Powered By Blogger

Senin, 23 Juli 2012

TAZKIYATUN NAFS

 

Design Terbaru

Posted by thahar on 17th March 2011
0

Time is Precious

Posted by thahar on 14th February 2011
0




 EMPAT AMANAH PEMUDA MUSLIM DALAM MEMIKUL RISALAH ISLAM


ADALAH Imam Syafi’i pernah berkata; “Kalau seandainya Allah Subhanahu Wata’ala tidak menurunkan hujjah kepada makhluk-Nya selain surat ini saja (Surat Al-‘Ashr) sudah cukup bagi mereka. Karena di dalamnya mengandung empat unsur fundamental dalam memikul  amanah risalah Islam, yaitu : al-‘Ilmu (memahami Islam), al-‘Amalu bihi (mengamalkan), ad-Dakwatu ilaihi (mendakwakannya), ash-Shabru ‘alal adza fih (sabar dalam memikul amanah tersebut).
Surat ini sudah memadai bagi seorang hamba dalam memotivasi dirinya untuk berpegang teguh dengan agama Allah Subhanahu Wata’ala, membangun keterikatan dirinya dengan keimanan, amal shalih, dakwah ilallah, dan bersabar, teguh dan tegar dalam menjalankan semua perkara tersebut.  Syeikh Ibnu Baz ketika memberikan syarh surat al-‘Ashr ini mengatakan,  orang-orang yang beriman, beramal shalih, saling berwasiat dengan kebenaran dan saling berwasiat dengan kesabaran, mereka itulah orang-orang yang beruntung sedangkan selain mereka adalah orang-orang yang merugi.
Amanah Pertama  Memahami Islam dengan Benar
Tafaqquh Fiddin

Pemuda Muslim wajib memahami Islam dengan benar. Untuk mengerti agamanya ia harus memahaminya dengan pola pendekatan yang benar. Sebagaimana pemahman yang mengawali perintisan Islam ini, pendahulu kita yang shalih (salafus sholih). Banyak orang yang menzhalimi Islam dengan memasukkan ke dalamnya sesuatu yang bukan termasuk ajaran Islam, dan mengeluarkan darinya apa yang termasuk prinsip ajaran Islam.
Sepanjang zaman ini ada orang-orang yang menyandarkan kepada Islam apa yang sebenarnya bukan berasal dari Islam. Telah banyak perkara aneh dan asing ke dalam Islam, padahal ia bukan dari ajaran Islam. Ajaran-ajaran semacam itu telah merusak keindahan dan kemuliaan Islam dan mengotori kejernihannya. Bid’ah-bid’ah tersebut terdapat di sana-sini dan orang-orangpun menerima saja sebagai bagian dari ajaran Islam sesuatu yang sama sekali tidak ada keterangan dan perkenan, restu dari Allah Subhanahu Wata’ala. Yang mereka namakan dengan terma ‘bid’ah hasanah’ dan dengan semboyan bahwa “menambah kebaikan itu adalah baik”.
Rasulullah Subhanahu Wata’ala telah menekankan kepada umatnya agar tidak memberikan tambahan apa pun dalam agama Islam. Sebab segala sesuatu yang menerima tambahan berarti pula menerima pengurangan (dapat dikurangi), padahal sesuatu yang sempurna itu tidak menerima tambahan dan pengurangan. Sedang Allah SWT telah menyempurnakan agama Islam ini sehingga ia tidak memerlukan tambahan dan pengurangan dari siapa pun.
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِيناً فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِّإِثْمٍ فَإِنَّ اللّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu dan telah KU-sempurnakan nikmat-KU atasmu serta telah KU-ridhai Islam sebagai agama bagimu.” (QS. Al Maidah (5) : 3).
Oleh karena itu Rasulullah SAW menekankan kepada umatnya melalui sabdanya :
“Jauhkanlah dirimu dari perkara-perkara baru yang diada-adakan (dalam agama), karena sesungguhnya semua perkara baru yang diada-adakan (dalam agama) itu adalah bid’ah, dan semua bid’ah itu adalah sesat.” (HR. Ahmad).
“Barangsiapa yang mengada-adakan dalam urusan (agama) kami ni, sesuatu yang tidak termasuk urusan agama, maka hal itu tertolak.” (HR.  Ahmad, Bukhari dan Muslim).
Tafaqquh fiddin (mendalami ajaran agama secara terperinci) di sini merupakan fardhu kifayah. Yakni memurnikan dan memperdalam ajaran Islam lalu diajarkannya kepada orang lain. Sehingga dengan demikian ia menjadi rujukan yang dapat memberikan fatwa, memecahkan persoalan-persoalan hukum (fiqh) dan mengajar. Disamping itu ada ilmu yang wajib dimiliki oleh setiap muslim untuk menjelaskan tujuan kehidupannya dan menerangi jalannya. Inilah yang dinamakan ilmul hal (hubungan manusia dengan Allah SWT). Manusia harus memiliki ikatan tertentu untuk memperdalam agamanya agar bisa meluruskan aqidah, ibadah dan akhlaknya, dan mengatur kehidupannya. Mengetahui batas-batas dan hukum Allah SWT. Yang diperintahkan dan yang dilarang, yang halal dan yang haram.
Maka, ia memiliki pondasi yang kuat untuk memahami Islam dari sumber-sumbernya yang murni. Jauh dari sikap berlebih-lebihan dan kecerobohan. Dengan demikian, tidak ada sesuatu yang dapat menjadikannya tersia-sia seperti sikap melampaui batas (ifroth) dan mengurang-ngurangi (tafrith).
Kita berharap agar pemuda Islam yang berkhidmah untuk kejayaan Islam itu unggul dalam pelajarannya dan menjadi uswatun hasanah (teladan yang baik). Sehingga orang-orang memandang bahwa tugas agama itu tidak mengahambat pelajaran. Orang yang faqih dalam agama islam tidak identik dengan orang yang lemah dalam bidang akademik. Belajar agama, bukan mengurangi etos kerja. Kewajiban-kewajiban itu dilakukan secara berimbang. Yang satu tidak melampaui yang lain.
Belajar itu memang merupakan kewajiban. Semakin banyak bidang kehidupan yang dipelajari, semakin sadar betapa banyak aspek yang belum diketahuinya. Unggul dalam pelajaran merupakan kelaziman bagi para pemikul panji-panji dakwah Islam. Dan kita juga harus mempelajari segala sesuatu yang menjadi kelaziman bagi kita, baik yang berkaitan dengan waktu maupun aspek-aspek kehidupan yang lain.
Misalnya tentang hukum-hukum shalat dan thaharah, maka seorang pemuda harus mempelajarinya agar dapat melakukan shalat  secara sah. Dan bila hendak menunaikan ibadah haji misalnya, maka ia harus membaca atau mempelajari risalah haji supaya mengetahui rukun-rukun dan kewajiban-kewajiban agar hajinya sah. Namun tidaklah dituntut bagi semua orang dan semua muslim untuk mempelajari dan mendalami masalah haji, hanya saja bagi pemuda yang hendak melaksanakan ibadah haji hendaklah ia mempelajari risalah yang membicarakan hukum-hukm haji.
Dan ketika anda akan melaksanakan umroh, maka bacalah risalah yang membicarakan hukum-hukum dan aturan umroh. Katika anda menjadi seorang hartawan, maka pelajarilah dan fahamilah hukum-hukum zakat. Bila anda seorang ekonom atau pedagang, maka pelajarilah hukum-hukum dagang dan segala sesuatu yang berkaitan dengan prinsip-prinsip jual-beli, pembelanjaan uang, saham, riba, dan lain-lainnya yang berhubungan dengan perdagangan. Segala sesuatu yang anda hadapi dalam kehidupan sehari-hari harus anda pelajari dan anda mengerti, seperti apa yang anda makan dan minum (ini menentukan terkabulnya doa), apa yang anda pakai, apa yang anda dengarkan, apa yang anda saksikan.
Pahami dan ketahuilah bahwa semua itu agar anda tidak terperosok ke dalam lembah haram sedang anda tidak mengetahuinya. Atau anda mengingkari orang lain yang melakukan sesuatu yang halal karena anda tidak mengerti, atau menganggap yang makruh itu haram, atau mempersepsikan dosa kecil sebagai dosa besar atau sebaliknya.
Pengetahuan seperti ini harus dimiliki, karena Islam adalah agama yang didasarkan pada ilmu pengetahuan, tidak seperti agama-agama lain yang mengajarkan “Yakinlah dan percayailah sekalipun engkau buta (tidak tahu, tidak mengerti, tidak rasional) ! Atau : Pejamkanlah kedua matamu, kemudian ikutilah aku ! Atau : Kebodohan atau ketakwaan adalah sama saja”.
Tetapi Islam mengatakan :

قُلْ هَـذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَاْ وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللّهِ وَمَا أَنَاْ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Katakanlah: Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata.” (QS. Yusuf (12) : 108).
Jadi, setiap orang yang mengikuti Rasulullah adalah khalifahnya atau penerus perjuangannya yang menyeru manusia kepada agama Allah berdasarkan hujjah yang nyata dan cahaya yang terang benderang.
Kita ingin mengetahui dan memahami Islam berdasarkan dalil dan keterangan yang jelas. Dan diantara hak seorang muslim ialah menanyakan dalil/hujjah/argumentasi bagi segala sesuatu yang meragukannya sehingga hatinya tenang dan batinnya puas. Ya, mengetahui hukum dengan dalilnya, karena ilmu itu adalah mengetahui kebenaran berserta argumentasi yang menguatkannya.
Kulit Islam Telah Di Robek-Robek
Maka, wajib bagi generasi muda Islam untuk memahami Islam, tidak hanya mengerti kulitnya saja. Sementara kulitnya saja sekarang tampak tercabik-cabik. Apalagi dalam beberapa periode yang lalu, kaum muslimin tidak memahami Islam secara mendalam. Sekolah-sekolah  telah mencetak orang-orang yang tidak memahami Islam. Pemuda yang studi ke sebuah lembaga pendidikan hingga tamat, lebih banyak mengetahui sejarah Eropa daripada sejarah Islam. Mereka lebih mengenal Napoleon daripada Rasulullah dan lebih mengerti tentang revolusi Prancis daripada Perang Uhud.
Mereka tidak mengetahui sejarah hidup Rasulullah SAW melainkan hanya sepintas lalu. Mereka tidak mengerti sejarah para sahabat Rasulullah selain fitnah-fitnah dan peperangan yang terjadi di antara mereka. Bahkan mereka tidak mengerti apa itu Risalah Muhammad SAW, mana sisi agung kepribadian beliau, apa yang disumbangkan oleh beliau kepada dunia, apa keunggulan dan karakteristik generasi mereka, dan bagaimana pula perbedaannya dengan generasi-generasi sesudahnya. Mereka juga tidak mengenal kebudayaan dan peradaban Islam yang sempurna yang bersifat Rabbaniyah, insaniyah, akhlaqiyah, ‘lmiyah, ‘alamiyah, yang telah diciptakan oleh Islam ketika orang-orang Barat baru dapat melihat cahaya dari lubang jarum yang sangat kecil.
Kita wajib memahami Islam dengan benar dan menolak syubhat-syubhat (salah paham terhadap kebenaran) atau kesamaran yang dilontarkan orang lain terhadap Islam. Kita pahami Islam dengan baik dimuali dari diri kita sendiri dan keluarga kita sehingga kita dapat berjalan berdasarkan dalil dan hujjah yang nyata.
Kita perlu memiliki pengetahuan yang cukup memadai tentang agama kita. Tuhan kita, Rasul kita, syariat kita, quran kita, sejarah kita, umat kita, dan segala warisan (turats) kita. Sehingga kita dapat menyatakan dan membuktikan bahwa yang benar itu benar dan yang batil itu batil sekalipun orang-orang yang fasik tidak menyukainya.
Kita tidak cukup hanya dengan bertahan semata, tetapi kita harus mengerti tentang kedalaman Islam untuk menghadapi musuh-musuh Islam. Yaitu orang beriman yang mendengki kita, orang kafir yang memenjarakan dan membunuh serta mengusir dari tempat tinggal kita, orang munafik yang merusak shaf kita dari dalam, hawa nafsu yang menggoda kita, syetan yang menjerumuskan kita. Kita harus ofensif (maju ke depan) bukan hanya defensif (bertahan).
Kita sudah sepatutnya berdakwah dan menyeru manusia berdasarkan pemahaman yang baik. Dai memanggil manusia dengan hujjah yang terang. Kita harus rajin membaca karena kita adalah ummat qiraah, sejak ayat Al-Quran turun pertama kali. Dan perintah yang pertama kali yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad SAW adalah kata perintah membaca yang diulang dua kali dalam firman-Nya.
Muslim yang benar, dia akan selalu membaca kitab sucinya bernama al-Quran (bacaan yang sempurna). Tetapi sayang, umat ini sekarang tidak senang membaca. Kaum muslimin dahulu gemar sekali membaca hingga menjelang ajalnya. Mereka berkata “ Kami takut kalau ada hari yang berlalu tanpa kami gunakan untuk membaca”. Bahkan ada salah seorang diantara mereka yang telah lanjut usia tetapi masih saja rajin mencari ilmu, lalu datang seseorang seraya bertanya kepadanya, “Kapankah anda menuntut ilmu ?. Lalu ia menjawab, “Hingga aku meninggalkan dunia ini”. Dan diantara kata-kata mutiara mereka ialah.
“Tuntutlah ilmu sejak dari buaian hingga anda masuk ke liang kubur”
Para ulama salaf pernah mengatakan, “Sesungguhnya ilmu itu tidak akan memberikan apa-apa kepadamu sehingga kamu memberikan semua yan ada pada dirimu kepadanya. Semua tenagamu, semua waktumu, dan segenap dirimu secara hissiyan (lahir) wa ma’nawiyyan (batin).
Tetapi, apakah dengan membaca ini sudah cukup? Cukuplah bagi kita mengerti dan memahami setelah belajar, lantas segala sesuatunya dianggap sudah sempurna dan sudah selesai? Apakah Islam hanya menghendaki kita menjadi orang yang pandai berfilsafat dan berpengetahuan saja? Tidak, tidak cukup hanya itu. Tetapi harus diamalkan. Ilmu yang tidak diamalkan bagaikan pohon yang tidak berbuah




Mengamalkan Islam
APAKAH cukup bagi seorang muslim dalam menyikapi islam dengan hanya sekedar mengetahui, membaca, mengkaji, hingga kepalanya penuh dengan ilmu, kemudian tidak berefek apa-apa sama sekali setelah itu? Tidak, Islam menghendaki pengetahuan dan pemahaman yang menembus ke dalam hati dan menggerakkannya untuk beramal shalih. Ilmu yang tidak membuahkan amal bagaikan pohon yang tidak berbuah. Ilmu yang bermanfaat, adalah ilmu yang membela pemiliknya pada hari kiamat (hujjatun lahu). Sedangkan ilmu yang tidak bermanfaat akan menggugat pemiliknya di Mahkamah Ilahi (hujjatun ‘alaih).
"Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya hanyalah para ulama (orang-orang yang berilmu)." (QS. Fathir (34) : 28).
Jadi, yang dikehendaki oleh Islam adalah ma’rifah (pengetahuan) yang menghasilkan khasyyatullah (takut kepada Allah SWT). Rasulullah SAW pernah memohon perlindungan kepada Allah SWT dari ‘ilmu yang tidak bermanfaat bagi pemiliknya sebagaimana yang beliau ucapkan dalam doa beliau.
"Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-MUdari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak khusyu’ dari amal yang tidak diangkat ke langit (tidak diterima di sisi-MU), dan doa yang tidak dikabulkan." (HR. Muslim).
Umar bin Khathab pernah memohon perlindungan kepada Allah dari orang munafik yang berilmu. Lalu ada orang bertanya kepada beliau, Wahai Amirul Mukminin, apakah mungkin seseorang itu munafik padahal berilmu? Beliau menjawab, Benar yaitu orang ‘alim lisannya tetapi jahil hatinya.
Dalam suatu atsar disebutkan: Ilmu itu ada dua macam, yaitu ilmu yang ada pada lisan, dan ini merupakan hujjah Allah terhadap anak Adam, dan yang kedua adalah ilmu yang ada di dalam hati, dan itulah ilmu yang bermanfaat.
Allah membuat dua macam perumpamaan yang teramat jelek bagi orang yang tidak mengamalkan ilmunya, bagaikan himar (keledai) dan anjing.

مَثَلُ الَّذِينَ حُمِّلُوا التَّوْرَاةَ ثُمَّ لَمْ يَحْمِلُوهَا كَمَثَلِ الْحِمَارِ يَحْمِلُ أَسْفَاراً بِئْسَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِ اللَّهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian mereka tiada memikulnya [tidak mengamalkan dan tidak membenarkan kedatangan Muhammad adalah seperti keledai yang membawa Kitab-Kitab yang tebal. Amatlah buruknya perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang zalim.” (QS. Al Jumuah (62) : 5).

وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ الَّذِيَ آتَيْنَاهُ آيَاتِنَا فَانسَلَخَ مِنْهَا فَأَتْبَعَهُ الشَّيْطَانُ فَكَانَ مِنَ الْغَاوِينَ
وَلَوْ شِئْنَا لَرَفَعْنَاهُ بِهَا وَلَـكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى الأَرْضِ وَاتَّبَعَ هَوَاهُ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ الْكَلْبِ إِن تَحْمِلْ عَلَيْهِ يَلْهَثْ أَوْ تَتْرُكْهُ يَلْهَث ذَّلِكَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُواْ بِآيَاتِنَا فَاقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al Kitab), kemudian Dia melepaskan diri dari pada ayat-ayat itu, lalu Dia diikuti oleh syaitan (sampai Dia tergoda), Maka jadilah Dia Termasuk orang-orang yang sesat.  Dan kalau Kami menghendaki, Sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi Dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, Maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya Dia mengulurkan lidahnya (juga). demikian Itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat kami. Maka Ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir.” (QS. Al Araf (7) : 175-176).
Demikianlah permisalan orang yang tidak memanfaatkan ilmunya dengan sebaik-baiknya. Orang yang mempelajari shalat lantas mengamalkannya secara konsisten, belajar thuma’ninah, khusyu’, mempelajari yang halal dan yang haram, lantas menjauhi yang haram dan memilih yang halal. Mempelajari perintah dan larangan Allah, kemudian berusaha menjalankan perintah dan menjauhi larangan, itulah ilmu yang bermanfaat (ilmun nafi’).
Setelah mempelajari dan memahami agamanya dan menjadi contoh atau menerapkan apa yang telah dipahaminya, lantas orang-orang melihatnya. Mereka berkata, Lihatlah, betapa mulia, indah, luhur dan alangkah bagusnya adab Islam, alangkah mulianya akhlak Islam. Mereka melihat ajaran-ajaran Islam terlukiskan dalam perilaku dan perbuatan. Islam berjalan di rumah, di kelas, di jalan raya, di kerumunan manusia, di gedung-gedung pencakar langit, di perkantoran dll. Dengan cara itulah Islam yang agung ini tersebar ke penjuru dunia, melintasi udara, darat dan laut.
Islam  tidak memiliki missionaris-missionaris yang khusus bekerja untuk menyebarkan agama semata sebagaimana kita lihat pada agama-agama lain. Kebanyakan orang yang menyebarkan Islam adalah manusia-manusia biasa, ada yang tukang kayu, ada pula industriawan, bahkan Islam masuk ke Indonesia melalui pedagang-pedagang dari Hadramaut, demikian pula pada negara-negara lain.
Di Korea Selatan Islam masuk melalui pergaulan dan pengaruh interaksi social. Di sana terdapat tentara-tentara muslim Turki yang bertugas pada masa terjadi Perang Korea.
Pada waktu-waktu tertentu orang-orang Korea melihat tentara-tentara Turki itu pergi bersuci dengan membasuh muka, tangan dan kaki, lalu berbaris dengan rapid an khusyu’, tertib dan teratur, lalu mereka terkesan olehnya seraya bertanya, Siapakah kalian? Mereka menjawab, Kami adalah orang-orang Islam. Mereka bertanya lagi, Apakah Islam itu? Lalu diperkenalkan Islam kepada mereka sesuai dengan pengetahuan yang dimiliki oleh pasukan Turki itu. Maka masuklah ke dalam pelukan Islam beribu-ribu orang Korea karena adanya keteladann yang bagus itu.
Islam memperoleh kemenangan dan tersebar dengan baik berkat adanya keteladanan yang baik (uswah hasanah). Orang-orang melihat gambaran atau potret islam telah menyatu dengan pemeluknya, terlukis dalam kecerdasan pikiran, kejernihan hati, jasad dan perilaku pemeluknya. Demikianlah Islam tersebar lewat tangan dingin as sabiqunal awwalun (awal-awal umat Islam).
Adapun pada hari ini, dinding yang paling tebal yang membatasi dunia dari Islam adalah kaum muslimin sendiri. Keindahan dan kemuliaan Islam hanya tertulis dalam kitab-kitab, tetapi ketika orang melihat Islam ini pada diri pemeluknya, mereka akan bertanya, Mengapa para pemeluknya tidak menggunakannya? Mengapa kita tidak merasakan bekas-bekas ajaran Islam dalam kehidupan kongkrit pemeluknya?
Islam menyerukan tolong-menolong, tetapi mengapa banyak orang-orang Islam yang hidup terhina di negara-negara Islam? Islam menyerukan kekuatan, tetapi mengapa kondisi kaum Muslimin begitu lemah? Islam menyerukan untuk menuntut ilmu dan kemajuan, tetapi kita temukan negara-negara Islam merupakan potret kebodohan dan keterbelakangan.
Suatu kali ada salah seorang Barat yang memeluk Islam setelah membaca buku-buku, literature tentang Islam, di negara-negara Islam, maka bertekadlah ia melaksanakan ibadah haji ke Baitullah pada musim haji. Tetapi disana ia melihat orang-orang Islam yang berakhlak buruk dan tata pergaulannya kasar serta hal-hal aneh padahal Allah telah berfirman tentang haji.

“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi[Syawal, zulkaidah dan Zulhijjah)], Barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, Maka tidak boleh rafats[berbicara yang menimbulkan nafsu birahi], berbuat Fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan Sesungguhnya Sebaik-baik bekal adalah takwa[memelihara diri dari perbuatan hina atau minta-minta selama haji] dan bertakwalah kepada-Ku Hai orang-orang yang berakal.” (QS. Al Baqarah (2) : 179).

Jadi, apa yang dilihatnya berbeda secara kontradiktif dengan apa yang dipelajarinya, lalu ia mengucapkan statemennya yang cukup terkenal: Segala puji kepunyaan Allah yang telah memperkenalkan Islam kepadaku sebelum aku mengenal orang Islam.

Oleh karena itu, kita wajib menjadi contoh praktis bagi Islam. Menjadi organ kehidupan dalam tubuh umat Islam. Menjadi mushaf yang berjalan dengan kaki. Mushaf yang telah ditafsirkan dengan perbuatan, akhlak sehari-hari. Kita harus memfokuskan diri pada amal dan perilaku, yaitu amal shalih yang lurus.
Islam menghendaki agar anda menunaikan segala sesuatu yang diwajibkan Allah dan menjauhi segala larangan-Nya, memelihara hak-hak hamba dan Allah dan hak-hak diri Anda sendiri. Karena, sesungguhnya tubuh anda memiliki hak atas diri anda, istri dan keluarga anda mempunyai hak atas diri anda. Orang-orang yang mengunjungi anda mempunyai hak terhadap anda, masyarakat anda mempunyai hak terhadap anda, dan Rabb anda juga mempunyai hak atas diri anda. Maka berikanlah hak-hak itu kepada tiap-tiap pemiliknya, dan dengan demikian akan terciptalah keseimbangan dalam kehidupan.
Perilaku yang lurus merupakan gambaran dari pemahaman yang benar. Sebaliknya perilaku yang bengkok merupakan cerminan dari pemahaman yang bengkok pula




Ketiga  menda'wahkan islam

KEWAJIBAN ketiga adalah ad-dakwatu ilallah (mengajak orang lain kepada agama Allah SWT). Tidaklah cukup bila diri seorang muslim itu shalih. Islam menghendaki bahwa seorang itu tidak cukup hanya sholih linafsihi (sholih untuk dirinya) saja, melainkan juga menjadikan orang lain shalih seperti dirinya (sholih lighoirihi). Manusia paling baik adalah yang paling banyak manfaatnya untuk orang lain (al-Hadits). Oleh karena itu ia memikul tugas dakwah untuk memperbaiki orang lain. Baik secara fardiyah maupun jamaah.
Umar bin Khathab pernah berdoa : Aku berlindung kepada Allah SWT dari kuatnya orang jahat yang berkuasa dan lemahnya orang shalih (al-Hadts).
Kondisi tersebut terjadi ketika seorang muslim melalaikan tanggungjawab social. Yaitu, amar bil makruf dan nahi ‘anil mungkar. Jika keadaan ini terus dibiarkan, masyarakat akan terjangkiti penyakit ruhani. Perbuatan yang dikenali hati (makruf), kejujuran, kelembutan dll akan menjadi diingkari, dan menjadi asing. Dan kemungkaran (perbuatan yang diingkari hati), misalnya kebohongan dll menjadi dikenal.
Bumi ini akan dihuni oleh manusia yang kotor hati nuraninya. Kepercayaan kepada Allah SWT dicemari dengan pemujaan kepada berhala dan benda-benda alam. Ekonomi masyarakatnya telah dikotori dengan penindasan yang kuat (the have) terhadap yang lemah (grass root), kesewenang-wenangan yang kaya dan berada terhadap yang tidak beruntung, dan keserakahan yang berharta kepada yang melarat. Kebudayaan mereka dinistai dengan kerendahan akhlak penghinaan wanita, perbudakan sesama manusia dan pemujaan hawa nafsu. Peradilan mereka adalah peradilan rimba – yang kuat selalu benar, yang lemah selalu salah -. Hukum mereka bagaikan gegraji. Tumpul untuk kalangan elitis (qiyadah) dan tajam untuk kaum dhu’afa (junud). Agama mereka adalah agama yang kaya dengan upacara, serimonial, tetapi miskin aplikasi.
Maka dalam surat Al-‘Ashr mensyaratkan keselamatan seseorang dari kerugian itu ialah dengan berpesan kepada orang lain untuk menetapi kebenaran dan kesabaran.

“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (QS. Al ‘Ashr (103) : 1-3).
Karena itu kita wajib mempekerjakan diri kita untuk kebenaran dan setelah itu kita teguhkan untuk selalu bersabar. Karena itulah antara saling berpesan untuk menetapi kebenaran dan berpesan untuk kesabaran dirangkaiakan. Sebagaimana yang dipesankan oleh Luqman al-Hakim kepada anaknya (agar melaksanakan amr bil makruf dan nahi ‘anil mungkar), katanya :

يَا بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلَاةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ

“Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).” (QS. Luqman (31) : 17).

Jadi, berdakwah itu memerlukan kesabaran. Karena perjalanan dakwah itu curam, licin dan mendaki. Bagaikan memanjat pohon pinang yang berminyak. Mendidik manusia di waktu kecil bagaikan mengukir di atas air. Mendidik manusia ketika dewasa laksana mengukir diatas batu. Perhatikan karakter sosok pengukir. Ia tekun, teliti, tidak tergesa-gesa, berorientasi pada kualitas dan bukan kuantitas, mengedepankan proses, bukan hasil. Dan yang paling menonjol pada diri pengukir adalah sifat sabar.

Berdakwah merupakan amanah yang berat dan melarat, mewarisi pekerjaan para nabi dan rasul, khususnya pada zaman kita ini. Karena demikian banyak manusia yang berpaling, materialistis dan hedonis dan menjauh dari agama.

“Sesungguhnya Kami akan menurunkan kapadamu perkataan yang berat.” (QS. Al-Muzzammil (73) : 5).

Maka, dakwah merupakan perkataan yang berat dan tugas yang tidak sederhan dan tidak mudah. Kitalah yang mewarisi perkataan yang berbobot itu. Kalau keadaan zaman kita seperti ini, maka tugas dan beban kita semakin berat, karena berpalingnya manusia dari agama, tipisnya keyakinan mereka, tercurahkannya perhatian (pikiran dan hati) mereka terhadap kehidupan dunia, menjauhi dan membelakangi akhirat, banyaknya penghambat kebaikan, dan banyaknya bujukan dan rayuan kepada kejelekan.

Jadi, para penyeru di jalan Allah SWT harus mempersiapakn mental untuk menghadapi kondisi yang paling buruk. Akan dijumpai hambatan dan rintangan yang menghadang di hadapan kita, hingga masuk ke rumah. Boleh jadi bapak kita, sudara-saudara kita, teman-teman kita, orang-orang terdekat kita, akan menghalangi kita seraya berkata, Apakah engkau ingin ditangkap? Apakah engkau ingin tinggal di hotel prodeo seperti Nabi Yusuf? Apakah engkau mencari mati? Apakah engkau akan dibegitukan dan dibeginikan? Apakah engkau akan dicap (diberi stigma negatif), teroris, radikal dan Islam garis keras serta fundamental.

Kalau juru dakwah itu seorang perempuan, maka dia akan ditertawakan dan direndahkan karena dia mengenakan pakaian sesuai dengan tuntunan syariat. Pada tahun-tahun terdahulu kita melihat para pemudi memakai jilbab di kepalanya, menutup leher dan dadanya, dan mengenakan pakaian yang panjang. Tetapi sekarang kita lihat mereka melepaskan semua atribut keislaman itu dan mereka mengenakan pakaian yang minim ala turis domestik, buka-bukaan. Memakai pakaian tembus pandang. Juru dakwah wanita menderita tekanan yang berat dari keluarganya, kerabatnya, ibunya, bibinya, anak-anak perempuan bibi dari pihak ayah maupun dari jurusan ibu. Mereka mentertawakan dan melecehkan pakaian syar’i yang menutup aurat untuk memelihara kehormatan dirinya itu.
Tentu, wanita yang beriman dengan keyakinan yang kuat tidak akan menghiraukan semua itu, bahkan ia akan terus menunaikan hak-hak Allah dan berjalan pada batas-batas-Nya. Tetapi, apabila imannya lemah, maka ia akan mengikuti seruan-seruan yang merusak itu. Pada zaman kita ini banyak sekali tipu daya dan unsure-unsur yang dapat memalingkan manusia dari menjalankan syariat Allah SWT. Karena itu dalam salah satu haditsnya Rasulullah SAW bersabda :
يَأْتي على الناس زَمَانٌ الصَابرُ عَلَى ديْنه كاَ لْقاَبض عَلىَ الْجَمَر
“Akan datang pada manusia suatu zaman yang pada hari itu orang yang berpegang pada agamanya bagaikan memegang bara api.” (HR. Tirmidzi).

Melakukan amal shalih pada hari-hari yang penuh fitnah tersebut akan memperoleh pahala seperti lima puluh orang sahabat Nabi. Ketika ada sahabat yang bertanya kepada Rasulullah SAW, “Seperti lima puluh orang dari kami atau mereka” ?. Beliau menjawab : Dari kamu, karena kamu dalam melakukan kebaikan masih mendapatkan banyak pendukung dan pembantu…….”
Karena itu sudah lazim kita membulatkan tekad untuk berpegang teguh, komitmen (iltizam) terhadap nilai-nilai Islam dan menyeru orang lain kepadanya sekalipun ada tantangan dan tekanan keluarga, masyarakat, tekanan politik yang datang dari segala penjuru.
Kita wajib menghadapi semua itu dengan penuh ketabahan dan keteguhan serta kekuatan, karena tidak ada dakwah yang tidak menghadapi tantangan. Setiap dakwah ada yang memusuhi dan menentangnya.
“Dan Demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap Nabi itu musuh, Yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia) [agar mendustakan Nabi]. Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, Maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.” (QS. Al Anam (6) : 112)
“Dan seperti itulah, telah Kami adakan bagi tiap-tiap Nabi, musuh dari orang-orang yang berdosa. dan cukuplah Tuhanmu menjadi pemberi petunjuk dan penolong.” (QS. Al Furqan (31).
Zaman sekarang ini seperti kata orang adalah zaman ideologi baru. Apabila Komunisme mempunyai pendukung setia dan pembela, Yahudi memiliki pendukung dan pembela. Freemasonry memiliki pendukung dan pembela,  Bahaiyah dan Qadaniyah juga memiliki pembela dan pendukung, maka apakah tidak ada yang menjadi pembela dan pendukung Islam seperti zaman generasi awal?

Menurut tabiatnya, Islam adalah “din intisyar” (agama yang memiliki karakter untuk berkembang, menyebar), dan “din dakwah” (agama dakwah).

“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang shaleh, dan berkata: "Sesungguhnya aku Termasuk orang-orang yang menyerah diri?." (QS. Fushshilat (41) : 33).
Karena itulah kewajiban pemuda Islam pada masa sekarang ini ialah memantapkan dirinya untuk berdakwah ke jalan Allah Subhanahu Wata’ala. Sungguh tidak ada tugas yang lebih agung dan lebih mulia daripada tugas dakwah Islam, karena dakwah ini merupakan tugas dakwah para Nabi. Dan dengan melakukan dakwah ini akan menjadikannya berpegang teguh pada tali kebenaran, tali yang kokoh dan kuat.



Ke empat Tolong menolong dan saling keterikatan


BAGI para pemuda yang telah bertekad mempelajari dan memahami Islam dengan benar, mengimaninya dengan mendalam, membenarkannya tanpa dicampuri sedikitpun keraguan, kemudian saling nasihat-menasihati dengannya, dan menyeru orang lain kepadanya, maka hendaklah mereka melengkapinya dengan sikap tolong menolong diantara sesamanya dan memiliki rasa saling keterkaitan.

Setiap Al-Quran menyebut orang beriman selalu menggunakan redaksi jama’ (plural). Jadi beriman identik dengan kesiapannya mewujudkan dan membangun ummah (komunitas). Diantara arti “ummah” adalah mereka berkumpul karena ikatan yang prinsip, bukan sekedar bergerombol. Kualitas keimanan seseorang diukur dari ketrampilannya dalam menjalin interaksi dengan orang lain. Sesungguhnya intisari beragama adalah pandai bergaul (ad-Dinu huwal mu’amalah), meminjam sosiolog muslim, Ibnu Khaldun.

يُبَشِّرُهُمْ رَبُّهُم بِرَحْمَةٍ مِّنْهُ وَرِضْوَانٍ وَجَنَّاتٍ لَّهُمْ فِيهَا نَعِيمٌ مُّقِيمٌ

“Dan orang-orang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah. Sungguh, Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana
.” (QS. At Taubah (9) : 21).

Karena tugas-tugas Islam tidak bisa dilakukan hanya secara individu, melainkan harus dilaksanakan dengan beramal jama’i. Dan yang dimaksud berjamaah adalah ditandai dengan adanya ikatan persaudaraan antara sebagian dengan sebagian yang lain, yang saling mencintai karena Allah SWT, bersama-sama mengadakan majelis karena Allah SWT, saling berkorban karena Allah SWT.

Tanpa ini semua mustahil dilakukan dengan kekuatan, kemampuan dan kecerdasan individual, tetapi dengan bergandengan tangan. Sebab, tangan itu kalau hanya sebelah tidaklah mungkin bertepuk tangan.

وَالَّذينَ كَفَرُواْ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاء بَعْضٍ إِلاَّ تَفْعَلُوهُ تَكُن فِتْنَةٌ فِي الأَرْضِ وَفَسَادٌ كَبِيرٌ

“Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. jika kamu (hai Para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu [keharusan bersaudara yang kokoh antara kaum muslimin], niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.” (QS. Al Anfal (8) : 73).

الْمُنَافِقُونَ وَالْمُنَافِقَاتُ بَعْضُهُم مِّن بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمُنكَرِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمَعْرُوفِ وَيَقْبِضُونَ أَيْدِيَهُمْ نَسُواْ اللّهَ فَنَسِيَهُمْ إِنَّ الْمُنَافِقِينَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

“Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan, satu dengan yang lain adalah (sama), mereka menyuruh berbuat yang mungkar dan mencegah (perbuatan) yang makruf dan mereka menggenggamkan tangannya  (kikir). Mereka telah melupakan kepada Allah SWT, maka Allah melupakan mereka (pula), sesungguhnya orang-orang munafik itulah orang-orang yang fasik.” (QS. At Taubah (9) : 67).

Orang-orang kafir bekerja sama, saling melindungi dan saling menolong antara sebagian terhadap sebagian yang lain. Oleh karena itu, kita – kaum muslimin – harus saling mengayomi, melindungi, bekerja sama, bersinergi, memadukan berbagai potensi dan kekuatan serta keunggulan masing-masing, tolong menolong, dan bahu membahu, bantu membantu.

Sehingga, tidak ada lagi kenyataan himpunan kekuatan di pihak kebatilan, sedang orang-orang yang berada di pihak kebenaran bekerja dan berbuat sendiri-sendiri. Sebab, keadaan demikian sudah tentu akan mengundang fitnah, kekacauan dan kerusakan yang besar di muka bumi ini.

Akhirul Kalam 

Kita akan menghadapi dengan pandangan yang bersih pada cermin yang jernih pula. Atau kita duduk dengan penuh keberanian, siap siaga (i’dad). Kita sengaja melakukan pembedahan terhadap diri sendiri sebelum dibedah oleh orang lain dengan pisau operasi bedah mereka. Jangan sampai terjadi, orang lain lebih dahulu mengetahui kelemahan, kekurangan, sisi gelap struktur kepribadian kita, daripada kita sendiri.
Beruntunglah bagi orang yang sibuk meneliti cacatnya sendiri sebelum mengoreksi aib orang lain (al-Hadits). Evaluasi diri (at-Taqwim wal mutaba’ah) adalah indicator terpenting kualitas ketakwaan seseorang.

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Hasyr (59) : 18).
Nah, demikianlah empat amanah dan kewajiban yang mendesak untuk ditunaikan dengan sebaik-baiknya dan dengan sepenuh kemampuan dan kekuatan yang dimiliki oleh pemuda Islam hari ini. Kita harus pandai mengambil pelajaran dari sejarah baik yang baru terjadi pada masa-masa dekat maupun pada masa-masa yang telah jauh berlalu. Ia juga harus mengetahui bagaimana ia berjalan dengan jalan Islam dan harakah Islam sehingga islam memiliki kekuatan dan daulah (pusat penerapan nilai-nilai keislaman).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar