Powered By Blogger

Sabtu, 11 Desember 2010

RENUNGAN

[chapel-oak-of-allouville-bellefosse.jpg]

SEJARAH AWAL KRISTEN SELAYANG PANDANG

Penganut Trinitas meyakini bahwa seorang perawan menjadi ibu seorang anak yang merupakan penciptanya
.[1]Membuktikan eksistensi seorang Yesus historis (historical Jesus) hampir tidak mungkin; ada beberapa teolog Kristen sekarang yang percaya kepada seorang Yesus berdasarkan iman kepada seorang tokoh yang hidup secara aktual dalam sejarah.
[2] Jadi, saya akan mulai pasal ini dengan pertanyaan, apakah Yesus pernah ada? Dan jika ya, bukti apakah yang kita miliki dari sumber-sumber non-Kristen (kriteria "revisionis" yang sama dibuat oleh sarjana-sarjana Yudeo-Kristen melawan Islam)? Apa kata sebagian orang Kristen mengenai Yesus? Hal ini akan banyak memberikan penerangan tentang betapa sedikitnya yang diketahui tentangnya dan tentang ketidak jelasan yang menyelimuti kalangan-kalangan Kristen awal. Juga, apakah risalah dia yang sebenarnya? Apakah risalah ini telah hilang pada tahap-tahap awalnya dan tak bisa dikembalikan lagi ataukah masih terpelihara utuh di dalam sebuah buku yang terinspirasikan? Ini adalah sebagian dari pertanyaan-pertanyaan dan topik-topik yang ingin saya garap dalam pasal ini.
1. Apakah Yesus Pemah Ada?
Isu mendasar pertama yang mesti dimunculkan adalah apakah Yesus benar-benar merupakan sebuah figur hidup yang nyata. Orang-orang Islam tanpa ragu-ragu beriman kepada eksistensi Yesus, kelahirannya dari Perawan Suci Maryam dan perannya sebagai salah seorang dari nabi-nabi mulia yang diutus kepada orang-orang Yahudi. Beberapa sarjana Kristen justru lebih banyak ragu tentang historisitas Yesus
Selama tiga puluh tahun yang lalu para teolog semakin kuat mengakui bahwa tidak mungkin lagi menulis sebuah biografi Yesus, sebab dokumen-dokumen yang lebih awal dari kitab-kitab Injil hampir tidak menerangkan sama sekali tentang kehidupannya, sementara itu kitab-kitab Injil hanya menyuguhkan 'Kerygma' atau proklamasi keimanan, dan tidak sejarah Yesus.[3]
Referensi-Referensi tentang Yesus dalam Buku-Buku Non-Kristen dari Abad PertamaTulisan-tulisan sejarawan Yahudi Josephus (± 100 M.), yang meliputi masa sampai dengan tahun 70 M., memang benar-benar memuat dua bagian mengenai Yesus Kristus. Bagian yang lebih panjang dari keduanya sangat jelas merupakan interpolasi atau penambahan Kristen, karena merupakan "sebuah deskripsi yang menyala-nyala yang tak mungkin ditulis oleh seorang Yahudi ortodoks."[4] Sedangkan bagian yang kedua telah diteliti oleh Schuror, Zahn, von Dobschutz, Juster, dan beberapa sarjana yang lain, dan mereka menganggap kata-kata "saudara laki-laki Yesus, yang disebut Kristus" sebagai sebuah interpolasi lebih lanjut.[5] Satu-satunya referensi pagan yang masih disebut secara umum adalah statemen Tacitus,
bahwa orang-orang Kristen `mengambil nama dan asal mereka dari Kristus (Christ), yang pada masa pemerintahan Tiberius, telah meninggal dunia karena hukuman yang dijatuhkan oleh prokurator Pontius Pilate.' Tacitus menulis ini sekitar tahun 120 M., dan sejak itu orang-orang Kristen sendiri menjadi percaya bahwa Yesus telah mati dengan cara seperti ini. Saya berusaha menunjukkan... bahwa di sana terdapat alasan-alasan yang bagus untuk menduga bahwa Tacitus hanyalah mengulang apa yang waktu itu merupakan pandangan Kristen, dan bahwa dia oleh karena itu bukanlah seorang saksi yang netral.[6]
Kristus Historis di Lingkungan Kristen
Jadi, kita saksikan bahwa membuktikan Yesus sebagai seorang figur historis menggunakan sumber-sumber utama adalah mustahil. Berasumsi bahwa dia benar-benar telah berjalan di bumi, dan merupakan sebuah figur sentral dalam Ketuhanan, maka agaknya natural belaka bahwa komunitas Kristen harus memelihara segala informasi berkenaan dengannya. Seperti layaknya seorang figur sport masa kini atau bintang film internasional, segala tetek-bengek Yang berhubungan dengannya mesti dikoleksi, dipelihara, dicermati, dan disimpan Akan tetapi, realitasnya sangat berlawanan.Kehidupan Yesus: Sumber-Sumber SekunderPengaruh Yesus Kristus pada peradaban Barat tidak dapat dikalkulasi, dan dengan begitu mengumpulkan material-material tentang kehidupannya dan ajaran-ajarannya bukanlah permasalahan yang esensial sekali bagi sarjana modern. Akan tetapi pekerjaan ini diliputi dengan banyak kesulitan. Material sumbernya hanya terbatas pada Perjanjian Baru (PB), dan lebih spesifik lagi pada empat Injil. Karena utamanya ditulis untuk mengonversi orang-orang kafir (menjadi Kristen) dan memperteguh orang beriman, Injil-injil ini gagal memberikan banyak hal tentang informasi historis yang krusial yang dibutuhkan para penulis biografi. Dengan demikian, karya-karya itu terbuka untuk berbagai interpretasi, dan para interpreter (penafsir) sering melakukan kesalahan melihat teks melalui filter keyakinan masing-masing mengenai Yesus, menemukan di dalam teks persis seperti apa yang semula ingin mereka temukan.[7]Sumber-sumber kanonikal ini, empat Injil dan kitab-kitab Perjanjian Baru (PB) yang lain, sangat tidak lengkap dan tidak memungkinkan kompilasi objektif tentang sebuah biografi yang utuh. Pada kenyataannya, kehidupan Yesus hanya dianggap relevan sepanjang mendukung dogma Kristen; dengan hanya segenggam dari beberapa bagian Injil yang ditekankan dalam konggregasi (sebagaimana yang diamati Maurice Bucaille),[8] tertarik tentang historis Yesus paling sekadar tambahan.Herman Reimarus, Profesor Bahasa-bahasa Timur di Hamburg pada masa 1700-an, merupakan orang pertama yang berusaha merekonstruksi kehidupan historis Yesus.[9] Sebelum Reimarus, "Satu-satunya biografi Yesus... yang penting bagi kita disusun oleh seorang Yesuit dalam bahasa Persi."[10] Biografi ini ditulis pada paruh kedua tahun 1500 dan didesain secara spesifik untuk kebutuhan Akbar, Emperor Moghul. Biografi ini adalah,
sebuah pemalsuan cerdik mengenai kehidupan Yesus di mana penghapusan-penghapusan dan penambahan-penambahan yang diambil dari Apocrypha, diilhami oleh tujuan satu-satunya, yaitu menyuguhkan kebesaran Yesus kepada seorang penguasa yang open-minded, yang mana tidak boleh ada sesuatu apa pun yang melukai perasaannya.[11]Kondisi karya yang meragukan ini tidak menghalanginya untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Latin satu abad berikutnya oleh seorang teolog Gereja Pembaruan yang ingin mendiskreditkan Katolik.[12] Oleh karena itu, usaha pertama pada biografi, ditulis enam belas abad penuh setelah kehidupan aktual Yesus yang menapaki lorong-lorong berliku-liku Yerusalem, adalah tidak lebih dari sebuah teks misionaris yang secara historis invalid yang telah menjadi bidak lain dalam perang doktrinal antara Katolik dan Protestan. Bahkan sarjana-sarjana berikutnya telah gagal menyusun sebuah biografi yang viable. Tampaknya setelah hilangnya lnjil yang asli,[13] dalam masa dua ribu tahun ini tidak ada satu pun usaha yang berhasil mengompilasi sebuah gambaran ringkas historis tentang Yesus. Robert Funk menjelaskan masalah ini sebagai berikut:
Sejauh yang bisa saya temukan, tak seorang pun yang pernah menyusun [sebuah] daftar tentang semua kata-kata yang dihubungkan atau dinisbatkan kepada Yesus dalam masa tiga ratus tahun pertama menyusul kematiannya.... Di antara buku-buku ilmiah yang ditulis tentang Yesus pada sekitar abad yang lalu... saya tidak dapat menemukan satu pun daftar yang kritis tentang ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan (Yesus)... Tidak ada satu pun [diantara kolega saya] yang menyusun sebuah daftar kasar (mengenai Yesus)... [padahal] kebanyakan dari mereka memberi kuliah atau menulis tentang Yesus hampir setiap harinya.[14] Setelah dua puluh abad material historis itu masih senantiasa sangat kurang yang untuk membuat sketsa sebuah kerangka dasar saja menjadi problematika, kecuali jika seseorang memilih mengabaikan historisitas dan sebagai gantinya hanya bersandar pada "Yesus keimanan" (Jesus of taith) seperti yang tergambar dalam PB.[15]
Kristus dan bahasa-IbunyaKekurangan informasi ini begitu meluas sampai-sampai kita tidak tahu hanyak tentang sifat-sifat Yesus yang paling fundamental..jika daftar lengkap mengenai ucapan-ucapannya saja tidak pernah diketahui para pengikutnya, apakah para sarjana bersepakai tentang bahasa tertentu yang mungkin dahulu digunakan Yesus dalam ucapan-ucapannya? Kitab-kitab Injil, begitu juga penulis-penulis Kristen dahulu maupun kini, telah gagal memberi jawaban yang pasti. Di antara dugaan-dugaan para sarjana awal dalam hal ini, kita mempunyai: dialek Galil bangsa Kaldan (J.J. Scalinger); Suriah (Claude Saumaise); dialek Onkelos dan Jonathan (Brian Walton); Yunani Kuno (Vossius); Ibrani (Delitzsch dan Resch); Aram (Meyer); dan bahkan Latin. (Inchofer, sebab "Tuhan tidak boleh menggunakan bahasa lain apa pun di bumi, karena ini adalah bahasa orang-orang suci di langit").[16]
Kristus: Sifat-sifat Moral Tuhan?
Kristus dikatakan sebagai salah saw dari tiga unsur Ketuhanan (Godhead). Siapa pun yang masuk ke sebuah gereja, gereja mana pun yang diakui secara tradisional, bagaimana pun juga akan segera melihat absennya dua per tiga dari Ketuhanan ini secara telanjang, dengan hanya figur satu-satunya yang terpampang, Yesus. Bapak dan Roh Tuhan telah dilupakan hampir sepenuhnya, dan sebagai gantinya Yesus Kristus mendapatkan kedudukan terkemuka. Meskipun peran yang besar ini, perlakuan terhadapnya oleh sebagian penulis Kristen meninggalkan noda-noda hitam dalam warisannya, yang sehingga menjadi sulit untuk menerimanya sebagai seorang figur yang secara universal dicintai orang-orang Kristen-atau setidaknya sebagai seseorang yang moralitasnya mereka anggap pantas diikuti.
Canon Montefiore: Yesus Seorang Gay?Berbicara tentang Yesus pada konferensi the Modern Churchmen di Oxford, 1967, Canon Hugh Montefiore, Pendeta Great St. Mary, Cambridge, menyatakan:
Kawan-kawannya adalah perempuan, tapi dia mencintai laki-laki. Satu fakta yang mencolok adalah bahwa dia tidak kawin, dan kaum lelaki yang tidak kawin biasanya memiliki satu dari tiga sebab: mereka tidak mampu menempuhnya; tidak terdapat gadis; atau mereka secara natural Homoseksual.[17]

Martin Luther: Yesus Berzina Tiga KaliMartin Luther juga menegasikan image Yesus yang suci. Ini bisa ditemukan dalam Table-Talk-nya Luther,[18] yang autentisitasnya tidak pernah diragukan meskipun bagian-bagian tertentu mempermalukan. Arnold Lunn menulis:
Weimer menyitir satu nukilan dari Table-Talk di mana Luther menyatakan bahwa Kristus berzina tiga kali, pertama dengan perempuan di sumur, kedua dengan Mary Magdalena, dan ketiga dengan perempuan yang diambil dalam perzinaan, "Yang dia lepaskan begitu saja. Dengan demikian, Kristus yang begitu suci telah berzina sebelum meninggal.[19]
2. Murid-Murid Yesus
Mari kita buang tuduhan-tuduhan ini sekarang dan mencermati Perjanjian Baru (PB).
Barangkali sangat baik memulai diskusi ini dengan mengulas beberapa peristiwa utama menjelang hari-hari akhir hayat Yesus (sebagaimana dijelaskan dalam empat Injil). Sebagai hasil karya keimanan, Injil-injil itu berusaha menggambarkan kedamaian batin Yesus secerah mungkin, sebagaimana yang seharusnya dilakukan. Mari kita teliti gambar-gambar ini untuk mengetahui dengan pasti bukan sifat-sifat Yesus, tapi sifat-sifat para muridnya yang memikul beban menyebarluaskan pesan Yesus. Berdasarkan gambar-gambar mereka di dalam Injil kita akan dapatkan satu ide yang konkret bagaimana PB memandang dirinya sendiri, karena orang-orang ini merupakan cikal-bakal (nucleus) yang melaluinya agama Kristen bersemi.
Matius 26 (Contemporary English Version)20-21 Sementara Yesus makan [hidangan Paskah] bersama dengan dua belas muridnya petang itu, dia berkata, "Seorang dari antara kalian akan menyerahkan aku kepada musuh-musuhku."22 Murid-rnurid menjadi sangat sedih, dan seorang demi seorang berkata kepada Yesus, "Tentu hukan saya yang Bapak maksudkan."23 Dia menjawab, "Orang yang makan bersama saya dari tempat makan yang sama akan Mengkhianatiku.".....25 Yudas berkata, "Bapak Guru, tentu bukan saya yang Bapak maksudkan!" Yesus menjawab, "Begitulah katamu!" Tapi kemudian, Yudas benar-benar mengkhianatinya.31 Yesus berkata kepada murid-muridnya, "Pada malam ini juga kamu semua akan lari meninggalkan aku, karena dalam Alkitab tertulis,'Aku akan membunuh gembala itu, dan kawanan dombanya akan tercerai-berai.'32 Tetapi setelah aku dibangkitkan kembali, aku akan mendahului kalian ke Galilea."33 Petrus berkata, "Biar semua meninggalkan Bapak, saya sekali-kali tidak!"34 Yesus menjawab, "Saya ingatkan bahwa sebelum ayam berkokok malam ini juga, engkau tiga kali mengingkari aku."35 Tetapi Petrus berkata, "Sekalipun saya harus mati bersama Bapak, saya tidak akan berkata bahwa saya tidak mengenal Bapak." Dan semua murid yang lain berkata begitu juga.36 Sesudah itu Yesus pergi dengan murid-muridnya ke suatu tempat yang bernama Getsemani. Ketika sampai di sana ia berkata kepada mereka, "Duduklah di sini sementara aku pergi berdoa."37 Lalu ia mengajak Petrus dan kedua saudara laki-laki (anak Zabedeus), James dan Yohanes, pergi bersama-sama dengan dia. la merasa sedih sekali dan gelisah,38 dan ia berkata kepada mereka, "Aku sangat sedih serasa akan mati saja. Tinggallah di sini dan turutlah berjaga-jaga dengan aku."39 Kemudian Yesus pergi lebih jauh sedikit. Lalu ia tersungkur ke tanah dan berdoa, "Bapa, kalau boleh, janganlah membuatku menderita dengan membuatku minum dari gelas ini. Tetapi lakukan apa yang Engkau inginkan, dan bukan yang aku inginkan."40 Yesus kembali dan mendapati murid-muridnya sedang tidur. Kemudian ia berkata kepada Petrus, "Hanya satu jam saja kalian bertiga tidak dapat berjaga dengan aku?41 Berjaga jagalah dan berdoalah supaya kalian jangan mengalami cobaan. Memang kalian mau melakukan yang benar, tapi kalian lemah." 42 Sekali lagi Yesus pergi berdoa, katanya, "Bapa, kalau penderitaan ini harus aku alami, dan tidak dapat dielakkan, biarlah kemauan Bapa yang jadi."43 Yesus kernbali lagi dan mendapati rnereka masih juga tidur, karena mereka terlalu mengantuk.44 Sekali lagi Yesus meninggalkan mereka untuk berdoa dengan mengucapkan kata-kata yang sama.45 Akhirnya, Yesus kembali kepada murid-muridnya dan berkata, "Masihkah kalian tidur dan istirahat? Lihat, sudah tiba waktunya Anak Manusia diserahkan kepada kuasa orang-orang berdosa."...47 Sementara Yesus masih berbicara, Yudas sang pengkhianat itu datang. Dia adalah seorang dari kedua belas murid, dan bersama-sama dengannya datang juga banyak orang yang membawa pedang dan pentungan. Mereka disuruh oleh imam-imam kepala dan pemimpin-pemimpin Yahudi.48 Yudas sudah memberitahukan kepada mereka sebelumnya, "Orang yang saya cium, itulah orangnya, tangkaplah dia."49 Yudas langsung pergi kepada Yesus dan berkata, "Salam, Guru." Kemudian Yudas menciumnya.50 Yesus menjawab, "Temanku, kenapa anda kemari? Kemudian orang banyak itu maju dan menangkap Yesus.51 Salah seorang pengikut Yesus menghunus pedangnya. Dia memarang hamba imam agung sampai putus telinganya.52 Yesus berkata kepadanya, Masukkan kembali pedangmu ke dalam sarungnya, sebab semua orang yang menggunakan pedangnya akan mati oleh pedang....55 Lalu Yesus berkata kepada orang banyak itu, "Apakah aku ini penjahat, sampai kalian datang dengan membawa pedang dan pentungan untuk menangkap aku? Setiap hari aku duduk dan mengajar di Rumah Tuhan, dan kalian tidak menangkap aku.56 Tetapi memang sudah seharusnya begitu supaya terjadilah apa yang ditulis oleh nabi-nabi di dalam Alkitab." Semua murid-muridnya lari meninggalkan Yesus.57 Setelah Yesus ditangkap, dia dibawa ke rumah imam agung Kayafas... 58 Petrus mengikuti Yesus dari jauh sampai ke halaman rumah agung. Lalu Petrus masuk ke dalam halaman itu, dan duduk bersama-sama pengawal untuk mengetahui apa yang akan terjadi.69 Sementara Petrus sedang duduk di luar, di halaman, salah seorang pelayan wanita datang dan berkata kepada Petrus, "Bukankah engkau juga bersama-sama Yesus orang Galilea itu?70 Tetapi Petrus berkata di depan setiap orang, "Tidak begitu! Saya tidak tahu apa maksudmu!"71 Ketika Petrus pergi ke pintu halaman, seorang pelayan wanita yang lain melihat Petrus, dan berkata kepada orang-orang di situ, "Orang ini tadi juga bersama-sama dengan Yesus dari Nazaret itu."72 Lalu Petrus menyangkal lagi, dan bersumpah, "Sungguh-sungguh saya tidak kenal orang itu!"73 Tidak lama sesudah itu, orang-orang yang berdiri di situ datang kepada Petrus dan berkata, "Pasti engkau salah seorang dari mereka. Itu kentara sekali dari logatmu yang seperti seseorang dari Galilea."74 Lalu Petrus mulai menyumpah-nyumpah dan berkata, "Saya tidak kenal orang itu!" Saat itu juga ayam berkokok,75 dan Petrus teringat bahwa Yesus sudah berkata kepadanya, "Sebelum ayam berkokok, engkau berkata tiga kali bahwa tidak tahu Aku." Lalu Petrus keluar dan menangis dengan sedih.
Beberapa Catatan Tentang Dua Belas Orang MuridAda dua hal yang patut dicatat di sini:
Kedua belas orang murid itu benar-benar telah menerima ajaran dan training khusus, sebab agaknya Yesus memang mempersiapkan pemimpin-pemimpin yang akan menggantikannya. Bagaimana pun juga, di dalam Markus, kedua belas orang tersebut tidak paham apa pun yang diajarkan kepada mereka.[20]
Gambar yang disuguhkan oleh keempat Injilnya para murid Yesus menunjukkan beberapa contoh sikap penakut dan kurang ulet atau tidak tabah, yang meragukan sejauh mana mereka, sebagai pengikut pertama, berhasil meneladani kehidupan Yesus. Jika kita ambil keempat Injil ini sebagai sebuah gambaran yang jujur tentang kehidupan Yesus dan peristiwa-peristiwa seputar wafatnya, maka apa yang kita baca mengenai murid-muridnya hanya akan menghancurkan kepercayaan pembaca terhadap teks, yang notabene merupakan gambaran para guru agama Kristen generasi pertama. Harus saya katakan bahwa terdapat banyak bukti yang menyangkal paparan-paparan yang diberikan Injil;[21] hal ini mernpunyai pengaruh langsung terhadap apakah penggambaran rnengenai para murid itu akurat atau sebaliknya. Jika dianggap akurat, yakni para murid itu benar-benar tidak kompeten, maka berarti ajaran-ajaran Yesus memang lembek dan kompromistis; dan jika dianggap bahwa mereka itu berkompeten, tetapi telah digambarkan secara tidak jujur oleh para penulis setelah mereka, maka berarti akurasi semua Injil itu benar-henar meragukan, dan begitu juga kredo-kredonya.
3. Yesus dan Risalahnya: Bertobat, Karena Kerajaan Langit Berada di TanganSemua sumber untuk ajaran-ajaran Yesus berasal dari pengarang-pengarang yang anonim (tak jelas namanya).
Sebagaimana disebutkan di atas, Hermann Reimarus (1694-1768) adalah merupakan orang pertama yang berusaha membuat sejarah Yesus. Dalam hal ini dia membedakan antara apa yang tertulis dalam kitab-kitab Injil dan apa yang diproklamasikan Yesus sendiri selama masa hidupnya, dengan menyimpulkan bahwa ajaran-ajaran aktual Yesus dapat diringkas,
dalam dua frasa dari arti yang sama, 'Tobatlah, dan percayailah kita kitab Injil,' atau, seperti yang disebut di berbagai tempat, 'Tobatlah, karena Kerajaan Langit berada di Tangan.'[22] Oleh karena dia tak pernah menjelaskan salah satu pun dari kedua frasa ini, Reimarus berargumen bahwa Yesus melakukan dakwah itu sepenuhnya dalam framework Yahudi, dengan meyakini bahwa audiensnya memahami 'Kerajaan Langit' (the Kingdom of Heaven) dalam konteks Yahudi. Yaitu, bahwa dia merupakan Juru Selamat Bangsa Israel. Niat mendirikan sebuah agama baru tak pernah ada.[23]
Yesus dan Skup RisalahnyaDengan mengarahkan ajaran-ajarannya pada audiens Yahudi dan mengekspresikan konsep-konsepnya dari dalam framework Yahudi yang ketat, jelas sekali Yesus membatasi risalahnya hanya pada bagian masyarakat itu. Hal ini terbaca jelas dari pernyataan-pernyataan Yesus sebagaitnana termaktub dalarn Matius 10:5-6:5 Kedua belas murid itu kemudian diutus oleh Yesus dengan mendapat petunjuk ini, "Janganlah pergi ke daerah orang-orang yang bukan Yahudi. Jangan juga ke kota-kota orang Samaria:6 Tetapi pergilah kepada orang-orang Israel yang sesat."Hal ini juga ditegaskan dalam Al-Qur'an secaru gamblang:[24]
Dan Allah mengajarkannya Kitab dan hikmah, Taurat dan Injil, dan (mengangkatnya) sebagai utusan kepada anak-cucu Israel...Sebagian sarjana Kristen modern juga mengakui hal ini; sebagaimana I Helmut Koester menulis:
Adalah sebuah fakta sejarah yang telanjang bahwa Yesus adalah seorang Israel dari Galilea, dan bahwa dia memahami dirinya tidak lebih sebagai seorang nabi di Israel dan untuk Israel-suatu tradisi yang mulia, dan dia bukanlah yang pertama dari nabi-nabi Israel yang ditampik dan dianiaya.[25] Koester tidaklah sendirian. "Yesus sungguh-sungguh menganggap diri-nya sebagai seorang nabi (Markus 6: 4; Lukas 13: 33) tapi ada kualitas final tentang risalah dan tugas dia yang membuat kita berhak menyimpulkan bahwa dia menganggap dirinya sebagai utusan final dan definitif Tuhan kepada Israel. "[26] Luther, Voltaire, Rousseau, dan Bultmann semua berpandangan yang sama.
Kredo-Kredo Kristen
Sebagaimana Yesus secara pribadi tak pernah mendefinisikan risalahnya selain sebagai Juru Selamat (Deliverer), al-Masih, begitu juga ia tak pernah menegaskan kredo tertentu, dan dalam beberapa dekade saja hal ini telah mengakibatkan chaos. Maka lahirlah beberapa kredo, dan yang termasuk Kredo-Kredo Timur yang awal-awal adalah "I. Epistola Apostolorum. II. Kredo Kuno Alexandria. III. Kredo Pendek Orde Gereja Mesir. IV. Kredo Marcosia. V. Kredo Awal Afrika. VI. Profesi Kaum 'Presbyter' di Smyrna."[27] Yang paling awal dari kredo-kredo ini layak dikutipkan di sini karena pendek dan simpel:Epistola Apostolorum( Iman)Kepada Tuhan Ayah yang Maha Besar; Kepada Yesus Kristus, Juru Selamat kita; Dan kepada Roh, yang Kudus, dan Paraclete; Gereja yang Suci;Pengampunan dosa.[28]Bandingkan ini dengan Kredo Nicea yang sangat bertele-tele dari abad keempat:Saya iman kepada satu TuhanAyah yang maha Besar,Pencipta langit dan bumi,Dan segala sesuatu yang terlihat dan tak terlihat: Dan kepada satu Tuhan Yesus Kristus,Anak laki-laki Tuhan satu-satunya yang diperanakkan, Lahir dari AyahnyaSebelum alam seluruhnya, Tuhannya Tuhan, Cahayanya Cahaya,Tuhan yang sebenarnya dari Tuhan yang sebenarnya, Diperanakkan, tidak dibuat,Satu Zat yang sama dengan Ayah,Yang oleh-Nya segala sesuatu diciptakan: Untuk kita manusia,dan untuk keselamatan kita la turun dari langit,Dan menjelma lewat Roh Kudus dan Perawan Suci Mary,Dan diciptakan sebagai lelaki, Dan disalib juga untuk kitadi bawah pemerintahan Pontius Pilate.la menderitadan dikebumikan,Dan menurut Kitab Suci bangkit kembali pada hari ketiga, Dan naik ke langitDan duduk di sebelah kanan Ayah.Dan ia akan datang lagi dengan kebesaran Untuk menghakimi yang hidup dan yang mati: Yang kerajaannya akan abadi.Dan saya iman kepada Roh Kudus, Tuhan dan pemberi hidup,Yang berasal dari Ayah dan Anak,Yang bersama-sama dengan Ayah dan Anak disembah dan diagungkan, Yang berkata lewat Nabi-nabi.Dan saya iman kepada satu Gereja Katolik dan Apostolik, Saya mengakui satu PembaptisanUntuk penghapusan dosa.Dan saya mencari Kebangkitan dari mati, Dan kehidupan yang akan datang. Amin.[29]Kedua kredo yang sangat jauh berbeda ini membuktikan bahwa Yesus tak pernah benar-benar mendefinisikan risalahnya, atau bahwa risalahnya telah mengalami distorsi yang sangat luar biasa dalam berbagai cara, sebab jika tidak, sebuah pernyataan keimanan yang simpel itu tidak akan mengembang menjadi pidato yang bertele-tele. Kredo yang terawal itu tak mencakup referensi apa pun tentang Trinitas, sementara Kredo Nicea mencakup Anak Tuhan (Son of God), Tuhannya Tuhan (God of God), dan Diperanakkan (Begotten), yang kesemuanya itu membuktikan berubah-ubahnya kepercayaan-kepercayaan Kristen mengenai Yesus pada masa-masa pertumbuhan Kristen.
Beberapa Implikasi Terminologi 'Kristeni' pada Masa-masa AwalKenyataannya, istilah 'Kristiani' itu tampak hanyalah merupakan bikinan dari propaganda Roma, sebab pada masa-masa awal,
nama 'Kristen' itu diasosiasikan dengan segala macam kejahatan yang menjijikkan - hal ini juga merupakan ciri-ciri umum propaganda politis, dan pengarang 1 Petrus... mengingatkan para pembacanya agar jangan sekali-sekali menderita karena hal-hal yang menurut khalayak ramai diimplikasikan atas nama 'Kristen' (4:15), misalnya seperti "pembunuh, pencuri, pelaku kejelekan, atau pelaku kejahatan."[30] Gereja masa awal sibuk dengan memerangi sebutan umum 'Kristen' ini, yang dalam anggapan bangsa Romawi adalah sama dengan sebuah perkembangbiakan kejahatan-kejahatan. Kajian terhadap asal-usul terminologi ini mengimplikasikan bahwa bangsa Romawilah, dan bukan orang-orang Kristen generasi awal, yang berkeinginan kuat untuk membedakan para pengikut agama baru ini dari tradisi Israel kuno.[31]
4. Penyiksaan Orang-orang Kristen Awal
Sementara agama Yahudi dipandang sebagai gangguan, upaya-upayanya yang sporadis untuk meraih kemerdekaan politis pun ditumpas habis-habisan, meskipun ada sedikit toleransi dari bangsa Romawi terhadap upaya-upaya yang tidak membangkitkan perlawanan. Orang-orang Kristen mengalami nasib yang lain, karena mereka menyatakan kesetiaan kepada Kaisar, tetapi pada waktu yang sama "tidak berpartisipasi dalam peribadatan di rumah-rumah ibadah tuhan-tuhan (Romawi), dan-oleh karenanya-dituduh sebagai ateis."[32] Sudah barang tentu penyiksaan imperial dan publik merupakan hal yang tak terhindarkan lagi. Bahkan golongan-golongan intelektual mengejek agama Kristen sebagai takhayul atau khurafat. Orang-orang Krtisten dianggap sebagai ancaman terhadap pandangan hidup Yunani-Romawi (Greco-Roman), karena mereka memisahkan diri dari masyarakat lainnya, dan utamanya mereka melaksanakan ibadah secara rahasia, "ada laporan beredar bahwa di dalam biara mereka melakukan praktik kemesuman seksual".[33] Tetapi, agama
Kristen telah menyebar di sebagian besar provinsi-provinsi Imperium Romawi pada pertengahan abad ke-3, meskipun penyiksaan lokal yang berulang-ulang dan antagonisme yang meluas dari khalayak ramai.Akhirnya, penyiksaan lokal mencapai puncaknya dalam kebijakan kekaisaran. Imperium Romawi tengah mengalami kemunduran secara nyata pada paruh kedua abad ke-3, dan untuk mengimbangi kenyataan ini maklumat kekaisaran pada tahum 249 memerintahkan seluruh bangsa taklukkan Romawi untuk berkorban demi tuhan-tuhan (Romawi). Kebijakan-kebijakan keras diterapkan kepada orang-orang Kristen, yang menolak menaati maklumat ini, sampai pada tingkat di mana seluruh orang yang menghadiri Misa di gereja diancam dengan hukuman mati. Ditangkapnya Kaisar Valerian oleh bangsaPersia pada 260 berakhirlah rangkaian penyiksaan-penyiksaan ini, dan untuk empat dekade berikutnya gereja mengalami perkembangan cukup pesat. Akan tetapi, pada tahun 303 pengekangan terjadi lagi, dengan tingkat yang lebih parah dari pada yang dialami orang-orang Kristen sebelumnya. Beratus-ratus, jika tidak beribu-ribu, orang hinasa. Masuknya Constantine, seorang calon pewaris takhta, ke agama Kristen telah menyelamatkan toleransi Romawi pada tahun 313 dan menggalakkan penyebaran agama Kristen dengan cepat sekali.[34]
5. Praktik-Praktik dan Kepercayaan pada Awal Kristen dan Berikutnya
Ketidakjelasan mengenai ajaran-ajaran Yesus yang terpatri, ditambah dengan penyiksaan terus-menerus terhadap orang-orang Kristen sampai awal abad ke-4, telah mengakibatkan beragamnya praktik-praktik keagamaan di bawah bendera Kristen. Ehrman berkata:
Tentu saja terdapat orang-orang Kristen yang percaya kepada satu Tuhan; bagaimana pun juga yang lainnya percaya kepada dua Tuhan; dan yang lainnya lagi menyembah 30 tuhan, atau 365, atau lebih... Sebagian orang Kristen meyakini bahwa Kristus adalah manusia dan Tuhan sekaligus; yang lainnya mengatakan bahwa ia seorang manusia, bukan Tuhan; yang lainnya lagi mengklaim bahwa ia adalah Tuhan, bukan manusia; yang lainnya lagi bersikeras bahwa ia seorang manusia penjelmaan Tuhan untuk sementara waktu. Sebagian orang Kristen meyakini bahwa kematian Kristus telah mengantarkan keselamatan dunia; yang lainnya mengklaim bahwa kematian ini tidak ada pengaruhnya terhadap keselamatan; sementara yang lainnya lagi menganggap bahwa la tak pernah mati.[35] Q, koleksi asli ajaran-ajaran Yesus, telah lenyap dibanjiri dengan pengaruh-pengaruh lain yang bersaing pada saat agama baru itu masih dalam taraf perkembangannya.[36] Teks-teks yang muncul di kalangan-kalangan Kristen berikutnya, dalam rangka mengisi kekosongan ini, mulai mendapat status sebagai Kitab Suci. Sementara di tengah-tengah kerisauan dalam usaha menemukan basis teologis bagi keyakinan-keyakinan mereka kepada Kitab-kitab Suci, berhagai macam sekte-dengan pandangan yang sangat berbeda-beda tentang kehidupan Yesus Kristus-memainkan peran masing-masing dalam memperbaiki dan membentuk teks, dengan tujuan untuk mencapai pandangan khusus teologisnya sendiri.Gereja Ortodoks, sebagai sebuah sekte yang akhimya menjadi dominan di atas sekte-sekte yang lain, menentang keras berbagai ide (bid'ah) yang waktu itu tengah beredar. Ide-ide tersebut meliputi Adopsionisme (ide bahwa Yesus bukanlah Tuhan, tapi seorang manusia); Dosetisme (pandangan sebaliknya, bahwa Yesus adalah Tuhan dan bukan manusia); dan Separasionisme (bahwa elemen ketuhanan dan kemanusiaan Yesus adalah dua zat yang berbeda). Dalam setiap kasus, sekte yang kemudian tumbuh menjadi Gereja Ortodoks ini, secara sengaja telah mengubah Kitab Suci agar mencerminkan pandangan-pandangan teologisnya sendiri tentang Yesus Kristus, dan sekaligus menghapus pandangan-pandangan teologis rivalnya.[37]
6. Kesimpulan
Perhatikan poin-poin ini: bahwa para murid Yesus, menurut Alkitab, kualitasnya tak pasti; bahwa Q, Injil Yesus yang asli, telah tersaingi oleh ide-ide yang lain dalam tahap-tahap Kristen yang paling awal; bahwa sebuah pernyataan iman yang simpel, karena tidak-adanya kredo yang pasti, telah menggelembung dan mencakup pandangan-pandangan teologis baru yang berkembang pada berabad-abad kemudian; bahwa keragaman pendapat yang demikian besar mengenai tabiat Ketuhanan (Godhead) telah berakibat pada perubahan teks-teks yang ada demi tujuan-tujuan teologis; dan bahwa, diatas kekacaubalauan teologis ini, tiga abad pertama dari sejarah Kristen dipenuhi dengan penyiksaan. Suatu atmosfer yang begitu sangat berubah-ubah ini tidak mungkin kondusif bagi transmisi dan pemeliharaan Kitab Suci Kristen.
Footnotes
[1] B. Montagu (ed.), The Works of Francis Bacon, Willian Pickering, London, 1831, vii:410.
[2] Bultmann seperti dinukil oleh G.A. Wells, Did Jesus Exist?, edisi ke-2, Pemberton, London, 1986, hlm. 9
[3] G.A. Wells, Did Jesus Exist?, hlm. 1.
[4] Ibid, hlm. 10.
[5] Ibid, hlm. 11.
[6] Ibid, hlm. 13.
[7] Dictionary of the Bible, hlm. 477
.[8] Maurice Bucaille, The Bible, the Qur'an and Science, American Trust Publications, Indiana Polis, Indiana, 1978.
[9] Albert Schweitzer, The Quest of the Historical Jesus, Collier Books, 1968, hlm. 13. Selanjutnya disebut Schweitzer.
[10] Ibid, hlm. 13.
[11] Ibid, hlm. 14.
[12] Ibid, hlm. 14.
[13] Yakni tulisan-tulisan para murid sendiri mengenai ajaran-ajaran Yesus. Lihat buku ini hlm. 311-312.
[14] R.W. Funk, B.B. Scott dan J.R. Butts, The Parables of Jesus: Red Letter Edition, Polebridge Press, Sonoma, California, 1988, hlm. xi
.[15] Bultmann, sebagaimana dirujuk oleh G.A. Wells, Did Jesus Exist?, hlm. 9.
[16] Schweitrer, hlm. 271, 275.
[17] The Times, July 28, 1967. [18] Edisi Weimar, ii: 107.
[19] Arnold Lunn, The Revolt Against Reason, Eyes & Spottiswoode (Publishers), London, 1950, hlm. 233. Inilah aslinya: "Christus adultery. Christus ist am ersten ein ebrecher worden Joh. 4, be idem brunn cum muliere, quia illi dicebant: Nemo significant, quid tacit cum ea? Item cum Magdalena, item cum adultera Joan. 8, die er so Ieicht dauon lies. Also mus der from Christus auch am ersten ein ebrecher warden ehe er starb."
[20] B.M. Metzger dan M.D. Coogan (ed.), The Oxford Companion to the Bible, Oxford Univ. Press, 1993, hlm. 783. Selanjutnya disebut The Oxford Companion to the Bible.
[21] Lihat Bab 17.
[22] Schweitzer, hlm. 16. Cetakan miring ditambahkan. [23] Ibid, hlm. 16-18.[24] AI-Qur'an 3: 48-9.
[25] Helmut Koester, "Historic Mistakes Haunt the Relationship of Christianity and Judaism", Biblical Archaeology Review, vol. 21, no. 2, Mar/Apr 1995, hlm. 26. Koester, seorang pastor gereja Luther, adalah Profesor John Morrison untuk studi PB dan professor Winn untuk Sejarah Gereja pada Harvard Divinity School
.[26] The Oxford Companion to the Bible, hlm. 360.
[27] F.J. Badcock, The History of the Creeds, edisi ke-2, London, 1938, hlm. 24
.[28] Ibid, hlm. 24.
[29] Ibid, hlm. 220-1. Badcock mencetak miring perbedaan-perbedaan dari teks Yunani.
[30] Dictionary of the Bible, hlm. 138.
[31] Dalam faktanya, gereja masa awal cukup senang menyebut agama baru itu hanya sebagai Jalan, seperti dalam `Jalan Tuhan,' `Jalan Kebenaran,' 'Jalan Keselamatan,' dan `Jalan Kesalehan.' lihat Dictionary of the Bible, hlm. 1391
[32] K.S. Latourette, Christianity through the Ages, Harper & Row, Publishers, New York, 1965, hlm. 32; cetakan miring ditambahkan.
[33] Ibid, hlm. 35.
[34] Ibid, hlm. 32-36.
[35] Bart D. Ehrman, The Orthodox Corruption of Scripture, Oxford Univ. Press, 1993, hlm. 3. Selanjutnya disebut The Orthodox Corruption of Scripture
.[36] Burton L. Mack, The lost Gospel: The Book of Q & Christian Origins, Harper San Fransisco, 1993, hlm. 1. Inisial Q berasal dari bahasa Jerman Quelle, yang berarti sumber. Penjelasan yang Iebih detail akan dibuat pada Pasal 17.
[37] The Orthodox Corruption of Scripture, hlm. xii.







MEMBERSIHKAN JIWA

Pembersihan jiwa (Tazkiyatun Nafs) ini adalah tugas Rasūlullâh Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam yang diberikan oleh Allôh Subhânahu wa Ta’âlâ sebagaimana firman-Nya:

هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولًا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آَيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ

Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasūl di antara mereka, yang membacakan ayat-ayatNya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah (As-sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata”. (QS al-Jumū’ah : 2)

Dari ayat di atas, para mufassirin menerangkan bahwa di antara tugas Rasūlullâh Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam kepada umatnya adalah:

  1. menyampaikan ayat-ayat Allôh

  2. membersihkan atau mensucikan jiwa mereka

  3. mengajarkan kitab dan sunnah kepada mereka.

Dan dari ayat di atas juga bisa diketahui bahwa umat manusia sebelum datangnya Rasūlullâh, dalam keadaan sesat yang nyata, berupa kemusyrikan, kemerosotan akhlak dan mereka dalam puncak kejahiliyahan.

Dalam keadaan masyarakat Jahiliyah seperti itu, lalu datanglah Rasūlullâh dengan membawa Islam yang telah dinyatakan sempurna dan mendapat ridha dari Allôh Subhanâhu wa Ta’âlâ.

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu ni’matKu, dan telah Kuridhoi Islam itu jadi agama bagimu”.(Al-Mâ`idah: 3).

Tugas para Rasūl yang paling utama dan yang pertama dilakukan adalah membersihkan keyakinan-keyakinan atau aqidah dari segala bentuk kesyirikan, mengembalikan manusia dari penyembahan kepada selain Allôh Subhânahu wa Ta’âlâ kepada asalnya menyembah kepada Allôh Subhânahu wa Ta’âlâ.

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ

Dan Kami tidak mengutus seorang Rasūlpun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya : “Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku”.(Al-Anbiyâ` : 25).

Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyah rahimahullâhu menyatakan: “Ibadah adalah mentaati Allôh dan dengan mencontoh apa-apa yang diperintahkan Allôh padanya melalui lisan para Rasūl”.

Dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu juga menyatakan: “Ibadah adalah nama (aktivitas) yang mencakup setiap perkataan atau berupa perbuatan yang dicintai dan diridhai oleh Allôh yang dhahir maupun batin”.

Ibadah yang diterima oleh Allôh Subhanâhu wa Ta’âlâ adalah ibadah yang hanya dilakukan oleh seorang muslim dengan ikhlâsh dan mutâba’ah (mengikuti) tuntunan Rasūlullâh. Ibadah yang dilakukan dengan tidak ikhlâsh tidak akan diterima oleh Allôh, begitu juga ibadah yang dilakukan tanpa mutâba’ah akan sia-sia. Hal yang pertama: membersihkan niat dari semua kotoran yang akan merusak keikhlâshan dan yang kedua membersihkan ibadah dari semua bid’ah bikinan manusia yang merusak agama.

Para ulama mengatakan ikhlâsh itu adalah membersihkan tujuan taqqarub kepada Allôh dari semua kotoran (syirik). Ikhlâsh ini adalah termasuk amalan hati seperti takut (khauf), pengharapan, tawakkal, raghbah (cinta), rahbah (takut), khusyū`, dan khasyyah (takut).

  1. Khauf artinya perasaan takut akan terjadinya sesuatu yang membinasakan. Khauf ini ada dua macam:

  1. Khauf thabi’i (takut bawaan), seperti manusia takut pada binatang buas, api, dll.

  2. Khauf ibadah, yaitu takut kepada sesuatu yang ia beribadah karena takut kepadanya. Takut yang semacam ini tidak boleh kecuali hanya ditujukan kepada Allôh, sedangkan memalingkannya kepada selain Allôh adalah syirik akbâr. Pada masa sebelum Rasūlullâh sampai sekarang ini banyak sekali orang takut kepada sesuatu yang dianggap keramat atau bertuah atau mempunyai kekuatan ghaib seperti kuburan wali-wali (kyai, ustad, ajengan atau habib), keris, tombak, patung-patung, pohon, batu akik, jimat-jimat, dll, sehingga mereka melakukan pengorbanan dan peribadatan dalam waktu dan cara yang sama sekali tidak disyariatkan oleh Allôh.

  1. Roja’ artinya pengharapan, yaitu keinginan seseorang untuk mendapatkan sesuatu. Pengharapan pada waktu seseorang mengerjakan ibadah tidak boleh kecuali hanya kepada Allôh, dan memalingkannya kepada selain Allôh adalah syirik.

فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadah kepada Tuhannya”.(QS Al-Kahfi: 110).

  1. Tawakkal artinya menyandarkan sesuatu kepada sesuatu. Bertawakkal kepada Allôh maknanya adalah menyandarkan kepada Allôh sebagai pencukup dalam mendapatkan manfaat dan menolak mudhârat.

وَعَلَى اللَّهِ فَتَوَكَّلُوا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

Dan hanya kepada Allôh hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman”.(Al-Mâ`idah: 23).

وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا

Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allôh, niscaya Allôh akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allôh melaksanakan urusan (yang dikehendaki)Nya”. (Ath-Thalâq: 3).

Dalam masalah ini banyak sekali orang yang tersesat yaitu mereka bertawakkal kepada selain Allôh dengan cara memakai atau menyimpan benda-benda yang mereka yakini mempunyai kekuatan seperti sabuk, kalung atau gelang yang berisi jimat-jimat, batu akik, keris, dll.

  1. Raghbah yaitu keinginan untuk mencapai sesuatu yang dicintai.

  2. Rahbah yaitu ketakutan yang membuahkan pelarian dari sesuatu yang ditakuti atau takut yang disertai tindakan untuk menanggulangi ketakutannya.

  3. Khusyu’ adalah tunduk merendah kepada keagungan Allôh dengan menyerah kepada semua ketentuan Allôh.

  4. Khasyyah adalah ketakutan yang didasari oleh ilmu tentang keagungan Dzat yang ditakuti dan kesempurnaan kekuasaan, seperti firman Allôh:

إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ

Sesungguhnya yang takut kepada Allôh di antara hamba-hambaNya, hanyalah ulama”. (Fâthir: 28).

Penyakit-penyakit hati yang berkaitan dengan masalah aqidah inilah yang pertama kali harus dibersihkan pada diri seseorang karena penyakit ini, seseorang tidak dapat membedakan yang haq dari yang bâthil, sunnah dari bid’ah, tauhid dari syirik.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Amrâdhul Qulub wa Syifâ’uha mengatakan: “Penyakit hati adalah jenis kerusakan yang menimpanya, penyebab kerusakan pemikiran dan kehendak. Kerusakan pemikiran ini karena adanya syubhat-syubhat (kesamaran-kesamaran) sehingga tidak bisa melihat kebenaran (al-haq) atau dapat melihat kebenaran tapi berlainan dengan apa yang seharusnya ada. Sedangkan kehendaknya (penyakit hati) yaitu membenci kebenaran dan menyukai kebathilan”.

Allôh berfirman:

فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَهُمُ اللَّهُ مَرَضًا وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ

Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allôh penyakitnya” (Al-Baqarah: 10).

Adakah obat penyakit semacam ini? Jawabnya tentu saja ada, sebab Allôh berfirman:

وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآَنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ وَلَا يَزِيدُ الظَّالِمِينَ إِلَّا خَسَارًا

Dan Kami turunkan dari Al-Qur`ân suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang- orang yang beriman dan Al-Qur`ân itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian”.(Al-Israa’: 82).

Al-Imam Ibnu Katsîr menyatakan dalam tafsirnya:

أي: يذهب ما في القلوب من أمراض، من شك ونفاق، وشرك وزيغ وميل، فالقرآن يشفي من ذلك كله

(Al-Qur`ân) akan menghilangkan penyakit-penyakit yang ada di dalam hati seperti (penyakit) ragu, nifaq (kemunafikan), syirik, dll. Maka Al-Qur`ân akan menyembuhkan semuanya itu”.

Rasūlullâh Shallâllôhu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

Allôh tidak menurunkan penyakit kecuali Allôh menurunkan obat untuknya”.(HR. Al-Bukhârî).

Tidak ada yang lain, obat semua penyakit hati (jiwa) adalah ilmu syar’i yaitu ilmu Al-Qur`ân dan As-Sunnah.

Nabi Shallâllôhu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

Barangsiapa yang dikehendaki oleh Allôh padanya kebaikan (maka) Allôh akan memahamkannya dalam masalah dîn (agama)”.(HR. Bukhari dan Muslim).

Ibnul Qayîm mengatakan: “Kebodohan itu penyakit yang mematikan, dan obatnya adalah dua perkara yang disepakati dalam satu susunan; yaitu nash dari Al-Qur`ân atau dari As-Sunnah, sedangkan dokter penyakit kebodohan itu adalah orang ‘âlim rabbâni”.

Oleh karena itu setiap orang harus mengobati penyakit (kebodohan) yang dia derita dengan obatnya yaitu ilmu syar’î dan seorang ‘âlim sebagai dokternya dengan mendengarkan hakekat dan petunjuknya.

sarana - sarana Tazkiyah

Secara umum Tazkiyatun nufus tidak bisa terwujud kecuali dengan amaliah-amaliah yang sesuai dengan syariah. Dalam hal ini, adalah dengan mengikuti syariat Rasūlullâh Shallâllôhu ‘alaihi wa Sallam. Beliau seorang Uswah dian Qudwah yang utama, dan beliau adalah Thabîb Al-Qalb (dokter hati) yang telah mendapat lisensi dari Allôh Subhanâhu wa Ta’âlâ. Sehingga seorang yang melakukan terapi jiwa dengan otaknya sendiri diumpamakan oleh Ibnul Qoyyim bagaikan seorang yang mengobati penyakitnya sendiri dengan sia-sia, sementara ia meninggalkan dokter spesialis, maka keselamatan dan kesempurnaan dalam Tazkiyah tak akan diraih kecuali dengan mencontoh dan menjalani terapi Rasūlullâh Shallâllôhu ‘alaihi wa Sallam. (Lihat : Madârijus Sâlikin juz 2 hal 315)

Di bawah ini beberapa Amaliah atau sarana Tazkiyah yang mujarab dan efektif seperti yang diajarkan Rasūlullâh Shallâllôhu ‘alaihi wa Sallam.

  1. Pembersihan Aqîdah dan penyempurnaan Tauhid

Aqîdah dan Tauhid adalah fondasi kehidupan seorang mu’min dan ia adalah penentu utama ketentraman dan kedamaian jiwa seseorang. Allôh berfirman :

بَلَى مَنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَلَهُ أَجْرُهُ عِنْدَ رَبِّهِ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

Tidak demikian bahkan barang siapa yang menyerahkan diri kepada Allôh, sedangkan ia berbuat kebajikan maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih “. (Al-Baqoroh 112).

Sementara kemusyrikan dan penyimpangan dari syariat Allôh akan menimbulkan kecelakaan dan ketidaktenraman. Allôh Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman :

وَوَيْلٌ لِلْمُشْرِكِينَ الَّذِينَ لَا يُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ بِالْآَخِرَةِ هُمْ كَافِرُونَ

Kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang mempersekutukann-Nya, yaitu orang-orang yang tidak menunaikan zakat dan mereka kafir akan adanya kehidupan akhirat”.(Al Fushshilât : 6-7).

Kata-kata “Az-Zakât” pada ayat tersebut menurut imâm Al-Qurthubî adalah Tauhîd Lâ Ilâha Illallôhu” (Tafsir Al-Qurthubî Juz 19 hal 199)

  1. Ibadah yang sempurna kepada Allôh Subhanâhu wa Ta’âlâ

  1. Shalat

Dari Abu Hurairah Radhiyallôhu ‘anhu. Beliau mendengar Rasūlullâh Shallâllôhu ‘alaihi wa Sallam bersabda : “Bagaimana menurutmu kalau ada sebuah sungai di depan rumah salah seorang kamu dan ia mandi disungai tersebut lima kali setiap hari, apakah ia masih mempunyai kotoran?“ Sahabat berkata, “Tidak ada lagi kotoran sedikitpun”. Rasūlullâh Shallâllôhu ‘alaihi wa Sallam bersabda, ”Demikianlah perumpamaan shalat lima waktu yang mana dengannya Allôh membersihkan kesalahan”.

Ibnul Arabiy rahimahullahu berkata : ”Adapun letak kemiripan dari tamsil Rasūlullâh diatas adalah; karena daki dan kotoran tidak akan ada kalau dibasuh dengan air dalam jumlah besar (sungai) apalagi jika dilakukan berulang kali, demikian juga dosa dan kesalahan pasti akan hilang kalau ia selalu dibersihkan dengan sholat.

Sholat yang khusyū’ bukan saja menyucikan jiwa, bahkan akan membahagiakannya dan mengantarkannya menuju keberhasilan. Allôh Subhanâhu wa Ta’âlâ berfirman :

قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ

Sungguh beruntung orang-orang mu’min, orang –orang yang khusu’ dalam sholatnya”. (Al-Mu’minūn : 1-2).

B. Infâq, Shodaqoh atau Zakât

Memberikan sebagian harta yang dimiliki apalagi yang dicintai merupakan perbuatan yang berat kecuali bagi orang-orang yang telah ditazkiyah hatinya oleh Allôh Subhanâhu wa Ta’âlâ. Karena itulah diantara hikmah diperintahkannya zakat itu adalah untuk membersihkan jiwa dari kedengkian dan kekikiran. Allôh Subhanâhu wa Ta’âlâ berfirman :

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, karena dengan zakat itu kamu membersihkannya (dari kekikiran) dan mensucikan mereka (dengan kebaikan) dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kami itu menjadi ketentraman jiwa bagi mereka, dan Allôh maha mendengar lagi maha mengetahui”. (At Taubah 103).

C. Doa dan Dzikir

Dzikrullâh merupakan terapi yang sangat efektif dalam mengobati dan menentramkan jiwa. Apalagi kalau itu dilakukan dengan penuh taqarrub dan khosiyah (tunduk dan takut/harap). Orang yang tidak mau berdzikir dan enggan berdoa menandakan pada jiwanya ada penyakit-penyakit kesombongan. Itu sebabnya Rasūlullâh Shallâllôhu ‘alaihi wa Sallam menganjurkan kita untuk berdoa dalam setiap waktu dan aktivitas. Allôh berfirman :

الَّذِينَ آَمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

Orang-orang beriman hatinya akan tenang dengan dzikrullah, dan ingatlah hanya dengan dzikrullahlah hatimu akan tenang”. (Ar Ra’du 28)

Dan dzikrullah yang paling utama adalah tilawah (membaca ayat-ayat Allôh) karena Allôh menurunkan Al-Qur`ân diantara fungsinya adalah sebagai As Syifa’ (penawar) dan rahmat bagi orang-orang mu’min (baca Al-Isrâ` : 82).

  1. Meminimalisir dosa dan kemaksiatan

Dosa dan kemaksiatan diibaratkan oleh Rasūlullâh Shallâllôhu ‘alaihi wa Sallam laksana noda-noda hitam yang akan memudarkan qolbu seorang mu’min yang jernih. Kalau tidak segera ditazkiyah dengan taubat kepada Allôh ia akan memekatkan dan menutup mati mata hati itu sendiri sehingga ia akan keras bagaikan batu bahkan bisa lebih keras dari itu (Lihat Al-Baqoroh 74). Dan tidak tertutup kemungkinan kemuliaannya sebagai seorang muslim akan hilang dan jatuh sampai kepada peringkat binatang (baca Al-A’râf 179).

Dari kajian singkat diatas kita bisa menyimpulkan bahwa :

  1. Tazkiyatun Nufūs merupakan kewajiban setiap mu’min untuk mencapai kebaikan dan kesempurnaan jiwanya.

  2. Proses dalam Tazkiyah haruslah sesuai dengan syariah agar tidak seperti “Orang kehausan minum air laut “.

  3. Keberhasilan dan kesuksesan hidup baik di dunia maupun di Akherat tidak akan bisa diwujudkan kecuali dengan jiwa-jiwa yang telah di Tazkiyah (baca Thoha 75-76)

Penutup dan Tausiyah

Terakhir kami berpesan pada pribadi kami juga kepada semua calon-calon mujahid Islâm :

  1. Awali proses Tazkiyah dengan muhâsabah (introspeksi diri), kemudian murôqobah (merasa diawasi) yang ketat. Bila perlu lakukan mu’âqobah (memberi sanksi pada diri) kalau ternyata ada di dalam diri yang berusaha mengurangi apalagi menghapuskan semangat mujâhadah dalam bertazkiyah.

  2. Awasi musuh-musuh eksternal (syaithân/thoghut) dan internal ( hawa nafsu)

  3. Jauhi sifat membual, pesimis, apatis, malas, riya’, sombong dan rendah diri

Semoga bermanfaat tulisan yang ringkas ini. Kita tutup dengan doa kepada Allôh :

اللهم آت نفسي تقواها وزكها أنت خير من زكاها أنت وليها ومولاها (رواه مسلم)

Ya Allôh anugerahkanlah ketakwaan pada jiwaku dan sucikanlah ia, karena Engkaulah sebaik-baik Dzat yang mensucikan dan Engkaulah pemiliknya dan penguasanya.”


jazakumullah






HUKUM SHOLAT ISTIKHOROH

Para ulama bersepakat bahawa solat Istikhoroh hukumnya sunnah dan tidak wajib sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Nawawi, Imam as-Syaukani, al-‘Iraqi dan lainnya. Perkataan bahawa solat Istikhoroh tidak wajib telah dikatakan sendiri oleh Rosulullah dalam hadis-hadis yang sahih, dan oleh kerananya para ulama mengatakan hukum solat Istikhoroh adalah sunnah/tidak wajib, mereka membawakan hadis-hadis yang sahih seperti hadis yang dikeluarkan oleh Imam Bukhari:

Dan Jabir bin Abdullah beliau berkata: “Nabi mengajari kami (solat) istikhoroh dalam segenap perkara sebagaimana beliau mengajari kami surah-surah al-Qur’an”, beliau bersabda: “Apabila di antara kalian berkeinginan/bermaksud terhadap suatu perkara, hendaklah solat sunnah dua rakaat bukan termasuk wajib, kemudian berdoa (Lihat hadis ini);


:دعاء صلاة الاستخارة
عَنْ جَابِرٍ رضي الله عنه قَالَ : كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يُعَلِّمُنَا الاسْتِخَارَةَ فِي الأُمُورِ كُلِّهَا كَمَا يُعَلِّمُنَا السُّورَةَ مِنْ الْقُرْآنِ يَقُولُ : إذَا هَمَّ أَحَدُكُمْ بِالأَمْرِ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ مِنْ غَيْرِ الْفَرِيضَةِ ثُمَّ لِيَقُلْ: (اللَّهُمَّ إنِّي أَسْتَخِيرُكَ بِعِلْمِكَ , وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ , وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ الْعَظِيمِ فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلا أَقْدِرُ , وَتَعْلَمُ وَلا أَعْلَمُ , وَأَنْتَ عَلامُ الْغُيُوبِ , اللَّهُمَّ إنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الأَمْرَ (هنا تسمي حاجتك) خَيْرٌ لِي فِي دِينِي وَمَعَاشِي وَعَاقِبَةِ أَمْرِي (أَوْ قَالَ: عَاجِلِ أَمْرِي وَآجِلِهِ) , فَاقْدُرْهُ لِي وَيَسِّرْهُ لِي ثُمَّ بَارِكْ لِي فِيهِ , اللَّهُمَّ وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الأَمْرَ (هنا تسمي حاجتك) شَرٌّ لِي فِي دِينِي وَمَعَاشِي وَعَاقِبَةِ أَمْرِي (أَوْ قَالَ : عَاجِلِ أَمْرِي وَآجِلِهِ) , فَاصْرِفْهُ عَنِّي وَاصْرِفْنِي عَنْهُ وَاقْدُرْ لِي الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ ثُمَّ ارْضِنِي بِهِ) وَيُسَمِّي حَاجَتَهُ وَفِي رواية ثُمَّ رَضِّنِي بِهِ
((11رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ (66))
Doanya:
اللَّهُمَّ إنِّي أَسْتَخِيرُكَ بِعِلْمِكَ , وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ , وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ الْعَظِيمِ فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلا أَقْدِرُ , وَتَعْلَمُ وَلا أَعْلَمُ , وَأَنْتَ عَلامُ الْغُيُوبِ , اللَّهُمَّ إنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الأَمْرَ (هنا تسمي حاجتك) خَيْرٌ لِي فِي دِينِي وَمَعَاشِي وَعَاقِبَةِ أَمْرِي, فَاقْدُرْهُ لِي وَيَسِّرْهُ لِي ثُمَّ بَارِكْ لِي فِيهِ , اللَّهُمَّ وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الأَمْرَ (هنا تسمي حاجتك ) شَرٌّ لِي فِي دِينِي وَمَعَاشِي وَعَاقِبَةِ أَمْرِي, فَاصْرِفْهُ عَنِّي وَاصْرِفْنِي عَنْهُ وَاقْدُرْ لِي الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ ثُمَّ ارْضِنِي بِهِ
Atau:
اللَّهُمَّ إنِّي أَسْتَخِيرُكَ بِعِلْمِكَ , وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ , وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ الْعَظِيمِ فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلا أَقْدِرُ , وَتَعْلَمُ وَلا أَعْلَمُ , وَأَنْتَ عَلامُ الْغُيُوبِ , اللَّهُمَّ إنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الأَمْرَ (هنا تسمي حاجتك) خَيْرٌ لِي فِي عَاجِلِ أَمْرِي وَآجِلِهِ , فَاقْدُرْهُ لِي وَيَسِّرْهُ لِي ثُمَّ بَارِكْ لِي فِيهِ , اللَّهُمَّ وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الأَمْرَ (هنا تسمي حاجتك ) شَرٌّ لِي فِي عَاجِلِ أَمْرِي وَآجِلِهِ , فَاصْرِفْهُ عَنِّي وَاصْرِفْنِي عَنْهُ وَاقْدُرْ لِي الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ ثُمَّ ارْضِنِي بِهِ

Transliterasi Doa:

Allaahumma inni astakheeruka bi ‘ilmika wa astaqdiruka bi qudratika wa as’aluka min fadlikal ‘adziim, fa innaka taqdiru wa laa aqdir, wa ta’lamu wa laa a’lam, wa anta ‘allaamulghuyoob. Allaahumma in kunta ta’lamu anna haadzal-amra [dinyatakan apa yang diminta] khayrulli fi diinii - wa ma’aashii wa ‘aaqibati amri - (atau: ‘aajil amri wa aajilihi) faqdurhu li wa yassirhu li tsumma baarik lii fiihi. Allaahumma wa in kunta ta’lamu anna haadzal amro [dinyatakan apa yang diminta] sharrullii fi diini - wa ma’aashi wa ‘aaqibati amri - (atau: ‘aajili amri wa aajilihi) - fasrifhu ‘anni washrifnii ‘anhu - waqdur lilkhayr haytsu kaana tsummaradinii bihiTerjemahan (Doa):
“Ya Allah! Sesungguhnya aku memohon pilihan kepadamu dengan pengetahuanmu, aku memohon keputusanmu dengan kekuasaanmu dan aku memohon kepadaMu dengan keutamaamu yang besar. Sesungguhnya engkau berkuasa dan aku tidak berkuasa, Engkau Maha Mengetahui hal-hal yang ghaib. Ya Allah! Apabila Engkau mengetahui bahawa urusan ini [dinyatakan hajatnya] baik bagiku dalam agamaku, penghidupanku dan akhir urusanku (masa dekat dan masa depan urusanku), maka takdirkanlah dan mudahkanlah bagiku kemudian berkatilah aku didalamnya. Apabila Engkau mengetahui bahawa urusan ini buruk bagiku dalam agamaku, penghidupanku dan akhir urusanku, (masa dekat dan masa depan urusanku), maka singkirkanlah ia dariku atau singkirkanlah aku darinya, dan takdirkanlah kebaikan bagiku dimana jua, kemudian jadikanlah aku redha dengannya”. (Hadis Riwayat Bukhari,1166)

Bilakah Disunnahkan/Dituntut Melakukan Solat Istikhoroh

Disyari’atkan/Disunnahkan/Dituntut melakukan solat Istikhoroh apabila seseorang berkehendak melakukan atau meninggalkan suatu perkara baik perkara besar atau kecil, dan dia mendapati keraguan, kesamaran atau ketidaktahuan akibat baik atau buruk baginya di masa yang akan datang, seperti pernikahan, safar (bepergian), hutang-piutang, jual-beli, sewa-menyewa, membuka usaha, atau seumpamanya.

Al-Mubarakfuri berkata (Dinukil secara ringkas dari Tuhfatul Ahwadzi oleh al-Mubarakfuri, 2/482): “Perkataan Jabir bin Abdullah: “Rasulullah mengajari kami solat Istikhoroh dalam segenap perkara…” menunjukkan bahawa solat Istikhoroh disyariatkan ketika menghadapi semua perkara, baik kecil atau besar, dan seseorang tidak boleh meremehkan suatu perkara, walaupun menurutnya ia remeh, sehingga meninggalkan syari’at solat Istikhoroh, dan melakukan perkara yang dianggap remeh padahal akibatnya sangat besar baginya baik keuntungan atau kerugian, atau manfaat dan madharatnya.”

Muhammad Syamsul Haq al-Adhim al-Abadi berkata (Dinukil secara ringkas dan Aunul Ma’bud 4/278): “Perkataan Nabi: “Apabila ada di antara kalian berkeinginan/bermaksud…,” menunjukkan bahawa solat Istikhoroh disyariatkan bagi siapa saja yang benar-benar bermaksud melakukan atau meninggalkan apa yang terlintas dibenaknya tetapi dia tidak mengetahui akibatnya, bukan bererti setiap yang terlintas dibenaknya. Apabila setiap yang terlintas dibenaknya harus solat Istikhoroh, maka setiap waktu seseorang harus solat Istikhoroh sehingga waktunya habis hanya untuk solat Istikhoroh, akhimya ibadah yang lain ditinggalkan, dan kegiatan lain yang bermanfa’at pun terabaikan lantaran setiap orang selalu terlintas dibenaknya berbagai masalah setiap saat.”

Solat Istikhoroh hanya dilakukan apabila seseorang ragu atau tidak tahu akibat dan perkara yang akan dilakukan atau ditinggalkan, adapun perkara yang sudah diketahui akibat baiknya atau akibat buruknya, maka tidak disyari’atkan untuk solat Istikhoroh, lantaran maksud dari istikhoroh adalah mencari yang lebih baik dari suatu perkara. (Lihat Syarh Riyadhus Sholihin oleh Ibnu Utsaimin 2/511-512)

As-Sayyid Sabiq berkata: “Istikhoroh hanya disyariatkan pada masalah yang asal hukumnya mubah, adapun perkara yang wajib atau sunnah, maka sudah diketahui bahwa hal itu berakibat baik, diperintahkan untuk dilaksanakan dan berpahala. Demikian juga perkara yang haram dan makruh, maka hal itu sudah diketahui bahwa akibatnya buruk dan diperintahkan untuk meninggalkannya, serta diancam dengan adzab Allah. Dan sini kita mengetahui bahwa tidak disyari’atkan sholat Istikhoroh dalam perkara wajib, sunnah, haram dan makruh, karena semua itu telah jelas akibat baik dan buruknya”. (Dinukil secara bebas dari Fiqh as-Sunnah 1/199, demikian juga dikatakan oleh Salim bin ‘Ied al-Hilali dalam Bahjah an-Nadhirin Syarh Riyadh as-Sholihin, 2/43)

Solat Istikhoroh boleh dilakukan untuk perkara wajib atau sunnah, tetapi bukan dilakukan untuk mencari akibat baik atau buruk dan perkara yang wajib atau sunnah tersebut (lantaran akibat dan perbuatan wajib dan sunnah sudah jelas baik, dan berpahala), hanya saja dilakukan seperti untuk menentukan waktu terbaik pelaksanaan perkara wajib, atau ingin mendahulukan yang terbaik dari beberapa perkara sunnah yang hendak ia lakukan.

Suatu contoh, seseorang yang mempunyai tanggungan puasa Ramadhan, maka ia tidak perlu beristikhoroh untuk menentukan apakah qadha’ puasa baginya baik atau buruk, kerana sudah jelas hukum mengqadha’ puasa Ramadhan adalah wajib dan berpahala, tetapi ia dapat beristikhoroh apabila ragu menentukan hari untuk mengqadha’ puasanya.

Contoh lain, seseorang penuntut ilmu yang dihadapkan pada dua pilihan misalnya, antara mengambil kursus kejuruteraan komputer dan kursus kejuruteraan kimia, maka ia tidak perlu beristikhoroh tentang baik atau buruknya kedua ilmu tersebut kerana jelas semuanya berakibat baik dan berpahala, akan tetapi ia dapat beristikhoroh bagi memilih yang manakah terbaik di antara keduanya untuk masa depannya dan kelancaran pembelajarannya.

Antara Istikhoroh Dan Musyawarah

Istikhoroh adalah perkara yang disyariatkan sebagaimana musyawarah juga disyariatkan, sebagaimana firman-Nya;

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الأمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
Maafkanlah mereka, mohonkan ampunan bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam segenap perkara. Apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah.” (QS. Ali Imran 3: 159)Syaikh ibnu Utsaimin berkata:

Istikhoroh (meminta yang terbaik) itu kepada Allah, sedangkan musyawarah itu meminta pendapat kepada orang-orang yang soleh atau kepada mereka yang berilmu dalam urusan yang dihadapi. Oleh kerana itu disyaratkan bagi orang yang hendak bermusyawarah untuk memilih orang yang mempunyai dua kriteria, iaitu;

Pertama, dia adalah seorang yang bijak (mampu membantu dan memberi pendapat yang baik). Hal ini lantaran seorang yang bermusyawarah memerlukan pandangan yang baik dan paling sesuai/benar untuk kemaslahatan (kebaikan) dirinya samaada di dunia atau di akhirat.

Kedua, dia adalah seorang yang soleh (menjaga agamanya). Lantaran orang yang tidak soleh adalah orang yang tidak menjaga agamanya dan biasanya tidak menjaga amanah dan rahsia orang lain walaupun orang tersebut bijaksana (memiliki pendapat yang bernas).

Apabila setelah melaksanakan solat dan doa istikhoroh tetapi tidak tampak mana yang lebih baik, maka dianjurkan bermusyawarah dengan orang yang soleh dan bijaksana. Kemudian apa yang disarankan kepadanya insya-Allah itulah yang lebih baik baginya, kerana suatu saat Allah tidak menampakkan kepada seseorang suatu kebaikan dan tidak menjadikan hati seseorang condong/cenderung kepada suatu perkara hanya dengan istikhoroh, tetapi Allah menjadikan hatinya condong kepada salah satu hal yang diragukan setelah bermusyawarah.”

Cara Solat Istikhoroh

Solat Istikhoroh dilakukan seperti solat sunnah yang lain iaitu sebanyak dua rakaat, sama ada siang atau malam hari (selama sedang memerlukan petunjuk), dalam setiap rakaatnya membaca al-Fatihah dan surah apa saja yang sudah dihafal, lalu mengangkat tangan sambil berdoa dengan doa istikhoroh yang diajarkan oleh Nabi seperti yang telah disebutkan/dibentangkan di atas (dalam hadis Bukhori dari jalan Jabir Bin Abdulloh). (Asal perkataan ini oleh Ibnu Baz dalam Majmu’ Fatawa wa Maqolat Mutanawwi’ah, 11/421)

Adakah Dalam Solat Istikhoroh Ada Bacaan Khusus/Tertentu?

Imam Nawawi mengatakan: “Disunnahkan pada raka’at pertama setelah al-Fatihah membaca surat al-Kafirun dan raka’at ke dua setelah al-Fatihah membaca surat al-Ikhlash” (al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab 2/377), hal ini didasari oleh maksud orang yang beristikhoroh supaya mengikhlaskan niatnya hanya kepada Allah, sehingga yang patut dibaca adalah dua surat tersebut.

Sedangkan al-Hafiz al-’Iraqi mengatakan (Perkataan ini dinukil dari Tuhfatul Ahwadzi 2/484): “Aku tidak menjumpai satu hadis pun tentang penentuan bacaan surah-surah khusus dalam solat Istikhoroh.”

Dan keterangan di atas jelaslah bahwasanya pendapat yang lebih kuat adalah tidak adanya ketentuan surah-surah yang dibaca ketika solat Istikhoroh, lantaran tidak ada keterangan dari Rasulullah akan hal itu, dan mereka yang mensunnahkan surah-surah tertentu tidak mendatangkan dalil al-Qur’an dan Sunnah, sehingga kita katakan disunnahkan setelah membaca al-Fatihah di masing-masing raka’at untuk membaca surah apa saja dari al-Qur’an yang telah dihafal.

Berkata Ibnu Bazz (Majmu’ Fatawa wa Maqolat Mutanawzvi’ah 11/421): “Hendaknya (orang yang solat Istikhoroh) membaca al-Fatihah di setiap raka’at dan membaca surah apa saja yang mudah.”

Bilakah Doa Istikhoroh Dibacakan?

Doa Istikhoroh boleh dibaca samaada sebelum salam atau selepas salam selepas solat dua roka’at. (Sebagaimana fatwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawanya 12/105)

a. Sebelum salam

Adapun dibolehkan membaca do’a istikhoroh sebelum salam ini berdasarkan:

1. Kebanyakan doa Nabi dalam sholat dilakukan sebelum salam (setelah tasyahud akhir), seperti yang dijelaskan oleh Abu Hurairoh, beliau berkata: “Nabi bersabda: Apabila kalian selesai dari tasyahud yang terakhir, hendaklah berdo’a meminta perlindungan kepada Allah dari empat perkara, iaitu mengucapkan (maksudnya);

Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari azab neraka Jahannam, dan azab kubur, dari fitnah kehidupan dan kematian, dan dari fitnah al-Masih ad-Dajjal. (Hadis Riwayat Bukhari 1377, dan Muslim 58 8)

2. Demikian juga Rasulullah mengajari Abu Bakar tatkala beliau minta diajarkan do’a yang boleh dibaca dalam solatnya, lalu Nabi memerintahkan beliau untuk membaca (maksudnya);

Ya Allah sesungguhnya aku telah menzalimi diriku dengan kezaliman yang banyak, tidak ada yang mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau, maka ampunilah aku dengan ampunan dari-Mu, dan rahmatilah aku, sesungguhnya Engkaulah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Hadis Riwayat Bukhari 834 dan Muslim 3/7/27)

3. Dalam Hadis Jabir bin Abdullah, Rasulullah tidak menentukan tempat dibacanya doa istikharah apakah harus dibaca sebelum salam atau setelah salam.

b. Sesudah salam

Sedangkan dibolehkan doa Istikhoroh dibaca sesudah salam berdasarkan zahir hadis yang menunjukkan doa tersebut dibaca sesudah salam, sebagaimana Nabi bersabda (yang ertinya): “Apabila di antara kalian berkeinginan/bermaksud terhadap suatu perkara, hendaklah solat sunnah dua rakaat bukan termasuk wajib, kemudian berdo’a…”

Berkata Ibnu Baz: “Sholat Istikhoroh hukumnya sunnah, dan do’a istikhoroh tempatnya setelah salam sebagaimana (zahir) hadis yang telah datang dari Rasulullah” (Majmu’ Fatawa wa Maqolat Mutanawwi’ah 11/421422). (Demikian juga difatwakan oleh Lajnah Da’imah dalam Fatwa no. 10666)

Apa Yang Dilakukan Setelah Solat Istikhoroh Dan Bermusyawarah?

Imam Nawawi r.h. berkata (Perkataan Imam Nawawi (dinukil secara bebas) ini dinukil oleh Imam Syaukani dalam Nailul Author 2/298): “Setelah seseorang melakukan solat Istikhoroh, sebaiknya dia menjalani apa yang dia rasakan lapang dadanya terhadap perkara tersebut baik meneruskan maksudnya atau meninggalkannya.”

Kemudian beliau melanjutkan perkataannya:

“Bagi orang yang hendak beristikhoroh hendaklah ia menghilangkan kecondongan hatinya terhadap suatu perkara sebelum melakukan solat dan doa Istikhoroh, dan tidak selayaknya bersandar kepada adanya kecondongan hati sebelum istikhoroh, kerana apabila ada kecondongan hati sebelum istikhoroh, lalu dia melakukan istikhoroh, bererti dia tidak beristikhoroh, kerana istikhoroh dilakukan ketika bimbang dan meminta dipilihkan yang terbaik dari Allah untuknya.”

Boleh Mengulang Solat Istikhoroh Dalam Satu Perkara

Ibnu Utsaimin berkata (Dinukil secara bebas dari Syarh Riyadhus Sholihin oleh Ibnu Utsaimin 2/515): “Setelah melakukan solat dan do’a istikhoroh, apabila merasa lapang dadanya terhadap suatu perkara baik meneruskan atau meninggalkan, maka inilah yang diharapkan, tetapi apabila tetap bimbang dan tidak merasa lapang dadanya, maka dia boleh mengulangi solat dan doa Istikhorohnya ke dua kali, ke tiga kalinya, dan seterusnya, hal ini lantaran orang yang beristikhoroh adalah orang yang meminta petunjuk kepada Allah akan kebaikan yang akan dia lakukan sehingga apabila tidak jelas baginya kebaikannya atau tetap ragu maka dia boleh beristikhoroh berulang kali.”

Adakah Tanda-Tanda Dikabulkannya Permintaan?

Sebahagian orang berkata: “Setelah melakukan solat dan doa Istikhoroh, maka akan datang petunjuk dalam mimpinya, maka diambil pilihan sebagaimana mimpinya,” oleh kerana itu ada sebagian orang berwudhu’, lalu melakukan solat dan doa istikhoroh, kemudian terus tidur (mengharap petunjuk datang melalui mimpi), bahkan sebahagian mereka menyengaja memakai pakaian berwarna putih (supaya bermimpi baik), semua ini hanyalah prasangka manusia (yang tidak ada dasarnya). (Lihat Bahjah an-Nadzirin Syarh Riyadhus Sholihin oleh Syaikh Salim bin led al-Hilali 2/44)

Kesimpulan

1. Rasa bimbang, ragu, dan ketidak-tahuan baik dan buruknya suatu perkara adalah hal yang wajar, kerana semua itu termasuk tabiat dan keterbatasan manusia.

2. Solat Istikhoroh adalab solat yang dilakukan untuk minta petunjuk kepada Allah kebaikan perkara yang sedang dihadapi.

3. Para ulama bersepakat (ijma’) bahawa solat Istikhoroh hukumnya sunnah.

4. Solat Istikhoroh disunnahkan bagi segenap perkara baik besar atau kecil, selama seseorang bimbang atau ragu ataupun tidak mengetahui maslahatnya di masa akan datang/terkemudian.

5. Apabila sudah terdapat kecondongan hati atau mengetahui tentang baiknya perkara (dari awal lagi), maka tidak disunnahkan beristikhoroh, ini kerana solat Istikhoroh itu dilakukan adalah bagi tujuan meminta petunjuk, dan Allah memerintahkan hambanya yang telah melaksanakannya supya bertawakal kepada Allah.

6. Istikhoroh disunnahkan dalam perkara-perkara yang asalnya mubah, adapun perkara wajib dan sunnah, maka tidak disunnahkan istikhoroh, ini kerana kebaikannya sudah jelas adanya, sebagaimana perkara haram dan makruh tidak disunnahkan istikhoroh kerana keburukannya sudah jelas adanya.

7. Tidak terdapat dalil yang sah tentang pengkhususan bacaan surah-surah al-Qur’an dalam solat Istikhoroh.

8. Doa Istikhoroh boleh dibaca dalam solat (sebelum salam) atau di luar solat (sesudah salam)

9. Dibolehkan mengulangi solat Istikhoroh dalam satu perkara apabila diperlukan.

10. Ketenangan hati dan kelapangan dada kepada suatu perkara setelah melakukan solat istikhoroh adalah tanda petunjuk dari Allah, dan tidak terdapat dalil yang sah tentang keharusan melihat mimpi setelah beristikhoroh.

Demikianlah yang dapat dibentangkan dari beberapa penjelasan/keterangan para ulama tentang solat Istikhoroh, mudah-mudahan kita mendapat petunjuk dari Allah sehingga kita dapat melangkah sesuai dengan apa yang digariskan oleh Allah dan Rasul-Nya dan mendapatkan yang terbaik dan sisi-Nya dengan jalan taat dan istiqomah di atas landasan-Nya, amiin.




MEWUJUDKAN PERNIKAHAN ISLAMI

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memaknakan dalam haditsnya, menikah adalah menyempurnakan setengah dari agamanya. Ungkapan ini menegaskan betapa pernikahan menduduki posisi yang mulia dalam Islam. Ia bukan sekadar lembaga untuk menghalalkan “aktivitas ranjang”.
Namun lebih dari itu. Menikah merupakan babak baru dari seorang individu muslim menjadi sebentuk keluarga di mana ia akan menegakkan syariat agama ini bukan hanya untuk dirinya sendiri namun juga terhadap pasangan hidupnya, anak-anaknya, dst. Nilai kemuliaan atau kesakralan pernikahan dalam Islam juga tecermin dari “prosesi” pendahuluan yang juga beradab. Islam hanya mengenal proses ta’aruf. Bukan praktik iseng atau coba-coba layaknya pacaran. Namun dilambari niatan yang tulus untuk berumah tangga sebagai bentuk ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala diringi dengan kesiapan untuk menerima segala kelebihan dan kekurangan dari pasangan hidupnya. Bukan niatan-niatan duniawi seperti mengejar materi, menutup aib, mengubur rasa malu, atau sekadar pelarian dari “patah hati”.Islam juga mengatur proses walimah atau resepsi pernikahan yang menonjolkan nuansa kesederhanaan dengan diliputi tuntunan syariat. Bukan mengukuhi adat, tidak pula kental dengan tradisi Barat.

Walimah dalam Islam, bukanlah hajatan yang sarat gengsi sehingga menuntut sahibul hajat untuk menyelenggarakan di luar kemampuannya. Walimah nikah juga tidaklah dimaknai sebagai acara jual beli yang memperhitungkan untung rugi atau minimalnya “balik modal”, sebagaimana hal ini tecermin dalam budaya amplop. Sehingga yang diundang tidak dibedakan antara yang “beramplop tebal”, “tipis”, atau bahkan yang “tidak beramplop sama sekali”. Alhasil, tidak berlaku kaidah “yang penting bukan orangnya yang datang (untuk mendoakan), namun amplopnya.”
Bahkan sebagaimana disitir dalam hadits, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyebut makanan dari walimatul ‘urs yang hanya mengundang orang-orang kaya sebagai sejelek-jelek makanan. Lebih-lebih jika itu semua dibumbui acara-acara yang tidak memiliki makna secara Islam seperti (dalam adat Jawa) siraman, ngerik, midodareni, jual dawet, panggih, balang suruh, nginjak telur, dan sebagainya. Atau yang sok kebarat-baratan (baca: latah) dengan standing party (pesta berdiri), tukar cincin, lempar bunga, berciuman di depan tamu undangan, dansa, atau yang sekadar menyuguhkan “hiburan” berupa musik (organ tunggal). Namun demikian, soal kemungkaran dalam proses menikah ini tidak hanya terjadi dalam dunia awam. Di kalangan aktivis atau pergerakan Islam juga tak sepi dari kemungkaran. Dalam niat, tak sedikit dari mereka yang meniatkan menikah karena ingin lari dari ”masa lalu”, semata menghindari orangtua yang dianggap jauh dari nilai-nilai Islam, dan sebagainya. Dalam tataran praktik ada yang mengawali proses nikah dengan pacaran ”Islami”, saling tukar foto, biro jodoh ”Islami”, hingga menikah tanpa wali. Sebaliknya, ada pula kelompok sempalan Islam yang justru mengajarkan untuk hidup membujang atau selibat sebagaimana ini telah dilakoni para pastor, frater, bruder, suster, biksu/biksuni, biarawan/biarawati, rahib, dan sejenisnya. Itulah salah satu inti ajaran Sufi. Membiaklah dari gaya hidup menyimpang ala “rohaniwan-rohaniwan” ini, beragam kelainan seperti homoseks, pedofilia, incest (hubungan seks sedarah), dan lainnya.Tak kalah “kacau balau”, adalah apa yang menjadi amalan ibadahnya orang-orang Syiah Rafidhah, yakni nikah mut’ah. Model pernikahan yang umum disebut dengan kawin kontrak ini praktiknya justru menjadi pintu perzinaan yang dikemas legal. Tak heran, jika ada orang-orang yang diulamakan atau ditokohkan tertangkap basah melakukan perzinaan, alasan nikah mut’ah kerap mengemuka. Begitulah ketika fitrah agama ini dilanggar. Perzinaan semakin subur, perilaku seksual menyimpang kian meluas, dan kerusakan masyarakat pun menjadi bom waktu. Maka sudah masanya bagi kita untuk menghidupkan syariat Allah Subhanahu wa Ta'ala, mewujudkan pernikahan Islami di tengah masyarakat kita!

Pernikahan dalam Rangka Mawaddah dan Rahmah]

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ
بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ“

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (Ar-Rum: 21)

Penjelasan Beberapa Mufradat Ayat
مِنْ أَنْفُسِكُمْ“Dari jenis kalian.”Yakni dari Bani Adam yang menjadi pasangan kalian. (Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Al-Baghawi, Fathul Qadir)لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا“Agar kamu merasa tenang dan condong kepadanya.”Sebab jika dari dua jenis yang berbeda, tentu tidak mendatangkan ketenangan bersamanya dan hatinya tidak condong kepadanya. (Tafsir Al-Alusi)مَوَدَّةً“Saling mencintai dan mengasihi.”Melalui tali pernikahan, sebagian kalian condong kepada sebagian lainnya, yang sebelumnya kalian tidak saling mengenal, tidak saling mencintai dan mengasihi. Ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud mawaddah adalah kecintaan seorang suami kepada istrinya. Diriwayatkan dari Mujahid bahwa beliau menafsirkan mawaddah dengan makna bersetubuh. (Fathul Qadir karya Asy-Syaukani rahimahullah)وَرَحْمَةً“Dan kasih sayang.”Adapula yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah perasaan kasih seorang lelaki kepada istrinya dari tertimpa keburukan. Diriwayatkan dari Mujahid rahimahullahu, beliau mengatakan: “Rahmah adalah anak.” (Fathul Qadir)

Penjelasan Makna AyatAl-’Allamah Abdurrahman As-Sa’di rahimahullahu berkata: “ ‘Di antara tanda-tanda kekuasaan’ yang menunjukkan rahmat dan perhatian-Nya kepada hamba-hamba-Nya, hikmah-Nya yang sangat agung dan ilmu-Nya yang luas, adalah “Dia menciptakan kalian dari jenis kalian dengan berpasang-pasangan,” yang mereka serasi dengan kalian dan kalianpun serasi dengan mereka. Sesuai dengan bentuk kalian dan kalian sesuai dengan bentuk tubuh mereka. “Agar kalian cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Allah jadikan di antara kalian rasa kasih dan sayang” sebagai buah dari pernikahan tersebut. Dengan adanya istri, seseorang dapat bersenang-senang dan merasakan kenikmatan, mendapatkan manfaat dengan adanya anak-anak, mendidik mereka, serta merasakan ketenangan bersamanya. Sehingga kebanyakannya, engkau tidak mendapati sebuah kasih sayang dan rahmat yang menyerupai apa yang dirasakan antara suami dan istri. Sesungguhnya dalam hal itu terdapat tanda-tanda kekuasaan-Nya bagi kaum yang berpikir. Yang menggunakan pikirannya dan mentadabburi ayat-ayat Allah Subhanahu wa Ta'ala serta berpindah dari satu ayat kepada yang lainnya.” (Taisir Al-Karim Ar-Rahman)Al-’Allamah Asy-Syinqithi rahimahullahu berkata: “Allah Subhanahu wa Ta'ala menyebutkan dalam ayat yang mulia ini bahwa Ia memberi anugerah kepada anak cucu Adam berupa anugerah yang paling agung.

Di mana Allah Subhanahu wa Ta'ala menjadikan mereka dari jenis dan bentuk mereka berpasang-pasangan. Kalau sekiranya Allah Subhanahu wa Ta'ala menjadikan pasangan dari jenis lain, tentu tidak akan terjadi kasih sayang, perasaan cinta dan rahmat.” (Adhwa`ul Bayan, 3/213, dalam penafsiran Surat An-Nahl ayat 72)Mawaddah dalam Rumah TanggaAyat ini menjelaskan kepada hamba-hamba-Nya bahwa di antara hikmah adanya pernikahan antara seorang pria dengan wanita adalah agar dapat mewujudkan perasaan saling mencintai dan saling mengasihi di antara mereka. Hal ini baru dapat terwujud ketika seorang pria menikahi seorang wanita yang pencinta/penyayang terhadap suaminya, serta mewujudkan harapan suaminya dengan mendapatkan karunia dari Allah Subhanahu wa Ta'ala berupa keturunan dari anak-anak yang shalih dan shalihah.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلاً“

Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi shalih adalah lebih baik pahalanya di sisi Rabbmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (Al-Kahfi: 46)

Dan firman-Nya
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَاْلأَنْعَامِ
وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ“

Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (Ali ‘Imran: 14)Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan anjuran kepada umatnya untuk menikahi seorang wanita yang dapat mewujudkan mawaddah dan rahmah dalam rumah tangganya. Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu bahwa beliau berkata: “Adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan untuk menikah dan melarang keras dari tabattul (mencegah diri untuk menikah).

Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
تَزَوَّجُوا الْوَدُودَ الْوَلُودَ إِنِّي مُكَاثِرٌ اْلأَنْبِيَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ“

Nikahilah wanita yang al-wadud dan al-walud, karena sesungguhnya aku berbangga di hadapan para nabi dengan jumlah umatku yang banyak pada hari kiamat.” (HR. Ahmad, 3/158, Ibnu Hibban dengan tartib Ibnu Bulban, 9/338, no. 4028, Al-Baihaqi, 7/81, Ath-Thabarani dalam Al-Ausath, 5/207. Dishahihkan Al-Albani rahimahullahu dalam Al-Irwa`, 6/195, no. 1783)

Juga diriwayatkan dari Ma’qil bin Yasar radhiyallahu 'anhu, beliau berkata: “Ada seorang lelaki datang kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam lalu berkata: ‘Sesungguhnya aku mendapati seorang wanita yang memiliki kehormatan, kedudukan, dan harta. Hanya saja dia tidak dapat melahirkan (mandul), apakah boleh aku menikahinya?’ Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarangnya. Lalu ia datang kedua kalinya, dan beliau mengucapkan kalimat yang sama. Ia mendatanginya pada kali yang ketiga, dan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tetap mengucapkan kalimat yang sama. Lalu Ralulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Nikahilah wanita yang al-wadud dan al-walud, karena sesungguhnya aku berbangga di hadapan para nabi dengan jumlah umatku yang banyak pada hari kiamat.”

(HR. Abu Dawud, Kitab An-Nikah, Bab Fi Tazwij Al-Abkar, no. 2050, Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, 2/176, Ibnu Hibban, 9/363, no. 4056. Dishahihkan Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Abu Dawud)

Yang dimaksud al-wadud adalah seorang wanita yang sangat pecinta/penyayang terhadap suaminya. Sedangkan makna al-walud adalah wanita yang banyak melahirkan anak. Disebutnya dua sifat wanita yang dijadikan sebagai istri ini adalah karena seorang wanita yang dapat melahirkan anak banyak namun tidak memiliki sifat cinta kepada suaminya, tidaklah menyebabkan kecintaan suaminya terhadapnya. Demikan pula sebaliknya, seorang wanita yang pecinta terhadap suami namun tidak dapat melahirkan anak, dia tidak pula dapat mewujudkan keinginan untuk memperbanyak jumlah umat ini dengan banyaknya orang yang melahirkan.Dua sifat ini dapat diketahui dari seorang perawan dengan melihat kepada kerabatnya. Sebab, secara umum tabiat mereka saling menyerupai antara satu dengan yang lain. (lihat ‘Aunul Ma’bud, 6/33-34)

Diriwayatkan pula dari Ka’b bin ‘Ujrah radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda

أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِرِجَالِكُمْ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ؟ قَالُوا: بَلَى يَا رَسُولَ اللهِ. قَالَ: النَّبِيُّ فِي الْجَنَّةِ، وَالشَّهِيدُ فِي الْجَنَّةِ، وَالصِّدِّيقُ
فِي الْجَنَّةِ، وَالْمَوْلُودُ فِي الْجَنَّةِ، وَالرَّجُلُ يَزُورُ أَخَاهُ فِي جَانِبِ الْمِصْرِ فِي الْجَنَّةِ، أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِنِسَائِكُمْ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ؟ قَالُوا: بَلَى يا رَسُولَ اللهِ. قَالَ: الْوَدُودُ الْوَلُودُ الَّتِي إِنْ ظَلَمَتْ أَوْ ظُلِمَتْ قَالَتْ: هَذِهِ نَاصِيَتِي بِيَدِكَ لاَ أَذُوقُ غَمْضًا حَتَّى تَرْضَى“


Maukah aku kabarkan kepada kalian tentang para lelaki penduduk surga?” Mereka menjawab: “Ya, wahai Rasulullah.” Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Nabi dalam surga, syahid (yang mati dalam peperangan) dalam surga, shiddiq (yang sangat jujur) dalam surga, anak yang dilahirkan (meninggal di masa kecilnya) dalam surga, seseorang yang mengunjungi saudaranya di sebuah kampung dalam surga. Maukah aku kabarkan kalian tentang wanita ahli surga?” Mereka menjawab: “Ya, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda: “Wanita yang wadud (pecinta kepada suaminya), wanita yang banyak melahirkan anak, (yang suka kembali kepada suaminya) yang jika dia menzalimi atau dizalimi, maka dia berkata: ‘Diriku ada dalam genggamanmu, aku tidak merasakan tidur hingga engkau ridha (kepadaku)’.” (HR. Ath-Thabarani, 19/140, dihasankan Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Al-Jami’, no. 2604)

KaidahApa yang disebutkan di dalam ayat yang mulia tersebut berupa anjuran mencari pasangan hidup dan menghasilkan keturunan, tidak terlepas dari sebuah kaidah umum yang terdapat dalam agama ini yang mengatakan:
الشَّارِعُ لاَ يَأْمُرُ إِلاَّ بِمَا مَصْلَحَتُهُ خَالِصَةٌ أَوْ رَاجِحَةٌ وَلاَ يَنْهَى إِلاَّ عَمَّا مَفْسَدَتُهُ خَالِصَةٌ أَوْ رَاجِحَةٌ“

Syariat tidak memerintahkan kecuali kepada sesuatu yang kemaslahatannya murni atau lebih mendominasi, dan tidak melarang kecuali dari sesuatu yang kerusakannya murni atau lebih mendominasi.”Kaidah ini dibangun di atas dalil-dalil dari Al-Qur`an dan As-Sunnah. Di antara yang menunjukkan hal ini adalah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (An-Nahl: 90)Maka tidak ada sesuatupun yang bersifat adil, perbuatan baik, dan menyambung hubungan dengan yang lain, melainkan Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkannya berdasarkan ayat ini. Juga, tidak satupun perbuatan keji, mungkar yang hubungannya dengan hak-hak Allah Subhanahu wa Ta'ala, dan perbuatan zalim terhadap makhluk baik terhadap darah, harta, dan kehormatan mereka melainkan Allah Subhanahu wa Ta'ala melarangnya.Demikian pula firman-Nya:
قُلْ أَمَرَ رَبِّي بِالْقِسْطِ وَأَقِيمُوا وُجُوهَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَادْعُوهُ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ كَمَا بَدَأَكُمْ تَعُودُونَ

Katakanlah: ‘Rabbku menyuruh menjalankan keadilan.’ Dan (katakanlah): ‘Luruskanlah muka (diri) mu di setiap shalat dan sembahlah Allah dengan mengikhlaskan ketaatanmu kepada-Nya. Sebagaimana Dia telah menciptakan kamu pada permulaan (demikian pulalah) kamu akan kembali kepadaNya)’.” (Al-A’raf: 29)Di dalam ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta'ala mengumpulkan pokok-pokok (ushul) dari perintah-perintah-Nya.

Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta'ala mengumpulkan pokok-pokok (ushul) dari hal-hal yang diharamkan dalam firman-Nya:

قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَاْلإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ
“Katakanlah: ‘Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui’.” (Al-A’raf: 33)

Demikian pula dengan pernikahan, di mana seorang muslim dan muslimah mendapatkan banyak kemaslahatan darinya, berupa pemeliharaan terhadap kehormatan, mencegah dari perbuatan zina, memelihara pandangan, melanjutkan generasi, dan berbagai faedah lainnya yang tidak tersamarkan bagi mereka yang telah melakukannya.

Rukun dan Syarat Akad Nikah

Akad nikah mempunyai beberapa rukun dan syarat yang harus dipenuhi. Rukun dan syarat menentukan hukum suatu perbuatan, terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Kedua kata tersebut mengandung arti yang sama dalam hal bahwa keduanya merupakan sesuatu yang harus diadakan. Dalam pernikahan misalnya, rukun dan syaratnya tidak boleh tertinggal. Artinya, pernikahan tidak sah bila keduanya tidak ada atau tidak lengkap.

Perbedaan rukun dan syarat adalah kalau rukun itu harus ada dalam satu amalan dan ia merupakan bagian yang hakiki dari amalan tersebut.
Sementara syarat adalah sesuatu yang harus ada dalam satu amalan namun ia bukan bagian dari amalan tersebut. Sebagai misal adalah ruku’ termasuk rukun shalat. Ia harus ada dalam ibadah shalat dan merupakan bagian dari amalan/tata cara shalat. Adapun wudhu merupakan syarat shalat, ia harus dilakukan bila seseorang hendak shalat namun ia bukan bagian dari amalan/tata cara shalat.Dalam masalah rukun dan syarat pernikahan ini kita dapati para ulama berselisih pandang ketika menempatkan mana yang rukun dan mana yang syarat. (Raddul Mukhtar, 4/68, Al-Hawil Kabir, 9/57-59, 152, Al-Mu’tamad fi Fiqhil Imam Ahmad, 2/154)
Akan tetapi karena perselisihan yang ada panjang dan lebar, sementara ruang yang ada terbatas, kita langsung pada kesimpulan akhir dalam permasalahan rukun dan syarat ini.

Rukun Nikah

Rukun nikah adalah sebagai berikut:
1. Adanya calon suami dan istri yang tidak terhalang dan terlarang secara syar’i untuk menikah. Di antara perkara syar’i yang menghalangi keabsahan suatu pernikahan misalnya si wanita yang akan dinikahi termasuk orang yang haram dinikahi oleh si lelaki karena adanya hubungan nasab atau hubungan penyusuan. Atau, si wanita sedang dalam masa iddahnya dan selainnya. Penghalang lainnya misalnya si lelaki adalah orang kafir, sementara wanita yang akan dinikahinya seorang muslimah.

2. Adanya ijab, yaitu lafadz yang diucapkan oleh wali atau yang menggantikan posisi wali. Misalnya dengan si wali mengatakan, “Zawwajtuka Fulanah” (“Aku nikahkan engkau dengan si Fulanah”) atau “Ankahtuka Fulanah” (“Aku nikahkan engkau dengan Fulanah”).3. Adanya qabul, yaitu lafadz yang diucapkan oleh suami atau yang mewakilinya, dengan menyatakan, “Qabiltu Hadzan Nikah” atau “Qabiltu Hadzat Tazwij” (“Aku terima pernikahan ini”) atau “Qabiltuha.”Dalam ijab dan qabul dipakai lafadz inkah dan tazwij karena dua lafadz ini yang datang dalam Al-Qur`an. Seperti firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ مِنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا“

Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluannya terhadap istrinya (menceraikannya), zawwajnakaha1 (Kami nikahkan engkau dengan Zainab yang telah diceraikan Zaid).” (Al-Ahzab: 37)
Dan firman-Nya:

وَلاَ تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ“

Janganlah kalian menikahi (tankihu2) wanita-wanita yang telah dinikahi oleh ayah-ayah kalian (ibu tiri).” (An-Nisa`: 22)

Namun penyebutan dua lafadz ini dalam Al-Qur`an bukanlah sebagai pembatasan, yakni harus memakai lafadz ini dan tidak boleh lafadz yang lain. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu, demikian pula murid beliau Ibnul Qayyim rahimahullahu, memilih pendapat yang menyatakan akad nikah bisa terjalin dengan lafadz apa saja yang menunjukkan ke sana, tanpa pembatasan harus dengan lafadz tertentu. Bahkan bisa dengan menggunakan bahasa apa saja, selama yang diinginkan dengan lafadz tersebut adalah penetapan akad. Ini merupakan pendapat jumhur ulama, seperti Malik, Abu Hanifah, dan salah satu perkataan dari mazhab Ahmad. Akad nikah seorang yang bisu tuli bisa dilakukan dengan menuliskan ijab qabul atau dengan isyarat yang dapat dipahami. (Al-Ikhtiyarat, hal. 203, I’lamul Muwaqqi’in, 2/4-5, Asy-Syarhul Mumti’, 12/38-44, Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, 2/283-284)

syarat nikah
Adapun syarat nikah adalah sebagai berikut:

Syarat pertama: Kepastian siapa mempelai laki-laki dan siapa mempelai wanita dengan isyarat (menunjuk) atau menyebutkan nama atau sifatnya yang khusus/khas. Sehingga tidak cukup bila seorang wali hanya mengatakan, “Aku nikahkan engkau dengan putriku”, sementara ia memiliki beberapa orang putri.

Syarat kedua: Keridhaan dari masing-masing pihak,
dengan dalil hadits Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu secara marfu’:

لاَ تُنْكَحُ اْلأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ وَلاَ تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ“

Tidak boleh seorang janda dinikahkan hingga ia diajak musyawarah/dimintai pendapat, dan tidak boleh seorang gadis dinikahkan sampai dimintai izinnya.” (HR. Al-Bukhari no. 5136 dan Muslim no. 3458)Terkecuali bila si wanita masih kecil, belum baligh, maka boleh bagi walinya menikahkannya tanpa seizinnya.

Syarat ketiga: Adanya wali bagi calon mempelai wanita,

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda

لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ

“Tidak ada nikah kecuali dengan adanya wali.” (HR. Al-Khamsah kecuali An-Nasa`i, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Al-Irwa` no. 1839)

Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda:

أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ مَوَالِيْهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ“

Wanita mana saja yang menikah tanpa izin wali-walinya maka nikahnya batil, nikahnya batil, nikahnya batil.” (HR. Abu Dawud no. 2083, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Abi Dawud)

Apabila seorang wanita menikahkan dirinya sendiri tanpa adanya wali maka nikahnya batil, tidak sah. Demikian pula bila ia menikahkan wanita lain. Ini merupakan pendapat jumhur ulama dan inilah pendapat yang rajih. Diriwayatkan hal ini dari ‘Umar, ‘Ali, Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Abbas, Abu Hurairah dan Aisyah radhiyallahu 'anhum. Demikian pula pendapat yang dipegangi oleh Sa’id ibnul Musayyab, Al-Hasan Al-Bashri, ‘Umar bin Abdil ‘Aziz, Jabir bin Zaid, Ats-Tsauri, Ibnu Abi Laila, Ibnu Syubrumah, Ibnul Mubarak, Ubaidullah Al-’Anbari, Asy-Syafi’i, Ahmad, Ishaq, dan Abu ‘Ubaid rahimahumullah. Al-Imam Malik juga berpendapat seperti ini dalam riwayat Asyhab. Adapun Abu Hanifah menyelisihi pendapat yang ada, karena beliau berpandangan boleh bagi seorang wanita menikahkan dirinya sendiri ataupun menikahkan wanita lain, sebagaimana ia boleh menyerahkan urusan nikahnya kepada selain walinya. (Mausu’ah Masa`ilil Jumhur fil Fiqhil Islami, 2/673, Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, 2/284-285)

Siapakah Wali dalam Pernikahan?

Ulama berbeda pendapat dalam masalah wali bagi wanita dalam pernikahannya. Adapun jumhur ulama, di antara mereka adalah Al-Imam Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad, dan selainnya berpandangan bahwa wali nasab seorang wanita dalam pernikahannya adalah dari kalangan ‘ashabah, yaitu kerabat dari kalangan laki-laki yang hubungan kekerabatannya dengan si wanita terjalin dengan perantara laki-laki (bukan dari pihak keluarga perempuan atau keluarga ibu tapi dari pihak keluarga ayah/laki-laki), seperti ayah, kakek dari pihak ayah3, saudara laki-laki, paman dari pihak ayah, anak laki-laki paman dari pihak ayah, dan seterusnya.Dengan demikian ayahnya ibu (kakek), saudara perempuan ibu (paman/khal), saudara laki-laki seibu, dan semisalnya, bukanlah wali dalam pernikahan, karena mereka bukan ‘ashabah tapi dari kalangan dzawil arham. (Fathul Bari, 9/235, Al-Mughni, kitab An-Nikah, fashl La Wilayata lighairil ‘Ashabat minal Aqarib)

Di antara sekian wali, maka yang paling berhak untuk menjadi wali si wanita adalah ayahnya, kemudian kakeknya (bapak dari ayahnya) dan seterusnya ke atas (bapaknya kakek, kakeknya kakek, dst.) Setelah itu, anak laki-laki si wanita, cucu laki-laki dari anak laki-lakinya, dan terus ke bawah. Kemudian saudara laki-lakinya yang sekandung atau saudara laki-laki seayah saja. Setelahnya, anak-anak laki-laki mereka (keponakan dari saudara laki-laki) terus ke bawah. Setelah itu barulah paman-paman dari pihak ayah, kemudian anak laki-laki paman dan terus ke bawah. Kemudian paman-paman ayah dari pihak kakek (bapaknya ayah). Setelahnya adalah maula (orang yang memerdekakannya dari perbudakan), kemudian yang paling dekat ‘ashabah-nya dengan si maula. Setelah itu barulah sulthan/penguasa. (Al-Mughni kitab An-Nikah, masalah Wa Ahaqqun Nas bin Binikahil Hurrah Abuha, dan seterusnya).

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

Bila seorang wanita tidak memiliki wali nasab atau walinya enggan menikahkannya, maka hakim/penguasa memiliki hak perwalian atasnya
dengan dalil sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:

فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهُ

Maka sulthan (penguasa) adalah wali bagi wanita yang tidak memiliki wali.” (HR. Abu Dawud no. 2083, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Abi Dawud)Syarat-syarat WaliUlama menyebutkan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh seorang wali:1. Laki-laki2. Berakal3. Beragama Islam4. Baligh5. Tidak sedang berihram haji ataupun umrah, karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يُنْكِحُ الْـمُحْرِمُ وَلاَ يُنْكَحُ وَلاَ يَخْطُبُ“

Seorang yang sedang berihram tidak boleh menikahkan, tidak boleh dinikahkan, dan tidak boleh mengkhitbah.” (HR. Muslim no. 3432)Sebagian fuqaha menambahkan syarat wali yang berikutnya adalah memiliki ‘adalah yaitu dia bukan seorang pendosa, bahkan ia terhindar dari melakukan dosa-dosa besar seperti mencuri, berzina, minum khamr, membunuh, makan harta anak yatim, dan semisalnya.
Di samping itu, dia tidak terus-menerus tenggelam dalam dosa-dosa kecil dan tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak sepantasnya. Pensyaratan ‘adalah ini merupakan salah satu dari dua riwayat dalam mazhab Hanabilah dan merupakan pendapat yang kuat dalam mazhab Syafi’iyyah.Adapun Hanafiyyah memandang seorang yang fasik tidaklah hilang haknya sebagai wali, kecuali bila kefasikannya tersebut sampai pada batasan ia berani terang-terangan berbuat dosa.Demikian pula Malikiyyah berpandangan seorang yang fasik tidak hilang haknya sebagai wali. Adapun ‘adalah hanyalah syarat penyempurna bagi wali, sehingga bila ada dua wali yang sama derajatnya, yang satu fasik sedangkan yang satu memiliki ‘adalah, seperti seorang wanita yang tidak lagi memiliki ayah dan ia memiliki dua saudara laki-laki, satunya fasik sedangkan yang satunya adil, tentunya yang dikedepankan adalah yang memiliki ‘adalah. (Fiqhun Nisa` fil Khithbah waz Zawaj secara ringkas, hal. 68-70)

Kompilasi Hukum Islam di Indonesia

Dalam buku I Hukum Pernikahan, Pasal 19, 20, 21, 22 dan 23 berkenaan dengan wali nikah, disebutkan:Pasal 19Wali nikah dalam pernikahan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak menikahkannya.

Pasal 20(1)

Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, aqil, dan baligh.

(2) Wali nikah terdiri dari:
a. wali nasab;
b. wali hakim

Pasal 21(1) Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan; kelompok yang satu didahulukan dari kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai.

Pertama: kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas, yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya.

Kedua: kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka.

Ketiga: kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah, dan keturunan laki-laki mereka.Keempat: kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah kakek, dan keturunan laki-laki mereka.

(2) Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang sama-sama berhak menjadi wali, maka yang paling berhak menjadi wali ialah yang lebih dekat derajat kekerabatannya dengan calon mempelai wanita.

(3) Apabila dalam satu kelompok sama derajat kekerabatannya, maka yang paling berhak menjadi wali nikah ialah kerabat kandung dari kerabat yang hanya seayah.

(4) Apabila dalam satu kelompok derajat kekerabatannya sama yakni sama-sama derajat kandung atau sama-sama derajat kerabat ayah, mereka sama-sama berhak menjadi wali nikah dengan mengutamakan yang lebih tua dan memenuhi syarat-syarat wali.

Pasal 22

Apabila wali nikah yang paling berhak urutannya tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah atau oleh karena wali nikah itu menderita tunawicara, tunarungu, atau sudah uzur, maka hak menjadi wali bergeser kepada wali nikah yang lain menurut derajat berikutnya.

Pasal 23
(1) Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adhal atau enggan.

(2) Dalam hal wali adhal atau enggan, maka wali hakim baru bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan Pengadilan Agama tentang wali tersebut.Syarat keempat: Persaksian atas akad nikah tersebut dengan dalil hadits Jabir bin Abdullah radhiyallahu 'anhuma secara marfu

لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ

“Tidak ada nikah kecuali dengan adanya wali dan dua saksi yang adil.”

(HR. Al-Khamsah kecuali An-Nasa`i, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Al-Irwa’ no. 1839, 1858, 1860 dan Shahihul Jami’ no. 7556, 7557)

Oleh karena itu, tidak sah pernikahan kecuali dengan adanya dua orang saksi yang adil.Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullahu mengatakan,

“Pengamalan hal ini ada di kalangan ahlul ilmi, baik dari kalangan sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam maupun orang-orang setelah mereka dari kalangan tabi’in dan yang lainnya. Mereka mengatakan bahwa tidak sah pernikahan tanpa adanya saksi-saksi. Tidak seorang pun di antara mereka yang menyelisihi hal ini, kecuali sekelompok ahlul ilmi dari kalangan mutaakhirin.” (Sunan At-Tirmidzi, 2/284)

Dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia disebutkan pula aturan mengenai saksi dalam pernikahan. Keseluruhan materinya terambil dari kitab fiqih menurut jumhur ulama, terutama fiqh Syafi’iyah, sebagai berikut:

Pasal 241. Saksi dalam pernikahan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah.2. Setiap pernikahan harus dipersaksikan oleh dua orang saksi.Pasal 25Yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-laki muslim, adil, akil baligh, tidak terganggu ingatan, dan tidak tuna rungu atau tuli.
Pasal 26Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah serta menandatangani Akta Nikah pada waktu dan di tempat akad nikah dilangsungkan.
1 Lafadz tazwij yaitu zawwajtuka.
2 Lafadz inkah yaitu ankahtuka.
3 Adapun bila hubungan kekerabatan itu dari jalur perempuan, maka tidak dinamakan ‘ashabah. Seperti saudara laki-laki ibu, ia merupakan kerabat kita yang diperantarai dengan perempuan yaitu ibu. Demikian pula kakek dari pihak ibu.
4 Adapun pelaksanaannya di Indonesia, lihat pada salinan yang dinukilkan dari Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, buku pertama tentang pernikahan, pasal 23.

Mahar dalam Pandangan Syariat

Wajibnya MaharDalam pernikahan mahar merupakan pemberian yang wajib dari mempelai lelaki kepada mempelai wanita. Dengan adanya mahar ini akan terbedakan antara pernikahan dengan perzinaan. Hal ini tampak dari firman Allah Subhanahu wa Ta'ala

:أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ“

Kalian mencari istri-istri dengan harta kalian untuk dinikahi bukan untuk berzina.” (An-Nisa’: 24)Dalil wajibnya mahar ditunjukkan antara lain dalam firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً“

Berikanlah mahar kepada wanita-wanita yang kalian nikahi sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.” (An-Nisa’: 4)

Dalam ayat lain, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ“

Dan tidak ada dosa bagi kalian menikahi mereka apabila kalian membayar kepada mereka mahar-mahar mereka.” (Al-Mumtahanah: 10)

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak membolehkan terjadinya pernikahan tanpa adanya mahar sama sekali.

Hal ini ditunjukkan dengan sangat jelas dalam hadits Sahl bin Sa’d radhiyallahu 'anhu tentang wanita yang menghibahkan dirinya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, namun beliau tidak menginginkan wanita tersebut. Hingga ada salah seorang lelaki yang hadir dalam majelis tersebut meminta agar beliau menikahkannya dengan wanita tersebut.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya:

هَلْ عِنْدَكَ مِنْ شَيْءٍ؟ قَالَ: لاَ وَاللهِ، يَا رَسُوْلَ اللهِ. فَقالَ: اذْهَبْ إِلَى أَهْلِكَ، فَانْظُرْ هَلْ تَجِدُ شَيْئًا. فَذَهَبَ ثُمَّ رَجَعَ فَقَالَ: لاَ وَاللهِ، مَا وَجَدْتُ شَيْئًا. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: انْظُرْ وَلَوْ خَاتَماً مِنْ حَدِيْدٍ. فَذَهَبَ ثُمَّ رَجَعَ، فَقَالَ: لاَ وَاللهِ، يَا رَسُوْلَ اللهِ، وَلاَ خَاتَماً مِنْ حَدِيْدٍ، وَلَكِنْ هَذَا إِزَارِي – قَالَ سَهْلٌ: مَا لَهُ رِدَاءٌ– فَلَهَا نِصْفُهُ. فَقاَلَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: مَا تَصْنَعُ بِإِزَارِكَ، إِنْ لَبِسْتَهُ لَمْ يَكُنْ عَلَيْهَا مِنْهُ شَيْءٌ، وَإِنْ لَبِسَتْهُ لَمْ يَكُنْ عَلَيْكَ مِنْهُ شَيْءٌ. فَجَلَسَ الرَّجُلُ حَتَّى إِذَا طَالَ مَجْلِسَهُ قَامَ، فَرَآهُ رَسُوْلُ للهِ صلى الله عليه وسلم مُوَالِيًا فَأَمَرَ بِهِ فَدُعِيَ، فَلَمَّا جَاءَ قَالَ: مَاذَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ؟ قال: مَعِيْ سُوْرَةُ كَذَا وَسُوْرَة كَذَا –عَدَّدَهَا- فَقاَلَ: تَقْرَؤُهُنَّ عَنْ ظَهْرِ قَلْبِكَ؟ قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: اذْهَبْ، فَقَدْ مَلَّكْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ“

Apakah engkau punya sesuatu untuk dijadikan mahar?” “Tidak demi Allah, wahai Rasulullah,” jawabnya. “Pergilah ke keluargamu, lihatlah mungkin engkau mendapatkan sesuatu,” kata Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Laki-laki itu pun pergi, tak berapa lama ia kembali, “Demi Allah, saya tidak mendapatkan sesuatu pun,” ujarnya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Lihatlah lagi dan carilah walaupun hanya berupa cincin dari besi.” Laki-laki itu pergi lagi kemudian tak berapa lama ia kembali, “Demi Allah, wahai Rasulullah! Saya tidak mendapatkan walaupun cincin dari besi, tapi ini izar (sarung) saya –kata Sahl, “Laki-laki itu tidak memiliki rida (kain penutup tubuh bagian atas)”– setengahnya untuk wanita yang ingin kuperistri itu.” Kata Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, “Apa yang dapat kau perbuat dengan izarmu? Jika engkau memakainya berarti tidak ada sama sekali izar tersebut pada istrimu. Jika ia memakainya berarti tidak ada sama sekali izar tersebut padamu.” Laki-laki itu pun duduk hingga tatkala telah lama duduknya, ia bangkit. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melihatnya berbalik pergi, maka beliau memerintahkan seseorang untuk memanggil laki-laki tersebut. Ketika ia telah ada di hadapan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bertanya, “Apa yang kau hafal dari Al-Qur`an?” “Saya hafal surah ini dan surah itu,” jawabnya. “Benar-benar engkau menghafalnya di dalam hatimu?” tegas Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. “Iya,” jawabnya. “Bila demikian, pergilah, sungguh aku telah menikahkan engkau dengan wanita ini dengan mahar berupa surah-surah Al-Qur`an yang engkau hafal,” kata Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. (HR. Al-Bukhari no. 5087 dan Muslim no. 3472)

Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma mengabarkan bahwa ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menikahkan ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu dengan putri beliau Fathimah radhiyallahu 'anha, beliau meminta ‘Ali agar memberikan sesuatu kepada Fathimah sebagai mahar. Ketika Ali mengatakan, “Saya tidak memiliki apa-apa.” Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya, “Mana pakaian besi Al-Huthamiyyah-mu?” Ali pun memberikan pakaian besi tersebut sebagai mahar pernikahannya dengan Fathimah. (HR. Abu Dawud no. 2125, Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Abi Dawud mengatakan hadits ini hasan shahih)Hadits di atas menunjukkan disenanginya penyerahan mahar sebelum dukhul.

Tidak Disukai Berlebih-lebihan dalam Mahar‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu 'anhu mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda

:خَيْرُ الصَّدَاقِ أَيْسَرُهَا

“Sebaik-baik mahar adalah yang paling ringan.” (HR. Abu Dawud no. 2117 dan selainnya. Dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Al-Irwa’ no. 1924)‘Umar ibnul Khaththab radhiyallahu 'anhu menasihatkan, “Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam menetapkan mahar para wanita, karena kalau mahar itu dianggap sebagai pemuliaan di dunia atau tanda takwa kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, tentunya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam lebih dahulu daripada kalian untuk berbuat demikian.” (HR. Abu Dawud no. 2106 dan selainnya. Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Abi Dawud mengatakan hadits ini hasan shahih)

Tidak ada ketentuan mahar harus berupa barang/benda tertentu. Bahkan mengajarkan surah-surah Al-Qur`an dapat dijadikan mahar, sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Sahl bin Sa’d radhiyallahu 'anhu yang telah disebutkan. Demikian pula memerdekakan istri yang semula berstatus budak dapat dijadikan mahar sebagaimana Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjadikan kemerdekaan Shafiyyah bintu Huyai radhiyallahu 'anha dari perbudakan sebagai maharnya
1. Seorang wanita dapat pula menerima keislaman calon suaminya yang semula kafir sebagai mahar, sebagaimana mahar Ummu Sulaim radhiyallahu 'anha ketika menikah dengan Abu Thalhah radhiyallahu 'anhu

2.Tidak ada pula ketentuan jumlah minimal dan maksimal dari sebuah mahar. Hanya saja tidaklah disukai bila mahar itu berlebih-lebihan sehingga memberatkan pihak laki-laki dan menghambat pernikahan. Karena mematok mahar yang tinggi, menjadikan banyak wanita memasuki usia tua tanpa sempat menikah. Bagaimana tidak, setiap lelaki yang datang ditolak dengan alasan tidak mampu memberikan mahar yang tinggi, atau lelaki itu yang mundur teratur karena tidak bisa memenuhi tuntutan yang ada. Wallahul musta’an.Seharusnya hal ini menjadi perhatian, agar tidak menuntut mahar yang terlalu tinggi. Toh mahar ini merupakan hak si wanita. Ia yang seharusnya secara pribadi memiliki mahar tersebut. Adapun ayah atau keluarganya yang lain tidak punya hak. Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.Mahar dalam

Kompilasi Hukum Islam di Indonesia

Kompilasi Hukum Islam mengatur mahar secara panjang lebar dalam Pasal 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 38, yang hampir keseluruhannya mengadopsi dari kitab fiqih menurut jumhur ulama. Lengkapnya adalah sebagai berikut:

Pasal 30

Calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk, dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak.Sebenarnya yang wajib membayar mahar itu bukan calon mempelai laki-laki, tetapi mempelai laki-laki karena kewajiban itu baru ada setelah berlangsung akad nikah. Demikian pula yang menerima bukan calon mempelai wanita, tetapi mempelai wanita karena dia baru berhak menerima mahar setelah adanya akad nikah.

Pasal 31
Penentuan mahar berdasarkan asas kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran Islam.

Pasal 32
Mahar diberikan langsung kepada calon mempelai wanita dan sejak itu menjadi hak pribadinya.

Pasal 33
(1) Penyerahan mahar dilakukan dengan tunai.
(2) Apabila calon mempelai wanita menyetujui, penyerahan mahar boleh ditangguhkan baik untuk seluruhnya atau untuk sebagian. Mahar yang belum ditunaikan menjadi utang (calon) mempelai pria.

Pasal 34
(1) Kewajiban penyerahan mahar bukan merupakan rukun dalam pernikahan.
(2) Kelalaian menyebut jenis dan jumlah mahar pada waktu akad nikah, tidak menyebabkan batalnya pernikahan. Begitu pula halnya dalam keadaan mahar masih terutang, tidak mengurangi sahnya pernikahan.

Pasal 35

(1) Suami yang menalak istrinya qobla ad-dukhul (yakni sebelum ‘berhubungan’, ed.) wajib membayar setengah mahar yang telah ditentukan dalam akad nikah.
(2) Apabila suami meninggal dunia qobla ad-dukhul seluruh mahar yang telah ditetapkan menjadi hak penuh istrinya.
(3) Apabila perceraian terjadi qobla ad-dukhul tetapi besarnya mahar belum ditetapkan, maka suami wajib membayar mahar mitsl.

Pasal 36

Apabila mahar hilang sebelum diserahkan, mahar itu dapat diganti dengan barang lain yang sama bentuk dan jenisnya atau dengan barang lain yang sama nilainya atau dengan uang yang senilai dengan harga barang mahar yang hilang.

Pasal 37
Apabila terjadi selisih pendapat mengenai jenis dan nilai mahar yang ditetapkan, penyelesaiannya diajukan ke Pengadilan Agama.

Pasal 38(1)

Apabila mahar yang diserahkan mengandung cacat atau kurang, tetapi (calon) mempelai wanita tetap bersedia menerimanya tanpa syarat, penyerahan mahar dianggap lunas.

(2) Apabila istri menolak untuk menerima mahar karena cacat, suami harus menggantinya dengan mahar lain yang tidak cacat. Selama penggantinya belum diserahkan, mahar dianggap masih belum dibayar.Wallahu a’lam.1 Seperti tersebut dalam hadits yang diriwayatkan dalam Shahihain dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu.2 Diriwayatkan haditsnya oleh An-Nasa`i dalam Sunan-nya no. 3340, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih An-Nasa`i.


jazakumullah


Tidak ada komentar:

Posting Komentar