Powered By Blogger

Jumat, 07 Oktober 2011

Kesehatan


Film Lucu BikiN jantung Sehat


Pada masa liburan seperti sekarang ini, TV dan bioskop pasti banyak menawarkan film-film berkualitas. Semua film layak dijadikan tontonan, namun film komedi lebih memberikan efek menyehatkan karena dapat memelihara kebugaran jantung.

Menurut penelitian terbaru di University of Marryland, film komedi memancing para penonton untuk rileks dan tertawa lepas. Efeknya pada pembuluh darah adalah memicu relaksasi atau pelebaran sehingga tekanannya turun dan kerja jantung jadi lebih ringan.

Efek sebaliknya akan terjadi ketika sedang menonton film horor dan film perang. Film-film yang menegangkan seperti ini membuat pembuluh darah mengalami vasokonstriksi atau penyempitan sehingga tekanan darah meningkat dan bisa memicu serangan jantung bagi yang berisiko.

"Kesimpulannya, tertawa baik untuk jantung. Efek yang kami amati pada dinding pembuluh darah cukup konsisten dan dapat disetarakan dengan efek aerobik maupun pemberian obat statin," ungkap Dr Michael Miller yang memimpin penelitian tersebut seperti dikutip dari Dailymail, Rabu (30/8/2011). Dalam penelitian ini, Dr Miller melibatkan sejumlah relawan yang dibagi menjadi 2 kelompok. Kelompok pertama diminta menonton film komedi berjudul There's Something About Mary dan kelompok lainnya diputarkan film perang Saving Private Ryan.

Hasil pengamatan pada tekanan dan kondisi pembuluh darah menunjukkan bahwa emosi yang terbentuk saat menonton film mempengaruhi peredaran darah. Perbedaan antara tekanan darah saat tertawa dan tegang atau ketakutan disebut-sebut cukup signifikan, yakni antara 30-50 persen.

Temuan ini menegaskan hasil penelitian sebelumnya, yang menyimpulkan bahwa kondisi mental yang tertekan dapat memicu penyempitan pembuluh darah. Tegang dan terlalu serius saat menonton film horor atau film perang termasuk kondisi yang mental yang dinilai penuh tekanan.







Aborsi sebabkan Ganguan Wanita



Wanita yang melakukan aborsi beresiko menderita gangguan mental yang parah. Demikian menurut hasil penelitian terbaru.

Pelaku aborsi menghadapi resiko dua kali lebih besar terkena gangguan mental dibanding perempuan lainnya. Disamping itu, satu dari setiap sepuluh kasus gangguan mental disebabkan oleh aborsi.

Hasil studi yang dilakukan akademisi Amerika Priscilla Coleman itu dipublikasikan di British Journal of Psychiatry dan mendapat dukungan dari Royal College of Psychiatrists.

Sebelumnya jurnal yang sama tiga tahun lalu, pernah mempertanyakan asumsi para pendukung kampanye dan pelaku aborsi yang menyatakan bahwa menghentikan kehamilan cenderung mengurangi daripada menaikkan resiko kesehatan perempuan.

Coleman mendasari kajiannya atas analisa terhadap 22 proyek yang berbeda dan analisa pengalaman 877.000 perempuan yang 163.831 di antaranya pernah melakukan aborsi.

"Hasilnya menunjukkan cukup konsisten bahwa aborsi berhubungan dengan peningkatan resiko masalah-masalah psikologis yang disebabkan oleh tindakan (aborsi) itu. Secara keseluruhan, hasil penelitian menunjukkan bahwa perempuan yang melakukan aborsi mengalami 81 persen kenaikan resiko gangguan mental dan hampir 10 persen kasus gangguan mental disebabkan secara langsung oleh aborsi," tulis laporan penelitian tersebut.

Aborsi berkaitan dengan 37 persen kasus depresi, 34 persen gangguan kecemasan, menyebabkan resiko kecanduan alkohol naik lebih dari dua kali lipat, tiga kali resiko penggunaan ganja dan memperbesar resiko bunuh diri.

Menurut Coleman, perempuan harus diberikan penjelasan mengenai resiko gangguan mental yang kemungkinan besar terjadi jika melakukan aborsi, sebelum tindakan tersebut dilakukan.*






38 persen Orang Eropa Terkena Ganguan Otak


Sebuah penelitian baru mengungkapkan bahwa sekitar 165 juta orang, atau sekitar 38% dari penduduk Eropa setiap tahunnya terkena gangguan ketidakseimbangan dalam otak seperti depresi, kecemasan, insomnia, dan demensia.

Penelitian itu dipimpin oleh Hans Ulrich Fitschen, Direktur Institut Psikologi Klinis dan Psikoterapi di Universitas Dresden Jerman.

Penelitian tersebut dilakukan selama tiga tahun di 30 negara Eropa. Di antaranya 27 negara yang termasuk anggota Uni Eropa, dan selebihnya adalah Swiss, Islandia serta Norwegia.

Fitschen dengan timnya meneliti sekitar 100 penyakit yang mencakup semua bentuk ketidakseimbangan di dalam otak, seperti kecemasan, depresi, kecanduan, dan skizofrenia. Di samping itu Fitschen juga meneliti bentuk gangguan saraf seperti epilepsi.

Penyakit mental menjadi tantangan terbesar bagi dunia kesehatan di Eropa selama abad ke-21 ini. Penyakit ini telah menjadi beban ekonomi dan sosial masyarakat Eropa.

Mereka yang terkena penyakit mental ini tidak hanya terancam kehilangan pekerjaannya saja, namun juga dapat meruntuhkan hubungan pribadinya.

Beberapa perusahaan farmasi juga mulai menggalakkan penelitian tentang cara kerja otak dan dampaknya terhadap perilaku.*






Menopause Bukan Penyebab Serangan Jantung



-Penuaan, itulah penyebab meningkatnya kematian di kalangan perempuan, yang tidak ada hubungannya dengan menopause. Demikian dikatakan para peneliti.

Temuan para peneliti dari Universitas John Hopkins itu dapat berimplikasi pada cara pemeriksaan kesehatan di kalangan perempuan pramenopause. Sebelumnya menopause dipercaya berkaitan erat dengan resiko serangan jantung pada wanita.

"Data kami menunjukkan bahwa tidak ada perubahan besar pada tingkat serangan jantung fatal setelah menopause," kata kepala peneliti Dhanajay Vaidya, asisten profesor di Universitas John Hopkins, sebagaimana dikutip AP (07/9) dari British Medical Journal.

"Kami yakin, apa yang terjadi adalah sel-sel jantung dan arteri mengalami penuaan, seperti halnya jaringan lain di dalam tubuh. Dan itu alasan mengapa semakin banyak kita lihat serangan jantung terjadi di kalangan wanita berumur," katanya.

"Penuaan itu sendiri adalah penjelasan yang cukup kuat. Dan kedatangan masa menopause, yang berdampak pada perubahan hormonal, kelihatannya tidak memainkan peranan yang penting," imbuhnya.

Meskipun demikian penelitian itu menemukan bahwa menopause memainkan peran dalam penyakit lain pada wanita. Misalnya, kata Vaidya, tingkat kematian akibat kanker payudara melambat pada masa menopause, yang kemungkinan disebabkan oleh perubahan hormonal.

Tim peneliti Vaidya menganalisa statistik tingkat kematian orang-orang yang dilahirkan di Inggris, Wales dan Amerika Serikat antara tahun 1961 dan 1945.

Mereka mengikuti kelompok orang yang sama saat orang-orang itu menua. Mereka menemukan bahwa saat menopause, tidak terdapat peningkatan tingkat kematian perempuan di atas ataupun di bawah kurva tengah saat penuaan.

Menurut Vaidya, timnya juga menemukan bahwa jumlah perempuan yang meninggal karena penyakit jantung meningkat secara eksponensial sekitar 8% per tahun.

Kematian absolut atau jumlah kematian yang sebenarnya, meningkat di semua kelompok umur tanpa ada perubahan mendadak saat menopause








Dekapan Ibu Lebih Manjur Dibanding Ayah



Saat bayi prematur diambil darahnya, tentu ia akan merasakan sakit. Sakit yang dirasa itu ternyata bisa diredam jika bayi berada dalam dekapan ibu. Demikian menurut hasil penelitian terbaru.

Dekapan ayah juga dapat meredam rasa sakit itu, tapi tidak sebaik dekapan ibu.

Para peneliti mengamati ekspresi rasa sakit yang ditunjukkan wajah bayi saat diambil sampel darahnya.

Bayi prematur yang hanya mengenakan popok didekap sang ibu yang membiarkan dadanya tidak tertutup dengan kain atau pakaian, sehingga terjadi kontak kulit antara ibu dan anaknya.

"Terdapat perbedaan besar ketika seorang bayi dibiarkan sendiri di dalam inkubator, dengan ketika bayi yang berada dalam dekapan ibu atau ayah saat prosedur ini (pengambilan darah) dilakukan." kata Dr. Larry Gray dari Rumah Sakit Anak Comer di Universitas Chicago, yang tidak terlibat dalam penelitian itu.

Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa kontak kulit antara bayi dengan orangtuanya (ibu) memiliki sejumlah manfaat bagi kesehatan bayi, termasuk mengurangi rasa sakit.

Sebagaimana yang dikatakan Gary mengatakan kepada Reuters (09/9), dekapan seperti kangguru oleh orangtua dapat memberikan kehangatan dan mengatur pernapasan bayi. Disamping itu ada hal-hal yang masih tersembunyi lainnya.

Dalam melakukan penelitiannya, C.Celeste Johnston dari jurusan keperawatan di Universitas McGill di Montreal, Kanada, mengamati 62 bayi prematur yang mendapatkan prosedur pengambilan contoh darah secara intensif. Saat prosedur pengambilan darah dilakukan, bayi-bayi tersebut secara bergantian didekap oleh ibu atau ayahnya.

Pada saat yang sama, peneliti merekam ekspresi wajah yang bayi ketika darah mereka diambil. Ekspresi wajah itulah yang dianalisa untuk mengukur tingkat kesakitan yang dirasa oleh bayi.

Dengan menggunakan skala kesakitan dari 0 sampai 21, peneliti mengukur tingkat kesakitan bayi.

Jika bayi didekap oleh ayah, pada 30 detik dan 60 detik pertama setelah darah diambil, rata-rata skala kesakitan bayi 8,5 dan 8,6. Sementara jika bayi didekap oleh ibunya, maka skala kesakitan hanya menunjukkan 1,4 hingga 1,5. Setelah lewat satu menit skala tersebut tidak ada perbedaan antara dekapan ibu atau ayah.

Bandingkan skala kesakitan bayi yang dibiarkan di inkubator sendirian saat darahnya diambil. Poin kesakitannya mencapai 11 hingga 13.

Ditulis dalam Archives of Pediatrics and Adolescent Medicine bahwa hasil penelitian itu mendukung hipotesa yang mengatakan bahwa ada sesuatu yang unik terkait kenyamanan dalam dekapan ibu. Kemungkinan bentuk fisik dada ibu yang berbeda dengan bentuk dada ayah, dinilai sebagai bentuk fisik dari seorang perawat yang alami oleh bayi.

Masih menurut Gray, adanya kontak fisik antara bayi dengan ibu ataupun ayah lebih baik dibanding tidak ada kontak sama sekali dengan mereka. Dan meskipun seorang ibu belum berpengalaman merawat anak, namun dekapannya masih jauh lebih baik dibanding dekapan seorang ayah.

Tapi perlu dicatat, ibu dan ayah juga harus dalam keadaan nyaman saat memberikan dekapan untuk bayi mereka.*




Teh Hijau Bantu Pangkas Kolesterol


Minum secangkir teh hijau secara teratur ternyata dapat memangkas kolesterol dalam tubuh, dan memiliki banyak manfaat bagi kesehatan. Demikian menurut panelitian sejumlah peneliti di Peking Union Medical College di Beijing, baru-baru ini.

Xin-Xin Zheng bersama rekannya dari Peking Union Medical College di Beijing, melakukan penelitian terhadap 14 orang responden yang diharuskan meminum teh hijau atau ekstrak teh hijau selama tiga bulan. Hasilnya, cara ini dapat menghasilkan penurunan signifikan pada kolesterol jahat dalam darah, namun tetap membiarkan kolesterol baik pada tubuh.

Menurut hasil penelitian yang dipublikasikan dalam American Journal of Clinical Nutrition ini, zat pada teh hijau yang bernama katekin ini dapat membantu menyerap kolesterol jahat.

Terbukti mengurangi kolesterol sebesar 7,2 miligram per desiliter. Jumlah LDL kolesterol dalam tubuh pun turun rata-rata 2,2 mg/dl, atau sedikitnya berkurang dua persen dari kadar kolesterol.






Awas Diabetes Bunuh 1 Orang Per 7 Detik




Epidemi diabetes di seluruh dunia terus memburuk. Data terbaru menunjukkan, 1 orang di seluruh dunia meninggal tiap 7 detik akibat komplikasi penyakit ini. Biaya ‘diabetes’ yang harus dikeluarkan mencapai 465 miliar dollar (Rp 3.952 triliun)/tahun.Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pun diharapkan menyalakan ‘lampu merah’.

Meski lebih rendah dibandingkan kanker dan penyakit jantung, tingkat kematian akibat diabetes atau kencing manis tidak bisa dianggap remeh. Data terbaru menunjukkan, 1 orang di seluruh dunia meninggal tiap 7 detik akibat komplikasi penyakit ini.

Data tersebut diungkap oleh International Diabetes Federation (IDF), sebuah perkumpulan yang menghimpun perwakilan dari 160 negara di seluruh dunia. Perkumpulan ini baru saja menggelar pertemuan di Lisabon, Portugal untuk membahas kondisi terkini penyakit diabetes.

Selain tingkat kematian yang begitu tinggi, IDF juga mengungkap bahwa jumlah pengidap diabetes di seluruh dunia telah mencapai 366 juta jiwa dan korban meninggal jika dihitung dalam setahun rata-rata mencapai 4,6 juta. Seluruh data telah mencakup diabetes tipe 1 maupun 2.

Mengingat angkanya yang terus bertambah, IDF mendesak para pemimpin di seluruh dunia untuk memberi perhatian khusus pada penyakit ini. Dalam pertemuan puncak PBB terkait penyakit tidka menular yang akan berlangsung pekan depan, diharapkan diabetes bisa diangkat menjadi salah satu fokus pembicaraan.

Badan PBB sendiri baru dua kali melakukan pertemuan puncak terkait isu-isu kesehatan. Yang pertama adalah di tahun 2001 yang ditujukan untuk mengatasi krisis HIV/AIDS.

“Jarum jam terus berdetak. Kami berharap para pemimpin dunia dalam pertemuan pekan depan untuk tidak henti-hentinya membawa diabetes ke ‘jalur utama’,” ungkap Jean Claude Mbanya, presiden IDF seperti dikutip dari Foxnews, Rabu (14/8).

Diabetes tipe 1 merupakan gangguan metabolisme yang ditandai dengan ketidakmampuan insulin dalam mengontrol kadar gula dalam darah. Penyakit ini biasanya dipicu oleh faktor bawaan, sehingga sulit dicegah meski tetap bisa dikendalikan dengan obat-obatan.

Sementara diabetes tipe 2 lebih dipicu oleh kegemukan dan gaya hidup tidak sehat, sehingga sebenarnya sangat mungkin dicegah. Mengurangi konsumsi gula, banyak berolahraga dan makan makanan dengan gizi seimbang adalah cara-cara terbaik untuk mencegah diabetes tipe 2.

Secara rata-rata angka kematian akibat penyakit diabetes mencapai 4,6 juta per tahun dan biaya kesehatan yang harus dikeluarkan mencapai 465 miliar dollar (Rp 3.952 triliun) setiap tahun.






Kolesterol Jahat Suburkan Tumor Otak



Kolesterol jahat menyuburkan pertumbuhan glioblastoma, jenis tumor otak paling umum, sebagaimana hormon mendorong pertumbuhan kanker payudara dan prostat.

Glioblastoma merupakan tumor yang paling agresif dan sulit untuk diobati, Pasien yang mengidapnya, rata-rata sanggup bertahan 15 bulan setelah didiagnosa.

Menurut laporan yang ditulis jurnal Cancer Discovery, sembilan puluh persen pertumbuhan glioblastoma berhubungan dengan kolesterol.

Sel-sel tumor itu sepertinya diprogram untuk menyedot LDL atau kolesterol jahat yang terdapat dalam tubuh. Sehingga pertumbuhan tumor itu pun semakin cepat.

Sebagaimana dilansir Telegraph (17/9) Deliang Guo, asisten profesor radiasi onkologi di Universitas Ohio yang memimpin penelitian itu, mengatakan bahwa hasil penelitiannya menunjukkan pertumbuhan tumor tergantung pada jumlah kolesterol yang ada dalam tubuh untuk hidup dan terus membesar.








Anak Gendut Rawan Problem Sosial



Anak-anak yang memiliki bobot tubuh lebih berat dibanding teman-teman sebayanya pada usia empat dan lima tahun, cenderung akan mengalami hambatan dalam hubungan sosialnya beberapa tahun mendatang. Demikian menurut hasil sebuah studi di Australia.

Dalam laporan penelitian yang dimuat jurnal Pediatrics disebutkan, para peneliti melakukan survei terhadap orangtua dari 3.363 anak-anak Australia yang berpartisipasi dalam kajian kesehatan nasional. Interview dilakukan pada saat anak mereka berusia empat atau lima tahun dan empat tahun kemudian.

Pertanyaan yang diajukan peneliti adalah tentang kesehatan mental dan perilaku anak, seperti masalah emosional, hiperaktivitas dan keterampilan berhubungan sosial. Anak-anak juga senantiasa dicatat perkembangan berat badannya.

Diketahui kemudian, anak-anak yang berusia empat dan lima tahun, 222 putra (13 persen) dan 264 putri (16 persen) terkategori kelebihan berat badan. Sementara 77 putra (4,5 persen) dan 87 putri (5,2 persen) termasuk anak-anak yang obesitas atau sangat gemuk.

Hasilnya survei menunjukkan, anak-anak yang kegemukan itu sekitar 20 persennya cenderung mengalami hambatan sosial pada usia delapan atau sembilan tahun.

Para peneliti menyimpulkan, stigma tentang anak gendut kemungkinan menyebabkan anak-anak itu menarik diri dari pergaulan, karena mereka takut diejek. Apalagi, anak-anak gendut biasanya menjadi obyek olok-olok.

Micheal Sawyer, profesor dari Unversitas Adelaide yang memimpin penelitian itu, mengatakan bahwa ia bermaksud untuk memantau perkembangan anak-anak tersebut lebih jauh. Ia ingin memantau kesehatan jiwa mereka. Sebab, hasil penelitian lain menyebutkan bahwa orang dewasa yang memiliki bobot tubuh berlebih beresiko besar mengalami gangguan mental seperti depresi dan kegelisahan.*







Makan Ikan Biar Tidak Stroke



Orang yang makan ikan beberapa kali dalam sepekan lebih rendah resikonya terkena stroke dibadingkan mereka yang jarang makan ikan atau tidak sama sekali.

Itu adalah hasil kesimpulan analisa terhadap 15 penelitian, di mana setiap penelitian itu menanyakan berapa sering mereka makan ikan, lalu 4-30 tahun kemudian diteliti apakah mereka mengalami stroke.

"Menurut saya, ikan memang memberikan manfaat nutrisi, khususnya omega 3, yang menurunkan resiko stroke," kata Dr. Dariush Mozaffarian, pakar epidemiologi dari Harvard yang penelitiannya termasuk dianalisa.

"Banyak bukti yang menunjukkan bahwa sekitar dua sampai tiga porsi sajian setiap pekan sudah cukup untuk mendapatkan manfaatnya," kata Mozaffarian.

Hampir 800.000 orang di Amerika Serikat setiap tahunnya terserang stroke, dan 136.000 di antaranya meninggal karena stroke.

Merokok, mengkonsumsi alkohol, kelebihan berat badan dan darah tinggi serta kolesterol terkait erat dengan serangan stroke.

Dalam jurnal Stroke Dr Sussana Larson dan Dr Nicola Orsini dari Institut Karolinska di Stockholm, Swedia, mengatakan bahwa asam lemak omega 3 dalam ikan berpengaruh positif terhadap penurunan resiko stroke melalui tekanan darah dan kolesterol.

Vitamin d, selenium dan sejumlah protein dalam ikan juga memberikan kontribusi positif, kata Mozaffarian.

Perlu dicatat, berdasarkan penelitian Mozaffarian, ikan goreng atau ikan dalam sandwich tidak termasuk yang memberikan efek positif terhadap penurunan resiko stroke.

Tapi sayangnya, penelitian itu tidak dapat membuktikan bahwa menambahkan menu ikan bukan digoreng, pasti menjauhkan seseorang dari serangan stroke.

Jenis ikan yang mengandung kadar omega 3 tinggi antara lain salmon dan herring. Asosiasi Jantung Amerika menyarankan sedikitnya 2 porsi sajian asam lemak ikan dikonsumsi setiap pekannya agar sehat.








Ibu MeRusak Ikatan Alami Dengan Bayinya



Ikatan alami bayi dengan ibunya, semakin terkikis akibat sang ibu menjejali anaknya dengan segudang aktivitas. Begitu menurut hasil penelitian.

Bayi kecil berkembang secara alami dengan merespon suara manusia dan sentuhan.

Namun sayangnya, ibu seringkali memaksakan bayi mungil mereka untuk mendapatkan banyak aktivitas harian, seperti kelas yoga, berenang, musik dan bahkan salsa.

Menyanyikan lagu pengantar tidur merupakan salah satu cara terbaik untuk merekatkan ikatan antara ibu dan bayinya. Tapi zaman sekarang, hal itu sudah dianggap tidak "keren" lagi.

Menurut pakar perawatan anak, Sylvie Hetu, peran mendampingi perkembangan anak justru digantikan oleh pekerja kesehatan atau perawat (seperti baby sitter -red), yang terus menerus mengintervensi kehidupan anak-anak sejak lahir.

Dalam bukunya "Too Much, Too Soon?", Hetu menulis, zaman sekarang bayi punya jadwal layaknya orang dewasa yang sibuk. Ada kelas musik bayi, yoga bayi, senam bayi, menyanyi bayi, salsa bayi, bahasa bayi, bayi Einstein.

"Kelas bayi menyanyi dan bayi berenang sangat umum sekarang ini," kata Hetu

Menurut pakar bayi itu, sebenarnya bayi merespon baik suara manusia, wajah manusia dan sentuhan manusia. Dan mereka akan secara alami membuka dirinya kepada dunia.

Bayi membutuhkan kehadiran yang tenang dari orangtuanya, suara di rumah sehari-hari dan suara manusia di sekitar mereka.

Itulah stimulasi yang mereka butuhkan. Mereka juga butuh perlindungan dari stimulasi yang berlebihan.

Bayi merespon dengan sangat baik lagu-lagu pengantar tidur, seperti lagu ninabobo dan Twinkle, Twinkle Little Star. Semua kebudayaan di dunia bahkan punya lagu pengantar tidurnya sendiri.

Sangat disayangkan, ibu-ibu zaman sekarang tidak lagi menganggap nyanyian pengantar tidur sebagai sesuatu yang penting untuk dilakukan setiap hari.

Ibu zaman sekarang menganggap, menyanyikan lagu pengantar tidur, seperti yang sering dilakukan orangtua generasi sebelumnya, adalah "tidak keren". Atau ibu tidak mau melakukannya karena alasan sederhana, misal merasa tidak memiliki suara yang bagus, atau daripada menyanyi sendiri lebih baik mendengarkan suara musik.

Dalam bukunya, Hetu mengkritik inervensi para dokter dan perawat terhadap bayi-bayi yang baru lahir.

"Di beberapa rumah sakit, bayi baru lahir langsung dibawa, dimandikan, diberi macam-macam vaksin, diberi macam-macam vitamin, ditimbang, baru kemudian diberikan kepada ibunya," katanya.

"Hingga tahun 1980-an secara umum kita berpandangan bahwa bayi itu tidak bisa merasa. Tapi kemudian kita baru menyadari bahwa bayi itu sebenarnya adalah mahluk yang sangat sensitif," kata Hetu.

"Jadi mengapa tidak kita beri mereka kesempatan untuk mengenal dunia ini secara perlahan?" katanya lagi.







Volume Otak Akan Menyusut Jika kekurangan Vitamin B 12



Salah satu nutrisi penting bagi otak adalah cobalamin atau disebut juga vitamin B12. Kekurangan vitamin ini tak hanya menghambat pertumbuhan sel otak, tetapi juga membuat volume otak menyusut dan mengurangi kemampuannya untuk berpikir.

Pada orangtua khususnya, kekurangan vitamin B12 sudah sering dikaitkan dengan risiko penurunan fungsi kognitif dan kecerdasan. Namun dalam penelitian terbaru, kondisi ini juga terbukti bisa membuat volume otak mengalami penyusutan dalam arti sebenarnya.

Peneliti dari Rush University Medical Center di Chicago membuktikan hal itu setelah mengamati 121 orangtua berusia di atas 65 tahun. Peneliti mengambil sampel darah lalu mengamati kadar vitamin B12 sekaligus berbagai sisa metabolismenya.

Para partisipan juga menjalani serangkaian tes untuk mengukur tingkat kecerdasan dan ketajaman memori atau ingatan. Serangkaian tes tersebut dilakukan sedikitnya 2 kali, yakni di awal penelitian dan saat penelitian berakhir yakni 4,5 tahun sesudahnya.

Menurut hasil pengamatan, partisipan yang memiliki kadar vitamin B12 atau sisa metabolisme vitamin B12 yang rendah cenderung lebih cepat pikun. Melalui pemindaian dengan Magnetic Resonance Imaging (MRI), tampak volume otaknya juga mengalami penyusutan.

"Temuan ini masih butuh penelitian lebih lanjut. Terlalu dini untuk mengatakan bahwa suplemen vitamin B12 bisa menjaga fungsi otak dan mencegah penyusutan volumenya," ungkap Christine C Tangney, PhD yang memimpin penelitian tersebut seperti dikutip dari Indiavision, Kamis (29/9/2011).

Dalam makanan sehari-hari, vitamin B12 atau cobalamin banyak ditemukan dalam bahan-bahan makanan hewani seperti telur, hati sapi serta daging unggas. Kekurangan vitamin ini sering dikaitkan dengan anemia atau kurang darah, serta kerusakan saraf otak yang memicu demensia atau pikun.








Minyak Ikan Belum Tentu Membuat Anak Cerdas



-Ada beberapa bukti yang menunjukkan bahwa mengkonsumsi minyak ikan selama masa kehamilan dapat membantu perkembangan otak anak. Namun, menurut hasil penelitian di Spanyol menunjukkan, minyak ikan tidak berarti menjadikan intelektualitas anak tinggi saat ia berusia enam tahun.

Hasil penelitian yang dimuat di American Journal of Cinical Nutrition itu memperkuat hasil penelitian para ahli di Norwegia, yang juga menemukan bahwa tidak ada perbedaan tingkat IQ di kalangan anak berusia 7 tahun, baik ibunya mengkonsumsi minyak ikan atau tidak pada saat hamil dan menyusui.

Para peneliti memang mendapati, anak-anak yang lahir dari ibu dengan tingkat docosahexaenoic acid (DHA) yang tinggi dalam sel darahnya saat mereka dilahirkan, memiliki skor intelejensia di atas rata-rata saat mereka berusia 7 tahun.

Tapi, yang menjadi pertanyaan besar, apakah menambahkan DHA pada asupan makanan ibu hamil benar-benar bermanfaat untuk bayi.

Para peneliti mengamati, tidak ada efek signifikan dari suplemen terhadap fungsi kognitif anak. Tapi, status DHA ibu mungkin berpengaruh pada fungsi kognitif iru di kemudian hari.

Selain itu, DHA dalam jumlah melimpah di darah ibu, bisa jadi didapat bukan semata-mata dari suplemen minyak ikan yang dikonsumsinya selama hamil. Sangat besar kemungkinan, DHA dalam darah ibu berasal dari makanan yang dikonsumsinya jauh sebelum masa kehamilan.

Penelitian itu juga tidak memeriksa asupan makanan yang dikonsumsi oleh anak setelah ia lahir. Sebab asupan gizi dari makanan anak juga berpengaruh pada perkembangannya kemudian.

Kemampuan kognitif anak selain itu juga dipengaruhi banyak faktor, seperti genetik, stimulus sosial, nutrisi dan lain-lain.

Jadi apakah ibu hamil perlu suplemen minyak ikan agar anaknya cerdas? Campoy, peneliti dari Universitas Granada Spanyol itu tidak bisa menjaminnya dan belum ada bukti ilmiah yang memastikan manfaatnya bagi bayi. Tapi ia menganjurkan agar minyak ikan itu tetap dikonsumsi ibu hamil.*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar