
ADAB SEORANG DAI
Dakwah ke jalan Alloh Ta’ala merupakan ketaatan yang paling mulia dan qurobah (pendekatan diri/ibadah) yang paling agung. Dakwah merupakan seutama-utama pergerakan yang mengarahkan semangat yang tinggi dan kemauan yang kuat, sebagaimana firman Alloh Ta’ala :
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِّمَّن دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ“
Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: Sesungguhnya Aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?” (QS Fushshilat : 33)Alloh pun juga telah menyediakan bagi (orang yang) berdakwah, ganjaran yang besar dan pahala yang berlimpah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda :
من دعا إلى هدى كان له من الأجر مثل أجور من تبعه دون أن ينقص من أجورهم شيء“
Barangsiapa yang mengajak kepada petunjuk, maka ia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala orang yang mengikutinya tersebut sedikitpun.” (HR Muslim).
Berdakwah ke jalan Alloh merupakan jalannya para nabi dan rasul, dan jalannya orang-orang yang mengikuti mereka dari para ulama dan para du’at yang mushlihin (reformis/melakukan perbaikan). Alloh Azza wa Jalla bahkan telah memilih makhluk pilihan-Nya untuk berdakwah, yang Alloh sifati sebagai makhluk-Nya yang paling mulia serta nabi dan rasul-Nya yang paling utama, yaitu Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Salam, di dalam firman-Nya :
وداعياً إلى الله بإذنه وسراجاً منيراً
“Dan untuk jadi penyeru kepada agama Allah dengan izin-Nya dan untuk jadi cahaya yang menerangi.” (QS al-Ahzab : 46)
Wajib bagi para da’i yang berdakwah di jalan Alloh, agar berhias dengan adab-adab yang dapat menghantarkan dakwahnya kepada kesuksesan, dan diantara adab-adab tersebut adalah :
Pertama : Ikhlas di dalam dakwah
Ikhlas di dalam dakwah ke jalan Alloh Azza wa Jalla merupakan adab yang paling agung dan merupakan esensi dakwah serta merupakan pondasi keberhasilan amal dakwah. Dakwah ke jalan Alloh adalah ibadah untuk bertaqorrub (mendekatkan diri) kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala, sedangkan ikhlas merupakan salah satu syarat diterimanya suatu ibadah. Alloh Ta’ala berfirman :
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاء وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus.” (QS al-Bayyinah : 5)
قُلْ مَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ
“Katakanlah: Aku tidak meminta upah sedikitpun kepada kamu dalam menyampaikan risalah.” (QS al-Furqon : 57)
Maka janganlah ia di dalam dakwahnya mencari bagian (harta), kedudukan dan jangan pula syuhroh (popularitas), namun wajib baginya beramal hanya mengharapkan wajah Alloh Ta’ala semata.
Kedua : Ilmu
Wajib bagi para da’i untuk menuntut ilmu yang bermanfaat, yang diwariskan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam. Hendaklah ia berdakwah di atas bashiroh (keterangan yang jelas), karena Alloh berfirman di dalam Kitab-Nya yang mulia :
قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَاْ وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللّهِ وَمَا أَنَاْ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Katakanlah: Inilah jalan (agama) ku, Aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan Aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik”. (QS Yusuf : 108)
Alloh sendiri telah menetapkan di dalam kitab-Nya yang mulia tentang pentingnya bagi para du’at untuk mempelajari ilmu syar’i, sebagaimana dalam firman-Nya Ta’ala :
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنفِرُواْ كَآفَّةً فَلَوْلاَ نَفَرَ مِن كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَآئِفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُواْ فِي الدِّينِ وَلِيُنذِرُواْ قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُواْ إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
“
Apabila Ilmu syar’i itu wajib bagi setiap muslim, hanyasaja kewajibannya lebih ditekankan dan diharuskan lagi bagi da’i, dikarenakan perkaranya tidak dikhususkan hanya melulu kepadanya, namun juga kembali kepada selainnya. Oleh karena itu, seorang haruslah berupaya memahami tingkatan yang memadai tentang hakikat Islam dan hukum-hukum syariat, sehingga manusia menjadi yakin dengan ilmunya dan menerima dakwahnya.
Ketiga : Mengamalkan Ilmu
Hal ini termasuk perkara yang penting di dalam kehidupan seorang da’i. Seorang da’i tanpa amal bagaikan seorang pemanah tanpa busur. Karena Alloh Subhanahu wa Ta’ala sendiri telah mencela orang-orang yang berupaya melakukan perbaikan terhadap manusia namun melupakan diri mereka sendiri. Alloh Ta’ala berfirman
Dan firman-Nya Subhanahu
Apabila seorang da’i adalah orang yang shalih (lurus) dan mustaqim (jujur) terhadap dirinya sendiri, maka manusia akan bersegera menerima ucapannya dan mendengar perkataannya, serta ia akan menjadi orang yang berpengaruh terhadap masyarakat.
Sesuatu yang pertama kali diserukan oleh para rasul ‘alaihim ash-Sholatu was Salam adalah dakwah kepada aqidah shahihah, karena aqidah shahihah merupakan pondasi. Alloh Ta’ala berfirman
Apabila aqidah telah lurus, mereka menyeru kepada perkara-perkara agama lainnya, baik berupa perkara-perkara yang fardhu (wajib), nafilah (sunnah), adab dan selainnya. Untuk itu wajib bagi setiap da’i supaya mendahulukan yang prioritas di dalam dakwahnya, dan yang demikian ini merupakan sebab-sebab diperolehkan kesukesan di dalam dakwah,
Sabar merupakan penopang yang paling kuat bagi seorang da’i yang sukses. Seorang da’i itu membutuhkan kesabaran sebelum, ketika dan setelah berdakwah. Dengan inilah Alloh memerintahkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam, Ia berfirman
Sabar di dalam dakwah kedudukannya bagaikan kepala terhadap jasad. Maka tidak ada dakwah bagi orang yang tidak memiliki kesabaran sebagaimana tidak ada jasad bagi orang yang tidak memiliki kepala.
Seorang da’i haruslah bisa bersabar atas dakwahnya dan terhadap apa yang ia dakwahkan, karena dakwah ke jalan Alloh adalah jalan yang dipenuhi dengan kesukaran-kesukaran dan kesulitan-kesulitan. Seorang da’i, ia pasti akan menghadapi berbagai bentuk gangguan, hinaan dan cercaan, apabila ia sabar terhadapnya, maka ia adalah seorang imam yang patut diteladani, Alloh Ta’ala berfirman
Telah ada pada kekasih kita Shallallahu ‘alaihi wa Sallam uswah hasanah (panutan yang baik) bagi diri kita, beliau telah melangsungkan dakwahnya selama 23 tahun, berdakwah menyeru kepada Alloh siang dan malam, secara diam-diam maupun terang-terangan. Namun, tidak ada satupun yang dapat memalingkan beliau dari dakwahnya dan tidak ada pula yang dapat mengehentikan upaya beliau.
Beliau mendapatkan berbagai kesulitan dan gangguan dari kaumnya, sampai-sampai gigi seri beliau patah dan pipi beliau terluka serta pedang telah dihunuskan pada dada beliau, namun beliau tetap bersabar dengan kesabaran yang belum pernah nabi sebelum beliau mengalaminya. Beliau senantiasa menyebarkan agama Alloh dan menegakkan jihad terhadap musuh-musuh Alloh, bersabar atas segala gangguan yang menimpa beliau, sehingga Alloh kokohkan kedudukan beliau di bumi dan Alloh menangkan agama beliau dari semua agama serta Alloh menangkan umat beliau dari seluruh ummat.
Dan kita memiliki tauladan yang baik pada diri beliau Shallallahu ’alaihi wa Salam. Betapa banyak orang yang masuk islam disebabkan oleh kelemahlembutan, kemuliaan dan sifat pengasih beliau padahal dahulunya mereka adalah orang yang berada di atas kejahiliyahan, lalu menjadi sahabat mulia yang berperangai baik.
Siapa saja dari para du’at yang tidak berperangai dengan akhlak yang baik, maka ia akan menyebabkan manusia lari darinya dan dari dakwahnya. Karena tabiat manusia itu, mereka tidak mau menerima dari orang yang suka mencela dan menunjukkan pendiskreditan terhadap mereka, walaupun yang diucapkan orang itu adalah benar tanpa ada kebimbangan sedikitpun. Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya yang mulia
Ketujuh : Hikmah
Hendaklah dakwah ke jalan Alloh itu dilakukan dengan hikmah dan cara yang baik serta penuh kelemahlembutan ketika menerangkan kebenaran, sebagaimana firman Alloh Ta’ala
Apabila dakwah ke jalan Alloh dilakukan dengan sikap kasar dan bengis, maka akan lebih banyak memadharatkan ketimbang memberikan manfaat.
Kedelapan : Penuh Perhatian
Wajib bagi seorang da’i memiliki pengetahuan terhadap realita di negeri yang ia berdakwah di dalamnya dan mengetahui kondisi manusia yang ia dakwahi. Untuk itulah ia haruslah mengerti akan permasalahan-permasalahan yang terjadi dan problematika-problematika yang tersebar di masyarakat, sehingga ia menjadi orang yang memiliki pengetahuan yang mantap dan ia dapat memilih cara dakwah yang tepat bagi orang yang didakwahinya dan mengetahui tema-tema pembahasan yang penting bagi mereka.
Termasuk ciri utama yang membedakan seorang da’i yang berdakwah ke jalan Alloh Azza wa Jalla adalah, bersikap ta`anni (tenang/tidak terburu-buru) dan tatsabbut (verifikasi/cek dan ricek) terhadap segala perkara yang terjadi dan semua berita yang ada. Maka janganlah dia bersikap tergesa-gesa sehingga menghukumi manusia dengan apa yang tidak ada pada mereka, yang dapat menyebabkan dia menyesal dan bersedih hati diakibatkan sikap ketergesa-gesaannya. Untuk itulah Alloh Ta’ala berfirman
Kesepuluh : Tidak Berputus Asa
Sebagian du’at, apabila orang yang didakwahi tidak menerima dakwah mereka, hal ini menyebabkannya menjadi putus asa dan putus harapan sehingga ia meninggalkan dakwah. Padahal merupakan kewajiban bagi seorang da’i untuk mengetahui bahwa kewajiban atasnya hanyalah menegakkan hujjah dan melepaskan tanggungan (kepada Alloh), sebagaimana yang Alloh Subhanahu wa Ta’ala sebutkan berkenaan dengan suatu kaum yang mengingkari perbuatan ashabus sabt (yaitu Bani Israil, pent.) yang buruk, Alloh berfirman tentang mereka yang menyatakan
jazakumullah
MENIKAH DENGAN ATURAN ISLAM
Proses Syar'i Sebuah Pernikahan
Proses mencari jodoh dalam Islam bukanlah “membeli kucing dalam karung” sebagaimana sering dituduhkan. Namun justru diliputi oleh perkara yang penuh adab. Bukan “coba dulu baru beli” kemudian “habis manis sepah dibuang”, sebagaimana jamaknya pacaran kawula muda di masa sekarang.Islam telah memberikan konsep yang jelas tentang tatacara ataupun proses sebuah pernikahan yang berlandaskan Al-Qur`an dan As-Sunnah yang shahih.
Berikut ini kami bawakan perinciannya:
1. Mengenal calon pasangan hidupSebelum seorang lelaki memutuskan untuk menikahi seorang wanita, tentunya ia harus mengenal terlebih dahulu siapa wanita yang hendak dinikahinya, begitu pula sebaliknya si wanita tahu siapa lelaki yang berhasrat menikahinya. Tentunya proses kenal-mengenal ini tidak seperti yang dijalani orang-orang yang tidak paham agama, sehingga mereka menghalalkan pacaran atau pertunangan dalam rangka penjajakan calon pasangan hidup, kata mereka. Pacaran dan pertunangan haram hukumnya tanpa kita sangsikan.Adapun mengenali calon pasangan hidup di sini maksudnya adalah mengetahui siapa namanya, asalnya, keturunannya, keluarganya, akhlaknya, agamanya dan informasi lain yang memang dibutuhkan. Ini bisa ditempuh dengan mencari informasi dari pihak ketiga, baik dari kerabat si lelaki atau si wanita ataupun dari orang lain yang mengenali si lelaki/si wanita.Yang perlu menjadi perhatian, hendaknya hal-hal yang bisa menjatuhkan kepada fitnah (godaan setan) dihindari kedua belah pihak seperti bermudah-mudahan melakukan hubungan telepon, sms, surat-menyurat, dengan alasan ingin ta’aruf (kenal-mengenal) dengan calon suami/istri. Jangankan baru ta’aruf, yang sudah resmi meminang pun harus menjaga dirinya dari fitnah.
Karenanya, ketika Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan hafizhahullah ditanya tentang pembicaraan melalui telepon antara seorang pria dengan seorang wanita yang telah dipinangnya, beliau menjawab, “Tidak apa-apa seorang laki-laki berbicara lewat telepon dengan wanita yang telah dipinangnya, bila memang pinangannya telah diterima dan pembicaraan yang dilakukan dalam rangka mencari pemahaman sebatas kebutuhan yang ada, tanpa adanya fitnah. Namun bila hal itu dilakukan lewat perantara wali si wanita maka lebih baik lagi dan lebih jauh dari keraguan/fitnah. Adapun pembicaraan yang biasa dilakukan laki-laki dengan wanita, antara pemuda dan pemudi, padahal belum berlangsung pelamaran di antara mereka, namun tujuannya untuk saling mengenal, sebagaimana yang mereka istilahkan, maka ini mungkar, haram, bisa mengarah kepada fitnah serta menjerumuskan kepada perbuatan keji.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman
:فَلاَ تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلاً مَعْرُوفًا
“Maka janganlah kalian tunduk (lembut mendayu-dayu) dalam berbicara sehingga berkeinginan jeleklah orang yang di hatinya ada penyakit dan ucapkanlah ucapan yang ma’ruf.” (Al-Ahzab: 32)
Seorang wanita tidak sepantasnya berbicara dengan laki-laki ajnabi kecuali bila ada kebutuhan dengan mengucapkan perkataan yang ma’ruf, tidak ada fitnah di dalamnya dan tidak ada keraguan (yang membuatnya dituduh macam-macam).” (Al-Muntaqa min Fatawa Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan 3/163-164)
Beberapa hal yang perlu diperhatikanAda beberapa hal yang disenangi bagi laki-laki untuk memerhatikannya:
1Wanita itu shalihah, karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda
:تُنْكَحُ النِّسَاءُ لِأَرْبَعَةٍ: لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَلِهَا وَلِدِيْنِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ“
Wanita itu (menurut kebiasaan yang ada, pent.) dinikahi karena empat perkara, bisa jadi karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Maka pilihlah olehmu wanita yang memiliki agama. Bila tidak, engkau celaka.” (HR. Al-Bukhari no. 5090 dan Muslim no. 3620 dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu)
2 Wanita itu subur rahimnya. Tentunya bisa diketahui dengan melihat ibu atau saudara perempuannya yang telah menikah.Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda:
تَزَوَّجُوْا الْوَدُوْدَ الْوَلُوْدَ، فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمْ
“Nikahilah oleh kalian wanita yang penyayang lagi subur, karena aku berbangga-bangga di hadapan umat yang lain pada kiamat dengan banyaknya jumlah kalian.” (HR. An-Nasa`i no. 3227, Abu Dawud no. 1789, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Irwa`ul Ghalil no. 1784)
3 Wanita tersebut masih gadis
1, yang dengannya akan dicapai kedekatan yang sempurna.Jabir bin Abdillah radhiyallahu 'anhuma ketika memberitakan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa ia telah menikah dengan seorang janda, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
فَهَلاَّ جَارِيَةً تُلاَعِبُهَا وَتُلاَعِبُكَ؟“
Mengapa engkau tidak menikah dengan gadis hingga engkau bisa mengajaknya bermain dan dia bisa mengajakmu bermain?!”Namun ketika Jabir mengemukakan alasannya, bahwa ia memiliki banyak saudara perempuan yang masih belia, sehingga ia enggan mendatangkan di tengah mereka perempuan yang sama mudanya dengan mereka sehingga tak bisa mengurusi mereka, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memujinya, “Benar apa yang engkau lakukan.” (HR. Al-Bukhari no. 5080, 4052 dan Muslim no. 3622, 3624)
Dalam sebuah hadits, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
عَلَيْكُمْ بِالْأَبْكَارِ، فَإِنَّهُنَّ أَعْذَبُ أَفْوَاهًا وَأَنْتَقُ أَرْحَامًا وَأَرْضَى بِالْيَسِيْرِ“
Hendaklah kalian menikah dengan para gadis karena mereka lebih segar mulutnya, lebih banyak anaknya, dan lebih ridha dengan yang sedikit.”
(HR. Ibnu Majah no. 1861, dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 623)2.
Nazhar (melihat calon pasangan hidup)Seorang wanita pernah datang kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk menghibahkan dirinya. Si wanita berkata
:ياَ رَسُوْلَ اللهِ، جِئْتُ أَهَبُ لَكَ
نَفْسِي. فَنَظَرَ إِلَيْهَا رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَصَعَّدَ النَّظَرَ فِيْهَا وَصَوَّبَهُ، ثُمَّ طَأْطَأَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم رًأْسَهُ“
Wahai Rasulullah! Aku datang untuk menghibahkan diriku kepadamu.” Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pun melihat ke arah wanita tersebut. Beliau mengangkat dan menurunkan pandangannya kepada si wanita. Kemudian beliau menundukkan kepalanya. (HR. Al-Bukhari no. 5087 dan Muslim no. 3472)Hadits ini menunjukkan bila seorang lelaki ingin menikahi seorang wanita maka dituntunkan baginya untuk terlebih dahulu melihat calonnya tersebut dan mengamatinya. (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 9/215-216)
Oleh karena itu, ketika seorang sahabat ingin menikahi wanita Anshar, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menasihatinya
انْظُرْ إِلَيْهَا، فَإِنَّ فِي أَعْيُنِ الْأَنْصَارِ شَيْئًا، يَعْنِي الصِّغَرَ
“Lihatlah wanita tersebut, karena pada mata orang-orang Anshar ada sesuatu.” Yang beliau maksudkan adalah mata mereka kecil. (HR. Muslim no. 3470 dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu)
Demikian pula ketika Al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu 'anhu meminang seorang wanita, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya kepadanya, “Apakah engkau telah melihat wanita yang kau pinang tersebut?” “Belum,” jawab Al-Mughirah. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda
:انْظُرْ إِلَيْهَا، فَإِنَّهُ أَحْرَى أَنْ يُؤْدَمَ بَيْنَكُمَا“
Lihatlah wanita tersebut, karena dengan seperti itu akan lebih pantas untuk melanggengkan hubungan di antara kalian berdua (kelak).” (HR. An-Nasa`i no. 3235, At-Tirmidzi no.1087. Dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 96)Al-Imam Al-Baghawi rahimahullahu berkata, “Dalam sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Al-Mughirah radhiyallahu 'anhu: “Apakah engkau telah melihat wanita yang kau pinang tersebut?” ada dalil bahwa sunnah hukumnya ia melihat si wanita sebelum khitbah (pelamaran), sehingga tidak memberatkan si wanita bila ternyata ia membatalkan khitbahnya karena setelah nazhar ternyata ia tidak menyenangi si wanita.” (Syarhus Sunnah 9/18)
Bila nazhar dilakukan setelah khitbah, bisa jadi dengan khitbah tersebut si wanita merasa si lelaki pasti akan menikahinya. Padahal mungkin ketika si lelaki melihatnya ternyata tidak menarik hatinya lalu membatalkan lamarannya, hingga akhirnya si wanita kecewa dan sakit hati. (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 9/214)
Sahabat Muhammad bin Maslamah radhiyallahu 'anhu berkata, “Aku meminang seorang wanita, maka aku bersembunyi untuk mengintainya hingga aku dapat melihatnya di sebuah pohon kurmanya.” Maka ada yang bertanya kepada Muhammad, “Apakah engkau melakukan hal seperti ini padahal engkau adalah sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam?” Kata Muhammad, “Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda
إِذَا أَلْقَى اللهُ فيِ قَلْبِ امْرِئٍ خِطْبَةَ امْرَأَةٍ، فَلاَ بَأْسَ أَنْ يَنْظُرَ إِلَيْهَا“
Apabila Allah melemparkan di hati seorang lelaki (niat) untuk meminang seorang wanita maka tidak apa-apa baginya melihat wanita tersebut.” (HR. Ibnu Majah no. 1864, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Ibni Majah dan Ash-Shahihah no. 98)Al-Imam Al-Albani rahimahullahu berkata, “Boleh melihat wanita yang ingin dinikahi walaupun si wanita tidak mengetahuinya ataupun tidak menyadarinya.” Dalil dari hal ini sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
:إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمُ امْرَأَةً، فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَنْظُرَ إِلَيْهَا إِذَا كَانَ إِنَّمَا يَنْظُرُ إِلَيْهَا لِخِطْبَتِهِ، وَإِنْ كَانَتْ لاَ تَعْلَمُ‘
Apabila seorang dari kalian ingin meminang seorang wanita, maka tidak ada dosa baginya melihat si wanita apabila memang tujuan melihatnya untuk meminangnya, walaupun si wanita tidak mengetahui (bahwa dirinya sedang dilihat).” (HR. Ath-Thahawi, Ahmad 5/424 dan Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jamul Ausath 1/52/1/898, dengan sanad yang shahih, lihat Ash-Shahihah 1/200)
Pembolehan melihat wanita yang hendak dilamar walaupun tanpa sepengetahuan dan tanpa seizinnya ini merupakan pendapat yang dipegangi jumhur ulama.Adapun Al-Imam Malik rahimahullahu dalam satu riwayat darinya menyatakan, “Aku tidak menyukai bila si wanita dilihat dalam keadaan ia tidak tahu karena khawatir pandangan kepada si wanita terarah kepada aurat.” Dan dinukilkan dari sekelompok ahlul ilmi bahwasanya tidak boleh melihat wanita yang dipinang sebelum dilangsungkannya akad karena si wanita masih belum jadi istrinya. (Al-Hawil Kabir 9/35, Syarhul Ma’anil Atsar 2/372, Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim 9/214, Fathul Bari 9/158)
Haramnya berduaan dan bersepi-sepi tanpa mahram ketika nazhar
Sebagai catatan yang harus menjadi perhatian bahwa ketika nazhar tidak boleh lelaki tersebut berduaan saja dan bersepi-sepi tanpa mahram (berkhalwat) dengan si wanita. Karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda
لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ“
Sekali-kali tidak boleh seorang laki-laki bersepi-sepi dengan seorang wanita kecuali wanita itu bersama mahramnya.” (HR. Al-Bukhari no. 1862 dan Muslim no. 3259)Karenanya si wanita harus ditemani oleh salah seorang mahramnya, baik saudara laki-laki atau ayahnya. (Fiqhun Nisa` fil Khithbah waz Zawaj, hal. 28)
Bila sekiranya tidak memungkinkan baginya melihat wanita yang ingin dipinang, boleh ia mengutus seorang wanita yang tepercaya guna melihat/mengamati wanita yang ingin dipinang untuk kemudian disampaikan kepadanya. (An-Nazhar fi Ahkamin Nazhar bi Hassatil Bashar, Ibnul Qaththan Al-Fasi hal. 394, Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 9/214, Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, 2/280)
Batasan yang boleh dilihat dari seorang wanitaKetika nazhar
boleh melihat si wanita pada bagian tubuh yang biasa tampak di depan mahramnya. Bagian ini biasa tampak dari si wanita ketika ia sedang bekerja di rumahnya, seperti wajah, dua telapak tangan, leher, kepala, dua betis, dua telapak kaki dan semisalnya.
Karena adanya hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
:إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمُ الْمَرْأَةَ، فَإِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ إِلَي مَا يَدْعُوهُ إِلىَ نِكَاحِهَا فَلْيَفْعَلْ“
Bila seorang dari kalian meminang seorang wanita, lalu ia mampu melihat dari si wanita apa yang mendorongnya untuk menikahinya, maka hendaklah ia melakukannya.” (HR. Abu Dawud no. 2082 dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 99)Di samping itu, dilihat dari adat kebiasaan masyarakat, melihat bagian-bagian itu bukanlah sesuatu yang dianggap memberatkan atau aib. Juga dilihat dari pengamalan yang ada pada para sahabat. Sahabat Jabir bin Abdillah radhiyallahu 'anhuma ketika melamar seorang perempuan, ia pun bersembunyi untuk melihatnya hingga ia dapat melihat apa yang mendorongnya untuk menikahi si gadis, karena mengamalkan hadits tersebut. Demikian juga Muhammad bin Maslamah radhiyallahu 'anhu sebagaimana telah disinggung di atas. Sehingga cukuplah hadits-hadits ini dan pemahaman sahabat sebagai hujjah untuk membolehkan seorang lelaki untuk melihat lebih dari sekadar wajah dan dua telapak tangan
.Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullahu berkata, “Sisi kebolehan melihat bagian tubuh si wanita yang biasa tampak adalah ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengizinkan melihat wanita yang hendak dipinang dengan tanpa sepengetahuannya. Dengan demikian diketahui bahwa beliau mengizinkan melihat bagian tubuh si wanita yang memang biasa terlihat karena tidak mungkin yang dibolehkan hanya melihat wajah saja padahal ketika itu tampak pula bagian tubuhnya yang lain, tidak hanya wajahnya. Karena bagian tubuh tersebut memang biasa terlihat. Dengan demikian dibolehkan melihatnya sebagaimana dibolehkan melihat wajah. Dan juga karena si wanita boleh dilihat dengan perintah penetap syariat berarti dibolehkan melihat bagian tubuhnya sebagaimana yang dibolehkan kepada mahram-mahram si wanita.” (Al-Mughni, fashl Ibahatun Nazhar Ila Wajhil Makhthubah)Memang dalam masalah batasan yang boleh dilihat ketika nazhar ini didapatkan adanya perselisihan pendapat di kalangan ulama3.
3. Khithbah (peminangan)
Seorang lelaki yang telah berketetapan hati untuk menikahi seorang wanita, hendaknya meminang wanita tersebut kepada walinya.Apabila seorang lelaki mengetahui wanita yang hendak dipinangnya telah terlebih dahulu dipinang oleh lelaki lain dan pinangan itu diterima, maka haram baginya meminang wanita tersebut.
Karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda
لاَ يَخْطُبُ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيْهِ حَتَّى يَنْكِحَ أَوْ يَتْرُكَ“
Tidak boleh seseorang meminang wanita yang telah dipinang oleh saudaranya hingga saudaranya itu menikahi si wanita atau meninggalkannya (membatalkan pinangannya).” (HR. Al-Bukhari no. 5144)
Dalam riwayat Muslim (no. 3449) disebutkan
الْمُؤْمِنُ أَخُو الْمُؤْمِنِ، فَلاَ يَحِلُّ لِلْمُؤْمِنِ أَنْ يَبْتَاعَ عَلى بَيْعِ أَخِيْهِ وَلاَ يَخْطُبَ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيْهِ حَتَّى يَذَرَ“
Seorang mukmin adalah saudara bagi mukmin yang lain. Maka tidaklah halal baginya menawar barang yang telah dibeli oleh saudaranya dan tidak halal pula baginya meminang wanita yang telah dipinang oleh saudaranya hingga saudaranya meninggalkan pinangannya (membatalkan).
”Perkara ini merugikan peminang yang pertama, di mana bisa jadi pihak wanita meminta pembatalan pinangannya disebabkan si wanita lebih menyukai peminang kedua. Akibatnya, terjadi permusuhan di antara sesama muslim dan pelanggaran hak. Bila peminang pertama ternyata ditolak atau peminang pertama mengizinkan peminang kedua untuk melamar si wanita, atau peminang pertama membatalkan pinangannya maka boleh bagi peminang kedua untuk maju. (Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, 2/282)
Setelah pinangan diterima tentunya ada kelanjutan pembicaraan, kapan akad nikad akan dilangsungkan. Namun tidak berarti setelah peminangan tersebut, si lelaki bebas berduaan dan berhubungan dengan si wanita. Karena selama belum akad keduanya tetap ajnabi, sehingga janganlah seorang muslim bermudah-mudahan dalam hal ini. (Fiqhun Nisa fil Khithbah waz Zawaj, hal. 28)Jangankan duduk bicara berduaan, bahkan ditemani mahram si wanita pun masih dapat mendatangkan fitnah.
Ketika Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu dimintai fatwa tentang seorang lelaki yang telah meminang seorang wanita, kemudian di hari-hari setelah peminangan, ia biasa bertandang ke rumah si wanita, duduk sebentar bersamanya dengan didampingi mahram si wanita dalam keadaan si wanita memakai hijab yang syar’i. Berbincanglah si lelaki dengan si wanita. Namun pembicaraan mereka tidak keluar dari pembahasan agama ataupun bacaan Al-Qur`an. Lalu apa jawaban Syaikh rahimahullahu? Beliau ternyata berfatwa, “Hal seperti itu tidak sepantasnya dilakukan. Karena, perasaan pria bahwa wanita yang duduk bersamanya telah dipinangnya secara umum akan membangkitkan syahwat. Sementara bangkitnya syahwat kepada selain istri dan budak perempuan yang dimiliki adalah haram. Sesuatu yang mengantarkan kepada keharaman, hukumnya haram pula.” (Fatawa Asy-Syaikh Muhammad Shalih Al-Utsaimin, 2/748)
Yang perlu diperhatikan oleh waliKetika wali si wanita didatangi oleh lelaki yang hendak meminang si wanita atau ia hendak menikahkan wanita yang di bawah perwaliannya, seharusnya ia memerhatikan perkara berikut ini:
1 Memilihkan suami yang shalih dan bertakwa.
Bila yang datang kepadanya lelaki yang demikian dan si wanita yang di bawah perwaliannya juga menyetujui maka hendaknya ia menikahkannya karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda
إِذَا خَطَبَ إِلَيْكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِيْنَهُ وَخُلُقَهُ فَزَوِّجُوْهُ، إِلاَّ تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي اْلأَرْضِ وَفَسَادٌ عَرِيْضٌ“
Apabila datang kepada kalian (para wali) seseorang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya (untuk meminang wanita kalian) maka hendaknya kalian menikahkan orang tersebut dengan wanita kalian. Bila kalian tidak melakukannya niscaya akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar.” (HR. At-Tirmidzi no. 1084, dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Al-Irwa` no. 1868, Ash-Shahihah no. 1022)
2. Meminta pendapat putrinya/wanita yang di bawah perwaliannya dan tidak boleh memaksanya.Persetujuan seorang gadis adalah dengan diamnya karena biasanya ia malu. Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu berkata menyampaikan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
لاَ تُنْكَحُ الْأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ وَلاَ تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ. قَالُوا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، كَيْفَ إِذْنُهَا؟ قَالَ: أَنْ تَسْكُتَ
“Tidak boleh seorang janda dinikahkan hingga ia diajak musyawarah/dimintai pendapat dan tidak boleh seorang gadis dinikahkan sampai dimintai izinnya.” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah! Bagaimana izinnya seorang gadis?” “Izinnya dengan ia diam,” jawab beliau. (HR. Al-Bukhari no. 5136 dan Muslim no. 3458)
4. Akad nikah
Akad nikah adalah perjanjian yang berlangsung antara dua pihak yang melangsungkan pernikahan dalam bentuk ijab dan qabul.
Ijab
adalah penyerahan dari pihak pertama, sedangkan qabul adalah penerimaan dari pihak kedua. Ijab dari pihak wali si perempuan dengan ucapannya, misalnya: “Saya nikahkan anak saya yang bernama si A kepadamu dengan mahar sebuah kitab Riyadhus Shalihin.”
Qabul
adalah penerimaan dari pihak suami dengan ucapannya, misalnya: “Saya terima nikahnya anak Bapak yang bernama si A dengan mahar sebuah kitab Riyadhus Shalihin.”Sebelum dilangsungkannya akad nikah, disunnahkan untuk menyampaikan khutbah yang dikenal dengan khutbatun nikah atau khutbatul hajah.
Lafadznya sebagai berikut
:إِنَّ الْحَمْدَ لِلهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَتُوبُ إِلَيْهِ، وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَلاَّ إِلَهَ إلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ. (آل عمران: 102)يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا. (النساء: 1)يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا. يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا. (الأحزاب: 70-71).
5Walimatul ‘urs
Melangsungkan walimah ‘urs hukumnya sunnah menurut sebagian besar ahlul ilmi, menyelisihi pendapat sebagian mereka yang mengatakan wajib, karena adanya perintah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Abdurrahman bin Auf radhiyallahu 'anhu ketika mengabarkan kepada beliau bahwa dirinya telah menikah
أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ“
Selenggarakanlah walimah walaupun dengan hanya menyembelih seekor kambing4.” (HR. Al-Bukhari no. 5167 dan Muslim no. 3475)
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri menyelenggarakan walimah ketika menikahi istri-istrinya seperti dalam hadits Anas radhiyallahu 'anhu disebutkan
مَا أَوْلَمَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم عَلىَ شَيْءٍ مِنْ نِسَائِهِ مَا أَوْلَمَ عَلىَ زَيْنَبَ، أَوْلَمَ بِشَاةٍ“
Tidaklah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyelenggarakan walimah ketika menikahi istri-istrinya dengan sesuatu yang seperti beliau lakukan ketika walimah dengan Zainab. Beliau menyembelih kambing untuk acara walimahnya dengan Zainab.” (HR. Al-Bukhari no. 5168 dan Muslim no. 3489)
Walimah bisa dilakukan kapan saja. Bisa setelah dilangsungkannya akad nikah dan bisa pula ditunda beberapa waktu sampai berakhirnya hari-hari pengantin baru. Namun disenangi tiga hari setelah dukhul, karena demikian yang dinukilkan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu berkata, “Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menikah dengan Shafiyyah radhiyallahu 'anha dan beliau jadikan kemerdekaan Shafiyyah sebagai maharnya. Beliau mengadakan walimah tiga hari kemudian.” (Al-Imam Al-Albani rahimahullahu berkata dalam Adabuz Zafaf hal. 74: “Diriwayatkan Abu Ya’la dengan sanad yang hasan sebagaimana dalam Fathul Bari (9/199) dan ada dalam Shahih Al-Bukhari secara makna.”)
Hendaklah yang diundang dalam acara walimah tersebut orang-orang yang shalih, tanpa memandang dia orang kaya atau orang miskin.
Karena kalau yang dipentingkan hanya orang kaya sementara orang miskinnya tidak diundang, maka makanan walimah tersebut teranggap sejelek-jelek makanan. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda
شَرُّ الطَّعَامِ طَعَامُ الْوَلِيْمَةِ، يُدْعَى إِلَيْهَا اْلأَغْنِيَاءُ وَيُتْرَكُ الْمَسَاكِيْنُ“
Sejelek-jelek makanan adalah makanan walimah di mana yang diundang dalam walimah tersebut hanya orang-orang kaya sementara orang-orang miskin tidak diundang.” (HR. Al-Bukhari no. 5177 dan Muslim no. 3507)
Pada hari pernikahan ini disunnahkan menabuh duff (sejenis rebana kecil, tanpa keping logam di sekelilingnya -yang menimbulkan suara gemerincing-, ed.) dalam rangka mengumumkan kepada khalayak akan adanya pernikahan tersebut. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda
:فَصْلُ مَا بَيْنَ الْحَلاَلِ وَالْحَرَامِ الدُّفُّ وَالصَّوْتُ فِي النِّكَاحِ
“
Pemisah antara apa yang halal dan yang haram adalah duff dan shaut (suara) dalam pernikahan.” (HR. An-Nasa`i no. 3369, Ibnu Majah no. 1896. Dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Al-Irwa` no. 1994)
Adapun makna shaut di sini adalah pengumuman pernikahan, lantangnya suara dan penyebutan/pembicaraan tentang pernikahan tersebut di tengah manusia. (Syarhus Sunnah 9/47,48)
Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu menyebutkan satu bab dalam Shahih-nya, “Menabuh duff dalam acara pernikahan dan walimah” dan membawakan hadits Ar-Rubayyi’ bintu Mu’awwidz radhiyallahu 'anha yang mengisahkan kehadiran Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam pernikahannya. Ketika itu anak-anak perempuan memukul duff sembari merangkai kata-kata menyenandungkan pujian untuk bapak-bapak mereka yang terbunuh dalam perang Badr, sementara Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mendengarkannya. (HR. Al-Bukhari no. 5148)
Dalam acara pernikahan ini tidak boleh memutar nyanyian-nyanyian atau memainkan alat-alat musik, karena semua itu hukumnya haram.
Disunnahkan bagi yang menghadiri sebuah pernikahan untuk mendoakan kedua mempelai dengan dalil hadits Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, ia berkata
:أَنَّ النَّبِيَّّ صلى الله عليه وسلم كاَنَ إِذَا رَفَّأَ اْلإِنْسَاَن، إِذَا تَزَوَّجَ قَالَ: بَارَكَ اللهُ لَكَ وَبَارَكَ عَلَيْكَ وَجَمَعَ بَيْنَكُمَا فِي خَيْرٍ“
Adalah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bila mendoakan seseorang yang menikah, beliau mengatakan: ‘Semoga Allah memberkahi untukmu dan memberkahi atasmu serta mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan’.” (HR. At-Tirmidzi no. 1091, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi)
6. Setelah akad
Ketika mempelai lelaki telah resmi menjadi suami mempelai wanita, lalu ia ingin masuk menemui istrinya maka disenangi baginya untuk melakukan beberapa perkara berikut ini
Pertama: Bersiwak terlebih dahulu untuk membersihkan mulutnya karena dikhawatirkan tercium aroma yang tidak sedap dari mulutnya. Demikian pula si istri, hendaknya melakukan yang sama. Hal ini lebih mendorong kepada kelanggengan hubungan dan kedekatan di antara keduanya.
Didapatkan dari perbuatan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersiwak bila hendak masuk rumah menemui istrinya, sebagaimana berita dari Aisyah radhiyallahu 'anha (HR. Muslim no. 590).
Kedua: Disenangi baginya untuk menyerahkan mahar bagi istrinya sebagaimana akan disebutkan dalam masalah mahar dari hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma.
Ketiga: Berlaku lemah lembut kepada istrinya, dengan semisal memberinya segelas minuman ataupun yang semisalnya berdasarkan hadits Asma` bintu Yazid bin As-Sakan radhiyallahu 'anha, ia berkata, “Aku mendandani Aisyah radhiyallahu 'anha untuk dipertemukan dengan suaminya, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Setelah selesai aku memanggil Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk melihat Aisyah. Beliau pun datang dan duduk di samping Aisyah. Lalu didatangkan kepada beliau segelas susu. Beliau minum darinya kemudian memberikannya kepada Aisyah yang menunduk malu.” Asma` pun menegur Aisyah, “Ambillah gelas itu dari tangan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Aisyah pun mengambilnya dan meminum sedikit dari susu tersebut.” (HR. Ahmad, 6/438, 452, 458 secara panjang dan secara ringkas dengan dua sanad yang saling menguatkan, lihat Adabuz Zafaf, hal. 20)
Keempat: Meletakkan tangannya di atas bagian depan kepala istrinya (ubun-ubunnya) sembari mendoakannya, dengan dalil sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
:إِذَا تَزَوَّجَ أَحَدُكُمُ امْرَأَةً أَوِ اشْتَرَى خَادِمًا فَلْيَأْخُذْ بِنَاصِيَتِهَا وَلْيُسَمِّ اللهَ عز وجل وَلْيَدْعُ بِالْبَرَكَةِ وَلْيَقُلْ: اللّهمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ مِنْ خَيْرِهَا وَخَيْرِ مَا جَبَلْتَهَا عَلَيْهِ وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّهَا وَشَرِّ مَا جَبَلْتَهَا عَلَيْهِ“
Apabila salah seorang dari kalian menikahi seorang wanita atau membeli seorang budak maka hendaklah ia memegang ubun-ubunnya, menyebut nama Allah Subhanahu wa Ta'ala, mendoakan keberkahan dan mengatakan: ‘Ya Allah, aku meminta kepada-Mu dari kebaikannya dan kebaikan apa yang Engkau ciptakan/tabiatkan dia di atasnya dan aku berlindung kepada-Mu dari kejelekannya dan kejelekan apa yang Engkau ciptakan/tabiatkan dia di atasnya’.” (HR. Abu Dawud no. 2160, dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan Abi Dawud)
Kelima: Ahlul ‘ilmi ada yang memandang setelah dia bertemu dan mendoakan istrinya disenangi baginya untuk shalat dua rakaat bersamanya. Hal ini dinukilkan dari atsar Abu Sa’id maula Abu Usaid Malik bin Rabi’ah Al-Anshari. Ia berkata: “Aku menikah dalam keadaan aku berstatus budak. Aku mengundang sejumlah sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, di antara mereka ada Ibnu Mas’ud, Abu Dzar, dan Hudzaifah radhiyallahu 'anhum. Lalu ditegakkan shalat, majulah Abu Dzar untuk mengimami. Namun orang-orang menyuruhku agar aku yang maju. Ketika aku menanyakan mengapa demikian, mereka menjawab memang seharusnya demikian. Aku pun maju mengimami mereka dalam keadaan aku berstatus budak. Mereka mengajariku dan mengatakan, “Bila engkau masuk menemui istrimu, shalatlah dua rakaat. Kemudian mintalah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dari kebaikannya dan berlindunglah dari kejelekannya. Seterusnya, urusanmu dengan istrimu.” (Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf, demikian pula Abdurrazzaq. Al-Imam Al-Albani rahimahullahu berkata dalam Adabuz Zafaf hal. 23, “Sanadnya shahih sampai ke Abu Sa’id”).
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
1 Namun bukan berarti janda terlarang baginya, karena dari keterangan di atas Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memperkenankan Jabir radhiyallahu 'anhu memperistri seorang janda. Juga, semua istri Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dinikahi dalam keadaan janda, kecuali Aisyah x.3 Bahkan Al-Imam Ahmad rahimahullahu sampai memiliki beberapa riwayat dalam masalah ini, di antaranya:
Pertama: Yang boleh dilihat hanya wajah si wanita saja.
Kedua: Wajah dan dua telapak tangan. Sebagaimana pendapat ini juga dipegangi oleh Hanafiyyah, Malikiyyah, dan Syafi’iyyah.
Ketiga: Boleh dilihat bagian tubuhnya yang biasa tampak di depan mahramnya dan bagian ini biasa tampak dari si wanita ketika ia sedang bekerja di rumahnya seperti wajah, dua telapak tangan, leher, kepala, dua betis, dua telapak kaki, dan semisalnya. Tidak boleh dilihat bagian tubuhnya yang biasanya tertutup seperti bagian dada, punggung, dan semisal keduanya.
Keempat: Seluruh tubuhnya boleh dilihat, selain dua kemaluannya. Dinukilkan pendapat ini dari Dawud Azh-Zhahiri.
Kelima: Boleh melihat seluruh tubuhnya tanpa pengecualian. Pendapat ini dipegangi pula oleh Ibnu Hazm dan dicondongi oleh Ibnu Baththal serta dinukilkan juga dari Dawud Azh-Zhahiri.
PERHATIAN:
Tentang pendapat Dawud Azh-Zhahiri di atas, Al-Imam An-Nawawi berkata bahwa pendapat tersebut adalah suatu kesalahan yang nyata, yang menyelisihi prinsip Ahlus Sunnah. Ibnul Qaththan menyatakan: “Ada pun sau`atan (yakni qubul dan dubur) tidak perlu dikaji lagi bahwa keduanya tidak boleh dilihat. Apa yang disebutkan bahwa Dawud membolehkan melihat kemaluan, saya sendiri tidak pernah melihat pendapatnya secara langsung dalam buku murid-muridnya. Itu hanya sekedar nukilan dari Abu Hamid Al-Isfirayini. Dan telah saya kemukakan dalil-dalil yang melarang melihat aurat.”Sulaiman At-Taimi berkata: “Bila engkau mengambil rukhshah (pendapat yang ringan) dari setiap orang alim, akan terkumpul pada dirimu seluruh kejelekan.”Ibnu Abdilbarr berkata mengomentari ucapan Sulaiman At-Taimi di atas: “Ini adalah ijma’ (kesepakatan ulama), aku tidak mengetahui adanya perbedaan dalam hal ini.” (Shahih Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, hal. 359)Selain itu ada pula pendapat berikutnya yang bukan merupakan pendapat Al-Imam Ahmad:
Keenam: Boleh melihat wajah, dua telapak tangan dan dua telapak kaki si wanita, demikian pendapat Abu Hanifah dalam satu riwayat darinya.Ketujuh: Boleh dilihat dari si wanita sampai ke tempat-tempat daging pada tubuhnya, demikian kata Al-Auza’i. (An-Nazhar fi Ahkamin Nazhar hal. 392,393, Fiqhun Nazhar hal. 77,78) Al-Imam Al-Albani rahimahullahu menyatakan bahwa riwayat yang ketiga lebih mendekati zahir hadits dan mencocoki apa yang dilakukan oleh para sahabat. (Ash-Shahihah, membahas hadits no. 99)
4 Bagi orang yang punya kelapangan tentunya, sehingga jangan dipahami bahwa walimah harus dengan memotong kambing. Setiap orang punya kemampuan yang berbeda. (Syarhus Sunnah 9/135)Ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam walimah atas pernikahannya dengan Shafiyyah, yang terhidang hanyalah makanan yang terbuat dari tepung dicampur dengan minyak samin dan keju (HR. Al-Bukhari no. 5169).Sehingga hal ini menunjukkan boleh walimah tanpa memotong sembelihan. Wallahu ‘alam bish-shawab.
jazakumullah
MA'RIFATUL INSAN
REPRODUKSI MANUSIA: AKIBAT-AKIBATNYA ATAS TRANSFORMASI- TRANSFORMASI SPESIES
Menurut Bibel, Al-Quran, Sains oleh Dr. Maurice Bucaille
Setelah mencapai bab penelitian kita ini berkenaan denganjawaban-jawaban yang diberikan oleh Al-Quran kepadapertanyaan 'dari manakah asal-usul manusia?' kiranya kitabarangkali cenderung untuk berpikir bahwa tema ini telahsepenuhnya tergarap. Halnya memang tampak demikian setelahkita pelajari ayat-ayat yang dikutip dalam dua babsebelumnya. Tetapi kita mesti ingat bahwa mengenai salahsatu ayat ini kita melihat betapa bermanfaatnya untuk terusmelanjutkan analisis kita dengan bertumpu pada data yangterdapat di dalam Al-Quran berkenaan dengan reproduksimanusia. Sesungguhnya pernyataan-pernyataan Al-Quran yang berhubungandengan tema ini mengandung jawaban terhadappertanyaan-pertanyaan mengenai transformasi-transformasiyang terjadi dalam morfologi manusia selama berabad-abadyang memang diatur oleh kode genetik yang terbentuk karenabersatunya kromosom-kromosom yang diterima dari sel-selreproduksi keayahan dan keibuan. Dengan demikian, warisangenetik yang disatukan menentukan pertama embrio[7] dankemudian foitus,[8] suatu kemungkinan munculnyaperubahan-perubahan morfologis sebagaimana dibandingkandengan yang dimiliki oleh ayah atau ibu.Modifikasi-modifikasi ini menjadi bersifat pasti ataudefinitif setelah anak dilahirkan dan selama pertumbuhannyadi masa kanak-kanaknya. Paling tidak modifikasi-modifikasiini memberi kepada sang anak kepribadian struktural yangbersifat khas. Lepas dari kembar identik yang terbentuk darisatu ovule tak satu manusia pun benar-benar sama satu samalain. Sedangkan paling jauh hal ini adalah persoalanperbedaan-perbedaan susunan yang mempengaruhi spesies itusendiri. Karena itu, keseluruh-terpaduan perubahan yangterjadi dari generasi ke generasi, yang akhirnya menentukantransformasi-transformasi morfologis yang telah dicatat olehpara ahli paleontologi pada berbagai kelompok manusia sejakzaman dulu. Konsekuensinya, kita harus meninjau kembali pokok-pokokutama mengenai reproduksi yang terdapat di dalam Al-Quran.Oleh karena itu, secara ringkas saya akan meringkaskan studiterinci atas masalah ini yang muncul dalam Bibel, Al-Qurandan Sains Modern. Bagi kita, menangkap makna (khususnya berkenaan denganperbandingan antara pernyataan-pernyataan yang terkandungdidalam Kitab-kitab Suci dan data saintifik), kita mestiingat bahwa teks tersebut diturunkan kepada manusia padaabad ketujuh AD (Anno Domini)*. Karya manusia apa pun padamasa itu mengemukakan pernyataan-pernyataan yang tak tepat.Ilmu belum berkembang, maka mau tak mau pemaparan apa punmengenai reproduksi manusia penuh dengan gagasan-gagasanyang berasal dari mitos dan tahyul. Harus bagaimana lagi,sebab untuk memahami mekanisme kompleks dalam proses ini,manusia harus mengetahui anatomi dan menggunakan mikroskop,dan ilmu-ilmu dasar mesti dimaujudkan sehingga hal ini akanmelicinkan jalan bagi fisiologi, embriologi dan ilmukebidanan.
Pengingat Gagasan-Gagasan Tertentu Mengenai Reproduksi Manusia
Yang saya niatkan di sini bukanlah mengajukan teori-teoritetapi menyajikan gagasan-gagasan yang didasarkan padafakta-fakta. Teori-teori pada hakikatnya terbuka bagiperubahan. Jika didekati dari suatu sudut teoritis, sainsyang berada dalam keadaan yang sahih sekarang bisa sajadisalahkan besok. Oleh karena itu, suatu dasar yang memadaiuntuk perbandingan adalah dasar yang bertumpu pada dayasaintifik dan tidak terbuka bagi perubahan, yang telahbenar-benar dikukuhkan dan diuji melalui eksperimentasi danmalah mungkin telah secara efektif dipraktekkan. Sudah merupakan fakta yang diakui bahwa reproduksi manusiaberlangsung dalam suatu rangkaian proses yang dimulai denganpembuahan di dalam tabung Falopia,* suatu sel telur yangtelah memisahkan dirinya dari indungnya di tengah perjalananmelalui siklus menstrual. Yang melakukan pembuahan tersebutadalah suatu sel yang berasal dari pria, yaitu spermatozoa,yang berpuluh-puluh juta spermatozoa terkandung dalam satusentimeter kubik sperma. Meskipun demikian, yang dibutuhkanuntuk menjamin terjadinya pembuahan adalah satu spermatozoasaja, atau dengan kata lain, sejumlah sangat kecil cairansperma. Cairan benih dan spermatozoa diproduksi oleh buahpelir dan untuk waktu tertentu disimpan di dalam suatusistem saluran dan tandon. Ketika terjadi kontak seksual,spermatozoa itu berpindah dari tempat penyimpanannya kesaluran kencing, dan di tengah jalan, cairan tersebutdiperkaya dengan keluaran-keluaran getah lebih lanjut yang,meskipun demikian, tidak mengandung unsur-unsur pembuah.Keluaran-keluaran getah ini, meskipun demikian, akanmemberikan suatu pengaruh besar atas pembuahan tersebutdengan membantu sperma untuk sampai ke tempat sel telurwanita dibuahi. Dengan demikian, cairan sperma itu merupakansuatu campuran: ia mengandung cairan benih dan berbagaikeluaran getah tambahan. Begitu sel telur dibuahi, ia turun ke rahim melalui tabungFalopia; bahkan pada saat ia turun itulah, ia telah mulaiterpecah. Kemudian 'menanamkan' dirinya dengan menyusup kedalam ketebalan atau kekentalan lendir dan otot-otot, begitutembuni terbentuk. Segera setelah embrio tampak oleh mata telanjang, iaterlihat sebagai suatu kelemit daging yang tidak memilikibagian-bagian yang bisa dibedakan. Di sana ia berkembangsecara bertahap hingga mencapai satu bentuk manusia, selamatahap-tahap ini bagian-bagian tertentu seperti kepala agaklebih besar volumenya dibanding bagian-bagian tubuhselebihnya. Hal-hal ini akhirnya menyusut, sedang strukturpenopang hidup dasar membentuk kerangka yang dikelilingiotot-otot, sistem syaraf, sistem peredar, isi perut (bagiandalam tubuh) dan sebagainya. Pernyataan-Pernyataan dalam Al-Quran
Ringkasan singkat di atas menggambarkan tahap-tahap dasarperkembangan yang pada halaman-halaman berikut akan kitaperbandingkan dengan pernyataan-pernyataan dalam Al-Quran.Untuk lebih mempermudah pemahaman atas butir-butir yangdiajukan di dalam Al-Quran, kiranya bisa didaftar sebagaiberikut:
1. sejumlah kecil cairan yang dibutuhkan untuk pembuahan;
2. campuran cairan pembuahan;
3. penanaman telur yang telah dibuahi;
4. evolusi embrio
Sejumlah Cairan Yang Dibutuhkan Untuk Pembuahan
"(Tuhan) telah membentuk manusia dari sejumlah kecil mani."(QS 16:4) Ungkapan ini terdapat sebelas kali dalam Al-Quran. Katabahasa Arab yang diterjemahkan di sini sebagai sejumlahkecil (sperma) adalah nuthfah. Barangkali hal ini bukanlahpenerjemahan yang paling ideal, tetapi tampaknya tak adasatu kata dalam bahasa Inggris pun yang bisa sepenuhnyamenangkap makna penuhnya. Kata tersebut berasal dari katakerja bahasa Arab yang berarti 'jatuh bertitik ataumenetes.' Arti utamanya merujuk kepada jejak cairan yangtertinggal di dasar sesuatu ember setelah ember dikosongkan.Dengan kata lain sejumlah sangat kecil cairan yang merupakanarti kedua kata tersebut yaitu setetes air. Dalam contohkhusus ini ia berarti sejumlah kecil sperma, karena katatersebut dikaitkan dengan kata 'sperma' (mani di dalambahasa Arab) dalam ayat berikut:
"Bukankah (manusia) dahulu merupakan setetes mani yangditumpahkan." (QS 75:37) Penting untuk disadari bahwa Al-Quran menyatakan secarajelas bahwa kemampuan sperma untuk membuahi tidak bergantungpada volume cairan yang di-'semburkan.' Gagasan bahwasejumlah sangat kecil cairan sebagai sepenuhnya bersifatefektif tidak segera tampak nyata. Orang-orang yang tak tahufakta sebenarnya berkenaan dengan gejala ini pasti akancenderung berpikir sebaliknya. Namun lebih dari seribu tahunsebelum kemaujudan spermatozoa ditemukan di awal abad 17Al-Quran mengungkapkan gagasan-gagasan yang terbukti benarberdasarkan penemuan identitas unsur pembuah yang diukurdalam satuan-satuan perseribu milimeter. Adalah benar-benarspermatozoalah yang terdapat di dalam cairan benih yangmengandung pita DNA. Hal ini pada gilirannya membentukkendaraan bagi gen-gen dari sang ayah yang bersatu dengangen-gen dari ibu untuk membentuk warisan genetik bagi calonmanusia. Gen-gen yang terkandung di dalam sel reproduksi pria -yangbergabung dengan gen-gen sel reproduksi wanita- membentukfaktor-faktor yang akan menentukan berbagai kekhasan calonmanusia itu. Sebagaimana telah kita lihat sebelumnya dalambuku ini, begitu penyusutan kromatik berlangsung, makaspermatozoa itu membawa gen-gen yang mengandungfaktor-faktor yang menentukan apakah calon manusia itu akanberjenis kelamin laki-laki (hemicromosom Y) atau wanita(hemicromosom X). Jika, di antara tak terhitung banyaknyaspermatozoa yang berkumpul di sekitar tepi sel telur sebagaisel-sel pembuah yang mungkin, satu spermatozoa yangbenar-benar berhasil membuahinya mengandung hemicromosom Y,maka calon anak tersebut akan menjadi anak laki-laki. Jikaspermatozoa yang menembus sel telur mengandung hemicromosomX, maka anak tersebut akan menjadi seorang anak perempuan.Oleh karena itu, jenis kelamin seseorang, secara genetik,ditentukan pada saat terjadi pembuahan oleh unsur pembuah,dalam sejumlah sangat kecil, dan setelahnyakekhasan-kekhasan seksual anak tersebut terus terbentuk.Al-Quran mengandung pernyataan di bawah ini mengenai masalahdi atas (ketika merujuk kepada manusia):
"Dari sejumlah kecil cairan, (Tuhan) membentuknya (dalamproporsi yang tepat) lalu menentukannya." (QS 80:19)
(Saya telah menerjemahkan kata khalaqa sesuai dengan artiaslinya -yang disebutkan dalam bab sebelumnya- yaitu'membentuk dengan proporsi yang sesuai' atau 'membentuk' danbukannya dengan kata kerja 'menciptakan.' Kita tentu mesti mengakui bahwa dalam hal ini ada kesesuaianyang mencengangkan antara pernyataan-pernyataan dalamAl-Quran berkenaan dengan suatu ketentuan yang ditetapkanpada tahap ini dan pengetahuan kita tentang fakta bahwawarisan genetik yang diterima dari ayahlah yang menentukanjenis kelamin seseorang suatu hal yang ditekankan di atas.
Catatan kaki:
7 Sebelum bulan kedua masa kehamilan.
8 Setelah bulan kedua masa kehamilan.
* Anno Domini: penanggalan yang dibuat dengan bertolak darikelahiran Yesus penyunting.
* Tabung Falopia: pembuluh lembut yang menghubungkan rahimdengan daerah indung telur dalam sistem reproduksi wanita(manusia) dan betina (hewan-hewan bertulang belakang yanglebih tinggi) - penyunting.9 Jika memang demikian, tentu hukum-hukum ketata-bahasaansatu segi dari teks Al-Quran yang tak pernah salah akanmenentukan bahwa kata itu muncul dalam bentuk ganda, danbukan dalam bentuk jamak sebagaimana muncul di sini.
* Prostat: sebuah kelenjar pada hewan menyusui yang terdiriatas jaringan otot dan kelenjar yang mengelilingi salurankencing (sperma) pada kandung kemih -penyunting.
Kompleksitas Cairan Pembuah
Ini merupakan suatu konsep yang sangat tepat dan dengangamblang diungkapkan dalam ayat-ayat Al-Quran berikut ini.
"Sungguh Kami telah membentuk manusia dari sejumlah kecilcairan yang bercampur." (QS 76 :2) I
stilah 'cairan-cairan yang bercampur' berkaitan dengan kataArab amsyaj. Para pengulas terdahulu mengartikan kata inisebagai suatu cairan laki-laki dan wanita[9] sedemikiansehingga seakan-akan wanita juga menghasilkan cairan-cairanyang berperan dalam reproduksi. Penafsiran seperti ini takbisa dipertahankan lagi. Hal ini tak lain adalah cerminandari gagasan-gagasan yang populer pada saat Al-Qurandiwahyukan kepada manusia, suatu periode yang di dalamnyasecara amat alami orang tak tahu apa-apa tentang fisiologiatau embriologi wanita. Hal ini menjelaskan kenapa parapengulas terdahulu percaya pada kemaujudan suatu cairan yangbersumber dari wanita yang berperan dalam proses pembuahan.Celakanya, pendapat-pendapat seperti ini, yang diungkapkanoleh para pengulas yang tak syak lagi sangat terkemuka danmemenuhi syarat untuk berbicara tentang masalah-masalahkeagamaan, terus mempengaruhi penafsiran-penafsiran yangdiberikan oleh para ahli masa kini berkenaan dengan berbagaimacam masalah, yaitu gejala-gejala alam. Oleh karena itu,kita mesti menegaskan fakta bahwa sel telur wanita tidakterkandung di dalam suatu cairan seperti sperma, dan bahwaberbagai keluaran getah yang benar-benar terjadi di dalamvagina dan lendir rahim sepenuhnya tak ada hubungannyadengan pembentukan suatu manusia baru sejauh menyangkut zataktual mereka. 'Cairan-cairan yang bercampur' yang dirujuk oleh Al-Quranhanya khas bagi cairan sperma yang kompleksitasnya dengandemikian terpaparkan. Seperti kita ketahui, cairan ini terdiri ataskeluaran-keluaran getah dari kelenjar-kelenjar berikut ini:buah pelir-buah pelir benih (mani), prostat* dankelenjar-kelenjar yang melekat pada saluran kencing. Al-Quran masih menyebut hal-hal lain. Ia juga menjelaskankepada kita bahwa unsur pembuah pria berasal dari cairansperma. "(Tuhan) menjadikan keturunannya dari saripati cairan yanghina." (QS 32:8)
Kata sifat 'yang hina' (mahin di dalam bahasa Arab) mestiditerapkan tidak saja pada sifat cairan itu sendirimelainkan juga pada fakta bahwa ia disemprotkan melaluisaluran kencing. Mengenai kata 'saripati', kita sekali lagi bertemu dengankata Arab sulalat, yang kepadanya kita tadi merujuk dalammemperbincangkan pembentukan manusia, selama Penciptaan,dari 'sari pati' lempung. Hal itu menunjuk pada 'sesuatuyang diambil dari sesuatu yang lain', sebagaimana kita lihatdi atas, dan juga kepada bagian terbaik dari sesuatu '.Konsep yang diungkapkan di sini tidak bisa tidak, membuatkita berpikir tentang spermatozoa.
Penanaman Telur Dalam Organ-Organ Kemaluan Wanita
Penanaman sel telur yang telah terbuahi di dalam rahimdisebutkan dalam banyak ayat Al-Quran. Kata Arab yangdigunakan dalam konteks ini adalah 'alaq, yang arti tepatnyaadalah 'sesuatu yang bergantung' sebagaimana dalam ayatberikut ini.
"Bukankah (manusia) dahulu adalah sejumlah kecil sperma yangditumpahkan? Kemudian ia menjadi sesuatu yang bergantung;lalu Allah membentuknya dalam ukuran yang tepat danselaras." (QS 75:37-38)
Merupakan suatu fakta yang kuat bahwa sel telur yang dibuahitertanam dalam lendir rahim kira-kira pada hari keenamsetelah pembuahan mengikutinya dan secara anatomis sungguhtelur tersebut merupakan sesuatu yang bergantung. Gagasan tentang 'kebergantungan' mengungkapkan arti aslikata dalam bahasa Arab 'alaq. Salah satu turunan dari katatersebut adalah 'segumpal darah,' suatu penafsiran yangmasih kita temukan sekarang dalam terjemahan-terjemahanAl-Quran. Hal ini sepenuhnya merupakan terjemahan yang tidaktepat dari pengulas-pengulas zaman dahulu yang melakukanpenafsiran menurut arti turunan kata tersebut. Karenakurangnya pengetahuan pada waktu itu, maka mereka tak pernahmenyadari bahwa arti asli kata tersebut sudah sepenuhnyamemadai. Di samping itu, dalam hal ayat-ayat yang mengandungpengetahuan modern, ada satu kaidah umum yang terbukti takpernah salah, yaitu bahwa makna paling tua dari suatu kataselalu merupakan arti yang dengan jelas menunjukkankesetaraannya dengan penemuan-penemuan ilmiah, sedangarti-arti turunannya secara berubah-ubah membawa kepadapernyataan-pernyataan yang tidak tepat atau malah samasekali tak punya arti.
Segera setelah berevolusi melampaui tahap yang dicirikan didalam Al-Quran oleh kata sederhana 'sesuatu yangbergantung,' embrio, menurut Al-Quran, melewati satu tahapyang di dalamnya ia secara harfiah tampak seperti daging(daging yang digulung-gulung). Sebagaimana kita ketahui iaterus tampak demikian sampai kira-kira hari kedua puluhketika ia mulai secara bertahap mengambil bentuk manusia.Jaringan-jaringan tulang dan tulang belulang mulai tampakdalam embrio itu yang secara berturutan diliputi olehotot-otot. Gagasan ini diungkapkan dalam Al-Quran sebagaiberikut:
"Kami bentuk hal yang menjadi segumpal daging yangdigulung-gulung, dan segumpal daging itu Kami bentuk menjaditulang-belulang, lalu tulang-belulang itu Kami bungkusdengan daging yang utuh." (QS 23 14)
Dua tipe daging yang diberi dua nama berbeda di dalamAl-Quran, yang pertama 'daging yang digulung-digulung'disebut sebagai mudhraj, sedang yang kedua 'daging yangmasih utuh' ditunjukkan oleh kata lahm yang memangmenguraikan secara amat tepat bagaimana rupa otot itu. Al-Quran juga menyebutkan munculnya indera-indera danbagian-bagian dalam tubuh.
"(Tuhan) menganugerahkan bagimu pendengaran, penglihatan danbagian-bagian dalam tubuh." (QS 32:9) Penunjukan dalam Al-Quran kepada organ-organ seksual mestijuga kita perhatikan, karena perujukan olehnya sungguhsangat tepat sebagaimana ditunjukkan oleh ayat ini.
"(Tuhan) membentuk berpasang-pasangan laki-laki danperempuan dari sejumlah kecil (sperma) ketika sejumlah kecil(sperma) itu dipancarkan." (QS 53 :45-46) Sebagaimana telah kita lihat di atas, Al-Quran menekankanfakta bahwa hanya sejumlah amat kecil cairan sperma yangdibutuhkan untuk pembuahan. Unsur pembuah pria, yaituspermatozoa, mengandung hemicromosom yang akan menentukanjenis kelamin calon manusia itu. Saat-saat yang menentukanterjadi ketika spermatozoa menembus sel telur dan kemudianjenis kelamin tersebut tidak berubah. Ayat-ayat yang dikutipdi atas menunjukkan bahwa jenis kelamin manusia ditentukanoleh sejumlah kecil cairan pembuah. Cairan inilah yangmembawa spermatozoa yang mengandung hemicromosom yangmenentukan bentuk seksual manusia baru. Dalam konteks initeks Al-Quran dan data embriologi modern secara sangatmencengangkan ternyata sama. Semua pernyataan ini sesuai dengan fakta-fakta kuat masakini. Tetapi bagaimana orang-orang yang hidup pada masaMuhammad dapat mengetahui berbagai rinci embriologi? Karenadata ini belum ditemukan sampai seribu tahun setelah wahyuAl-Quran diturunkan. Sejarah sains membuat kita menyimpulkanbahwa tak ada satu penjelasan manusia mengenai kemaujudanayat-ayat ini di dalam Al-Quran.
Bagi orang-orang yang tidak akrab dengan embriologi dangenetika, tidak segera tampak bahwa setiap dan semuamodifikasi yang berlangsung di dalam individu manusiaberasal dari perubahan-perubahan yang terjadi pada gen-genyang diberikan kepada individu baru oleh kromosom-kromosomyang diturunkan dari ayah dan ibunya. Sebagaimana dinyatakansebelumnya, satu pembagian berlangsung dalam setiap warisangenetis yang diikuti satu penyatuan unsur-unsur yang berasaldari paruh masing-masing. Hal ini dengan cepat menimbulkanawal perubahan-perubahan morfologis selama kehamilan, dandengan demikian juga modifikasi-modifikasi fungsional yangmuncul kemudian. Dengan demikian transformasi-transformasiterus berlangsung setelah lahirnya sang bayi, melewatipertumbuhan masa kecil, hingga individu tersebut mencapaikedewasaan dan transformasi-transformasi tersebut sepenuhnyasempurna. Jika konsep-konsep ini tidak dipahami dengan benar, makakesalahan-kesalahan bisa terjadi berkenaan dengangagasan-gagasan orang-orang yang biasa berpikir bahwaayat-ayat Al-Quran yang dikutip dalam bab ini berkenaanhanya dengan perkembangan bayi di dalam rahim danmengabaikan perkembangan morfologis berikutNya dari manusiaitu. Itulah sebabnya kenapa sangat penting untuk memasukkansemua ayat yang merujuk pada reproduksi manusia dalam studikita mengenai bagian -bagian teks Al-Quran yang- sejauh yangdapat saya lihat berhubungan dengan transformasi-transformasibentuk manusia selama berabad-abad. Untuk menjernihkan persoalan ini, saya akan memberikan satucontoh berkenaan dengan transformasi patologis yang terdiriatas suatu kerusakan bawaan yang khususnya umum terjadi diantara kesalahan-kesalahan pembentukan manusia: yaitumongolisme.° Penemuan-penemuan telah menunjukkan bahwa halitu disebabkan atau diakibatkan oleh berlipat tiganya suatukromosom yang telah diberi nomor 21, yang darinya kerusakantersebut mengambil nama Trisomi 21. Pada masa kini diketahuibahwa penyebabnya terletak pada gen-gen yang terkandungdalam kromosom dan bahwa kerusakan tersebut terjadi denganfrekuensi maksimum ketika ibu sang bayi berumur lebih dari40 tahun. Penyakit tersebut dicirikan oleh suatu perkembangan fisikdan intelegensia kanak-kanak dan bentuk-bentuk morfologiskhas tertentu yang barangkali tidak tampak jelas waktukelahiran tapi kemudian menjadi sangat nyata. Jadi, kondisitersebut dikenali, cepat atau lambat, sesuai dengan tingkatkeseriusannya. Meskipun demikian, apa pun kasusnya,karakteristik dasarnya diperoleh selama minggu-minggupertama kehidupan. Modifikasi-modifikasi morfologis yang bermacam-macam dalamdiri manusia mengikuti pola yang sama. Proses tersebutbermula selama kehamilan, dan secara bertahap menjadi lebihnyata hingga manusia tersebut mencapai kedewasaan. Dengandemikian, selama generasi-generasi yang berturutan yangmemisahkan Australopitecus dari manusia modern (yangmencapai sepuluh ribu unit), masuk akallah untuk beranggapanbahwa tak sedikit modifikasi yang terjadi dalam setiapgenerasi, yang secara bertahap tertumpuk hingga menghasilkantransformasi-transformasi yang melahirkan manusiasebagaimana kita kenali pada masa kini. Oleh karena itu,adalah mustahil, berkenaan dengan hasil akhirnya, untukmemisahkan modifikasi-modifikasi kecil yang selaras yangterjadi atau berlangsung dalam setiap generasi di dalamrahim dari transformasi-transformasi menyeluruh yang terjadiatas sejumlah besar generasi. Penjelasan ini diperlukanuntuk memahami cara Al-Quran mengungkapkan konsep ini,sehubungan dengan evolusi embrio di dalam rahim, menurutkehendak Allah, sebagaimana dinyatakan dengan jelas di dalamAl-Quran.
Catatan kaki:
° Mongolisme: kepandiran bawaan, yang dalam kepandiran
bawaan itu seorang anak dilahirkan dengan tengkorak kepala
yang pendek dan rata (pesek), kedua mata yang sipit, dan
kelainan-kelainan lain -penyunting
(SELESAI)
Asal Manusia
Menurut Bibel, Al-Quran, Sains
oleh Dr. Maurice Bucaille
Penerbit Mizan, Cetakan VII, 1994
jazakumullah
SHAF DIDALAM SHOLAT
Sebaik-baik Saf Dan Keutamaan Saf
Diriwayatkan dari Jabir bin Samirah ia berkata, “Rasulullah bersabda, “Tidakkah kalian ingin berbaris, sebagaimana para malaikat berbaris di hadapan Rabb mereka.” Maka kami bertanya, “Bagaimanakah para malaikat berbaris di hadapan Rabb?’ Beliau menjawab, “Mereka menyempurnakan barisan yang depan dan saling merapat di dalam saf.” (Hadis Riwayat Muslim, no. 430)
Dari Abu Hurairah, Rasulullah s.a.w. bersabda, “Seandainya orang-orang tahu (pahala) yang terdapat di dalam seruan (azan) dan barisan (saf) pertama kemudian mereka tidak mendapatkan cara untuk mencapainya kecuali dengan cara melakukan undian, pasti mereka akan mengadakannya.” (Hadis Riwayat Bukhari, no. 615. Muslim, no. 137)
“Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla dan para Malaikat-Nya berselawat ke atas barisan (saf) yang pertama atau saf yang awal.” (Dinilai hasan oleh al-Albani di dalam Sahih at-Targhib wa at-Tarhib, 1/197)
Menyempurnakan Saf Yang Hadapan Dahulu
Dari Anas r.a. bahawa Rasulullah s.a.w. bersabda:
“Sempurnakanlah saf pertama, kemudian saf berikutnya. Jika kurang (saf pertama telah penuh/tidak mencukupi), maka hendaklah ia mengambil saf yang belakang.” (Hadis Riwayat an-Nasa’i, 2/93)
Posisi Makmum di Dalam Solat
1 – Kedudukan Saf Secara Umum Bagi Lelaki Dan Wanita.
Dari Abu Hurairah, dia berkata, Rasulullah s.a.w. bersabda:
“Sebaik-baik saf bagi lelaki adalah yang paling hadapan dan seburuk-buruknya adalah yang paling belakang. Sebaik-baik saf wanita adalah yang paling belakang dan seburuk-buruknya adalah yang paling hadapan.” (Hadis Riwayat Muslim, no. 440)
1 - Imam (Depan), 2 - Makmum Lelaki (Belakang Imam, Depan Saf Wanita), 3 - Makmum Wanita (Belakang) 2 – Apabila solat berjamaah mengandungi dua orang lelaki, iaitu seorang imam dan seorang makmum.
Apabila imam solat berjamaah hanya dengan seorang makmum, maka dia (makmum) disunnahkan berdiri di sebelah kanan imam (sejajar dengannya), sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibnu Abbas r.a. bahawa beliau pernah solat berjamaah bersama Rasulullah pada suatu malam dan berdiri di sebelah kirinya. Maka Rasulullah memegang kepala Ibnu Abbas dari belakang lalu memindahkannya ke sebelah kanannya. (Hadis Riwayat Muslim, No. 763. Bukhari, no. 183)
Maka, kedudukan imam adalah di sebelah kiri makmum, dan makmum di sebelah kanan imam dalam keadaan satu barisan (satu saf) sebelah menyebelah.
1 - Imam (Kiri), 2 - Makmum (Kanan)3 – Solat dengan dua orang makmum (atau lebih) bersama imam.
Diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah al-Anshaari:
“… Rasulullah s.a.w. berdiri untuk menunaikan solat, lalu akupun datang dan berdiri di samping kiri beliau. Rasulullah meraih tanganku lalu memindahkanku ke sebelah kanan beliau. Kemudian datang pula Jabbar bin Shakr r.a., ia berwudhu’ lalu mengikuti solat kami, ia berdiri di samping/sebelah kiri Rasulullah. Beliaupun meraih tangan kami berdua lalu memindahkan kami ke belakang beliau...” (Hadis Riwayat Muslim, no. 3006)
Jika tiga orang makmum atau lebih solat bersama imam, maka mereka berdiri di belakang imam menurut kesepakatan para ulama. Hadis-hadis yang menyebutkan tentang masalah ini terlalu banyak untuk disebutkan satu persatu. Makmum tidak boleh berada di depan imam, kerana tidak sah bermakmum bersama seorang imam kecuali jika imam tersebut berada di depan mereka. Jumhur ulama berpendapat, barangsiapa berada di depan imam maka batal solatnya. Imam Malik, Ishaq, Abu Tsaur dan Daud membolehkannya, jika tempat terlalu sempit. (Rujuk: Sahih Fiqih Sunnah, jil. 2, hal. 239, Abu Malik Kamal as-Sayyid Salim)
4 – Solat seorang wanita bersama imam lelaki.
Diriwayatkan dari Anas, ia berkata, “Aku solat bersama seorang anak yatim di belakang Nabi s.a.w., dan ibuku (ummu Sulaim) di belakang kami. (Hadis Riwayat Bukhari, no. 727)
Jika seorang lelaki dan seorang wanita solat bersama imam maka lelaki berdiri sejajar di sebelah kanan imam, sementara wanita ber-saf sendirian di belakang keduanya. Diriwayatkan dari Anas, “Bahawa Rasulullah s.a.w. mengimaminya, dan seorang wanita bersama mereka, maka beliau menempatkannya di sebelah kanannya, dan wanita tersebut di belakang mereka.” (Hadis Riwayat Muslim, no. 269) (Rujuk: Sahih Fiqih Sunnah, jil.2, hal. 240, Abu Malik Kamal as-Sayyid Salim)
Seorang lelaki boleh menjadi imam solat bagi isterinya atau salah seorang mahramnya. Dan tidak boleh seorang lelaki mengimami seorang wanita asing (bukan mahramnya) seorang diri, berdasarkan keumuman hadis berikut:
“Tidak boleh bagi seorang lelaki berduaan dengan seorang wanita, kerana yang ketiganya adalah syaitan.” (Hadis Riwayat at-Tirmidzi, no. 1171)
Seorang lelaki boleh mengimami sejumlah wanita. Akan tetapi hal ini dibolehkan apabila aman dari fitnah.
1 - Imam (Depan), 2 - Makmum Wanita (Belakang)

1 - Depan - Imam (Kiri), Makmum Lelaki (Kanan), 2 - Belakang & Tengah (Saf Wanita)
5 – Solatnya seorang wanita bersama kaum wanita yang lain.
Diriwayatkan dari Hajirah, dari Ummu Salamah, “Bahawa ia mengimami mereka, dan ia berdiri di tengah-tengah mereka.” (Hadis Riwayat Abdurrazzaq, 3/140) Jika seorang wanita solat mengimami jamaah kaum wanita, maka ia berdiri di tengah-tengah mereka dalam keadaan satu barisan (saf) bersama yang lainnya. Hendaklah ia tidak maju (mengambil posisi ke hadapan).
6 – Posisi kanak-kanak dalam saf solat berjemaah.
Diriwayatkan dari Anas, ia berkata, “Aku solat bersama seorang anak yatim di belakang Nabi s.a.w., dan ibuku (ummu Sulaim) di belakang kami. (Hadis Riwayat Bukhari, no. 727)
Menurut Sheikh al-Albani:
Tidak mengapa anak-anak berdiri di saf kaum lelaki dewasa, jika saf tersebut masih ada ruang. Dan solatnya kanak-kanak lelaki yatim bersama Anas di belakang Rasulullah s.a.w. adalah hujjah dalam masalah ini. (Rujuk: Tamam al-Minah, hal. 282) (Dinukil dari Sahih Fiqih Sunnah, jil.2, hal. 241-242, Abu Malik Kamal as-Sayyid Salim)
7 – Solat di samping (sebelah) imam kerana saf sudah penuh.
Barangsiapa memasuki masjid dan ia mendapati masjid sudah penuh dan saf-saf sudah sempurna, maka dia boleh membelah saf dan berdiri di samping imam. Ini adalah sebagaimana yang dilakukan Rasulullah s.a.w. di ketika beliau sakit. Daripada Aisyah r.ha, dia menyatakan, “Nabi s.a.w. dalam sakitnya yang mengakibatkan beliau wafat, ketika merasa lebih baik, beliau keluar dan mendapatkan Abu Bakar sedang solat bersama yang lain. Ketika Abu Bakar melihat beliau, ia ingin mundur, maka beliau (Nabi s.a.w.) mengisyaratkan kepadanya agar tetap di posisinya/tempatnya semula. Lalu Rasulullah s.a.w. dipapah oleh dua orang sehingga beliau duduk sejajar di sebelah kiri Abu Bakar r.a.. Maka, Abu Bakar mengikuti solat Rasulullah s.a.w., sedangkan orang-orang mengikuti solat Abu Bakar.” (Hadis Riwayat Muslim, no. 418)
Dalam suatu penjelasan yang lain berkenaan kisah kepergian Nabi s.a.w. ke Bani ‘Amr bin ‘Auf untuk mendamaikan di antara mereka dan solat Abu Bakar bersama manusia, disebutkan, “...Rasulullah s.a.w. datang, sementara orang-orang sedang mengerjakan solat, maka beliau masuk hingga dalam saf...” (Hadis Riwayat Bukhari, no. 684) Dalam riwayat yang lain, “Beliau membelah saf-saf hingga berdiri di saf yang paling depan.” (Rujuk: Sahih Fiqih Sunnah, jil.2, hal. 239-240, Abu Malik Kamal as-Sayyid Salim)
Perintah Dan Tuntutan Merapatkan Saf
Persoalan menjaga saf dan merapatkan saf di dalam solat adalah merupakan suatu permasalahan yang kian terabai. Ramai dari kalangan masyarakat hari ini, mengambil mudah dalam hal ini sebagaimana yang banyak berlaku di masjid-masjid sekeliling kita. Saf-saf solat mereka kelihatan renggang, tidak sekata, dan lebih mengecewakan adalah apabila para imam sendiri tidak ambil endah berkenaan hal ini. Sedangkan jika dilihat kepada hadis-hadis Rasulullah s.a.w. dan atsar para sahabat, dalam persoalan merapatkan saf ini, sungguh betapa dititik beratkan kesempurnaannya, dan malah jika gagal menyempurnakannya, ada pula hadis-hadis yang berbentuk ancaman.
Meluruskan dan merapatkan saf (barisan) dalam solat berjamaah adalah merupakan suatu hal yang sangat diperintahkan (dituntut), sebagaimana di dalam hadis Nabi s.a.w., (maksudnya), “Luruskan saf-mu, kerana sesungguhnya meluruskan saf itu merupakan sebahagian dari kesempurnaan solat”. (Hadis Riwayat Muslim, no. 433) Dalam Riwayat yang lain, “Sesungguhnya meluruskan saf itu merupakan sebahagian dari mendirikan solat.” (Hadis Riwayat Bukhari, no. 722. Muslim, no. 435) “Sesungguhnya menegakkan saf (meratakan saf), adalah sebahagian dari kebaikan solat.” (Hadis Riwayat Bukhari, no. 723)
Hadis tersebut dan hadis-hadis lain yang seumpamanya, kata lbnu Hazm, merupakan dalil wajibnya merapikan saf sebelum dan sepanjang melaksanakan solat. Kerana menyempurnakan solat itu wajib, sedang kesempurnaan saf merupakan sebahagian dari kesempurnaan solat, maka merapikan saf merupakan kewajiban. Juga lafaz ‘amr (perintah) dalam hadis di atas menunjukkan wajib. Selain itu, Rasulullah s.a.w. setiap kali akan memulakan solat (berjemaah), selalu menghadap kepada jamaah dan memerintahkan untuk meluruskan saf, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik r.a.
Umar bin Khaththab r.a. pernah memukul Abu Utsman al-Nahdi kerana keluar dari barisan solatnya. Juga Bilal pernah melakukan hal yang sama, seperti yang dikatakan oleh Suwaid bin Ghaflah bahawa Umar dan Bilal pernah memukul bahu kami dan mereka tidak akan memukul orang lain, kecuali kerana meninggalkan sesuatu yang diwajibkan. (Rujuk Fathul Bari, 2/447). Anas r.a. ketika tiba di kota Madinah ditanya, “Apa yang engkau ingkari dari perbuatan kami sejak sepeninggalan Rasulullah?” Dia menjawab, “Tidak ada perbuatan kalian yang aku ingkari kecuali ketika kalian tidak meluruskan saf-saf kalian.” (Diriwayatkan oleh Bukhari di dalam Sahihnya, no. 724)
Bahkan Rasulullah s.a.w. sebelum memulakan solat, beliau berjalan merapikan saf dan memegang dada dan bahu para sahabat lalu bersabda, “Hendaklah kalian meluruskan saf-saf kalian atau Allah akan membalikkan wajah-wajah kalian.” (Hadis Riwayat Bukhari, no. 717, Muslim, no. 436)
Di dalam riwayat Abu Hurairah r.a.. dia berkata, “Rasulullah biasa masuk memeriksa ke saf-saf bermula dari satu hujung (sisi) ke hujung yang lain, memegang dada dan bahu kami seraya bersabda, “Jangan lah kalian berbeza (tidak lurus safnya), kerana akan menjadikan hati kalian berselisih.” (Hadis Riwayat Muslim)
Dalam hadis yang lain yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari an-Nu’man bin Basyir: beliau berkata, “Dahulu Rasullullah meluruskan saf kami sehingga sampai seperti meluruskan anak panah hingga beliau memandang kami telah faham apa yang beliau perintahkan kepada kami (sehingga saf kami telah rapi – pent.), kemudian suatu hari beliau keluar (untuk solat) kemudian beliau berdiri, hingga ketika beliau akan bertakbir, beliau melihat seseorang yang dadanya terkehadapan, maka beliau bersabda:
“Wahai para hamba Allah, hendaklah kalian benar-benar meluruskan saf atau Allah akan memperselisihkan wajah-wajah kalian”. (Diriwayatkan oleh Muslim, no. 436)
Sedangkan hadis yang diriwayatkan dari Anas r.a., Beliau bersabda, “Luruskan dan rapatkan saf-saf kalian, kerana sesungguhnya aku melihat kalian dari balik punggungku.” (Diriwayatkan oleh Abu Ya’la di dalam al-Musnad, no. 3720, al-Mukhlis di dalam al-Fawaid (1/10/2), Sa’id ibn Manshur di dalam al-Sunan, dan al-Ismaili sebagaimana di dalam Fathul Bari (2/211). Sanad hadis ini adalah sahih menurut syarat al-Bukhari dan Muslim seperti disebutkan di dalam al-Silsilah as-Sahihah)
Imam al-Qurthubi berkata, “Yang dimaksudkan dengan perselisihan hati pada hadis di atas adalah bahawa ketika seseorang tidak lurus di dalam safnya dengan berdiri ke depan atau ke belakang, menunjukkan kesombongan di dalam hatinya yang tidak mahu diatur. Yang demikian itu, akan merosakkan hati dan memungkinkan menimbulkan perpecahan.” (Rujuk: Fathul Bari 2/443) Pendapat ini juga didukung oleh Imam al-Nawawi, beliau berkata, “Berbeza hati maksudnya, terjadi di antara mereka kebencian dan permusuhan serta pertentangan hati. Perbezaan ketika ber-saf merupakan perbezaan zahir dan perbezaan zahir adalah wujud dari perbezaan batin iaitu hati.”
Sementara Qadhi Iyyadh menafsirkannya dengan mengatakan “Allah akan mengubah hati mereka secara fizikal, sebagaimana di dalam riwayat lain (Allah akan mengubah wajah mereka)”. Hal itu merupakan ancaman yang berat dari Allah. Sebagaimana Dia mengancam orang yang mengangkat kepalanya sebelum imam (i’tidal), maka Allah akan mengubah wajahnya menjadi wajah keldai. Imam al-Kirmani menyimpulkan, “Akibat dari pertentangan dan perbezaan di dalam saf, boleh menimbulkan perubahan anggota atau tujuan atau juga perbezaan balasan dengan memberikan balasan yang sempurna bagi mereka yang meluruskan saf dan memberikan balasan keburukan bagi mereka yang tidak meluruskan safnya.”
Berdiri di dalam saf bukan hanya sekadar berbaris lurus, tetapi juga dengan merapatkan kaki dan bahu antara satu dengan yang lainnya seperti yang dilakukan oleh para sahabat. Dari Ibnu Umar r.a., Rasulullah s.a.w. bersabda, “Rapatkanlah saf, dekatkan (jarak) antara saf-saf itu dan ratakan bahu-bahu.” (Hadis Riwayat Abu Daud dan an-Nasai, disahihkan oleh Ibnu Hibban)
Di dalam riwayat lain, Rasulullah s.a.w. bersabda, “Demi jiwaku yang ada di tangan-Nya, aku melihat syaitan masuk di celah-celah saf, sebagaimana masuknya anak kambing.” (Diriwayatkan oleh Abu Daud, no. 666. an-Nasa’i, 2/93. Ahmad, 2/97)
Bahkan sehingga ada sebahagian ulama yang mewajibkan hal itu, sebagaimana perkataan Sheikh al-Albani rahimahullah dalam mengulas sabda Nabi s.a.w. “...atau Allah akan memperselisihkan wajah-wajah kalian,” dengan menyatakan, “Sesungguhnya ancaman seperti ini tidak boleh dikatakan termasuk perkara yang tidak diwajibkan, sebagaimana tidak samar lagi.” Akan tetapi sungguh amat sangat disayangkan, sunnah meluruskan dan merapatkan saf ini telah diremehkan bahkan dilupakan kecuali oleh segelintir kaum muslimin.
Berkata Sheikh Masyhur Hasan Salman (Rujuk: Majalah FATAWA, vol. 3/no.11, November 2007/Dzulqae’dah 1428):
Apabila jamaah solat tidak melaksanakan sebagaimana yang dilakukan oleh Anas dan al-Nu’man maka akan selalu ada celah dan ketidaksempurnaan dalam saf. Dan pada kenyataannya (kebanyakannya) para jemaah solat apabila mereka merapatkan saf maka akan luaslah saf (menampung banyak jemaah) khususnya saf pertama kemudian yang kedua dan yang ketiga. Apabila mereka tidak melakukannya, maka:
Pertama: Mereka terjerumus dalam larangan syar’i, iaitu tidak meluruskan dan meluruskan saf.
Kedua: Mereka menyediakan celah untuk syaitan dan Allah akan memutuskan mereka, sebagaimana hadis dari Umar bin Khaththab r.a. bahawasanya Nabi s.a.w. bersabda, “Tegakkan saf-saf kalian dan rapatkan bahu-bahu kalian dan tutuplah celah-celah dan jangan kalian tinggalkan celah untuk syaitan, barangsiapa yang menyambung saf nescaya Allah akan menyambungnya dan barangsiapa memutuskan saf nescaya Allah akan memutuskannya.” (Hadis Riwayat Abu Daud, disahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan al-Hakim) “Dan barangsiapa memutuskan saf (tidak merapatkan atau memenuhkan saf), maka Allah akan memutuskan hubungan dengan-Nya.” (Hadis Riwayat Abu Daud, no. 785)
Ketiga: Terjadi perselisihan dalam hati-hati mereka dan timbul banyak pertentangan di antara mereka, sebagaimana dalam hadis an-Nu’man terdapat faedah yang menjadi terkenal dalam ilmu jiwa, iaitu sesungguhnya rosaknya zahir mempengaruhi rosaknya batin dan begitu jugalah sebaliknya. Di samping itu bahawa sunnah meluruskan dan merapatkan saf menunjukkan rasa persaudaraan dan saling tolong-menolong, sehingga bahu si miskin menempel dengan bahu si kaya dan kaki orang lemah merapat dengan kaki orang kuat, semuanya dalam satu barisan seperti bangunan yang kuat, saling menopang satu sama lainnya.
Keempat: Mereka kehilangan pahala yang besar yang dikhabarkan melalui hadis-hadis yang sahih, di antaranya sabda Nabi s.a.w., “Sesungguhnya Allah dan para malaikatnya berselawat kepada orang yang menyambung saf.” (Hadis Riwayat Ahmad, Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah dan al-Hakim. Dinilai Sahih oleh al-Albani di dalam Kitabnya Sahih at-Targhib wa at-Tarhib, 1/335)
Cara-Cara Merapatkan Saf Yang Betul
1 – Merapatkan bahu dengan bahu, lutut dengan lutut, dan mata kaki dengan mata kaki sebagaimana hadis berikut:
“Dari Nu’man bin Basyir r.a. berkata: Aku melihat seseorang merapatkan bahunya dengan bahu saudaranya, merapatkan (melekatkan) lututnya dengan lutut saudaranya dan mendekatkan mata kakinya dengan mata kaki saudaranya.” (Hadis Riwayat Bukhari, Kitab Azan, no. 76. Abu Daud, no. 616)
2 – Meratakan/meluruskan telapak kaki dengan talapak kaki saudaranya dan meluruskan telapak kaki ke arah kiblat.
“Dari Anas bin Malik r.a. berkata, “(Pada waktu solat) masing-masing dari kami meratakan bahunya dengan bahu saudaranya dan telapak kakinya dengan telapak kaki saudaranya.” (Hadis Riwayat Bukhari, no. 725)
“Baginda menghadapkan hujung-hujung kedua-dua jari-jemari kaki baginda ke arah Kiblat”. (Hadis Riwayat Bukhari dan Abu Daud) Baginda s.a.w. mengarahkan jari jemari kakinya ke arah kiblat. (Rujuk: Tuntutan Rasulullah Dalam Ibadah, hlm. 19. Ibn Qaiyyim al-Jauziyah – Dinukil dari buku: Solatlah Sebagaimana Rasulullah s.a.w. Solat, Oleh Ustaz Rasul Dahri)

Betul - Kaki diluruskan ke arah hadapan (Kiblat)
Salah - Kaki tidak lurus ke hadapan
3 – Menutup ruang/celahan di antara saf.
Dari Ibnu Umar bahawa Rasulullah s.a.w. bersabda:
“Tegakkanlah saf-saf, sejajarkanlah bahu-bahu kalian, tutupkanlah celah-celah, dan lembutkanlah diri kalian untuk disentuh tangan-tangan saudara kalian. Jangan biarkan celah-celah untuk dimasuki syaitan. Barangsiapa yang menyambung saf, maka Allah menyambungnya dan barangsiapa yang memutuskan saf, maka Allah memutuskannya.” (Hadis Riwayat Abu Daud, no. 666. an-Nasa’i, 2/93. Ahmad, 2/97. Juga dinilai Sahih oleh al-Albani di dalam Sahih Abi Daud, 1/197) Di dalam riwayat lain, Rasulullah s.a.w. bersabda, “Demi jiwaku yang ada di tangan-Nya, aku melihat syaitan masuk di celah-celah saf, sebagaimana masuknya anak kambing.” (Hadis Riwayat Abu Daud, no. 667. Dinilai Sahih oleh al-Albani di dalam Sahih Sunan Abi Daud, 1/198)
4 – Meletakkan posisi badan dalam keadaan yang baik/betul.
Dari an-Nu’man bin Basyir: beliau berkata, “Dahulu Rasullullah meluruskan saf kami sehingga sampai seperti meluruskan anak panah hingga beliau memandang kami telah faham apa yang beliau perintahkan kepada kami (sehingga saf kami telah rapi – pent.), kemudian suatu hari beliau keluar (untuk solat) kemudian beliau berdiri, hingga ketika beliau akan bertakbir, beliau melihat seseorang yang dadanya terkehadapan, maka beliau bersabda:
“Wahai para hamba Allah, hendaklah kalian benar-benar meluruskan saf atau Allah akan memperselisihkan wajah-wajah kalian”. (Diriwayatkan oleh Muslim, no. 436)
Keudukan/susunan Saf Yang Betul Dan Rapi 
Kedukan/Susunan Saf Yang Salah yang mana banyak terjadi di sekeliling kita Masa ini
Larangan Membuat Saf Sendirian
Seorang makmum dilarang membuat saf sendirian, berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Wabishah bin Mi’bad, bahawa Rasulullah s.a.w. melihat seseorang solat di belakang saf sendirian, maka beliau memerintahkan untuk mengulang solatnya. (Hadis Riwayat Ahmad, Abu Daud, at-Tirmidzi. Disahihkan oleh al-Albani di dalam Sahih Sunan Abi Daud, 1/299 dan Irwaa’ul Ghalil, no. 541)
Menurut Sheikh Muhammad bin Soleh al-Utsaimin (rujuk: asy-Syarhul Mumti’, 4/376-385), jika seseorang menjumpai saf yang sudah penuh, sementara ia sendirian dan tidak ada yang ditunggu, maka boleh baginya solat sendiri di belakang saf itu.
Untuk menjaga keutuhan, seseorang dibolehkan untuk maju atau bergerak ke hadapan ketika mana mendapati ada saf di hadapannya yang terputus. Sabda Nabi s.a.w. yang diriwayatkan oleh Abu Juhaifah, beliau bersabda, “Barangsiapa yang memenuhi celah yang ada pada saf maka Allah akan mengampuni dosanya.” (Hadis Riwayat al-Bazzar dengan sanad yang hasan)
Tiada langkah paling baik melebihi yang dilakukan oleh seseorang untuk menutupi celah di dalam saf. Dan semakin banyak teman dan saf dalam solat berjamaah akan semakin afdhal, sebegaimana yang diriwayatkan oleh Ubay bin Ka’ab, Rasulullah s.a.w. bersabda, “Solat seorang bersama seseorang lebih baik daripada solat sendirian, dan solat bersama dua orang lebih baik dari solat bersama seseorang. Dan bila lebih banyak maka yang demikian lebih disukai oleh Allah ‘Azza wa Jalla.” (Muttafaq ‘Alaih)
Terpisahnya Makmum Dengan Imam Kerana Dinding
Diriwayatkan dari Aisyah, dia berkata, “Rasulullah s.a.w. solat pada malam hari di kamarnya. Sementara dinding kamar itu pendek, sehingga orang-orang dapat melihat Nabi s.a.w., maka sejumlah orang berdiri mengikuti solatnya...” (Hadis Riwayat Bukhari, no. 729)
Memasuki Saf Dalam Keadaan Tenang
Dan ketika memasuki saf untuk solat disunnahkan untuk melakukannya dengan tenang iaitu tidak terburu-buru, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abi Bakrah, bahawasanya ia solat dan mendapati Nabi sedang ruku’ lalu dia ikut ruku’ sebelum sampai kepada saf, maka Nabi berkata kepadanya, “Semoga Allah menambahkan kepadamu semangat (kemahuan), tetapi jangan kamu ulangi lagi.” (Hadis Diriwayatkan oleh Bukhari) Dan dalam Riwayat Abu Daud, ada tambahan, “Ia ruku’ sebelum sampai di saf lalu dia berjalan menuju saf.” (Rujuk artikel berkenaan hal ini di pautan berikut: http://fiqh-sunnah.blogspot.com/2008/02/082-persoalan-masbuk-ketika-imam-sedang.html)
Rujukan/Disusun Daripada:
1 – Majalah FATAWA, vol. 3/no.11, November 2007/Dzulqa’dah 1428.
2 – Kertas Kerja: Merapatkan, Meluruskan, & Meratakan Saf Dalam Solat, Oleh Ustaz Rasul bin Dahri.
3 – Solatlah Sebagaimana Rasulullah s.a.w. Solat, Oleh Ustaz Rasul Dahri.
4 - Shahih Fiqih Sunnah, Jilid 2, Oleh Sheikh Abu Malik Kamal as-Sayyid Salim.
5 – Ensiklopedi Shalat Menurut al-Qur’an dan as-Sunnah, Jilid 2, oleh Dr. Sa’id ‘Ali bin Wahf al-Qahthani.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar