Powered By Blogger

Selasa, 16 Oktober 2012

RENUNGAN



BERBAGI KEBAHAGIAAN

 Blue Desert Islamic Wallpaper
Abu Hurairah RA meriwayatkan, Nabi SAW bersabda, “Perbuatan paling baik ialah engkau memasukkan kebahagiaan kepada saudara yang mukmin dan Muslim, atau engkau membayar utangnya, atau memberinya roti.” (Hadis Hasan).

Menurut hadis yang diriwayatkan Ibnu Abu Ad-Dunya dan Imam Ahmad bin Hanbal di atas, setidaknya ada tiga amal saleh yang dikategorikan sebagai amal paling baik menurut Rasulullah SAW.

Pertama, memberikan kebahagiaan kepada saudaranya yang mukmin dan Muslim. Menurut Syekh Al-Ghazali dalam bukunya “Kimiyyah Al-Sa'adah”, kimia kebahagiaan itu adalah mempersepsikan dunia dan akhirat dengan benar untuk menghadap kepada Allah SWT.

Menurutnya, kimia kebahagiaan itu terdiri atas empat elemen, yaitu pengetahuan tentang diri, pengetahuan tentang Allah, pengetahuan tentang dunia, dan pengetahuan tentang akhirat.

Orang yang memiliki ilmu (alim/ulama) bisa menunjukkan bagaimana manusia mampu menemukan kebahagiaan hakikinya, sebagaimana yang disampaikan Syekh Al-Ghazali tersebut. Para dermawan bisa memberikan hartanya untuk memberikan kebahagiaan tersebut kepada saudara-saudaranya yang sangat membutuhkan.

Setiap Ramadhan, Rasulullah bersedekah lebih kencang dibanding bulan lainnya. Para hartawan, semestinya juga demikian. Diminta maupun tidak, harusnya senantiasa mendistribusikan hartanya kepada dhuafa dan orang-orang yang membutuhkan. (QS [2]:177).

Begitu pula bagi para pemimpin. Dengan segala wewenangnya, seharusnya dia mampu memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya. Umar bin Khattab ketika menjadi khalifah selalu melakukan pengecekan langsung di lapangan. Apakah ada warga miskin yang kekurangan sandang pangan. Dan tidak jarang, Umar langsung memberikan solusi sendiri atas problem tersebut.

Umar bin Khattab sering menolong rakyat, mengambilkan air, memikul gandum, ataupun lainnya. Suatu malam, Thalhah melihat Umar masuk ke rumah seorang perempuan. Pada keesokan harinya, Thalhah mendatangi rumah perempuan itu.

Setelah mendapatkan izin untuk masuk, ternyata di dalam rumah itu tinggal seorang perempuan tua yang sudah lemah, buta, dan lumpuh. Thalhah bertanya kepada perempuan tersebut, “Apa yang diperbuat orang laki-laki tadi malam di rumahmu?”

Perempuan itu menjawab, “Orang (Umar—Red) itu sudah sejak lama datang kepadaku dengan membawa sesuatu sehingga bisa membuatku bahagia dan terhindar dari segala gangguan.” (HR Abu Nu'aim, dalam Al-Hilyah).

Amal saleh kedua adalah membayarkan utang saudaranya. Ini merupakan amalan yang sangat luar biasa, karena aghniya' (orang kaya) memiliki kemampuan untuk melepaskan orang lain dari berutang, dari rasa ketakutan, kegelisahan, tertekan, diteror, rasa didominasi, dan rasa direndahkan harga dirinya. Maka, wajar Allah memberikan pahala yang begitu besar kepada para aghniya' ini. (Hadis ke-247 dan 248 dalam Riyadus Shalihin).

Amal saleh ketiga adalah memberikan roti atau makan. (QS [76]: 8-9). Memberikan makan juga harus yang terbaik, yakni sebagaimana yang biasa kita makan. Jangan sampai makanan sisa dan basi justru kita berikan kepada orang lain, padahal kita sendiri enggan untuk memakannya.





MANUSIA YANG TIDAK DISUKAI ALLAH


 Dalam Alquran ditemukan beberapa ayat dengan variasi beragam yang diawali dengan “in nallaha laa yuhibbu” (sesungguhnya Allah tak suka).

Dengan tegas Allah SWT menyatakan ketidaksukaan kepada karakter-karekter negatif dan destruktif. Seperti al-mufsidin (merusak, QS [5]: 64), azh-zhalimin (zalim, [3]: 140), al-musrifin (berlebihan, [6]:141), al-mu’tadin (melampaui batas, [2:190]), al-mustakbirin (menyombongkan diri, [16]:23), kaffarin atsiim (kufur lagi bergelimang dosa, [2]: 276), khawwanin atsima (berkhianat dan berlumur dosa, [4]: 107), khainin (penghianat, [8]: 58), dan mukhtalan fakhura (sombong dan membanggakan diri, [4]: 36, [31]: 18, [57]: 23).

Dalam Tafsir Al-Azhar, Prof Dr Buya Hamka menjelaskan makna kata mukhtalan fakhura. Mukhtal artinya melagak, menyombong, merasa seakan-akan dunia ini dia yang punya. Bumi serasa dilangkahi, langit serasa dipersunting, awak merasa tinggi benar, hina dan mulia tak dikenal, tua dan muda tak disapa. Itulah sombong sikap hidup.

Sementara fakhur adalah cakap yang sombong, perkataan yang selalu meninggi, memandang rendah orang lain, seakan-akan diri tak ada tandingan. Bercakap tinggi, membanggakan diri, menyebut bahwa dia paling pintar atau gagah berani atau si anu pernah dibantunya dan membanggakan keturunan, nenek moyang, kabilah, dan suku.

Dalam Surah An-Nisa’ ayat 36-38 disebutkan empat karakter buruk dari mukhtalan fakhura. Pertama, orang-orang yang kikir dan menyuruh orang berbuat kikir. Bakhil adalah kesombongan, baik kepada Allah SWT yang telah memberi karunia maupun kepada manusia (QS [57]: 24).

Sifat ini adalah kemusyrikan stadium awal karena menyekutukan Allah dengan harta benda. Kebakhilan muncul dalam diri manusia karena terlalu mencintai harta melebihi cintanya kepada Tuhan. (QS [100]: 6-8) dan menumpuk harta (QS [102]: 1). Kedua, menyembunyikan karunia Allah.

Seseorang yang bakhil akan menutupi kenikmatan yang diperolehnya dan tidak ingin diketahui orang lain. Orang-orang yang terserang penyakit berbahaya ini, hidupnya akan menderita hingga akhir hayat. Sebab, setiap karunia yang diterimanya tak pernah disyukuri dan dibagikan untuk orang lain (QS [93]: 11). Orang bakhil itu termasuk kufur nikmat (QS [4]: 37).

Ketiga, orang-orang yang menginfakkan hartanya karena riya kepada orang lain (ingin dilihat dan dipuji). Riya juga merupakan kemusyrikan, yakni menyekutukan Allah dengan manusia. Ia mengeluarkan zakat, infak, sedekah dan wakaf, serta shalat dan puasa karena ingin dipuji dan dikatakan dermawan. (QS [2]: 264).

Keempat, orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Ketiga golongan tersebut di atas, akan tampak dari sikap dan perbuatannya. Meskipun menjalankan syariat Islam, mereka tidak beriman kepada Allah dan hari akhir. Sekiranya beriman kepada Allah dan hari akhir, tentu mereka tidak bakhil atau riya.

Dalam keseharian, mereka yang mengidap keempat penyakit hati ini akan membanggakan diri dan pongah (QS [31]: 18). Hal tersebut disebabkan mereka berteman dengan setan (QS [4]: 38). Manusia tak suka dan Allah pun tak suka. Wallahu a’lam.







BERCANDA ADA BATASNYA

 Allah's Nature Islamic Wallpaper
 Saat itu Perang Tabuk. Kondisi pasukan sudah di medan pertarungan. Tiba-tiba seseorang berujar, “Kita belum pernah melihat orang-orang seperti para ahli baca Alquran ini. Mereka adalah orang yang lebih buncit perutnya, lebih dusta lisannya, dan lebih pengecut dalam peperangan.”

Siapa yang dimaksud? Tak lain adalah Rasulullah SAW beserta para sahabatnya, penggenggam risalah Alquran. Sontak Auf bin Malik RA angkat suara. “Bohong kau. Justru kamu adalah orang munafik. Aku akan memberitahukan ucapanmu ini kepada Rasulullah SAW.”

Tak berselang lama, Auf bin Malik RA pun menemui Rasulullah SAW. Beberapa saat sebelum sampai di hadapan Rasulullah SAW, Allah SWT pun telah menurunkan ayat 65-66 dari Surah At-Taubah [9].

“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), niscaya mereka akan menjawab, ‘Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.’ Katakanlah, ‘Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kalian selalu berolok-olok?’ Tidak perlu kalian meminta maaf karena kalian telah kafir sesudah kalian beriman. Jika Kami memaafkan sebagian daripada kalian (karena telah bertobat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) karena sesungguhnya mereka adalah orangorang yang selalu berbuat dosa’.” (QS At-Taubah [9]: 65-66).

Beberapa saat kemudian, orang yang melontarkan kalimat tak layak itu datang menemui Rasulullah SAW. Namun, Rasul SAW telah beranjak pergi dengan menunggang untanya.

Ibnu Umar menyaksikan bahwa orang itu terus mendekati Rasul SAW. Ia berusaha menggapai sabuk pelana unta Rasul dengan menggunakan kakinya. Akibatnya, ia tak memerhatikan kondisi di depan hingga tersandung batu.

Dalam kondisi begitu, ia mengutarakan pembelaan diri. “Wahai Rasulullah, sebenarnya kami tadi hanya bersenda gurau dan mengobrol, sebagaimana obrolan orang-orang yang berpergian jauh untuk menghilangkan kepenatan dalam perjalanan kami yang sangat jauh dan melelahkan.”

Mendengar itu, Rasulullah hanya menjawab singkat dengan sebuah kalimat tanya. “Apakah terhadap Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Keterangan ini dijelaskan dalam Jami’ul Bayan fi Ta’wil Ayyil Qur’an 14/333-335, Tafsir Ibnu Abi Hatim 6/1829-1830, dan Ad Durrul Mantsur fit Tafsir bil Ma’tsur 4/230-231.

Dari riwayat Ibnu Umar, Muhammad bin Ka’ab, Zaid bin Aslam, dan Qatadah, sebagaimana yang disampaikan Imam Ath-Thabari, Ibnu Hatim, Ibnu Mundzir, dan Jalaluddin As- Suyuthi tersebut, kita dapat mengambil pesan tentang batasan canda dalam hal beragama.

Bahwa beragama ini terkait erat dengan keimanan, dan keimanan bukan hanya keyakinan hati, melainkan merupakan ikrar dengan lisan kita dan bukti dengan amal kita. Di sinilah, kemudian kita perlu berhati-hati dengan canda.

Sebab, canda ada batasannya. Terlebih, bila bersangkutan dengan keimanan, tentang apa yang kita imani, dan tentang apa yang perlu kita tampilkan dari iman itu.






BUAH SILATURAHIM


 Tidak dimungkiri bahwa silaturahim merupakan salah satu perintah Allah SWT yang menjadi pilar bagi terbentuknya masyarakat dan kuat dan sehat.

Silaturahim sendiri mengandung banyak manfaat dan keutamaan, baik bagi penjalin silaturahim, pihak yang disilaturahimi maupun masyarakat luas.

Salah satu buah dari silaturahim adalah terjalinnya persatuan dan kesatuan antar berbagai golongan di masyarakat.

Namun sayang, buah silaturahim yang satu ini terkadang bersifat semu dan tidak nyata dalam kehidupan, karena silaturahim yang dilakukan sebatas pemenuhan kebutuhan bersosialisasi; tidak didasari oleh niat sungguh-sungguh dalam memaknai arti silaturahim; kuatnya ego yang mengganggap diri dan kelompoknya paling benar sedang kelompok lain berada pada pihak yang salah; dan tidak berangkat dari titik yang sama.

Padahal, silaturahim yang membuahkan persatuan dan kesatuan merupakan dambaan setiap orang yang berada di dalam dan di luar area silaturahim, karena baik silaturahim maupun persatuan merupakan salah satu bentuk ketaatan kepada Allah dan manifestasi berpegang teguh terhadap agama Islam.

Mereka yang ingin senantiasa berada dalam ketaatan kepada Allah dan berpegang teguh terhadap agamanya idealnya memanifestasikan beberapa hal berikut ini dalam kehidupannya:

Pertama, bersikap kasih sayang terhadap sesama Muslim, toleran terhadap non-Muslim dan bersikap keras terhadap orang kafir yang memusuhi Islam. Allah SWT berfirman, "Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersamanya bersikap keras terhadap orang-orang kafir dan bersikap kasih sayang terhadap sesama mereka." (QS. Al Fath: 29).

Kedua, mengikuti jalan Islam yang lurus dan menjauh dari jalan bengkok yang menyalahinya. "Dan sungguh, inilah jalan-Ku yang lurus. Maka ikutilah! Jangan kamu ikuti jalan-jalan (yang lain) yang akan mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Demikian Dia memerintahkan kepadamu kamu bertakwa." (QS. Al-An'am: 153).

Ketiga, merasa diawasi Allah dalam setiap perbuatan dan diamnya serta mengikhlaskan segala perbuatan karena-Nya. Ikhlas merupakan syarat utama diterimanya ibadah dan ketaatan. Allah SWT memerintahkan orang-orang yang beriman melakukan perbuatan semata-mata mengharap ridha-Nya dan bekerja keras atas dasar keimanan kepada-Nya, karena dengan dua modal itu perbuatan manusia menjadi sempurna. (QS. Az-Zumar: 2).

Keempat, siap berjihad dengan jalan mengorbankan diri, jiwa dan harta di jalan Allah dan untuk kepentingan agama-Nya. jihad di sini adalah jihad dalam rangka menegakkan agama Allah, membela kebenaran, membela tanah air, membela masyarakat dan membela tempat tinggal kita. (QS. At-Taubah: 41).

Kelima, siap bekerjasama di pelbagai bidang yang melahirkan kemaslahatan individu, kelompok, masyarakat, bangsa maupun dunia demi merealisasikan kemajuan dunia dan akhirat. Allah SWT berfirman, "Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan)  kebajikan dan takwa." (QS. Al-Ma'idah: 2).

Keenam, turut merasakan kesedihan dan kebahagiaan yang dirasakan oleh saudara sesama Muslim baik di dalam maupun di luar negeri. Rasulullah SAW bersabda, "Perumpamaan orang-orang yang beriman di dalam sikap saling mencintai, lemah lembut dan kasih sayangnya bagaikan satu anggota badan, apabila satu dari anggotanya menderita sakit, maka anggota yang lain merasakan (pula) sakit dan demam." (HR. Bukhari-Muslim).

Demikianlah pengingat yang sering terlupa dalam kegiatan silaturahim agar kita senantiasa mewujudkan persatuan dan kesatuan karena di dalamnya terkandung kekuatan, kebahagiaan, kepentingan dan kemuliaan umat Islam. Wallahu a'lam






DIALOG ALLAH DENGAN EMPAT GOLONGAN


 
“Katakanlah kepada hamba-hamba-Ku yang telah beriman: "Hendaklah mereka mendirikan shalat, menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka secara sembunyi ataupun terang-terangan sebelum datang hari (kiamat) yang pada hari itu tidak ada jual beli dan persahabatan.” (QS Ibrahim: 31).

Sejatinya, hidup adalah menanti. Menanti giliran kapan kita kembali kehadirat Illahi Rabbi. Penantian panjang menuju hari akhir memerlukan perbekalan dengan sungguh-sungguh, tidak sekedar main-main.

Sebab, siapa yang menjadikan hidup ini sebagai senda gurau dan permainan, tanpa perbekalan berarti—maka Allah pun akan melupakannya di hari yang sangat berat bagi seluruh makhluk.

“Yaitu orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai main-main dan senda gurau, kehidupan dunia telah menipu mereka. Maka pada hari (kiamat) ini, Kami melupakan mereka sebagaimana mereka melupakan pertemuan mereka dengan hari ini, dan (sebagaimana) mereka selalu mengingkari ayat-ayat Kami.” (QS Al-A’raf: 51).

Di hari kiamat nanti, kita akan bertemu dengan-Nya dalam keadaan yang berbeda-beda, sesuai dengan amal ibadah kita. Ada yang wajahnya putih bersinar, ada pula yang wajahnya hitam legam.

Selain itu, Allah juga akan berhujjah kepada beberapa golongan manusia. Seperti sabda Rasulullah Saw, “Pada hari kiamat nanti, Allah SWT akan berhujjah dengan empat orang terhadap empat golongan manusia yang lain, yaitu: Pertama, Allah berhujjah kepada orang-orang kaya dengan Sulaiman bin Daud. Kedua, Allah berhujjah kepada para hamba sahaya dengan Nabi Yusuf AS. Ketiga, Allah berhujjah kepada orang-orang sakit dengan Nabi Ayyub AS. Keempat, Allah berhujjah kepada orang-orang fakir dengan Nabi Isa AS.”

Maksud hadits di atas, menurut Syekh Nawawi dalam “Nashaih Ibad”, bahwa Allah SWT akan bertanya kepada orang-orang kaya yang terlena dengan kekayaannya dan enggan beribadah, “Mengapa kalian tidak beribadah?”

Kika mereka menjawab, “Karena kami sibuk mengurus harta benda kami,” maka Allah berfirman, “Siapakah yang lebih besar kerajaannya dan siapakah yang lebih banyak kekayaannya daripada Sulaiman AS? Tapi mengapa ia tetap tekun beribadah?”

Kepada para hamba sahaya, Allah akan bertanya, “Mengapa kalian tidak beribadah?” Jika mereka menjawab, “Karena kami sibuk melayani majikan-majikan kami,” maka Allah pun berfirman, “Hambaku, Yusuf , adalah seorang budak di bawah perintah raja Mesir dan istrinya, tapi mengapa ia tetap tekun beribadah?”

Kepada mereka yang diuji dengan sakit, Allah akan bertanya, “Mengapa kalian tidak beribadah?” Jika mereka menjawab, “Karena kami tertimpa sakit,” maka Allah berfirman, “Hambaku, Ayyub, adalah orang yang menderita sakit parah, tapi mengapa ia tetap tekun beribadah?”

Kepada mereka yang diuji dengan kefakiran, Allah akan bertanya, “Mengapa kalian tidak beribadah?” Jika mereka menjawab, “Karena kami sibuk mencari sesuap nasi,” maka Allah berfirman, “Hambaku, Isa, adalah orang yang terfakir di dunia, dia tidak memiliki kekayaan dunia sedikit pun. Dia tidak memiliki rumah, harta, maupun istri. Tapi mengapa ia tetap tekun beribadah?”

Demikianlah, Allah memberikan perumpamaan dari empat golongan manusia di atas, dengan kesalehan para Nabiyullah. Mereka yang tetap konsisten menjaga kualitas ibadah dalam kondisi apa pun, maka baginya kenikmatan yang tiada putusnya.

“Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezeki buah-buahan dalam surga-surga itu, mereka mengatakan, "Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu." Mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di dalamnya ada istri-istri yang suci dan mereka kekal di dalamnya.” (QS Al-Baqarah: 25).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar