Powered By Blogger

Minggu, 08 Mei 2011

SEPATAH KATA MUGA BERMAKNA

Pemandangan Sawah didusun kalangan

DIBALIK PERHIASANMU


Wanita memang mempunyai kecenderungan untuk tampil cantik. Tak heran kalau kemudian ada yang meluangkan waktu secara khusus untuk perawatan kecantikan di salon ataupun spa. Bahkan ada yang melakukannya dengan cara yang lebih ekstrem, seperti mengerik alis mata, bertato, dan sebagainya. Bagaimana sesungguhnya Islam mengatur ini semua? Simak bahasan berikut!

Allah l berfirman:
“Apakah patut (menjadi anak Allah) orang (wanita) yang dibesarkan dalam keadaan berperhiasan, sedangkan dia tidak dapat memberi alasan yang jelas dalam pertengkaran?” (az-Zukhruf: 18)
Allah l menciptakan wanita dengan tabiat senang terhadap perhiasan dan kecantikan. Allah l juga menciptakan pria dengan tabiat senang terhadap perhiasan wanita dan kecantikannya. Ini adalah dua kutub yang tarik-menarik. Syariat pun menetapkan halalnya seorang pria menikmati perhiasan dan kecantikan seorang wanita melalui lembaga pernikahan yang suci.
Dengan pernikahan ini, jadilah upaya seorang istri untuk menghias dirinya guna tampil menawan dan cantik di hadapan suami, bernilai ibadah di sisi Allah l. Tentunya sepanjang perhiasan dan cara berhias yang dilakukannya tidak melanggar batasan dan apa yang dikehendaki oleh syariat.
Ayat yang mulia di atas menunjukkan, secara tabiat wanita memang senang berhias guna menutupi kurangnya kecantikan/ keindahannya, sehingga ia menggunakan perhiasan dari luar sejak kanak-kanak untuk melengkapi dan menutupi kekurangan yang ada. (Tafsir Ibnu Katsir, 4/135, Taisir al-Karimirir Rahman, hlm. 764)
Hal yang demikian ini bukanlah suatu cela bagi wanita. Bahkan sebagaimana yang telah disinggung di atas, hal ini merupakan fitrah wanita yang Allah l menciptakan mereka di atas fitrah tersebut. Terlebih lagi bila ia adalah seorang istri, ia dituntut untuk memerhatikan penampilan di hadapan suami dan tentunya ia tidak dapat lepas dari upaya berhias.
Dalam agama Islam, perhiasan wanita itu memiliki hukum-hukum khusus. Di antaranya ada yang halal, seperti wanita berhias untuk tampil di hadapan suaminya dalam batasan yang tidak melanggar syariat. Di antara perhiasan itu ada juga yang haram. Untuk yang kedua ini, bisa jadi keharamannya pada jenis perhiasan itu sendiri sehingga sekalipun hanya diperlihatkan di hadapan suami dan mahram lainnya tetap haram hukumnya. Namun ada pula keharamannya dari sisi siapa yang melihat perhiasan yang dikenakan wanita tersebut. Misalnya seorang wanita menampakkan diri dan perhiasan yang dikenakannya di hadapan laki-laki yang bukan mahramnya, maka ini haram hukumnya. Ataupun keharaman perhiasan tersebut sebatas waktu tertentu, seperti ketika seorang wanita menjalani ihdad-nya.

Perkara Fitrah
Satu hal yang tidak boleh diabaikan seorang muslimah dalam berhias adalah memerhatikan perkara-perkara fitrah. Sebagaimana Rasulullah n bersabda:
الْفِطْرَةُ خَمْسٌ: الْخِتَانُ، وَالْاِسْتِحْدَادُ، وَقَصُّ الشَّارِبِ، وَتَقْلِيْمُ الْأَظْفَارِ، وَنَتْفُ الْإِبْطِ
“Perkara fitrah itu ada lima: khitan, mencukur rambut kemaluan, memotong kumis, menggunting kuku, dan mencabut bulu ketiak.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 5889 dan Muslim no. 257)
Hampir semua perkara fitrah di atas tidaklah wajib hukumnya menurut kesepakatan ulama, namun ada pula perkara yang diperselisihkan kewajibannya seperti khitan. (Syarh Shahih Muslim, 3/148)
Walaupun hukum dalam perkara fitrah ini tidaklah wajib, namun seorang muslimah dituntut untuk melakukannya, tentunya dalam hal-hal yang sesuai baginya. Karena itu ia tidak boleh membiarkan kukunya terus memanjang, demikian pula rambut yang tumbuh di ketiak dan kemaluannya. Ia harus menghilangkannya guna menjaga kebersihan dan keindahan.
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Menggunting kuku sunnah hukumnya dengan kesepakatan ulama, karena ia termasuk perkara fitrah yang disebutkan dalam hadits Rasulullah n. Selain itu menggunting kuku merupakan upaya menjaga kebersihan dan keindahan, sementara membiarkannya tetap tumbuh memanjang menunjukkan kejelekan dan menyerupai binatang buas. Selain itu kuku yang panjang akan berpotensi menyimpan kotoran di bawahnya dan menahan sampainya air ke bawah kuku. Sangat disayangkan, sebagian muslimah telah ditimpa musibah dengan kebiasaan memanjangkan kuku karena mengikuti wanita-wanita kafir dan karena bodoh, tidak mengerti tentang Sunnah Nabi n.”
Beliau hafizhahullah juga menyatakan, “Disunnahkan bagi wanita untuk menghilangkan rambut yang tumbuh di kedua ketiaknya dan pada kemaluannya, dalam rangka mengamalkan hadits Rasulullah n tentang perkara fitrah, di samping hal ini merupakan satu upaya berhias diri. Jangan ia biarkan rambut itu tumbuh lebih dari empat puluh hari.” (al-Mu’minat, hlm. 20)

Perhiasan Wajah
Wajah merupakan pusat kecantikan para wanita, sehingga kita melihat bagaimana mereka menaruh perhatian terhadap bagian tubuhnya yang satu ini lebih dari bagian tubuhnya yang lain. Dibolehkan bagi wanita untuk menambah ataupun menutupi kekurangan pada bagian wajahnya dengan suatu perhiasan selama perhiasan atau cara berhias tersebut tidak dilarang oleh syariat dan tidak mengandung unsur tasyabbuh (menyerupai wanita kafir). Dengan demikian, dibolehkan bagi wanita untuk menghiasi matanya dengan celak, terlebih lagi bila ia bercelak dengan itsmid karena akan memberi faedah bagi kesehatan matanya. (asy-Syarhul Mumti’, 1/128)
Zainab, putri Ummul Mukminin Ummu Salamah x, mengisahkan dari ibunya: Pernah datang seorang wanita menemui Rasulullah n. Ia berkata, “Wahai Rasulullah, putriku ditimpa musibah dengan meninggalnya suaminya, sementara ia mengeluhkan sakit pada matanya. Apakah boleh ia mencelaki matanya?” Rasulullah n menjawab, “Ia tidak boleh bercelak.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 5336 dan Muslim no. 1488)
Dari sabda Nabi n: “Ia tidak boleh bercelak”, terdapat dalil tentang haramnya bagi wanita yang suaminya baru meninggal (wanita yang sedang ber-ihdad) untuk memakai celak, sama saja ia membutuhkannya ataupun tidak. (Syarah Shahih Muslim, 10/114)
Dari sini dipahami, bila wanita yang ber-ihdad dilarang bercelak, berarti selain wanita yang ber-ihdad dibolehkan untuk memakai celak. (Jami’ Ahkamin Nisa’, 4/419)
Rasulullah n sendiri menuntunkan dalam sabdanya:
وَإِنَّ خَيْرَ أَكْحَالِكُمُ الْإِثْمِدُ يَجْلُو الْبَصَرَ وَيُنْبِتُ الشَّعْرَ
“Sebaik-baik celak kalian adalah itsmid, ia dapat mempertajam pandangan mata dan menumbuhkan bulu mata.” (HR. Abu Dawud no. 3878. Dihasankan oleh asy-Syaikh Muqbil dalam ash-Shahihul Musnad, 1/452)
عَلَيْكُمْ بِالإِثْمِدِ عِنْدَ النَّوْمِ فَإِنَّهُ يَجْلُو الْبَصَرَ وَيُنْبِتُ الشَّعْرَ
“Gunakanlah itsmid oleh kalian ketika hendak tidur karena ia dapat mempertajam pandangan mata dan menumbuhkan bulu mata.” (HR. Ibnu Majah no. 3495 Disahihkan sanadnya oleh asy-Syaikh al-Albani dalam ash-Shahihah, no. 724)
Adapun tentang pemakaian make-up pada wajah, hal ini pernah ditanyakan kepada Asy-Syaikh Ibnu Baz t. Beliau menjawab, “Jika make-up itu mempercantik wajah namun tidak memudaratkannya (membahayakan) dan tidak memengaruhi wajah sedikit pun maka tidak apa-apa. Namun bila sebaliknya maka terlarang.” (Zinatul Mar’ah baina ath-Thibbi wasy Syar’i, hlm. 23)
Asy-Syaikh Shalih Fauzan hafizhahullah menjawab permasalahan yang sama. Beliau berkata, “Jika memakainya karena ada kebutuhan/keperluan maka tidak mengapa. Akan tetapi bila tidak ada keperluan maka meninggalkannya lebih baik, khususnya bila harganya mahal. Karena hal itu membawa pada perbuatan israf (berlebihan) yang diharamkan, juga mengarah pada penipuan dan pemalsuan karena menampakkan yang bukan hakikatnya tanpa adanya keperluan.” (Zinatul Mar’ah, hlm. 26)
Ada beberapa cara menghias bagian wajah yang diharamkan dalam syariat yang mulia ini. Di antaranya:
1. Mencabut bulu/rambut alis atau mencukurnya sampai habis
Cara berhias seperti ini diharamkan, baik menghilangkannya itu dengan cara dicukur, dipotong, maupun menggunakan sesuatu yang dapat menghilangkan bulu/ rambut tersebut seluruhnya, atau sebagian. (al-Mu’minat, hlm. 27)
‘Alqamah berkata bahwa Abdullah bin Mas’ud z melaknat para wanita yang mentato dan minta ditato, wanita yang menghilangkan rambut alis, wanita yang minta dihilangkan rambut alisnya, dan wanita yang mengikir giginya agar terlihat bagus, wanita-wanita yang mengubah ciptaan Allah l. Ketika ucapan Abdullah bin Mas’ud z ini sampai kepada Ummu Ya’qub, salah seorang wanita dari Bani Asad yang biasa membaca Al-Qur’an, ia mendatangi Abdullah seraya berkata, “Berita yang sampai kepadaku tentangmu bahwasanya engkau melaknat wanita-wanita yang demikian (Ummu Ya’qub menyebutkannya satu persatu)?” Abdullah menjawab, “Kenapa aku tidak melaknat orang yang dilaknat oleh Rasulullah n dan hal ini ada dalam Kitabullah?” Ummu Ya’qub berkata, “Demi Allah, aku telah membaca lembaran-lembaran Al-Qur’an, namun aku tidak mendapatkan laknat yang engkau sebutkan.” Abdullah menimpali, “Demi Allah, bila engkau membacanya niscaya engkau akan mendapatkannya, yaitu Allah l berfirman:
“Apa yang dibawa oleh Rasulullah untuk kalian maka ambillah dan apa yang beliau larang maka tinggalkanlah.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 5939 dan Muslim no. 2125)
Ath-Thabari t berkata, “Wanita tidak boleh mengubah sedikit pun ciptaan Allah l yang ada pada dirinya, baik dengan menambah maupun menguranginya, dalam rangka untuk memperindah diri, bukan untuk suami atau untuk selainnya. Seperti seorang wanita yang kedua alisnya bersambung, lalu ia menghilangkan bagian yang tersambung tersebut sehingga terkesan kedua alisnya itu terpisah atau sebaliknya. Demikian pula wanita yang memiliki gigi yang lebih dari yang semestinya, lalu ia mencabutnya atau ia memiliki gigi yang panjang kemudian ia memotong sebagian gigi tersebut. Atau seseorang yang memiliki rambut yang pendek kemudian ia menyambungnya dengan rambut yang lain. Semua ini masuk dalam larangan karena termasuk mengubah ciptaan Allah l.”
Beliau melanjutkan, “Dikecualikan dalam pelarangan ini bila hal tersebut mengakibatkan kemudaratan dan mengganggu (menyakiti), seperti seorang wanita yang memiliki gigi berlebihan atau panjang hingga menyulitkannya ketika makan.” (Fathul Bari, 10/390)
Al-Imam an-Nawawi t berkata, “Menghilangkan rambut yang tumbuh di wajah (termasuk rambut alis) dan meminta orang lain untuk menghilangkannya adalah perbuatan yang haram, terkecuali bila tumbuh jenggot atau kumis di wajah seorang wanita, maka tidak diharamkan baginya untuk menghilangkannya. Bahkan disenangi hal ini di sisi kami.” (Syarh Shahih Muslim, 14/106)
Al-Hafizh Ibnu Hajar t mensyaratkan kebolehan di atas dengan izin suami dan sepengetahuannya. (Fathul Bari, 10/391)

2. Membuat tato
Larangan membuat tato ini umum, sama saja baik tato tersebut pada bagian wajah atau bagian tubuh lainnya. (Fathul Bari, 10/385)
Rasulullah n telah melaknat wanita yang berbuat demikian, sama saja baik ia sebagai pelaku maupun sebagai objek, sebagaimana haditsnya telah disinggung di atas. Ibnu ‘Umar c juga mengabarkan:
لَعَنَ النَّبِيُّ n الْوَاصِلَةَ وَالْمُسْتَوْصِلَةَ وَالْوَاشِمَةَ وَالْمُسْتَوْشِـمَةَ
“Allah melaknat wanita yang menyambung rambut dan wanita yang minta disambungkan rambutnya, serta melaknat wanita yang membuat tato dan wanita yang minta dibuatkan tato.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 5940 dan Muslim no. 2124)

3. Mengikir gigi
Mengikir gigi dengan tujuan untuk mempercantik diri diharamkan dalam syariat yang mulia, sebagaimana datang isyarat pelarangannya dari Nabi n dalam hadits Abdullah bin Mas’ud z. Adapun bila gigi-gigi tersebut jelek atau tidak teratur, hingga perlu merapikannya guna menghilangkan kejelekan tersebut atau karena ada kerusakan hingga perlu diperbaiki maka tidaklah terlarang, karena hal ini termasuk dalam pengobatan dan menghilangkan sesuatu yang tampak jelek. (Fathul Bari, 10/385)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
(bersambung)


1 Ihdad adalah saat di mana seorang wanita diperintahkan untuk meninggalkan perhiasan, wewangian, dan selain keduanya dari perkara yang mengundang keinginan jima' atau keinginan untuk dipinang, seperti celak, minyak wangi, dan sebagainya. Hal ini dilakukan ketika si wanita sedang berkabung, khususnya karena menghadapi kematian suaminya. Ihdad ini dilakukan selama 4 bulan 10 hari. (Asrarul Jamal waz Zinah, hlm. 6—7)





AGAR QALBU SEMAKIN BAIK


Dalam bahasa Arab diistilahkan dengan zakatul qalb, yang berarti tumbuhnya hati dan bertambah dalam kebaikan sehingga sempurna.
Perbuatan keji dan maksiat dalam qalbu ibarat kotoran-kotoran dalam jasmani. Jika jasmani bersih dari berbagai kotoran itu, maka akan murni kekuatannya, terlepas dari gangguan, sehingga akan beramal tanpa ada hambatan. Maka, berkembanglah jasmani itu.
Demikian pula qalbu. Jika lepas dari dosa-dosa dengan taubat, maka akan murni kekuatan dan kemauannya untuk melakukan kebaikan dan merasa aman dari segala daya tarik menuju kerusakan. Maka berkembanglah qalbu itu, tumbuh dan semakin kuat. Akan tetapi, tentunya tiada jalan menuju ke arah tersebut kecuali dengan mensucikan qalbu dari perbuatan keji dan maksiat sebagaimana Allah firmankan:

“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya.’ Yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang mereka perbuat.” (An-Nur: 30)
Dalam ayat tersebut, Allah jadikan zakatul qalb setelah ia menundukkan pandangan dan menjaga kemaluannya. Dalam ayat yang lain, Allah berfirman setelah menyebutkan tentang haramnya zina, menuduh menuduh orang lain dengan zina, dan menikahi pezina:


“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Barangsiapa yang mengikuti langkah-langkah setan, maka sesungguhnya setan itu menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan mungkar. Sekiranya tidaklah karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorangpun dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya. Tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (An-Nur: 21)
Ini menunjukkan bahwa zakatul qalb akan dicapai dengan menjauhi dosa-dosa. Dalam ayat lain, Allah berfirman:

“Jika kamu tidak menemui seorangpun di dalamnya, maka janganlah kamu masuk sebelum kamu mendapat izin. Dan jika dikatakan kepadamu, ‘kembali (saja)lah’, maka hendaklah kamu kembali. Itu lebih bersih bagimu dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (An-Nur: 28)
yakni mereka dianjurkan untuk kembali agar tidak melihat sesuatu yang tuan rumah tidak menyukainya jika hal tersebut diketahui orang lain. Dan jika anjuran ini dilakukan, akan menjadikan qalbu semakin bertambah baik.
Jadi, zakatul qalb tergantung pada thaharatul qalb (kesucian qalbu), yakni kesucian dari berbagai bentuk kemaksiatan dan dosa. Al Qur’an sungguh telah memerintahkan yang demikian dalam firman-Nya:

“Dan pakaianmu bersihkanlah” (Al-Muddatstsir: 4)
Mayoritas ulama ahli tafsir mengatakan, maksud dari pakaian dalam ayat ini adalah qalbu. Dan yang dimaksud mensucikannya adalah memperbaiki amalan-amalan dan akhlaknya. Ibnu ‘Abbas menjelaskan: “Sucikanlah dari dosa dan dari apa yang diperbolehkan semasa jaman jahiliyyah”. Al-Hasan Al-Bashri mengatakan: “Yakni, perbaikilah akhlakmu.”
Sebagian ahli tafsir menafsirkan sebagaimana tekstual ayat itu yakni sucikan pakaianmu dari najis yang tidak dibolehkan saat shalat.
Sebenarnya, ayat tersebut mencakup semua makna di atas. Karena, kesucian pakaian diperoleh dari hasil yang baik pula, dan itu merupakan kesempurnaan kesucian qalbu.
Qalbu yang suci –karena kesempuraan kehidupan dan cahayanya, serta bebasnya dari kotoran dan kejelekan-, tidak akan pernah merasa kenyang dari Al Qur’an. Tidak akan mencari gizi kecuali darinya dan tidak akan berobat kecuali dengannya. ‘Utsman bin ‘Affan mengatakan: “Seandainya qalbu kita suci, maka tidak akan kenyang dari Al Qur’an.”
Berbeda dengan qalbu yang tidak Allah sucikan. Ia akan mencari gizi dari sesuatu yang tidak cocok dengannya sesuai dengan kotoran/ najis yang melekat padanya. Karena, qalbu yang najis bagaikan badan yang sakit, tidak merasa cocok atau nyaman dengan sesuatu yang cocok bagi orang yang sehat.
Akibat buruk bagi mereka yang qalbunya tidak suci, dipastikan ia akan mendapatkan kehinaan di dunia dan adzab di akhirat sesuai dengan kenajisan yang ada padanya dan kejelekannya, sebagaimana firman Allah:

“Dan apabila orang-orang (Yahudi atau munafik) datang kepadamu, mereka mengatakan; ‘kami telah beriman’, padahal mereka datang kepada kamu dengan kekafirannya dan mereka pergi (dari kamu) dengan kekafirannya pula. Dan Allah lebih mengetahui apa yang mereka sembunyikan.” (Al-Maidah: 61)
Oleh karenanya, Allah haramkan jannah bagi mereka yang dalam qalbunya terdapat najis dan kotoran. Dan mereka tidak akan memasuki jannah kecuali setelah suci dan baik, karena jannah itu adalah rumah bagi orang-orang yang baik. Oleh karenanya dikatakan kepada mereka:

“Kesejahteraan (dilimpahkan) atasmu, berbahagialah kamu! Maka masukilah surga ini, sedang kamu kekal di dalamnya.” (Az-Zumar: 73)
Yakni masuklah ke jannah dengan sebab kebaikan kalian. Demikian pula Allah berikan kabar gembira kepada orang-orang yang semacam itu ketika mati, sebagaimana dalam firman-Nya:

“(yaitu) orang-orang yang diwafatkan dalam kedaan baik oleh para malaikat dengan mengatakan (kepada mereka): ‘salaamun ‘alaikum (selamat sejahtera bagimu, red), masuklah kamu ke dalam surga itu disebabkan apa yang telah kamu kerjakan’.” (An-Nahl: 32)
Jadi, jannah tidak akan dimasuki oleh orang yang jelek ataupun orang yang terdapat padanya kejelekan. Maka barangsiapa yang telah suci di dunia dan bertemu Allah dalam keadaan suci dari kotoran/ najis, dia akan masuk ke dalamnya tanpa penghalang. Dan barangsiapa yang belum suci di dunia, jika kenajisannya itu pada asal orangnya seperti orang kafir, maka tidak akan masuk jannah sama sekali. Namun jika najisnya itu adalah najis yang datang yakni bukan pada asal orangnya, maka ia akan masuk jannah setelah disucikan dari najis itu di neraka kemudian keluar darinya.
Sampai-sampai, orang yang beriman jika telah melewati jalan di atas jahannam, mereka akan ditahan di qantharah (jembatan) antara jannah dan neraka hingga mereka dibersihkan dan disucikan dari sisa-sisa kotoran yang menjadikan tertahan dari jannah dan tidak menyampaikan ke dalam neraka. Jika telah bersih dan suci, barulah diijinkan masuk ke dalam jannah.
[dirangkum dari penjelasan Ibnul Qayyim dalam Ighatsatul Lahafan]






KEBERANIAN SEJATI


Tidak semua orang memiliki keberanian sejati. Tahukah anda apakah keberanian sejati itu? Keberanian sejati adalah sikap bersedia dikoreksi bila salah dan siap menerima kebenaran meskipun dari orang yang memiliki kedudukan lebih rendah.

Berkata memang mudah. Namun untuk mempraktekkan apa yang diucapkan butuhpengorbanan yang besar. Bahkan terkadang harus dengan taruhan nyawa. Orang yang berbicara dengan kata yang diolah demikian rupa dan disusun dengan rapi dan indah sehingga mampu membuat orang terkesima, biasanya mudah diacungi jempol dan dianggap sebagai orang “hebat”. Walaupun dalam kesempatan lain dia melanggar dan menelan perkataannya sendiri.
Bila penilaian untuk menjadikan seorang sebagai murabbi (pembimbing) cukup dengan perkataan yang membuat umat terkesima, maka sadarilah bahwa Allah I telah mengingatkan kepada Rasul-Nya r agar berhati-hati dari orang demikian:

“Dan jika kamu mengikuti kebanyakan orang yang ada di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka dan mereka tidak lain hanyalah berdusta.” (Al-An’am: 116)

“Maka berpalinglah (wahai Muhammad) dari orang yang berpaling dari peringatan kami, dan tidak menginginkan melainkan kehidupan duniawi. Itulah sejauh-jauh pengetahuan mereka.” (An-Najm: 29-30)
Engkau jangan merasa aman dan terlalu percaya diri, terlebih angkuh dan sombong. Telah berlalu suri tauladan yang buruk yang bisa kita jadikan pelajaran. Sebuah kejadian yang menimpa orang-orang yang memiliki ilmu bagaikan gunung menjulang setinggi langit, ibadah yang kuat, zuhud, qana’ah, dan sifat-sifat mulia lain yang menghiasi bajunya. Namun dia harus menanggalkan kemuliaannya itu di hadapan seorang wanita yang kurang agama dan lemah akalnya. Dialah ‘Imran bin Haththan.1
Oleh karena itu dengarlah bimbingan Allah I kepada Rasul-mu sekaligus peringatan dari-Nya:


“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang yang menyeru Rabb-nya di pagi dan senja hari dengan mengharap wajah-Nya. Dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka karena mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini. Dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah kami lalaikan dari mengingat Kami serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” (Al-Kahfi: 28)
Semoga dengan peringatan ayat-ayat ini engkau terbangun dari tidur lalu bergegas menuju orang-orang yang menginginkan keselamatan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Duduk bersama mereka adalah bimbingan dan keselamatan. Dan keselamatan diri dan agama tidak bisa ditukar oleh apapun juga.

“Hai orang-orang yang beriman jagalah dirimu dan keluargamu dari apa neraka.” (At-Tahrim: 6)

Setan Bersama
Orang yang Menyendiri
Serigala akan berani menerkam apabila seekor kambing melepaskan diri dari kelompoknya dan berjalan penuh percaya diri tanpa peduli. Ingatlah, di hadapanmu ada yang lebih tinggi dari dirimu.
Ingatkah engkau ketika Iblis dengan penuh kesabaran merayu bapak dan ibu kita Adam dan Hawa alaihimassalam yang pada akhirnya keduanya harus menelan kepahitan hidup di atas ujian yang tadinya di atas kehidupan yang diliputi rahmat dan nikmat Allah. Engkau tidak akan bisa menyamai Nabi Adam u. Oleh karena itu, kembalilah kepada Allah dan berjalan bersama orang-orang yang mengejar ridha Allah dan mencari keselamatan dari-Nya.
Rasulullah r mengingatkan bahayanya menyendiri dalam bermalam dan berjalan ketika safar:

“Rasulullah melarang untuk menyendiri: menyendiri ketika bermalam dan menyendiri ketika safar.” (HR. Ahmad di dalam Al-Musnad, 2/91, Ibnu Abi Syaibah di dalam Al-Mushannaf, 9/38 no. 6439)2

“Kalau seandainya manusia mengetahui bahayanya menyendiri apa yang aku ketahui niscaya tidak akan berjalan orang yang berkendaraan di malam hari dengan sendirian [selamanya].” (HR. Al-Bukhari, At-Tirmidzi, Ad-Darimi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, Al-Hakim, dan Ahmad dari shahabat Ibnu ‘Umar.)

“Pengendara seorang diri (adalah) pelaku maksiat, dua pengendara (adalah) dua pelaku maksiat, dan tiga pengendara itulah pengendara yang benar.” (HR. Malik, Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan lain-lain dari shahabat Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash).
Al-Imam Ath-Thabari t mengatakan: “Peringatan ini merupakan adab dan bimbingan dikarenakan kengerian yang akan dialami ketika sendirian dan bukan haram hukumnya. Seseorang yang berjalan di padang sahara seorang diri atau orang yang bermalam seorang diri tidak akan aman dari kengerian, terlebih kalau dia memiliki pemikiran yang jelek atau memiliki hati yang lemah. Yang benar adalah, manusia dalam permasalahan ini berbeda-beda keadaannya. Adanya larangan dan peringatan tersebut untuk menutup kemungkinan-kemungkinan di atas, oleh karena itu dibenci (makruh) melakukan safar seorang diri dengan tujuan menutup pintu-pintu (kejahatan tersebut). Dan dibencinya dua orang lebih ringan dibanding dengan menyendiri.” (Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, 1/132)
Demikian hakikat perjalanan di dunia bila menyendiri, akan dihantui marabahaya yang tidak kecil bahkan akan mengancam keselamatan. Bagaimana lagi kalau melakukan perjalanan menuju Allah I, sebagai persinggahan akhir dan terakhir. Haruskah kita melepaskan diri dari jalan orang yang beriman (para shahabat Rasulullah r)? Berjalan seorang diri dengan penuh keberanian menantang dan melanggar pagar yang telah dibuat Allah I? Bukankah marabahaya yang mengancam (di akhirat) akan lebih besar dan dahsyat dibandingkan dengan bahaya yang mengancam di dunia ? Bukankah kobaran api yang menyala dengan bahan bakar manusia dan batu itu lebih mengerikan?

Keberanian Menerima Kebenaran adalah Keberanian yang Sejati
Guru teladan adalah guru yang siap menerima nasehat apabila salah dan siap kembali kepada kebenaran apabila tersesat tanpa menggugat kebenaran itu dan tanpa meremehkan siapa yang membawanya. Kebenaran adalah modal keselamatan dan kebenaran itu lebih berharga daripada kita. Kebenaranlah yang menjadi akhir dari setiap usahanya. Dari itu dia menjunjung tinggi amanat Allah I ketika Dia mengatakan:

“Demi masa, sesungguhnya manusia dalam keadaan merugi. Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shalih, saling menasehati dalam kebenaran dan saling menasehati dalam kesabaran.” (Al-’Ashr: 1-3)
Mengangkat nasehat dalam kebenaran menjadi tujuan yang meliputi lubuk hatinya. Kapan saja dia mendengar kebenaran dan di mana menemukannya, dia segera mengambil dan berpegang dengannya.

“Agama adalah nasihat.” Kami mengatakan: “Bagi siapa?” Rasulullah r menjawab: “Bagi Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, pemimpin kaum muslimin dan orang awam mereka.”
Dalam buku Qawa’id wa Fawaid (hal. 95) disebutkan: “Cukup bagi seseorang berada dalam kemuliaan ketika dia melaksanakan apa yang telah dipikul oleh makhluk Allah yang mulia dari kalangan para nabi dan rasul. Nasehat merupakan sebab yang membuat tinggi derajat para nabi. Maka barangsiapa yang menginginkan ketinggian dalam penilaian Rabb langit dan bumi, hendaklah dia melaksanakan tugas yang mulia ini.”
Pembimbing teladan adalah orang yang berusaha menjauhkan diri dari sifat:

“Menolak kebenaran dan mengentengkan orang lain.” (Shahih, HR. Muslim no. 91, dari shahabat Abdullah bin Mas’ud)
Keberanian dan sikap tegas dalam menerima kebenaran adalah keberanian yang terpuji dan sejati. Allah I mensifati kaum yang beriman dengan firman-Nya:

“Maka demi Rabb-mu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati terhadap keputusan yang kamu berikan dan mereka menerima sepenuhnya.” (An-Nisa: 65)

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak pula bagi perempuan yang mukminah apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu keputusan akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguh dia telah sesat dalam kesesatan yang nyata.” (Al-Ahzab: 36)

“Sesungguhnya jawaban orang-orang yang beriman bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul menghukumi (mengadili) di antara mereka ialah ucapan: ‘Kami mendengar dan kami patuh.’ Mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (An-Nur: 51)
Asy-Syaikh Abdurahman As-Sa’di t dalam tafsirnya mengatakan: “Tatkala Allah I menyebutkan keadaan orang-orang yang menyeleweng dari syariat Allah I, kemudian menyebutkan keadaan orang-orang yang beriman yang mendapat pujian ‘apabila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul mengadili di antara mereka.’ (Apakah keputusan Allah I itu) mencocoki keinginan mereka atau tidak, mereka mengatakan: ‘Kami mendengar hukum Allah I dan rasul-Nya dan siap menyambut siapa saja yang menyeru kami kepadanya dan kami akan menaatinya dengan ketaatan yang sempurna tanpa ada perasaan berat pada diri kami’.” (Taisir Al-Karimirrahman, hal. 520)

“Dan tetaplah memberi peringatan karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.” (Adz-Dzariyat: 55)
Ibnu Katsir t mengatakan: “Sesungguhnya peringatan (nasihat) itu akan bermanfaat bagi hati yang beriman.” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/238)
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di t mengatakan: “Allah I memberitakan bahwa peringatan tersebut akan bermanfaat bagi orang yang beriman karena pada diri mereka ada keimanan, rasa takut, taubat dan mengikuti ridha Allah I, yang semua itu mengharuskan peringatan tersebut bermanfaat baginya, sebagaimana firman Allah I:

‘Oleh sebab itu berilah peringatan karena peringatan itu bermanfaat. Orang-orang yang takut kepada Allah akan mendapat pelajaran, orang-orang yang kafir dan celaka akan menjauhinya.’ (Al-A’la: 9-11)
Adapun yang tidak memiliki iman dan tidak ada kesiapan untuk menerima peringatan, maka peringatan kepadanya tidak akan bermanfaat bagaikan tanah tandus yang hujan pun tidak akan bermanfaat baginya sedikitpun. Golongan ini apabila datang kepada mereka ayat Allah I mereka tidak beriman dengannya sampai mereka melihat adzab yang pedih.” (Taisir Al-Karimirrahman, hal. 755)
Wallahu a’lam bish-shawab.


1 ‘Imran bin Haththan dulunya adalah salah seorang tokoh Sunni, namun setelah menikah dengan puteri pamannya, seorang wanita Khawarij, justru dia menjadi tokoh Khawarij. Bahkan dia memuji Ibnu Muljim pembunuh Amirul Mukminin ‘Ali bin Abi Thalib.
2 Asy-Syaikh Al-Albani di dalam Silsilah Ash-Shahihah mengatakan bahwa sanadnya shahih, dari shahabat Ibnu ‘Umar c. Dan ada penguatnya yang mauquf dari ‘Umar bin Al-Khaththab dikeluarkan oleh Abdurrazzaq di dalam Al-Mushannaf).







DUA SIFAT YANG DIBENCI PARA PENCARI KEBENARAN



Perbedaan sifat/ tabiat di antara manusia memang hal lumrah karena itu merupakan bagian dari ketentuan Allah l. Namun tentu saja, sebagai makhluk-Nya kita dituntut berikhtiar dengan menjauhi akhlak dan tabiat yang jelek. Di antaranya adalah rakus dunia dan tidak mau rujuk kepada ulama.

Manusia memiliki sifat dan tabiat yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Mengapa terjadi demikian? Sejumlah konsep pun dimunculkan untuk menjawab pertanyaan ini. Di antaranya ada yang mengatakan bahwa hal itu terjadi karena pengaruh lingkungan dan daerah asalnya. Ada juga yang mengatakan karena faktor keturunan. Yang lain mengatakan, karena pergaulan bebas tanpa ada aturan-aturan Islam. Ada pula yang berpendapat karena bawaan sejak lahir.
Terlepas benar atau tidaknya konsep tersebut, perbedaan sifat dan tabiat tersebut memang ada. Konsep yang paling mudah sebagai jawaban adalah bahwa semua itu adalah pemberian Pencipta manusia, di mana dalam perbedaan sifat dan tabiat tersebut mengandung hikmah yang besar. Dalam satu keluarga saja, satu ayah dan satu ibu, terjadi perbedaan yang mencolok antara anggota keluarga tersebut. Ada yang memiliki sifat mudah tersinggung, egois, dan pemalas. Namun ada juga yang lemah lembut, penyayang, penyabar, giat, dan ulet dalam segala hal.
Segala perbedaan ini bukan karena keinginan kedua orang tua. Bukan pula karena keinginan mereka masing-masing. Namun hal ini merupakan keinginan Zat yang berada di atas, yaitu Allah l, sebagaimana firman-Nya:
“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.” (al-Qamar: 49)
“Padahal Allah-lah yang menciptakan kalian dan apa yang kalian lakukan.” (ash-Shaffat: 96)
Rasulullah n bersabda ketika menjelaskan asal-muasal dan tahapan penciptaan manusia dari setetes air mani, lalu menjadi darah hingga menjadi daging. Setelah itu diutus malaikat dan meniupkan ruh kepadanya serta mencatat empat hal:
بِكَتْبِ رِزْقِهِ وَأَجَلِهِ وَعَمَلِهِ وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيْدٌ
“Ditulis rezekinya, ajalnya, amalnya, dan celaka atau bahagianya.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 6199, dan Muslim no. 2643, dari sahabat Abdullah bin Mas’ud z)
Bila kita mengetahui bahwa semuanya adalah pemberian Allah l, maka yang tersisa bagi kita adalah mengoreksi sifat-sifat yang ada pada diri kita, apakah diridhai Allah l atau tidak. Di sinilah manhaj (metode) ishlahun nafsi (memperbaiki diri) dengan cara menyesuaikannya dengan apa yang diridhai oleh Allah l, yaitu dengan syariat-Nya.
Terjadinya perbedaan sifat itu tidak hanya menimpa orang-orang awam, namun juga menimpa orang-orang saleh, ulama, da’i, dan penuntut ilmu. Betapa banyak orang yang tadinya saleh, dengan sifat yang bertentangan dengan kesalehannya yang melekat pada dirinya, menjadikan dia berubah status menjadi penjahat. Begitu pula penuntut ilmu, da’i di jalan Allah l, dan ulama.
Dalam pembahasan ini akan dijelaskan dua sifat yang keduanya sering menggagalkan penuntut ilmu, da’i, ataupun ulama dalam usaha mereka. Pembahasan ini tidak bermaksud membatasi pada dua hal tersebut, namun masih banyak perkara lain yang bisa dilihat dalam kitab al-’Ilmu karya asy-Syaikh Muhammad Shalih al-‘Utsaimin t dan ‘Isyrina an-Nashihah karya asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab al-Yamani.

Rakus terhadap Dunia
Dunia adalah sesuatu yang manis dan indah, menyejukkan, serta menenteramkan hati bagi orang yang hanya melihat dengan sebelah mata. Menggiurkan bagi orang yang memandangnya dan membahagiakan bagi orang yang telah masuk di dalamnya. Rasulullah n mengungkapkan keindahan dunia dalam sebuah sabdanya:
إِنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ وَإِنَّ اللهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيْهَا فَيَنْظُرُ كَيْفَ تَعْمَلُوْنَ، فَاتَّقُوا الدُّنْيَا وَاتَّقُوا النِّسَاءَ فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي إِسْرَائِيْلَ كَانَتْ فِي النِّسَاءِ
“Sesungguhnya dunia ini manis dan hijau. Dan sesungguhnya Allah menjadikan kalian silih berganti padanya untuk melihat apa yang kalian perbuat. Maka takutlah kalian kepada (godaan) dunia dan takutlah kalian kepada (godaan) wanita, karena sesungguhnya godaan yang pertama kali menimpa Bani Israil adalah kaum wanita.” (Sahih, HR. Muslim no. 2742 dari Abu Sa’id al-Khudri z)
Asy-Syaikh Muhammad al-Imam hafizhahullah mengatakan, “Masuk bergelut ke dalam dunia adalah mudah, namun keluar darinya adalah sulit.”
Ibnul Qayyim t mengatakan, “Orang yang paling tertipu adalah orang yang tertipu dengan dunia dan segala kenikmatan di atasnya, serta lebih mengutamakan dunia daripada akhirat. Dia ridha dunia ini sebagai ganti akhirat, sehingga sebagian orang mengatakan bahwa dunia adalah (bayaran yang) kontan sedangkan akhirat adalah utang (tertunda). Maka bayaran yang langsung (kontan) lebih baik daripada utang. Sebagian lain mengatakan bahwa dunia adalah biji-bijian yang telah tersedia, sedangkan akhirat adalah permata yang hanya sebatas janji. Sebagian lagi mengatakan bahwa kelezatan dunia benar-benar terwujud, sedangkan kelezatan akhirat hanya sebatas janji.” (al-Jawabul Kafi, hlm. 32)
Namun beliau juga mengatakan (al-Fawaid, hlm. 53), “Dunia bagaikan seorang wanita pelacur yang tidak betah dengan satu laki-laki, sehingga dia meminang banyak laki-laki (pasangan) agar mereka semua bisa berbuat baik kepadanya, dan dia tidak suka pada kecemburuan laki-laki.”
Selain itu beliau juga berkata, “Orang yang berjalan mencarinya seperti orang yang berjalan di tanah yang dihuni binatang buas. Dan orang yang berenang di dalamnya bagaikan berenang dalam air yang penuh dengan buaya.” (al-Fawaid, hlm. 54)
Dunia bagi seseorang yang memikul amanat dakwah bagaikan racun bagi tubuh. Di antara mereka ada yang bisa menangkal racun tersebut sehingga terselamatkan, dan di antara mereka ada yang terkena racun tersebut. Bagi orang yang terkena racun ada dua kemungkinan: Pertama, dia selamat dan tertolong sehingga kembali segar bugar dan berjuang. Kedua, racun itu membunuhnya, dan inilah yang biasa terjadi bila terkena racun.
Keikhlasan mereka bisa meleleh karena dunia, sehingga dia tampil menjadi orang yang berbaju hasad dan rakus. Berjalan bagaikan anjing yang selalu menjulurkan lidah karena haus dan lapar. Hidupnya bagaikan orang yang tersambar petir dari kanan dan kiri, lalu menjadi tidak tenang dan tidak tenteram, yang puncaknya adalah dia melepaskan baju kemuliaan (agama)nya. Rasulullah n bersabda:
إِنَّ مِمَّا أَخْشَى عَلَيْكُمْ بَعْدِيْ بُطُوْنَكُمْ وَفُرُوْجَكُمْ وَمُضِلاَّتِ الْأَهْوَاءِ
“Sesungguhnya sebagian perkara yang aku takutkan menimpa kalian sepeninggalku adalah permasalahan perut-perut kalian, kemaluan-kemaluan (syahwat) kalian, dan hawa nafsu-hawa nafsu yang menyesatkan.” (HR. Ahmad, ath-Thabarani dalam ash-Shaghir, dan Ibnu Abi ‘Ashim dalam as-Sunnah. Disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Zhilalul Jannah hadits no. 14, hlm. 30)
بَادِرُوْا بِالْأَعْمَالِ فِتَناً كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ، يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِناً وَيُمْسِي كَافِراً، وَيُمْسِي مُؤْمِناً وَيُصْبِحُ كَافِراً، يَبِيْعُ دِيْنَهُ بِعَرَضٍ مِنَ الدُّنْيَا
“Bersegeralah kalian untuk beramal, karena akan terjadi fitnah-fitnah bagaikan potongan malam yang gelap. Seseorang beriman di pagi hari dan menjadi kafir pada sore harinya, atau di sore hari dia beriman dan di pagi harinya menjadi kafir. Dia melelang agamanya dengan harta benda dunia.” (Sahih, HR. Muslim no. 118 dari Abu Hurairah z)
مَا ذِئْبَانِ جَائِعَانِ أُرْسِلاَ فِي غَنَمٍ بِأَفْسَدَ لَهَا مِنْ حِرْصِ الْمَرْءِ عَلَى الْمَالِ وَالشَّرَفِ لِدِيْنِهِ
“Tidaklah dua ekor serigala yang lapar dilepas pada sekelompok kambing akan lebih merusak daripada merusaknya seseorang terhadap agamanya karena ambisinya untuk mendapatkan harta dan kedudukan yang tinggi.” (HR. at-Tirmidzi no. 2377, al-Imam Ahmad, 3/406, dari sahabat Ka’b bin Malik z dan disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani t dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi, 2/280 hadits no. 1935 dan dalam ar-Raudhatun Nadzir, 5—7. Juga disahihkan oleh asy-Syaikh Muqbil t dalam al-Jami’ush Shahih, 1/42)
Asy-Syaikh Muqbil t menulis dua bab dalam kitab beliau al-Jami’ush Shahih (1/41 dan 1/42) yaitu “(Bab) dikhawatirkan bagi penuntut ilmu apabila hatinya condong kepada dunia” dan “(Bab) bergelut dengan dunia akan melemahkan hafalan penuntut ilmu.” Lalu beliau membawakan hadits-hadits yang terkait dengan bab tersebut. Di antaranya hadits di atas dan juga hadits Ka’b bin ‘Iyadh z yang dihasankan oleh beliau:
لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةٌ وَفِتْنَةُ أُمَّتِي الْمَالُ
“Bagi setiap umat ada fitnah (ujian/ cobaan)nya dan fitnah umatku adalah harta benda.” (HR. at-Tirmidzi no. 2337, juga disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani t dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi no. 1905 dan dalam ash-Shahihah no. 594)
Beliau juga membawakan hadits Zaid bin Tsabit z dan beliau mensahihkannya, bahwa Rasulullah n bersabda:
“Barang siapa yang dunia menjadi tujuannya, maka Allah l akan mencabik-cabik urusannya. Dan Allah l akan menjadikan kefakirannya ada di hadapannya, dan tidaklah datang kepadanya dunia melainkan apa yang telah dituliskan baginya. Dan barang siapa yang meniatkan akhirat, maka Allah l akan menghimpunkan semua urusannya dan Allah l menjadikan kaya di dalam hatinya. Dan bila dunia datang kepadanya, dunia itu dalam keadaan hina.” (HR. Ibnu Majah no. 4105 dan disahihkan juga oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan Ibni Majah, 2/393 hadits no. 3313, dan dalam ash-Shahihah hadits no. 950)
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab al-Yamani dalam kitab ‘Isyrina an-Nashihah mengatakan, “Wahai para penuntut ilmu, berhati-hatilah kalian terhadap dunia. Berhati-hatilah dari cinta terhadapnya. Berhati-hati pula dari ketergantungan hatimu pada dunia. Karena bila hati bergantung kepada dunia dan cinta kepadanya, akan cepat tertipu dan akan hilang ilmu karenanya.”
Kemudian beliau mengatakan, “Berhati-hatilah kamu darinya, karena tidak akan bertemu dalam hati seseorang antara cinta kepada ilmu dan mencintainya. Apabila cinta kepada dunia lebih berkuasa atas dirimu, niscaya kamu akan meninggalkan ilmu dan kamu akan menyia-nyiakan dirimu.”

Tidak Mau Kembali Kepada Ulama
Kedudukan ulama di tengah umat ini sangat jelas dan terang dengan nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah, malamnya seperti siangnya. Mereka adalah pilihan Allah l yang akan menghubungkan diri hamba-hamba-Nya dengan Allah l, yang telah mewarisi peninggalan para nabi dan rasul Allah l. Rasulullah n bersabda:
وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ وَإِنَّ اْلأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوْا دِيْنَاراً وَلاَ دِرْهَماً، وَإِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
“Dan sesungguhnya ulama itu adalah pewaris para nabi dan sesungguhnya para nabi tidak pernah mewariskan dinar dan tidak pula dirham, akan tetapi mereka mewariskan ilmu. Maka barang siapa yang mengambilnya, sungguh dia telah mengambil bagian yang banyak.” (HR. Abu Dawud no. 3641, at-Tirmidzi no. 2835, Ibnu Majah no. 223, dan disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud, Shahih Sunan at-Tirmidzi, dan Shahih Sunan Ibni Majah)
Meremehkan mereka berarti engkau telah membuka pintu kehinaan dan kesesatan. Engkau menggiring dirimu sendiri ke dalam jurang kebinasaan. Memakan daging ulama adalah ciri orang-orang yang menyeleweng dan ahlul bid’ah. Apakah engkau tega memakan daging ayahmu sendiri dan gurumu? Asy-Syaikh Muhammad bin Abdulwahhab al-Yamani mengatakan, “Ini adalah penampilan yang keji dan kotor… Engkau baru belajar sesaat, lalu engkau tampil seakan-akan Ibnu Hajar yang kedua, (atau) Ibnu Taimiyah di masanya, (atau) al-Imam adz-Dzahabi… Engkau melihat guru (syaikh)mu dengan pandangan penuh penghinaan.” (lihat ‘Isyrina an-Nashihah pada nasihat kesembilan)
Sesungguhnya mencerca ulama pada hakikatnya bukan cercaan terhadap diri mereka semata, namun cercaan terhadap ilmu yang dibawanya, yang sama artinya dengan mencerca Islam. Karena ilmu itu adalah Islam sedangkan Islam datang dari sisi Allah l melalui Rasul-Nya n. (lihat Fitnah at-Takfir, hlm. 16)
Abdullah bin ‘Abbas c dalam Shahih al-Bukhari mengatakan, “Barang siapa menyakiti orang alim (ulama) maka sungguh dia telah menyakiti Rasulullah n, dan barang siapa yang menyakiti Rasulullah n berarti dia telah menyakiti Allah l.” (lihat Fitnah at-Takfir, hlm. 17)
Bila demikian kedudukan mereka, tahukah engkau apa yang mereka bawa? Yang mereka bawa adalah Islam. Apakah engkau ingin menjadi pembantu (musuh-musuh Allah l) dalam memerangi Islam? Sesungguhnya orang-orang yang menuduh para ulama bahwa pengetahuan mereka dangkal atau sebagai orang yang suka berbasa-basi, maka mereka telah membantu musuh-musuh Islam untuk mewujudkan keinginan mereka. (lihat Fitnah at-Takfir, hlm. 16)
Wallahu a’lam.





MENGGUGAT HUKUM MAYORITAS


Telah menjadi sunnatullah kalau kebanyakan manusia merupakan para penentang kebenaran. Maka menjadi ironi, ketika kebenaran kemudian diukur dengan suara mayoritas.

Apa Itu Hukum Mayoritas?
Yang dimaksud dengan hukum mayoritas dalam pembahasan kali ini adalah suatu ketetapan hukum di mana jumlah mayoritas merupakan patokan kebenaran dan suara terbanyak merupakan keputusan yang harus diikuti meski bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah n.
Sejauh mana keabsahan hukum mayoritas ini? Untuk mengetahui jawabannya, perlu ditelusuri terlebih dahulu oknum (pengusung)nya, yang dalam hal ini adalah manusia, baik tentang hakikat dirinya, sikapnya terhadap para rasul, maupun keadaan mayoritas mereka, menurut kacamata syariat. Dengan diketahui keadaan oknum mayoritas, maka akan diketahui pula sejauh mana keabsahan hukum tersebut.

Hakikat Jati Diri Manusia
Manusia adalah satu-satunya makhluk Allah l yang menyatakan diri siap memikul ‘amanat berat’ yang tidak mampu dilakukan oleh makhluk-makhluk besar seperti langit, bumi, dan gunung-gunung. Padahal makhluk yang bernama manusia ini berjatidiri dzalum (amat zalim) dan jahul (amat bodoh). Allah l berfirman:
“Sesungguhnya Kami telah tawarkan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung. Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.” (al-Ahzab: 72)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di t berkata, “Allah l mengangkat permasalahan amanat yang Dia amanatkan kepada para mukallafin (makhluk yang dibebani hukum syariat), yaitu amanat menjalankan segala yang diperintahkan dan menjauhi segala yang diharamkan, baik dalam keadaan tampak maupun tidak tampak. Dia tawarkan amanat itu kepada makhluk-makhluk besar; langit, bumi, dan gunung-gunung sebagai tawaran pilihan, bukan keharusan, ‘Bila engkau menjalankan dan melaksanakannya niscaya ada pahala bagimu, dan bila tidak niscaya kamu akan dihukum.’ Maka makhluk-makhluk itu pun enggan untuk memikulnya karena khawatir akan mengkhianatinya, bukan karena menentang Rabb mereka dan bukan pula karena tidak butuh terhadap pahala-Nya. Kemudian Allah l tawarkan kepada manusia, maka ia pun siap menerima amanat itu dan siap memikulnya dengan segala kezaliman dan kebodohan yang ada pada dirinya. Maka amanat berat itu pun akhirnya dipikul olehnya.” (Taisirul Karimirrahman, hlm. 620)
Allah l Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Yang Mahakuasa lagi Mahabijaksana, tidaklah membiarkan manusia mengarungi kehidupan dengan memikul amanat berat tanpa bimbingan Ilahi. Maka Dia pun mengutus para rasul sebagai pembimbing mereka dan menurunkan Kitab Suci agar manusia berpegang teguh dengannya dan mengambil petunjuk darinya. Allah l berfirman:
“Sungguh Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata, serta Kami turunkan bersama mereka Kitab Suci dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.” (al-Hadid: 25)

Sikap Manusia terhadap Para Rasul yang Membimbing Mereka
Namun, demikianlah umat manusia. Para rasul yang membimbing mereka itu justru ditentang, didustakan, dan dihinakan. Allah l berfirman:
“Yang demikian itu dikarenakan telah datang para rasul kepada mereka dengan membawa bukti-bukti nyata, lalu mereka kafir (menentang para rasul tersebut), maka Allah mengazab mereka. Sesungguhnya Dia Mahakuat lagi Mahadahsyat hukuman-Nya.” (Ghafir: 22)
“Jika mereka mendustakan kamu (Muhammad), maka sesungguhnya para rasul sebelummu pun telah didustakan (pula). Mereka membawa mukjizat-mukjizat yang nyata, Zabur dan Kitab yang memberi penjelasan yang sempurna.” (Ali ‘Imran: 184)
“Sebelum mereka, kaum Nuh dan golongan-golongan yang bersekutu sesudah mereka telah mendustakan (rasul), dan tiap-tiap umat telah merencanakan makar terhadap rasul mereka untuk menawannya. Dan mereka membantah dengan (alasan) yang batil untuk melenyapkan kebenaran dengan yang batil itu, oleh karena itu Aku azab mereka. Maka betapa (pedihnya) azab-Ku.” (Ghafir: 5)
“Dan sungguh telah diperolok-olok beberapa rasul sebelum kamu. Maka turunlah kepada orang yang mencemoohkan para rasul itu azab atas apa yang selalu mereka perolok-olokkan.” (al-Anbiya: 41)

Bagaimanakah Keadaan Mayoritas Mereka?
Bila kita merujuk kepada Al-Qur’anul Karim, maka kita akan dapati bahwa keadaan mayoritas umat manusia adalah:
1. Tidak beriman
Allah l berfirman:
“Sesungguhnya (Al-Qur’an) itu benar-benar dari Rabbmu, tetapi mayoritas manusia tidak beriman.” (Hud: 17)

2. Tidak bersyukur
Allah l berfirman:
“Sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap manusia, tetapi mayoritas manusia tidak bersyukur.” (al-Baqarah: 243)

3. Benci kepada kebenaran
Allah l berfirman:
“Sesungguhnya Kami benar-benar telah membawa kebenaran kepada kalian, tetapi mayoritas dari kalian membenci kebenaran itu.” (az-Zukhruf: 78)

4. Fasiq (keluar dari ketaatan)
Allah l berfirman:
“Dan sesungguhnya mayoritas manusia adalah orang-orang yang fasiq.” (al-Maidah: 49)

5. Lalai dari ayat-ayat Allah l
Allah l berfirman:
“Dan sesungguhnya mayoritas dari manusia benar-benar lalai dari ayat-ayat Kami.” (Yunus: 92)

6. Menyesatkan orang lain dengan hawa nafsu mereka
Allah l berfirman:
“Sesungguhnya mayoritas (dari manusia) benar-benar hendak menyesatkan (orang lain) dengan hawa nafsu mereka tanpa ilmu.” (al-An’am: 119)

7. Tidak mengetahui agama yang lurus
Allah l berfirman:
“Itulah agama yang lurus, tetapi mayoritas manusia tidak mengetahui.” (Yusuf: 40)

8. Mengikuti persangkaan belaka
Allah l berfirman:
“Mereka (mayoritas manusia) tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah l).” (al-An’am: 116)

9. Penghuni Jahannam
Allah l berfirman:
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi Jahannam mayoritas dari jin dan manusia.” (al-A’raf: 179)

Refleksi terhadap Hukum Mayoritas
Dari apa yang telah lalu, kita pun mengetahui bahwa ternyata oknum mayoritas tersebut (manusia) berjati diri amat zalim dan amat bodoh. Penentangan mereka terhadap para rasul yang membimbing mereka luar biasa. Demikian pula mayoritas mereka tidak beriman, tidak bersyukur, benci kepada kebenaran, keluar dari ketaatan, lalai dari ayat-ayat Allah l, menyesatkan orang lain dengan hawa nafsu dan tanpa ilmu, tidak mengetahui agama yang lurus, mengikuti persangkaan belaka, dan penghuni Jahannam.
Demikianlah kacamata syariat memandang oknum mayoritas. Bila demikian kenyataannya, lalu bagaimana dengan hukum mayoritas itu sendiri?
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab t menggolongkan hukum mayoritas ini ke dalam kaidah-kaidah yang dipegangi oleh orang-orang jahiliah, bahkan termasuk kaidah terbesar yang mereka punyai. Beliau berkata, “Sesungguhnya di antara kaidah terbesar mereka adalah berpegang dan terbuai dengan jumlah mayoritas. Mereka menilai suatu kebenaran dengannya serta menilai suatu kebatilan dengan langka dan sedikitnya orang yang melakukan....” (Masail al-Jahiliah, masalah ke-5)
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan berkata, “Di antara karakter jahiliah, mereka menilai suatu kebenaran dengan jumlah mayoritas, dan menilai suatu kesalahan dengan jumlah minoritas. Sehingga sesuatu yang diikuti oleh kebanyakan orang berarti benar, sedangkan yang diikuti oleh segelintir orang berarti salah. Inilah patokan yang ada pada diri mereka di dalam menilai yang benar dan yang salah. Padahal patokan ini tidak benar, karena Allah k berfirman:
“Dan jika kamu menuruti mayoritas orang-orang yang ada di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah l).” (al-An’am: 116)
Allah l juga berfirman:
“Tetapi mayoritas manusia tidak mengetahui.” (al-A’raf: 187)
“Dan Kami tidak mendapati mayoritas mereka memenuhi janji. Sesungguhnya Kami mendapati mayoritas mereka orang-orang yang fasik.” (al-A’raf: 102)
Dan lain sebagainya.” (Syarh Masail al-Jahiliah, hlm. 60).
Bila demikian permasalahannya, maka betapa ironisnya pernyataan para budak demokrasi bahwa “suara rakyat adalah suara Tuhan”1. Suatu pernyataan sesat yang memosisikan suara rakyat (mayoritas) pada tingkat tertinggi yang tak akan pernah salah bak suara Tuhan. Mau dikemanakan firman-firman Allah l di atas?! Yang lebih tragis lagi, orang-orang yang mengampanyekan diri sebagai “partai Islam”….., siang dan malam berteriak “tegakkan syariat Islam!!”, namun sejak awal kampanyenya yang dibidik adalah suara terbanyak. Tak mau tahu, suara siapakah itu. Ketika telah duduk di kursi dewan, teriakannya pun hanya sampai pada kata “tegakkan” sedangkan kata “syariat Islam” tak lagi terdengar. Jangankan menegakkan syariat Islam, menampakkan syi’ar Islam pada dirinya saja masih harus mempertimbangkan sekian banyak pertimbangan.
Terlebih lagi ketika rapat dan sidang digelar, hasilnya pun berujung pada suara terbanyak. Tak mau tahu, suara siapakah itu… Tak mau peduli, apakah sesuai dengan syariat Islam ataukah justru menguburnya… Tak mau pusing, apakah menguntungkan umat Islam ataukah justru menelantarkannya. Ketika hasil sidang tersebut diprotes karena tak selaras dengan syariat Islam, maka dia pun orang yang pertama kali berkomentar bahwa ini adalah suara mayoritas anggota dewan, kita harus mempunyai sikap toleran dan legowo..., kita harus menjunjung tinggi demokrasi..., dan lain sebagainya. Padahal jika belum duduk di kursi dewan, barangkali dialah orang pertama yang menggelar demonstrasi2 dengan berbagai macam atribut dan spanduknya. Wallahul musta’an.
Demikianlah bila hukum mayoritas dikultuskan. Kesudahannya, akan semakin jauh dari hukum Allah l, akan semakin buta tentang syariat Islam, bahkan akan menjadi penentang terhadap hukum Allah l dan syariat-Nya.
Para pembaca yang dirahmati Allah l, sesungguhnya masih ada fenomena lain yang perlu dijadikan refleksi, yaitu digunakannya hukum mayoritas sebagai tolok ukur suatu dakwah. Apabila seorang da’i mempunyai banyak pengikut, ceramahnya diputar di seluruh radio nusantara dan akhirnya digelari “da’i sejuta umat” maka dakwahnya pun pasti benar. Sebaliknya bila seorang da’i pengikutnya hanya sedikit, maka dakwahnya pun dicurigai, bahkan terkadang divonis sesat. Padahal Allah l telah berfirman tentang Nabi Nuh q:
“Dan tidaklah beriman bersamanya (Nuh q) kecuali sedikit.” (Hud: 40)
Rasulullah n bersabda:
عُرِضَتْ عَلَيَّ الْأُمَمُ، فَرَأَيْتُ النَّبِيَّ وَمَعَهُ الرَّهْطُ، وَالنَّبِيَّ وَمعَهُ الرَّجُلُ وَالرَّجُلاَنِ، وَالنَّبِيَّ وَلَيْسَ مَعَهُ أَحَدٌ ...
“Telah ditampakkan kepadaku umat-umat, maka aku melihat seorang nabi bersamanya kurang dari 10 orang, seorang nabi bersamanya satu atau dua orang, dan seorang nabi tidak ada seorang pun yang bersamanya….” (HR. al-Bukhari no. 5705, 5752, dan Muslim no. 220, dari hadits Abdullah bin ‘Abbas c)
Asy-Syaikh Sulaiman bin Abdullah Alusy-Syaikh berkata, “Dalam hadits ini terdapat bantahan bagi orang yang berdalih dengan hukum mayoritas dan beranggapan bahwa kebenaran itu selalu bersama mereka. Tidaklah demikian adanya, bahkan yang semestinya adalah mengikuti Al-Qur’an dan As-Sunnah bersama siapa saja dan di mana saja.” (Taisir al-‘Azizil Hamid, hlm.106)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin t berkata, “Tidak boleh tertipu dengan jumlah mayoritas, karena jumlah mayoritas terkadang di atas kesesatan. Allah l berfirman:
“Dan jika kamu menuruti mayoritas orang-orang yang ada di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah l).” (al-An’am: 116)
Jika kita melihat bahwa mayoritas penduduk bumi berada dalam kesesatan, maka janganlah tertipu dengan mereka. Jangan pula engkau katakan, ‘Sesungguhnya orang-orang melakukan demikian, mengapa aku bersikap eksklusif tidak sama dengan mereka?’.” (al-Qaulul Mufid ‘ala Kitabit Tauhid, 1/106)
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan berkata, “Maka tolok ukurnya bukanlah banyaknya pengikut suatu mazhab atau perkataan, namun tolok ukurnya adalah benar ataukah batil. Selama ia benar walaupun yang mengikutinya hanya sedikit atau bahkan tidak ada yang mengikutinya, maka itulah yang harus dipegang (diikuti), karena ia adalah keselamatan. Selamanya, sesuatu yang batil tidaklah terdukung (menjadi benar, pen.) karena banyaknya orang yang mengikutinya. Inilah tolok ukur yang harus selalu dipegangi oleh setiap muslim.”
Beliau juga berkata, “Maka tolok ukurnya bukanlah banyak (mayoritas) ataupun sedikit (minoritas), bahkan tolok ukurnya adalah al-haq (kebenaran). Barang siapa di atas kebenaran—walaupun sendirian—maka ia benar dan wajib diikuti. Jika mayoritas (manusia) berada di atas kebatilan maka wajib ditolak dan tidak boleh tertipu dengannya. Jadi tolok ukurnya adalah kebenaran. Oleh karena itu, para ulama berkata, ‘Kebenaran tidaklah dinilai dengan orang, namun oranglah yang dinilai dengan kebenaran. Barang siapa di atas kebenaran maka ia wajib diikuti’.” (Syarh Masail al-Jahiliah, hlm. 61)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alusy-Syaikh berkata, “Hendaknya seorang muslim berhati-hati agar tidak tertipu dengan jumlah mayoritas, karena telah banyak orang-orang yang tertipu (dengannya), bahkan orang-orang yang mengaku berilmu sekalipun. Mereka berkeyakinan di dalam beragama sebagaimana yang diyakini oleh orang-orang bodoh lagi sesat (yaitu mengikuti mayoritas manusia, pen.) dan tidak mau melihat kepada apa yang dikatakan oleh Allah l dan Rasul-Nya n.” (Qurratu ‘Uyunil Muwahhidin, dinukil dari ta’liq [catatan kaki] Fathul Majid, hlm. 83, no. 1)
Bagaimanakah Jika Mayoritas Berada di Atas Kebenaran?
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan berkata, “Ya, jika mayoritas manusia berada di atas kebenaran, maka ini sesuatu yang baik. Namun sunnatullah menunjukkan bahwa mayoritas (manusia) berada di atas kebatilan.
“Dan mayoritas manusia tidak akan beriman, walaupun kamu (Muhammad) sangat menginginkannya.” (Yusuf: 103)
“Dan jika engkau menuruti mayoritas orang-orang yang ada di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah.” (al-An’am: 116) [Syarh Masail al-Jahiliah, hlm. 62]

Penutup
Dari pembahasan yang telah lalu, dapatlah diambil suatu kesimpulan bahwasanya hukum mayoritas bukan dari syariat Islam, sehingga ia tidak bisa dijadikan sebagai tolok ukur kebenaran suatu dakwah, manhaj, dan perkataan. Tolok ukur yang hakiki adalah kebenaran yang dibangun di atas Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman as-Salafush Shalih.
Atas dasar ini, maka sistem demokrasi yang menuhankan suara mayoritas adalah batil. Demikian pula sikap mengukur benar atau tidaknya suatu dakwah, manhaj, dan perkataan dengan hukum mayoritas, merupakan perbuatan batil dan bukan dari syariat Islam.
Wallahu a’lam bish-shawab.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar