Amal Sholeh, Cara Cerdas Raih Khusnul Khotimah
SIAPA yang tidak ingin hidup bahagia di dunia dan selamat di akhirat? Semua orang pasti mendambakannya. Tak hanya orang beriman saja, bahkan orang tak beragama dan para penjahat-pun, kadang juga memilih mati dalam keadaan baik.
Lihatlah kaos-kaos menyesatkan yang sering digunakan anak-anak muda bertuliskan, “Muda Foya-foya, Tua Kaya-rya, Mati Masuk Surga”. Meski hanya sebatas kaos, sesungguhnya pesan ini telah banyak mempengaruhi jiwa dan pikiran banyak orang, terutama anak-anak muda kita.
Karena itulah, Dr Nurcholis Madjid dalam sebuah forum pernah menanggapi slogan yang sering dijadikan kaos anak-anak muda itu dengan mengatakan, “tak ada yang gratis dalam hidup. Apalagi mau masuk surga.”
Perilaku seperti itu menandakan masih banyak di antara kita yang belum memahami dengan benar arti waktu dan arti hidup yang sebentar ini.
Orang bisa bahagia luar biasa karena kesigapannya mengatur waktu, dan orang bisa menyesal luar biasa karena kelalaiannya terhadap waktu. Jadi, benarlah ungkapan pepatah Arab, bahwa “waktu adalah pedang”.
"L'uomo misura il tempo e il tempo misura l'oumo". Manusia mengukur waktu dan waktu mengukur manusia, “ ujar sebuah pepatah Italia.
Sayangnya tidak setiap Muslim benar-benar mempersiapkan diri dan paham arti hidup.
Sebagian masih sebatas mengetahui kemudian lalai terhadapNya. Sebagian lain tidak lalai namun terkesan apa adanya. Padahal aksioma yang tak terbantahkan suatu saat, entah kapan, kita pasti akan menemui kematian.
Bagi orang yang beriman masih beruntung karena dosa-dosanya akan diampuni oleh Allah. Tetapi bagi mereka yang kafir dan munafiq, sungguh akhirat adalah tempat yang tak pernah mereka harapkan. Sebab di akhirat mereka tak henti-henti minta ampun dan menyesal sejadi-jadinya karena gagal mengisi waktu di dunia dengan menunaikan amal-amal sholeh.
وَأَنفِقُوا مِن مَّا رَزَقْنَاكُم مِّن قَبْلِ أَن يَأْتِيَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ فَيَقُولَ رَبِّ لَوْلَا أَخَّرْتَنِي إِلَى أَجَلٍ قَرِيبٍ فَأَصَّدَّقَ وَأَكُن مِّنَ الصَّالِحِي
وَلَن يُؤَخِّرَ اللَّهُ نَفْساً إِذَا جَاء أَجَلُهَا وَاللَّهُ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
“Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: "Ya Rabb-ku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang shaleh?"
“Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila telah datang waktu kematiannya. Dan Allah Maha Mengenal apa yang kamu kerjakan.” (QS. 63: 10 – 11).
Tanda Surga
Untuk mengetahui apakah nanti kita akan masuk surga atau tidak, tentu tidak ada jawaban pastinya. Namun Rasulullah saw memberikan pedoman bagi umat Islam bagaimana cerdas mengelola waktu, sehingga bisa mengenali tanda-tanda seorang Muslim mendapatkan surga.
Satu tanda bahwa seorang Muslim akan masuk surga ialah meninggal dalam keadaan khusnul khotimah. Artinya seorang Muslim meninggal dalam keadaan baik (ibadah kepada Allah).
Bisa dalam keadaan mendirikan sholat, dzikir, menghadiri majlis ilmu, atau dalam kegiatan atau perjalanan yang diridhai Allah dan rasul-Nya.
Sebaliknya ialah su’ul khotimah. Keadaan di mana seorang Muslim meninggal dalam keadaan tidak baik. Seperti; meninggal saat berjudi, berzina, mencuri, kikir, korupsi, atau sedang menjerumuskan diri dalam berbagai bentuk kemaksiatan dan kedholiman.
Dalam sejarahnya, tak satu pun manusia yang bisa mengetahui apakah dirinya bisa mati dalam keadaan khusnul khotimah atau su’ul khotimah. Hal ini tiada lain agar kita, sebagai seorang Muslim, benar-benar waspada dalam pemanfaatan waktu. Jangan sampai terlena oleh gemerlap dunia, sehingga lupa akan akhirat dan kemudian mati dalam keadaan su’ul khotimah.
Prioritaskan Amal Sholeh
Dalam sebuah hadis rasulullah saw bersabda, “Orang yang cerdas ialah orang yang menahan hawa nafsunya dan berbuat (amal sholeh) untuk (bekal) kehidupan setelah mati.” (HR. Turmudzi).
Mengapa kriteria orang cerdas dalam Islam seperti itu? Sebab setiap manusia akan menemui kematian. Orang yang paling siap menghadapi kematian dengan memperbanyak amal sholeh jelas orang yang akan bahagia. Dan, siapa orang yang mempersiapkan dirinya untuk meraih kebahagiaan tentu ia adalah orang yang paling beruntung.
Oleh karena itu, al-Qur’an dalam sebuah ayat memberikan satu kriteria lengkap dan jelas bahwa yang dimaksud orang yang berakal (berilmu, cerdas) adalah ulul albab. Yaitu orang yang senantiasa mengisi waktunya dengan dzikir dan fikir agar mendapat keridoan-Nya. (QS. 3: 190 – 191).
Itulah orang yang memiliki keimanan yang kokoh, melakukan perbuatan-perbuatan besar, cerdas (berilmu), dan termasuk orang-orang yang diridhoi oleh Allah untuk meraih kebahagiaan dengan anugerah besar berupa akhlak yang mulia.
وَاذْكُرْ عِبَادَنَا إبْرَاهِيمَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ أُوْلِي الْأَيْدِي وَالْأَبْصَارِ
إِنَّا أَخْلَصْنَاهُم بِخَالِصَةٍ ذِكْرَى الدَّارِ
وَإِنَّهُمْ عِندَنَا لَمِنَ الْمُصْطَفَيْنَ الْأَخْيَارِ
"Dan ingatlah hamba-hamba Kami: Ibrahim, Ishaq dan Ya'qub yang mempunyai perbuatan-perbuatan yang besar dan ilmu-ilmu yang tinggi. Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang tinggi yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat. Dan sesungguhnya mereka pada sisi Kami benar-benar termasuk orang-orang pilihan yang paling baik." (QS. As Saad: 45-47).
Dengan demikian jelaslah bagi kita untuk mengerti dengan sebenarnya, apakah kita termasuk orang yang cerdas atau tidak. Jika kita ingin cerdas, maka hendaklah kita mencontoh perilaku para kekasih Allah (Nabi dan Rasul). Yaitu senantiasa menghiasi diri dengan akhlak yang mulia, beramal sholeh, dan berorientasi terhadap kehidupan akhirat. Itulah perkara besar yang harus diutamakan, bukan yang lain.
Langkah tersebut akan memberikan dampak positif luar biasa, baik ketika di dunia maupun di akhirat. Sebaliknya, yang tidak cerdas akan mengalami penyesalan luar biasa.
حَتَّى إِذَا جَاء أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ رَبِّ ارْجِعُونِ
لَعَلِّي أَعْمَلُ صَالِحاً فِيمَا تَرَكْتُ كَلَّا إِنَّهَا كَلِمَةٌ هُوَ قَائِلُهَا وَمِن وَرَائِهِم بَرْزَخٌ إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ
"(Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata: "Ya Tuhanku kembalikanlah aku (ke dunia) . Maksudnya: orang-orang kafir di waktu menghadapi sakratil maut, minta supaya diperpanjang umur mereka, agar mereka dapat beriman.
Agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang telah aku tinggalkan. Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada dinding sampal hari mereka dibangkitkan." (QS. Al-Mu’minun: 99 – 100).
Waspadai Akhir yang Buruk
Bagaimana agar kita bisa meninggal dalam keadaan khusnul khotimah? Tentu tidak ada jalan lain selain waspada dan konsisten mengisi sisa umur yang kita miliki untuk kebaikan-kebaikan dunia maupun akhirat.
Dengan kata lain kita tidak boleh terlampau santai menyikapi waktu yang kita miliki apalagi merasa umur masih cukup panjang, sehingga suka meremehkan perbuatan dosa dan bangga berbuat maksiat.
Anas ra, pernah bertutur, "Sesungguhnya, kalian melakukan perbuatan-perbuatan yang menurut kalian lebih kecil dari rambut. Padahal kami pada zaman rasulullah saw, sudah menganggapnya sebagai dosa yang membinasakan (dosa besar)." (HR. Bukhari).
Apabila hal itu terjadi maka sirnalah fungsi hati seorang Muslim. Ibn Atha’illah dalam sebuah nasehatnya menyatakan bahwa, di antara tanda matinya hati adalah tidak bersedih atas ketaatan yang terlewat dan tidak menyesal atas dosa yang diperbuat.
Oleh karena itu sebagai upaya waspada kita terhadap akhir yang buruk (su’ul khotimah) hendaknya setiap hari kita melakukan evaluasi terhadap keyakinan kita. Apakah keyakinan yang ada di dalam hati ini telah bersih dari titik-titik keraguan. Jika masih ada keraguan segeralah membersihkannya.
Selanjutnya ialah memeriksa tabiat diri. Apakah kita sudah terbebas dari panjang angan-angan dan gemar menyegerakan kebaikan? Sebab satu faktor utama manusia enggan beramal sholeh dikarenakan panjangnya angan-angan. Akibatnya sebagian besar malah suka menunda-nunda untuk taubat dan akhirnya meninggal dalam keadaan yang sangat buruk.
Jadi, mulai sekarang marilah biasakan diri untuk memperkuat iman, meneguhkan hati untuk konsisten beramal sholeh, dan waspada untuk tidak berbuat dosa. Sebab kita tidak pernah tahu kapan ajal menemui kita.
Dengan cara itulah, insya Allah kita akan tergolong manusia yang cerdas menurut nabi dan insya Allah akan meninggal dalam keadaan khusnul khotimah dan mendapat keridoan-Nya, amin. Wallahu a’lam.*/Imam Nawawi
Berkorban Adalah Rumus Kemuliaan
TIDAK terasa paham materialisme sepertinya telah menjadi ’kangker ganas’ yang tengah mengerogoti pola hidup masyarakat moderen saat ini. Segala sesuatu diukur dengan materi. Kekuatan, kemuliaan, kesenangan, kesuksesan, dan sebagainya, semua diukur dengan materi.
Hasil dari pola pikir macam ini, menyebabkan orang-orang memiliki hasrat tinggi untuk memiliki, menguasai, mengeruk keuntungan pribadi/kelompok, sebesar-besarnya, tanpa harus memikirkan, mempedulikan nasib orang lain. Kasus merebaknya praktek KKN di negeri ini adalah salah satu buah yang dihasilkan dari faham materialisme ini.
Karena ulah faham ini pula, seseorang akan enggan membantu atau pun berkorban untuk orang lain. Kalau pun mereka bisa, maka setidak-tidaknya harus ada imbalan balik yang harus mereka tererima sebagai konsekwensi dari pemberian yang mereka salurkan.
Maka tidak mengherankan kalau kita dapati beberapa tahun silam, pasca pemilihan umum, terdapat calon anggota dewan yang mengambil kembali sumbangannya di masyarakat, karena di waktu pemelihan tersebut, masyarakat sekitar tidak memilih dia sebagai calon wakil rakyat. Sungguh memprihatinkan dan memalukan.
Jadi, setidaknya faham materialisme telah melahirkan tabi’at buruk bagi manusia, yaitu sifat egois, indifidualis serta anti-pati terhadap urusan orang lain. Padahal sejatinya justru tiga hal ini lah yang akan menjerumuskan seseorang ke jurang kehinaan sedalam-dalamnya.
Kasus Fir’aun yang membunuhi bayi-bayi laki-laki dari Bani Isro’il karena khawatir posisinya sebagai raja akan digantikan oleh salah seorang pemuda dari mereka adalah bukti otentik sejarah, betapa rumus kemuliaan dengan sistem demikian ini tidak lah benar. Dan akhirnya dia (Fir’aun) pun akhirnya mati dengan kehinaan, ditenggelamkan di tengah-tengah laut, serta (secara tidak langsung) telah menobatkan dirinya sendiri sebagai simbol kebengisan, kekejaman, serta kecongkaan di muka bumi ini.
Sebaliknya, dengan menyuburkan rasa simpati dan empati terhadap sesama, akan menggoreskan nama kita sebagai pribadi yang mulia di mata manusia lebih-lebih di mata Allah, Tuhan alam semesta.
”Tangan di atas lebih baik (mulia) dari pada tangan di bawah” adalah rumus kehidupan yang diberikan Nabi untuk umatnya agar mereka mampu merengguh kemuliaan. Semakin sering kita mengulurkan tangan untuk meringankan orang lain, berarti kita semakin ’memoles diri’ untuk menjadi pribadi yang mulia, yang disenangi serta dikenang oleh masyarakat luas.
Makna lain dari rumus di atas, untuk meraih kemuliaan kita harus rela berkorban. Lebih mementingkan kepentingan umum dari urusan pribadi (terkecuali dalam urusan ibadah). Karakter macam ini pula yang telah menjadikan para sahabat Rosulullah hidup mulia dan bermartabat di masanya. Mereka saling berlomba-lomba untuk memberi, berkorban untuk orang lain. Tidak hanya harta yang menjadi taruhannya, bahkan jiwa pun mereka rela pasang demi membantu saudara-saudara mereka yang tengah membutuhkan.
Abu Bakar rela menyerahkan seluruh hartanya demi kejayaan Islam. Begitu pula dengan Umar bin Khathab, Utsman bin Affan, Abdurrahman bin ’Auf, dan sebagainya. Mereka berlomba-lomba untuk mengorbankan apa yang mereka miliki demi kepentingan umum, laksana mereka tengah berebut barang rampasan ghonimah sebagaiman yang terjadi pada perang Uhud.
Dalam kondisi demikian, maka tidak salah dalam suatu kesempatan Rosulullah pernah menjelaskan dalam sabdanya, bahwa sebaik-baik masa adalah masa di mana beliau masih hidup, kemudian masa berikutnya, dan kemudian masa berikutnya.
Dalam al-Quran surah al-Fathir ayat 10, Allah SWT juga menegaskan tentang hakekat kemuliaan; "Barang siapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah kemuliaan itu semuanya. Kepada-Nya lah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya. Dan orang-orang yang merencanakan kejahatan bagi mereka azab yang keras dan rencana jahat mereka akan hancur."
Terkait ayat di atas Prof Dr KH Didin Hafidhuddin, pernah menerangkan bahwa hakekat kemuliaan itu adalah seseorang bertindak dan berbuat sesuai dengan ketentuan Allah dan Rasul-Nya, serta kesungguhan dalam berbuat kebaikan, kejujuran dan amanah, dan keberpihakan pada kemaslahatan bersama. (www.republika.co.id/Kamis, 27 Oktober 2011).
Memelihara Sepirit
Saat ini kita masih berada pada bulan Dzulhijjah, bulan yang mulia. Banyak peristiwa yang terjadi pada bulan ini yang bisa kita jadikan teladan untuk menjadi pribadi yang lebih baik kedepannya. Salah satunya adalah ghirah mengorbankan kepentingan pribadi dan mendahulukan kepentingan umum. Pada bulan ini, Nabi Ibrohim telah mampu mengalahkan sifat egoismenya sebagai seorang bapak, demi mentaati perintah Allah. Beliau kalahkan cintanya ke pada anak semata wayangnya, demi lebih mentaati perintah Allah, yaitu menyembelih putranya, Ismail, yang kemudian Allah ganti dengan seekor lembu. Karena ketaatan beliau inilah, Allah kemudian memuliakan Nabi Ibrohim beserta keturunan-keturunannya. Beliau tidak hanya digelari sebagai nabi ’Ulul Azami’, namun beliau juga mendapat ’lebel’ sebagai bapaknya para nabi ’Abu Al-Anbiyak’
Kita patut bersyukur, sebagian kaum muslimin saat ini masih mewarisi semangat berkorban Nabi Ibrohim. Puluhan ribu jamaah haji Indonesia telah pergi ke tanah suci demi memenuhi panggilan Allah. Mereka sampingkan urusan keluarga, bisnis, dan sebagainya, demi menjawab seruan-Nya. Resiko terburuk, yaitu kematian, karena berada di tengah lautan manusia yang sedang melaksanakan ibadah haji, pun mereka tepis demi menbjawab seruan Allah. Subhanallah!
Dan bagi mereka yang belum memiliki kemampuan untuk melaksanakan ibadah haji, namun memiliki kemampuan untuk berkurban, mereka pun tidak kalah saing. Mereka sisihkan sebagian rizki mereka demi mentaati titah Allah untuk menyembelih binatang kurban. Entah berapa ribu ekor kambing/domba dan sapi yang disembelih pada bulan Dzulhijjah tahun ini.
Intinya, poin yang bisa kita ambil, volume minat berkorban kaum Muslimin terhadap apa yang mereka miliki, mengalami peningkatan pada bulan Dzulhijjah ini. Seharusnya, semangat macam ini senantiasa kita rawat dan menjadi salah satu karakter kepribadian kita sebagai pribadi mukmin, bukan hanya bersifat eksidentil. Dengan demikian, kita berharap, kemuliaan ummat ini bisa terjaga karena budaya memberi, menolong, berkorban sebanyak-banyak untuk orang lain benar-benar telah mengakar dalam setiap diri kita, sebagaimana yang telah terjadi di masa Rosulullah dahulu.
Dari Abu Hurairah rodhiallohu ‘anhu, Nabi sholallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa melepaskan seorang mukmin dari kesusahan hidup di dunia, niscaya Alloh akan melepaskan darinya kesusahan di hari kiamat, barang siapa memudahkan urusan (mukmin) yang sulit niscaya Alloh akan memudahkan urusannya di dunia dan akhirat.” (HR Muslim).
Karena itu jangan pelit berkorban untuk sesama. Ini semata-mata agar kita juga dapat dimudahkan dan mendapat kemuliaan.
Tafakur, Cara Efektif Pelihara Iman!
SETIAP hari bahkan mungkin sepanjang tahun kita diperhadapkan dengan beragam kesulitan, cobaan, penderitaan, yang boleh jadi cukup melelahkan hati dan pikiran. Kondisi yang tidak saja mengundang emosi tapi juga memancing diri untuk membenci bahkan mungkin memusuhi.
Di sinilah akal sehat kita dipertaruhkan. Sebab keunggulan manusia itu terletak pada kemampuannya berpikir. Bagi yang jarang bertafakur (merenungkan hikmah) atas kejadian yang menimpa itu, maka ia akan memilih sikap berkeluh kesah, minder, pesimis, atau selalu menyalahkan keadaan yang justru mengakibatkan pudarnya cahaya iman.
Tetapi bagi yang mau mentafakuri-nya, maka ia akan mendapatkan pencerahan yang baik, sehingga bukan saja kenikmatan yang menyenangkan yang bisa membuatnya tersenyum, musibah pun tak mampu membuatnya menangis. Bahkan musibah justru menjadikannya semakin dekat kepada Allah SWT.
Mukmin yang selalu bertafakur, ialah orang yang memahami maksud baik Allah atas setiap peristiwa dan kejadian yang dialaminya. Dan, keyakinan dalam hatinya justru terus-menerus bertambah kokoh bahwa tidak mungkin Allah akan berubah menjadi Maha Pembenci, sebab Dia adalah Maha Penyayang.
Tafakkur tidak sama dengan bersemedi atau tepekur (istilah Jawa). Apalagi jika dilakukan tanpa ada ajaran Islam.
Tafakur adalah perenungan untuk memikirkan, membesarkan dan mentadaburi tanda-tanda kebesaran Allah SWT.
Dari Nabi SAW., bahwa pada suatu hari ia keluar menuju suatu kaum. Mereka sedang bertafakur. Maka Nabi SAW bertanya, “Apa yang kamu sedang kerjakan sehingga kamu tidak berbicara?” Mereka menjawab, “Kami sedang memikirkan ciptaan Allah SWT.” Selanjutnya Nabi SAW bersabda, “Kalau begitu, maka lakukanlah. Berpikirlah tentang ciptaan Allah, tetapi janganlah kamu memikirkan tentang-Nya. Sesungguhnya di barat ini ada bumi yang putih cahayanya perjalanan matahari empat puluh hari. Di dalamnya terdapat makhluk dari makhluk-makhluk Allah. Mereka tidak pernah mendurhakai Allah sekejap mata pun. Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, lalu di mana setan terhadap mereka? Beliau bersabda, “Mereka tidak tahu setan diciptakan atau tidak.” Mereka berkata, “Bagaimana dengan anak Adam?” Beliau bersabda, “Mereka tidak tahu Adam diciptakan atau tidak.”
Lebih jelas, al-Quran mengatakan;
لَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللّهَ قِيَاماً وَقُعُوداً وَعَلَىَ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذا بَاطِلاً سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّار
ِ
Artinya: “...dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi.” (QS. Ali Imran (3): 191)
Kesimpulannya, dalam hal yang tidak menyenangkan pun dirinya bisa melihat dengan haqqul yakin, bahwa Allah sangat mencintai hamba-Nya.
Bertafakur berarti berpikir dengan akal sehat untuk menemukan hikmah (kebijaksanaan) dalam setiap peristiwa yang dihadapi, dialami ataupun dirasakan. Dengan cara demikian, maka kita akan mengerti secara jelas sikap terbaik apa yang harus kita berikan atas peristiwa yang terjadi.
Pada saat yang sama kita harus mampu menghubungkan peristiwa yang terjadi dengan konsep keimanan kepada Allah SWT. Inilah yang disebut dengan dzikir, sehingga kita senantiasa bersyukur atas segala nikmat dan bersabar atas segala musibah.
Sebagai contoh berikut penulis kutipkan satu kasus bagaimana bertafakur, dari buku Bahan Renungan Qalbu, karya Ir. Permadi Alibasyah tentang musibah.
Bila dipikir dengan akal, musibah itu pasti hal yang buruk. Kemudian tak satu pun manusia yang mau apalagi ingin mendapat musibah. Bahkan musibah itu identik dengan apes atau sial. Musibah juga hasil kejahatan orang lain pada kita. Boleh jadi musibah juga karena kecerobohan kita saja.
Cara berpikir seperti di atas, akan menghasilkan output yang buruk. Wajar orang yang mengalami musibah menjadi stres. Oleh karena itu dia perlu dikasihani karena kemalangan yang menimpanya. Maka lain kali buatlah perhitungan yang matang supaya tidak tertimpa musibah.
Akan sangat berbeda hasilnya jika proses berfikir seorang mukmin diiringi proses dzikir. Kita harus selalu ingat bahwa Allah Maha Pengasih Maha Penyayang. Allah tidak akan pernah berbuat dzalim, malah Ia Maha Adil. Allah Maha Pandai, Maha Pengatur lagi Maha Suci. Allah selalu mendengar doa hamba-hamba-Nya.
Maka musibah dengan proses fikir dan dzikir akan menghasilkan semakin kuatnya keyakinan seorang mukmin pada kekuasaan Allah SWT.
Tidak wajar bila kita stress saat mengalami musibah, bukankah musibah itu adalah realisasi dari permohonan kita, ihdinash shirata al-mustaqim?
Hakikat dari musibah ialah Allah ingin kita mendapat hikmah. Betapa banyak kenikmatan yang didapat di antara taring-taring bencana.
Bila awan tak menangis, mana mungkin taman akan tersenyum. Musibah adalah tanda cinta Allah pada kita. Dia telah memberikan peluang kepada kita untuk meningkatkan ketaqwaan, dan bukankah manusia yang paling tinggi derajatanya adalah orang yang paling taqwa?
Belajar Dari Nabi Yusuf
Sebelum menjadi nabi, Yusuf adalah anak, remaja, bahkan pemuda yang hidup dalam kubangan masalah, derita bahkan kesengsaraan. Belum cukup usia baligh beliau sudah harus dibuang ke dalam sumur oleh saudaranya sendiri. Kita bisa bayangkan, bagaimana hancurnya perasaan seorang Yusuf belia kala itu.
Namun karena Yusuf sempat mendapat pelajaran dari sang ayah, Nabi Ayyub, bahwa dirinya akan mendapat kemuliaan besar dalam hidupnya yang tergambar dalam mimpi yang sempat dialaminya, ia mampu menghadapi derita yang berat itu dengan optimisme.
Keimanannya pun mengantarkan pada satu keyakinan besar bahwa derita yang dialaminya adalah anak tangga pertama yang harus dilalui untuk menuju kemuliaan yang pernah dimimpikannya.
Beberapa waktu lamanya, Yusuf juga sempat difitnah bahkan masuk penjara karena tuduhan palsu sang majikan atasnya. Yusuf pun tidak gusar bahkan sebaliknya, ia semakin yakin bahwa hal itu adalah tangga kesekian yang dapat mengantarkannya kepada kemuliaan yang pernah dimimpikannya.
Yusuf selalu berhasil menetralisir jiwa dan emosinya pada kondisi seimbang. Bahkan ketika penjara akan menjadi tempat hidupnya, ia justru lebih memilih penjara daripada menuruti keinginan majikan yang dapat mengundang kemurkaan Allalh SWT.
Al-Qur’an menjelaskan hal tersebut dengan gamblang. Yusuf berkata:
قَالَ رَبِّ السِّجْنُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا يَدْعُونَنِي إِلَيْهِ وَإِلاَّ تَصْرِفْ عَنِّي كَيْدَهُنَّ أَصْبُ إِلَيْهِنَّ وَأَكُن مِّنَ الْجَاهِلِينَ
"Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. Dan jika tidak Engkau hindarkan dari padaku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh."(QS. Yusuf: 33).
Pada saat yang sama Yusuf terus-menerus memperbaiki diri, sembari senantiasa bertafakkur, berdzikir dan berdoa kepada Allah SWT, hingga akhirnya ia dinobatkan sebagai perdana menteri Mesir.
Yusuf semakin dewasa, berwibawa bahkan mulia justru karena ditempa oleh beragam kesulitan, fitnah dan pengasingan. Hal ini terlihat saat beliau menerima amanah sebagai perdana menteri. Dengan kekuatan dan kekuasaan yang dimilikinya ia sama sekali tak berniat melampiaskan balas dendam terhadap saudara-saudaranya sendiri yang telah melemparkannya ke dalam sumur tatkala ia masih kecil.
Nabi Yusuf justru mengundang mereka tinggal bersama, memaafkan mereka dan bahagia bisa berbuat baik terhadap mereka yang pernah membenci dan memusuhinya. Subhanallah.
Jadi, marilah kita biasakan diri untuk bertafakkur dengan sepenuh hati. Temukanlah hikmah agung atas setiap masalah, musibah, kesulitan, penderitaan yang kita alami. Sebab tidak mungkin apa yang ada dalam kehidupan ini hadir tanpa maksud baik dari Allah SWT.
Bukankah setiap kesuksesan itu harus dibayar dengan kelelahan, kepayahan, bahkan penderitaan?
Ingat, kecelakaan tidak hanya terjadi di jalanan yang becek atau rusak. Bahkan maut seringkali mengintai justru di jalan mulus, lancar, dan bebas hambatan! Jadi, bertafakkurlah! Wallahu a’lam.*/Imam Nawawi
Sandarkan pada Allah Semata, Titik!
TIADA keberuntungan yang sangat besar dalam hidup ini, kecuali orang yang tidak memiliki sandaran, selain bersandar kepada Allah. Dengan meyakini bahwa memang Allah-lah yang menguasai segala-galanya; mutlak, tidak ada satu celah pun yang luput dari kekuasaan Allah, tidak ada satu noktah sekecil apapun yang luput dari genggaman Allah. Total, sempurna, segala-galanya Allah yang membuat, Allah yang mengurus, Allah yang menguasai.
Adapun kita, manusia, diberi kebebasan untuk memilih, "Faalhamaha fujuraha wataqwaaha".
"Dan sudah diilhamkan di hati manusia untuk memilih mana kebaikan dan mana keburukan". Potensi baik dan potensi buruk telah diberikan, kita tinggal memilih mana yang akan kita kembangkan dalam hidup ini. Oleh karena itu, jangan salahkan siapapun andaikata kita termasuk berkelakuan buruk dan terpuruk, kecuali dirinyalah yang memilih menjadi buruk, naudzubillah.
Sedangkan keberuntungan bagi orang-orang yang bersandarnya kepada Allah mengakibatkan dunia ini, atau siapapun, terlampau kecil untuk menjadi sandaran baginya. Sebab, seseorang yang bersandar pada sebuah tiang akan sangat takut tiangnya diambil, karena dia akan terguling, akan terjatuh. Bersandar kepada sebuah kursi, takut kursinya diambil. Begitulah orang-orang yang panik dalam kehidupan ini karena dia bersandar kepada kedudukannya, bersandar kepada hartanya, bersandar kepada penghasilannya, bersandar kepada kekuatan fisiknya, bersandar kepada depositonya, atau sandaran-sandaran yang lainnya.
Alkisah, ada seorang dosen ternama di Surabaya yang memiliki seorang istri dan tiga orang anak. Saat itu, posisi karir sedang naik. Semua fasilitas dimilikinya. Jabatan, fasilitas dan kelebihan lainnya.
Tapi takdir menentukan lain. Allah memanggilnya di usia muda. Saat itu pula perubahan besar terjadi pada keluarganya. Sang istri terpaksa merangkap tanggungjawab. Menjadi ibu, sekaligus menjadi “ayah” untuk menafkahi ketiga anaknya. Sedang si anak mengalami “kekagetan” luar biasa. Dari awal yang dimanja fasilitas, kini, mereka semua harus memulainya dari nol. Sesuatu yang maha berat.
“Seolah hancur harapanku ketika orang yang menjadi sandaran hidupku telah tiada lagi, “ begitu ujar sang istri.
Padahal, semua yang kita sandari sangat mudah bagi Allah, atau akan ‘sangat mudah sekali’ bagi Allah mengambil apa saja yang kita sandari. Namun, andaikata kita hanya bersandar kepada Allah yang menguasai setiap kejadian, "laa khaufun alaihim walahum yahjanun’, kita tidak pernah akan panik, Insya Allah. Jabatan diambil, tak masalah, karena jaminan dari Allah tidak tergantung jabatan, kedudukan di kantor, di kampus, tapi kedudukan itu malah memperbudak diri kita, bahkan tidak jarang menjerumuskan dan menghinakan kita. kita lihat banyak orang terpuruk hina karena jabatannya. Maka, kalau kita bergantung pada kedudukan atau jabatan, kita akan takut kehilangannya. Akibatnya, kita akan berusaha mati-matian untuk mengamankannya dan terkadang sikap kita jadi jauh dari kearifan.
Tapi bagi orang yang bersandar kepada Allah dengan ikhlas, ia hanya mengatakan, “Ya silahkan ... buat apa bagi saya jabatan, kalau jabatan itu tidak mendekatkan kepada Allah, tidak membuat saya terhormat dalam pandangan Allah.”
Tak masalah jabatan kita kecil dalam pandangan manusia, tapi besar dalam pandangan Allah karena kita dapat mempertanggungjawabkannya. Tidak apa-apa kita tidak mendapatkan pujian, penghormatan dari makhluk, tapi mendapat penghormatan yang besar dari Allah SWT. Percayalah walaupun kita punya gaji 10 juta, tidak sulit bagi Allah sehingga kita punya kebutuhan 12 juta. Kita punya gaji 15 juta, tapi apa artinya jika Allah memberi penyakit seharga 16 juta, sudah tekor itu.
Oleh karena itu, jangan bersandar kepada gaji atau pula bersandar kepada tabungan. Punya tabungan uang, mudah bagi Allah untuk mengambilnya. Cukup saja dibuat urusan sehingga kita harus mengganti dan lebih besar dari tabungan kita. Demi Allah, tidak ada yang harus kita gantungi selain hanya Allah saja. Punya bapak seorang pejabat, punya kekuasaan, mudah bagi Allah untuk memberikan penyakit yang membuat bapak kita tidak bisa melakukan apapun, sehingga jabatannya harus segera digantikan.
Punya suami gagah perkasa. Begitu kokohnya, lalu kita merasa aman dengan bersandar kepadanya, apa sulitnya bagi Allah membuat sang suami muntaber, akan sangat sulit berkelahi atau beladiri dalam keadaan muntaber. Atau Allah mengirimkan nyamuk Aides Aigepty betina, lalu menggigitnya sehingga terjangkit demam berdarah, maka lemahlah dirinya. Jangankan untuk membela orang lain, membela dirinya sendiri juga sudah sulit, walaupun ia seorang jago beladiri karate.
Otak cerdas, tidak layak membuat kita bergantung pada otak kita. Cukup dengan kepleset menginjak kulit pisang kemudian terjatuh dengan kepala bagian belakang membentur tembok, bisa geger otak, koma, bahkan mati.
Semakin kita bergantung pada sesuatu, semakin diperbudak. Oleh karena itu, para istri jangan terlalu bergantung pada suami. Karena suami bukanlah pemberi rizki, suami hanya salah satu jalan rizki dari Allah, suami setiap saat bisa tidak berdaya. Suami pergi ke kantor, maka hendaknya istri menitipkannya kepada Allah.
"Wahai Allah, Engkaulah penguasa suami saya. Titip matanya agar terkendali, titip hartanya andai ada jatah rizki yang halal berkah bagi kami, tuntun supaya ia bisa ikhtiar di jalan-Mu, hingga berjumpa dengan keadaan jatah rizkinya yang barokah, tapi kalau tidak ada jatah rizkinya, tolong diadakan ya Allah, karena Engkaulah yang Maha Pembuka dan Penutup rizki, jadikan pekerjaannya menjadi amal shaleh."
Insya Allah suami pergi bekerja di back up oleh doa sang istri, subhanallah. Sebuah keluarga yang sungguh-sungguh menyandarkan dirinya hanya kepada Allah. "Wamayatawakkalalallah fahuwa hasbu"
وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْراً
“Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (QS. At Thalaq [65] : 3).
Yang hatinya bulat tanpa ada celah, tanpa ada retak, tanpa ada lubang sedikit pun ; Bulat, total, penuh, hatinya hanya kepada Allah, maka bakal dicukupi segala kebutuhannya. Allah Maha Pencemburu pada hambanya yang bergantung kepada makhluk, apalagi bergantung pada benda-benda mati. Mana mungkin? Sedangkan setiap makhluk ada dalam kekuasaan Allah. "Innallaaha ala kulli sai in kadir".
Oleh karena itu, harus bagi kita untuk terus menerus meminimalkan penggantungan. Karena makin banyak bergantung, siap-siap saja makin banyak kecewa. Sebab yang kita gantungi, "Lahaula wala quwata illa billaah" (tiada daya dan kekuatan yang dimilikinya kecuali atas kehendak Allah). Maka, sudah seharusnya hanya kepada Allah sajalah kita menggantungkan, kita menyandarkan segala sesuatu, dan sekali-kali tidak kepada yang lain, itulah TAUHID.*
Jemputlah Rizeki Allah dengan Cara yang Dibenarkan
MAKANAN yang halal adalah makanan yang diperbolehkan oleh syariat untuk kita konsumsi. Makanan yang halal juga makanan yang diperoleh dengan cara yang baik dan halal pula. Bekerja mencari sesuap nasi dan karunia rezeki merupakan kewajiban tiap insan dalam kehidupan di dunia.
Sayangnya, tidak setiap orang meyakini bahwa jatah rezekinya di dunia ini telah disediakan oleh Allah. Akibatnya, karena gelap mata, ia melakukan segala cara untuk memperoleh beberapa lembar rupiah lewat cara yang tak terpuji seperti mencuri, merampok, melakukan korupsi, dan sebagainya.
Padahal, telah jelas larangan dalam al-Qur`an perihal mengonsumsi makanan yang diperoleh dengan cara illegal dan tak bertanggungjawab seperti di atas.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ وَلاَ تَقْتُلُواْ أَنفُسَكُمْ إِنَّ اللّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيماً
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.” (QS. An-Nisa`: 29).
Ketika seseorang memasukkan makanan dari jalan yang haram, masuk ke dalam aliran darah, lalu menjadi daging, maka potensi berbuat kebaikan menjadi meredup, semangat berbuat kebajikan menjadi susut, memiliki kans besar menjadi penghuni neraka, dan kelak ia akan menghadapi persidangan hisab dengan sangat berat.
Ibnu Ruslan dalam kitab Zubad-nya mengatakan yang artinya: “Ketaatan yang bersumber dari makanan yang haram seperti sebuah bangunan yang dibangun di atas ombak.”
Sebaliknya, manakala seseorang menjaga mutu dan kualitas makanan yang akan ia konsumsi, mengetatkan perhatiannya dalam hal apa yang boleh dan tidak masuk ke dalam perutnya dan keluarga yang menjadi tanggungannya, ia akan memperoleh manfaat buah dari ikhtiyarnya menjaga makanan dan minuman yang masuk.
Setidaknya, ada lima buah manfaat dalam makan makanan yang halal.
Pertama, seseorang yang mengonsumsi makanan halal akan mudah bangkit guna melakukan ketaatan dan ibadah.
Disebutkan dalam sebuah atsar yang berbunyi, “Barangsiapa yang memakan makanan yang halal, anggota tubuhnya akan mudah melakukan ketaatan dalam keadaan suka atau tidak suka. Dan barangsiapa yang memakan makanan yang haram, suka atau tidak anggota tubuhnya akan melakukan kemaksiatan.”
Ketaatan maupun kemaksiatan berbanding lurus dengan makanan dan minuman. Hasilnya terlihat jelas. Memakan makanan yang halal, diperoleh dengan jalan yang halal, menjadikan ketaatan mudah dilakasanakan. Berbeda dengan itu, memasukkan makanan yang haram, membuat tubuh sangat mudah pula menyimpang dari jalan kebenaran.
Habib Abdullah bin Husain bin Thahir pernah mengatakan, “
Memakan makanan yang halal adalah sumber kebaikan yang besar. Dampak suatu ibadah tidak dapat muncul kecuali jika asupan makanannya adalah baik dan tidak bercampur dengan syubhat.”
Kedua, doa orang yang mengonsumsi makanan yang halal mudah dikabulkan oleh Allah. Dalam suatu kesempatan, Sa`ad bin Abi Waqqash meminta kepada Rasulullah SAW agar berdoa kepada Allah, minta dijadikan sebagai orang yang doanya mudah dikabulkan oleh-Nya. Lalu, Rasul SAW berkata kepada Sa`ad, “Perbaiki makanan yang engkau makan niscaya engkau menjadi orang yang doanya mudah dikabulkan.” (HR. Thabrani)
Ketiga, keturunan orang yang menjaga mutu makanan yang dikonsumsi dapat melahirkan keturunan yang shalih-shalihah. Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani dalam bukunya al Ghun yah, mengatakan, “Bila telah tampak tanda kehamilan pada diri seorang perempuan hendaklah suaminya betul-betul menjaga kebersihan makanannnya dari hal yang haram atau syubhat agar anak itu tidak ada jalan bagi setan untuk masuk dalam penciptaannya.”
Lebih lanjut, dikatakan oleh Al-Jailani, “Yang paling baik adalah menjaga makanan sejak ketika menikah, agar selalu dalam kebaikan sehingga keluarga dan anaknya dapat selamat dari pengaruh setan di dunia dan selamat dari hukuman di akhirat, bersamaan dengan itu, akan lahir anak yang shalih, berbakti kepada kedua orangtuanya, dan taat kepada Tuhannya, dimana semuanya itu dapat diraih dengan menjaga kebersihan makanan.”
Dikisahkan, ada seorang mantan budak kurus yang dimerdekakan oleh tuannya. Namanya Mubarak. Setelah merdeka, dia bekerja pada seorang pemiliki kebun sebagai buruh. Suatu hari, sang tuan mengunjungi kebunnya bersama dengan beberapa sahabatnya. Dipanggillah Mubarak, “Petikkan kami beberapa buah delima yang manis.” Bergegaslah Mubarak melaksanakan perintah sang tuan. Dia memetik beberapa buah delima, diserahkannya kepada sang majikan. Ketika majikannya mencicipi delima yang dipetik Mubarak, tak satupun ada yang manis. Semuanya masam. “Apa kamu tak bisa membedakan delima yang manis dan yang masam?,” tanya sang majikan dengan nada marah.
Mubarak menjawab, “Demi Allah Tuan, saya tidak pernah mencicipi satu buah pun. Bukankah Anda hanya memerintahkan saya menjaga dan tak pernah mengizinkan saya mencicipinya? Sehingga saya tak pernah tahu, mana delima yang asam dan manis.” Sang tuan merasa kaget dan tak percaya, bertahun-tahun bekerja di kebun itu, tapi Mubarak tak pernah makan satu buah pun.
Singkat cerita, selang beberapa hari, sang tuan datang menemui Mubarak untuk dinikahkan dengan putrinya, “Aku tidak mendapati laki-laki yang lebih bertakwa kepada Allah melebihi dirimu. Maka aku akan menikahkan putriku denganmu.” Dari rumah tangga yang dibina Mubarak atas dasar ketakwaan tersebut, lahirlah keturunan yang shalih yang di kemudian hari menjadi seorang ulama besar, ahli hadits, pejuang yang pemberani, seorang kaya yang dermawan, yaitu Abdullah Ibnu Mubarak.
Keempat, hati menjadi terang dan penuh hikmah. Diriwayatkan, “Barangsiapa makan makanan yang halal selama empat puluh hari, Allah sinari hatinya dan mengalirkan sumber-sumber hikmah dari hati dan lidahnya.”
Kelima, makanan yang halal dapat menjadi obat penyembuh bagi penyakit yang diderita. Salah seorang Tabi`in bernama Yunus bin Ubaid mempunyai pengalaman menjadi makanan yang halal sebagai obat. Ketika ia memperoleh satu dirham dari jalan yang halal, ia menggunakan uang tersebut untuk membeli gandum. Gandum tersebut digiling. Setelah selesai masak, ia berkeliling di sekitar tempat tinggalnya, menawarkan bantuan pengobatan bagi orang-orang sakit yang sudah tidak dapat diobati oleh dokter. Caranya, ia suapkan gandum tersebut kepada ‘pasiennya.’ Kata Yunus, “Orang tersebut dapat sembuh pada waktunya.”
Dalam pengalaman yang berbeda, Imam Syafi`i yang bertandang ke kediaman muridnya, Imam Ahmad, mendapat protes dari putri Imam Ahmad. “Tidakkah Ayah perhatikan saat kita makan malam bersama setelah Isya, dia makan begitu banyak?”
Imam Ahmad yang mendapat pertanyaan tersebut, menemui Imam Syafi‘i untuk memastikan kebenaran cerita sang putri. Kata Imam Syafi`i, “Putrimu benar tapi kenyataannya tidak seperti yang dia lihat. Aku makan banyak karena tahu makananmu halal dan kau orang baik, dermawan. Makanan halal yang disajikan orang dermawan akan menjadi obat. Waktu itu aku banyak makan bukan untuk mengenyangkan diri, melainkan agar aku sehat.”
Marilah sahabat-sahabat semua, kita bekerja menjemput rezeki Allah dengan cara-cara yang dapat dibenarkan, cara yang halal, jangan risau dengan rezeki kita, karena telah ada jatah yang pasti dari Allah. Jangan kita menghinakan diri sendiri dengan melakukan pekerjaan haram, memasukkan yang haram ke dalam perut, karena semua itu akan ada pertanggunganjawab di sisi Allah.*

Tidak ada komentar:
Posting Komentar