Powered By Blogger

Sabtu, 11 Desember 2010

RENUNGAN


[1.8-circus-tree.jpg]
Keutamaan ilmu dan orang-orang berilmu

“Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu

(Q.S. AL-’ANKABUT:43)

“Dan tidaklah sama orang yang buta dengan orang yang melihat

(Q.S. FATHIR:19)

“… Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama…”

(Q.S. FATHIR:28)

“…niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat…”

(Q.S. AL-MUJADILAH:11)

Sebuah renungan semoga berharga:

  • Semua ilmu hakekatnya akan menuju pada kemurnian dan kesadaran tauhid sebagaimana fitrah manusia dan alam semesta ini sebagai makhluq yang butuh pada sang penciptanya dan akan terus gelisah hingga genap keilkhlasan kita bersandar pada Allah Rab ‘azza wajalla. Allah telah mengatur sebaik-baiknya ciptaan-Nya, segala ciptaan-Nya takkan pernah luput dari kesempurnaan-Nya
  • Hanya ilmu yang mendasarkan pada Allah yang shahih (ada tuntunanya dari rasulullah lewat hadist yang shahih), meyakininya sebagai jalan kebaikan yang bisa mengantarkan pada kejayaan ummat manusia dan kejayaan kelak yang haq disisi Allah
  • Mari berusaha mendapatkan ilmu yang lebih prioritas (ilmu hal) yaitu yang lebih bisa mendekatkan diri kepada Allah sebagai seorang hamba lewat al-ilmu (alquran) yang harus selalu menjadi sandaran dan keyakinan bagi tiap amalan kita (ilmu haq) dan baru urutan selanjutanya adalah segala ilmu yang asalnya dari sumber yang bersih, dengan niat yang bersih dan menuju kepada kebersihan pula… (semoga Allah senantiasa meneguhkan keikhlasan hati kita semua)

“… dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit"

(Al isra’: 85)

Hikmah:

  • “Mari memanfaatkan dan mengajarkan ilmu yang Allah karuniakan sebaik mungkin
  • “Mari berusaha senantiasa bertindak berdasar ilmu (dalil) yang kokoh yang ada contohnya dari rasulullah, bukan sekedar prasangka”


Ilmu adalah kunci sukses dunia akhirat

“…niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat…”

(Q.S. AL-MUJADILAH:11)

“Sesungguhnya orang-orang yang berhati-hati karena takut akan (azab) Tuhan mereka (57) Dan orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Tuhan mereka (58) Dan orang-orang yang tidak mempersekutukan dengan Tuhan mereka (sesuatu apapun) (59) Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka (60) mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya (61)”

Sebuah Hikmah dan Renungan:

  • “Mari menyadari, sekedar menerima kebenaran mungkin bisa dengan taqlid (ikut-ikutan) namun tiada derajad disisi Allah karna mudahnya lepasnya kebenaran tanpa kita tahu. Sedang seorang muslim harus benar-benar beriman yang haq dengan ilmu dan pemahaman mendalam yang benar sebagaimana telah rasulullah teladankan dan para sahabat telah amalkan, ilmu yang haq
  • Waspada pada pendapat yang keliru, salah dan menyesatkan pada kebanyakan orang (keawaman) yang senantiasa siap menerkam kita”
  • Mari membiasakan pisahkan antara yang haq dan yang bathil, fakta dan opini serta orang (dan media) yang mengucapkannya
  • Jangan begitu saja menerima pandangan media atau angapan orang banyak tentang dunia ini dan jalan yang baik menurutnya. Teliti dulu kebenarannya, sebenar petunjuk adalah yang datang dari Allah (al quran) dan dijelaskan rasul-Nya (assunnah). Maka miliki keilmuan agama yang kuat sebagai seorang muslim yang selayaknya
  • Jangan mengandalkan pengalaman, pendapat atau pandangan umum saja tanpa ilmu, ingat firman Allah kebanyakan manusia adalah menyesatkan justru karna banyaknya mereka yang seakan-akan benar dan kuat sedang perbuatan mereka adalah dari nafsu dan kebiasaan (kebanyakan) dan warisan yang salah
  • Jangan pernah biarkan orang lain mempengaruhi atau mengambil alih hidup kita, biarlah hidayah Allah menuntun hidup kita dengan sebenar ilmu yang haq dan meyakinkan kesahihanya”
  • Jangan lagi pernah mengenal dan mengikuti kebenaran karna tokohnya, mari kita kenali kebenaran itu sendiri maka niscaya kitapun akan tahu siapakah tokoh itu” (Ali bin abi thalib)

Larangan mendahului Allah dan rasul-Nya dalam berbuat sesuatu

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”

Jadi seorang mukmin tidak boleh menetapkan suatu hukum sebelum ada ketetapan dari dari Alalh dan rasul-Nya (dari Al Quran dan As sunnah)


Larangan mengharamkan yang dihalalkan dan sebaliknya serta melampaui batas

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas

(Al maidah: 87)

“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta "Ini halal dan ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung

(An nahl: 116)

Seruan untuk mencari ilmu agama

“Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mu'min itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”

(Q.S. AT-TAUBAH:122)

“Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui

(Q.S. AN-NAHL:43)

Seruan untuk bertafakkur dan menggunakan akal

Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidakkah kamu berpikir?

(Q.S. AL-BAQARAH:44)

Demikianlah Allah menerangkan kepadamu ayat-ayat-Nya (hukum-hukum-Nya) supaya kamu memahaminya

(Q.S. AL-BAQARAH:242)

Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur'an dan As Sunnah) kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa yang dianugrahi al hikmah itu, ia benar-benar telah dianugrahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)”

(Q.S. AL-BAQARAH:269)

Sebuah Renungan:

  • “Mari menjaga pintu pikiran kita dan apa yang terlintas dalam benak kita
  • “Mari berhati-hati, kita seringkali hanyut dalam pikiran dan argumentasi pribadi bukanya mendahulukan alquran dan assunnah
  • “Hati-hati dengan pikiran dan sikap gelisah kita, sebab kebanyakan prasangka adalah dusta dan jangan lagi pernah ragu, tinggalkan segala yang meragukan
    • "Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka! Karena sebagian dari prasangka itu adalah dosa" (Al-Hujurat: 12)
  • “Pahami efek bola salju pikiran, biasakan hidup bersih dan tulus semua karna Allah
  • “Mari berhati-hati pada persepsi dan cara pandang kita sebab sangat menentukan tindakan yang akan kita ambil nantinnya, maka mari membiasakan mendahulukan alilmu dan hidup ilmiyyah (addalil)
  • “Biasakan isi pikiran dengan hal-hal yang baik-baik saja
  • Jangan pernah iklhlaskan pikiran kita tercuri dengan segala kesia-siaan dan informasi sampah
  • “Mari memperhatikan pada hal yang benar-benar baik dan pula dengan cara yang bersih (baik) saja” (selektif, jauh dari segala kesia-siaan membuang-buang waktu)
  • Hindari jebakan logika (akal) dan kaum filsafat yang dipermainkan akalnya
  • “Mari memahami inti dan akar suatu masalah sebenarnya, biasakan hidup ilmiyyah”
  • Hati-hati dan jauhi sesuatu yang tidak kita ketahui dan tidak jelas (syubhat/meragukan)”
  • Jangan pernah biarkan diri kita dalam posisi sulit, tiada berdaya, tidak punya kontrol, bimbang, tiada tahu (tidak jelas)”
  • Biasakan bicara yang baik-baik, dan baik pula pada pikiran, hati dan manfaat pada diri kita, sehingga menjaga diri selalu berpikir konstruktif (membangun) dan bermanfaat
  • “Mari menyadari dalam alam pikiran, kita seakan-akan menciptakan dunia kita sendiri dan juga bagaimana memandang dunia ini, sama juga tiap orang mereka punya pengalaman dan pikirannya sendiri. Namun jangan sampai kita terbuai pikiran (sering menjebak dengan keterbatasanya) sedang Alquran adalah sebenar-benar petunjuk

Seruan untuk menyebarkan ilmu dan larangan menyimpannya

“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu dila`nati Allah dan dila`nati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat mela`nati

(Q.S. AL-BAQARAH:159)

“(yaitu) orang-orang yang kikir, dan menyuruh orang lain berbuat kikir dan menyembunyikan karunia Allah yang telah diberikan-Nya kepada mereka. Dan kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir siksa yang menghinakan

(Q.S. AN-NISA’:37)

Larangan berbantah-bantah tanpa ilmu

“Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna

(Q.S. AL-HAJJ:3)

“Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya

(Q.S. AL-HAJJ:8)

Seruan untuk mendalami ilmu dan pengetahuan

“…Dan katakanlah (muhammad) : "Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan"

(Thahaa: 114)

“Katakanlah: "Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi. Tidaklah bermanfa`at tanda kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman"

(Q.S. YUNUS:101)

Bergairah dengan ilmu

Kritis

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya

(Al isra’: 36)

Terbuka menerima kebenaran dari manapun datangnya

Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal

(Az zumar: 18)

Senantiasa menggunakan daya nalar

“Do`a mereka di dalamnya ialah: "Subhanakallahumma", dan salam penghormatan mereka ialah: "Salam". Dan penutup do`a mereka ialah: "Alhamdulillaahi Rabbil `aalamin."

Wallahu a’lam bisshawab…





SYARAH HADIST WALI

Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam, shalawat dan salam buat Nabi terakhir yang membawa peringatan bagi seluruh umat manusia, semoga shalawat dan salam juga terlimpahkan buat keluarga dan para sahabatnya serta orang-orang yang tetap berpegang teguh dengan petunjuk mereka sampai hari kiamat.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ قَالَ مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا وَإِنْ سَأَلَنِي لَأُعْطِيَنَّهُ وَلَئِنْ اسْتَعَاذَنِي لَأُعِيذَنَّهُ. (رواه البخاري)

Terjemahan Hadits

"Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu ia berkata: telah bersabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,: "Sesungguhnya Allah telah berfirman: Barang siapa yang memusuhi Waliku maka sesungguhnya Aku telah menyatakan perang kepadanya, dan tidaklah seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu ibadah yang lebih Aku cintai dari apa yang telah Aku wajibkan kepadanya, dan senantiasa seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya. Jika Aku mencintainya jadilah aku sebagai pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, dan sebagai penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, dan sebagai tangannya yang ia gunakan untuk berbuat, dan sebagai kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Dan jika ia meminta (sesuatu) kepada-Ku pasti Aku akan memberinya, dan jika ia memohon perlindungan dariKu pasti Aku akan melindunginya". (Hadits ini dirawikan Imam Bukhari dalam kitab shahihnya, hadits no. 6137)

Hadits ini disebut juga hadits kudsi, karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam meriwayatkannya langsung dari Allah, adapun perbedaan antara hadits kudsi dengan hadits biasa ada beberapa pendapat, yang masyhur di kalangan para ulama adalah bahwa hadits kudsi lafaz dan maknanya datang langsung dari Allah adapun hadits biasa, lafaznya dari nabi sedangkan maknanya dari Allah subhanahu wa ta'ala. Kemudian apa perbedaan antara hadits kudsi dengan Al-Qur'an? Karena keduanya sama-sama datang dari Allah baik lafaz maupun makna? Sebagian ulama menyebutkan: perbedaanya adalah Al-Qur'an mendapat pahala dalam segi membaca dan hal-hal lainnya, adapun hadits kudsi mendapat pahala dengan memahami dan mengamalkannya. Namun sebagian ulama meninggalkan dari mencari-cari perbedaan tersebut takut akan terjerumus kepada persoalan yang berlebih-lebihan yang akhirnya akan menyebabkan berbicara dalam agama tanpa ilmu. WAllahu a'lam bisshawaab.

Sahabat yang merawikan hadits ini dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam adalah Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, sahabat yang terbanyak meriwayatkan hadits dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Nama beliau adalah Abdurrahman bin Shakhar Addausy, masuk Islam pada saat perang Khaibar tahun ke 7 H. dan meninggal dunia pada th. 57 H.

Mengapa beliau sahabat yang terbanyak meriwayatkan hadits?

Pertama, berkat doa nabi shallallahu 'alaihi wa sallam kepadanya, agar setiap hadits yang ia dengar langsung hafal dan tidak lupa untuk selamanya.

Kedua, ia selalu bersama Nabi semenjak berjumpa dengan beliau, ia tidak punya kesibukan lain kecuali mengambil ilmu dari Nabi, adapun para sahabat yang lain Mereka mempunyai kesibukan untuk mengurus keluarga dan harta mereka. Imam Az Dzahaby menyebutkan dalam kitab Siyyarnya, "seseorang bertanya kepada Tholhah bin Ubaidillah: kenapa Abu Hurairah lebih banyak mengetahui hadits dari kalian? Kami mendengar darinya apa yang tidak kami dengar dari kalian? Apakah ia mengatakan sesuatu yang tidak dikatakan Rasulullah? Jawab Tholhah: adapun tentang ia mendengar sesuatu yang tidak kami dengar, saya tidak meragukannya, saya akan menerangkan hal tersebut padamu, kami memiliki keluarga, binatang ternak dan pekerjaan, kami datang menemui Rasulullah hanya pada dua penghujung hari (pagi dan sore). Sedangkan ia (Abu Hurairah) adalah orang yang miskin, sebagai tamu di pintu rumah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, tangannya selalu bersama tangan Rasulullah, maka kami tidak meragukan apa yang ia dengar sekalipun kami tidak mendengarnya dari Rasulullah, engkau tidak akan menemukan seseorang akan tetap baik bila ia mengatakan sesuatu yang tidak dikatakan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam."

Abu Hurairah sendiri pun telah menjelaskan tentang hal tersebut ketika berita seperti ini dari seseorang sampai kepadanya: "Aku datang menemui Rasulullah pada saat perang khaibar, umurku saat itu sudah melewati 30 tahun. Aku tetap tinggal bersamanya sampai beliau meninggal dunia, aku ikut bersamanya ke rumah-rumah istri beliau, aku selalu membantu beliau, aku selalu ikut perang dan haji bersama beliau, dan tetap selalu shalat di belakang beliau, maka oleh sebab itu (demi Allah) aku menjadi orang yang paling tahu dengan hadits-hadits beliau".

Kandungan Hadits

Hadits di atas mengandung beberapa pembahasan penting di antaranya:

Pertama: Tentang al wala' wal bara' (loyalitas dan berlepas diri)

Dalam potongan awal dari hadits di atas disebutkan: "Barang siapa yang memusuhi Waliku maka sesungguhnya Aku telah menyatakan perang kepadanya". Maksud dari memusuhi dalam hadits ini adalah memusuhi karena alasan agama dan iman bukan karena urusan duniawi, adapun pertikaian yang disebabkan oleh urusan duniawi selama tidak sampai pada puncak kebencian tidak mendapat ancaman yang disebutkan Allah dalam hadits ini. Karena perselisihan dan pertikaian juga terjadi di kalangan sebahagian para sahabat, sebab mereka adalah manusia biasa yang juga memeliki kesalahan dan kealpaan, tapi pertikaian tersebut tidak sampai pada tingkat kebencian, bahkan secepatnya mereka saling memaafkan, sebagaimana yang pernah terjadi antara Abu bakar dan Umar atau pertikaian tersebut timbul karena ijtihad Mereka masing-masing sebagaimana apa yang terjadi dalam perang shiffin dan jamal.

Adapun kebencian yang didasari oleh kebencian kepada agama dan keimanan adalah merupakan dosa besar dan bahkan bisa menyebabkan seseorang keluar dari Islam, sebagaimana kebencian orang-orang Ahlu bid'ah kepada Ahlussunnah, atau kebencian orang-orang munafikin dan kafirin kepada umat Islam. Begitu pula setiap orang yang tidak menginginkan Islam dan sunnah tersebar di kalangan umat manusia. Apalagi bila sampai pada tingkat menangkap atau menculik dan membunuh tokoh-tokoh Ahlussunnah. Orang yang paling nomor satu dalam memusuhi wali-wali Allah adalah kaum Rafidhah (Syi'ah), mereka sangat memusuhi orang-orang yang berada digaris depan dan paling mulia dari seluruh wali Allah setelah para nabi dan rasul yaitu para sahabat yang mulia. Mereka orang-orang rafidhah mengkafirkan dan mencaci para sahabat yang telah berjuang dijalan Allah untuk tegaknya agama Islam ini dengan harta dan jiwa raga mereka.

Imam As Sya'bi mengungkapkan bahwa kebencian Rafidhah kepada para wali Allah melebihi kebencian yahudi dan nasrani kepada para wali Allah: "bila engkau bertanya kepada seorang yahudi siapa generasi terbaik agama kamu? Ia akan menjawab: sahabat Musa. Begitu pula bila engkau bertanya kepada seorang nasrani: siapa generasi terbaik agamamu? Ia akan menjawab: sahabat Isa. Tapi bila engkau bertanya kepada seorang rafidhah: siapa generasi yang terburuk dalam agama ini? Ia akan menjawab: Sahabat Muhammad."

Oleh sebab itu Imam Abu Hatim Arraazy berkata, "sebetulnya Mereka itu ingin membatalkan Al-Qur'an dan Sunnah, tapi Mereka tidak mampu maka Mereka ingin mencela orang yang menyampaikan Al-Qur'an dan sunnah supaya bisa membatalkan Al-Qur'an dan Sunnah, tapi mereka (orang syi'ah) itu lebih berhak untuk dicela, Mereka itu adalah orang-orang zindik."

Cara ini pulalah yang ditempuh oleh berbagai kelompok yang melenceng dari sunnah sekarang ini, kita tidak perlu menyebutkan nama mereka masing-masing, tapi cukup kita kenal ciri mereka, karena nama bisa bertukar di setiap tempat dan di setiap saat, bila kita melihat ada kelompok yang melecehkan ulama atau pengikut sunnah itulah mereka. Kenapa mereka menempuh cara ini? Karena bila generasi dijauhkan dari ulamanya maka saat itu mereka baru bisa memasukkan ide-ide atau pemikiran mereka, oleh sebab itu mereka selalu melecehkan atau meremehkan para penegak sunnah, supaya bila label jelek ini sudah tertanam dalam benak seseorang, saat itu ia tidak akan mau lagi mendengar nasihat para ulama, maka saat itu pula berbagai pemikiran dapat dimasukkan kepada mereka.

Sekarang kita kembali kepada taufik utama kita, yaitu apakah pengertian wali, siapa wali Allah itu? bermacam pandangan telah mewarnai bursa kewalian, ada yang berpandangan bila seseorang telah memiliki hal-hal yang luar biasa berarti dia telah sampai pada tingkat kewalian, seperti tidak luka bila dipukul dengan senjata tajam dan sebagainya. Sebagian orang berpendapat bila sudah pakai baju jubah dan surban berarti sudah wali, sebagian lain berpendapat bila seseorang suka berpakaian kusut dan bersendal cepit berarti ia wali, ada pula yang berpandangan bila seseorang kerjanya berzikir selalu berarti dia wali. Dan banyak lagi pendapat-pendapat tentang perwalian yang tidak dapat kita sebutkan satu persatu di sini.

Pengertian Wali

Wali secara etimologi berarti dekat. Adapun secara terminologi menurut pengertian sebagian ulama ahlussunah, wali adalah orang yang beriman lagi bertakwa tetapi bukan nabi. Sebagian ulama lain berpendapat bahwa seluruh orang yang beriman lagi bertakwa adalah disebut wali Allah, dan wali Allah yang paling utama adalah para nabi, yang paling utama di antara para nabi adalah para rasul, yang paling utama di antara para rasul adalah Ulul 'azmi, yang paling utama di antara Ulul 'azmi adalah Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam. Maka para wali Allah tersebut memiliki perbedaan dalam tingkat keimanan mereka, sebagaimana mereka memiliki tingkat yang berbeda pula dalam kedekatan Mereka dengan Allah.

Maka dapat disimpulkan di sini bahwa wali-wali Allah terbagi kepada dua golongan:

Golongan petama, Assaabiquun Almuqarrabuun (barisan terdepan dari orang-orang yang dekat dengan Allah). Yaitu mereka yang melakukan hal-hal yang mandub (sunnah) serta menjauhi hal-hal yang makruh di samping melakukan hal-hal yang wajib. Sebagaimana lanjutan hadits: "Dan senantiasa seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya".

Golongan kedua, Ashaabulyamiin (golongan kanan). Yaitu mereka hanya cukup dengan melaksanakan hal-hal yang wajib saja serta menjauhi hal-hal yang diharamkan, tanpa melakukan hal-hal yang mandub atau menjauhi hal-hal yang makruh.

Sebagaimana yang disebutkan dalam potongan hadits di atas: "Dan tidaklah seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu ibadah yang lebih Aku cintai dari apa yang telah Aku wajibkan kepadanya".Kedua golongan ini disebutkan Allah dalan firman-Nya: "Adapun jika ia termasuk golongan yang dekat (kepada Allah). Maka dia memperoleh ketentraman dan rezki serta surga kenikmatan. Dan adapun jika ia termasuk golongan kanan. Maka keselamatan bagimu dari golongan kanan". (QS. Al Waaqi'ah, ayat: 88-91).

Kemudian para wali itu terbagi pula menurut amalan dan perbuatan Mereka kepada dua bagian; wali Allah dan wali setan. Maka untuk membedakan di antara kedua jenis wali ini perlu kita melihat amalan seorang wali tersebut, bila amalannya benar menurut Al-Qur'an dan Sunnah maka dia adalah wali Allah sebaliknya bila amalannya penuh dengan kesyirikan dan segala bentuk bid'ah maka dia adalah wali setan. Berikut kita akan rinci ciri-ciri dari kedua jenis wali tersebut.

Ciri-ciri Wali Allah

Allah telah menyebutkan ciri para waliNya dalam firman-Nya, "Ingatlah; sesungguhnya para wali-wali Allah Mereka tidak merasa takut dan tidak pula merasa sedih. Yaitu orang-orang yang beriman lagi bertakwa". (QS. Yunus, ayat: 62-63).

Ciri pertama, Beriman, artinya keimanan yang yang dimilikinya tidak dicampuri oleh berbagai bentuk kesyirikan. Keimanan tersebut tidak hanya sekedar pengakuan tetapi keimanan yang mengantarkan kepada bertakwa. Landasan keimanan yang pertama adalah Dua kalimat syahadat. Maka orang yang tidak mengucapkan dua kalimat syahadat atau melakukan hal-hal yang membatalkan kalimat tauhid tersebut adalah bukan wali Allah. Seperti menjadikan wali sebagai perantara dalam beribadah kepada Allah, atau menganggap bahwa hukum selain Islam adalah sama atau lebih baik dari hukum Islam. Atau berpendapat semua agama adalah benar. Atau berkeyakinan bahwa kenabian dan kerasulan tetap ada sampai hari kiamat bahwa Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam bukan penutup segala rasul dan nabi.

Ciri kedua, Bertakwa, artinya ia melakukan apa yang diperintah Allah dan menjauhi apa yang dilarang Allah. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits ini yaitu melakukan hal-hal yang diwajibkan agama, ditambah lagi dengan amalan-amalan sunnah. Maka oleh sebab itu kalau ada orang yang mengaku sebagai wali, tapi ia meninggalkan beramal kepada Allah maka ia termasuk pada jenis wali yang kedua yaitu wali setan. Atau melakukan ibadah-ibadah yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Baik dalam bentuk shalat maupun zikir, dll.

Ciri-ciri Wali Setan

Adapun ciri wali setan adalah orang yang mengikuti kemauan setan, mulai dari melakukan syirik dan bid'ah sampai berbagai bentuk kemaksiatan. Di antaranya adalah apa yang disebutkan dalam hadits ini yaitu memusuhi wali-wali Allah. Banyak cara setan dalam menyesatkan wali-walinya di antaranya adalah bila ada orang yang melarang berdoa atau meminta di kuburan wali, setan langsung membisikkan kepadanya bahwa orang ini tidak menghormati wali.

Sebagaimana Allah terangkan dalam firman-Nya bahwa setan juga memberikan wahyu kepada para wali-wali mereka: "Sesungguhnya setan-setan itu mewahyukan kepada wali-wali Mereka untuk membantahmu, jika kamu menaati Mereka sesungguhnya kamu termasuk menjadi orang-orang musyrikin". (QS. Al An'aam, ayat: 121).

Sesungguhnya menghormati wali bukanlah dengan berdoa di kuburannya, justru ini adalah perbuatan yang di benci wali itu sendiri karena telah menyekutukannya dengan Allah. Manakah yang lebih tinggi kehormatan seorang wali di sisi Allah dengan kehormatan seorang nabi? Jelas nabi lebih tinggi. Jangankan meminta kepada wali kepada nabi sekalipun tidak boleh berdoa. Jangankan saat setelah mati di waktu hidup saja nabi tidak mampu mendatangkan manfaat untuk dirinya sendiri, apalagi untuk orang lain setelah mati!. Kalau hal itu benar tentulah para sahabat akan berbondong-bondong ke kuburan nabi shallallahu 'alaihi wa sallam saat Mereka kekeringan atau kelaparan atau saat diserang oleh musuh. Tapi kenyataan justru sebaliknya, saat paceklik terjadi di Madinah, Umar bin Khaththab mengajak kaum muslimin melakukan shalat istikharah kemudian menyuruh Abbas bin Abdul Muthalib berdoa, karena kedekatannya dengan Nabi, bukannya Umar meminta kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Karena kehidupan beliau di alam barzah tidak bisa disamakan dengan kehidupan di alam dunia.

Kemudian bentuk lain dari cara setan dalam menyesatkan wali-walinya adalah dengan memotivasi seseorang melakukan amalan-amalan bid'ah, sebagai contoh kisah yang amat mashur yaitu kisah Sunan Kalijaga, kita tidak mengetahui apakah itu benar dilakukan beliau atau kisah yang didustakan atas nama beliau, namun kita tidak mengingkari kalau memang beliau seorang wali, yang kita cermati adalah kisah kewalian beliau yang jauh dari tuntunan sunnah, yaitu beliau bersemedi selama empat puluh hari di tepi sebuah sungai kemudian di akhir persemedian beliau mendapatkan karomah. Kejanggalan pertama dari kisah ini adalah bagaimana beliau melakukan shalat, kalau beliau shalat berarti telah meninggalkan shalat berjamaah dan shalat Jum'at? adakah petunjuk dari Rasulullah untuk mencari karomah dengan persemedian seperti ini? Dengan meninggalkan shalat atau meninggalkan shalat berjamaah dan shalat Jum'at.

Banyak orang berasumsi bila seseorang memiliki atau dapat melakukan hal-hal yang luar biasa dianggap sebagai wali. Padahal belum tentu, boleh jadi itu adalah tipuan atau sihir, atas bantuan setan dan jin setelah ia melakukan apa yang diminta oleh jin dan setan tersebut. Seperti ada orang yang bisa terbang atau berjalan di atas air atau tahan pedang atau bisa memberi tahu tentang sesuatu yang hilang, oleh sebab itu yang perlu dicermati dari setiap orang memiliki hal-hal yang serupa adalah bagaimana amalannya apakah amalannya sehari-hari menurut sunnah atau tidak? sebagaimana dikatakan Imam Syafi'i: "Bila kamu melihat seseorang berjalan di atas air atau terbang di udara maka ukurlah amalannya dengan sunnah".

Karena setan bisa membawa seseorang untuk terbang, atau memberi tahu para walinya sesuatu yang tidak dilihat oleh orang lain. Sebagaimana Dajjal yang akan datang di akhir zaman memiliki kekuatan yang luar biasa. Begitu pula para kaum musyrikin dapat mendengar suara dari berhala yang mereka sembah, pada hal itu adalah suara setan. Dan banyak sekali kejadian yang luar biasa dimiliki oleh orang-orang yang sesat begitu pula orang yang murtad dsb. Yang kesemuanya adalah atas tipuan setan.

Sebagaimana yang diriwayatkan dalam kisah seorang Nabi palsu Mukhtar bin Abi 'Ubaid, yang mengaku sebagai Nabi. Ia mengaku bahwa dia menerima wahyu, lalu seseorang berkata kepada Ibnu 'Umar dan Ibnu 'Abbas: sesungguhnya Mukhtar mengaku diturunkan kepadanya wahyu? Dua orang sahabat tersebut menjawab: benar, kemudian salah seorang dari Mereka membaca firman Allah: "Maukah kamu Aku beritakan kepada siapa turunnya para setan? Mereka turun kepada setiap pendusta yang banyak dosa ". (Asy Syu'araa, ayat: 221-222). Dan yang lain membaca firman Allah, "Dan sesungguhnya para setan itu mewahyukan kepada wali-wali Mereka untuk membantahmu". (QS. Al An'aam, ayat: 121).

Oleh sebab itu bila seseorang mendapat ilham dia tidak boleh langsung percaya sampai ia mengukur kebenarannya dengan Al-Qur'an dan Sunnah. Karena nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutkan dalam sebuah hadits: "Sesungguhnya dalam diri anak Adam terdapat bisikan dari setan dan bisikan dari malaikat". (HR. A t Tirmizy no. 2988)

Berkata Abu Sulaiman Ad Daraany: "Boleh jadi terbetik di hatiku apa yang terbetik di hati Mereka (orang-orang sufi) maka aku tidak menerimanya kecuali dengan dua saksi dari kitab dan sunnah."

Beberapa kesalahpahaman tentang kewalian yang terjadi di tengah-tengah masyarakat yaitu:

1. Berasumsi bahwa seorang wali itu Maksum (terbebas) dari segala kesalahan, sehingga mereka menerima segala apa yang dikatakan wali.

Banyak orang memahami bahwa seseorang tidak akan pernah sampai kepada puncak kewalian kecuali ia (maksum) terbebas dari segala kesalahan, hal ini sangat menjauhi kebenaran yang terdapat dalam Islam. Sesungguhnya para ulama telah sepakat tiada yang maksum dari umat manusia kecuali para nabi dan rasul dalam hal menyampai wahyu yang mereka terima. Nabi kita shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "setiap anak adam adalah pasti bersalah, dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah yang mau bertaubat". (HR. At Tirmizy no. 2499).

Pemahaman seperti ini telah menyeret banyak orang ke dalam kesesatan, dan lebih sesat lagi ada yang berpendapat bahwa wali lebih tinggi derajatnya dari Nabi sebagaimana pandangan orang-orang rafidhah (syi'ah) dan sebagian dari orang-orang sufi. Oleh sebab itu kebanyakan Mereka mengkultuskan sang kiai atau sang guru dan membenarkan kesesatan yang dilakukan oleh sang kiai atau sang guru sekalipun perbuatan tersebut nyata-nyata melanggar Al-Qur'an dan Sunnah.

Bahkan dikisahkan bila seorang murid melihat sang guru minum khamar, maka sebenarnya ia minum susu, tapi yang salah adalah penglihatan sang murid karena matanya berlumuran dosa, begitulah orang-orang sufi melakukan doktrin dalam menyebarkan kesesatan mereka.

2. Berasumsi bahwa seorang wali itu mesti memiliki karomah (kekuatan luar bisa).

Bentuk kedua dari kesalahpahaman dalam masalah perwalian adalah berasumsi bahwa Mereka mesti memiliki karomah yang nyata bahkan bisa dipertontonkan kepada khalayak ramai. Seperti tahan pedang dan sebagainya. Tapi sebetulnya itu semua adalah tipuan setan. Seorang wali boleh jadi ia diberi karomah yang nyata boleh jadi tidak, tapi karomah yang paling besar di sisi wali adalah istiqomah dalam menjalankan ajaran agama, bukan berarti kita mengingkari adanya karomah tapi yang kita ingkari adalah asumsi banyak orang bila ia tidak memiliki karomah berarti ia bukan wali. Oleh sebab itu Abu 'Ali Al Jurjaany berpesan: "Jadilah engkau penuntut istiqomah bukan penuntut karomah, sesungguhnya dirimu lebih condong untuk mencari karomah, danTuhanmu menuntut darimu istiqomah".

Betapa banyaknya para sahabat yang merupakan orang terdepan dalam barisan para wali tidak memiliki karomah. Begitu pula Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai hamba yang paling mulia di sisi Allah waktu berhijrah beliau mengendarai unta bukan mengendarai angin, begitu pula dalam perperangan beliau memakai baju besi bahkan pernah cedera pada waktu perang uhud. Karomah bukan sebagai syarat mutlak bagi seorang wali. Karomah diberikan Allah kepada seseorang boleh jadi sebagai cobaan dan ujian baginya, atau untuk menambah keyakinannya kepada ajaran Allah, atau pertolongan dari Allah terhadap orang tersebut dalam kesulitan. Para ulama menyebutkan seseorang yang tidak butuh kepada karomah lebih baik dari orang yang butuh kepada karomah. Bahkan kebanyakan para ulama salaf bila Mereka mendapat karomah justru Mereka bersedih dan tidak merasa bangga karena mereka takut bila hal tersebut adalah istidraaj (tipuan). Begitu pula mereka takut bila di akhirat kelak tidak lagi menerima balasan amalan mereka setelah mereka menerima waktu di dunia dalam bentuk karomah. Begitu pula bila mereka di beri karomah, mereka justru menyembunyikannya bukan memamerkannya atau berbangga diri di hadapan orang lain.

3. Berasumsi bahwa seorang wali dapat mengetahui hal-hal yang gaib.

Bentuk kesalahpahaman ketiga dalam masalah perwalian adalah berasumsi bahwa Mereka dapat mengetahui hal-hal yang gaib. Asumsi ini sangat bertolak belakang dengan firman Allah, "Di sisi-Nya (Allah) segala kunci-kunci yang gaib, tiada yang dapat mengetahuinya kecuali Dia (Allah)". (QS. Al An'aam, ayat : 59). Dan firman Allah, "Katakanlah" :tiada seorang pun di langit maupun di bumi yang dapat mengetahui hal yang gaib kecuali Allah". (QS. An Naml, ayat: 65).

Termasuk para nabi dan rasul sekalipun tidak dapat mengetahui hal yang gaib kecuali sebatas apa yang diwahyukan Allah kepada Mereka. Sebagaimana firman Allah kepada Nabi kita shallallahu 'alaihi wa sallam, "Katakanlah: Aku tidak mengatakan kepada kalian bahwa di sisiku gudang-gudang rezeki Allah, dan aku pun tidak mengetahui hal yang gaib". (QS. Al An'aam, ayat: 50).

Dan firman Allah: "Katakanlah: aku tidak memiliki untuk diriku manfaat dan tidak pula (menolak) mudarat, dan jika seandainya aku mengetahui hal yang gaib tentulah aku akan (memperoleh) kebaikan yang amat banyak dan tidak akan pernah ditimpa kejelekan". (QS. Al A'raaf, ayat: 188).

Asumsi sesat ini telah menjerumuskan banyak manusia kejalan kesyirikan, sehingga Mereka lebih merasa takut kepada wali dari pada takut kepada Allah, atau meminta dan berdoa kepada wali yang sudah mati yang Mereka sebut dengan tawassul. Yang pada hakikatnya adalah kesyirikan semata. Karena meminta kepada makhluk adalah syirik. Tidak ada bedanya dengan kesyirikan yang dilakukan oleh kaum Nuh 'alaihis salam. Dan orang-orang kafir Quraisy pada zaman jahiliyah. Dengan argumentasi yang sama bahwa Mereka para wali itu orang suci yang akan menyampaikan doa Mereka pada Allah. Hal inilah yang dilakukan kaum musyrikin sebagaimana yang disebutkan Allah dalam firman-Nya: "Ingatlah; milik Allah-lah agama yang suci (dari syirik), dan orang-orang mengambil wali (pelindung) selain Allah berkata: kami tidak menyembah Mereka melainkan supaya Mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya". (QS. Az Zumar, ayat: 3).

Kedua: Bagaimana mendekatkan diri kepada Allah

Hal tersebut diambil dari potongan kedua dari hadits: "Dan tidaklah seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu ibadah yang lebih Aku cintai dari apa yang telah Aku wajibkan kepadanya, dan senantiasa seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya."

Manhaj yang Benar dalam Beribadah

Dalam hadits mulia ini terdapat pula manhaj (tata cara) beribadah yaitu mendahulukan yang wajib di atas yang mandub (sunnah), namun yang sering pula kita saksikan di tengah sebagian masyarakat mereka sangat antusias melakukan sunnah tapi lalai dalam hal yang wajib, contoh seseorang yang rajin qiyamullail (shalat malam) tapi sering terlambat shalat subuh berjamaah. Begitu pula masa musim haji sebagian orang ada yang mati-matian supaya bisa shalat di raudhah atau untuk bisa mencium hajar aswad, tetapi dengan melakukan hal yang haram seperti saling dorong sesama muslim. Ditambah lagi hal-hal yang wajib dalam haji itu sendiri Mereka lalaikan seperti tidak mabit di mina atau melempar jumroh di pagi hari pada hari tasyrik dan lain sebagainya. Sebagaimana kata pepatah: "Karena mengharap burung punai di udara, ayam di pautan dilepaskan".

Yang lebih memprihatinkan lagi kalau bersungguh-sungguh dalam amalan yang tidak ada dasarnya (amalan bid'ah), seperti maulid atau memperingati tahun baru hijriah, atau nuzulul Qur'an atau Isra' mi'raj, sering kita saksikan orang bersemangat melakukan acara-acara bid'ah tersebut yang setiap hari selalu lalai mengerjakan shalat. Begitu pula dalam berdakwah ada yang berpacu bagaimana mendirikan negara Islam tapi meremehkan orang yang mengajak kepada tauhid yang merupakan fondasi Islam itu sendiri. Begitu pula ada kelompok yang mengajak kepada akhlak semata tanpa membicarakan masalah tauhid, dengan alasan mengkaji tauhid akan memecah belah umat. Betapa kejinya ungkapan tersebut, mengatakan bahwa tauhid sebagai biang keladi perpecahan. Tidakkah Mereka tahu bahwa tauhid adalah tujuan utama dakwah para rasul. Data dan fakta telah membuktikan selama dakwah tidak dilakukan sesuai dengan manhaj yang dibawa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam selama itu pula umat ini akan tetap menjadi permainan musuh-musuhnya. Oleh sebab itu Imam Malik berpesan: "Tidak akan baik generasi akhir umat ini kecuali dengan apa yang telah membuat jaya generasi sebelum Mereka."

Beberapa Kesalahan dalam Melakukan Ibadah

Di antara kesalahan dalam beribadah adalah beribadah tanpa ilmu maka berakibat terjerumus kedalam bid'ah. Umar bin Abdul Aziz berkata: "Orang beramal tanpa ilmu kerusakan yang ditimbulkannya jauh lebih besar dari kemaslahatannya". Oleh sebab itu setiap amalan yang akan kita lakukan, kita wajib memiliki ilmu tentangnya. Seperti berdzikir yang ngetren saat ini, maka kita perlu memiliki ilmu bagaimana berdzikir menurut tuntunan sunnah dan bagaimana pengaplikasiannya oleh sahabat, jangan ikut sana, ikut sini, yang pada akhirnya bermuara pada kesesatan. Carilah ilmu kepada ahlinya, sebagaimana yang Allah pesankan kepada kita: "Maka bertanyalah kepada ulama jika kamu tidak tahu." (QS. An Nahl, ayat: 43)

Kalau para ikhwan ingin menjadi ahli teknik tentu belajar di fakultas teknik yang para dosennya pakar dalam bidang teknik, begitu pula dalam bidang ahli lainnya, tapi saat sekarang banyak orang berani berbicara dalam agama, padahal baca Al-Fatihah saja belum tentu benar. Banyak pakar gadungan sekarang dalam mengajarkan agama karena bisnisnya cukup menggembirakan, dan lebih sangat aneh kalau seseorang belajar Islam kepada orang kafir. Kalau sakit gigi saja kita pasti pilih dokter ahli gigi, tapi dalam hal agama kita justru belajar kepada siapa saja yang tidak tahu dari mana rimbanya. Allah telah berfirman: "Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati semuanya itu akan diminta pertanggung jawabannya". (QS. Al Israa: 36).

Sebaliknya adalah tidak mengamalkan ilmu yang dimiliki. Maka pelakunya akan disiksa sebagaimana yang diceritakan dalam sebuah hadits bahwa orang tersebut akan mengelilingi sebuah pautan dalam neraka dengan tali perutnya, lalu orang-orang yang melihat keheranan sebab di dunia dia adalah orang yang mengajarkan ilmu kepada mereka, lalu mereka bertanya kenapa kamu ya fulan? Bukankah kamu yang mengajak kami kepada kebaikan? Ia menjawab: aku menyuruh kepada kebaikan tapi aku tidak melakukannya, aku mencegah dari kemungkaran tapi aku melakukannya". Na'uzubillah min hadza haal. Allah telah berfirman: "Apakah kamu menyuruh manusia dengan kebaikan dan kamu melupakan dirimu sendiri, sedang kamu membaca Al kitab taurat), apakah kamu tidak memikirkannya". (QS. Al Baqarah: 44).

Oleh sebab itu kita berlindung dari kedua sikap jelek ini, tidak kurang dari 17 X dalam sehari semalam yaitu; beramal tanpa ilmu atau berilmu tapi tidak beramal.

"Ya Allah tunjukilah kami Jalan yang lurus. Yaitu jalan orang-orang yang telah engkau beri nikmat kepada mereka. Bukan jalan orang-orang yang engkau marahi dan bukan pula jalan orang-orang yang sesat." (QS. Al Fatihah: 6-7)

Ayat ini ditafsirkan oleh nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa orang-orang yang dimarahi adalah orang-orang Yahudi, karena Mereka mengetahui kebenaran tapi tidak mau mengikuti kebenaran tersebut. Sedangkan jalan orang-orang yang sesat adalah orang-orang Nasrani, karena Mereka beramal tapi tidak dengan ilmu.

Keutamaan melakukan amalan-amalan sunnah.
Kemudian di antara hal yang amat cepat mengantarkan seseorang kepada memperoleh kecintaan dari Allah adalah aktif melakukan amalan-amalan sunnah sebagaimana yang terdapat dalam hadits yang sedang kita bahas ini. "Bila seseorang telah dicintai Allah maka seluruh makhluk akan mencintainya. Disebutkan dalam hadits lain bila Allah telah mencintai seseorang, Allah memanggil Jibril dan memberitahunya bahwa ia telah mencintai si Fulan, maka Allah menyuruh Jibril untuk mencintainya, selanjutnya Jibril pun memberi tahu para malaikat bahwa Allah mencintai si Fulan, maka seluruh malaikat mencintainya, kemudian Allah menjadikannya orang yang diterima di bumi." (HR. Bukhari no. 3037, dan Muslim no. 2637)

Kemudian di antara keutamaan amalan sunnah adalah untuk menyempurnakan amalan wajib yang punya nilai kurang dalam pelaksanaannya. Kemudian melakukan amalan sunnah perlu pula mengurut seperti dalam amalan wajib artinya kita mulai yang lebih utama dari amalan-amalan sunnah. Kalau dalam shalat umpamanya setelah sunnah rawatib shalat witir dan tahajud. Kemudian perlu pula diperhatikan kondisi dan situasi amalan tersebut, seperti saat mendengar adzan yang afdhol adalah menjawab azan, bukan membaca Al-Qur'an sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian orang. Begitu pula bagi seorang yang memiliki harta yang utama baginya adalah berinfak dan membantu fakir miskin. Bagi seorang penguasa adalah belaku adil dan amanah dalam menjalankan tugasnya. Begitu pula halnya dalam berdakwah masing-masing melaksanakan profesi yang digelutinya sesuai dengan aturan Islam serta menyebarkan Islam melalui profesinya tersebut. Maka di sini kita perlu menuntut ilmu supaya kita mengetahui tingkatan amalan yang akan kita lakukan.

Ketiga: Tentang sifat Allah Al Kalam (berbicara) dan Al Mahabbah (cinta)

Hal tersebut diambil dari potongan hadits: "Senantiasa seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya."

Kaidah Umum dalam Beriman kepada Nama dan Sifat-Sifat Allah

Dalam mengimani sifat dan nama-nama Allah yang terdapat dalam Al-Qur'an dan Sunnah perlu diperhatikan beberapa kaidah penting, yang disimpulkan dari nash-nash Al-Qur'an dan Hadits:

1. Wajibnya beriman dengan seluruh sifat dan nama-nama Allah yang terdapat dalam Al-Qur'an dan Sunnah yang shahih.
2. Tidak menyerupakan sifat-sifat Allah tersebut dengan sifat-sifat makhluk.
3. Menutup keinginan untuk mengetahui hakikat sifat-sifat tersebut.

Penjelasan Kaidah-Kaidah tersebut sebagai berikut:

Bila kita tidak beriman dengan sifat-sifat tersebut berarti kita mendustakan Al-Qur'an dan berita yang dibawa oleh Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, setiap orang yang mendustakan Al-Qur'an atau berita yang dibawa oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam maka ia adalah kafir. Sebagaimana firman Allah: "Sesungguhnya orang-orang yang kafir dengan Allah dan rasul-rasul-Nya, dan bermaksud memperbedakan antara Allah dan rasul-rasul-Nya, dan mereka berkata: kami beriman dengan sebagian dan kami kafir dengan sebagian (yang lain) dan mereka bermaksud mengambil jalan tengah di antara yang demikian." (QS. An Nisaa: 150)

Dan firman Allah lagi: "Apakah kamu beriman dengan sebahagian kitab dan kafir dengan bagian (yang lain), maka tiada balasan orang yang berbuat demikian kecuali kenistaan dalam kehidupan dunia dan pada hari kiamat mereka akan dikembalikan kepada siksaan yang amat berat, dan Allah tidak pernah lengah dari apa yang mereka lakukan." (QS. Al Baqarah: 85)

Kaidah pertama ini juga menunjukkan kepada kita bahwa medan pembicaraan tentang sifat-sifat Allah adalah sebatas adanya nash dari Al-Qur'an atau dari sunnah yang shahih. Kaidah ini menunjukkan pula batilnya sikap orang yang mentakwil ayat atau hadits-hadits yang menerangkan tentang sifat-sifat Allah.

Bila seseorang mentakwil sifat-sifat tersebut berarti ia lebih tahu dari Allah dan rasul dalam menyampaikan suatu berita, sehingga ia merubah maksud dari perkataan Allah dan rasul-Nya. Ini adalah kebiasaan kaum Yahudi yang suka merubah dan memutarbalik perkataan Allah dan rasul-Nya. Yang kemudian diwarisi oleh kaum rasionalisme (Ahlulkalam).

Begitu pula orang yang menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sifat-sifat makhluk, berarti ia menyerupakan Allah yang Maha Sempurna dengan makhluk yang serba kurang. Orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk adalah kafir. Karena tiada satu pun makhluk yang menyerupai Allah. Sebagaimana firman Allah: "Tiada sesuatu apapun yang menyerupai-Nya." (QS. Asy Syura: 11)

Dan firman Allah: "Maka janganlah kamu menjadikan tandingan-tandingan bagi Allah." (QS. An Nahl: 74)

Begitu pula orang yang mempertanyakan bagaimana hakikat sifat Allah tersebut. Karena Allah itu gaib bagaimana akan bisa mengetahui hakikat sifat-Nya. Tiada yang mengetahui tentang hakikat sifat Allah kecuali Allah itu sendiri. Sebagai contoh sederhana bahwa akal manusia tidak bisa mengetahui hakikat sesuatu yang amat dekat dengannya yaitu nyawa (ruh) manusia itu sendiri, tidak ada seorang pun yang mengetahui hakikat sifatnya, tapi semua orang meyakini bahwa ruh itu ada tetapi mereka tidak mampu mengetahui hakikatnya.

Jadi dalam sifat Allah kita dituntut untuk beriman atas keberadaan sifat tersebut, bukan dituntut untuk mengetahui hakikat sifat tersebut. Karena setiap sifat hakikatnya sesuai dengan zatnya masing-masing sekalipun namanya sama seperti kaki meja tidak sama dengan kaki gajah, kaki gajah tidak sama dengan kaki manusia, sekalipun namanya sama-sama kaki. Begitu pula sayap burung tidak serupa dengan sayap pesawat, begitu pula sayap burung dan sayap pesawat tidak sama dengan sayap nyamuk. Begitulah seterusnya bahwa hakikat setiap sifat sesuai dengan zatnya masing-masing. Sifat sesama makhluk saja tidak sama sekalipun namanya sama. Apalagi sifat Allah yang Maha Sempurna, tentu pasti tidak akan sama dengan sifat yang penuh kekurangan dan kelemahan. Allah mendengar tapi pendengarannya tidak seperti pendengaran makhluk, pendengarannya sesuai dengan zat-Nya Maha Sempurna. Maka pendengaran Allah Maha Sempurna dari segala pendengaran. Allah dapat mendengar bisikan hati seseorang, tapi seorang makhluk tidak bisa mendengar suara dibalik dinding. Begitulah kesempurnaan sifat Allah. Allah berbicara tapi tidak seperti makhluk berbicara.

Ada orang yang memahami kalau begitu, Allah punya lidah, punya tenggorokan, kemudian karena ini adalah sifat makhluk, ia mentakwil sifat tersebut. Pertama ia menyerupakan Allah dengan makhluk, untuk selamat dari itu ia lari kepada takwil. Yang kedua-duanya adalah jalan sesat. Kalau ia mengerti dari semula bahwa Allah tidak menyerupai makhluk dalam segala sifat-Nya, tentu ia tidak perlu lagi melakukan takwil. Banyak makhluk yang berbicara tanpa mesti memiliki lidah dan tenggorokan, seperti batu yang memberi salam kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam sewaktu beliau di Makkah. Begitu pula nanti di akhirat tangan dan kaki manusia akan berbicara menjadi saksi atas perbuatan mereka tanpa ada mulut dan lidah. Oleh sebab itu yang amat perlu dipahami adalah hakikat setiap sifat sesuai menurut zatnya masing-masing sekalipun namanya satu.

Keempat: Pengaruh ketaatan terhadap prilaku seorang muslim

Hal tersebut diambil dari potongan hadits: "Dan senantiasa seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya. Jika Aku mencintainya jadilah aku sebagai pendengarnya yang ia gunakan untuk mendengar, dan sebagai penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, dan sebagai tangannya yang ia gunakan untuk berbuat, dan sebagai kakinya yang ia gunakan untuk berjalan."

Kata-kata "senantiasa" menunjukkan bahwa amalan tersebut berkesinambungan yang lebih dikenal dalam istilah syar'i "Istiqomah" dalam melakukan amalan-amalan tersebut. Oleh sebab itu dalam hadits lain disebutkan: "Sebaik-baik amal adalah yang selalu dilakukan sekalipun sedikit." Tapi sebagian orang sering melakukan amalan pada suatu saat saja, kemudian lalu ditinggalkan.

Maksud hadits ini adalah bila seseorang istiqomah dalam melakukan amalan-amalan sunnah, ia mendapat peringkat mahabbah dari Allah, orang yang memperoleh peringkat ini Allah menuntun orang tersebut untuk menjauhi kemaksiatan, bukan berarti ia maksum dari kesalahan. Dan memberikan taufik dan 'inayah kepadanya untuk melakukan kebaikan dan ketaatan. Sehingga mata seseorang tersebut terjaga dari melakukan maksiat, dari melihat kepada sesuatu yang diharamkan Allah, seperti melihat foto-foto porno dan film-film porno dan sebagainya, tetapi dipergunakannya kepada hal yang bermanfaat baik untuk kehidupan dunia maupun kehidupan akhirat, seperti membaca Al-Qur'an atau membaca buku-buku agama dan buku ilmu lainnya sepeti ilmu kesehatan, teknik, pertanian dan seterusnya. Kemudian Allah juga menjaga telinganya dari mendengar kata-kata yang kotor atau cumbu rayu dan nyanyi-nyanyian. Tetapi dipergunakannya untuk kemaslahatan duniawi atau kemaslahatan ukhrawi, seperti mendengarkan nasihat agama atau pelajaran di kampus dan di sekolah. Begitu pula tangannya akan dijaga Allah dari melakukan sesuatu yang haram baik dari melakukan pencurian, pembunuhan, penganiayaan, KKN dan sebagainya. Tetapi tangannya akan dituntun Allah untuk melakukan hal-hal yang positif baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain. Maka dapat kita simpulkan di sini bahwa amal saleh dapat menuntun seseorang kepada segala hal yang baik sebaliknya menjaga seorang muslim dari keterjerumusan kepada kemaksiatan.

Sebaliknya orang yang lengket hatinya kepada maksiat Allah membiarkannya tenggelam dalam kemaksiatan tersebut. Sebagaimana firman Allah: "Maka tatkala Mereka berpaling (dari kebenaran), Allah palingkan betul hati Mereka." (QS. Ash shaaf: 5)

Hal ini juga diterangkan Rasulullah dan sabda beliau: "Sesungguhnya kejujuran menunjukkan kepada kebaikan, dan sesungguhnya kebaikan itu menunjukkan kepada surga. Sesungguhnya seseorang senantiasa berlaku jujur hingga dicatat di sisi Allah sebagai orang yang paling jujur. Dan sesungguhnya kebohongan menunjukkan kepada kemaksiatan, dan sesungguhnya kemaksiatan itu menunjukkan kepada neraka, sesungguhnya seseorang senantiasa berbohong sampai dicatat di sisi Allah sebagai seorang yang paling bohong." (HR. Bukhari no. 5743, dan Muslim no. 2607)

Dalam hadits lain: "Sesungguhnya balasan (suatu amalan) sesuai dengan amalan itu sendiri". Maka jika amalannya baik, maka balasannya pun baik dan sebaliknya bila amalan tersebut jelek maka balasannya pun jelek. Oleh sebab itu sebagian ulama mengatakan sebaik-baik balasan sebuah amal saleh adalah amal saleh yang mengiringinya, suatu hal yang menunjukkan bahwa sebuah amalan diterima di sisi Allah adalah ketaatan yang diiringi oleh ketaatan.

Kekeliruan Orang Sufi dalam Memahami Makna Hadits Ini

Sebagian orang justru memahami makna hadits dengan keliru, seperti kelompok ekstrim dari orang-orang sufi. Mereka memahaminya bahwa Allah menjelma dalam pandangan, pendengaran dan tangan serta kaki Mereka. Kebatilan paham ini sangat jelas sekali bagi orang yang berakal dan orang yang membaca Al-Qur'an dan Sunnah. Sebab tidak mungkin pendengaran seseorang, pelihatan dan tangan serta kakinya akan memiliki sifat-sifat ketuhanan. Kalau begitu bila kakinya terjepit atau tangannya terjepit, maka yang terjepit adalah tuhan?!. Begitu pula kalau pendengaran dan penglihatannya kabur berarti yang kabur adalah tuhan?!. Pandangan seperti ini membawa kepada kekufuran. Bila ada seseorang perpandangan seperti ini maka tidak perlu diragukan lagi atas kekafirannya. Karena kekhususan sifat-sifat ketuhanan tidak boleh diberikan kepada makhluk, begitu pula sebaliknya kekhususan sifat-sifat makhluk tidak boleh diberikan kepada Allah. Kalau benar apa yang mereka prediksi, tentu tidak ada di sana lagi istilah hamba dan khaliq. Berarti makhluk adalah tuhan, tuhan adalah makhluk! ini adalah kekafiran yang amat nyata.

Tentu akan dipahami dari kelanjutan hadits tersebut yang berdoa adalah hamba, dan yang mengabulkan permintaannya adalah ia sendiri. Sungguh amat nyata kekeliruan paham seperti ini karena Mereka mengingkari akan keberadaan makhluk, atau menyatukan antara keberadaan makhluk dengan keberadaan Khaliq. Hal ini dibantah oleh kandungan hadits itu sendiri karena dalam hadits tersebut disebut ada dua faktor yang saling berhubungan:

Seperti yang terdapat di penghujung hadits bahwa Allah berkata: "Dan jika ia meminta (sesuatu) kepada-Ku pasti Aku akan memberinya, dan jika ia memohon perlindungan dari-Ku pasti Aku akan melindunginya."

Jadi jelas ada di sana dua pelaku yaitu hamba yang meminta dan Allah yang memperkenankan permintaannya. Begitu pula ada hamba yang memohon perlindungan dan Allah yang memberi perlindungan kepadanya. Oleh sebab itu telah berkata sebagian ulama: Bila seseorang berdalil untuk kebatilannya dengan Al-Qur'an atau hadits shahih, maka sesungguhnya dalam dalil itu sendiri sudah ada jawaban untuk menunjukkan kebatilannya.

Manhaj Uama dalam Memahami Nash-Nash yang Mutsyabih (meragukan)

Perlu pula kita ingatkan di sini, bila salah seorang di antara kita menemukan suatu dalil atau perkataan yang meragukan, maka yang perlu kita lakukan adalah mengembalikan pemahaman dalil atau perkataan tersebut kepada dalil yang jelas pengertiannya. Yang lebih dikenal dengan istilah "Raddul Al Mutasyaabih ilaa Al Bayyinaat, wa Al Mujmal ilaa Al Mufashshal" (mengembalikan persoalan yang meragukan kepada hal yang jelas, dan yang global kepada yang rinci).

Kelima: Balasan yang diberikan Allah untuk orang yang selalu taat pada Allah

Hal tersebut diambil dari potongan: "Dan jika ia meminta (sesuatu) kepada-Ku pasti Aku akan memberinya, dan jika ia memohon perlindungan dari-Ku pasti Aku akan melindunginya."

Dari potongan yang terakhir dari hadits ini bahwa para wali itu hanya berdoa dan memohon perlindungan hanya kepada Allah. Bukan kepada para wali, begitu pula wali yang mendapat kedudukan yang terhormat di sisi Allah bukanlah tempat untuk meminta kebaikan atau untuk sebagai tempat memohon perlindungan dari mara bahaya. Sebagaimana yang banyak dilakukan oleh orang-orang awam yang tertipu oleh kewalian seseorang, sehingga telah menyeret mereka berbuat syirik kepada Allah. Sekalipun wali namun ia tetap tidak bisa mendatangkan kebaikan maupun menolak keburukan dari dirinya sendiri kecuali atas pemberian Allah kepadanya. Juga wali bukan sebagai tempat perantara kepada Allah dalam berdoa, karena bila menjadikan mereka sebagai tempat perantara berarti telah menyekutukan mereka dengan Allah. Sebagaimana kebiasaan umat nabi Nuh 'alaihis salam yang telah menjadikan orang-orang saleh mereka sebagai tempat perantara dalam berdoa kepada Allah.

Akhir hadits ini juga menerangkan keutamaan wali Allah, bahwa Allah selalu mencurahkan rahmat dan kebaikan kepada orang tersebut serta selalu menjaganya dari berbagai bahaya dan bencana. Lalu mungkin akan timbul suatu pertanyaan dalam benak kita kenapa kita melihat kadang kala para wali Allah itu juga ditimpa kejelekan dan penyakit seperti Nabi Ayyub yang ditimpa penyakit, begitu pula Nabi kita Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam pernah kalah dan cedera dalam perperangan Uhud? Dan banyak lagi contoh-contoh serupa baik di tingkat para nabi dan rasul maupun di tingkat para sahabat dan Tabi'in?. Jawabannya adalah sebagaimana berikut:

  1. Di antara hikmahnya adalah untuk menunjukkan bahwa mereka adalah manusia biasa tidak memiliki sedikit pun sifat-sifat ketuhanan. Sehingga tidak terjadi pengkultusan terhadap mereka.
  2. Di antara hikmahnya juga adalah untuk mengangkat derajat mereka di sisi Allah, sebagai balasan atas kesabaran mereka dalam menghadapi berbagai cobaan tersebut. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sabdanya: "Bahwa seseorang itu akan diberi cobaan sesuai dengan tingkat keimanannya." (HR. At Tirmizy no. 2398)
    Semakin tinggi tingkat keimanan seseorang tersebut semakin besar pula cobaan yang akan dihadapinya.
  3. Di antara hikmahnya lagi adalah untuk menunjukkan bahwa segala yang terjadi di muka bumi ini adalah atas kehendak Allah, dan tidak ada sedikit pun campur tangan seorang pun dari makhluk, sekalipun ia nabi atau wali.

Kekeliruan Sebagian Orang dalam Masalah Berdo'a

Ada beberapa kesalahan dalam masalah berdoa yang terjadi di kalangan sebagian sekte sufi yang mana mereka menolak untuk melakukan berdoa dengan alasan bahwa segalanya telah ditakdirkan Allah, untuk apa kita berdoa kalau kita sudah ditakdirkan jadi penghuni surga ya... sudah pasrah saja sama takdir. Kekeliruan paham seperti ini banyak sekali di antaranya:

Pertama: Berdoa merupakan perintah dari Allah, kalau manusia cukup pasrah kepada takdir tentu Allah tidak akan menyuruh kita kepada sesuatu hal yang sia-sia.

Kedua: Bukankah orang yang paling mengerti dengan masalah takdir adalah para nabi dan rasul termasuk rasul yang paling agung Nabi kita Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, kenapa mereka masih berdoa, kalau doa adalah perbuatan sia-sia tentu Mereka tidak akan melakukannya apa lagi menganjurkannya.

Ketiga: Berdoa di samping ia merupakan sebuah permintaan, doa juga merupakan ibadah yang agung, sebagaimana yang disebutkan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sabda beliau: "Doa adalah ibadah." Dalam riwayat lain: "Doa adalah otaknya ibadah." (HR. At Tirmizy no. 2969, 3247, 3371)

Keempat: Doa adalah termasuk dari jumlah takdir. Karena takdir Allah ada dua: Takdir kauniyah dan takdir syar'iyah . Perbedaan antara keduanya adalah:

Takdir kauniyah adalah ketentuan Allah yang mesti terjadi pada setiap makhluk tetapi tidak mesti hal yang ditetapkan tersebut sesuatu yang dicintai Allah. Adapun takdir syar'iyah adalah sebaliknya, ia adalah segala perintah Allah yang diturunkan kepada rasul-Nya, tidak mesti terjadi, dan ia merupakan sesuatu yang dicintai Allah. Oleh sebab itu yang harus kita lakukan adalah melawan takdir kauniyah dengan takdir syar'iah sebagaimana yang terangakan oleh para ulama. Sebagaimana ungkapan Amirul mukminin Umar bin Khaththab: "Kita lari dari takdir Allah kepada Takdir Allah". Kemudian beliau memberi contoh bila seandainya kamu menggembala kambing lalu menemukan padang rumput yang kering, apakah kamu tidak akan mencari padang rumput yang subur?.

Kelima: Doa adalah sebagai sebab yang diperintahkan Allah untuk dilakukan, sebagaimana makan sebagai sebab untuk kenyang, Barang siapa yang meninggalkan sebab berarti ia telah membuang fungsi akal, begitu pula orang bergantung kepada sebab semata adalah syirik.

Kemudian di antara kesalahan lain dalam berdoa adalah ekstrim dalam berdoa, yaitu melampaui batas dalam berdoa, seperti berdoa agar Allah menjadikan gunung kelud jadi gunung emas, atau berdoa agar Allah memberinya keturunan tanpa menikah dan yang seumpamanya. Maka di antara sikap wali Allah adalah tidak meninggalkan berdoa dan tidak pula ekstrim dalam berdoa.

Ringkasan kandungan hadits wali:

Hadits di atas mengandung beberapa pembahasan penting di antaranya:

  1. Tentang al wala' wal bara' (loyalitas dan berlepas diri).
  2. Bagaimana mendekatkan diri kepada Allah.
  3. Tentang sifat Allah; Al Kalam (berbicara) dan Al Mahabbah (cinta).
  4. Pengaruh ketaatan terhadap prilaku seorang muslim
  5. Balasan yang diberikan Allah untuk orang yang selalu taat pada Allah.
  6. Hadits di atas juga memberikan support secara tidak langsung kepada kita untuk menjadi wali Allah atau menjadi penolong wali Allah yang hak.
  7. Kemudian hadits ini juga menunjukkan suatu kelaziman yang berbalik yaitu memusuhi musuh-musuh Allah karena tidak akan mungkin seseorang menjadi wali Allah atau menjadi penolong wali Allah sementara ia juga berloyalitas kepada musuh Allah atau kepada musuh para wali Allah. Ini sudah suatu kelaziman yang secara otomatis pasti. Kalau tidak, berarti ia belum menjadikan Allah sebagai wali karena ia mencintai apa yang di benci Allah. Seperti di masa akhir-akhir ini ada partai Islam yang calegnya dari non muslim.

WAllahu A'lam bisshawaab

Shalawat dan salam buat Nabi kita Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, keluarga dan para sahabatnya serta orang-orang yang tetap berpegang teguh dengan petunjuk mereka sampai hari kiamat.

Semoga tulisan ini bermanfaat bagi penulis dan pembaca serta siapa saja yang berpartisipasi dalam menyebarkannya.






HADITS ARBAIN KE-6

DALIL YANG HALAL DAN YANG HALAM TELAH JELAS

عن أبي عبدالله النعمان بن بشير رضي الله عنهما قال : سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول ” إن الحلال بين و الحرام بين , وبينهما مشتبهات قد لا يعلمهن كثير من الناس , فمن اتقى الشبهات فقد استبرأ لدينه وعرضه , ومن وقع في الشبهات فقد وقع في الحرام , كالراعي يرعى حول الحمى يوشك أن يرتع فيه , ألا وأن لكل ملك حمى , ألا وإن حمى الله محارمه , إلا وإن في الجسد مضغة إذا صلحت صلح الجسد كله , وإذا فسدت فسد الجسد كله , ألا وهي القلب

Dari Abu ‘Abdillah An-Nu’man bin Basyir radhiallahu ‘anhuma berkata,”Aku mendengar Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya yang Halal itu jelas dan yang haram itu jelas, dan diantara keduanya ada perkara yang samar-samar, kebanyakan manusia tidak mengetahuinya, maka barangsiapa menjaga dirinya dari yang samar-samar itu, berarti ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya, dan barangsiapa terjerumus dalam wilayah samar-samar maka ia telah terjerumus kedalam wilayah yang haram, seperti penggembala yang menggembala di sekitar daerah terlarang maka hampir-hampir dia terjerumus kedalamnya. Ingatlah setiap raja memiliki larangan dan ingatlah bahwa larangan Alloh apa-apa yang diharamkan-Nya. Ingatlah bahwa dalam jasad ada sekerat daging jika ia baik maka baiklah seluruh jasadnya dan jika ia rusak maka rusaklah seluruh jasadnya. Ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati”.

[Bukhari no. 52, Muslim no. 1599]

Hadits ini merupakan salah satu pokok syari’at Islam. Abu Dawud As Sijistani berkata, “Islam bersumber pada empat (4) hadits.” Dia sebutkan diantaranya adalah hadits ini. Para ulama telah sepakat atas keagungan dan banyaknya manfaat hadits ini.

Kalimat,

الحلال بين و الحرام بين , وبينهما مشتبهات

“Sesungguhnya yang Halal itu jelas dan yang haram itu jelas, dan diantara keduanya ada perkara yang samar-samar” maksudnya segala sesuatu terbagi kepada tiga macam hukum. Sesuatu yang ditegaskan halalnya oleh Allah, maka dia adalah halal, seperti firman Allah (QS. Al-Maa’idah 5 : 5),

ٱلۡيَوۡمَ أُحِلَّ لَكُمُ ٱلطَّيِّبَـٰتُ‌ۖ وَطَعَامُ ٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡكِتَـٰبَ حِلٌّ۬ لَّكُمۡ وَطَعَامُكُمۡ حِلٌّ۬ لَّهُمۡ‌َۖ

Aku Halalkan bagi kamu hal-hal yang baik dan makanan (sembelihan) ahli kitab halal bagi kamu” dan firman-Nya dalam

(QS. An-Nisaa 4:24),

وَأُحِلَّ لَكُم مَّا وَرَآءَ ذَٲلِڪُمۡ أَن تَبۡتَغُواْ بِأَمۡوَٲلِكُم مُّحۡصِنِينَ غَيۡرَ مُسَـٰفِحِينَ‌ا


“Dan dihalalkan bagi kamu selain dari yang tersebut itu” dan lain-lainnya.


Adapun yang Allah nyatakan dengan tegas haramnya, maka dia menjadi haram, seperti firman Allah dalam (QS. An-Nisaa’ 4:23),

حُرِّمَتۡ عَلَيۡڪُمۡ أُمَّهَـٰتُكُمۡ وَبَنَاتُكُم

“Diharamkan bagi kamu (menikahi) ibu-ibu kamu, anak-anak perempuan kamu …..”

dan firman Allah (QS. Al-Maa’idah 5:96),

وَحُرِّمَ عَلَيۡكُمۡ صَيۡدُ ٱلۡبَرِّ مَا دُمۡتُمۡ حُرُمً۬ا‌ۗ

“Diharamkan bagi kamu memburu hewan didarat selama kamu ihram”. Juga diharamkan perbuatan keji yang terang-terangan maupun yang tersembunyi. Setiap perbuatan yang Allah mengancamnya dengan hukuman tertentuatau siksaan atau ancaman keras, maka perbuatan itu haram.

Adapun yang syubhat (samar) yaitu setiap hal yang dalilnya masih dalam pembicaraan atau pertentangan, maka menjauhi perbuatan semacam itu termasuk wara’. Para Ulama berbeda pendapat mengenai pengertian syubhat yang diisyaratkan oleh Rasulullah . Pada hadits tersebut, sebagian Ulama berpendapat bahwa hal semacam itu haram hukumnya berdasarkan sabda Rasulullah,

ومن وقع في الشبهات فقد وقع في الحرام

“barangsiapa menjaga dirinya dari yang samar-samar itu, berarti ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya”. Barangsiapa tidak menyelamatkan agama dan kehormatannya, berarti dia telah terjerumus kedalam perbuatan haram. Sebagian yang lain berpendapat bahwa hal yang syubhat itu hukumnya halal dengan alas

dan sabda Rasulullah,

كالراعي يرعى حول الحمى يوشك أن يرتع في

“seperti penggembala yang menggembala di sekitar daerah terlarang”

kalimat ini menunjukkan bahwa syubhat itu halal, tetapi meninggalkan yang syubhat adalah sifat yang wara’. Sebagian lain lagi berkata bahwa syubhat yang tersebut pada hadits ini tidak dapat dikatakan halal atau haram, karena Rasulullah menempatkannya diantara halal dan haram, oleh karena itu kita memilih diam saja, dan hal itu termasuk sifat wara’ juga.

Dalam shahih Bukhari dan Muslim disebutkan sebuah hadits dari ‘Aisyah, ia berkata : “Sa’ad bin Abu Waqash dan ‘Abd bin Zam’ah mengadu kepada Rasulullah tentang seorang anak laki-laki. Sa’ad berkata : Wahai Rasulullah anak laki-laki ini adalah anak saudara laki-lakiku.’Utbah bin Abu Waqash. Ia (‘Utbah) mengaku bahwa anak laki-laki itu adalah anaknya. Lihatlah kemiripannya” sedangkan ‘Abd bin Zam’ah berkata; “ Wahai Rasulullah, Ia adalah saudara laki-lakiku, Ia dilahirkan ditempat tidur ayahku oleh budak perempuan milik ayahku”, lalu Rasulullah memperhatikan wajah anak itu (dan melihat kemiripannya dengan ‘Utbah) maka beliau Rasulullah bersabda : “Anak laki-laki ini untukmu wahai ‘Abd bin Zam’ah, anak itu milik laki-laki yang menjadi suami perempuan yang melahirkannya dan bagi orang yang berzina hukumannya rajam. Dan wahai Saudah, berhijablah kamu dari anak laki-laki ini” sejak saat itu Saudah tidak pernah melihat anak laki-laki itu untuk seterusnya.

Rasulullah telah menetapkan bahwa anak itu menjadi hak suami dari perempuan yang melahirkannya, secara formal anak laki-laki itu menjadi anak Zam’ah. ‘Abd bin Zam’ah adalah saudara laki-laki Saudah, istri Rasulullah , karena Saudah putrid Zam’ah. Ketetapan semacam ini berdasarkan suatu dugaan yang kuat bukan suatu kepastian. Kemudian Rasulullah menyuruh Saudah untuk berhijab dari anak laki-laki itu karena adanya syubhat dalam masalah itu. Jadi tindakan ini bersifat kehati-hatian. Hal itu termasuk perbuatan takut kepada Allah SWT, sebab jika memang pasti dalam pandangan Rasulullah anak laki-laki itu adalah anak Zam’ah, tentulah Rasulullah tidak menyuruh Saudah berhijab dari saudara laki-lakinya yang lain, yaitu ‘Abd bin Zam’ah dan saudaranya yang lain.


Pada Hadits ‘Adi bin Hatim, ia berkata : “Wahai Rasulullah, saya melepas anjing saya dengan ucapan Bismillah untuk berburu, kemudian saya dapati ada anjing lain yang melakukan perburuan” Rasulullah bersabda, “Janganlah kamu makan (hewan buruan yang kamu dapat) karena yang kamu sebutkan Bismillah hanyalah anjingmu saja, sedang anjing yang lain tidak”. Rasulullah memberi fatwa semacam ini dalam masalah syubhat karena beliau khawatir bila anjing yang menerkam hewan buruan tersebut adalah anjing yang dilepas tanpa menyebut Bismillah. Jadi seolah-olah hewan itu disembelih dengan cara diluar aturan Allah. Allah berfirman,

وَإِنَّهُ ۥ لَفِسۡقٌ۬‌ۗ

“Sesungguhnya hal itu adalah perbuatan fasiq” (QS. Al-An’am 6:121)

Dalam fatwa ini Rasulullah menunjukkan sifat kehati-hatian terhadap hal-hal yang masih samar tentang halal atau haramnya, karena sebab-sebab yang masih belum jelas. Inilah yang dimaksud dengan sabda Rasulullah , “Tinggalkanlah sesuatu yang meragukan kamu untuk berpegang pada sesuatu yang tidak meragukan kamu”

Sebagian Ulama berpendapat, syubhat itu ada tiga macam :

1.Sesuatu yang sudah diketahui haramnya oleh manusia tetapi orang itu ragu apakah masih haram hukumnya atau tidak. misalnya makan daging hewan yang tidak pasti cara penyembelihannya, maka daging semacam ini haram hukumnya kecuali terbukti dengan yakin telah disembelih (sesuai aturan Allah). Dasar dari sikap ini adalah hadits ‘Adi bin Hatim seperti tersebut diatas.

2. sesuatu yang halal tetapi masih diragukan kehalalannya, à seperti seorang laki-laki yang punya istri namun ia ragu-ragu, apakah dia telah menjatuhkan thalaq kepada istrinya atau belum, ataukah istrinya seorang perempuan budak atau sudah dimerdekakan. Hal seperti ini hukumnya mubah hingga diketahui kepastian haramnya, dasarnya adalah hadits ‘Abdullah bin Zaid yang ragu-ragu tentang hadats, padahal sebelumnya ia yakin telah bersuci.

3.Seseorang ragu-ragu tentang sesuatu dan tidak tahu apakah hal itu haram atau halal, dan kedua kemungkinan ini bisa terjadi sedangkan tidak ada petunjuk yang menguatkan salah satunya. Hal semacam ini sebaiknya dihindari, sebagaimana Rasulullah pernah melakukannya pada kasus sebuah kurma yang jatuh yang beliau temukan dirumahnya, lalu Rasulullah bersabda : “Kalau saya tidak takut kurma ini dari barang zakat, tentulah saya telah memakannya”
Adapun orang yang mengambil sikap hati-hati yang berlebihan, seperti tidak menggunakan air bekas yang masih suci karena khawatir terkena najis, atau tidak mau sholat disuatu tempat yang bersih karena khawatir ada bekas air kencing yang sudah kering, mencuci pakaian karena khawatir pakaiannya terkena najis yang tidak diketahuinya dan sebagainya, sikap semacam ini tidak perlu diikuti, sebab kehati-hatian yang berlebihan tanda adanya halusinasi dan bisikan setan, karena dalam masalah tersebut tidak ada masalah syubhat sedikitpun. Wallahu a’lam.

Kalimat,


“kebanyakan manusia tidak mengetahuinya”

maksudnya tidak mengetahui tentang halal dan haramnya, atau orang yang mengetahui hal syubhat tersebut didalam dirinya masih tetap menghadapi keraguan antara dua hal tersebut, jika ia mengetahui sebenarnya atau kepastiannya, maka keraguannya menjadi hilang sehingga hukumnya pasti halal atau haram. Hal ini menunjukkan bahwa masalah syubhat mempunyai hokum tersendiri yang diterangkan oleh syari’at sehingga sebagian orang ada yang berhasil mengetahui hukumnya dengan benar.

Kalimat,

“maka barangsiapa menjaga dirinya dari yang samar-samar itu, berarti ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya” maksudnya menjaga dari perkara yang syubhat.
Kalimat, “barangsiapa terjerumus dalam wilayah samar-samar maka ia telah terjerumus kedalam wilayah yang haram” hal ini dapat terjadi dalam dua hal :

Orang yang tidak bertaqwa kepada Allah dan tidak memperdulikan perkara syubhat maka hal semacam itu akan menjerumuskannya kedalam perkara haram, atau karena sikap sembrononya membuat dia berani melakukan hal yang haram, seperti kata sebagian orang : “Dosa-dosa kecil dapat mendorong perbuatan dosa besar dan dosa besar mendorong pada kekafiran”

Orang yang sering melakukan perkara syubhat berarti telah menzhalimi hatinya, karena hilangnya cahaya ilmu dan sifat wara’ kedalam hatinya, sehingga tanpa disadari dia telah terjerumus kedalam perkara haram. Terkadang hal seperti itu menjadikan perbuatan dosa jika menyebabkan pelanggaran syari’at.

Rasulullah bersabda : “seperti penggembala yang menggembala di sekitar daerah terlarang maka hampir-hampir dia terjerumus kedalamnya” ini adalah kalimat perumpamaan bagi orang-orang yang melanggar larangan-larangan Allah. Dahulu orang arab biasa membuat pagar agar hewan peliharaannya tidak masuk ke daerah terlarang dan membuat ancaman kepada siapapun yang mendekati daerah terlarang tersebut. Orang yang takut mendapatkan hukuman dari penguasa akan menjauhkan gembalaannya dari daerah tersebut, karena kalau mendekati wilayah itu biasanya terjerumus. Dan terkadang penggembala hanya seorang diri hingga tidak mampu mengawasi seluruh binatang gembalaannya. Untuk kehati-hatian maka ia membuat pagar agar gembalaannya tidak mendekati wilayah terlarang sehingga terhindar dari hukuman. Begitu juga dengan larangan Allah seperti membunuh, mencuri, riba, minum khamr, qadzaf, menggunjing, mengadu domba dan sebagainya adalah hal-hal yang tidak patut didekati karena khawatir terjerumus dalam perbuatan itu.

Kalimat, “Ingatlah bahwa dalam jasad ada sekerat daging jika ia baik maka baiklah seluruh jasadnya” yang dimaksud adalah hati, betapa pentingnya daging ini walaupun bentuknya kecil, daging ini disebut Al-Qalb (hati) yang merupakan anggota tubuh yang paling terhormat, karena ditempat inilah terjadi perubahan gagasan, sebagian penyair bersenandung, “Tidak dinamakan hati kecuali karena menjadi tempat terjadinya perubahan gagasan, karena itu waspadalah terhadap hati dari perubahannya”
Allah menyebutkan bahwa manusia dan hewan memiliki hati yang menjadi pengatur kebaikan-kebaikan yang diinginkan. Hewan dan manusia dalam segala jenisnya mampu melihat yang baik dan buruk, kemudian Allah mengistimewakan manusia dengan karunia akal disamping dikaruniai hati sehingga berbeda dari hewan. Allah berfirman, “Tidakkah mereka mau berkelana dimuka bumi karena mereka mempunyai hati untuk berpikir, atau telinga untuk mendengar…” (QS. Al-Hajj 22:46). Allah telah melengkapi dengan anggota tubuh lainnya yang dijadikan tunduk dan patuh kepada akal. Apa yang sudah dipertimbangkan akal, anggota tubuh tinggal melaksanakan keputusan akal itu, jika akalnya baik maka perbuatannya baik, jika akalnya jelek, perbuatannya juga jelek.

Bila kita telah memahami hal diatas, maka kita bisa menangkap dengan jelas sabda Rasulullah ,

إلا وإن في الجسد مضغة إذا صلحت صلح الجسد كله , وإذا فسدت فسد الجسد كله , ألا وهي القلب

“Ingatlah bahwa dalam jasad ada sekerat daging jika ia baik maka baiklah seluruh jasadnya dan jika ia rusak maka rusaklah seluruh jasadnya. Ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati”.
Kita memohon kepada Allah semoga Dia menjadikan hati kita yang jelek menjadi baik, wahai Tuhan pemutar balik hati, teguhkanlah hati kami pada agama-Mu, wahai Tuhan pengendali hati, arahkanlah hati kami untuk taat kepada-Mu.

jazakumullah




EKSITENSI RUH DALM PANDANGAN ULAMA


Al Qur'an telah membahas tentang hakekat asal-usul manusia yang di awali dari proses kejadian manusia yaitu dari segumpal darah (QS. 96:1-5), dan setelah melewati beberapa tahapan dan sempurna kejadiannya, dihembuskan-Nyalah kepadanya ruh ciptaan Tuhan (QS. 38:71-72).1

Dari ayat-ayat di atas menjadi jelas bahwa hakekat manusia terdiri dari dua unsur pokok yakni, gumpalan tanah (materi/badan) dan hembusan ruh (immateri). Di mana antara satu dengan satunya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan agar dapat di sebut manusia. Dalam perspektif sistem nafs, ruh menjadi faktor penting bagi aktivitas nafs manusia ketika hidup di muka bumi ini, sebab tanpa ruh, manusia sebagai totalitas tidak dapat lagi berpikir dan merasa.2

Ruh adalah zat murni yang tinggi, hidup dan hakekatnya berbeda dengan tubuh. Tubuh dapat diketahui dengan pancaindra, sedangkan ruh menelusup ke dalam tubuh sebagaimana menyelusupnya air ke dalam bunga, tidal larut dan tidak terpecah-pecah. Untuk memberi kehidupan pada tubuh selama tubuh mampu menerimanya. Sudah lama "kemisteriusan" ruh menjadi perdebatan di kalangan ulama Islam (teolog, filosof dan ahli sufi) yang berusaha menyingkap dan menelanjangi keberadaannya. Mereka mencoba mengupas dan mengulitinya guna mendapatkan kepastian tentang hakekat ruh.

Pembahasan

Dalam bahasa Arab, kata ruh mempunyai banyak arti.

  • Kata روح untuk ruh
  • Kata ريح (rih) yang berarti angin
  • Kata روح (rawh) yang berarti rahmat.

Ruh dalam bahasa Arab juga digunakan untuk menyebut jiwa, nyawa, nafas, wahyu, perintah dan rahmat.3 Jika kata ruhani dalam bahasa Indonesia digunakan untuk menyebut lawan dari dimensi jasmani, maka dalam bahasa Arab kalimat

روحانيون * روحاني

Digunakan untuk menyebut semua jenis makhluk halus yang tidak berjasad, seperti malaikat dan jin.4

Dalam al-Qur'an, ruh juga digunakan bukan hanya satu arti. Term-term yang digunakan al-Qur'an dalam penyebutan ruh, bermacam-macam. Diantaranya ruh di sebut sebagai sesuatu:

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًا

Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit". (QS. Al-Isra': 85)

Hanya saja, ketika ruh manusia diyakini sebagai zat yang menjadikan seseorang masih tetap hidup

الروح انه ما به حياة النفس

atau seperti yang dikatakan al-Farra' [5]

الروح هو الذي يعيش به الإنسان

Serta jawaban singkat al-Qur'an atas pertanyaan itu (lihat QS. Al-Isra': 85), menunjukkan bahwa ruh akan tetap menjadi "rahasia" yang kepastiannya hanya bisa diketahui oleh Allah semata.

Selanjutnya al-Qur'an juga banyak menggunakan kata ruh untuk menyebut hal lain, seperti:

  1. Malaikat Jibril, atau malaikat lain dalam QS. Al-Syu'ara' 193, al-Baqarah 87, al-Ma'arij 4, al-Naba' 38 dan al-Qadr 4.
    (الروح الأمين , روح القدس , (والروح الملئكة
  2. Rahmad Allah kepada kaum mukminin dalam QS. al-Mujadalah 22
    وأيدهم بروح منه
  3. Kitab suci al-Qur'an dalam QS. Al-Shura 52.6
    وكذلك أوحينا إليك روحا من امرنا

Tentang bagaimana hubungan ruh itu sendiri dengan nafs, para ulama berbeda pendapat mengenainya. Ibn Manzur mengutip pendapat Abu Bakar al-Anbari yang menyatakan bahwa bagi orang Arab, ruh dan nafs merupakan dua nama untuk satu hal yang sama, yang satu dipandang mu'anath dan lainnya mudhakkar.7

Makalah berikut ini berusaha menjelaskan beberapa pendapat 'ulama Islam yang berusaha menjelaskan pengertian, kedudukan dan hubungan ruh dengan nafs dalam diri manusia, berdasarkan rentang urutan hidup mereka:

Ibnu Sina (370-428 H/980-1037 M)

Ibnu Sina mendefinisikan ruh sama dengan jiwa (nafs). Menurutnya, jiwa adalah kesempurnaan awal, karena dengannya spesies (jins) menjadi sempurna sehingga menjadi manusia yang nyata. Jiwa (ruh) merupakan kesempurnaan awal, dalam pengertian bahwa ia adalah prinsip pertama yang dengannya suatu spesies (jins) menjadi manusia yang bereksistensi secara nyata. Artinya, jiwa merupakan kesempurnaan awal bagi tubuh. Sebab, tubuh sendiri merupakan prasyarat bagi definisi jiwa, lantaran ia bisa dinamakan jiwa jika aktual di dalam tubuh dengan satu perilaku dari berbagai perilaku8 dengan mediasi alat-alat tertentu yang ada di dalamnya, yaitu berbagai anggota tubuh yang melaksanakan berbagai fungsi psikologis.

Ibnu Sina membagi daya jiwa (ruh) menjadi 3 bagian yang masing-masing bagian saling mengikuti, yaitu

  1. Jiwa (ruh) tumbuh-tumbuhan, mencakup daya-daya yang ada pada manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan. Jiwa ini merupakan kesempurnaan awal bagi tubuh yang bersifat alamiah dan mekanistik, baik dari aspek melahirkan, tumbuh dan makan.
  2. Jiwa (ruh) hewan, mencakup semua daya yang ada pada manusia dan hewan. Ia mendefinisikan ruh ini sebagai sebuah kesempurnaan awal bagi tubuh alamiah yang bersifat mekanistik dari satu sisi, serta menangkap berbagai parsialitas dan bergerak karena keinginan.9
  3. Jiwa (ruh) rasional, mencakup daya-daya khusus pada manusia. Jiwa ini melaksanakan fungsi yang dinisbatkan pada akal. Ibnu Sina mendefinisikannya sebagai kesempurnaan awal bagi tubuh alamiah yang bersifat mekanistik, dimana pada satu sisi ia melakukan berbagai perilaku eksistensial berdasarkan ikhtiar pikiran dan kesimpulan ide, namun pada sisi lain ia mempersepsikan semua persoalan yang bersifat universal.10

Imam Ghazali (450-505 H/1058-1111 M)

Sebagaimana Ibn Sina, al-Ghazali membagi jiwa menjadi tiga golongan, yaitu:

  1. Jiwa nabati (al-nafs al-nabatiyah), yaitu kesempurnaan awal baqgi benda alami yang hidup dari segi makan, minum, tumbuh dan berkembang.
  2. Jiwa hewani (al-nafs al-hayawaniyah), yaitu kesempurnaan awal bagi benda alami yang hidup dari segi mengetahui hal-hal yang kecil dan bergerak dengan iradat (kehendak).
  3. Jiwa insani (al-nafs al-insaniyah), yaitu kesempurnaan awal bagi benda yang hidupdari segi melakukan perbuatan dengan potensi akal dan pikiran serta dari segi mengetahui hal-hal yang bersifat umum.11

Jiwa insani inilah, menurut al-Ghazali di sebut sebagai ruh (sebagian lain menyebutnya al-nafs al-natiqah/jiwa manusia). Ia sebelum masuk dan berhubungan dengan tubuh disebut ruh, sedangkan setelah masuk ke dealam tubuh dinamakan nafs yang mempunyai daya (al-'aql), yaitu daya praktik yang berhubungan dengan badan daya teori yang berhubungan dengan hal-hal yang abstrak. Selanjutnya al-Ghazali menjelaskan bahwa kalb, ruh dan al-nafs al mutmainnah merupakan nama-nama lain dari al-nafs al-natiqah yang bersifat hidup, aktif dan bisa mengetahui.12

Ruh menurut al-Ghazali terbagi menjadi dua, pertama yaitu di sebut ruh hewani, yakni jauhar yang halus yang terdapat pada rongga hati jasmani dan merupakan sumber kehidupan, perasaan, gerak, dan penglihatan yang dihubungkan dengan anggota tubuh seperti menghubungkan cahaya yang menerangi sebuah ruangan. Kedua, berarti nafs natiqah, yakni memungkinkan manusia mengetahui segala hakekat yang ada. Al-Ghazali berkesimpulan bahwa hubungan ruh dengan jasad merupakan hubungan yang saling mempengaruhi.13 Di sini al-Ghazali mengemukakan hubungan dari segi maknawi karena wujud hubungan itu tidak begitu jelas. Lagi pula ajaran Islam tidak membagi manusia dalam kenyataan hidupnya pada aspek jasad, akal atau ruh, tetapi ia merupakan suatu kerangka yang saling membutuhkan dan mengikat; itulah yanmg dinamakan manusia.

Ibn Tufail (Awal abad IV/580 H/ 1185 M)

Menurut Ibn Tufail, sesungguhnya jiwa yang ada pada manusia dan hewan tergolong sebagai ruh hewani yang berpusat di jantung. Itulah faktor penyebab kehidupan hewan dan manusia beserta seluruh perilakunya. Ruh ini muncul melalui saraf dari jantung ke otak, dan dari otak ke seluruh anggota badan. Dan inilah yang yang menjadi dasar terwujudnya semua aksi anggota badan.14

Ruh berjumlah satu. Jika ia bekerja dengan mata, maka perilakunya adalah melihat; jika ia bekerja dengan telinga maka perilakunya adalah mendengar; jika dengan hidung maka perilakunya adalah mencium dsb. Meskipun berbagai anggota badan manusia melakukan perilaku khusus yang berbeda dengan yang lain, tetapi semua perilaku bersumber dari satu ruh, dan itulah hakikat zat, dan semua anggota tubuh seperti seperangkat alat".15

Ibn Taimiyah ( 661-728 H/1263-1328 M)

Ibn Taimiyah berpendapat bahwa nafs tidak tersusun dari substansi-substansi yang terpisah, bukan pula dari materi dan forma. Selain itu, nafs bukan bersifat fisik dan bukan pula esensi yang merupakan sifat yang bergantung pada yang lain.16 Sesungguhnya nafs berdiri sendiri dan tetap ada setelah berpisah dari badan ketika kematian datang.

Ia menyatakan bahwa kata al-ruh juga digunakan untuk pengertian jiwa (nafs). Ruh yang mengatur badan yang ditinggalkan setelah kematian adalah ruh yang dihembuskan ke dalamnya (badan) dan jiwalah yang meninggalkan badan melalui proses kematian. Ruh yang dicabut pada saat kematian dan saat tidur disebut ruh dan jiwa (nafs). Begitu pula yang diangkat ke langit disebut ruh dan nafs. Ia disebut nafs karena sifatnya yang mengatur badan, dan disebut ruh karena sifat lembutnya. Kata ruh sendiri identik dengan kelembutan, sehingga angin juga disebut ruh.17

Ibn Taimiyah menyebutkan bahwa kata ruh dan nafs mengandung berbagai pengertian, yaitu:

  1. Ruh adalah udara yang keluar masuk badan.
  2. Ruh adalah asap yang keluar dari dalam hati dan mengalir di darah.
  3. Jiwa (nafs) adalah sesuatu itu sendiri, sebagaimana firman Allah SWT: ... Tuhanmu telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang ... (QS. al-'An'am, 54).
  4. Jiwa (nafs) adalah darah yang berada di dalam tubuh hewan, sebagaimana ucapan ahli fiqih, "Hewan yang memiliki darah yang mengalir dan hewan yang tidak memiliki darah yang mengalir".
  5. Jiwa (nafs) adalah sifat-sifat jiwa yang tercela atau jiwa yang mengikuti keinginannya.18

Tentang tempat ruh dan nafs di dalam tubuh, Ibn Taimiyah menjelaskan: "Tidak ada tempat khusus ruh di dalam jasad, tetapi ruh mengalir di dalam jasad sebagaimana kehidupan mengalir di dalam seluruh jasad. Sebab, kehidupan membutuhkan adanya ruh. Jika ruh ada di dalam jasad, maka di dalamnya ada kehidupan (nyawa); tetapi jika ruh berpisah dengan jasad, maka ia berpisah dengan nyawa".19

Ibn Taimiyah menyatakan bahwa jiwa (nafs/ruh) manusia sesungguhnya berjumlah satu, sementara al-nafs al-ammarah bi al-su', jiwa yang memerintahkan pada keburukan akibat dikalahkan hawa nafsu sehingga melakukan perbuatan maksiat dan dosa, al-nafs al-lawwamah, jiwa yang terkadang melakukan dosa dan terkadang bertobat, karena didalamnya terkandung kebaikan dan keburukan; tetapi jika ia melakukan keburukan, ia bertobat dan kembali ke jalan yang benar. Dan dinamakan lawwamah (pencela) karena ia mencela orang yang berbuat dosa, tapi ia sendiri ragu-ragu antara perbuatan baik dan buru, dan al-nafs al-mutmainnah, jiwa yang mencintai dan menginginkan kebaikan dan kebajikan serta membenci kejahatan.20

Ibn Qayyim al-Jauziyah (691-751 H/1292-1350 M)

Ibn Qayyim al-Jauziyah Menggunakan istilah ruh dan nafs untuk pengertian yang sama. Nafs (jiwa) adalah substansi yang bersifat nurani 'alawi khafif hayy mutaharrik atau jism yang mengandung nur, berada di tempat yang tinggi, lembut, hidup dan bersifat dinamis. Jizm ini menembus substansi anggota tubuh dan mengalir bagaikan air atau minyak zaitun atau api di dalam kayu bakar. Selama anggota badan dalam keadaan baik untuk menerima pengaruh yang melimpah di atasnya dari jism yang lembut ini, maka ia akan tetap membuat jaringan dengan bagian-bagian tubuh. Kemudian pengaruh ini akan memberinya manfaat berupa rasa, gerak dan keinginan.21

Ibn Qayyim menjelaskan pendapat banyak orang bahwa manusia memiliki tiga jiwa, yaitu nafs mutmainnah, nafs lawwamah dan nafs amarah. Ada orang yang dikalahkan oleh nafs mutmainnah, dan ada yang dikalahkan oleh nafs ammarah.

Mereka berargumen dengan firman Allah:

Wahai jiwa yang tenang (nafs mutmainnah) ...
(QS. Al-Fajr: 27).
Aku sungguh-sungguh bersumpah dengan hari kiamat dan aku benar-benar bersumpah dengan jiwa lawwamah
(QS. al-Qiyamah: 1-2)
Sesungguhnya jiwa itu benar-benar menyuruh kepada keburukan (nafs ammarah)
(QS. Yusuf: 53)

Ibn Qayyim menjelaskan bahwa sebenarnya jiwa manusia itu satu, tetapi memiliki tiga sifat dan dinamakan dengan sifat yang mendominasinya. Ada jiwa yang disebut mutmainnah (jiwa yang tenang) karena ketenangannya dalam beribadah, ber-mahabbah, ber-inabah, ber-tawakal, serta keridhaannya dan kedamaiannya kepada Allah. Ada jiwa yang bernama nafs lawwamah, karena tidak selalu berada pada satu keadaan dan ia selalu mencela; atau dengan kata lain selalu ragu-ragu, menerima dan mencela secara bergantian. Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa nafs lawwamah dinamakan demikian karena orangnya sering mencela. Sedangkan nafs ammarah adalah nafsu yang menyuruh kepada keburukan.22

Jadi, jiwa manusia merupakan satu jiwa yang terdiri dari ammarah, lawwamah dan mutmainnah yang menjadi tujuan kesempurnaan dan kebaikan manusia. Sehingga ada kemiripan antara pendapat Ibn Qayyim dengan pendapat Ibn Taimiyah tentang tiga sifat jiwa ini.

Ibn Qayyim juga menjelaskan dan membagi menjadi tiga kelompok kaum filosof yang terpengaruh oleh ide-ide Plato. Ia menyebutkan tiga jenis cinta pada masing-masing kelompok tersebut, yaitu:

  1. Jiwa langit yang luhur (nafs samawiyah 'alawiyah) dan cintanya tertuju pada ilmu pengetahuan, perolehan keutamaan dan kesempurnaan yang memungkinkan bagi manusia, dan usaha menjauhi kehinaan.
  2. Jiwa buas yang penuh angkara murka (nafs sab'iyyah ghadabiyyah) dan cintanya tertuju pada pemaksaan, tirani, keangkuhan di bumi, kesombongan, dan kepemimpinan atas manusia dengan cara yang batil.
  3. Jiwa kebinatangan yang penuh syahwat (nafs hayawaniyyah shahwaniyyah) dan cintanya tertuju pada makanan, minuman dan seks.23

Dari konteks pembicaraan Ibn Qayyim ini, dapat dipahami bahwa ketiga macam jiwa ini bukan berdiri sendiri dan bukan pula berarti jiwa yang yang tiga, tetapi ia merupakan tiga daya untuk satu jiwa.24

Filosof Lain

  • Al-Nazzam berpendapat bahwa ruh adalah jism dan jiwa. Ia hidup dengan sendirinya. Ia masuk dan bercampur dengan badan sehingga badan tersebut menjadi bencana, mengekang dan mempersempit ruang lingkupnya. Keberadaannya dalam badan adalah untuk menghadapi kebinasaan badan dan menjadi pendorong bagi badan untuk memilih. Seandainya ruh telah lepas dari badan, maka semua aktivitas badan hanyalah bersifat eksidental dan terpaksa.
  • Al-Jubba'i berpendapat bahwa ruh adalah termasuk jism, dan ruh itu bukan kehidupan. Sebab kehidupan adalah a'rad (kejadian). Ia beranggapan bahwa ruh tidak bisa ditempati a'rad.
  • Abu al-Hudhail beranggapan bahwa jiwa adalah sebuh definisi yang berbeda dengan ruh dan ruhpun berbeda dengan kehidupan, karena menurutnya kehidupan adalah termasuk a'rad. Ia menambahkan, ketika kita tidur jiwa dan ruh kita kadang-kadang hilang, tetapi kehidupannya masih ada.
  • Sebagian mutakallimin lain meyakini bahwa ruh adalah definisi kelima selain panas, dingin, basah dan kering. Tetapi mereka berbeda ketika membahas tentang aktivitas ruh. Sebagian berpendapat aktivitas ruh bersifat alami, tetapi sebagian lain berpendapat bersifat ikhtiyari.25

Penutup

Dalam filsafat dan tasawuf Islam, di samping istilah ruh dan al-nafs, ditemukan juga istilah al-qalb dan al-'aql. Empat istilah ini tersebut mempunyai hubungan yang sangat erat ibarat kacang dengan kulit arinya.

Para ulama di atas hampir semua sepakat bahwa pengertian ruh adalah sama dengan nafs (kecuali Abu Hudhail). Hanya saja, ketika mereka berusaha mengupas lebih dalam lagi tentang peran, macam-macam, fungsi ruh dan tujuan penciptaan ruh bagi kehidupan manusia terkesan berbeda. Meskipun perbedaan tersebut amat tipis sekali karena kesemuaan pembahasan diatas saling berkaitan satu dengan yang lainnya yang terkadang pada proses dan fase tertentu mereka mendefinisikannya sama.

Terlepas dari pro dan kontra berbagai pendapat mengenai ruh dan hal-hal yang terkait dengannya, satu hal yang pasti, bahwa kebenaran tentang hakekat dari ruh itu sendiri tetap menjadi rahasia Allah semata dan Ia hanya membukakan sedikit celah pintu bagi manusia untuk mencoba membuka dan menyingkapnya secara utuh.

Bibliografi

Amin, Ahmad,
Hayy bin Yaqzan li Ibn Sina wa Ibn Tufail wa al-Suhrawardi, cet. III, Kairo: Dar al-Ma'arif, 1966.
al-Asy'ari, Imam Abu Hasan Ali bin Isma'il,
Maqalat al-Islamiyin wa Ikhtilaf al-Mushallin, terj. Rosihan Anwar, Bandung: Pustaka Setia, 1999.
Damej, M. Amin,
Majmu'ah al-Rasail al-Muniriyah, juz 2, 1970.
al-Jauziyah, Ibn Qayyim,
Kitab al-Ruh, ditahkikkan oleh Sayyid Jamili, cet. I, Bairut: Dar al-Kitab al-'Arabi, 1986.
Al-Jauziyah, Ibn Qayyim,
Raudah al-Muhibbin wa Nuzah al-Mushtaqin, Kairo: Dar al-Fikr al-'Arabi tt.
Lane, Edward William,
Arabic-English Lexicon, London: Islamic Texts Society Trust, 1984.
Manzur, Ibn,
Lisan al-'Arab, ttp, Dar al-Ma'arif, t.th..
Mubarok, Achmad,
Jiwa dalam Al-Qur'an, Jakarta: Paramadina, 2000.
Najati M. 'Uthman,
Al-Dirasah al-Nafsaniyyah 'inda al-'Ulama' al-Muslimin, terj., Bandung: Pustaka Hidayah, 2002.
Othman, Ali Issa,
Manusia menurut Al-Ghazali, cet. II, Bandung: Pustaka, 1987.
Redaksi, Dewan,
Ensklopedi Islam vol. 4, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1993.
Sina, Ibn,
Ahwa al-Nafs, ditahkik oleh Ahmad Fuasd al-Ahwani Kaira: Dar Ihya' al-Kutub al-'Arabiyah, 1952.
Taimiyah, Ibn,
Risalah fi al-'Aql wa al-Ruh, tt.
Warson, Ahmad Warson,
Al-Munawwir, Yogyakarta: Pesantren Al-Munawwir, 1984.

1 Materi manusia merupakan saripati tanah liat yang merupakan cikal bakal Nabi Adam dan keturunannya. Materi atau sel benih (nutfah) ini, yang semula adalah tanah liat, setelah melewati berbagai proses, akhirnya menjadi manusia. Tanah liat berubah menjadi makanan (melalui tanaman dan hewan). Makanan menjadi darah, darah menjadi sperma dan indung telur. Sperma kemudian bersatu dengan indung telur dalam suatu wadah (QS. 23:14) hasil dari persatuan yang terjadi di dalam rahim, setelah melalui proses transformasi yang panjang sehingga menjadi resam tubuh yang harmonis (jibillah) dan menjadi cocok untuk menerima ruh. Adapun penerimaan ruh ini semuanya langsung dari Allah, dan ini diberikan tatkala embrio sudah siap dan cocok untuk menerimanya. Lihat Ali Issa Othman, Manusia menurut Al-Ghazali, cet. II (Bandung: Pustaka, 1987), 115.

2 Achmad Mubarok, Jiwa dalam Al-Qur'an (Jakarta: Paramadina, 2000), 128.

3 Ibn Manzur, Lisan al-'Arab, ttp (Dar al-Ma'arif, t.th), 1763-1771. Lihat juga, Ahmad Warson M., Al-Munawwir (Yogyakarta: Pesantren Al-Munawwir, 1984), 1232.

4 Ibn Manzur, Lisan...

5 Edward William Lane, Arabic-English Lexicon (London: Islamic Texts Society Trust, 1984), 1182.

6 Jiwa Dalam Al-Qur'an, 128.

7 Ibn Manzur, Lisan..., 1768.

8 'Uthman, Najati, M., Al-Dirasah al-Nafsaniyyah 'inda al-'Ulama', al-Muslimin, terj. (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002), 144.

9 Ibn Sina, Ahwa al-Nafs, ditahkik oleh Ahmad Fuasd al-Ahwani (Kaira: Dar Ihya' al-Kutub al-'Arabiyah, 1952), 258.

10 Ahwa al-Nafs, 62-65.

11 Dewan Redaksi, Ensklopedi Islam vol. 4 (Jakarta:Ichtiar Baru van Hoeve, 1993), 174.

12 Ensiklopedi Islam, 147.

13 Ensiklopedi Islam vol. 4, 176.

14 Ahmad Amin, Hayy bin Yaqzan li Ibn Sina wa Ibn Tufail wa al-Suhrawardi, cet. III (Kairo: Dar al-Ma'arif, 1966), 37-38.

15 Hay bin Yaqwzan, 149.

16 Ibn Taimiyah, Risalah fi al-'Aql wa al-Ruh dalam M. Uthman Najati, al-Dirasah..., 342.

17 Majmu'ah al-Rasail al-Muniriyyah, 1970, 36-37.

18 M. Amin Damej, Majmu'ah al-Rasail al-Muniriyah, juz 2, 1970, 39-41 dimuat dalam al-Dirasah...,343.

19 Al-Dirasah...,47-48.

20 Al-Dirasah...,41

21 Ibn Qayyim al-Jauziyah, Kitab al-Ruh, ditahkikkan oleh Sayyid Jamili, cet. Iv (Bairut: Dar al-Kitab al-'Arabi, 1986), 276.

22 Kitab al-Ruh, 330.

23 Ibn Qayyim al-Jauziyah, Raudah al-Muhibbin wa Nuzah al-Mushtaqin (Kairo: Dar al-Fikr al-'Arabi tt.), 259-287.

24 Ibid, 252-255.

25 Imam Abu Hasan Ali bin Isma'il Anwar (Bandung al-Asy'ari, Maqalat al-Islamiyin wa Ikhtilaf al-Mushallin, terj. Rosihan: Pustaka Setia, 1999), 69-71




HADIST DHOIF RIYADHUSSHOLIHIN

Alhamdulillah. Shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada junjungan kita nabi shallallahu’alaihi wa sallam beserta keluarga dan para shahabatnya dan orang-orang yang mengikuti mereka hingga hari akhir. Amma ba’du.
Kitab Riyadhus Shalihin adalah sebuah kitab yang sangat bagus untuk belajar ilmu dien. Karena di dalamnya terdapat masalah-masalah yang sering kita alami, yang sering kita hadapi dalam kehidupan sehari-hari. Dan kitab ini juga telah dijadikan pegangan buat keluarga muslim yang ada di Indonesia khususnya bahkan mungkin juga di dunia. Imam Nawawi rahimahulloh telah membuat sebuah kitab yang bermanfaat, semoga Allah membalasnya dengan kebaikan.
Namun sebagaimana yang kita tahu, kitab yang paling sempurna adalah Al Qur’an, maka dari itu tidaklah ada sesuatu di dunia ini yang sempurna kecuali hanya Allah semata. Maka dari itu kitab kumpulan hadits ini masih ada cacat di sana-sini. Dan Takhrij ini disusun oleh Syaikh Al Albani rahimahulloh, semoga Allah membalas segala jasa-jasa beliau.

5. Bab: Muraqabah (Pengawasan)1/67. Abu Ya’la Syaddad bin Aus RA mengatakan bahwa Nabi SAW bersabda,

الكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ ، وَعَمِلَ لِمَا بعدَ المَوتِ ، والعَاجِزُ مَنْ أتْبَعَ نَفْسَهُ هَواهَا وَتَمنَّى عَلَى اللهِ الاَمَانِيَّ
“Orang yang sempurna akalnya ialah yang mengoreksi dirinya dan bersedia beramal sebagai bekal setelah mati. Dan orang yang rendah ialah yang selalu menurutkan hawa nafsunya. Disamping itu, ia mengharapkan berbagai angan-angan kepada Allah.” (HR. Tirmidzi, ia mengatakan bahwa hadits ini hasan).
Keterangan:
Hadits ini sanadnya dha’if, karena ada seorang perawi bemama Abu Bakar Ibnu Abi Maryam; dia kacau hafalannya setelah rumahnya kecurian.
Selanjutnya Adz-Dzahabi menolak dan mengritiknya, dengan berkata, “Demi Allah, Abu Bakar adalah orang yang suka menduga-duga dalam meriwayatkan hadits. Ada Syahid untuk hadits tersebut dari Anas RA, yang diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman, tetapi beliau berkata, “Tetapi dalam sanad hadits ini ada perawi bemama Aun bin Ammarah, dia orang yang dhaif dalam periwayatannya.”
Lihat kitab Silsilah Ahadits Adh-Dha ‘ifah hadits no. 5319; Dha’if Al Jami’ Ash-Shaghir no. 4305; Al Misykah no. 5289; Dha’if Sunan At-Tirmidzi hadits no. 436; Dha’if Sunan Ibnu Majah hadits no. 930; Al Misykah hadits no. 5289; Bahjatun-Nazhirin hadits no. 66 oleh Syaikh Sahm bin Id Al Hilali; Takhrij Riyadhus-Shalihin hadits no. 66 oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth.
2/69. Umar RA mengatakan bahwa Nabi SAW bersabda,

‘”Seorang laki-laki tidak akan ditanya (tidak dituntut) mengapa ia memukul istrinya” (HR. Abu Daud dan lainnya)
Keterangan:
Sanad hadits ini dha’if. karena ada dua illat (cacat), yaitu:

pertama, pada riwayat Imam Ahmad tersebut perawinya bernama Daud Al Audi, jika yang dimaksud adalah Daud bin Yazid Al Audi, maka ia orang yang tidak kuat dalam periwayatan hadits. Sedangkan pada riwayat Abu Daud dan Ibnu Majah disebutkan Daud bin Abdullah Al Audi, jika yang dimaksud adalah perawi ini, maka ia adalah orang yang tsiqah.

Kedua, baik riwayat Abu Daud, Ibnu Majah, maupun Imam Ahmad, ada perawi lainnya yang bernama Abdurrahman Al Musla, ia tidak diketahui identitasnya (majhul), sebagaimana yang dikatakan Adz-Dzahabi dalam Al-Mizan.
Lihat kitab Irwaul Ghalil hadits no. 2034; Dha ‘if Sunan Abu Daud hadits no. 469; Dha ‘if Sunan Ibnu Majah hadits no. 431; Al Misykah hadits no. 3268; Dha’iful Jami’ hadits no. 6218; Bahjatun-Nazhirin hadits no. 68; Takhrij Riyadhush-Shalihin hadits no. 68.

Bab.10. Berlomba-lomba Dalam Menganjurkan Kebaikan dan Mengerjakannya Tanpa Ragu-ragu
3/94. Dari Abu Hurairah RA, Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda,


بادِرُوا بِالأَعْمَالِ سَبْعاً ، هَلْ تَنْتَظِرُونَ إلاَّ فَقراً مُنسياً ، أَوْ غِنىً مُطغِياً ، أَوْ مَرَضاً مُفسِداً ، أَوْ هَرَماً مُفْنداً ، أَوْ مَوتاً مُجْهزاً ، أَوْ الدَّجَّالَ فَشَرُّ غَائِبٍ يُنْتَظَرُ ، أَوْ السَّاعَةَ فالسَّاعَةُ أدهَى وَأَمَرُّ
Segeralah beramal kebaikan sebelum datang tujuh perkara. Apakah yang kamu nantikan selain kemiskinan yang akan melupakan kamu dari kewajiban, atau kekayaan yang akan menimbulkan rasa angkuh yang melampui batas, atau suatu penyakit yang merusak, atau masa tua yang menimbulkan pikun dan habis tenaga, atau kematian yang cepat, atau adanya Dajjal (penipu), maka ia sejahat-jahat yang dinantikan, atau datang hari kiamat, dan hari kiamat itu lebih berat dan lebih sukar. (HR. Tirmidzi, ia mengatakan bahwa hadits ini hasan’.)
Keterangan:
Sanad hadits ini dha’if sekali, karena ada perawi yang bemama Muhriz bin Harun, Al Hafizh berkata dalam At-Taqrib, “Dia orang yang matruk (ditinggalkan haditsnya, tidak boleh diambil)”. Al Bukhari berkata, “Munkarul hadits”. Sedangkan Abu Hatim Ar-Razi berkata, “la orang yang tidak kuat periwayatannya”
Lihat kitab Silsilah Al Ahadits Adh-Dha’ifah hadits no. 1666. Dha’if Sunan At-Tirmidzi hadits no. 400; Dha’iful Jami’ hadits no. 2315; Bahjatun-Nazhirin hadits no. 93 dan Takhrij Riyadhus hadits no. 93.

23. Bab: Menyeru Kebaikan dan Mencegah Kemungkaran
4/201. Ibnu Mas’ud RA mengatakan bahwa Rasulullah SAWbersabda,
إنَّ أوَّلَ مَا دَخَلَ النَّقْصُ عَلَى بَنِي إسْرَائِيلَ أنَّهُ كَانَ الرَّجُلُ يَلْقَى الرَّجُلَ ، فَيَقُولُ : يَا هَذَا، اتَّقِ الله ودَعْ مَا تَصْنَعُ فَإِنَّهُ لاَ يَحِلُّ لَكَ ، ثُمَّ يَلْقَاهُ مِنَ الغَدِ وَهُوَ عَلَى حَالِهِ ، فَلا يَمْنَعُهُ ذلِكَ أنْ يَكُونَ أكِيلَهُ وَشَريبَهُ وَقَعيدَهُ ، فَلَمَّا فَعَلُوا ذلِكَ ضَرَبَ اللهُ قُلُوبَ بَعْضِهِمْ بِبَعْضٍ )) ثُمَّ قَالَ : { لُعِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ بَنِي إِسْرائيلَ عَلَى لِسَانِ دَاوُدَ وَعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ ذَلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا يَعْتَدُونَ كَانُوا لا يَتَنَاهَوْنَ عَنْ مُنْكَرٍ فَعَلُوهُ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَفْعَلُونَ تَرَى كَثِيراً مِنْهُمْ يَتَوَلَّوْنَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَبِئْسَ مَا قَدَّمَتْ لَهُمْ أَنْفُسُهُمْ } - إِلَى قوله - { فاسِقُونَ } [ المائدة : 78- 81 ] ثُمَّ قَالَ : (( كَلاَّ، وَاللهِ لَتَأمُرُنَّ بالمَعْرُوفِ ، وَلَتَنْهَوُنَّ عَنِ المُنْكَرِ ، وَلَتَأخُذُنَّ عَلَى يَدِ الظَّالِمِ ، وَلَتَأطِرُنَّهُ عَلَى الحَقِّ أطْراً ، وَلَتَقْصُرُنَّه عَلَى الحَقِّ قَصْراً ، أَوْ لَيَضْرِبَنَّ اللهُ بقُلُوبِ بَعْضِكُمْ عَلَى بَعْضٍ ، ثُمَّ ليَلْعَننكُمْ كَمَا لَعَنَهُمْ ))
‘Sesungguhnya kerusakan pertama yang terjadi pada Bani Isra’il ialah ketika seseorang bertemu kawannya yang sedang berbuat kejahatan lalu ditegur, ‘Ya fulan! Bertakwalah pada Allah dan tinggalkan perbuatan yang tidak halal itu’. Kemudian pada esok harinya mereka bertemu lagi, sedangkan ia masih berbuat maksiat lagi, maka ia tidak mencegah kemaksiatannya. Bahkan ia menjadi teman makan minum dan teman duduknya. Jika demikian keadaan mereka, maka Allah menutup hati masing-masing, sebagaimana firman-Nya, ‘Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Isra’il dengan lisan Daud dan Isa putra Maryam. Yang demikian itu, dikarenakan mereka durhaka dan selalu melampui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan mungkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat. Kamu melihat kebanyakan dari mereka tolong-menolong dengan orang-orang kafir (musyrik). Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka sediakan untuk diri mereka, yaitu kemurkaan Allah kepada mereka, dan mereka akan kekal dalam siksaan. Sekiranya mereka beriman kepada Allah, kepada nabi (Musa) dan kepada apa yang diturunkan kepadanya (Nabi), tentu tidak menjadikan orang-orang musyrikin sebagai pemimpin, tapi kebanyakan dari mereka adalah orang-orang fasik’. ” (Qs. Al Maaidah(5): 78-81).

Kemudian Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah seperti mereka. Demi Allah! kalian harus menyuruh kebaikan dan mencegah kemungkaran, dan menahan kejahatan orang zhalim, dan kalian kembalikan ke jalan yang hak dan kalian batasi dalam hak tersebut. Kalau kalian tidak berbuat demikian, maka Allah akan menutup hati kalian, kemudian melaknat kalian, sebagaimana Allah melaknat mereka.” (HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi, ia berkata, “Hadits ini hasan”) .
Sedangkan lafazh hadits yang diriwayatkan Tirmidzi adalah Rasulullah SAW bersabda,

لَمَّا وَقَعَتْ بَنُو إسْرَائِيلَ في المَعَاصي نَهَتْهُمْ عُلَمَاؤهُمْ فَلَمْ يَنْتَهُوا ، فَجَالَسُوهُمْ في مَجَالِسِهمْ ، وَوَاكَلُوهُمْ وَشَارَبُوهُمْ ، فَضَربَ اللهُ قُلُوبَ بَعضِهِمْ بِبعْضٍ ، وَلَعَنَهُمْ عَلَى لِسانِ دَاوُد وعِيسَى ابنِ مَرْيَمَ ذلِكَ بما عَصَوا وَكَانُوا يَعتَدُونَ )) فَجَلَسَ رَسُول الله - صلى الله عليه وسلم - وكان مُتَّكِئاً ، فَقَالَ : (( لا ، والَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ حَتَّى تَأطِرُوهُمْ عَلَى الحَقِّ أطْراً )) .

Ketika kemaksiatan sudah melanda Bani Isra’il, maka ulama-ulama mereka mencegahnya, tapi mereka tetap melakukannya. Sehingga ulama-ulama mereka ikut serta dalam majelis mereka, dan makan minum bersama, maka Allah menutup hati mereka dan melaknat mereka, dengan lisan Daud dan Isa putra Maryam, karena kemaksiatan mereka yang melampui batas. Ketika itu Rasulullah duduk bersandar, dan bersabda, ”Tidak, demi Allah yang jiwaku ada ditangan-Nya, kalian harus membelokkan mereka dan menghentikannya kepada yang benar”.

Keterangan:
Hadits ini sanadnya dha’if karena ada Abu Ubaidah bin Abduliah bin Mas’ud; ia tidak mendengar sendiri riwayat hadits tersebut, melainkan dari bapaknya, sebagaimana dijelaskan oleh At-Tirmidzi, sehingga hadits ini ke munqati’ (terputus sanadnya). Ibnu Hibban menegaskan bahwa ia (Abu Ubaidah) sama sekali tidak pernah mendengar sesuatupun dari bapaknya”. Hal ini juga diakui oleh Al Hafizh AI Mazzi (di Tahdzib At-Tahdzib), dan Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani.
Lihat Silsilah Al Ahadits Adh-Dhaifah hadits no. 1105; Dhaif Sunan At-Tirmidzi hadits no. 582; Dha’if Sunan Abu Daud hadits no. 932; Dha ‘if Sunan Ibnu Majah hadits no. 867; Al Misykah hadits no. 5148; Bahjatun-Nazhirin hadits no. 196, dan Takhrij Riyadhush-Shalihin hadits no. 196.

35. Bab: Hak Suami Terhadap Istri
5/292. Ummu Salamah RA mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda,


أيُّمَا امْرَأةٍ مَاتَتْ ، وَزَوْجُهَا عَنْهَا رَاضٍ دَخَلَتِ الجَنَّةَ
”Setiap istri yang meninggal dunia dan diridhai oleh suaminya, maka ia masuk surga.” (Riwayat At-Tirmidzi, ia berkata, “hadits ini hasan”).
Keterangan:
Hadits ini Mungkar, karena didalam sanadnya terdapat dua perawi majhul (tidak dikenal), yaitu Musawir Al Himyari dan ibunya (karena Musawir membawa kabar ini dari ibunya). Ibnu Al Jauzi dalam Al Wahiyat (2/141) berkata, “Musawir dan ibunya adalah majhul.” Adz-Dzahabi berkata dalam Al Mizan, “Dalam sanadnya ada perawi yang majhul dan khabar (hadits) itu munkar”.
Meskipun hadits tersebut dha’if tetapi ada hadits lain yang shahih -yang memberikan makna bahwa ketaatan seorang istri akan mengantarkannya ke surga- yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Al Bazzar, Nabi SAW bersabda,
“Jika seorang wanita telah melaksanakan shalat lima waktu, puasa selama satu bulan (Ramadhan), menjaga kehormatannya, dan taat kepada suaminya, maka ia masuk surga dari pintu mana saja yang ia inginkan”. (Hadits riwayat Imam Ahmad dan Al Bazzar; Shahih Al Jami’ hadits no. 660 dan 661).
Lihat Silsilah Al Ahadits Adh-Dhaifah hadits no. 1426. Dha’if Sunan At-Tirmidzi hadits no. 200; Dha’if Sunan Ibnu Majah hadits no. 407; Dha’if Al Jami’ hadits no. 2227; Bahjatun-Nazhirin hadits no. 286; dan Takhrij Riyadhush-Shalihin hadits no. 286.
40. Bab: Berbakti Kepada Kedua Orang Tua dan Silaturrahim
6/337. Salman bin Amir RA dari Nabi SAW, beliau bersabda,
إِذَا أفْطَرَ أحَدُكُمْ ، فَلْيُفْطرْ عَلَى تَمْرٍ ؛ فَإنَّهُ بَرَكةٌ ، فَإنْ لَمْ يَجِدْ تَمْراً ، فالمَاءُ ؛ فَإنَّهُ طَهُورٌ )) ، وَقالَ : (( الصَّدَقَةُ عَلَى المِسكينِ صَدَقةٌ ، وعَلَى ذِي الرَّحِمِ ثِنْتَانِ : صَدَقَةٌ وَصِلَةٌ
”Jika salah seorang kalian berbuka, hendaklah berbuka dengan kurma, karena kurma itu berkah. Kalau tidak ada kurma maka dengan air, karena ia suci”. Beliau bersabda, “Sedekah kepada orang miskin berarti hanya sedekah, sedangkan sedekah kepada kaum kerabat mempunyai (pahala) dua; yaitu sedekah dan hubungan persaudaraan.” (Riwayat At-Tirmidzi, ia berkata, Hadits ini hasan ).
Keterangan:

Lafazh hadits Nabi,
إِذَا أفْطَرَ أحَدُكُمْ ، فَلْيُفْطرْ عَلَى تَمْرٍ ؛ فَإنَّهُ بَرَكةٌ ، فَإنْ لَمْ يَجِدْ تَمْراً ، فالمَاءُ ؛ فَإنَّهُ طَهُورٌ
(Jika Salah seorang kalian berbuka, hendaklah berbuka dengan kurma, karena ‘kurma itu berkah. Kalau tidak ada kurma maka dengan air, karena ia suci) adalah hadits dha’if dari segi sanad dan shahih dilihat dari perbuatan Nabi SAW; yaitu jika berbuka beliau berbuka dengan kurma, dan apabila tidak ada maka dengan air putih. Sebagaimana disebutkan di dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi hadits no. 560, yaitu:
Dari Anas bin Malik, dia berkata bahwa Rasulullah SAW jika berbuka -sebelum melaksanakan shalat- maka beliau berbuka dengan beberapa buah kurma matang. Jika tidak ada, maka dengan beberapa buah kurma kecil kering. Jika tidak ada, maka beliau berbuka dengan meminum air secara sedikit-sedikit.” (HR. At-Tirmidzi)
Lanjutan hadits tersebut yaitu,
الصَّدَقَةُ عَلَى المِسكينِ صَدَقةٌ ، وعَلَى ذِي الرَّحِمِ ثِنْتَانِ : صَدَقَةٌ وَصِلَة
(Sedekah kepada orang miskin berarti hanya sedekah, sedangkan sedekah kepada kaum kerabat mempunyai (pahala) dua; yaitu sedekah dan hubungan persaudaraan) adalah hadits hasan. Matan hadits ini mempunyai syahid pada no. 331.
Lihat Shahih Sunan At-Tirmidzi -dengan ringkasan sanad, nomor 531, dan Shahih Sunan Abu Daud- dengan ringkasan sanad, nomor hadits 2065. Shahih Sunan Ibnu Majah -dengan ringkasan sanad, nomor hadits 1494-, Dha’if Sunan Ibnu Majah, -dengan nomor 374-, dan Irwa ‘ul Ghalil -dengan nomor hadits 922-.

42. Bab: Keutamaan Berlaku Baik TerhadapKawan Kedua Orang Tua, Famili dan Orang Lain yang Layak Dihormati
7/347. Abu Usaid Malik bin Rabiah As-Sa’idi RA berkata,
بَيْنَا نَحْنُ جُلُوسٌ عِنْدَ رَسُول الله - صلى الله عليه وسلم - إذ جَاءهُ رَجُلٌ مِنْ بَنِي سَلَمَةَ ،فَقَالَ : يَا رسولَ اللهِ ، هَلْ بَقِيَ مِنْ برِّ أَبَوَيَّ شَيء أبرُّهُما بِهِ بَعْدَ مَوتِهمَا ؟ فَقَالَ : نَعَمْ ، الصَّلاةُ عَلَيْهِمَا ، والاسْتغْفَارُ لَهُمَا ، وَإنْفَاذُ عَهْدِهِمَا مِنْ بَعْدِهِما ، وَصِلَةُ الرَّحِمِ الَّتي لا تُوصَلُ إلاَّ بِهِمَا ، وَإكرامُ صَدِيقهمَا
“Ketika kami duduk di sisi Rasulullah SAW, tiba-tiba datang seseorang dari Bani Salimah, ia bertanya, ‘Ya Rasulullah, apakah masih ada jalan untuk berbakti kepada kedua orang tuaku sesudah mereka meninggal?’ Nabi bersabda, ‘Ya, dengan jalan mendoakan keduanya, memintakan ampun untuk keduanya, melaksanakan janji (wasiat) keduanya, menjalin silaturrahim yang hanya dapat dilakukan dengan keduanya, dan menghormati teman-teman keduanya”. (HR. Abu Daud)
Keterangan:
Sanad hadits ini dha’if, karena dalam periwayatan hadits ini ada seorang perawi yang bemama Ali bin Ubaid As-Sa’idi, dia adalah orang yang tidak dikenal. Sedangkan perawi lainnya adalah tsiqah (terpercaya).
Lihat dalam kitab Bahjatun-Nazhirin hadits no. 343 oleh Syaikh Salim bin Id Al Hilali; Takhrij Riyadhush-Shalihin hadits no. 343 oleh Syaikh Syuaib Al Arnauth.
44. Bab: Menghormati dan Mengutamakan Para Ulama dan Orang Terkemuka, Serta Memuliakan Mereka
8/360. Maimun bin abi Syabib berkata,
أنَّ عائشة رَضي الله عنها مَرَّ بِهَا سَائِلٌ ، فَأعْطَتْهُ كِسْرَةً ، وَمَرَّ بِهَا رَجُلٌ عَلَيهِ ثِيَابٌ وَهَيْئَةٌ ، فَأقْعَدَتهُ ، فَأكَلَ ، فقِيلَ لَهَا في ذلِكَ ؟ فقَالتْ : قَالَ رَسُول الله - صلى الله عليه وسلم - : (( أنْزِلُوا النَّاسَ مَنَازِلَهُمْ )) رواه أبو داود . لكن قال : ميمون لم يدرك عائشة . وقد ذكره مسلم في أول صحيحه تعليقاً فقال : وذكر عن عائشة رضي الله عنها قالت : أمرنا رسول الله - صلى الله عليه وسلم - أن ننزل الناس منازلهم ، وَذَكَرَهُ الحَاكِمُ أَبُو عبد الله في كتابه (( مَعرِفَة عُلُومِ الحَديث )) وَقالَ : (( هُوَ حديث صحيح )) .
“Seorang peminta lewat di depan Aisyah, maka dia memberinya sepotong roti. Kemudian tidak lama datang seorang peminta yang lebih sopan, dipersilakannya duduk dan diberi makan. Ketika Aisyah ditegur tentang perbedaan dalam memperlakukan kedua peminta tersebut, ia berkata, ‘Rasulullah SAW bersabda, ”’Tempatkanlah masing-masing orang menurut kedudukannya”.’” (HR. Abu Daud, ia berkata, “Maimun tidak bertemu dengan Aisyah RA”).
Muslim menyebutkan di awal kitab Shahih-nya, secara mu’allaq disebutkan dari Aisyah RA bahwa ia berkata, “Rasulullah SAW memerintahkan kami untuk menempatkan setiap orang pada tempatnya”. Al Hakim Abu Abdillah menyebutkan dalam kitab (nya) Ma’rifat Ulum Al Hadits, dia berkata, “Hadits tersebut shahih”.
Keterangan:
Hadits ini sanadnya terputus, yaitu antara Maimunah dengan Aisyah RA. Juga ada seorang perawi yang bemama Habib bin Abu Tsabit, dia seorang mudallis dan meriwayatkan sanad dengan kata “Fulan an fulan. Sedangkan riwayat Muslim di awal kitab Shahih-nya, bahwa syarat perawi yang dipakai Muslim pada hadits tersebut bukan syarat yang ditetapkan pada kitab shahih-nya.. Sedangkan perkataan Al Hakim tidak mempunyai dasar, karena sanad hadits tersebut terputus dan terjadi tadlis di dalamnya.
Lihat Al Misykah hadits no. 4989 Bahjatun-Nadzirin hadits no. 356).
9/363. Anas RA mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda,

مَا أكْرَمَ شَابٌّ شَيْخاً لِسِنِّهِ إلاَّ قَيَّضَ الله لَهُ مَنْ يُكْرِمُهُ عِنْدَ سِنِّه
‘Tidaklah seorang pemuda menghormati orang yang lebih tua karena usianya. Kecuali Allah akan mendatangkan untuknya orang yang menghormatinya ketika dia sudah tua. (Riwayat At-Tirmidzi, ia berkata, “Hadits ini gharib”)
Keterangan:
Hadits ini dha’if dan mempunyai dua cacat. Di dalam sanad hadits ini ada perawi yang bernama Yazid bin Bayan Al Muallim Al Uqaili. Adz-Dzahabi mengatakan (dalam Al Mizan) bahwa Ad-Daruquthni berkata, “Dia (Yazid) adalah perawi yang lemah”. Al Bukhari berkata, “Dalam sanad hadits itu ada perawi yang perlu diteliti. Begitu juga gurunya Abu Rihal; Abu Hatim berkata tentang dia: dia seorang yang tidak kuat (hafalannya) dan munkar Haditsnya.
Lihat Adh-Dhaifah hadits no. 304 dan Bahjatun-Nazhirin hadits no. 359.
45. Bab: Mengunjungi dan Bergaul dengan Orang Shalih dan Mengharap Doa Mereka, serta Mengunjungi Tempat-tempat yang Terpuji
10/378.Umar bin Khaththab RA berkata:

اسْتَأذَنْتُ النَّبيَّ - صلى الله عليه وسلم - في العُمْرَةِ ، فَأذِنَ لِي ، وَقالَ : (( لاَ تَنْسَنا يَا أُخَيَّ مِنْ دُعَائِكَ )) فَقَالَ كَلِمَةً مَا يَسُرُّنِي أنَّ لِي بِهَا الدُّنْيَاوفي رواية : وَقالَ أشْرِكْنَا يَا أُخَيَّ في دُعَائِكَ
حديث صحيح رواه أَبُو داود والترمذي، وَقالَ: حديث حسن صحيح

Aku minta izin kepada Nabi SAW untuk melakukan umrah, dan beliau mengizinkanku. Kemudian Nabi SAW bersabda, ‘Jangan engkau lupakan kami hai saudaraku dalam doamu’.” Umar berkata, “Sungguh, itulah suatu ucapan yang menyenangkan bagiku, daripada aku memiliki dunia ini”.
Dalam riwayat lain: Nabi berpesan, “Sertakanlah (sebutkanlah) kami dalam doa-doamu hai saudaraku”. (An-Nawawi berkata, “Hadits shahih”. Riwayat Abu Daud dan At-Tirmidzi, ia berkata, “Hadits hasan shahih)
Keterangan:
Hadits ini sanadnya dha’if karena ada perawi yang bernama Asim bin Ubaidillah, seorang yang dha’if Jadi Imam An-Nawawi menshahihkan hadits ini seakan-akan ia bertaqlid kepada At-Tirmidzi, dimana hadits itu seakan-akan tidak nampak oleh beliau kedha’ifannya.’
Lihat rincian takhrij hadits ini dalam kitab Al Misykah hadits no. 2248 dan Dha’if Sunan Abu Daud hadits no. 264.
50. Bab: Takut Kepada Allah
11/413. Abu Hurairah RA berkata,
قَالَ : قرأ رَسُول الله - صلى الله عليه وسلم - : { يَوْمَئِذٍ تُحَدِّثُ أَخْبَارَهَا } [ الزلزلة : 4 ] ثُمَّ قَالَ : (( أتَدْرونَ مَا أخْبَارهَا )) ؟ قالوا : الله وَرَسُولُهُ أعْلَمُ . قَالَ : (( فإنَّ أخْبَارَهَا أنْ تَشْهَدَ عَلَى كُلّ عَبْدٍ أَوْ أمَةٍ بما عَمِلَ عَلَى ظَهْرِهَا تَقُولُ : عَملْتَ كَذَا وكَذَا في يَومِ كَذَا وكَذَا فَهذِهِ أخْبَارُهَا )) رواه الترمذي ، وَقالَ : (( حديث حسن صحيح ))
“Ketika RasuluHah SAW membaca (ayat) ‘Pada hari itu bumi menceritakan beritanya’, beliau bersabda, ”Tahukah kalian apakah kabar bumi itu? Sahabat menjawab, ‘Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu’. Nabi SAW bersabda, ”Kabar bumi itu ialah, bumi akan menjadi saksi atas setiap perbuatan manusia, baik laki atau perempuan, sebagaimana yang dikerjakan di atasnya’. Bumi berkata, “Engkau telah berbuat ini dan itupada hari ini dan hari ini”. Itulah kabar beritanya’.” (Riwayat At-Tirmidzi, ia berkata, “Hadits ini hasan”)
Keterangan:
Sanad hadits ini dha ‘if. Karena ada perawi yang bernama Yahya bin Abi Sulaiman Al Madani, orang yang lemah dalam periwayatan haditsnya.
Lihat Adh-Dha’ifah hadits no. 4834 dan Takhrij Riyadhush-Shalihin Syu’aib Al Arnauth, hadits no. 408.
55. Bab: Keutamaan dan Anjuran Zuhud Terhadap Dunia
12/486. Abu Amru (Utsman) bin Affan RA mengatakan bahwa Nabi SAW bersabda,

لَيْسَ لاِبْنِ آدَمَ حَقٌّ في سِوَى هذِهِ الخِصَالِ : بَيْتٌ يَسْكُنُهُ ، وَثَوْبٌ يُوارِي عَوْرَتَهُ ، وَجِلْفُ الخُبز وَالماء )) رواه الترمذي ، وقال : (( حديث صحيح ))
”Tiada hak bagi seorang manusia (anak turun Adam) dalam semua hal kehidupan ini, selain rumah (tempat tinggal), pakaian yang menutup auratnya, roti kering serta air”. (Riwayat At-Tirmidzi, ia berkata, “Hadits ini shahih’).
Keterangan:
Hadits ini dha’if, karena ada perawi yang bernama Harits bin As-Sa’ib, sebagaimana Ibnu Qudamah menyebutkan dalam Al Muntakhab (10/1/2) dari Hambal, dia berkata, “Aku bertanya kepada Abu Abdillah (Al Imam Ahmad) tentang Harits bin As-Salb, maka dia berkata, ‘Tidak ada halangan terhadapnya, melainkan dia meriwayatkan hadits munkar, (dikatakan hadits dari Utsman, dari Nabi SAW, padahal tidak dari Nabi SAW), untuk hadits tersebut’”. Qatadah juga meriwayatkan dan ia menyelisihinya, yaitu ia meriwayatkan dari Al Hasan, dari Hamran, dan dari seorang ahli kitab.
Lihat Adh-Dhaifah hadits no. 1063 dan Bahjatun-Nazhirin hadits no. 482.
13/488. Abdulah bin Mughaffal RA berkata,
قَالَ رجل للنبي - صلى الله عليه وسلم - :يَا رسولَ الله ، وَاللهِ إنِّي لأُحِبُّكَ ، فَقَالَ : (( انْظُرْ مَاذَا تَقُولُ ؟ )) قَالَ : وَاللهِ إنِّي لأُحِبُّكَ ، ثَلاَثَ مَرَّات ، فَقَالَ : (( إنْ كُنْتَ تُحِبُّنِي فَأَعِدَّ لِلْفَقْرِ تِجْفَافاً ، فإنَّ الفَقْرَ أسْرَعُ إِلَى مَنْ يُحِبُّني مِنَ السَّيْلِ إِلَى مُنْتَهَاهُ )) رواه الترمذي ، وقال : (( حديث حسن ))
“Seorang berkata kepada Nabi SAW, ‘Wahai Rasulullah, demi Allah, aku cinta kepadamu’. Nabi menjawab, ‘Perhatikan, apa yang kamu katakan itu” Orang tersebut berkata lagi, ‘Demi Allah, aku cinta kepadamu, ya Rasulullah. Kata-kata tersebut diulanginya sampai tiga kali. Lalu Nabi SAW bersabda, “Jika engkau memang benar-benar cinta kepadaku, maka bersiap-siaplah engkau menghadapi kemiskinan sebagai perisai kehidupan, karena kemiskinan lebih cepat datangnya kepada orang yang cinta kepadaku, melebihi kecepatan banjir yang mengalir ke dalam jurang”.’ (Riwayat At-Tirmidzi, dia berkata, “Hadits hasan gharib”).
Keterangan:
Hadits ini dha’if karena ada dua perawi yang bernama Syidad bin Thalhah Ar-Rasibi dan Abul-Wazi’, mereka berdua dha’if Matan (redaksi) haditsnya mungkar. Banyak riwayat hadits shahih yang menjelaskan dan memuji harta yang halal ketika harta itu berada di tangan orang yang bertakwa kepada Allah SWT. Sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar, Nabi SAW bersabda,
“Tidak dianggap suatu hasad jika seseorang iri dalam dua hal, orang yang diberi pemahaman oleh Allah dalam Al Qur’an, dan ia menegakkannya sepanjang malam dan siang, dan seorang yang diberi harta oleh Allah. Lalu ia bersedekah dengan harta itu sepanjang malam dan siang”. (Riwayat Bukhari dan Muslim).
Lihat Dha’if Sunan At-Tirmidzi hadits no. 409; Bahjatun-Nazhirin hadits no. 484; Takhrij Riyadhush-Shalihin no hadits 484 oleh Syaikh Syu’aib Al Amauth.
56. Bab: Keutamaan Lapar dan Kesederhanaan dalam Hidup, Baik Berupa Makanan, Minuman, Pakaian, Maupun Hal yang Lain
14/524. Asma’ binti Yazid RA berkata
كَانَ كُمُّ قَمِيصِ رسول الله - صلى الله عليه وسلم - إِلَى الرُّصْغِ . رواه أَبو داود والترمذي ، وقال : حديث حسن
“Lengan baju Rasulullah SAW panjangnya sampai pergelangan tangan”. (HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi, ia berkata, “Hadits ini hasan)
Keterangan:
Hadits ini dha’if, karena ada perawi yang bemama Syahar bin Husyaib. Al Hafizh berkata (dalam kitab At-Taqrib), “la orang yang jujur (Shaduq), tetapi banyak meriwayatkan hadits secara mursal(periwayatan yang disandarkan langsung kepada Nabi SAW). la juga banyak meriwayatkan dengan periwayatan yang meragukan”. Aku katakan (Al Albani), “Syahar adalah orang yang lemah riwayatnya dan buruk hafalannya.”
Lihat Adh-Dhai’fah hadits no. 2458 dan Bahjatun no . hadits 519.
65. Bab: Mengingat Kematian dan Mengurangi Angan-angan
15/583. Abu Hurairah RA mengatakan bahwa Rasulullah Saw bersabda,
بادِرُوا بِالأَعْمَالِ سَبْعاً ، هَلْ تَنْتَظِرُونَ إلاَّ فَقراً مُنسياً ، أَوْ غِنىً مُطغِياً ، أَوْ مَرَضاً مُفسِداً ، أَوْ هَرَماً مُفْنداً ، أَوْ مَوتاً مُجْهزاً ، أَوْ الدَّجَّالَ فَشَرُّ غَائِبٍ يُنْتَظَرُ ، أَوْ السَّاعَةَ فالسَّاعَةُ أدهَى وَأَمَرُّ
Segeralah beramal sebelum datangnya tujuh macam keadaan: apakah yang kamu nantikan selain kemiskinan yang dapat melalaikan, atau kekayaan yang dapat membuat orang sombong, atau suatu penyakit yang dapat merusak badan, atau masa tua yang melelahkan, atau datangnya kematian dengan cepat, atau kedatangan dajjal sejahat-jahat yang dinantikan, atau hari kiamat padahal hari kiamat itu sangat pedih dan dahsyat”. (Riwayat At-Tirmidzi, ia berkata, “Hadits hasan”)
Keterangan:
Hadits ini telah dibahas pada hadits nomor 3/94.





SHOLAT ISTIKHOROH SEBAGAI SATU SARANA MENDAPATKAN PETUNJUK TERBAIK

Definisi Solat IstikhorohKata istikhoroh dalarn bahasa Arab yang maknanya adalah الاستخارة iaitu maksudnya mencari yang lebih baik. (Lihat Lisanul Arab 4/259 cet. Dar Ihya at-Turots Th. 1419H, dan al-Mu’jam al-Wasith 1/261)

Manakala yang dimaksudkan Solat Istikhoroh dari sudut istilah syar’i adalah sholat yang dilakukan untuk memilih yang lebih baik dari beberapa hal yang hendak dilakukan atau ditinggalkan. (Asal perkataan ini oleh Muhammad Syamsul Haq al-Adhim al-Abadi dalam Aunul Ma’bud 4/277, dan diringkaskan dari Nailul Author 2/297, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab 3/377, Tuhfatul Ahwadzi 2/482, dan Syarh Riyadhus Sholihin oleh Ibnu Utsaimin 2/215)

Hukum Solat IstikhorohPara ulama bersepakat bahawa solat Istikhoroh hukumnya sunnah dan tidak wajib sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Nawawi, Imam as-Syaukani, al-‘Iraqi dan lainnya. Perkataan bahawa solat Istikhoroh tidak wajib telah dikatakan sendiri oleh Rosulullah dalam hadis-hadis yang sahih, dan oleh kerananya para ulama mengatakan hukum solat Istikhoroh adalah sunnah/tidak wajib, mereka membawakan hadis-hadis yang sahih seperti hadis yang dikeluarkan oleh Imam Bukhari:
Dan Jabir bin Abdullah beliau berkata: “Nabi mengajari kami (solat) istikhoroh dalam segenap perkara sebagaimana beliau mengajari kami surah-surah al-Qur’an”, beliau bersabda: “Apabila di antara kalian berkeinginan/bermaksud terhadap suatu perkara, hendaklah solat sunnah dua rakaat bukan termasuk wajib, kemudian berdoa (Lihat hadis ini);
:دعاء صلاة الاستخارة
عَنْ جَابِرٍ رضي الله عنه قَالَ : كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يُعَلِّمُنَا الاسْتِخَارَةَ فِي الأُمُورِ كُلِّهَا كَمَا يُعَلِّمُنَا السُّورَةَ مِنْ الْقُرْآنِ يَقُولُ : إذَا هَمَّ أَحَدُكُمْ بِالأَمْرِ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ مِنْ غَيْرِ الْفَرِيضَةِ ثُمَّ لِيَقُلْ: (اللَّهُمَّ إنِّي أَسْتَخِيرُكَ بِعِلْمِكَ , وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ , وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ الْعَظِيمِ فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلا أَقْدِرُ , وَتَعْلَمُ وَلا أَعْلَمُ , وَأَنْتَ عَلامُ الْغُيُوبِ , اللَّهُمَّ إنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الأَمْرَ (هنا تسمي حاجتك) خَيْرٌ لِي فِي دِينِي وَمَعَاشِي وَعَاقِبَةِ أَمْرِي (أَوْ قَالَ: عَاجِلِ أَمْرِي وَآجِلِهِ) , فَاقْدُرْهُ لِي وَيَسِّرْهُ لِي ثُمَّ بَارِكْ لِي فِيهِ , اللَّهُمَّ وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الأَمْرَ (هنا تسمي حاجتك) شَرٌّ لِي فِي دِينِي وَمَعَاشِي وَعَاقِبَةِ أَمْرِي (أَوْ قَالَ : عَاجِلِ أَمْرِي وَآجِلِهِ) , فَاصْرِفْهُ عَنِّي وَاصْرِفْنِي عَنْهُ وَاقْدُرْ لِي الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ ثُمَّ ارْضِنِي بِهِ) وَيُسَمِّي حَاجَتَهُ وَفِي رواية ثُمَّ رَضِّنِي بِهِ

((11رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ
(66))

Doanya:

اللَّهُمَّ إنِّي أَسْتَخِيرُكَ بِعِلْمِكَ , وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ , وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ الْعَظِيمِ فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلا أَقْدِرُ , وَتَعْلَمُ وَلا أَعْلَمُ , وَأَنْتَ عَلامُ الْغُيُوبِ , اللَّهُمَّ إنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الأَمْرَ (هنا تسمي حاجتك) خَيْرٌ لِي فِي دِينِي وَمَعَاشِي وَعَاقِبَةِ أَمْرِي, فَاقْدُرْهُ لِي وَيَسِّرْهُ لِي ثُمَّ بَارِكْ لِي فِيهِ , اللَّهُمَّ وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الأَمْرَ (هنا تسمي حاجتك ) شَرٌّ لِي فِي دِينِي وَمَعَاشِي وَعَاقِبَةِ أَمْرِي, فَاصْرِفْهُ عَنِّي وَاصْرِفْنِي عَنْهُ وَاقْدُرْ لِي الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ ثُمَّ ارْضِنِي بِهِ
Atau:
اللَّهُمَّ إنِّي أَسْتَخِيرُكَ بِعِلْمِكَ , وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ , وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ الْعَظِيمِ فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلا أَقْدِرُ , وَتَعْلَمُ وَلا أَعْلَمُ , وَأَنْتَ عَلامُ الْغُيُوبِ , اللَّهُمَّ إنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الأَمْرَ (هنا تسمي حاجتك) خَيْرٌ لِي فِي عَاجِلِ أَمْرِي وَآجِلِهِ , فَاقْدُرْهُ لِي وَيَسِّرْهُ لِي ثُمَّ بَارِكْ لِي فِيهِ , اللَّهُمَّ وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الأَمْرَ (هنا تسمي حاجتك ) شَرٌّ لِي فِي عَاجِلِ أَمْرِي وَآجِلِهِ , فَاصْرِفْهُ عَنِّي وَاصْرِفْنِي عَنْهُ وَاقْدُرْ لِي الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ ثُمَّ ارْضِنِي بِهِ

(Rujukan:
http://saaid.net/bahoth/41.htm)
Transliterasi Doa:
Allaahumma inni astakheeruka bi 'ilmika wa astaqdiruka bi qudratika wa as'aluka min fadlikal ‘adziim, fa innaka taqdiru wa laa aqdir, wa ta'lamu wa laa a'lam, wa anta 'allaamulghuyoob. Allaahumma in kunta ta'lamu anna haadzal-amra [dinyatakan apa yang diminta] khayrulli fi diinii - wa ma’aashii wa ‘aaqibati amri - (atau: 'aajil amri wa aajilihi) faqdurhu li wa yassirhu li tsumma baarik lii fiihi. Allaahumma wa in kunta ta'lamu anna haadzal amro [dinyatakan apa yang diminta] sharrullii fi diini - wa ma'aashi wa 'aaqibati amri - (atau: 'aajili amri wa aajilihi) - fasrifhu 'anni washrifnii ‘anhu - waqdur lilkhayr haytsu kaana tsummaradinii bihi

artinya

"Ya Allah! Sesungguhnya aku memohon pilihan kepadamu dengan pengetahuanmu, aku memohon keputusanmu dengan kekuasaanmu dan aku memohon kepadaMu dengan keutamaamu yang besar. Sesungguhnya engkau berkuasa dan aku tidak berkuasa, Engkau Maha Mengetahui hal-hal yang ghaib. Ya Allah! Apabila Engkau mengetahui bahawa urusan ini [dinyatakan hajatnya] baik bagiku dalam agamaku, penghidupanku dan akhir urusanku (masa dekat dan masa depan urusanku), maka takdirkanlah dan mudahkanlah bagiku kemudian berkatilah aku didalamnya. Apabila Engkau mengetahui bahawa urusan ini buruk bagiku dalam agamaku, penghidupanku dan akhir urusanku, (masa dekat dan masa depan urusanku), maka singkirkanlah ia dariku atau singkirkanlah aku darinya, dan takdirkanlah kebaikan bagiku dimana jua, kemudian jadikanlah aku redha dengannya". (Hadis Riwayat Bukhari,1166)

Bilakah Disunnahkan/Dituntut Melakukan Solat IstikhorohDisyari’atkan/Disunnahkan/Dituntut melakukan solat Istikhoroh apabila seseorang berkehendak melakukan atau meninggalkan suatu perkara baik perkara besar atau kecil, dan dia mendapati keraguan, kesamaran atau ketidaktahuan akibat baik atau buruk baginya di masa yang akan datang, seperti pernikahan, safar (bepergian), hutang-piutang, jual-beli, sewa-menyewa, membuka usaha, atau seumpamanya.Al-Mubarakfuri berkata (Dinukil secara ringkas dari Tuhfatul Ahwadzi oleh al-Mubarakfuri, 2/482): “Perkataan Jabir bin Abdullah: “Rasulullah mengajari kami solat Istikhoroh dalam segenap perkara...” menunjukkan bahawa solat Istikhoroh disyariatkan ketika menghadapi semua perkara, baik kecil atau besar, dan seseorang tidak boleh meremehkan suatu perkara, walaupun menurutnya ia remeh, sehingga meninggalkan syari’at solat Istikhoroh, dan melakukan perkara yang dianggap remeh padahal akibatnya sangat besar baginya baik keuntungan atau kerugian, atau manfaat dan madharatnya.

”Muhammad Syamsul Haq al-Adhim al-Abadi berkata (Dinukil secara ringkas dan Aunul Ma’bud 4/278): “Perkataan Nabi: “Apabila ada di antara kalian berkeinginan/bermaksud...,” menunjukkan bahawa solat Istikhoroh disyariatkan bagi siapa saja yang benar-benar bermaksud melakukan atau meninggalkan apa yang terlintas dibenaknya tetapi dia tidak mengetahui akibatnya, bukan bererti setiap yang terlintas dibenaknya. Apabila setiap yang terlintas dibenaknya harus solat Istikhoroh, maka setiap waktu seseorang harus solat Istikhoroh sehingga waktunya habis hanya untuk solat Istikhoroh, akhimya ibadah yang lain ditinggalkan, dan kegiatan lain yang bermanfa’at pun terabaikan lantaran setiap orang selalu terlintas dibenaknya berbagai masalah setiap saat.”Solat Istikhoroh hanya dilakukan apabila seseorang ragu atau tidak tahu akibat dan perkara yang akan dilakukan atau ditinggalkan, adapun perkara yang sudah diketahui akibat baiknya atau akibat buruknya, maka tidak disyari’atkan untuk solat Istikhoroh, lantaran maksud dari istikhoroh adalah mencari yang lebih baik dari suatu perkara. (Lihat Syarh Riyadhus Sholihin oleh Ibnu Utsaimin 2/511-512)

As-Sayyid Sabiq berkata: “Istikhoroh hanya disyariatkan pada masalah yang asal hukumnya mubah, adapun perkara yang wajib atau sunnah, maka sudah diketahui bahwa hal itu berakibat baik, diperintahkan untuk dilaksanakan dan berpahala. Demikian juga perkara yang haram dan makruh, maka hal itu sudah diketahui bahwa akibatnya buruk dan diperintahkan untuk meninggalkannya, serta diancam dengan adzab Allah. Dan sini kita mengetahui bahwa tidak disyari’atkan sholat Istikhoroh dalam perkara wajib, sunnah, haram dan makruh, karena semua itu telah jelas akibat baik dan buruknya”. (Dinukil secara bebas dari Fiqh as-Sunnah 1/199, demikian juga dikatakan oleh Salim bin ‘Ied al-Hilali dalam Bahjah an-Nadhirin Syarh Riyadh as-Sholihin, 2/43)

Solat Istikhoroh boleh dilakukan untuk perkara wajib atau sunnah, tetapi bukan dilakukan untuk mencari akibat baik atau buruk dan perkara yang wajib atau sunnah tersebut (lantaran akibat dan perbuatan wajib dan sunnah sudah jelas baik, dan berpahala), hanya saja dilakukan seperti untuk menentukan waktu terbaik pelaksanaan perkara wajib, atau ingin mendahulukan yang terbaik dari beberapa perkara sunnah yang hendak ia lakukan.Suatu contoh, seseorang yang mempunyai tanggungan puasa Ramadhan, maka ia tidak perlu beristikhoroh untuk menentukan apakah qadha’ puasa baginya baik atau buruk, kerana sudah jelas hukum mengqadha’ puasa Ramadhan adalah wajib dan berpahala, tetapi ia dapat beristikhoroh apabila ragu menentukan hari untuk mengqadha’ puasanya.Contoh lain, seseorang penuntut ilmu yang dihadapkan pada dua pilihan misalnya, antara mengambil kursus kejuruteraan komputer dan kursus kejuruteraan kimia, maka ia tidak perlu beristikhoroh tentang baik atau buruknya kedua ilmu tersebut kerana jelas semuanya berakibat baik dan berpahala, akan tetapi ia dapat beristikhoroh bagi memilih yang manakah terbaik di antara keduanya untuk masa depannya dan kelancaran pembelajarannya.Antara Istikhoroh Dan MusyawarahIstikhoroh adalah perkara yang disyariatkan sebagaimana musyawarah juga disyariatkan, sebagaimana firman-Nya;


فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الأمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
Maafkanlah mereka, mohonkan ampunan bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam segenap perkara. Apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah.” (QS. Ali Imran 3: 159)

Syaikh ibnu Utsaimin berkata:Istikhoroh (meminta yang terbaik) itu kepada Allah, sedangkan musyawarah itu meminta pendapat kepada orang-orang yang soleh atau kepada mereka yang berilmu dalam urusan yang dihadapi. Oleh kerana itu disyaratkan bagi orang yang hendak bermusyawarah untuk memilih orang yang mempunyai dua kriteria, iaitu;

Pertama, dia adalah seorang yang bijak (mampu membantu dan memberi pendapat yang baik). Hal ini lantaran seorang yang bermusyawarah memerlukan pandangan yang baik dan paling sesuai/benar untuk kemaslahatan (kebaikan) dirinya samaada di dunia atau di akhirat.

Kedua, dia adalah seorang yang soleh (menjaga agamanya). Lantaran orang yang tidak soleh adalah orang yang tidak menjaga agamanya dan biasanya tidak menjaga amanah dan rahsia orang lain walaupun orang tersebut bijaksana (memiliki pendapat yang bernas).

Apabila setelah melaksanakan solat dan doa istikhoroh tetapi tidak tampak mana yang lebih baik, maka dianjurkan bermusyawarah dengan orang yang soleh dan bijaksana. Kemudian apa yang disarankan kepadanya insya-Allah itulah yang lebih baik baginya, kerana suatu saat Allah tidak menampakkan kepada seseorang suatu kebaikan dan tidak menjadikan hati seseorang condong/cenderung kepada suatu perkara hanya dengan istikhoroh, tetapi Allah menjadikan hatinya condong kepada salah satu hal yang diragukan setelah bermusyawarah.”

Cara Solat IstikhorohSolat Istikhoroh dilakukan seperti solat sunnah yang lain iaitu sebanyak dua rakaat, sama ada siang atau malam hari (selama sedang memerlukan petunjuk), dalam setiap rakaatnya membaca al-Fatihah dan surah apa saja yang sudah dihafal, lalu mengangkat tangan sambil berdoa dengan doa istikhoroh yang diajarkan oleh Nabi seperti yang telah disebutkan/dibentangkan di atas (dalam hadis Bukhori dari jalan Jabir Bin Abdulloh).
(Asal perkataan ini oleh Ibnu Baz dalam Majmu’ Fatawa wa Maqolat Mutanawwi’ah, 11/421)Adakah Dalam Solat Istikhoroh Ada Bacaan Khusus/Tertentu?Imam Nawawi mengatakan: “Disunnahkan pada raka’at pertama setelah al-Fatihah membaca surat al-Kafirun dan raka’at ke dua setelah al-Fatihah membaca surat al-Ikhlash” (al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab 2/377), hal ini didasari oleh maksud orang yang beristikhoroh supaya mengikhlaskan niatnya hanya kepada Allah, sehingga yang patut dibaca adalah dua surat tersebut.Sedangkan al-Hafiz al-’Iraqi mengatakan (Perkataan ini dinukil dari Tuhfatul Ahwadzi 2/484): “Aku tidak menjumpai satu hadis pun tentang penentuan bacaan surah-surah khusus dalam solat Istikhoroh.”Dan keterangan di atas jelaslah bahwasanya pendapat yang lebih kuat adalah tidak adanya ketentuan surah-surah yang dibaca ketika solat Istikhoroh, lantaran tidak ada keterangan dari Rasulullah akan hal itu, dan mereka yang mensunnahkan surah-surah tertentu tidak mendatangkan dalil al-Qur’an dan Sunnah, sehingga kita katakan disunnahkan setelah membaca al-Fatihah di masing-masing raka’at untuk membaca surah apa saja dari al-Qur’an yang telah dihafal.Berkata Ibnu Bazz (Majmu’ Fatawa wa Maqolat Mutanawzvi’ah 11/421): “Hendaknya (orang yang solat Istikhoroh) membaca al-Fatihah di setiap raka’at dan membaca surah apa saja yang mudah.”Bilakah Doa Istikhoroh Dibacakan?Doa Istikhoroh boleh dibaca samaada sebelum salam atau selepas salam selepas solat dua roka’at. (Sebagaimana fatwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawanya 12/105)

a. Sebelum salamAdapun dibolehkan membaca do’a istikhoroh sebelum salam ini berdasarkan:

1. Kebanyakan doa Nabi dalam sholat dilakukan sebelum salam (setelah tasyahud akhir), seperti yang dijelaskan oleh Abu Hurairoh, beliau berkata: “Nabi bersabda: Apabila kalian selesai dari tasyahud yang terakhir, hendaklah berdo’a meminta perlindungan kepada Allah dari empat perkara, iaitu mengucapkan (maksudnya);Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari azab neraka Jahannam, dan azab kubur, dari fitnah kehidupan dan kematian, dan dari fitnah al-Masih ad-Dajjal. (Hadis Riwayat Bukhari 1377, dan Muslim 588)

2. Demikian juga Rasulullah mengajari Abu Bakar tatkala beliau minta diajarkan do’a yang boleh dibaca dalam solatnya, lalu Nabi memerintahkan beliau untuk membaca (maksudnya);Ya Allah sesungguhnya aku telah menzalimi diriku dengan kezaliman yang banyak, tidak ada yang mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau, maka ampunilah aku dengan ampunan dari-Mu, dan rahmatilah aku, sesungguhnya Engkaulah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Hadis Riwayat Bukhari 834 dan Muslim 3/7/27)3.

Dalam Hadis Jabir bin Abdullah, Rasulullah tidak menentukan tempat dibacanya doa istikharah apakah harus dibaca sebelum salam atau setelah salam.b. Sesudah salamSedangkan dibolehkan doa Istikhoroh dibaca sesudah salam berdasarkan zahir hadis yang menunjukkan doa tersebut dibaca sesudah salam, sebagaimana Nabi bersabda (yang artinya): “Apabila di antara kalian berkeinginan/bermaksud terhadap suatu perkara, hendaklah solat sunnah dua rakaat bukan termasuk wajib, kemudian berdo’a...”Berkata Ibnu Baz: “Sholat Istikhoroh hukumnya sunnah, dan do’a istikhoroh tempatnya setelah salam sebagaimana (zahir) hadis yang telah datang dari Rasulullah” (Majmu’ Fatawa wa Maqolat Mutanawwi’ah 11/421422). (Demikian juga difatwakan oleh Lajnah Da’imah dalam Fatwa no. 10666)Apa Yang Dilakukan Setelah Solat Istikhoroh Dan Bermusyawarah?Imam Nawawi r.h. berkata (Perkataan Imam Nawawi (dinukil secara bebas) ini dinukil oleh Imam Syaukani dalam Nailul Author 2/298): “Setelah seseorang melakukan solat Istikhoroh, sebaiknya dia menjalani apa yang dia rasakan lapang dadanya terhadap perkara tersebut baik meneruskan maksudnya atau meninggalkannya.”Kemudian beliau melanjutkan perkataannya:“Bagi orang yang hendak beristikhoroh hendaklah ia menghilangkan kecondongan hatinya terhadap suatu perkara sebelum melakukan solat dan doa Istikhoroh, dan tidak selayaknya bersandar kepada adanya kecondongan hati sebelum istikhoroh, kerana apabila ada kecondongan hati sebelum istikhoroh, lalu dia melakukan istikhoroh, bererti dia tidak beristikhoroh, kerana istikhoroh dilakukan ketika bimbang dan meminta dipilihkan yang terbaik dari Allah untuknya.

”Boleh Mengulang Solat Istikhoroh Dalam Satu PerkaraIbnu Utsaimin berkata (Dinukil secara bebas dari Syarh Riyadhus Sholihin oleh Ibnu Utsaimin 2/515): “Setelah melakukan solat dan do’a istikhoroh, apabila merasa lapang dadanya terhadap suatu perkara baik meneruskan atau meninggalkan, maka inilah yang diharapkan, tetapi apabila tetap bimbang dan tidak merasa lapang dadanya, maka dia boleh mengulangi solat dan doa Istikhorohnya ke dua kali, ke tiga kalinya, dan seterusnya, hal ini lantaran orang yang beristikhoroh adalah orang yang meminta petunjuk kepada Allah akan kebaikan yang akan dia lakukan sehingga apabila tidak jelas baginya kebaikannya atau tetap ragu maka dia boleh beristikhoroh berulang kali.”

Adakah Tanda-Tanda Dikabulkannya Permintaan?Sebahagian orang berkata: “Setelah melakukan solat dan doa Istikhoroh, maka akan datang petunjuk dalam mimpinya, maka diambil pilihan sebagaimana mimpinya,” oleh kerana itu ada sebagian orang berwudhu’, lalu melakukan solat dan doa istikhoroh, kemudian terus tidur (mengharap petunjuk datang melalui mimpi), bahkan sebahagian mereka menyengaja memakai pakaian berwarna putih (supaya bermimpi baik), semua ini hanyalah prasangka manusia (yang tidak ada dasarnya). (Lihat Bahjah an-Nadzirin Syarh Riyadhus Sholihin oleh Syaikh Salim bin led al-Hilali 2/44)Kesimpulan

1. Rasa bimbang, ragu, dan ketidak-tahuan baik dan buruknya suatu perkara adalah hal yang wajar, kerana semua itu termasuk tabiat dan keterbatasan manusia.

2. Solat Istikhoroh adalab solat yang dilakukan untuk minta petunjuk kepada Allah kebaikan perkara yang sedang dihadapi.

3. Para ulama bersepakat (ijma’) bahawa solat Istikhoroh hukumnya sunnah.

4. Solat Istikhoroh disunnahkan bagi segenap perkara baik besar atau kecil, selama seseorang bimbang atau ragu ataupun tidak mengetahui maslahatnya di masa akan datang/terkemudian.

5. Apabila sudah terdapat kecondongan hati atau mengetahui tentang baiknya perkara (dari awal lagi), maka tidak disunnahkan beristikhoroh, ini kerana solat Istikhoroh itu dilakukan adalah bagi tujuan meminta petunjuk, dan Allah memerintahkan hambanya yang telah melaksanakannya supya bertawakal kepada Allah.

6. Istikhoroh disunnahkan dalam perkara-perkara yang asalnya mubah, adapun perkara wajib dan sunnah, maka tidak disunnahkan istikhoroh, ini kerana kebaikannya sudah jelas adanya, sebagaimana perkara haram dan makruh tidak disunnahkan istikhoroh kerana keburukannya sudah jelas adanya.

7. Tidak terdapat dalil yang sah tentang pengkhususan bacaan surah-surah al-Qur’an dalam solat Istikhoroh.

8. Doa Istikhoroh boleh dibaca dalam solat (sebelum salam) atau di luar solat (sesudah salam)9. Dibolehkan mengulangi solat Istikhoroh dalam satu perkara apabila diperlukan.

10. Ketenangan hati dan kelapangan dada kepada suatu perkara setelah melakukan solat istikhoroh adalah tanda petunjuk dari Allah, dan tidak terdapat dalil yang sah tentang keharusan melihat mimpi setelah beristikhoroh.

Demikianlah yang dapat dibentangkan dari beberapa penjelasan/keterangan para ulama tentang solat Istikhoroh, mudah-mudahan kita mendapat petunjuk dari Allah sehingga kita dapat melangkah sesuai dengan apa yang digariskan oleh Allah dan Rasul-Nya dan mendapatkan yang terbaik dan sisi-Nya dengan jalan taat dan istiqomah di atas landasan-Nya, amiin.






10 CARA KAUM KAFIR MENENTANG ROSULULLAH

Tidak tersamar atas kita, bahwa permusuhan kaum kuffar kepada Islam dan Rasulullah benar-benar sangat nyata. Mereka melakukan berbagai cara dan metodologi di dalam melakukan penentangan, penolakan dan tasykik (menyebarkan keragu-raguan) terhadap Islam. Diantara mereka di zaman ini yang sangat tampak melakukan penentangan ini adalah kaum atheis dan kafir yang berhimpun di bawah slogan ‘Freefaith’. Mereka memiliki situs-situs yang mencela dan menghujat Islam dan Nabi kaum muslimin. Metodologi mereka tidak berbeda dengan metodologi kaum kuffar musyrikin terdahulu. Termasuk juga dalam hal ini kaum Neo-Con -semoga Alloh tidak memperbanyak jumlah mereka dan menghinakan mereka-.

Berikut ini adalah 10 metodologi kaum kuffar untuk menentang Rasulullah dan Islam, sebagaimana dijelaskan oleh Fadhilatusy Syaikh Mahdi Rizqullah Ahmad dalam buku beliau yang sangat anggun, As-Sirah An-Nabawiyah fii Dhau’il Mashadir Al-Ashliyah, Dirasah Tahliliyah. (Riyadh: Markaz Malik Faishal lilbuhuts , 1992, hal. 165-190.)

Setelah Allah memerintahkan kepada Rasul-Nya untuk melakukan dakwah jahriyah (terang-terangan) lewat firman-Nya,” Maka sampaikanlah olehmu segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik. (QS. 15:94), maka Rasulullah melakukan dakwah secara terang-terangan. Hal ini membuat kuffar Qurays membuat strategi baru untuk menghadang bahkan melumpuhkan dakwah Rasulullah. Diantara strategi dan metodologi mereka adalah sebagai berikut:

Pertama, Mempengaruhi paman Rasulullah Abu Thalib untuk menyuruh keponakannya berhenti dakwah. Namun Abu Thalib menolaknya dengan cara yang halus (Ibnu Hisyam, I/ 328). Demikian pula kaum kuffar sekarang, mereka mempengaruhi para pemimpin dan pelindung kaum muslimin untuk meninggalkan Islam atau minimal tidak melakukan pembelaan terhadap Islam

Kedua, Mengancam Abu Thalib dengan tidak akan menjadikannya pemimpin, apabila beliau tidak mampu menghalangi keponakannya. Ketika itu disampaikan kepada Rasulullah, beliau menjawab; “Wahai pamanku! Demi Allah, sekiranya mereka menaruh matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku agar aku meninggalkan dakwah ini, tidak akan aku lakukan sampai Allah memenangkan agama-Nya atau aku terbunuh karenanya” (Ibnu Hisam, I/ 329- dengan sanad yang dhaif dari sisi ilmu hadits).

Kaum kuffar pun melakukan hal yang sama. Mereka mengancam penguasa kaum muslimin supaya menghentikan dakwah atau minimal meminimalisir peran dakwah. Mereka ancam mereka dengan berbagai bentuk ancaman, mulai dari boikot, kudeta, dan lain sebagainya.

Ketiga, Melancarkan tuduhan keji kepada Rasulullah, diantaranya seperti menuduhnya dengan gila, Allah berfirman,” Mereka berkata:”Hai orang yang diturunkan al-Qur’an kepadanya, sesungguhnya kamu benar-benar orang yang gila. (QS. 15:6). Atau tukang sihir sebagaimana firman Allah ,” Dan mereka heran karena mereka kedatangan seorang pemberi peringatan (rasul) dari kalangan mereka; dan orang-orang kafir berkata :”ini adalah seorang ahli sihir yang banyak berdusta”. (QS. 38:4). Atau pendusta, Allah berfirman,” Dan orang-orang kafir berkata:”al-Qur’an ini tidak lain hanyalah kebohongan yang diada-adakan oleh Muhammad, dan dia dibantu oleh kaum yang lain; maka sesungguhnya mereka telah berbuat suatu kezaliman dan dusta yang besar. (QS. 25:4). Atau contekan dari agama sebelumnya, Allah berfirman,” Dan mereka berkata:”Dongengan-dongengan orang-orang dahulu, dimintanya supaya dituliskan, maka dibacakanlah dongengan itu kepadanya setiap pagi dan petang”. (QS. 25:5). Atau menuduh pengikut Rasulullah orang yang sesat, Allah berfirman, ”Dan apabila mereka melihat orang-orang mukmin, mereka mengatakan, “Sesungguhnya mereka itu benar-benar orang-orang yang sesat,” (QS. 83:32).

Demikian pula kaum kuffar di zaman ini, mereka menuduh kaum muslimin dengan tuduhan keji, mulai dari teroris, radikalis, fundamentalis dan selainnya.

Keempat, Meneror pengikut Rasulullah dengan sukhriyah (hinaan), istikhza’ (makian), gamadz (cibiran), al-dahk (tertawa) dan bentuk-bentuk penghinaan lainnya. Sesungguhnya orang-orang yang berdosa adalah mereka yang dahulunya (di dunia) menertawakan orang-orang yang beriman. Apabila orang-orang beriman berlalu di hadapan mereka, mereka saling mengedip-ngedipkan matanya. (QS. 83:29-30). Diantara tokoh pengejek yang terkenal adalah al-Aswad bin Abdul Muttalib, Walid bin Mugirah, al-Ash bin Wa’il dan lainnya.

Di zaman ini keadaan pun tidak jauh berbeda. Kaum kuffar, zindiq dan munafiq melakukan hal yang sama. Mereka menuduh kaum muslimin dengan tuduhan keji dan mencibir mereka.

Kelima, Tasywisy (membuat keributan dan keonaran) terutama ketika sahabat mendengar bacaan al-Qur’an, Allah berfirman, ”Dan orang-orang yang kafir berkata:”Janganlah kamu mendengar dengan sungguh-sungguh akan al-Qur’an ini dan buatlah hiruk-pikuk terhadapnya, supaya kamu dapat mengalahkan (mereka). (QS. 41:26).

Mereka -kaum kuffar- di zaman ini pun juga suka membuat tasywisy, dengan segala media dan sarana yang ada, baik itu media cetak maupun elektronik, yang nota bene merekalah yang dominan di dalam mengatur semua media dan sarana-sarana ini.

Keenam, Menantang Rasulullah untuk melakukan mu’jizat di luar batas kemanusiaan, sebagaimana firman Allah, ”Dan mereka berkata:”Kami sekali-kali tidak percaya kepadamu hingga kamu memancarkan mata air dari bumi untuk kami. Atau kamu mempunyai sebuah kebun korma dan anggur, lalu kamu alirkan sungai-sungai di celah kebun yang deras alirannya, atau kamu jatuhkan langit berkeping-keping atas kami, sebagaimana kamu katakan atau kamu datangkan Allah dan malaikat-malaikat berhadapan muka dengan kami. Atau kamu mempunyai sebuah rumah dari emas, atau kamu naik ke langit. Dan kami sekali-kali tidak akan mempercayai kenaikanmu itu hingga kamu turunkan atas kami sebuah kitab yang kami baca“. Katakanlah:”Maha suci Rabbku, bukankah aku ini hanya seorang manusia yang menjadi rasul”. Dan tidak ada sesuatu yang menghalangi manusia untuk beriman tatkala datang petunjuk kepadanya, kecuali perkataan mereka:”Adakah Allah mengutus seorang manusia menjadi rasul” (QS. 17:90-94).

Ketujuh, Al-Musaawamaat (Kompromi) dengan sama-sama meninggalkan agama masing-masing, atau saling menyembah agama atau tuhan, sehingga Allah menurunkan surat al-Kafirun. Mereka juga pernah menyerahkan Imarah bin al-Walid bin Mugirah kepada Abu Thalib supaya ia menyerahkan Rasulullah kepada mereka untuk dibunuh. Tetapi hal itu ditolak mentah-mentah oleh Abu Thalib.

Kedelapan, Mencela al-Qur’an dan kedudukannya, Allah berfirman, ”dan jangan kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu”. (QS. 17:110). Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas berkata: “Sebab turun ayat ini adalah apabila Rasulullah shalat beliau membaca ayat dengan suara keras. Ketika itu didengar oleh orang musyrikin mereka menghina dan mencaci al-Qur’an maka diperintahkan untuk merendahkan suaranya”.

Kesembilan, Targhib (iming-iming) dan tarhib (ancaman). Salah satu bentuk iming-iming itu adalah apa yang dilakukan oleh Utbah bin Rabi’ah ketika mendatangi Rasulullah dan berkata; “Wahai anak pamanku, kalau kamu menginginkan harta kami akan mengumpulkannya untukmu sehingga kamu menjadi orang yang terkaya diantara kami, kalau kamu menginginkan jabatan akan saya jadikan pemimpin di antara kami, dan jika yang menimpamu itu penyakit yang tidak bisa kamu obati akan saya datangkan seorang dokter yang ahli untukmu sampai kamu sembuh.” Setelah Utbah selesai bicara Rasulullah membacakan ayat, ”Jika mereka berpaling maka katakanlah: “Aku telah memperingatkan kamu dengan petir, seperti petir yang menimpa kaum ‘Aad dan kaum Tsamud”. (QS. 41:13). Adapun ancamannya seperti yang dilakukan oleh Abu Jahl dengan mendatangi orang-orang yang beriman. Kalau dia seorang pedagang, dia katakan bahwa dengan Islammu kamu akan bangkrut dan lainnya (Ibnu Hisyam, I/ 395).

Kesepuluh, Penyiksaan badan, seperti yang dilakukan oleh Uqbah bin Abi Mu’aith yang menaruh selendangnya di leher Rasulullah yang sedang shalat dan menariknya dengan keras kemudian dilarang oleh Abu Bakar (HR.Bukhari dari Abdullah bin Umar). Abu Jahal juga menyuruh orang untuk menaruh ari-ari onta yang baru melahirkan di pundak Rasulullah yang sedang shalat (HR.Bukhari Muslim dari Ibnu Mas’ud). Begitu juga yang dialami oleh sahabat seperti penyiksaan keluarga Yasir oleh Bani Makhzum, Bilal bin Rabah oleh Umayyah bin Khalaf, Khabbab bin al-Arts oleh Bani Dzahrah dan lainnya.

Begitulah cara-cara musuh Allah dalam memusuhi kekasih Allah yang mendakwahkan agama Allah. Dan hal ini akan senantiasa terjadi atas orang yang meniti jalan dakwah ini hingga saat ini, bahkan hingga menjelang hari kiamat kelak. Apakah kita sudah siap untuk menghadapi dan menjalaninya? Semoga Allah memberikan kita keteguhan dan keistiqamahan, Amin!.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar