Powered By Blogger

Sabtu, 14 April 2012

GAYA HIDUP MUSLIM

Mendengar Pangkal Selamat, Abai Pangkal Celaka


“DEMI Allah andaikan dia berdiri sampai malam, maka aku tidak akan meninggalkannya kecuali untuk shalat.” Begitulah komitmen Umar Radhiyallahu ‘anhu untuk setia mendengarkan taushiah (nasehat) wanita renta di pinggir jalan. Padahal ketika itu Umar adalah seorang khalifah.

Kisah itu berawal ketika Umar keluar masjid bersama al-Jarud al-‘Abdi dan yang lain. Tiba-tiba ada wanita tua di jalan. Umar kemudian mengucapkan salam kepadanya. Wanita itu pun menjawab salamnya.

Dalam riwayat al-Darimi diterangkan bahwa wanita itu kemudian meminta Umar untuk berhenti. Umar pun mendekat dan menundukkan kepalanya demi mendengarkan wanita tersebut berbicara.

Selanjutnya wanita itu memberi wejangan, ”Bertakwalah engkau kepada Allah dalam mengurus rakyat. Ketahuilah, barangsiapa yang takut akan ancaman Allah maka yang jauh (hari akhirat) akan terasa dekat. Barang siapa yang takut akan kematian, maka ia akan khawatir kehilangan kesempatan.”

Para sahabat yang berdiri bersama Umar kemudian bertanya, “Wahai Amirul Mukminin, engkau telah menghentikan sekian banyak orang (ikut berhenti karena tidak mau mendahului umara) demi wanita renta ini?”

Umar menjawab, ”Tahukah kalian siapa dia? Dia ini adalah wanita yang didengarkan aduannya oleh Allah Ta’ala di atas tujuh lapis langit. Dia adalah Khaulah binti Tsa’labah…,” hingga Umar mengucapkan kalimat pertama tadi. (Ibn ‘Abd al-Bar, al-Isti’ab fi Ma’rifat al-Ashab,II/ 91)

Siapa pun yang mengetahui kisah ini akan semakin kagum kepada Umar. Ia rela menghentikan langkahnya, lalu mendengar dengan seksama petuah wanita itu meski dalam waktu lama. Ini adalah teladan luar biasa yang tidak banyak dilakukan manusia, apalagi orang yang merasa telah menempati posisi terhormat di masyarakat.

Anggapan umum menyatakan bahwa berbicara adalah kehormatan dan mendengar adalah kehinaan, setidaknya di hadapan pembicara tadi. Padahal yang benar bukanlah demikian.

Sikap sabar dalam mendengar seperti itu semestinya menjadi akhlak setiap pribadi yang mengaku umat Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Pribadi yang mengidam-idamkan ukhuwah dalam iman, kesatuan, kekuatan, kedamaian, hilangnya permusuhan, dan tegaknya peradaban Islam yang agung, otomatis akan mencontoh sikap mulia tersebut.

Mengapa penting sekali membangun sikap tersebut dalam diri kita? Berikut ini alasan mendasarnya.

1. Manusia sejati harus mau mendengar dengan seksama

Rumus ini bukanlah kesimpulan manusia, tetapi kesimpulan Sang Pencipta manusia. Jika demikian, rumusan ini pasti benar, tanpa boleh diragukan.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيراً مِّنَ الْجِنِّ وَالإِنسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لاَّ يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لاَّ يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لاَّ يَسْمَعُونَ بِهَا أُوْلَـئِكَ كَالأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُوْلَـئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ

“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia. Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu bagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (Al-A’raf [7]: 179)

Pada ayat ini dengan jelas Allah Ta’ala memberikan syarat untuk menjadi manusia yang sesungguhnya, yakni mutlak harus menjalankan tiga fungsi tersebut yang salah satunya adalah pendengaran.

2. Manusia yang baik diukur dari kemauannya mendengar

Satu-satunya rumus untuk menjadi manusia yang baik adalah menaati petunjuk Sang Pencipta yang terangkum dalam wahyu-Nya. Dalam rangka itu mesti ada proses penerimaan informasi mengenai tuntunan tersebut. Tersumbatnya informasi berakibat fatal. Manusia bisa gagal menjadi baik.

Jadi, Allah Yang Maha Bijaksana tidak mungkin menutup pintu informasi tersebut bagi hamba-Nya. Inilah yang diterangkan Allah Ta’ala dalam al-Qur`an:

إِنَّ شَرَّ الدَّوَابِّ عِندَ اللّهِ الصُّمُّ الْبُكْمُ الَّذِينَ لاَ يَعْقِلُونَ
وَلَوْ عَلِمَ اللّهُ فِيهِمْ خَيْراً لَّأسْمَعَهُمْ وَلَوْ أَسْمَعَهُمْ لَتَوَلَّواْ وَّهُم مُّعْرِضُونَ

“Sesungguhnya mahluk bergerak yang bernyawa yang seburuk-buruknya pada sisi Allah ialah; orang-orang yang tuli dan bisu yang tidak mengerti apa-apapun. Kalau sekiranya Allah mengetahui kebaikan ada pada mereka, tentulah Allah menjadikan mereka dapat mendengar.” (Al-Anfal [8]: 22-23)

3. Hamba Allah pasti mau mendengar setiap ucapan baik.

Yang paling tahu tentang ciri hamba Allah Ta’ala tidak lain adalah Allah Ta’ala sendiri. Setiap pribadi yang menginginkan diri menjadi hamba Zat Yang Maha Baik, ambisi utamanya adalah mengoleksi seluruh kebaikan tanpa mau melewatkannya.

Setiap informasi mengenai peluang kebaikan, baginya adalah temuan paling berharga. Tidak mengherankan bila Allah Ta’ala menyebutkan bahwa sikap ambisius untuk berburu kebaikan dengan menyeleksi secara seksama setiap ucapan adalah ciri pertama kepribadian para hamba-Nya.

4. Manusia berakal pasti lebih banyak mendengar dari pada bicara.

Satu ciri khas orang yang berakal dinyatakan dengan jelas pada akhir ayat 18 surat Al-Zumar [39], yaitu lebih banyak mendengar. Tidak ada satu ayat atau Hadis pun yang menerangkan bahwa ciri manusia berakal adalah banyak bicara.

Orang yang berakal lebih banyak diam, merenung, dan berkonsentrasi mengerahkan kekuatan berpikirnya untuk menggali berbagai mutiara hikmah.

Teladan terbaik dalam hal ini tidak lain adalah Rasulullah sendiri. Jabir bin Samurah mensifati Nabi dengan mengatakan, ”Nabi lebih banyak diam dan sedikit tertawa,” (Riwayat Ahmad). Maka pantaslah bila Allah Ta’ala memberinya keistimewaan berupa jawami’ al-kalim (kata-kata singkat tapi padat makna).

5. Mendengar adalah penghormatan besar kepada pembicara

Inilah akhlak agung yang berujung kepada tumbuhnya rasa persaudaraan, kasih sayang, dan saling menghormati. Bahkan mampu meringankan beban psikologis orang-orang yang terserang depresi, dan terkadang menghilangkannya sama sekali.

Begitu banyak alasan mengapa seorang mukmin harus aktif dan seksama mendengar. Sebaliknya, tak kurang cela bila manusia mengabaikan sikap mulia tersebut.

Kisah karamnya kapal pesiar mewah Titanic pada 14 April 1912 tidak lain bermula dari pengabaian sang kapten, Edward J. Smith untuk mendengar peringatan Frederick Fleet, petugas menara pengintai saat melihat gunung es.

6. Ciri utama orang tercela adalah tuli alias tidak mau mendengar.

Allah Ta’ala, dalam al-Qur`an surat Al-Baqarah [2] ayat 171, mengumpamakan orang-orang yang menyeru kepada orang-orang kafir seperti penggembala yang memanggil binatang ternak. Binatang-binatang itu tak akan mendengar selain seruan saja. Mereka tuli, bisu dan buta. Mereka sama sekali tidak mengerti.

Allah Ta’ala juga memberi sifat kepada orang-orang yang mendustakan ayat-ayat-Nya, sebagaimana disebutkan dalam al-Qur`an surat al-An’am [6] ayat 39, laksana orang yang pekak, bisu, dan berada dalam gelap gulita.

Adapun orang-orang munafik, kata Allah Ta’ala dalam Surat al-Baqarah [2] ayat 17-18, seperti orang-orang yang tuli, bisu dan buta. Mereka tidak akan kembali ke jalan yang benar.Wallahu a’lam bish-shawab.






Waspadai “Jebakan” Waktu Luang!

“SANTAI dulu ah, “ begitu biasanya orang jika ingin rehat sejenak dari aktivitasnya. Sebagaimana dimaklumi bersama, bersantai-santai menjadi kesenangan manusia. Orang senang menggunakan waktu luang-nya untuk rileks, ngobrol, bercanda, gurau, dan berkongkow-kongkow. Sebatas kewajaran untuk menghilangan rasa lelah tentu masih bisa dimaklumi. Tapi bila sudah menjadi adat kebiasaan, ini yang dilarang.

Kadang tanpa terasa, waktu seharian dihabiskan untuk berbicara ngalor-ngidul yang tidak jelas arah tujuannya. Terkadang bersenda-gurau, bermain-main sambil nongkrong di pinggir-pinggir jalan, di teras rumah, di kedai-kedai atau sekadar berputar-putar kota dan keluar masuk pertokoan, mall dan supermarket-supermarket, dan sebagainya. Tidak sedikit yang tidak mengerti mengapa kakinya melangkah, untuk apa dan mau ke mana, yang penting ke luar dan jalan, itu saja.

Kelalaian terhadap eksistensi hiduplah yang sering membuat manusia melakukan tindakan tanpa didasari tujuan yang jelas. Semuanya berjalan alamiah, asal gerak, asal jalan dan yang penting memperoleh kesenangan. Kesenangan yang bagaimana? Kesenangan yang tidak jelas dan cenderung fatamorgana.

Padahal waktu adalah persoalan yang sangat essensial. Dalam kehidupan kita, ia memegang peranan yang sangat penting. Kita tidak boleh bermain-main dengan waktu. Orang bijak berkata, “Waktu bagai pedang yang tidak boleh sembarang dipermainkan.” Itu sama sekali bukan berarti setiap hari kita harus tegang dan pasang urat kencang selalu. Hanya kita disuruh ekstra waspada dan berhati-hati di dalam memanfaatkannya.

Betapa banyak tindak kejahatan yang terjadi justru karena kesalahan manusia memanfaatkan waktu luang. Mereka menjadi tergelincir ke lembah kejahatan, karena hilangnya kendali diri akibat salah pakai tehadap waktu luang tersebut.

Mula-mula sekadar keliling-keliling, tanpa terasa digiring oleh syetan ke tempat maksiat. Awalnya sekadar ngobrol yang tidak jelas ujung pangkalnya, lama-lama muncul niat untuk melakukan kejahatan, atau paling tidak, bergunjing dan membicarakan kejelekan orang lain, hingga memfitnah.

Pada mulanya coba-coba daripada nganggur, mengisi waktu luang menggoda orang lewat, selanjutnya justru menjadi ketagihan. Ada rasa sepi bila laku maksiat itu tidak dilaksanakan. Lebih parah lagi kalau malah merintis jalan menjadi agen maksiat. Na’udzubillahi min dzaalik.

Itu semua terjadi karena adanya waktu luang yang tidak disiasati dengan baik, hingga mengundang malapetaka. Salah mempergunakan waktu luang, dapat menyeret manusia ke dalam perbuatan-perbuatan jahat seperti itu.

Terpedaya Nikmat

Rasulullah adalah tauladan bagi umat Islam sedunia. Beliau memberi contoh kepada umatnya dalam memanfaatkan waktu hidupanya. Nabi tidak terlalu banyak tidur, karena di malam hari selalu bangun qiyamul lail hingga kakinya bengkak. Siang hari beliau menjadi pedagang, pendakwah dan kepala pemerintahan yang sangat handal. Dalam waktu 23 tahun, beliau mampu membangun peradaban Islam. Beliau mengikuti 80 peperangan bersama para sahabatnya dalam waktu kurang dari 10 tahun.

Rasulullah pernah bersabda agar kita berhati-hati menghadapi kenikmatan. "Ada dua kenikmatan yang membuat banyak orang teperdaya yakni nikmat sehat dan waktu senggang (artinya, saat-saat sehat dan waktu senggang orang sering mempergunakannya untuk melakukan perbuatan yang terlarang)." (HR al-Bukhari)

Dalam al-Quran yang paling dihapal anak-anak kita, dijelaskan mendalam makna memanfaatkan waktu.

وَالْعَصْرِ

إِنَّ الْإِنسَانَ لَفِي خُسْر

إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْ


"Demi waktu. Sesungguhnya manusia itu berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shalih dan orang-orang yang senantiasa ingat-mengingatkan dalam kebenaran dan kesabaran." (QS al-'Ashr: 1-3)

Melihat ayat tersebut, sungguh semua manusia itu berada dalam kerugian. Tidak ada seorangpun yang terbebas dari perkara rugi ini. Termasuk yang bila ditinjau dari segi fisik- ekonomi maju, karier berada pada posisi puncak, nama juga disebut-orang di mana-mana (melambung-lambung), kesenangan dan kebahagiaan juga telah terpenuhi. Mengapa mereka dikatagorikan sebagai orang rugi, padahal tidak miskin tidak papa?

Ada perangkat lain yang menjadi penilaian Allah. Berimankah dia? Setelah beriman adakah ia menindaklanjutinya dengan amal shalih?

Jadi kunci utamanya itu terletak pada iman dan amal shalih. Inilah yang menjadi perkecualian di antara semua yang rugi itu. Mengapa? Apabila ia beriman tentu kekayaannya tidak semata untuk memenuhi kebutuhan perut sendiri, keluarga dan sanak saudara. Apalagi di saat kondisi yang serba sulit seperti sekarang ini. Begitu banyak perut kaum muslimin yang kosong tak terisi nasi. Mereka menunggu bantuan uluran tangan dari saudara sesama kaum muslimin yang lain, yang bernasib lebih baik dari mereka.

Bila ada kekuasaan dan jabatan tidak sekadar untuk mempermudah urusan dirinya sendiri saja, untuk berenak-enak dan bersenang-senang sendiri. Ia tidak akan berhenti pada titik itu sebagai titik final. Tapi ia akan menindaklanjuti dan mempergunakan segala apa yang telah dimilikinya untuk membuktikan keimanannya. Bukan malah sebaliknya justru untuk memperbanyak maksiat, meramaikan kemunkaran dan memakmurkan kejahatan. Kelompok inilah yang dikatakan kekayaannya merugikan, jabatannya menyesatkan dan nama baiknya hanya menjadi racun bagi agama. Orang sering berlindung di belakangnya untuk membentengi kemunkaran. Sungguh tidak ada derajat yang pantas bagi mereka selain disebut sebagai orang yang rugi.

Adalah Abu Hurairah. Ia memeluk Islam di usia 60 tahun. Namun ketika meninggal beliau mampu meriwayatkan 5374 hadits. Anas bin Malik, seorang pelayan Rasulullah sejak usia 10 tahun. Selama bersama Nabi (20 tahun) beliau mampu meriwayatkan 2286 hadits. Juga Abul Hasan bin Abi Jaradah (548 H), sepanjang hidupnya beliau mampu menulis kitab-kitab penting sebanyak tiga lemari. Syeikh Ali At-Thantawi, mampu membaca 100-200 halaman setiap hari. Berarti dengan usianya yang 70 tahun, beliau sudah membaca 5.040.000 halaman buku. Subhanallah, bagaimana dengan kita?

Harga iman

Waktu yang luang semestinya merupakan kesempatan untuk menunjukkan harga dari keimanannya. Cara untuk menunjukkan harga keimanan itu tidak lain adalah dengan beramal shalih. Amal shalih merupakan puncak nilai manusia di hadapan Allah. Bila segala puncak sudah diperoleh akan tetapi amal shalihnya kosong, maka perlu ditengok ulang keimanannya. Apakah benar keimanannya itu ada atau cuma sekadar ucapan yang menghibur-hibur diri.

Mari kita mengoreksi diri selagi masih hidup. Tidak keliru menengok ulang perbuatan pribadi yang sebenarnya akan menguntungkan bagi diri sendiri juga. Mari kita pertanyakan pada diri kita, adakah nikmat sehat itu telah kita pergunakan sebaik-baiknya untuk memperbanyak amal shalih? Seberapa waktu kita untuk kita gunakan untuk agama ini?

Pertanyaan-pertanyaan seperti ini diperlukan sebagai sikap muhasabah. Agar kita tidak melenceng pada tindakan-tindakan yang terlarang.

Untuk kemuliaan Islam, sebagian besar terkadang hanya meluangkan sisa-saia tenaga dan waktu. “Coba saya tak cari waktu senggang saya dulu ya,” demikian ucapan yang sering kita sampaikan jika ada teman mengajak aktif ke masjid, ikut pengajian atau untuk memikirkan mushollah/masjid/yayasan yang berurusan dengan agama dan kebaikan. Kita juga pelit dalam beramal shalih, padahal ribuaan kenikmatan telah diberikan Allah kepada kita.

Nabi pernah bersabda, "Yang pertama kali ditanyakan dari kenikmatan-kenikmatan Allah kelak pada hari kiamat ialah ucapan, 'Bukankah telah kami berikan kesehatan pada tubuhmu dan Kami berikan air minum yang sejuk?.'" (HR at-Tirmidzi)

Maju atau Mundur

Waktu luang pada dasarnya adalah kesempatan yang berharga. Ia banyak membuka peluang untuk maju atau mundur. Dengannya manusia dapat rusak atau baik. Allah berfirman kepada kita,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

"Wahai orang-orang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah. Dan perhatikanlah waktu yang telah engkau lewati untuk bekal mengarungi kehidupan waktu mendatang." (QS al-Hasyr: 18)

Waktu mempunyai kedudukan penting dalam berjalannya aktivitas di alam semesta ini. Islam memiliki konsep yang jelas tentang waktu. Di antara beberapa konsep makna waktu dalam Islam adalah ajal. Sesuai terminologi, ajal berarti penetapan batas waktu. Dalam al-Qur’an, kata ajal mempunyai kecenderungan pada penetapan akan batas sesuatu (Yunus [10]:49:

لِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ إِذَا جَاء أَجَلُهُمْ فَلاَ يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلاَ يَسْتَقْدِمُونَ

“Tiap-tiap umat mempunyai ajal. Apabila telah datang ajal mereka, maka mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak (pula) mendahulukannya.”

Seorang alim mengatakan, waktu kita adalah umur kita. Sementara yang kita saksikan, manusia menggunakan umurnya dengan sesuatu yang aneh dan sia-sia. [baca juga; Waktumu Adalah Umurmu!]

Mari kita renungi kembali hari-hari dan waktu-waktu yang telah kita habiskan selama ini, dengan harapan agar bisa memanfaatkan waktu yang telah diberikan Allah kepada kita. Jangan sampai ketika baru menyesal tatkala nafas sudah di tenggorokan, di mana kala itu ajal sudah tak bisa dimajukan atau dimundurkan barang semenit-pun. Na’udzubillahi min dzaalik.*

Ilustrasi kehidupan dugem







Sehatkan Ragamu Kuatkan Ruhiyahmu!

SEBAGAI ajaran yang sempurna, Islam tidak melewatkan satu aspek pun dalam kehidupan kecuali telah diberikan acuan atau ketentuan agar umat Islam bisa hidup dengan sebaik-baiknya. Satu di antaranya adalah aspek jasadiah dan ruhaniyah sekaligus. Islam memang tidak menghendaki umatnya hidup secara timpang (QS. 28 : 77).

Islam menghendaki umatnya tampil secara prima dalam dua aspek sekaligus. Yaitu jasmani dan juga rohani.

Dalam beberapa ayat atau pun hadis terdapat anjuran ataupun perintah (baik langsung maupun tidak langsung) dari Allah dan rasul-Nya agar umat Islam memelihara kesehatan jasmani dan ruhani secara bersamaan. Dengan hal tersebut setiap umat Islam bisa berjihad dengan segenap potensi yang dimiliki.

Misalnya seperti yang Allah firmankan dalam surah al-Anfal ayat 60;

وَأَعِدُّواْ لَهُم مَّا اسْتَطَعْتُم مِّن قُوَّةٍ وَمِن رِّبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدْوَّ اللّهِ وَعَدُوَّكُمْ وَآخَرِينَ مِن دُونِهِمْ لاَ تَعْلَمُونَهُمُ اللّهُ يَعْلَمُهُمْ وَمَا تُنفِقُواْ مِن شَيْءٍ فِي سَبِيلِ اللّهِ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنتُمْ لاَ تُظْلَمُونَ

“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu”.

Dalam sebuah hadits diriwayatkan bahwa, "Dari Uqbah bin Amir, berkata dia: saya mendengar Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) di atas mimbar membaca: Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka apa saja yang kamu sanggupi dari kuda-kuda yang di tambat. Al Ayat, ketahuilah sesungguhnya kekuatan itu pandai memanah. Ketahuilah sesungguhnya kekuatan itu pandai memanah." (Hadis Riwayat Muslim).

Olahraga dan Cerdas Mengolah Waktu

Tentu kekuatan yang paling pertama harus disiapkan adalah kekuatan fisik. Hari ini karena beragam kesibukan banyak sebagian kita yang abai terhadap kondisi fisik. Akhirnya otot-otot tubuh tidak mendapat ruang untuk bergerak dan menjadikan tubuh kian hari kian lemah. Ditambah dengan pola makan yang kurang sehat (makanan instant atau cepat saji) menjadikan sebagian umat Islam rentan terserang penyakit.

Islam menegaskan pentingnya olahraga untuk menciptakan generasi Rabbani yang kuat dan sehat. Oleh karenanya, Islam mengajarkan setiap muslim untuk mengajarkan anak-anaknya bagaimana cara memanah, berenang, dan berkuda, dll jenis olah raga yang mbermanfaat untuk kesehatan individu.

Olahraga akan menjadikan otot lebih aktif yang bisa membuat tubuh kita semakin kuat. Olah raga juga menyebabkan terpenuhinya kebutuhan terhadap obat yang dibutuhkan dan sangat diperlukan bagi orang yang tidak pernah olah raga.

Sebenarnya sejauh umat Islam taat menjalankan syariat tentu dia telah melakukan olahraga sekalipun sedang dalam menjalankan ibadah mahdhah. Sholat misalnya, di dalamnya terdapat unsur gerak yang kalau kita melakukan sholat dengan benar juga bisa mendatangkan kesehatan yang sangat bermanfaat bagi tubuh. Demikian pula halnya dengan ibadah haji yang di dalamnya ada sa’i dan thawaf.

Adalah satu kebaikan jika umat Islam mengatur jadwal pekanannya untuk berolahraga secara teratur dan terus-menerus. Sebab hal itu akan menjadikannya lebih gesti dan lincah dalam bergerak dan bekerja atau pun dalam menyelesaikan perkara-perkara fisik bahkan ibadah.

Namun demikian seorang hamba tidak seharusnya menjadikan olahraga badan sebagai tujuannya dan maksud utama, sehingga menyita waktu yang menjadikan hilangnya tujuan yang bermanfaat baik bagi agama dan dunianya. Apalagi seperti kebanyakan hari ini, banyak sekali orang yang gemar melihat pertandingan olahraga namun malas berolahraga.

Sepak bola misalnya, ada banyak orang yang rela bangun tengah malam sekedar untuk menonton pertandingan sepak bola. Sementara esok harinya sedikit di antara mereka yang benar-benar mengisi waktu dengan baik, bahkan sebagian besar terdampar di atas tidur karena tak kuasa menahan rasa kantuk.

Apabila seperti itu kondisinya maka kita akan termasuk kelompok orang yang suka menyia-nyiakan waktu alias tidak pandai mensyukuri waktu yang itu berarti secara perlahan akan mengikis kualitas ke-Islam-an kita sendiri.

Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) bersabda, Di antara tanda kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat baginya.” (HR. Tirmidzi).

Perlu digarisbawahi juga bahwa membuang-buang waktu itu hampir sama dengan kematian yaitu sama-sama memiliki sesuatu yang hilang.

Ibnul Qoyyim dalam kitab al-Fawaa’idnya berpendapat, “(Ketahuilah bahwa) menyia-nyiakan waktu lebih jelek dari kematian. Menyia-nyiakan waktu akan memutuskanmu (membuatmu lalai) dari Allah dan negeri akhirat. Sedangkan kematian hanyalah memutuskanmu dari dunia dan penghuninya.”

Ibadah

Tujuan kita berolahraga adalah untuk menjaga stamina tubuh agar tetap sehat yang dengannya kita bisa menjalankan perintah Allah sebagai hamba dengan sebaik-baiknya. Maka sangat aneh jika ada seorang Muslim rajin berolahraga tapi malas beribadah, menuntut ilmu, dan bekerja keras.

Di sini cukup banyak orang keliru. Merasa bahwa dalam hidup ini yang penting adalah menjaga kesehatan badan semata. Padahal manusia yang baik itu adalah manusia yang sehat jiwa dan raganya. Oleh karena itu sudah seharusnya setiap umat Islam yang rajin berolahraga juga harus rajin beribadah, menuntut ilmu dan amal sholeh.

Akibatnya waktu olahraga pun banyak dilakukan diwaktu yang kurang tepat. Misalnya bermain futsal setelah sholat Isya. Hal itu tentu kurang bisa dibenarkan. Sebab syariat Islam menghendaki kita tidur lebih awal jika tidak ada kepentingan mendesak untuk begadang.

Selain itu olahraga di malam hari juga berpotensi menjadikan tubuh mengalami kelelahan yang berat. Sebab siang hari tubuh telah beraktivitas cukup lama. Akibatnya bisa enggan bangun di sepertiga malam, di mana Allah akan mengabulkan doa hamba-Nya yang sholat tahajjud, bahkan ada yang sampai terlambat bangun sholat Shubuh.

Dengan demikian sebagai pribadi Muslim mari kita atur hidup kita agar bisa mendapatkan kehidupan yang baik. Sehat jasmani kuat rohani. Mulai sekarang, hendaklah setiap kita berusaha menjadi Muslim seutuhnya.

Gemar olahraga ya juga aktif mentadabburi al-Qur’an atau pun memperdalam pemahaman terhadap ajaran Islam. Insya Alalh dengan seperti itu kita akan menjadi Muslim yang sempurna. Yaitu Muslim yang sehat jasmaninya dan kuat ruhaninya. Amin






Kuasailah Harta, Jangan Dikuasai!


HAMPIR setiap orang berharap memiliki harta yang berlimpah. Apalagi di zaman semua serba uang. Semua kebutuhan dan keinginan harus diperoleh dengan uang.

Sayangnya orang banyak lupa, gara-gara harta, tidak sedikit yang nestapa. Lihatlah di negara-negara berteknologi maju dan melimpah materi, justru merebak empat penyakit akibat stres: jantung, kanker, radang sendi, dan pernapasan. Inilah gambaran nestapa peradaban materi. Harta yang dicari dan dibangga-banggakan ternyata membawa sengsara. Tak bisa menjamin hidup bahagia.

Agar harta tak sia-sia, kita harus bijak menggunakannya. Jika tidak, kita sama saja lepas dari mulut buaya, masuk ke mulut harimau. Miskin menderita, kaya pun sengsara.

Nah, bagaimana seharusnya kita menyikapi harta benda ini?

Orientasi Tauhid

Apa orientasi dasar hidup kita? Bagaimana kita memandang materi yang kita cari dan kita punyai? Untuk apa semua harta yang kita miliki?

Banyak orang, tanpa sadar, belum memiliki orientasi dasar yang benar terhadap harta. Cara pandangnya kabur, terombang-ambing oleh situasi dan kondisi.

Cara pandang seseorang terhadap harta menunjukkan lurus tidaknya orientasi hidupnya. Seorang yang menggunakan segala cara untuk mendapatkan harta menunjukkan orientasi dasarnya adalah kekayaan. Ia menjadikan harta itu sebagai tujuan tertinggi. Sehingga ia rela mengorbankan waktu, kejujuran, dan harga diri demi mendapatkan kekayaan.

Bahkan, berdoanya kepada Tuhan pun tidak ada yang diminta kecuali harta dunia. Nasib di akhirat pun terabaikan. Inilah yang disyinyalir oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam Firman-Nya:

فَإِذَا قَضَيْتُم مَّنَاسِكَكُمْ فَاذْكُرُواْ اللّهَ كَذِكْرِكُمْ آبَاءكُمْ أَوْ أَشَدَّ ذِكْراً فَمِنَ النَّاسِ مَن يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا وَمَا لَهُ فِي الآخِرَةِ مِنْ خَلاَقٍ

Maka di antara manusia ada orang yang berdoa, "Ya Tuhan kami, berilah kami (kebaikan) di dunia"; dan tiadalah baginya bahagian (yang menyenangkan) di akhirat.” (Al Baqarah [2]: 200)

Jika itu yang dilakukan, tidak perlu menunggu di akhirat, di dunia pun pasti akan menuai banyak masalah. Ia telah menebar energi negatif. Dan siapa yang menebar angin, ia pasti menuai badai.

Niat dan tindakan yang tidak benar akan berbuah pahit. Konflik dengan keluarga dan kolega, berurusan dengan hukum, sampai ancaman pembunuhan dari mereka yang merasa dizalimi.

Cara-cara seperti itu jelas tidak mengundang berkah dan ridha Allah Ta’ala. Mungkin bisa saja ia berkelit dari jeratan hukum karena kelicinannya. Tapi, tanpa rahmat Allah Ta’ala, kehidupannya tak akan berkah.

Seorang yang telah bersyahadat mestinya menjadikan tauhid sebagai orientasi dasar dalam hidupnya dan menjadikan ridha Allah Ta’ala sebagai tujuan hidupnya. Adapun harta hanya menjadi alat, bukan tujuan. Maka ia akan menggunakan harta sebesar-besarnya untuk mencapai tujuan mulia itu.

Bernilai Ibadah

Bekerja mencari harta, bila berorientasi benar, bisa memuliakan kita. Meski bekerja terlihat hanya sebagai amalan dunia, tapi jika berbingkai tauhid, semuanya menjadi bernilai ibadah.

Di zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, ada anak muda yang kuat dan perkasa. Suatu hari, pagi-pagi sekali, ia sudah keluar rumah untuk bekerja mencari harta.

Kemudian ada orang yang berkomentar, “Kasihan sekali orang itu. Andai kata masa mudanya serta kekuatannya digunakan untuk fi sabilillah, alangkah baiknya.”

Mendengar komentar itu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pun meluruskannya. Kata beliau, ”Janganlah kamu mengatakan begitu. Sebab kalau keluarnya orang itu dari rumah untuk bekerja demi mengusahakan kehidupan anaknya yang masih kecil, maka ia telah berusaha fi sabilillah. Jika ia bekerja untuk dirinya sendiri agar tidak sampai meminta-minta pada orang lain, itu pun fi sabilillah. Tetapi bila ia bekerja karena untuk berpamer atau untuk bermegah-megahan maka itu fi sabilisy syaithan (karena mengikuti jalan setan).” (Hadits Riwayat Thabrani).

Dengan semangat fi sabilillah harta menjadi berkah. Harta akan mendatangkan kebaikan karena di sana ada rahmat Allah Ta’ala. Kalau ada kelebihan, insya Allah, bukan untuk kesombongan dan bermegahan, tetapi untuk diberikan kepada orang lain sebagai zakat, infak, dan sedekah. Harta yang baik adalah harta yang ada di tangan orang yang baik, yang digunakan untuk beramal shaleh.

Para Sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ada juga yang berharta banyak. Salah seorang di antaranya adalah Abdurrahman bin Auf. Dia pernah menyedekahkan 700 ekor unta beserta muatannya berupa kebutuhan pokok dan barang perniagaan kepada kaum Muslim. Ia juga pernah membeli tanah senilai 40 ribu dinar atau setara Rp 55 miliar untuk dibagi-bagikan kepada para istri Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan fakir miskin. Ia juga pernah menginvestasikan tak kurang 500 ekor kuda perang dan 1.500 ekor unta untuk jihad fi sabilillah.

Ketika wafat ia pun masih sempat mewasiatkan 50 ribu dinar untuk diberikan kepada veteran perang Badar. Masing-masing pahlawan mendapat jatah 400 dinar atau setara Rp 560 juta.

Tidak semestinya kelebihan harta menghalangi kita untuk meraih ridha Allah Ta’ala. Harta yang dicari dengan jalan tidak halal jelas hanya akan mempersulit perjalanan menuju Allah Ta’ala. Harta yang dicari dengan jalan halal tetapi belum digunakan di jalan Allah, juga masih belum bernilai di sisi-Nya.

Harta yang telah disedekahkan di jalan Allah Ta’ala, itulah investasi abadi yang akan dilipatgandakan balasannya oleh Allah Ta’ala. Sementara harta yang tersimpan, saat maut menjemput, pasti akan kita tinggalkan di dunia ini. Hanya amal yang akan menyertai kita menghadap Allah Ta’ala kelak.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berdabda, ”Ada tiga perkara yang mengikuti mayit sesudah wafatnya, yaitu keluarganya, hartanya, dan amalnya. Yang dua kembali dan yang satu tinggal bersamanya. Yang pulang kembali adalah keluarga dan hartanya, sedangkan yang tinggal bersamanya adalah amalnya.” (HR Bukhari dan Muslim).

Zuhud Sejati

Banyak orang kaya yang merasa seolah-olah menguasai harta, padahal dialah yang dikuasai harta. Orang yang menjadikan harta sebagai tujuan dan melakukan segala cara untuk mendapatkannya adalah orang yang telah diperbudak oleh harta dan kesenangan dunia.

Seorang yang punya orientasi dasar tauhid dan istiqamah dengan prinsipnya, akan memiliki mental yang tercerahkan. Kaya bukan semata pada harta, tetapi pada hati. Rasa berkecukupanlah yang membuat orang bisa berdaya memberi dan berbagi.

Sebaliknya, seseorang yang secara materi kaya, tetapi mentalnya masih berkekurangan dan tamak, tak akan mampu mengeluarkan hartanya di jalan Allah Ta’ala. Ia malah ingin menyimpan sebanyak-banyaknya lagi. Mengambil dan mengambil. Orang demikian telah diperalat oleh hartanya.

Seorang yang bertauhid, hanya menjadi hamba Allah Ta’ala, bukan hamba selain-Nya. Ia hanya rela dikuasai oleh Allah Ta’ala, bukan selain-Nya. Orang seperti Abdurrahman bin Auf mampu memberikan hartanya sampai sekian banyak bukan karena ia kaya raya, tetapi karena ia mampu menguasai hartanya.

Sehingga, meski kaya raya, penampilan Abdurrahman bin Auf tetap sederhana. Ia tidak menyombongkan diri. Pakaiannya sama dengan pakaian pelayannya. Di badannya ada dua puluh bekas luka perang. Cacat pincang dan giginya yang rontok sehingga berakibat cadel, adalah tanda jasa di perang itu.

Harta seharusnya hanya menempel di tangan saja, bukan di pikiran, apalagi di hatinya. Itulah zuhud. Zuhud bukan karena tidak ada harta tetapi karena idealisme tauhidnya. Orang seperti inilah yang akan mendapatkan kebaikan dunia dan akhirat sebagaimana doa yang senantiasa kita panjatkan kepada Allah Ta’ala yang termaktub dalam Al Baqarah [2]: 201.

وِمِنْهُم مَّن يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

“Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka.” Wallahu a’lam bish-shawab.*







Masa Depan Cemerlang, Amalkanlah Wasiat Nabi


SIAPAPUN boleh dan harus berharap menang, berharap sukses, dan bermimpi bahagia. Tapi semua itu akan tiada guna jika tidak didasari oleh keyakinan yang benar, konsep yang sempurna dan ketekunan dalam berupaya. Konsep yang sempurna tidak akan lahir kecuali dari sumber ilmu yang mutlak kebenarannya.

Sebagaimana tidak akan sampainya seseorang pada tujuan jika ia salah mengambil jalan dalam perjalanannya.

Untuk meraih kemenangan, kesuksesan dan kejayaan bangsa dan negara ini telah ada suri tauladan untuk meraihnya, lengkap dengan strategi, tahapan, dan juknis (petunjuk teknis). Yaitu dengan memahami dan berusaha mengamalkan apa yang telah dicontohkan oleh rasulullah saw dalam segala hal.

Dengan begitu perkara penting yang harus diperhatikan oleh seluruh umat Islam hari ini adalah menakar diri apakah cara berpikir, cara berbicara, cara bertindak, bertetangga, bermasyarakat, cara memimpin kita semua harus sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم).

Jika belum maka sampai kapanpun kemenangan itu tidak akan pernah mewujud. Sebagaimana tidak akan terwujudnya emas yang berkualitas jika tidak dipanaskan pada suhu yang tepat.

Orang yang mengikuti nabi dalam hal apapun itulah yang disebut dengan ittiba’ al-Rasul.

Tidak ada kemenangan kecuali dengan sepenuh hati ittiba’ kepada Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم). Termasuk dalam upaya meraih masa depan cemerlang, kemenangan dan kejayaan. Selain itu jika kita tidak ittiba’ kepada nabi maka kita akan mengalami nasib seperti kata pribahasa “bak air di atas daun talas”. Tidak pernah akan sampai pada tujuan apalagi menang. Sebagaimana peradaban Barat yang tak pernah selesai dalam menemukan kebenaran dan selalu mengikuti perubahan termasuk dalam soal keyakinan sekalipun.

Wasiat Nabi

Untuk masa depan cemerlang baik sebagai pribadi maupun bangsa dan negara, kita harus berusaha mencintai Nabi dan mengikuti setiap langkah-langkahnya, terutama benar-benar memperhatikan wasiat-wasiat penting darinya.

Sebagaimana firman Allah Subhanahu Wata’ala, barangsiapa ingin mendapat rahmat, maka ikutilah tauladan Nabi:

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيراً

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS: Al Ahzab [33]: 21)

قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

"Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Ali Imran [3] : 31).

Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) telah menegaskan bahwa umat Islam akan bercerai-berai dan berselisih, mengikuti jejak umat-umat sebelum mereka.

Bukhari, Muslim dan beberapa ulama lain meriwayatkan dari Abu Said bahwa Nabi Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) bersabda; “Kalian benar-benar akan mengikuti jejak orang-orang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sehingga apabila mereka masuk lubang biawak niscaya kalian ikut”. Kemudian ada yang bertanya: Wahai Rasulullah, apakah orang-orang Yahudi dan Nasrani yang dimaksud? Beliau menjawab: Lalu siapa lagi?


Hari ini baik secara individu maupun kolektif sebagian umat Islam mulai kehilangan izzah (kebanggaan) terhadap agamanya sendiri. Meskipun ada di antara para pejabat negeri yang setiap tahun umroh dan haji, kembali ke tanah air mereka tetap bersemangat membela paham kesesatan, sekularisme dan mendewa-dewakan apapun yang datang dari Barat.

Begitu pula dengan kaum intelektual, mereka merasa lebih ‘super’ jika mengutip dan mengikuti atau mengamini pendapat intelektual dari Barat. Sebaliknya merasa agak tradisional (kuno) kalau mengutip pendapat para alim ulama. Diakui atau tidak ini telah menjadi satu tradisi yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari.

Bahkan yang menyedihkan, banyak sarjana atau tokoh Islam, tetapi mereka justru berada di depan menyerang syariah. Di sisi lain Muslimah di Indonesia belum semuanya bangga dengan jilbabnya. Buktinya, mereka berjilbab, tetapi hakekatnya telanjang. Karena menggunakan atau tanpa jilbab, tetap saja tubuhnya ingin dipamerkan. Akhirnya, masyarakat kesulitan, mana yang muslimah atau yang bukan.

Ia mengaku muslimlah, tapi ironisnya perilakunya belum sepenuhnya terjaga. Mereka menutupi aurat tubuh, tetapi hati dan perilakunya tidak ditutupi. Berjilbab, tetapi berpacaran, berboncengan bareng dan kadang berpelukan. Sekalipun sudah berkerudung, tetap saja masih suka bermaksiat.

Banyak kita saksikan di TV, gadis-gadis berjilbab –bahkan ibu-ibu berjilbab—berada di garis depan berjoget dan mengelu-elukan artis di panggung dengan di tonton jutaan pemirsa.

Kita mengaku sebagai negeri dengan mayoritas penduduk Muslim terbesar di dunia, tapi faktanya, para pemimpin kita melahirkan RUU-RUU yang berpotensi merusak ajaran Islam.

Adalah kewajiban kita semua secara pribadi dan kolektif untuk kembali mentadabburi al-Qur’an, meyakininya dan menderivasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Sebab dengan hanya seperti itu saja, kita akan terjaga dari kesesatan dan kerugian selama-lamanya dan akan memperoleh kemenangan besar berupa keridhoan Allah SWT.

Hal itulah yang berhasil ditampilkan oleh generasi awal Islam. Allah berfirman;

وَالسَّابِقُونَ الأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأَنصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُم بِإِحْسَانٍ رَّضِيَ اللّهُ عَنْهُمْ وَرَضُواْ عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَداً ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. 9 : 100).

Rasulullah juga bersabda, “Sebaik baik generasi adalah generasi di masa keberadaanku, kemudian generasi berikutnya, kemudian generasi berikutnya.” (HR Imam Ahmad, Bukhari, Muslim)

Rasulullah bersabda; “Aku tinggalkan ditengah-tengah kalian dua perkara. Selama kalian berpegang teguh dengan keduanya tidak akan tersesat selama-lamanya, yaitu Kitabullah (al-Qur’an) dan Sunnahku (hadits).” (HR. Malik; Al-Hakim & Baihaqi).

Tugas Utama

Dengan demikian jelaslah apa yang menjadi tugas utama kita sebagai seorang Muslim. Yaitu berusaha sekuat tenaga mengikuti teladan yang telah diajarkan oleh Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم), sebagaimana generasi awal Islam dulu mengikuti Nabi.

Apabila hal itu berhasil kita lakukan, insya Allah masa depan cemerlang, bahkan kebahagiaan bangsa dan negara Indonesia dengan sendirinya akan segera mewujud.

Akan tetapi jika kita tidak melakukan apa yang telah dilakukan umat terbaik itu, maka sungguh derita kita sebagai seorang Muslim dan bangsa Indonesia sebagai komunitas Muslim terbesar dunia tak akan pernah berujung berakhir bahkan mungkin bisa sampai di alam akhirat.

وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكاً وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى

Sebagaimana firman-Nya; “Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta." (QS. 20 : 124).

Jadi untuk masa depan cemerlang (tentu masa depan kita di akhirat yang utama) kita harus mengamalkan wasiat Nabi yang utama; yaitu berpegang kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Adalah Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang mampu mensejahterakan rakyatnya hanya dalam tempo dua tahun. Apa kuncinya? Karena beliau menggunakan Al-Qur’an dan Sunnah untuk membangun negerinya. Mengapa kita yang belakangan ini justru meniru yang lain? Wallahu a’lam bishshowab.*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar