun karena kantuk yang sangat atau perasaan malas yang lebih dominan, ia memercikkan air ke wajah istrinya. Yang dimaukan di sini adalah ia berlaku lembut kepada istrinya dan berusaha membangunkannya untuk mengerjakan amalan ketaatan kepada Rabbnya selama memungkinkan, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوى
“Tolong menolonglah kalian dalam perbuatan kebaikan dan ketakwaan.”
Hadits ini menunjukkan bolehnya bahkan disenangi memaksa seseorang untuk melakukan amal kebaikan. Sebagaimana hadits ini menerangkan tentang pergaulan yang baik antara suami dengan istrinya, kelembutan yang sempurna, kesesuaian, kecocokan dan kesepakatan di antara keduanya. (Lihat Aunul Ma‘bud, kitab Ash-Shalah, bab Al-Hatstsu ‘ala Qiyamil Lail)
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
إِذَا أَيْقَظَ الرَّجُلُ أَهْلَهُ مِنَ اللّيْلِ فَصَلَّيَا أَوْ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ جَمِيْعًا، كُتِبَا في الذَّاكِرِيْنَ وَالذَّاكِرَاتِ
“Apabila seorang lelaki (suami) membangunkan keluarganya di waktu malam hingga keduanya mengerjakan shalat atau shalat dua rakaat semuanya, maka keduanya dicatat termasuk golongan laki-laki dan perempuan yang berzikir.”7
Dalam riwayat yang dikeluarkan An-Nasa`i disebutkan dengan lafadz:
إِذَا اسْتَيْقَظَ الرَّجُلُ مِنَ اللّيْلِ وَأَيْقَظَ امْرَأَتَهُ فَصَلَّيَا رَكْعَتَيْنِ, كُتِبَا مِنَ الذَّاكِرِيْنَ اللهَ كَثِيْرًا وَالذَّاكِرَاتِ
“Apabila seorang lelaki (suami) bangun di waktu malam dan ia membangunkan istrinya lalu keduanya mengerjakan shalat dua rakaat, maka keduanya dicatat termasuk golongan laki-laki dan perempuan yang banyak mengingat/berdzikir kepada Allah.”
Yang dimaksud dengan keluarga dalam hadits di atas meliputi istri, anak-anak, kerabat, budak laki-laki maupun perempuan. (Aunul Ma‘bud, kitab Ash-Shalah, bab Al-Hatstsu ‘ala Qiyamil Lail). Dan hadits di atas tidaklah menunjukkan syarat harus suami yang membangunkan istrinya namun yang dimaukan adalah bila salah seorang dari keduanya terbangun di waktu malam maka ia membangunkan yang lain (Syarhu Sunan Ibni Majah, Al-Imam As-Sindi, 1/401)
Sungguh beruntung pasangan suami istri atau keluarga yang mengamalkan hadits di atas karena mereka akan tercatat sebagai orang-orang yang banyak berzikir kepada Allah. Dan ganjarannya, mereka akan beroleh ampunan berikut pahala yang besar, sebagaimana Rabbul ‘Izzah berfirman:
اَلذَّاكِرِيْنَ اللهَ كَثِيْرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللهُ لَهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيْمًا
“Kaum laki-laki dan perempuan yang banyak berzikir kepada Allah, Allah menyiapkan bagi mereka ampunan-Nya dan pahala yang besar.” (Al-Ahzab: 35)
Kasih sayang dan kelembutan seorang suami ataupun seorang istri kepada keluarganya semestinya tidak menghalanginya untuk menasehati dan menganjurkan mereka agar senantiasa meningkatkan ibadah kepada AllahSubhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana hal ini diperbuat qudwah shalihah dan uswah hasanah kita, Rasul yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada keluarganya. Di mana beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membangunkan mereka untuk mengerjakan shalat malam. ‘Aisyah radhiallahu ‘anha mengabarkan:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّى وَأَنَا رَاقِدَةٌ مُعْتَرِضَةً عَلى فِرَاشِهِ, فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يُوْتِرَ أَيْقَظَنِي فَأَوْتَرْتُ
“Adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat malam sedangkan aku tidur dalam keadaan melintang di atas tempat tidurnya. Bila beliau hendak shalat witir beliau pun membangunkan aku, maka aku pun mengerjakan witir.” 8
Ummu Salamah radhiallahu ‘anha, istri beliau yang lain juga berkisah:
أن النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِسْتَيْقَطَ لَيْلَةً, فَقَالَ: سُبْحَانَ اللهِ مَاذَا أُنْزِلَ الْلَّيْلَةَ مِنَ الْفِتَنِ, مَاذَا أُنْزِلَ مِنَ الْخَزَائِنِ, مَنْ يُوْقِظُ صَوَاحِبَ الْحُجرَاتِ؟ يَا رُبَّ كَاسِيَةٍ فِي الدُّنْيَا عَارِيَةٍ فِي الآخِرَةِ
“Suatu malam Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terbangun. Beliau bersabda: “Maha suci Allah, fitnah apakah yang diturunkan pada malam ini dan perbendaharaan apakah yang diturunkan pada malam ini? Siapakah yang akan membangunkan para penghuni kamar-kamar itu9. Berapa banyak orang yang berpakaian di dunia ini namun di akhirat ia telanjang10.”
Tidak sebatas istri-istrinya, bahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga membangunkan anak dan menantunya untuk mengerjakan shalat, sebagaimana dikisahkan Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu:
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَرَقَهُ وَفَاطِمَةَ بِنْتَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً, فَقَالَ: أَلاَ تُصَلِّيَانِ؟
Suatu malam Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendatanginya dan Fathimah putri Nabi, seraya berkata:“Tidakkah kalian berdua bangun untuk mengerjakan shalat?”11
Ibnu Baththal rahimahullahu berkata: “Hadits ini menunjukkan keutamaan shalat malam (shalat lail/tahajjud) dan membangunkan keluarga serta kerabat yang tidur agar mengerjakan shalat malam tersebut.” (Fathul Bari, 3/15-16)
Ath-Thabari rahimahullahu menyatakan, seandainya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengetahui adanya keutamaan yang besar dalam shalat lail niscaya beliau tidak akan mengusik putrinya dan anak pamannya pada waktu yang memang Allah jadikan sebagai saat ketenangan/istirahat bagi makhluk-Nya. Akan tetapi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memilih keduanya agar memperoleh keutamaan itu daripada merasakan lelapnya dan enaknya tidur. Beliau lakukan hal tersebut dalam rangka menjalankan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلاَةِ (Perintahkanlah keluargamu untuk shalat). (Fathul Bari, 3/16)
Demikianlah seharusnya hidup berumah tangga. Sepasang insan yang beriman kepada Allah dan hari akhir selalu dipenuhi dengan ibadah dan amal ketaatan kepada Allah, ajakan dan anjuran kepada anggota keluarga untuk mengerjakan kebaikan dan melarang dari kemungkaran. Sehingga kita dapatkan keluarga muslim adalah keluarga yang senantiasa berlomba-lomba kepada kebaikan, terdepan dalam menjalankan titah Ar-Rahman:
فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ
“Berlomba-lombalah kalian kepada kebaikan.” (Al-Baqarah: 148)
سَابِقُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا كَعَرْضِ السَّمَاءِ وَاْلأَرْضِ أُعِدَّتْ لِلَّذِيْنَ آمَنُوا بِاللهِ وَرُسُلِهِ ذَلِكَ فَضْلُ اللهِ يُؤْتِيْهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيْمِ
“Bersegeralah kalian kepada ampunan dari Rabb kalian dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasul-rasul-Nya. Yang demikian itu adalah keutamaan Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki dan Allah memiliki keutamaan yang besar.” (Al-Hadid: 21)
Wallahu ta‘ala a‘lam bish-shawab.
Footnote:
1 Yang dimaksud dengan sunnah di sini adalah jalan/cara bukan sunnah yang merupakan lawan dari wajib/fardlu
2 Membenci sunnahku yakni meninggalkan jalanku dan mengambil selain jalanku (Fathul Bari, 9/133)
3 HR. Al-Bukhari no. 5063, kitab An-Nikah, bab At-Targhib fin Nikah dan Muslim no. 3389, kitab An-Nikah, bab Istihbabun Nikah ….
4 Lahir 12 Muharram 1307 H (1886 M) dan wafat 24 Jumadits Tsaniyah 1376 H (1955 M)
5 Wafat th. 1270 H
6 HR. Abu Dawud no. 1308 kitab Ash-Shalah, bab Al-Hatstsu ‘ala Qiyamil Lail, An-Nasa`i no. 1609 bab At-Targhib fi Qiyamil Lail dan Ibnu Majah no. 1336 bab Ma Ja`a Fiman Ayqazha Ahlahu Minal Laili, dihasankan Asy-Syaikh Muqbil dalam Ash-Shahihul Musnad Mimma Laisa fish Shahihain, 2/303
7 HR. Abu Dawud no. 1309 kitab Ash-Shalah, bab Al-Hatstsu ‘ala Qiyamil Lail, dan Ibnu Majah no. 1335 bab Ma Ja`a Fiman Aiqazha Ahlahu Minal Laili. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Abi Dawud, Shahih Ibni Majah, dan Al-Misykat no. 1238.
8 HR. Al-Bukhari no. 997 kitab Al-Witr, bab Iqazhun Nabiyyi Shallallahu ‘alaihi wa sallam Ahlahu bil Witr dan Muslim no. 1141, bab I‘tirad baina Yadayil Mushalli
9 Yang beliau maksudkan adalah istri-istri beliau agar mereka bangun guna mengerjakan shalat (Fathul Bari 3/15)
10 HR. Al-Bukhari no. 1126, kitab At-Tahajjud, bab Tahridlin Nabiyyi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ‘ala Qiyamil Laili wan Nawafil min Ghairi Ijab…
11 HR. Al-Bukhari no. 1127 kitab At-Tahajjud, bab Tahridlin Nabiyyi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ‘ala Qiyamil Laili wan Nawafil min Ghairi Ijab… dan Muslim no. 1815, kitab Shalatul Musafirin wa Qashruha, bab Ma Ruwiya Fiman Namal Laila Ajma‘ Hatta Ashbaha.
2 Membenci sunnahku yakni meninggalkan jalanku dan mengambil selain jalanku (Fathul Bari, 9/133)
3 HR. Al-Bukhari no. 5063, kitab An-Nikah, bab At-Targhib fin Nikah dan Muslim no. 3389, kitab An-Nikah, bab Istihbabun Nikah ….
4 Lahir 12 Muharram 1307 H (1886 M) dan wafat 24 Jumadits Tsaniyah 1376 H (1955 M)
5 Wafat th. 1270 H
6 HR. Abu Dawud no. 1308 kitab Ash-Shalah, bab Al-Hatstsu ‘ala Qiyamil Lail, An-Nasa`i no. 1609 bab At-Targhib fi Qiyamil Lail dan Ibnu Majah no. 1336 bab Ma Ja`a Fiman Ayqazha Ahlahu Minal Laili, dihasankan Asy-Syaikh Muqbil dalam Ash-Shahihul Musnad Mimma Laisa fish Shahihain, 2/303
7 HR. Abu Dawud no. 1309 kitab Ash-Shalah, bab Al-Hatstsu ‘ala Qiyamil Lail, dan Ibnu Majah no. 1335 bab Ma Ja`a Fiman Aiqazha Ahlahu Minal Laili. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Abi Dawud, Shahih Ibni Majah, dan Al-Misykat no. 1238.
8 HR. Al-Bukhari no. 997 kitab Al-Witr, bab Iqazhun Nabiyyi Shallallahu ‘alaihi wa sallam Ahlahu bil Witr dan Muslim no. 1141, bab I‘tirad baina Yadayil Mushalli
9 Yang beliau maksudkan adalah istri-istri beliau agar mereka bangun guna mengerjakan shalat (Fathul Bari 3/15)
10 HR. Al-Bukhari no. 1126, kitab At-Tahajjud, bab Tahridlin Nabiyyi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ‘ala Qiyamil Laili wan Nawafil min Ghairi Ijab…
11 HR. Al-Bukhari no. 1127 kitab At-Tahajjud, bab Tahridlin Nabiyyi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ‘ala Qiyamil Laili wan Nawafil min Ghairi Ijab… dan Muslim no. 1815, kitab Shalatul Musafirin wa Qashruha, bab Ma Ruwiya Fiman Namal Laila Ajma‘ Hatta Ashbaha.
ADA SAATNYA.....
Manusia tidak selamanya bisa menghadirkan hati untuk selalu mengingat akhirat. Dalam hidup berumah tangga, ada saat-saat bagi kita untuk bercanda dengan anak-anak, bermesraan dengan suami, dan kesenangan-kesenangan dunia lainnya. Bagaimana mengelola itu semua sehingga kehidupan kita senantiasa dalam naungan syariat?
Mungkin pernah terlintas di benak kita bahwa hari-hari bersama suami dan anak-anak kadang dipenuhi dengan kelalaian. Kita disibukkan untuk melayani mereka, mengurusi dan mempersiapkan kebutuhan mereka. Belum lagi menyempatkan diri untuk duduk bermesraan dan bercengkerama dengan suami, ditambah dengan bermain dan bersenda gurau dengan anak-anak. Bersama mereka, kita selalu tertawa dan seakan lupa dengan kehidupan setelah kehidupan ini. Bersama mereka, seakan kita merasa kebersamaan ini akan kekal, tidak akan ada perpisahan. Yang ada hanyalah kebahagiaan demi kebahagiaan, kesenangan demi kesenangan. Bersama mereka seakan kita hidup hanya untuk dunia… Bersama mereka kita terbuai, lupa dan lalai…
Namun saat duduk sendiri dalam keheningan malam, bersimpuh di hadapan Ar-Rahman, ketika orang-orang yang dikasihi sedang terlelap dalam mimpi-mimpi indah mereka, timbul ingatan dan kesadaran bahwa semua itu tidaklah kekal, bahwa ada saat perjumpaan dengan Ar-Rahman. Di sana ada kenikmatan yang menanti dan ada azab yang tak terperikan. Hati menjadi lunak hingga mata pun mudah meneteskan butiran beningnya, terasa tak ingin berpisah dengan perasaan seperti ini. Ingin selalu rasa ini menyertai, ingin selalu tangis ini mengalir membasahi pipi…. Ingin dan ingin selalu ingat dengan akhirat, berpikir tentang akhirat di sepanjang waktu tanpa lupa sedetik pun dan tanpa lalai sekerdip mata pun.
Demikian pula ketika kita duduk di majelis dzikir, majelis ilmu yang haq, mendengar ceramah seorang ustadz tentang dunia dengan kefanaan dan kerendahannya, tentang akhirat dengan kemuliaannya, tentang targhib dan tarhib, tentang kenikmatan surga dan azab neraka… Kembali kita ingat bahwa tawa canda dan kegembiraan kita dalam rumah tangga, bersama suami dan anak-anak, adalah kefanaan. Ada kehidupan setelah kehidupan dunia yang hanya sementara ini.
Pikiran seperti ini bisa saja suatu saat timbul di benak kita, sehingga terkadang membuat kita terusik, didera keresahan dan kebimbangan. Benarkah sikapku? Salahkah perbuatanku?
Saudariku…
Perasaan yang mungkin agak mirip dengan yang pernah engkau rasakan juga pernah dialami para shahabat RasulullahShallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia. Hanzhalah Al-Asadi radhiallahu ‘anhu seorang shahabat yang terhitung dalam jajaran juru tulis Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertutur:
Suatu ketika, aku berjumpa dengan Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu.
“Ada apa denganmu, wahai Hanzhalah?” tanyanya1.
“Hanzhalah ini telah berbuat nifaq,” jawabku.
“Subhanallah, apa yang engkau ucapkan?” tanya Abu Bakr.
“Bila kita berada di sisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau mengingatkan kita tentang neraka dan surga hingga seakan-akan kita bisa melihatnya dengan mata kepala kita. Namun bila kita keluar meninggalkan majelis RasulullahShallallahu ‘alaihi wa sallam, istri, anak dan harta kita (sawah ladang ataupun pekerjaan, -pent.) menyibukkan kita2, hingga kita banyak lupa/lalai,” kataku.
“Demi Allah, kami juga menjumpai yang semisal itu3,” Abu Bakr menanggapi perasaan Hanzhalah.
Aku pun pergi bersama Abu Bakar menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga kami dapat masuk ke tempat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Hanzhalah ini telah berbuat nifaq, wahai Rasulullah,” kataku.
“Apa yang engkau katakan? Mengapa engkau bicara seperti itu?” tanya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Wahai Rasulullah, bila kami berada di sisimu, engkau mengingatkan kami tentang neraka dan surga hingga seakan-akan kami dapat melihatnya dengan mata kepala kami. Namun bila kami keluar meninggalkan majelismu, istri, anak dan harta kami (sawah ladang ataupun pekerjaan, -pent.) melalaikan kami, hingga kami banyak lupa/lalai4,” jawabku.
Mendengar penuturan yang demikian itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Ada apa denganmu, wahai Hanzhalah?” tanyanya1.
“Hanzhalah ini telah berbuat nifaq,” jawabku.
“Subhanallah, apa yang engkau ucapkan?” tanya Abu Bakr.
“Bila kita berada di sisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau mengingatkan kita tentang neraka dan surga hingga seakan-akan kita bisa melihatnya dengan mata kepala kita. Namun bila kita keluar meninggalkan majelis RasulullahShallallahu ‘alaihi wa sallam, istri, anak dan harta kita (sawah ladang ataupun pekerjaan, -pent.) menyibukkan kita2, hingga kita banyak lupa/lalai,” kataku.
“Demi Allah, kami juga menjumpai yang semisal itu3,” Abu Bakr menanggapi perasaan Hanzhalah.
Aku pun pergi bersama Abu Bakar menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga kami dapat masuk ke tempat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Hanzhalah ini telah berbuat nifaq, wahai Rasulullah,” kataku.
“Apa yang engkau katakan? Mengapa engkau bicara seperti itu?” tanya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Wahai Rasulullah, bila kami berada di sisimu, engkau mengingatkan kami tentang neraka dan surga hingga seakan-akan kami dapat melihatnya dengan mata kepala kami. Namun bila kami keluar meninggalkan majelismu, istri, anak dan harta kami (sawah ladang ataupun pekerjaan, -pent.) melalaikan kami, hingga kami banyak lupa/lalai4,” jawabku.
Mendengar penuturan yang demikian itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، إِنْ لَوْ تَدُوْمُوْنَ عَلَى مَا تَكُوْنُوْنَ عِنْدِي وَفِي الذِّكْرِ لَصَافَحَتْكُمُ الْمَلائِكَةُ عَلَى فُرُشِكُمْ وَفِي طُرُقِكُمْ، وَلَكِنْ يَا حَنْظَلَةُ سَاعَةً سَاعَةً. (ثَلاَثَ مَرَّاتٍ)
“Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya kalian tetap berada dalam perasaan sebagaimana yang kalian rasakan ketika berada di sisiku dan selalu ingat demikian, niscaya para malaikat akan menjabat tangan kalian di atas tempat tidur kalian dan di jalan-jalan kalian. Akan tetapi wahai Hanzhalah, ada saatnya begini dan ada saatnya begitu.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkannya tiga kali. (HR. Muslim no. 6900, kitab At-Taubah, bab Fadhlu Dawamidz Dzikr wal Fikr fi Umuril Akhirah wal Muraqabah, wa Jawazu Tarki Dzalik fi Ba’dhil Auqat wal Isytighal bid Dunya)
Dalam riwayat lain disebutkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas dengan lafadz:
يَا حَنْظَلَةُ، سَاعَةً سَاعَةً، وَلَوْ كَانَتْ تَكُوْنُ قُلُوْبُكُمْ كَمَا تَكُوْنُ عِنْدَ الذِّكْرِ، لَصَافَحَتْكُمُ الْمَلائِكَةُ حَتَّى تُسَلِّمَ عَلَيْكُمْ فِي الطُُّرُقِ
“Wahai Hanzhalah, ada saatnya begini, ada saatnya begitu. Seandainya hati-hati kalian senantiasa keadaannya sebagaimana keadaan ketika ingat akan akhirat, niscaya para malaikat akan menjabat tangan kalian, hingga mereka mengucapkan salam kepada kalian di jalan-jalan.” (HR. Muslim no. 6901)
Hanzhalah radhiallahu ‘anhu dengan kemuliaan dirinya sebagai salah seorang shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidaklah membuatnya merasa aman dari makar Allah Subhanahu wa Ta‘ala. Bahkan ia merasa khawatir bila ia termasuk orang munafik, karena saat berada di majelis Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam rasa khauf (takut kepada AllahSubhanahu wa Ta’ala dan azab-Nya yang pedih) terus menyertainya, dibarengi muraqabah (merasa terus dalam pengawasan Allah Subhanahu wa Ta’ala), berpikir dan menghadapkan diri kepada akhirat. Namun ketika keluar meninggalkan majelis Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia disibukkan dengan istri, anak-anak dan penghidupan dunia. Hanzhalah khawatir hal itu merupakan kemunafikan, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengajari Hanzhalah dan para shahabat yang lain bahwa keadaan seperti itu bukanlah kemunafikan. Karena mereka tidaklah dibebani untuk terus menerus harus memikirkan dan menghadapkan diri hanya pada kehidupan akhirat. Ada waktunya begini dan ada waktunya begitu. Ada saatnya memikirkan akhirat dan ada saatnya mengurusi penghidupan di dunia. (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 17/70)
Ketika Hanzhalah radhiallahu ‘anhu mengeluhkan perasaan dan keadaan dirinya yang demikian itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bila keadaannya sama dengan keadaannya ketika bersama beliau, merasa hatinya itu lunak dan takut kepada Allah. Terus keadaannya demikian di mana pun ia berada, niscaya para malaikat dengan terang-terangan akan menyalaminya di majelisnya, di atas tempat tidurnya dan di jalan-jalannya.
Namun yang namanya manusia tidaklah bisa demikian. Ada waktunya ia bisa menghadirkan hatinya untuk mengingat akhirat, dan ada saatnya ia lemah dari ingatan akan akhirat. Ketika waktunya ingat akan akhirat, ia bisa menunaikan hak-hak Rabbnya dan mengatur perkara agamanya. Saat waktunya lemah, ia mengurusi bagian dari kehidupan dunianya ini. Dan tidaklah seseorang dianggap munafik bila demikian keadaannya, karena masing-masingnya merupakan rahmah atas para hamba. (Tuhfatul Ahwadzi, kitab Shifatul Qiyamah war Raqa`iq wal Wara’, bab ke 59, Syarhu Sunan Ibni Majah, 2/560)
Al-Imam As-Sindi rahimahullahu menjelaskan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (لَوْ تَدُوْمُوْنَ عَلَى مَا تَكُوْنُوْنَ) : “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan mereka bahwa biasanya hati itu tidak selamanya dapat dihadirkan untuk selalu ingat akhirat. Namun hal itu tidaklah memudharatkan bagi keberadaan iman di dalam hati, karena kelalaian/saat hati itu lupa tidaklah melazimkan (mengharuskan) hilangnya keimanan.” (Syarhu Sunan Ibni Majah, 2/559-560)
Demikianlah ajaran yang diberikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya, kepada para suami dan tentunya juga untuk para istri. Kesibukan dalam rumah tangga, bersenda gurau dengan suami dan bermain-main dengan anak-anak hingga kadang membuat lupa dan lalai, bukanlah suatu dosa yang dapat menghilangkan keimanan dalam hati.
Ada saatnya memang manusia itu lupa dan lalai karena memang demikian tabiat mereka yang Allah Subhanahu wa Ta’alaciptakan. Yang dicela hanyalah bila ia terus tenggelam dalam kelalaian, ridha terlena dengan keadaan yang demikian, dan memang enggan untuk bangkit memperbaiki diri. Pikirannya hanya dunia dan dunia, tanpa mengingat akhirat. Namun bila terkadang lupa kemudian ingat, ia bersemangat kembali. Demikianlah sifat manusia, manusia bukanlah malaikat yang mereka memang diciptakan semata untuk taat dan selalu beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, selalu mengerjakan dengan sempurna apa yang diperintahkan, tanpa lalai sedikitpun.
وَمَنْ عِنْدَهُ لاَ يَسْتَكْبِرُوْنَ عَنْ عِبَادَتِهِ وَلاَ يَسْتَحْسِرُوْنَ. يُسَبِّحُونَ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ لاَ يَفْتُرُوْنَ
“Dan malaikat-malaikat yang di sisi-Nya, mereka tiada mempunyai rasa angkuh untuk beribadah kepada-Nya dan tidak pula mereka merasa letih. Mereka selalu bertasbih kepada Allah siang dan malam tiada hentinya-hentinya.” (Al-Anbiya`: 19-20)
Para malaikat itu tidak pernah lelah, tidak pernah bosan dan jenuh karena kuatnya raghbah (harapan) mereka (kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala), sempurnanya mahabbah (cinta) mereka, dan kuatnya tubuh mereka. Mereka tenggelam dalam ibadah dan bertasbih di seluruh waktu mereka. Sehingga tidak ada waktu mereka yang terbuang sia-sia dan tidak ada waktu mereka yang luput dari ketaatan. Tujuan mereka selalu lurus, sebagaimana lurusnya amalan mereka. Dan mereka diberi kemampuan untuk melakukan semua itu, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
لاَ يَعْصُوْنَ اللهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُوْنَ مَا يُؤْمَرُوْنَ
“Mereka tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (At-Tahrim: 6) [Al-Mishbahul Munir fi Tahdzib Tafsir Ibni Katsir hal. 862, Taisir Al-Karimir Rahman hal. 520-521]
Itulah sifat-sifat malaikat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang mulia. Dan manusia, sekali lagi bukanlah malaikat. Pada diri manusia ada kelalaian dan sifat lupa. Kadang semangat dalam menjalankan ketaatan, kadang pula futur (lemah semangat). Kadang hatinya tersibukkan mengingat kematian dan kampung akhirat, kadang pula ia sibuk mengurus dunianya. Begitulah sifat manusia, ada saatnya begini, ada saatnya begitu. Dan orang yang demikian keadaannya tidaklah bisa dicap munafik, sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menolak cap seperti itu ketika diucapkan oleh Hanzhalah radhiallahu ‘anhu.
Dengan penjelasan di atas, kita berharap dapat mengambil pelajaran bahwa kita tidaklah dituntut untuk menjadi seorang yang ghuluw (berlebihan melampaui batas). Sehingga karena tak ingin dilalaikan dengan kesibukan rumah tangga, dengan suami dan anak, kita pun memilih hidup membujang agar bisa sepenuhnya beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Atau jika kita sudah berumah tangga, lalu kita terapkan sikap ekstrim; tidak boleh ada canda tawa dengan suami, tak boleh ada gurauan karena dianggap sia-sia, harus diam berzikir. Tidak ada berkasih mesra karena membuang waktu dan itu hanyalah perbuatan ahlud dunya, orang-orang yang cinta dunia, sementara kita orientasinya akhirat. Tidak perlu mengajak anak-anak bermain. Rumah tidak perlu terlalu diurusi dan ditata, masak sekedarnya tidak usah enak-enak, tidak perlu ada perawatan tubuh dan kecantikan, tidak perlu repot dengan dandanan dan penampilan di depan suami, tidak mengapa pakai baju yang sudah sobek, semuanya sekedarnya… Toh ini cuma kehidupan dunia, toh semua ini melalaikan dan buang waktu… Benarkah? Tentunya tidak! Bila ada seorang istri yang melakukannya atau berpikir seperti itu, maka benar-benar hal itu bersumber dari kebodohannya.
Tapi kita katakan, urusilah rumah tanggamu dengan baik. Perhatikan suami dan anak-anakmu. Usahakan untuk memberikan yang terbaik dan ternyaman untuk mereka, baik dari sisi pelayanan, penyediaan makanan, penataan rumah dan sebagainya sesuai dengan kemampuan yang ada dengan tiada memberatkan. Kalau dikatakan hal itu melalaikan dari akhirat maka jawabannya hadits Hanzhalah radhiallahu ‘anhu di atas.
Dan tengok pula rumah tangga nabawiyyah yang kerap kami singgung kisahnya dalam rubrik ini. Bagaimana RasulullahShallallahu ‘alaihi wa sallam berumah tangga dan bagaimana istri-istri beliau, demikian pula istri-istri para shahabatradhiallahu ‘anhum. Merekalah sebaik-baik contoh.
Demikianlah, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi taufik kepada kita semua. Amin!!!
Wallahul musta’an, wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Footnote:
1 Karena saat itu Hanzhalah melewati Abu Bakr dalam keadaan Hanzhalah menangis. (Sebagaimana disebutkan dalam riwayat At-Tirmidzi dalam Sunannya no. 2514)
2 Karena kita harus memperbaiki penghidupan/mata pencaharian kita dan mengurusi mereka. (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 17/70)
Dalam riwayat lain, Hanzhalah radhiallahu ‘anhu berkata mengeluhkan keadaan dirinya: “Kemudian aku pulang ke rumah lalu tertawa ceria bersama anak-anakku dan bermesraan dengan istriku.” (HR. Muslim no. 6901)
3 Dalam riwayat lain, Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu berkata: “Aku juga melakukan seperti apa yang engkau sebutkan.”
4 Seakan-akan kami belum pernah mendengar sesuatu pun darimu. (Tuhfatul Ahwadzi, kitab Shifatul Qiyamah war Raqaiq wal Wara’, bab ke 59)
2 Karena kita harus memperbaiki penghidupan/mata pencaharian kita dan mengurusi mereka. (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 17/70)
Dalam riwayat lain, Hanzhalah radhiallahu ‘anhu berkata mengeluhkan keadaan dirinya: “Kemudian aku pulang ke rumah lalu tertawa ceria bersama anak-anakku dan bermesraan dengan istriku.” (HR. Muslim no. 6901)
3 Dalam riwayat lain, Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu berkata: “Aku juga melakukan seperti apa yang engkau sebutkan.”
4 Seakan-akan kami belum pernah mendengar sesuatu pun darimu. (Tuhfatul Ahwadzi, kitab Shifatul Qiyamah war Raqaiq wal Wara’, bab ke 59)
Ta’âruf Syar’i: Solusi Pengganti Pacaran
1. Apabila seorang muslim ingin menikah, bagaimana syariat mengatur cara mengenal seorang muslimah sementara pacaran terlarang dalam Islam?
2. Bagaimana hukum berkunjung ke rumah akhwat (wanita) yang hendak dinikahi dengan tujuan untuk saling mengenal karakter dan sifat masing-masing?
3. Bagaimana hukum seorang ikhwan (lelaki) mengungkapkan perasaannya (sayang atau cinta) kepada akhwat (wanita) calon istrinya?
Dijawab oleh Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Al-Makassari:
بِسْمِ اللهِ، الْحَمْدُ للهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ
Benar sekali pernyataan anda bahwa pacaran adalah haram dalam Islam. Pacaran adalah budaya dan peradaban jahiliah yang dilestarikan oleh orang-orang kafir negeri Barat dan lainnya, kemudian diikuti oleh sebagian umat Islam (kecuali orang-orang yang dijaga oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala), dengan dalih mengikuti perkembangan jaman dan sebagai cara untuk mencari dan memilih pasangan hidup. Syariat Islam yang agung ini datang dari Rabb semesta alam Yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana, dengan tujuan untuk membimbing manusia meraih maslahat-maslahat kehidupan dan menjauhkan mereka dari mafsadah-mafsadah yang akan merusak dan menghancurkan kehidupan mereka sendiri.
Ikhtilath (campur baur antara lelaki dan wanita yang bukan mahram), pergaulan bebas, dan pacaran adalah fitnah (cobaan) dan mafsadah bagi umat manusia secara umum, dan umat Islam secara khusus, maka perkara tersebut tidak bisa ditolerir. Bukankah kehancuran Bani Israil -bangsa yang terlaknat- berawal dari fitnah (godaan) wanita? AllahSubhanahu wa Ta’ala berfirman:
لُعِنَ الَّذِيْنَ كَفَرُوا مِنْ بَنِي إِسْرَائِيْلَ عَلَى لِسَانِ دَاوُدَ وَعِيْسَى ابْنِ مَرْيَمَ ذَلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا يَعْتَدُوْنَ. كَانُوا لاَ يَتَنَاهَوْنَ عَنْ مُنْكَرٍ فَعَلُوْهُ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَفْعَلُوْنَ
“Telah terlaknat orang-orang kafir dari kalangan Bani Israil melalui lisan Nabi Dawud dan Nabi ‘Isa bin Maryam. Hal itu dikarenakan mereka bermaksiat dan melampaui batas. Adalah mereka tidak saling melarang dari kemungkaran yang mereka lakukan. Sangatlah jelek apa yang mereka lakukan.” (Al-Ma`idah: 79-78)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ، وَإِنَّ اللهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيْهَا فَيَنْظُرُ كَيْفَ تَعْمَلُوْنَ، فَاتَّقُوا الدُّنْيَا وَاتَّقُوا النِّسَاءَ، فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي إِسْرَائِيْلَ كَانَتْ فِي النِّسَاءِ
“Sesungguhnya dunia itu manis dan hijau (indah memesona), dan Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan kalian sebagai khalifah (penghuni) di atasnya, kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala memerhatikan amalan kalian. Maka berhati-hatilah kalian terhadap dunia dan wanita, karena sesungguhnya awal fitnah (kehancuran) Bani Israil dari kaum wanita.” (HR. Muslim, dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memperingatkan umatnya untuk berhati-hati dari fitnah wanita, dengan sabda beliau:
مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً أَضَرَّ عَلىَ الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ
“Tidaklah aku meninggalkan fitnah sepeninggalku yang lebih berbahaya terhadap kaum lelaki dari fitnah (godaan) wanita.”(Muttafaqun ‘alaih, dari Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma)
Maka, pacaran berarti menjerumuskan diri dalam fitnah yang menghancurkan dan menghinakan, padahal semestinya setiap orang memelihara dan menjauhkan diri darinya. Hal itu karena dalam pacaran terdapat berbagai kemungkaran dan pelanggaran syariat sebagai berikut:
1. Ikhtilath, yaitu bercampur baur antara lelaki dan wanita yang bukan mahram. Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjauhkan umatnya dari ikhtilath, sekalipun dalam pelaksanaan shalat. Kaum wanita yang hadir pada shalat berjamaah di Masjid Nabawi ditempatkan di bagian belakang masjid. Dan seusai shalat, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiam sejenak, tidak bergeser dari tempatnya agar kaum lelaki tetap di tempat dan tidak beranjak meninggalkan masjid, untuk memberi kesempatan jamaah wanita meninggalkan masjid terlebih dahulu sehingga tidak berpapasan dengan jamaah lelaki. Hal ini ditunjukkan oleh hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha dalam Shahih Al-Bukhari. Begitu pula pada hari Ied, kaum wanita disunnahkan untuk keluar ke mushalla (tanah lapang) menghadiri shalat Ied, namun mereka ditempatkan di mushalla bagian belakang, jauh dari shaf kaum lelaki. Sehingga ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam usai menyampaikan khutbah, beliau perlu mendatangi shaf mereka untuk memberikan khutbah khusus karena mereka tidak mendengar khutbah tersebut. Hal ini ditunjukkan oleh hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu dalam Shahih Muslim.
Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
خَيْرُ صُفُوْفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا وَشَرُّهَا آخِرِهَا، وَخَيْرُ صُفُوْفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا
“Sebaik-baik shaf lelaki adalah shaf terdepan dan sejelek-jeleknya adalah shaf terakhir. Dan sebaik-baik shaf wanita adalah shaf terakhir, dan sejelek-jeleknya adalah shaf terdepan.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Hal itu dikarenakan dekatnya shaf terdepan wanita dari shaf terakhir lelaki sehingga merupakan shaf terjelek, dan jauhnya shaf terakhir wanita dari shaf terdepan lelaki sehingga merupakan shaf terbaik. Apabila pada ibadah shalat yang disyariatkan secara berjamaah, maka bagaimana kiranya jika di luar ibadah? Kita mengetahui bersama, dalam keadaan dan suasana ibadah tentunya seseorang lebih jauh dari perkara-perkara yang berhubungan dengan syahwat. Maka bagaimana sekiranya ikhtilath itu terjadi di luar ibadah? Sedangkan setan bergerak dalam tubuh Bani Adam begitu cepatnya mengikuti peredaran darah1. Bukankah sangat ditakutkan terjadinya fitnah dan kerusakan besar karenanya?” (Lihat Fatawa An-Nazhar wal Khalwah wal Ikhtilath, hal. 45)
Subhanallah. Padahal wanita para shahabat keluar menghadiri shalat dalam keadaan berhijab syar’i dengan menutup seluruh tubuhnya -karena seluruh tubuh wanita adalah aurat- sesuai perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surat Al-Ahzab ayat 59 dan An-Nur ayat 31, tanpa melakukan tabarruj2 karena Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang mereka melakukan hal itu dalam surat Al-Ahzab ayat 33, juga tanpa memakai wewangian berdasarkan larangan RasulullahShallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan Ahmad, Abu Dawud, dan yang lainnya3:
وَلْيَخْرُجْنَ وَهُنَّ تَفِلاَتٌ
“Hendaklah mereka keluar tanpa memakai wewangian.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga melarang siapa saja dari mereka yang berbau harum karena terkena bakhur4 untuk untuk hadir shalat berjamaah sebagaimana dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surat Al-Ahzab ayat 53:
وَإِذَا سَأَلْتُمُوْهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوْهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوْبِكُمْ وَقُلُوْبِهِنَّ
“Dan jika kalian (para shahabat) meminta suatu hajat (kebutuhan) kepada mereka (istri-istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) maka mintalah dari balik hijab. Hal itu lebih bersih (suci) bagi kalbu kalian dan kalbu mereka.”
Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan mereka berinteraksi sesuai tuntutan hajat dari balik hijab dan tidak boleh masuk menemui mereka secara langsung. Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata: “Maka tidak dibenarkan seseorang mengatakan bahwa lebih bersih dan lebih suci bagi para shahabat dan istri-istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan bagi generasi-generasi setelahnya tidaklah demikian. Tidak diragukan lagi bahwa generasi-generasi setelah shahabat justru lebih butuh terhadap hijab dibandingkan para shahabat, karena perbedaan yang sangat jauh antara mereka dalam hal kekuatan iman dan ilmu. Juga karena persaksian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap para shahabat, baik lelaki maupun wanita, termasuk istri-istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri bahwa mereka adalah generasi terbaik setelah para nabi dan rasul, sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim. Demikian pula, dalil-dalil Al-Qur`an dan As-Sunnah menunjukkan berlakunya suatu hukum secara umum meliputi seluruh umat dan tidak boleh mengkhususkannya untuk pihak tertentu saja tanpa dalil.” (Lihat Fatawa An-Nazhar, hal. 11-10)
Pada saat yang sama, ikhtilath itu sendiri menjadi sebab yang menjerumuskan mereka untuk berpacaran, sebagaimana fakta yang kita saksikan berupa akibat ikhtilath yang terjadi di sekolah, instansi-instansi pemerintah dan swasta, atau tempat-tempat yang lainnya. Wa ilallahil musytaka (Dan hanya kepada Allah kita mengadu)
2. Khalwat, yaitu berduaannya lelaki dan wanita tanpa mahram. Padahal Rasululllah Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda:
إِيَّاكُمْ وَالدُّخُوْلَ عَلىَ النِّسَاءِ. فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ اْلأَنْصَارِ: أَفَرَأَيْتَ الْحَمْوَ؟ قَالَ: الْحَمْوُ الْمَوْتُ
“Hati-hatilah kalian dari masuk menemui wanita.” Seorang lelaki dari kalangan Anshar berkata: “Bagaimana pendapatmu dengan kerabat suami?”5 Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Mereka adalah kebinasaan.” (Muttafaq ‘alaih, dari ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
لاَ يَخْلُوَنَّ أَحَدُكُمْ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ
“Jangan sekali-kali salah seorang kalian berkhalwat dengan wanita, kecuali bersama mahram.” (Muttafaq ‘alaih, dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma)
Hal itu karena tidaklah terjadi khalwat kecuali setan bersama keduanya sebagai pihak ketiga, sebagaimana dalam hadits Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلاَ يَخْلُوَنَّ بِامْرَأَةٍ لَيْسَ مَعَهَا ذُوْ مَحْرَمٍ مِنْهَا فَإِنَّ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka jangan sekali-kali dia berkhalwat dengan seorang wanita tanpa disertai mahramnya, karena setan akan menyertai keduanya.” (HR. Ahmad)6
3. Berbagai bentuk perzinaan anggota tubuh yang disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
كُتِبَ عَلىَ ابْنِ آدَمَ نَصِيْبُهُ مِنَ الزِّنَا مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ: الْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ، وَاْلأُذُنَانِ زِنَاهُمَا اْلاِسْتِمَاعُ، وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ، وَالْيَدُ زِنَاهُ الْبَطْشُ، وَالرِّجْلُ زِنَاهُ الْخُطَا، وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى، وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ أَوْ يُكَذِّبُهُ
“Telah ditulis bagi setiap Bani Adam bagiannya dari zina, pasti dia akan melakukannya, kedua mata zinanya adalah memandang, kedua telinga zinanya adalah mendengar, lidah(lisan) zinanya adalah berbicara, tangan zinanya adalah memegang, kaki zinanya adalah melangkah, sementara kalbu berkeinginan dan berangan-angan, maka kemaluan lah yang membenarkan atau mendustakan.”
Hadits ini menunjukkan bahwa memandang wanita yang tidak halal untuk dipandang meskipun tanpa syahwat adalah zina mata7. Mendengar ucapan wanita (selain istri) dalam bentuk menikmati adalah zina telinga. Berbicara dengan wanita (selain istrinya) dalam bentuk menikmati atau menggoda dan merayunya adalah zina lisan. Menyentuh wanita yang tidak dihalalkan untuk disentuh baik dengan memegang atau yang lainnya adalah zina tangan. Mengayunkan langkah menuju wanita yang menarik hatinya atau menuju tempat perzinaan adalah zina kaki. Sementara kalbu berkeinginan dan mengangan-angankan wanita yang memikatnya, maka itulah zina kalbu. Kemudian boleh jadi kemaluannya mengikuti dengan melakukan perzinaan yang berarti kemaluannya telah membenarkan; atau dia selamat dari zina kemaluan yang berarti kemaluannya telah mendustakan. (Lihat Syarh Riyadhis Shalihin karya Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, pada syarah hadits no. 16 22)
Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلاَ تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيْلاً
“Dan janganlah kalian mendekati perbuatan zina, sesungguhnya itu adalah perbuatan nista dan sejelek-jelek jalan.” (Al-Isra`: 32)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
لأَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ أَحَدِكُمْ بِمِخْيَطٍ مِنْ حِدِيْدٍ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لاَ تَحِلُّ لَهُ
“Demi Allah, sungguh jika kepala salah seorang dari kalian ditusuk dengan jarum dari besi, maka itu lebih baik dari menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” (HR. Ath-Thabarani dan Al-Baihaqi dari Ma’qil bin Yasar radhiyallahu ‘anhu, dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 226)
Meskipun sentuhan itu hanya sebatas berjabat tangan maka tetap tidak boleh. Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:
وَلاَ وَاللهِ مَا مَسَّتْ يَدُ رَسُوْلِ اللهِ يَدَ امْرَأَةٍ قَطُّ غَيْرَ أَنَّهُ يُبَايِعُهُنَّ بِالْكَلاَمِ
“Tidak. Demi Allah, tidak pernah sama sekali tangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyentuh tangan wanita (selain mahramnya), melainkan beliau membai’at mereka dengan ucapan (tanpa jabat tangan).” (HR. Muslim)
Demikian pula dengan pandangan, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman dalam surat An-Nur ayat 31-30:
قُلْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوْجَهُمْ – إِلَى قَوْلِهِ تَعَلَى – وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوْجَهُنَّ…
“Katakan (wahai Nabi) kepada kaum mukminin, hendaklah mereka menjaga pandangan serta kemaluan mereka (dari hal-hal yang diharamkan) -hingga firman-Nya- Dan katakan pula kepada kaum mukminat, hendaklah mereka menjaga pandangan serta kemaluan mereka (dari hal-hal yang diharamkan)….”
Dalam Shahih Muslim dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata:
سَأَلْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ نَظْرِ الْفَجْأَةِ؟ فَقَالَ: اصْرِفْ بَصَرَكَ
“Aku bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang pandangan yang tiba-tiba (tanpa sengaja)? Maka beliau bersabda: ‘Palingkan pandanganmu’.“
Adapun suara dan ucapan wanita, pada asalnya bukanlah aurat yang terlarang. Namun tidak boleh bagi seorang wanita bersuara dan berbicara lebih dari tuntutan hajat (kebutuhan), dan tidak boleh melembutkan suara. Demikian juga dengan isi pembicaraan, tidak boleh berupa perkara-perkara yang membangkitkan syahwat dan mengundang fitnah. Karena bila demikian maka suara dan ucapannya menjadi aurat dan fitnah yang terlarang. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَلاَ تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلاً مَعْرُوْفًا
“Maka janganlah kalian (para istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) berbicara dengan suara yang lembut, sehingga lelaki yang memiliki penyakit dalam kalbunya menjadi tergoda dan ucapkanlah perkataan yang ma’ruf (baik).” (Al-Ahzab: 32)
Adalah para wanita datang menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan di sekitar beliau hadir para shahabatnya, lalu wanita itu berbicara kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan kepentingannya dan para shahabat ikut mendengarkan. Tapi mereka tidak berbicara lebih dari tuntutan hajat dan tanpa melembutkan suara.
Dengan demikian jelaslah bahwa pacaran bukanlah alternatif yang ditolerir dalam Islam untuk mencari dan memilih pasangan hidup. Menjadi jelas pula bahwa tidak boleh mengungkapkan perasaan sayang atau cinta kepada calon istri selama belum resmi menjadi istri. Baik ungkapan itu secara langsung atau lewat telepon, ataupun melalui surat. Karenasaling mengungkapkan perasaan cinta dan sayang adalah hubungan asmara yang mengandung makna pacaran yang akan menyeret ke dalam fitnah. Demikian pula halnya berkunjung ke rumah calon istri atau wanita yang ingin dilamar dan bergaul dengannya dalam rangka saling mengenal karakter dan sifat masing-masing, karena perbuatan seperti ini juga mengandung makna pacaran yang akan menyeret ke dalam fitnah. Wallahul musta’an (Allah-lah tempat meminta pertolongan).
Adapun cara yang ditunjukkan oleh syariat untuk mengenal wanita yang hendak dilamar adalah dengan mencari keterangan tentang yang bersangkutan melalui seseorang yang mengenalnya, baik tentang biografi (riwayat hidup), karakter, sifat, atau hal lainnya yang dibutuhkan untuk diketahui demi maslahat pernikahan. Bisa pula dengan cara meminta keterangan kepada wanita itu sendiri melalui perantaraan seseorang seperti istri teman atau yang lainnya. Dan pihak yang dimintai keterangan berkewajiban untuk menjawab seobyektif mungkin, meskipun harus membuka aib wanita tersebut karena ini bukan termasuk dalam kategori ghibah yang tercela. Hal ini termasuk dari enam perkara yang dikecualikan dari ghibah, meskipun menyebutkan aib seseorang. Demikian pula sebaliknya dengan pihak wanita yang berkepentingan untuk mengenal lelaki yang berhasrat untuk meminangnya, dapat menempuh cara yang sama.
Dalil yang menunjukkan hal ini adalah hadits Fathimah bintu Qais ketika dilamar oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Abu Jahm, lalu dia minta nasehat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka beliau bersabda:
أَمَّا أَبُو جَهْمٍ فَلاَ يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتِقِهِ، وَأَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوْكٌ لاَ مَالَ لَهُ، انْكِحِي أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ
“Adapun Abu Jahm, maka dia adalah lelaki yang tidak pernah meletakkan tongkatnya dari pundaknya8. Adapun Mu’awiyah, dia adalah lelaki miskin yang tidak memiliki harta. Menikahlah dengan Usamah bin Zaid.” (HR. Muslim)
Para ulama juga menyatakan bolehnya berbicara secara langsung dengan calon istri yang dilamar sesuai dengan tuntunan hajat dan maslahat. Akan tetapi tentunya tanpa khalwat dan dari balik hijab. Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin dalam Asy-Syarhul Mumti’ (130-129/5 cetakan Darul Atsar) berkata: “Bolehnya berbicara dengan calon istri yang dilamar wajib dibatasi dengan syarat tidak membangkitkan syahwat atau tanpa disertai dengan menikmati percakapan tersebut. Jika hal itu terjadi maka hukumnya haram, karena setiap orang wajib menghindar dan menjauh dari fitnah.”
Perkara ini diistilahkan dengan ta’aruf. Adapun terkait dengan hal-hal yang lebih spesifik yaitu organ tubuh, maka cara yang diajarkan adalah dengan melakukan nazhor, yaitu melihat wanita yang hendak dilamar. Nazhor memiliki aturan-aturan dan persyaratan-persyaratan yang membutuhkan pembahasan khusus9.
Wallahu a’lam.
Footnote:
1 Sebagaimana dalam hadits Hafshah radhiyallahu ‘anha yang muttafaq ‘alaih:
إِنَّ الشَّيْطَانَ يَجْرِي مِنِ ابْنِ آدَمَ مَجْرَى الدَّمِ
“Sesungguhnya setan itu beredar dalam tubuh Bani Âdam mengikuti peredaran darah.” (pen.)
2 Tabarruj adalah memamerkan perhiasan dan bagian-bagian tubuh yang indah dan menarik serta bagian tubuh lainnya yang mengundang syahwat lelaki, yang seharusnya ditutup. (Lihat Jilbâbul Mar’ah Al-Muslimah, hal. 120)
3 Dihasankan oleh Asy-Syaikh Muqbil dalam Ash-Shahihul Musnad (2/309), dishahihkan oleh Al-Albani dengan syawahid(penguat-penguat)-nya dalam Al-Irwa’ (2/293)
4 Bakhur yaitu pengharum ruangan berupa asap dari kayu tertentu yang harum dan dibakar.
5 Seperti ipar, anak ipar, paman suami, sepupu suami, dan seterusnya yang tidak termasuk mahram. Yakni, apakah boleh bagi seseorang untuk membiarkan salah seorang kerabatnya yang bukan mahram untuk berkhalwat dengan istrinya?
6 Sanadnya memiliki dua kelemahan: 1) Abdullah bin Lahi’ah, seorang perawi yang lemah, 2) Abû Zubair, seorang perawi yang mudallis dan dia meriwayatkan dengan ‘an’anah (tidak mempertegas bahwa dia mendengarnya dari syaikhnya). Namun hadits ini memiliki syawahid (penguat-penguat) sehingga dihasankan oleh Al-Albânî dalam Al-Irwa’ (6/215-216).
7 Dalam masalah seorang lelaki memandang wajah dan telapak tangan wanita dewasa yang bukan mahram, terjadi perbedaan pendapat. Ada yang berpendapat haram secara mutlak. Ada yang berpendapat boleh dengan syarat tidak dikhawatirkan fitnah (godaan) dan tidak bermaksud menikmati (An-Nazhor fi Hukmin Nazhor, hal. 323). Selain itu juga ada pendapat yang lain. Lihat Ar-Raddul Mufhim (hal. 115), karya Al-Albani. (ed)
8 Ini adalah kiasan dan ada dua penafsiran yang masyhur tentang maknanya: 1) Banyak safar, 2) Banyak memukul wanita, dan ini yang lebih tepat berdasarkan riwayat Muslim yang lain dengan lafadz:
2 Tabarruj adalah memamerkan perhiasan dan bagian-bagian tubuh yang indah dan menarik serta bagian tubuh lainnya yang mengundang syahwat lelaki, yang seharusnya ditutup. (Lihat Jilbâbul Mar’ah Al-Muslimah, hal. 120)
3 Dihasankan oleh Asy-Syaikh Muqbil dalam Ash-Shahihul Musnad (2/309), dishahihkan oleh Al-Albani dengan syawahid(penguat-penguat)-nya dalam Al-Irwa’ (2/293)
4 Bakhur yaitu pengharum ruangan berupa asap dari kayu tertentu yang harum dan dibakar.
5 Seperti ipar, anak ipar, paman suami, sepupu suami, dan seterusnya yang tidak termasuk mahram. Yakni, apakah boleh bagi seseorang untuk membiarkan salah seorang kerabatnya yang bukan mahram untuk berkhalwat dengan istrinya?
6 Sanadnya memiliki dua kelemahan: 1) Abdullah bin Lahi’ah, seorang perawi yang lemah, 2) Abû Zubair, seorang perawi yang mudallis dan dia meriwayatkan dengan ‘an’anah (tidak mempertegas bahwa dia mendengarnya dari syaikhnya). Namun hadits ini memiliki syawahid (penguat-penguat) sehingga dihasankan oleh Al-Albânî dalam Al-Irwa’ (6/215-216).
7 Dalam masalah seorang lelaki memandang wajah dan telapak tangan wanita dewasa yang bukan mahram, terjadi perbedaan pendapat. Ada yang berpendapat haram secara mutlak. Ada yang berpendapat boleh dengan syarat tidak dikhawatirkan fitnah (godaan) dan tidak bermaksud menikmati (An-Nazhor fi Hukmin Nazhor, hal. 323). Selain itu juga ada pendapat yang lain. Lihat Ar-Raddul Mufhim (hal. 115), karya Al-Albani. (ed)
8 Ini adalah kiasan dan ada dua penafsiran yang masyhur tentang maknanya: 1) Banyak safar, 2) Banyak memukul wanita, dan ini yang lebih tepat berdasarkan riwayat Muslim yang lain dengan lafadz:
أَمَّا أَبُو جَهْمٍ فَرَجُلٌ ضَرَّابٌ لِلنِّسَاءِ
“Adapun Abu Jahm, dia itu banyak memukul wanita.” (Lihat Syarhu Muslim lin Nawawî, syarah hadits no. 1480)
9 Kami telah membahasnya pada jawaban Problema Anda edisi lalu.
9 Kami telah membahasnya pada jawaban Problema Anda edisi lalu.
Lihatlah ke Bawah!
Dunia dengan perhiasannya demikian menyilaukan . . .
Allah Subhanahu wa Ta’ala pun memberikannya kepada hamba yang dicintai-Nya dan kepada hamba yang tidak dicintai-Nya, sehingga kelebihan yang didapatkan seseorang dalam perkara dunia bukan jaminan ia dicintai oleh Dzat Yang di atas. Berapa banyak orang yang jahat, ingkar kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wasallam namun ia beroleh kekayaan dan jabatan yang tinggi. Sebaliknya, banyak hamba yang taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak beroleh dunia kecuali sekadarnya. Kenapa demikian? Karena memang dunia tiada bernilai di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala sampai-sampai kata Rasul yang mulia Shallallahu ‘alaihi wasallam:
لَوْ كَانَتِ الدُّنْيَا تَعْدِلُ عِنْدَ اللهِ جَنَاحَ بَعُوْضَةٍ مَا سَقَى كَافِرًا مِنْهَا شَرْبَةَ مَاءٍ
“Seandainya dunia ini di sisi Allah punya nilai setara dengan sebelah sayap nyamuk niscaya Allah tidak akan memberi minum seorang kafir seteguk air pun.” (HR. At-Tirmidzi, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 940)
Tatkala Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam lewat di sebuah pasar sementara orang-orang berada di sekitarnya, beliau melewati bangkai seekor anak kambing yang cacat telinganya. Beliau memegang telinga bangkai hewan tersebut, lalu berkata:
أَيُّكُمْ يُحِبُّ أَنَّ هَذَا لَهُ بِدِرْهَمٍ؟ فَقَالُوا: مَا نُحِبُّ أَنَّهُ لَنَا بِشَيْءٍ وَمَا نَصْنَعُ بِهِ؟ قَالَ: أَتُحِبُّوْنَ أَنَّهُ لَكُمْ؟ قَالُوا: وَاللهِ، لَوْ كَانَ حَيًّا كَانَ عَيْبًا فِيْهِ لِأَنَّهُ أَسَكُّ فَكَيْفَ وَهُوَ مَيِّتٌ؟ فَقَالَ: فَوَاللهِ لَلدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللهِ مِنْ هَذَا عَلَيْكُمْ
“Siapa di antara kalian ingin memiliki bangkai anak kambing ini dengan membayar satu dirham?”
“Kami tidak ingin memilikinya walau dengan membayar sedikit, karena apa yang akan kami perbuat dengannya?” jawab mereka yang ditanya.
Beliau kembali mengulang pertanyaannya, “Apakah kalian ingin bangkai anak kambing ini jadi milik kalian?”
“Demi Allah, seandainya pun hewan ini masih hidup, ia cacat, telinganya kecil, apatah lagi ia sudah menjadi bangkai!” jawab mereka.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Maka demi Allah, sungguh dunia ini lebih hina bagi Allah daripada bangkai anak kambing ini bagi kalian.” (HR Muslim)
“Kami tidak ingin memilikinya walau dengan membayar sedikit, karena apa yang akan kami perbuat dengannya?” jawab mereka yang ditanya.
Beliau kembali mengulang pertanyaannya, “Apakah kalian ingin bangkai anak kambing ini jadi milik kalian?”
“Demi Allah, seandainya pun hewan ini masih hidup, ia cacat, telinganya kecil, apatah lagi ia sudah menjadi bangkai!” jawab mereka.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Maka demi Allah, sungguh dunia ini lebih hina bagi Allah daripada bangkai anak kambing ini bagi kalian.” (HR Muslim)
Mungkin kita termasuk orang yang mendapatkan dunia sekadarnya, tidak seperti yang diperoleh orang-orang sekitar kita, yang mungkin punya rumah mewah, mobil gonta-ganti, perabotan yang wah . . . , dan jabatan yang empuk. Kekurangan yang ada pada kita dari sisi lain seharusnya tidak perlu membuat dada kita sempit sehingga kita berburuk sangka kepada Allah Yang Maha Adil. Rasul yang mulia Shallallahu ‘alaihi wasallam telah memberi bimbingan dalam perkara dunia kita. Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bertitah:
انظروا إلى من هو أسفل منكم. ولا تنظروا إلى من هو فوقكم؛ فهو أجدر أن لا تَزْدروا نعمة الله عليكم
“Lihatlah kepada orang yang lebih rendah daripada kalian dan jangan melihat orang yang lebih di atas kalian. Yang demikian ini (melihat ke bawah) akan membuat kalian tidak meremehkan nikmat Allah yang diberikan-Nya kepada kalian.” (HR. Muslim)
Dalam satu riwayat:
إذا نظر أحدكم إلى من فضل عليه في المال والخلق فلينظر إلى من هو أسفل منه
“Apabila salah seorang dari kalian melihat kepada orang yang diberi kelebihan dalam hal harta dan rupa/fisik, maka hendaklah ia melihat orang yang lebih rendah dari dirinya.”
Hadits di atas memberi arahkan kepada setiap muslim agar selalu melihat ke bawah dalam perkara dunia dan jangan melihat kepada orang yang melebihinya. Karena bila ia berbuat demikian akan membuatnya berkeluh kesah, sempit dada, dan tidak bersyukur dengan apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan kepadanya. Sebaliknya dalam perkara agama/akhirat, seorang muslim harusnya melihat ke atas, kepada orang yang lebih darinya dalam beramal ketaatan, dalam keshalihan dan ketakwaan sehingga ia terpacu untuk terus menambah ketaatan dan amal ibadah. (Bahjatun Nazhirin, 1/534)
Al-Imam Ath-Thabari rahimahullahu berkata tentang hadits di atas, “Ini merupakan sebuah hadits yang mengumpulkan kebaikan. Karena bila seorang hamba melihat orang yang di atasnya dalam kebaikan, ia menuntut jiwanya untuk turut bergabung dengan orang yang dilihatnya tersebut. Ia pun mengecilkan keadaannya ketika itu sehingga ia bersungguh-sungguh untuk menambah kebaikan. Bila dalam perkara dunianya ia melihat kepada orang yang di bawahnya, akan tampak baginya nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang terlimpah padanya, ia pun mengharuskan jiwanya bersyukur. Inilah makna ucapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam di atas. Bila seseorang tidak melakukan anjuran Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut maka keadaannya jadi sebaliknya. Ia terkagum-kagum dengan amalannya sehingga ia malas menambah kebaikan. Ia membelakakkan dua matanya kepada dunia dan berambisi untuk menambahnya. Nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang diperolehnya pun diremehkan dan tidak ditunaikan haknya.” (Ikmalul Mu’lim bi Fawa’id Muslim, 8/515)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah memberikan nasihat yang akan mengobati penyakit yang mungkin ada di dalam dada, maka amalkanlah! Selalulah melihat orang yang kekurangan dan lebih susah daripada kita.
Lihatlah. . . Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberikan tempat tinggal yang menaungi kita setiap harinya walau rumah yang sederhana, maka syukurilah karena berapa banyak tuna wisma di sekitar kita. Mereka terpaksa tidur di emperen toko, di kolong jembatan, dan di dalam rumah-rumah kardus . . .
Setiap harinya kita bisa makan dan minum walau hidangan yang tersaji sederhana, namun syukurilah. Lihatlah di sana … Ada orang-orang yang mengais-ngais sampah untuk mencari sesuatu yang dapat mengganjal perut mereka yang lapar.
Kita diberi nikmat berupa pakaikan yang dapat menutup aurat kita dan melindungi kita dari hawa panas dan dingin, walau harganya tak seberapa. Namun lihatlah … di sana ada orang-orang yang berpakaian compang-camping karena fakirnya.
Lihatlah dan tengoklah selalu kepada orang yang hidupnya lebih sulit daripada kita, dengan begitu kita dapat mensyukuri nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang diberikan-Nya kepada kita.
Ingatlah selalu bahwa dunia ini ibaratnya hanyalah fatamorgana, tiada berharga, maka jangan engkau terlalu berpanjang angan untuk meraihnya. Tetapi berambisilah untuk kehidupanmu setelah mati. Di sana ada negeri kekal menantimu…!!!
Wallahu a’lam bish-shawab.
Mendidik dengan Keteladanan
Sebagai agama yang ajarannya mencakup semua aspek kehidupan, Islam telah mengatur pula masalah pendidikan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberi teladan, apa dan bagaimana memberikan pendidikan terbaik bagi anak-anak. Karenanya, adalah sebuah kemestian, seseorang yang menghendaki pendidikan anaknya membuahkan hasil terbaik untuk meneladani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللهَ كَثِيرًا
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (Al-Ahzab: 21)
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللهَ كَثِيرًا
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (Al-Ahzab: 21)
Pendidikan yang diajarkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan dilandasi hawa nafsu. Tidak pula lantaran menjiplak model-model pendidikan yang berkembang di masa itu. Tapi, apa yang diajarkan benar-benar karena didasari wahyu. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى. إِنْ هُوَ إِلاَّ وَحْيٌ يُوحَى
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (An-Najm: 3-4)
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى. إِنْ هُوَ إِلاَّ وَحْيٌ يُوحَى
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (An-Najm: 3-4)
Bagi seorang muslim wajib hukumnya meneladani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, termasuk dalam masalah pendidikan. Islam tidak akan menolerir model-model pendidikan yang meracuni anak didik dengan nilai-nilai kesyirikan, kekufuran, dan kerusakan akhlak. Di tengah dahsyatnya gempuran berbagai model pendidikan yang dijejalkan kepada kaum muslimin, keharusan untuk merujuk kepada apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah suatu yang sangat urgen (penting). Maka, tiada pilihan lain bagi seorang muslim kecuali menerapkan apa yang diajarkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” (Al-Hasyr: 7)
وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” (Al-Hasyr: 7)
Bagaimana model pendidikan yang diterapkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam? Yang utama sekali ditanamkan adalah menyangkut masalah tauhid, mengenyahkan kesyirikan. Ajari dan pahamkan anak dengan masalah tauhid. Lantaran misi menanamkan tauhid dan memberantas kesyirikan inilah para rasul Allah Subhanahu wa Ta’ala diutus kepada kaumnya. Nabi Nuh ‘alaihissalam diutus kepada kaumnya, misi utamanya adalah mendakwahkan dan mendidik kaumnya dengan tauhid. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
لَقَدْ أَرْسَلْنَا نُوحًا إِلَى قَوْمِهِ فَقَالَ يَاقَوْمِ اعْبُدُوا اللهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ إِنِّي أَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ يَوْمٍ عَظِيمٍ
“Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya lalu ia berkata: ‘Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tak ada ilah bagimu selain-Nya.’ Sesungguhnya (kalau kamu tidak menyembah Allah), aku takut kamu akan ditimpa azab hari yang besar (kiamat).” (Al-A’raf: 59)
لَقَدْ أَرْسَلْنَا نُوحًا إِلَى قَوْمِهِ فَقَالَ يَاقَوْمِ اعْبُدُوا اللهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ إِنِّي أَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ يَوْمٍ عَظِيمٍ
“Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya lalu ia berkata: ‘Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tak ada ilah bagimu selain-Nya.’ Sesungguhnya (kalau kamu tidak menyembah Allah), aku takut kamu akan ditimpa azab hari yang besar (kiamat).” (Al-A’raf: 59)
Begitu pula yang diserukan para nabiyullah yang lainnya, seperti Nabi Hud ‘alaihissalam yang diutus kepada kaum ‘Ad, Nabi Shalih ‘alaihissalam yang diutus kepada kaum Tsamud, dan Nabi Syu’aib ‘alaihissalam yang berdakwah kepada penduduk Madyan. Semuanya mendakwahkan satu seruan, yaitu:
اعْبُدُوا اللهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ
“Sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada ilah bagimu (yang berhak disembah) selain-Nya.” (Al-A’raf: 65, 78, 85)
اعْبُدُوا اللهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ
“Sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada ilah bagimu (yang berhak disembah) selain-Nya.” (Al-A’raf: 65, 78, 85)
Semua menyerukan kalimat yang sama: tauhid. Semua memberikan pendidikan dan pengajaran kepada umatnya dengan kalimat yang satu, yaitu tauhid. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan wejangan kepada Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, yang kala itu hendak diutus berdakwah ke Yaman, juga agar mendidik penduduk Yaman dengan tauhid.
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Mu’adz bin Jabal kala dia hendak diutus ke Yaman:
إِنَّكَ سَتَأْتِي قَوْمًا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ فَإِذَا جِئْتَهُمْ فَاْدعُهُمْ إِلَى أَنْ يَشْهَدُوا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ
“Sesungguhnya engkau akan tiba pada suatu kaum dari ahli kitab. Maka jika engkau datang kepada mereka, dakwahilah kepada persaksian bahwa tiada ilah yang berhak diibadahi kecuali Allah, dan bahwa Muhammad adalah rasulullah.” (HR. Al-Bukhari no. 4347)
إِنَّكَ سَتَأْتِي قَوْمًا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ فَإِذَا جِئْتَهُمْ فَاْدعُهُمْ إِلَى أَنْ يَشْهَدُوا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ
“Sesungguhnya engkau akan tiba pada suatu kaum dari ahli kitab. Maka jika engkau datang kepada mereka, dakwahilah kepada persaksian bahwa tiada ilah yang berhak diibadahi kecuali Allah, dan bahwa Muhammad adalah rasulullah.” (HR. Al-Bukhari no. 4347)
Tauhid menjadi awal dan dasar bagi pendidikan. Diungkapkan Ibnul Qayyim rahimahullahu, anak-anak yang telah mencapai kemampuan berbicara, ajarilah mereka (dengan menalqinkan) kalimat La ilaha illallah, Muhammad Rasulullah. Jadikanlah apa yang diperdengarkan kepada mereka adalah tentang pengenalan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala (ma’rifatullah) dan mentauhidkan-Nya. Didik juga anak-anak bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala berada di atas ‘Arsy-Nya. Allah Maha Melihat terhadap mereka dan Maha Mendengar terhadap apa yang mereka perbincangkan. Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa bersama mereka, di mana saja mereka berada. (Tuhfatul Wadud bi Ahkamil Maulud, hal. 389)
Segaris dengan hal di atas, Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu pun menekankan pula, bahkan mewajibkan, untuk setiap muslim membekali diri dengan ilmu yang terkait dengan pengenalan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala. Disebutkan oleh Asy-Syaikh ‘Ubaid Al-Jabiri hafizhahullah, pengenalan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala meliputi perkara keberadaan-Nya, rububiyah-Nya, uluhiyah-Nya, dan asma wa shifat-Nya. (Ithaful ‘Uqul bi Syarhi Ats-Tsalatsatil Ushul, hal. 8)
Kenalkanlah Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada anak-anak semenjak dini. Kenalkan melalui metode yang bersifat praktis dan mudah dipahami anak-anak. Satu di antara metode itu adalah dengan tanya jawab (di atas). Sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada seorang budak wanita. Hadits dari Mu’awiyah bin Hakam As-Sulami radhiyallahu ‘anhu, menceritakan metode dialog (tanya jawab) tersebut.
قَالَ: أَيْنَ اللهُ؟ قَالَتْ: فِي السَّمَاءِ. قَالَ: مَنْ أَنَا؟ قَالَ: أَنْتَ رَسُولُ اللهِ. قَالَ: أَعْتِقْهَا فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: ‘Di mana Allah?’ Budak wanita itu menjawab: ‘Di (atas) langit.’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kembali: ‘Siapa saya?’ Budak wanita itu menjawab: ‘Engkau adalah Rasulullah.’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Bebaskan dia, karena sesungguhnya dia adalah wanita yang beriman’.” (Sunan Abi Dawud no. 930, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu)
قَالَ: أَيْنَ اللهُ؟ قَالَتْ: فِي السَّمَاءِ. قَالَ: مَنْ أَنَا؟ قَالَ: أَنْتَ رَسُولُ اللهِ. قَالَ: أَعْتِقْهَا فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: ‘Di mana Allah?’ Budak wanita itu menjawab: ‘Di (atas) langit.’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kembali: ‘Siapa saya?’ Budak wanita itu menjawab: ‘Engkau adalah Rasulullah.’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Bebaskan dia, karena sesungguhnya dia adalah wanita yang beriman’.” (Sunan Abi Dawud no. 930, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu)
Demikian metode dialog yang mengalir lancar, ringan, menyentuh tanpa beban. Dialog yang lugas, tegas, menikam tajam ke dalam pusat kesadaran. Menggugah keyakinan, menumbuhkan keimanan nan makin kokoh.
Pengenalan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai Rabb bisa pula melalui metode pengenalan dengan ayat-ayat-Nya dan makhluk-makhluk-Nya. Disebutkan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu, bahwa apabila engkau ditanya, dengan apa engkau mengetahui Rabbmu. Maka jawablah: dengan ayat-ayat-Nya dan makhluk-makhluk-Nya. Dari adanya ayat-ayat-Nya yang berupa malam dan siang, matahari dan bulan, para makhluk Allah Subhanahu wa Ta’ala berada di langit yang tujuh dan di bumi yang berlapis tujuh, serta makhluk-makhluk Allah yang berada di antara keduanya. (Syarh Tsalatsatil Ushul, Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz, hal. 22)
Kata Asy-Syaikh Muhammad Aman Al-Jami rahimahullahu saat memberi penjelasan terhadap perkataan Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu di atas, “Mengapa dalil, tanda-tanda dan ayat-ayat (dijadikan dasar) engkau mengetahui Rabbmu? Karena, sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala terhijab di dunia ini dan Dia (Allah Subhanahu wa Ta’ala) tidak bisa dilihat. Ini berdasarkan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
فَإِنَّكُمْ لَنْ تَرَوْا رَبَّكُمْ حَتَّى تَمُوتُوا
“Maka sungguh kalian tidak akan pernah bisa melihat Rabb kalian hingga kalian mati.” (Makna hadits ini terambil dari hadits yang diriwayatkan Al-Imam Muslim rahimahullahu dalam Shahih-nya no. 2931)
فَإِنَّكُمْ لَنْ تَرَوْا رَبَّكُمْ حَتَّى تَمُوتُوا
“Maka sungguh kalian tidak akan pernah bisa melihat Rabb kalian hingga kalian mati.” (Makna hadits ini terambil dari hadits yang diriwayatkan Al-Imam Muslim rahimahullahu dalam Shahih-nya no. 2931)
Dengan begitu, iman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala termasuk iman terhadap yang gaib. Karena, sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah gaib dari penglihatan dan pandanganmu. Namun Dia ada bersamamu, tidak gaib darimu dengan ilmu-Nya, pendengaran-Nya, penglihatan-Nya, maka Dia bersamamu. Inilah ma’iyyah khashshah atau ma’iyyah ma’nawiyah (kebersamaan secara maknawi), bukan hissiyah (inderawi). Adapun secara hissi (inderawi), Dia gaib dari dirimu. Karenanya, keimanan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala termasuk iman pada hal yang gaib, yang membutuhkan tanda dan dalil yang menunjukkan atas wujudullah (keberadaan Allah Subhanahu wa Ta’ala). (Syarhu Tsalatsatil Ushul, Asy-Syaikh Al-’Allamah Muhammad Aman Al-Jami rahimahullahu, hal. 45)
Hikmah dari mencermati dan mengamati segenap ciptaan Allah Subhanahu wa Ta’ala, selain bisa memicu rasa ingin tahu anak, juga bisa diarahkan untuk menumbuhkan keimanan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Membangun kesadaran bahwa di balik semua ciptaan ini, ada yang mengatur, menjaga, memelihara dan menghidupi, yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Katakan pula kepada anak, bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mencipta dan mengatur setiap orang berbeda-beda. Tunjukkan karunia dan nikmat yang telah dia rasakan. Ini sebagai upaya menumbuhsuburkan rasa syukur pada diri sang anak. Sikap syukur yang tertanam dalam diri anak diharapkan akan memupus sikap tamak, rakus. Memudahkan untuk menumbuhkan sikap mau berbagi, membantu dan menolong teman, dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dengan sikap syukur ini pula diharap makin mendekatkan anak kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan memupuk jiwa tawadhu’ (rendah hati) dan tidak takabur.
Perlihatkan pula kepada anak sederetan pedagang yang menjual barang dagangan yang sama. Masing-masing pedagang tidak saling berebut pembeli dan tidak saling mematikan pesaing antara pedagang yang satu dengan yang lain. Mereka bersaing secara sehat. Masing-masing mereka mendapatkan rizki sesuai kadar yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala tentukan untuk mereka. Subhanallah! Sebuah fenomena yang memperkaya batin anak, mengasah kepekaannya dan menumbuhkan keimanan dalam aspek tauhid rububiyah. Yaitu, tauhid yang menumbuhkan keyakinan bahwa sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala itu Maha Pencipta, Maha Pemberi rizki, yang menghidupkan, yang mematikan dan mengatur alam semesta ini. Dengan keyakinan semacam ini, anak tak perlu lagi risau, hasad, iri atau benci bila melihat temannya mendapatkan sesuatu. Dia berkeyakinan bahwa segala sesuatu itu telah ditentukan rizkinya oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka, pupuslah segala macam hasad, iri, benci di dalam hatinya. Kemudian terpancarlah dari diri anak akhlak nan mulia. Semua ini didasari tauhid yang lurus, bersih dari segala noda kesyirikan. Ibarat pohon, akarnya menghunjam kokoh ke dasar bumi, cabangnya menjulang menggapai angkasa raya, daunnya rimbun lebat meneduhkan suasana, dan buahnya bermunculan di setiap musim. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللهُ مَثَلاً كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِ. تُؤْتِي أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍ بِإِذْنِ رَبِّهَا وَيَضْرِبُ اللهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Rabbnya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.” (Ibrahim: 24-25)
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللهُ مَثَلاً كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِ. تُؤْتِي أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍ بِإِذْنِ رَبِّهَا وَيَضْرِبُ اللهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Rabbnya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.” (Ibrahim: 24-25)
Demikianlah pohon keimanan. Pokok akarnya kokoh di dalam hati seorang mukmin, secara ilmu dan i’tiqad (keyakinan). Cabangnya berupa ucapan yang baik, amal shalih, akhlak yang disukai, adab (kesantunan) yang baik (yang mengarah) pada langit, yang senantiasa menapak ketinggian kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dari pohon itu mencuat amal-amal dan perkataan-perkataan yang membawa manfaat bagi seorang mukmin dan yang lainnya. Itulah syajaratul iman (pohon keimanan). Ini dinyatakan oleh Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullahu dalam Taisir Al-Karimirrahman (hal. 451).
Karenanya, pendidikan tauhid ini harus benar-benar mendapat perhatian. Nabi Ya’qub ‘alaihissalam saat menjelang ajal menjemput masih tetap memerhatikan masalah tauhid terhadap anak-anaknya. Ini dilukiskan dalam Al-Qur`an:
أَمْ كُنْتُمْ شُهَدَاءَ إِذْ حَضَرَ يَعْقُوبَ الْمَوْتُ إِذْ قَالَ لِبَنِيهِ مَا تَعْبُدُونَ مِنْ بَعْدِي قَالُوا نَعْبُدُ إِلَهَكَ وَإِلَهَ ءَابَائِكَ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ إِلَهًا وَاحِدًا وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ
“Adakah kamu hadir ketika Ya’qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: ‘Apa yang kamu sembah sepeninggalku?’ Mereka menjawab: ‘Kami akan menyembah Ilahmu dan Ilah nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Ilah Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya’.” (Al-Baqarah: 133)
أَمْ كُنْتُمْ شُهَدَاءَ إِذْ حَضَرَ يَعْقُوبَ الْمَوْتُ إِذْ قَالَ لِبَنِيهِ مَا تَعْبُدُونَ مِنْ بَعْدِي قَالُوا نَعْبُدُ إِلَهَكَ وَإِلَهَ ءَابَائِكَ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ إِلَهًا وَاحِدًا وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ
“Adakah kamu hadir ketika Ya’qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: ‘Apa yang kamu sembah sepeninggalku?’ Mereka menjawab: ‘Kami akan menyembah Ilahmu dan Ilah nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Ilah Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya’.” (Al-Baqarah: 133)
Pendidikan anak lainnya yang ditekankan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah membaguskan semangat anak untuk beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Anak dihasung untuk senantiasa melatih diri beribadah. Hingga pada masanya, anak tumbuh dewasa, dirinya telah memiliki kesadaran tinggi dalam menunaikan kewajiban ibadah. Di antara perintah yang mengharuskan anak dididik untuk menunaikan yang wajib, seperti hadits dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مُرُوا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِيْنَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرِ سِنِيْنَ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ
“Suruhlah anak-anak kalian menunaikan shalat kala mereka berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka (bila meninggalkan shalat) kala usia mereka sepuluh tahun, dan pisahkanlah tempat tidur mereka.” (Sunan Abi Dawud no. 495. Asy-Syaikh Al-Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullahu menyatakan hadits ini hasan shahih.)
مُرُوا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِيْنَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرِ سِنِيْنَ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ
“Suruhlah anak-anak kalian menunaikan shalat kala mereka berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka (bila meninggalkan shalat) kala usia mereka sepuluh tahun, dan pisahkanlah tempat tidur mereka.” (Sunan Abi Dawud no. 495. Asy-Syaikh Al-Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullahu menyatakan hadits ini hasan shahih.)
Yang dimaksud menyuruh anak-anak, meliputi anak laki-laki dan perempuan. Mereka hendaknya dididik bisa menegakkan shalat dengan memahami syarat-syarat dan rukun-rukunnya. Jika hingga usia sepuluh tahun tak juga mau menegakkan shalat, maka pukullah dengan pukulan yang tidak keras dan tidak meninggalkan bekas, serta tidak diperkenankan memukul wajah. (Lihat ‘Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud, 2/114)
Untuk mengarahkan anak tekun dalam beribadah memerlukan pola yang mendukung ke arah hal tersebut. Seperti, diperlukan keteladanan dari orangtua dan orang-orang di sekitar anak. Perilaku orangtua yang ‘berbicara’ itu lebih ampuh dari lisan yang berbicara. Anak akan melakukan proses imitasi (meniru) dari apa yang diperbuat orangtuanya. Syariat pun sangat tidak membuka peluang terhadap orang yang hanya bisa berbicara (menyuruh) namun dirinya tidak melakukan apa yang dikatakannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لاَ تَفْعَلُونَ. كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لاَ تَفْعَلُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan.” (Ash-Shaff: 2-3)
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لاَ تَفْعَلُونَ. كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لاَ تَفْعَلُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan.” (Ash-Shaff: 2-3)
Dengan demikian, keteladanan sangat mengedepankan aspek perilaku dalam bentuk tindakan nyata. Bukan sekadar berbicara tanpa aksi.
Pendukung lainnya yang diperlukan agar anak tekun beribadah adalah mengondisikan lingkungan atau suasana ke arah hal itu. Manakala tiba waktu shalat, maka seluruh anggota keluarga menyiapkan diri untuk shalat. Tak ada satu orang pun yang masih santai dan tidak menghiraukan seruan untuk shalat. Kalau ada anggota keluarga yang tidak bisa memenuhi segera seruan tersebut atau berhalangan, maka hal itu harus dijelaskan kepada anak. Sehingga anak memahami sebagai hal yang dimaklumi secara syar’i.
Pendukung lainnya yang diperlukan agar anak tekun beribadah adalah mengondisikan lingkungan atau suasana ke arah hal itu. Manakala tiba waktu shalat, maka seluruh anggota keluarga menyiapkan diri untuk shalat. Tak ada satu orang pun yang masih santai dan tidak menghiraukan seruan untuk shalat. Kalau ada anggota keluarga yang tidak bisa memenuhi segera seruan tersebut atau berhalangan, maka hal itu harus dijelaskan kepada anak. Sehingga anak memahami sebagai hal yang dimaklumi secara syar’i.
Pendukung lainnya, seperti pemberian hadiah manakala mau beribadah secara tekun, memberikan sanksi atau hukuman yang mendidik dan menimbulkan efek jera bagi anak yang malas beribadah, menghilangkan hal-hal yang jadi penyebab anak malas ibadah, dan lain-lain.
Pendidikan penting lainnya bagi anak yaitu membentuk kepribadian anak yang beradab. Tahu etika, sopan santun. Menurut Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullahu, al-adab yaitu akhlak yang menjadikan manusia santun (beretika) karenanya. Seperti, kemuliaan, keberanian, bagus kepribadian, lapang dada, raut wajah yang berseri-seri, dan lain-lain. Jadi, al-adab adalah sebuah ungkapan tentang akhlak yang (bila) seseorang menghiasi dirinya dengan akhlak tersebut akan menjadi terpuji karenanya. (Syarhu Riyadhish Shalihin, 2/979)
Pendidikan penting lainnya bagi anak yaitu membentuk kepribadian anak yang beradab. Tahu etika, sopan santun. Menurut Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullahu, al-adab yaitu akhlak yang menjadikan manusia santun (beretika) karenanya. Seperti, kemuliaan, keberanian, bagus kepribadian, lapang dada, raut wajah yang berseri-seri, dan lain-lain. Jadi, al-adab adalah sebuah ungkapan tentang akhlak yang (bila) seseorang menghiasi dirinya dengan akhlak tersebut akan menjadi terpuji karenanya. (Syarhu Riyadhish Shalihin, 2/979)
Saat seseorang berbicara tentang adab, maka sesungguhnya dia berbicara masalah akhlak. Adab dan akhlak, satu hal yang tidak ada perbedaan padanya. Akhlak terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Mentauhidkan-Nya dalam rububiyah, uluhiyah, dan asma wa shifat. Seseorang yang berbuat syirik, senyatanya dia berbuat zalim yang besar. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
“Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” (Luqman: 13)
إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
“Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” (Luqman: 13)
Akhlak seorang muslim terhadap Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah tidak lancang terhadap beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ. يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تَرْفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ وَلاَ تَجْهَرُوا لَهُ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ أَنْ تَحْبَطَ أَعْمَالُكُمْ وَأَنْتُمْ لاَ تَشْعُرُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu sedangkan kamu tidak menyadari.” (Al-Hujurat: 1-2)
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ. يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تَرْفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ وَلاَ تَجْهَرُوا لَهُ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ أَنْ تَحْبَطَ أَعْمَالُكُمْ وَأَنْتُمْ لاَ تَشْعُرُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu sedangkan kamu tidak menyadari.” (Al-Hujurat: 1-2)
Diungkapkan oleh Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullahu bahwa ayat ini meliputi kandungan adab terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mengagungkan, menghormati, dan memuliakannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman dengan perkara keimanan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yaitu, menunaikan perintah-perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menjauhi larangan-larangan-Nya. (Sehingga) menjadikannya berjalan di belakang perintah-perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mengikuti Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam seluruh urusan mereka. Sikap mereka tidak mendahului Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka tidak berkata sampai beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata. Mereka tidak menyuruh sampai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan. Maka, sungguh inilah hakikat adab yang wajib terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang merupakan bentuk kebahagiaan seorang hamba dan keberuntungannya.(Sedangkan apabila) bersikap melancanginya, dirimu akan meninggalkan kebahagiaan yang abadi dan kenikmatan yang langgeng. Dalam ayat ini pun terkandung larangan yang keras mendahulukan perkataan (pendapat) selain Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas perkataan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka, sesungguhnya tatkala telah terang Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, wajib untuk mengikuti dan mendahulukannya atas selainnya. (Taisir Al-Karimirrahman, hal. 889)
Selain mendidik adab terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, anak mesti pula dididik untuk memiliki adab terhadap sesama manusia. Dalam hal ini yang utama sekali mendidik akhlak anak terhadap orangtuanya. Mendidik agar anak berbuat baik kepada kedua orangtuanya, tak semata dengan memberikan asupan ilmu. Lebih dari itu, hendaknya seorang anak diberi ruang yang bebas untuk membangun ikatan emosional dengan kedua orangtuanya, sekaligus sebagai media mempraktikkan ilmu yang didapatnya. Melalui interaksi dan komunikasi yang sehat, diharapkan ikatan itu terbentuk sehingga anak memiliki rasa kepedulian terhadap orangtuanya. Bisa saja seorang anak memiliki ilmu yang cukup dan paham tentang bagaimana harus birrul walidain (berbuat baik) kepada kedua orangtuanya.
Namun manakala ikatan emosional ini tidak dibangun dan dibentuk sejak dini, jalinan kedekatan dengan orangtua pun bisa mengalami hambatan. Anak akan merasa kesulitan mengamalkan ilmu dan pemahamannya. Kepekaannya menjadi tidak tajam. Kepeduliannya pun tumpul. Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” (Luqman: 14)
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” (Luqman: 14)
Orangtua atau pendidik yang baik, akan senantiasa memerhatikan masalah interaksi dan komunikasi antara orangtua dan anaknya. Mendidik bukan semata mentransfer ilmu kepada anak. Lebih dari itu, bagaimana anak tersebut mengamalkan ilmunya secara benar dan berkesinambungan. Kerja sama dan komunikasi yang baik antara orangtua, anak, dan pendidik, di suatu lembaga pendidikan mutlak diperlukan. Karena anaknya sudah di pesantren, lantas orangtua tidak mau peduli kepada anaknya. Tak pernah berkomunikasi dan berinteraksi dengan sang anak. Ini adalah sikap tidak tepat. Begitu pula lembaga pendidikan di mana sang anak menimba ilmu, bisa menjadi jembatan komunikasi antara orangtua dan anak. Ini semua sebagai upaya menyongsong pendidikan anak yang lebih baik. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa.” (Al-Ma`idah: 2)
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa.” (Al-Ma`idah: 2)
Hikmah yang bisa dipetik dari perintah mendidik anak untuk shalat sejak usia tujuh tahun yaitu adanya penanaman ilmu tentang shalat itu sendiri, adanya proses pelatihan dan pengondisian yang terus-menerus sehingga ritual shalat menjadi proses ibadah yang melekat kokoh pada anak. Begitu pula aspek pengamalan dalam masalah birrul walidain, selain penanaman ilmu, perlu proses melatih, mengondisikan, mendekatkan, dan mengikatkan suasana emosional anak dengan orangtuanya. Kepedulian, perhatian dan kasih sayang orangtua kepada anak merupakan nutrisi bagi ‘kesehatan’ jiwa anak. Sehingga diharapkan anak mengalami tumbuh kembang jiwa ke arah yang lebih baik. Lebih stabil secara emosional. Matang dalam bersikap dan dewasa dalam menghadapi masalah. Tidak reaksioner, meletup-letup dan kekanak-kanakan sehingga memperkeruh masalah yang ada. Nas`alullah as-salamah wal ‘afiyah. Wallahu a’lam.
Menebar Keangkuhan Menuai Kehinaan
Masih berkaca pada untaian nasihat Luqman Al-Hakim kepada anaknya. Menjelang akhir nasihatnya, Luqman melarang sang anak dari sikap takabur dan memerintahkannya untuk merendahkan diri (tawadhu’). Luqman berkata kepada anaknya:
وَلاَ تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلاَ تَمْشِ فِي اْلأَرْضِ مَرَحاً إِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ كُلَّ مُخْتاَلٍ فَخُوْرٍ
“Dan janganlah engkau memalingkan wajahmu dari manusia (karena sombong), dan janganlah berjalan dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang angkuh dan menyombongkan diri.” (Luqman: 18)
Demikian Luqman melarang untuk memalingkan wajah dan bermuka masam kepada orang lain karena sombong dan merasa dirinya besar, melarang dari berjalan dengan angkuh, sombong terhadap nikmat yang ada pada dirinya dan melupakan Dzat yang memberikan nikmat, serta kagum terhadap diri sendiri. Karena Allah tidak menyukai setiap orang yang menyombongkan diri dengan keadaannya dan bersikap angkuh dengan ucapannya. (Taisirul Karimir Rahman hal. 649)
Pada ayat yang lain Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang pula:
وَلاَ تَمْشِ فِي اْلأَرْضِ مَرَحاً إِنَّكَ لَنْ تَخْرِقَ اْلأَرْضَ وَلَنْ تَبْلُغَ الْجِباَلَ طُوْلاً
“Dan janganlah berjalan di muka bumi dengan sombong, karena sesungguhnya engkau tak akan dapat menembus bumi dan tidak akan mencapai setinggi gunung.” (Al-Isra`: 37)
Demikianlah, seseorang dengan ketakaburannya tidak akan dapat mencapai semua itu. Bahkan ia akan menjadi seorang yang terhina di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan direndahkan di hadapan manusia, dibenci, dan dimurkai. Dia telah menjalani akhlak yang paling buruk dan paling rendah tanpa menggapai apa yang diinginkannya. (Taisirul Karimir Rahman, hal. 458)
Kehinaan. Inilah yang akan dituai oleh orang yang sombong. Dia tidak akan mendapatkan apa yang dia harapkan di dunia maupun di akhirat.
‘Amr bin Syu’aib meriwayatkan dari ayahnya dari kakeknya dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam:
يُحْشَرُ الْمُتَكَبِّرُوْنَ يَوْمَ الْقِياَمَةِ أَمْثاَلَ الذَّرِّ فِيْ صُوْرَةِ الرِّجاَلِ، يَغْشاَهُمُ الذُّلُّ مِنْ كُلِّ مَكاَنٍ، يُسَاقُوْنَ إِلَى سِجْنٍ مِنْ جَهَنَّمَ يُسَمَّى بُوْلَسَ، تَغْلُوْهُمْ ناَرٌ مِنَ اْلأَنْياَرِ، وَيُسْقَوْنَ مِنْ عُصَارَةِ أَهْلِ النَّارِ طِيْنَةِ الْخَباَلِ
“Orang-orang yang sombong dikumpulkan pada hari kiamat seperti semut-semut kecil dalam bentuk manusia, diliputi oleh kehinaan dari segala arah, digiring ke penjara di Jahannam yang disebut Bulas, dilalap oleh api dan diberi minuman dari perasan penduduk neraka, thinatul khabal.1” (HR. At-Tirmidzi, dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Al-Adabul Mufrad no. 434)
Bahkan seorang yang sombong terancam dengan kemurkaan Allah Subhanahu wa Ta’ala . Demikian yang kita dapati dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana yang disampaikan oleh seorang shahabat mulia, ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma:
مَنْ تَعَظَّمَ فِي نَفْسِهِ أَوِ اخْتَالَ فِي مِشْيَتِهِ لَقِيَ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ وَهُوَ عَلَيْهِ غَضْبَانُ
“Barangsiapa yang merasa sombong akan dirinya atau angkuh dalam berjalan, dia akan bertemu dengan Allah k dalam keadaan Allah murka terhadapnya.” (HR. Ahmad, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Al-Adabul Mufrad no. 427)
Kesombongan (kibr) bukanlah pada orang yang senang dengan keindahan. Akan tetapi, kesombongan adalah menentang agama Allah Subhanahu wa Ta’ala dan merendahkan hamba-hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala .
Demikian yang dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tatkala beliau ditanya oleh ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, “Apakah sombong itu bila seseorang memiliki hullah2 yang dikenakannya?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Tidak.” “Apakah bila seseorang memiliki dua sandal yang bagus dengan tali sandalnya yang bagus?” “Tidak.” “Apakah bila seseorang memiliki binatang tunggangan yang dikendarainya?” “Tidak.” “Apakah bila seseorang memiliki teman-teman yang biasa duduk bersamanya?” “Tidak.” “Wahai Rasulullah, lalu apakah kesombongan itu?” Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab:
سَفَهُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ
“Meremehkan kebenaran dan merendahkan manusia.” (HR. Ahmad, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Al-Adabul Mufrad no. 426)
Tak sedikit pun Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam membuka peluang bagi seseorang untuk bersikap sombong. Bahkan beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa memerintahkan untuk tawadhu’. ‘Iyadh bin Himar radhiyallahu ‘anhuma menyampaikan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ اللهَ أَوْحَى إِلَيَّ أَنْ تَوَاضَعُوا حَتَّى لاَ يَفْخَرَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ وَلاَ يَبْغِيَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ
“Sesungguhnya Allah mewahyukan kepadaku agar kalian bersikap tawadhu’ hingga tidak seorang pun menyombongkan diri atas yang lain dan tak seorang pun berbuat melampaui batas terhadap yang lainnya.” (HR. Muslim no. 2865)
Berlawanan dengan orang yang sombong, orang yang berhias dengan tawadhu’ akan menggapai kemuliaan dari sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana yang disampaikan oleh shahabat yang mulia, Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ للهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللهُ
“Dan tidaklah seseorang bersikap tawadhu’ karena Allah, kecuali Allah akan mengangkatnya.” (HR. Muslim no. 2588)
Tawadhu’ karena Allah Subhanahu wa Ta’ala ada dua makna. Pertama, merendahkan diri terhadap agama Allah, sehingga tidak tinggi hati dan sombong terhadap agama ini maupun untuk menunaikan hukum-hukumnya. Kedua, merendahkan diri terhadap hamba-hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, bukan karena takut terhadap mereka, ataupun mengharap sesuatu yang ada pada mereka, namun semata-mata hanya karena Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kedua makna ini benar. Apabila seseorang merendahkan diri karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mengangkatnya di dunia dan di akhirat. Hal ini merupakan sesuatu yang dapat disaksikan dalam kehidupan ini. Seseorang yang merendahkan diri akan menempati kedudukan yang tinggi di hadapan manusia, akan disebut-sebut kebaikannya, dan akan dicintai oleh manusia. (Syarh Riyadhish Shalihin, 1/365)
Tak hanya sebatas perintah semata, kisah-kisah dalam kehidupan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam banyak melukiskan ketawadhu’an beliau. Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah seorang manusia yang paling mulia di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Meski demikian, beliau menolak panggilan yang berlebihan bagi beliau. Begitulah yang dikisahkan oleh Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu tatkala orang-orang berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, “Wahai orang yang terbaik di antara kami, anak orang yang terbaik di antara kami! Wahai junjungan kami, anak junjungan kami!” Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam pun berkata:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ عَلَيْكُمْ بِقَوْلِكُمْ وَلاَ يَسْتَهْوِيَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ، إِنِّي لاَ أُرِيْدُ أَنْ تَرْفَعُوْنِي فَوْقَ مَنْزِلَتِي الَّتِي أَنْزَلَنِيهِ اللهُ تَعَالَى، أَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللهِ عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
“Wahai manusia, hati-hatilah dengan ucapan kalian, jangan sampai kalian dijerumuskan oleh syaitan. Sesungguhnya aku tidak ingin kalian mengangkatku di atas kedudukan yang diberikan oleh Allah ta’ala bagiku. Aku ini Muhammad bin ‘Abdillah, hamba-Nya dan utusan-Nya.” (HR. An-Nasa`i dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah, dikatakan dalam Ash-Shahihul Musnad fi Asy-Syamail Muhammadiyah no. 786: hadits shahih menurut syarat Muslim)
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu mengisahkan:
كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزُوْرُ اْلأَنْصَارَ فَيُسَلِّمُ عَلَى صِبْيَانِهِمْ وَيَمْسَحُ بِرُؤُوْسِهِمْ وَيَدْعُو لَهُمْ
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam biasa mengunjungi orang-orang Anshar, lalu mengucapkan salam pada anak-anak mereka, mengusap kepala mereka dan mendoakannya.” (HR An. Nasa`i, dikatakan dalam Ash-Shahihul Musnad fi Asy-Syamail Muhammadiyah no. 796: hadits hasan)
Ketawadhu’an Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam ini menjadi gambaran nyata yang diteladani oleh para shahabat. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu pernah melewati anak-anak, lalu beliau mengucapkan salam pada mereka. Beliau Shallamengatakan:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَفْعَلُهُ
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam biasa melakukan hal itu.” (HR. Al-Bukhari no. 6247 dan Muslim no. 2168)
Memberikan salam kepada anak-anak ini dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan diikuti pula oleh para shahabat beliau radhiyallahu ‘anhum. Hal ini merupakan sikap tawadhu’ dan akhlak yang baik, serta termasuk pendidikan dan pengajaran yang baik, serta bimbingan dan pengarahan kepada anak-anak, karena anak-anak apabila diberi salam, mereka akan terbiasa dengan hal ini dan menjadi sesuatu yang tertanam dalam jiwa mereka. (Syarh Riyadhish Shalihin, 1/366-367)
Pernah pula Abu Rifa’ah Tamim bin Usaid radhiyallahu ‘anhu menuturkan sebuah peristiwa yang memberikan gambaran ketawadhu’an Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam serta kasih sayang dan kecintaan beliau terhadap kaum muslimin:
اِنْتَهَيْتُ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَخْطُبُ، فَقُلْتُ : يَا رَسُولَ اللهِ، رَجُلٌ غَرِيْبٌ جَاءَ يَسْأَلُ عَنْ دِيْنِهِ لاَ يَدْرِي مَا دِيْنُهُ؟ فَأَقْبَلَ عَلَيَّ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتَرَكَ خُطْبَتَهُ حَتَّى انْتَهَى إِلَيَّ فَأُتِيَ بِكُرْسِيٍّ، فَقَعَدَ عَلَيْهِ، وَجَعَلَ يُعَلِّمُنِي مِمَّا عَلَّمَهُ اللهُ، ثُمَّ أَتَى خُطْبَتَهُ فَأَتَمَّ آخِرَهَا
“Aku pernah datang kepada Rasulullah n ketika beliau berkhutbah. Lalu aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, seorang yang asing datang padamu untuk bertanya tentang agamanya, dia tidak mengetahui tentang agamanya.’ Maka Rasulullah n pun mendatangiku, kemudian diambilkan sebuah kursi lalu beliau duduk di atasnya. Mulailah beliau mengajarkan padaku apa yang diajarkan oleh Allah. Kemudian beliau kembali melanjutkan khutbahnya hingga selesai.” (HR. Muslim no. 876)
Begitu banyak anjuran maupun kisah kehidupan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang melukiskan ketawadhu’an beliau. Demikian pula dari para shahabat radhiyallahu ‘anhum. Tinggallah kembali pada diri ayah dan ibu. Jalan manakah kiranya yang hendak mereka pilihkan bagi buah hatinya?
Mengajarkan kerendahan hati hingga mendapati kebahagiaan di dua negeri, ataukah menanamkan benih kesombongan hingga menuai kehinaan di dunia dan akhirat?
Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.
Catatan kaki:
1 Thinatul khabal adalah keringat atau perasan dari penduduk neraka.
2 Hullah adalah pakaian yang terdiri dari dua potong baju.
2 Hullah adalah pakaian yang terdiri dari dua potong baju.
Tawaran kepada Orang Shalih
Kemapanan adalah alasan yang kerap dikemukakan orangtua atau wali kala menerima atau menolak pinangan seorang laki-laki terhadap putrinya. Mereka berargumen, kemapanan calon suami menjadi kunci utama dari kebahagiaan putrinya. Bagaimana dengan keteladanan salafus shalih dalam hal ini?
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu mengabarkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
إِذَا خَطَبَ إِلَيْكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِيْنَهُ وَخُلُقَهُ فَزَوِّجُوْهُ، إِلاَّ تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي اْلأَرْضِ وَفَسَادٌ عَرِيْضٌ
“Apabila seseorang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya datang kepada kalian untuk meminang wanita kalian, maka hendaknya kalian menikahkan orang tersebut dengan wanita kalian. Bila kalian tidak melakukannya niscaya akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar.” (HR. At-Tirmidzi no. 1084, dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Al-Irwa’ no. 1868, Ash-Shahihah no. 1022)
Abu Hatim Al-Muzani radhiyallahu ‘anhu juga menyampaikan hadits yang sama namun dengan lafadz sedikit berbeda:
إِذَا جَاءَكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِيْنَهُ وَخُلُقَهُ فَأَنْكِحُوْهُ إِلاَّ تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي اْلأَرْضِ وَفَسَادٌ
“Apabila datang kepada kalian seseorang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya (untuk meminang wanita kalian) maka hendaknya kalian menikahkannya dengan wanita kalian. Bila tidak, akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan.” (HR. At-Tirmidzi no. 1085, hadits ini derajatnya hasan dengan dukungan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu di atas)
Ketika para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah kami tetap menerimanya walaupun pada diri orang tersebut ada sesuatu yang tidak menyenangkan kami?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab pertanyaan ini dengan kembali mengulangi hadits di atas sampai tiga kali.
Ucapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits di atas ditujukan kepada para wali, إِذَا خَطَبَ إِلَيْكُمْ yakni bila seorang lelaki meminta kepada kalian agar menikahkannya dengan wanita yang merupakan anak atau kerabat kalian, sementara lelaki tersebut kalian pandang baik sisi agama dan pergaulannya, maka nikahkanlah dia dengan wanita kalian. إِلاَّ تَفْعَلُوا yakni bila kalian tidak menikahkan orang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya tersebut dengan wanita kalian, malah lebih menyukai lelaki yang meminang wanita kalian adalah orang yang punya kedudukan/kalangan ningrat, memiliki ketampanan ataupun kekayaan, niscaya akan terjadi fitnah dan kerusakan yang besar. Karena bila kalian tidak mau menikahkan wanita kalian kecuali dengan lelaki yang berharta atau punya kedudukan, bisa jadi banyak dari wanita kalian menjadi perawan tua dan kalangan lelaki kalian menjadi bujang lapuk (lamarannya selalu ditolak karena tidak berharta dan tidak punya kedudukan). Akibatnya banyak orang terfitnah untuk berbuat zina dan bisa jadi memberi cela kepada para wali, hingga berkobarlah fitnah dan kerusakan. Dampak yang timbul kemudian adalah terputusnya nasab, sedikitnya kebaikan dan sedikit penjagaan terhadap kehormatan dan harga diri. (Tuhfatul Ahwadzi, kitab An-Nikah, bab Ma Ja’a: Idza Ja’akum Man Tardhauna Dinahu Fa Zawwijuhu)
Kenapa kita bawakan hadits di atas dalam rubrik ini? Ya, karena tak jarang kita dapati pihak kerabat dari seorang wanita yang punya hak perwalian terhadapnya mempersulit pernikahan si wanita. Setiap lelaki yang datang meminang si wanita, mereka tolak bila tidak sesuai dengan kriteria mereka, walaupun si wanita senang dan mau menikah dengan si pelamar. Kalau lelaki yang melamar tersebut seorang yang pendosa, terkenal suka bermaksiat, memang sangat bisa diterima bila wali si wanita menolaknya. Permasalahannya sekarang, orang yang jelas baik sisi agamanya dan bagus akhlaknya pun ikut ditolak dengan berbagai alasan. Terhadap para wali yang berlaku demikian, kita hadapkan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia di atas.
Para pendahulu kita yang shalih, sangat mempermudah urusan pernikahan wanita-wanita yang di bawah perwalian mereka, karena mereka lebih mementingkan sisi agama dan kemuliaan akhlak. Bahkan bila lelaki yang shalih belum kunjung datang meminang wanita mereka, tak segan mereka tawarkan putri atau saudara perempuan mereka kepada seorang yang shalih.
Al-Qur’an yang mulia telah berkisah tentang tawaran seorang lelaki tua yang shalih di negeri Madyan1 kepada Nabi Musa ‘alaihissalam agar bersedia menikahi salah seorang putrinya:
وَلَمَّا وَرَدَ مَاءَ مَدْيَنَ وَجَدَ عَلَيْهِ أُمَّةً مِنَ النَّاسِ يَسْقُونَ وَوَجَدَ مِنْ دُونِهِمُ امْرَأتَيْنِ تَذُودَانِ قَالَ مَا خَطْبُكُمَا قَالَتَا لاَ نَسْقِي حَتَّى يُصْدِرَ الرِّعَاءُ وَأَبُونَا شَيْخٌ كَبِيرٌ. فَسَقَى لَهُمَا ثُمَّ تَوَلَّى إِلَى الظِّلِّ فَقَالَ رَبِّ إِنِّي لِمَا أَنْزَلْتَ إِلَيَّ مِنْ خَيْرٍ فَقِيرٌ. فَجَاءَتْهُ إِحْدَاهُمَا تَمْشِي عَلَى اسْتِحْيَاءٍ قَالَتْ إِنَّ أَبِي يَدْعُوكَ لِيَجْزِيَكَ أَجْرَ مَا سَقَيْتَ لَنَا فَلَمَّا جَاءَهُ وَقَصَّ عَلَيْهِ الْقَصَصَ قَالَ لاَ تَخَفْ نَجَوْتَ مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ. قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَاأَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ اْلأَمِينُ. قَالَ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أُنْكِحَكَ إِحْدَى ابْنَتَيَّ هَاتَيْنِ عَلَى أَنْ تَأْجُرَنِي ثَمَانِيَ حِجَجٍ فَإِنْ أَتْمَمْتَ عَشْرًا فَمِنْ عِنْدِكَ وَمَا أُرِيدُ أَنْ أَشُقَّ عَلَيْكَ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللهُ مِنَ الصَّالِحِينَ. قَالَ ذَلِكَ بَيْنِي وَبَيْنَكَ أَيَّمَا اْلأَجَلَيْنِ قَضَيْتُ فَلاَ عُدْوَانَ عَلَيَّ وَاللهُ عَلَى مَا نَقُولُ وَكِيلٌ
“Dan tatkala Musa sampai di sumber air negeri Madyan, ia menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang meminumkan (ternak mereka) dan di belakang orang banyak itu, ia dapati dua orang wanita yang sedang menghambat (ternak mereka). Musa bertanya, ‘Ada apa dengan kalian (hingga tidak ikut meminumkan ternak sebagaimana mereka)?’ Kedua wanita itu berkata, ‘Kami tidak dapat meminumkan (ternak kami) sebelum penggembala-penggembala itu memulangkan (ternak mereka), sedangkan ayah kami adalah orang tua yang telah lanjut usia.’ Maka Musa menolong kedua wanita tersebut dengan memberi minum ternak keduanya. Setelahnya, ia kembali ke tempat yang teduh lalu berdoa, ‘Ya Rabbku, sesungguhnya aku sangat memerlukan suatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku.’ Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita tadi, ia berjalan dengan malu-malu. Ia berkata, ‘Ayahku memanggilmu untuk membalas (kebaikan)mu memberi minum ternak kami.’ Tatkala Musa menemui ayah si wanita dan menceritakan kisah dirinya, ayah si wanita berkata, ‘Janganlah engkau takut. Engkau telah selamat dari orang-orang yang dzalim itu.’ Salah seorang dari kedua wanita itu berkata, ‘Wahai ayahku, ambillah orang itu sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sebaik-baik orang yang engkau ambil untuk bekerja (pada kita) adalah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.’ Berkatalah ayah si wanita kepada Musa, ‘Sungguh aku bermaksud menikahkan engkau dengan salah seorang dari kedua putriku ini, atas dasar engkau bekerja denganku selama delapan tahun dan jika engkau cukupkan sampai sepuluh tahun maka itu adalah (suatu kebaikan) darimu karena aku tidak ingin memberatkanmu. Dan kamu Insya Allah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik’. Dia (Musa) berkata: ‘Itulah (perjanjian) antara aku dan kamu. Mana saja dari kedua waktu yang ditentukan itu aku sempurnakan, maka tidak ada tuntutan tambahan atas diriku (lagi). Dan Allah adalah saksi atas apa yang kita ucapkan’.” (Al-Qashash: 23-28)
Lihat pula apa yang dilakukan seorang sahabat Rasul yang kita tidak menyangsikan kemuliaan dan kedudukannya, ‘Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu. Ketika putrinya Hafshah radhiyallahu ‘anha menjanda karena ditinggal mati suaminya, Khunais bin Hudzafah As-Sahmi radhiyallahu ‘anhu di Madinah, ‘Umar radhiyallahu ‘anhu mendatangi ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu yang belum lama ditimpa musibah dengan meninggalnya istrinya, Ruqayyah bintu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, guna menawarkan putrinya kepada ‘Utsman, sekiranya ‘Utsman berhasrat menikahinya. Namun ternyata ‘Utsman berkata, “Saya akan pertimbangkan urusanku.” ‘Umar pun menunggu beberapa hari. Ketika bertemu lagi, ‘Utsman berkata, “Aku putuskan untuk tidak menikah dulu dalam waktu-waktu ini.” Karena ‘Utsman telah memberikan isyarat penolakannya untuk menikah dengan Hafshah, ‘Umar pun menemui Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu dengan maksud yang sama, “Jika engkau mau, aku akan nikahkan engkau dengan Hafshah bintu ‘Umar,” kata ‘Umar. Namun Abu Bakr diam tidak berucap sepatah kata pun. Sikap Abu Bakr seperti ini membuat ‘Umar marah. Selang beberapa hari, ternyata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminang Hafshah. Betapa bahagianya ‘Umar dengan pinangan tersebut. Ia pun menikahkan Hafshah dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setelah pernikahan yang diberkahi tersebut, Abu Bakr menjumpai ‘Umar dan berkata, “Mungkin engkau marah kepadaku ketika engkau tawarkan Hafshah kepadaku namun aku tidak berucap sepatah kata pun? “
“Iya,” jawab Umar.
“Sebenarnya tidak ada yang mencegahku untuk menerima tawaranmu. Hanya saja aku tahu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyebut-nyebut Hafshah, maka aku tidak suka menyebarkan rahasia Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut. Seandainya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak jadi meminang Hafshah, aku tentu mau menikahi Hafshah,” jawab Abu Bakr menjelaskan. (HR. Al-Bukhari no. 5122)
Satu kisah yang menghiasi kitab-kitab tarikh (sejarah) juga patut kita bawakan di sini. Kisah seorang tokoh tabi’in, Sa’id ibnul Musayyab rahimahullah, yang menawarkan putrinya kepada muridnya, Abdullah ibnu Abi Wada’ah. Abdullah ini bercerita, “Aku biasa duduk di majelis Sa’id ibnul Musayyab guna mendengarkan ilmu. Namun dalam beberapa hari aku absen dari majelisnya, hingga Sa’id merasa kehilangan diriku. Hingga suatu hari ketika aku menemuinya, ia bertanya, “Dari mana engkau?”
“Istriku meninggal dunia sehingga aku tersibukkan dengannya,” jawabku.
“Kenapa engkau tidak memberitahukan kepadaku hingga kami bisa menghadiri jenasahnya?” tanya Sa’id.
Setelah beberapa lama berada dalam majelis, aku ingin bangkit untuk pulang. Namun Sa’id menodongku dengan pertanyaan, “Apakah engkau ingin mencari istri yang baru?”
“Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmatimu. Siapa yang mau menikahkan aku dengan wanitanya, sementara aku tidak memiliki apa-apa kecuali uang sebesar dua atau tiga dirham?” jawabku.
“Aku orangnya,” kata Sa’id.
“Engkau ingin melakukannya?” tanyaku
“Iya,” jawab Sa’id.
Ia pun memuji Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bershalawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian menikahkan aku dengan putrinya dengan mahar sebesar dua atau tiga dirham. Setelahnya aku bangkit untuk kembali pulang dalam keadaan aku tidak tahu apa yang harus kuperbuat karena bahagianya. Aku kembali ke rumahku dan mulailah aku berpikir hingga tiba waktu maghrib. Usai mengerjakan shalat maghrib, aku kembali ke rumahku. Kuhidupkan pelita. Ketika itu aku sedang puasa, maka aku persiapkan makan malamku berupa roti dan minyak untuk berbuka. Tiba-tiba pintu rumahku diketuk. “Siapa?” tanyaku.
“Sa’id,” jawab si pengetuk.
Aku pun berpikir siapa saja orang yang bernama Sa’id, tanpa terlintas di benakku tentang Sa’id ibnul Musayyab, karena telah lewat waktu 40 tahun ia tak pernah terlihat ke mana-mana kecuali di antara rumahnya dan masjid2. Aku pun keluar menemui si pengetuk dan ternyata ia adalah Sa’id ibnul Musayyab. Semula aku menyangka ia akan membatalkan pernikahanku dengan putrinya. Aku berkata, “Wahai Abu Muhammad! Seandainya engkau mengutus seseorang untuk memanggilku niscaya aku akan mendatangimu.”
“Oh tidak! Engkau lebih pantas untuk didatangi,” ujarnya.
“Apa yang engkau perintahkan kepadaku?” tanyaku.
“Engkau tadinya membujang lalu engkau menikah, maka aku tidak suka engkau melewati malam ini sendirian. Ini istrimu!” kata Sa’id menunjuk seorang wanita yang berdiri tersembunyi di belakangnya. Ia membawa wanita yang telah menjadi istriku itu ke pintuku lalu menutupnya. Aku pun masuk menemui istriku. Ternyata kudapati ia wanita yang sangat cantik dan paling hafal terhadap Kitabullah, serta paling tahu tentang Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tentunya paling mengerti tentang hak suami.”
Demikian kisah Abdullah ibnu Abi Wada’ah yang beruntung mempersunting putri Sa’id ibnul Musayyab yang shalihah, jelita lagi cendekia. Padahal putri Sa’id ini pernah dipinang oleh Khalifah Abdul Malik bin Marwan untuk putranya, Al-Walid. Namun Sa’id enggan menikahkan putrinya dengan putra khalifah. Ia lebih memilih menawarkan putrinya kepada muridnya yang hidup penuh dengan kesederhanaan, namun sarat dengan ilmu dan keshalihan. (Siyar A’lamin Nubala`, 4/233-234)
Dari kisah-kisah di atas yakinlah kita bahwa menawarkan anak gadis, saudara perempuan atau keponakan kepada seorang lelaki yang shalih, bukanlah suatu cela. Bahkan hal itu menunjukkan itikad yang baik dari wali si wanita, yaitu memilihkan orang yang baik untuk wanitanya. Karena, seorang yang shalih bila mencintai istrinya ia akan memuliakannya. Namun bila tidak mencintai istrinya, ia tidak akan menghinakannya. Karenanya, janganlah para wali mempersulit urusan pernikahan wanita mereka dengan seseorang yang baik agama dan akhlaknya!
Wallahu a’lam bish-shawab.
Footnote:
1 Faedah: Para ahli tafsir berbeda pendapat tentang siapa lelaki ini. Ada beberapa pendapat dalam hal ini. Salah satunya adalah pendapat yang mengatakan lelaki itu adalah Nabi Syu’aib ‘alaihissalam yang diutus Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada penduduk Madyan. Inilah yang masyhur menurut kebanyakan ulama. Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu dan selainnya berpendapat demikian.
Pendapat lain mengatakan bahwa lelaki tersebut adalah saudara Nabi Syu’aib. Adapula yang berpendapat dia adalah lelaki mukmin dari kaum Syu’aib. Yang lain mengatakan, Syu’aib diutus pada masa yang jauh dari zaman Musa ‘alaihissalam, karena Syu’aib berkata kepada kaumnya:
وَمَا قَوْمُ لُوْطٍ مِنْكُمْ بِبَعِيْدٍ
“Tidaklah kaum Luth berada jauh dari kalian.” (Hud: 89)
Sementara masa kebinasaan kaum Luth terjadi di zaman Nabi Ibrahim ‘alaihissalam sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur`an. Dan diketahui bahwa jarak antara masa Nabi Ibrahim dengan Nabi Musa amatlah jauh, lebih dari 400 tahun, sebagaimana disebutkan lebih dari seorang ulama. Termasuk yang memperkuat pendapat bahwa lelaki itu bukanlah Nabi Syu’aib adalah seandainya benar dia Nabi Syu’aib niscaya Al-Qur`an akan menyebut namanya dalam ayat tersebut. (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, 6/110)
2 Karena Sa’id memakmurkan hari-harinya untuk memberikan pengajaran ilmu kepada manusia di rumah Allah Subhanahu wa Ta’ala.







Tidak ada komentar:
Posting Komentar